(SEMANGAT SEKUTU-SEKUTU AMERIKA MEREDUP)
Bagi umat Islam yang hafal Al Qur'an tentu mengetahui apa yang difirmankan Allah tentang orang-orang Arab badui. Dalam satu ayat Allah menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang tidak memahami agama alias tidak berpengetahuan, sementara di ayat lain Allah menyebut mereka sebagai orang-orang munafik yang keterlaluan.
Tentu ada kekhususan bagi orang-orang Arab badui tertentu yang tidak masuk dalam kategori tersebut di atas, namun secara umum demikianlah adanya. Maka kalau seorang Bandar bin Sultan, pangeran Arab Saudi yang beribukan mantan budak yang oleh raja diangkat sebagai kepala inteligen Saudi, berbuat bodoh, hal itu tentu tidak mengherankan.
Kebodohan yang dilakukan Bandar (pers Amerika sering menyebutnya sebagai Bandar Bush karena kedekatannya dengan keluarga penjahat perang George "Dubya" Bush) adalah tindakannya mengancam seorang pemimpin negara besar seperti Vladimir Putin. Sebagai buntut peristiwa itu Vladimir Putin dikabarkan telah mengeluarkan perintah kepada militer Rusia untuk menyerang Saudi secara besar-besaran jika sekutunya, Syria, diserang Amerika.
Kabar yang sangat serius tersebut muncul di berbagai media massa barat maupun Arab, di antaranya The Telegraph News Inggris dan As Safir Lebanon, dan dengan cepat menyebar di media-media online independen.
Menurut berbagai sumber terpercaya Putin sangat marah setelah pertemuannya dengan Bandar bin Sultan di Moskow awal Agustus lalu. Sebagaimana telah disebutkan di blog ini, dalam pertemuan tersebut Bandar membujuk Rusia untuk menghentikan dukungannya atas regim Syria dengan imbalan menarik seperti pembelian perlengkapan militer besar-besaran serta jaminan kepentingan ekonomi Rusia di kawasan Timur Tengah. Namun Putin menolak tawaran tersebut.
Yang tidak diberitakan blog ini dan juga media-media massa lainnya adalah bahwa Putin tersinggung berat oleh tindakan Bandar yang berani mengancam Rusia untuk menggerakkan para teroris binaan Saudi dan mengancam keamanan Rusia, termasuk keamanan even Olimpiade Musim Dingin di kota Sochi yang akan digelar Februari 2014. Pemerintah Rusia dan Saudi sendiri sampai saat ini tidak pernah memberikan keterangan resmi tentang pertemuan tersebut.
"Saya memberi jaminan pada Anda untuk melindungi Olimpiade Musim Dingin mendatang. Kelompok-kelompok Chencnya yang mengancam keamanan even tersebut berada di bawah kontrol kami," kata Bandar kepada Putin.
Lebin jauh Bandar menginformasikan pada Putin bahwa teroris-teroris Chencnya yang kini berada di Syria adalah sekedar "alat" yang digunakan Saudi untuk memberikan tekanan pada pemerintah Syria. "Mereka tidak menakuti kami. Kami menggunakan mereka untuk melawan pemerintah Syria, namun mereka tidak bukan penentu prospek politik Syria," tambah Bandar.
Rusia adalah bangsa besar. Mereka sudah terkenal sebagai bangsa pejuang yang berulangkali menjadi korban agresi bangsa-bangsa lain, dan berhasil mengalahkannya. Mereka pernah mengalahkan tentara Mongol, Tartar, hingga tentara Napoleon, Jepang dan Jerman dalam Perang Dunia II. Namun ujian terbesar bangsa Rusia adalah kala menghadapi penindasan regim komunis zionis Uni Sovyet. Puluhan juta rakyat Rusia diyakini telah tewas selama berkuasanya regim komunis tersebut. Terlebih lagi dengan kepemimpinan Putin yang tegas, Rusia jelas tidak akan bisa membiarkan tingkah kurang ajar seorang Arab badui, bangsa yang sebagian rakyatnya masih buta huruf dan selama ratusan tahun setelah khalifah Ali bin Abi Thalib memindahkan pusat pemerintahan ke Irak, tidak memiliki identitas kebangsaan yang jelas.
