Yang paling Gatot takutkan adalah maraknya kawin kontrak. Ini
pelecehan dan akan menjadi beban panjang baik pemerintah daerah maupun
pusat. “Mereka enak saja menikah dalam waktu tertentu. Setelah selesai
kontrak dan punya anak bisa pergi dengan santai. Tanggung jawab anaknya
siapa? Kondisi ini sudah terjadi,” keluhnya.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat, Tom Dani Garniat mengatakan, payung hukum berbentuk
SK Bupati itu nantinya akan mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi
tim pengawasan terhadap orang asing di Kabupaten Cianjur.
Aturan ini akan tidak jauh berbeda dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 49/2010 dan Permendagri Nomor 50/2010 tentang Pedoman Tata
Kerja Tim Pengawasan Orang Asing.
“Nantinya kinerja atau tupoksi tim pengawasan orang asing ini diatur
melalui SK bupati yang saat ini drafnya masih disusun. Kami koordinasi
dengan berbagai instansi terkait, semisal