Vladimir Putin tentu sudah mengetahui Bandar dan Saudi sebagai aktor penting gerakan separatisme Chechnya yang telah menewaskan ribuan tentara dan rakyat sipil Rusia dan Chechnya, dan Bandar pun seharusnya mengetahui bahwa Putin mengetahui hal itu. Maka apa yang dikatakan Bandar kepada Putin dengan mengakui secara terbuka peran Saudi di balik gerakan separatis Chechnya tidak bisa ditafsirkan lain selain sebagai "olok-olok" Bandar terhadap Putin. Putin masih bisa bersabar dengan olok-olok itu, namun tentu saja ia tidak bisa memaafkannya. Dalam konteks ini sangat wajar jika Putin mengeluarkan perintah untuk menyerang Saudi.
MEREDUPNYA SEMANGAT SEKUTU-SEKUTU AMERIKA
Dalam beberapa hari terakhir sejak munculnya isu senjata kimia oleh regim Syria dan retorika perang yang dikeluarkan para pejabat Amerika dan Inggris dan didengung-dengungkan oleh media massa, suara-suara "serang Syria" terdengar justru semakin meredup.
Dimulai oleh pemerintah Italia yang dengan tegas menolak rencana serangan militer terhadap Syria, disusul kemudian oleh pemerintah Jerman, Kanada, Mesir dan negara-negara sekutu Amerika lainnya. Terakhir dan yang paling telak adalah penolakan parlemen Inggris atas rencana tersebut yang memaksa PM David Cameron akhirnya menurunkan nada suaranya tentang Syria, dari sebelumnya sesumbar akan menyerang Syria meski tanpa restu DK PBB menjadi "menunggu keputusan DK PBB". Kini praktis tinggal Amerika saja yang masih cukup lantang menyerukan suara "serang Syria" yang diikuti oleh seruan-seruan lebih kecil oleh PM Turki Tayyip Erdogan.
Hal ini tentu saja sangat berkebalikan dengan semangat yang ditunjukkan oleh para pendukung Syria seperti Iran, Rusia, Hizbollah hingga Venezuela. Seorang pejabat tinggi Iran mengancam akan menyerang Israel jika Syria diserang sementara Hizbollah menyatakan "tidak akan tinggal diam" jika Syria diserang. Sementara jubir kemenlu Rusia Alexander Lukashevich mengingatkan bahwa serangan ilegal terhadap Syria akan membawa bencara bagi negara-negara lainnya di seluruh kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara.
Keseriusan Rusia untuk membela Syria juga ditandai dengan perintah yang dikeluarkan Vladimur Putin tgl 17 Mei lalu untuk meningkatkan kesiapan perang Rusia dari status "perang lokal" menjadi "perang regional" dan dalam hal Amerika dan Eropa melibatkan diri dalam konflik Syria, Rusia meningkatkannya menjadi kesiapan "perang skala besar". Rusia, sebagaimana Hizbollah dan Iran terlalu bodoh untuk tidak mengetahui bahwa Syria hanyalah target antara sebelum mereka menjadi korban agresi Amerika berikutnya. Terutama bagi Rusia yang gegabah mengijinkan PBB menetapkan zona larangan terbang atas Libya yang ternyata digunakan untuk menjatuhkan sekutunya Moammar Khadafi. Kala itu Putin tidak berdaya mencegah karena kursi kepresidenan masih dipegang oleh Medvedev, orang yang memerintahkan dubes Rusia di PBB untuk menyetujui. Kini hal yang sama tidak akan dibiarkan oleh Rusia untuk terjadi di Syria, bagaimana pun mahalnya konsekuensi yang harus dibayar.
Saya (blogger) percaya bahwa Presiden Amerika Barack Obama tidak sebodoh Pangeran Bandar dengan mengikuti kemauan Israel dan antek-anteknya untuk menyerang Syria. Namun jikapun hal itu harus terjadi, saya sangat yakin dengan hasilnya sebagaimana keyakinan Presiden Syria Bashar al Assad, yaitu bahwa Syria-lah yang bakal memenangkan peperangan. Source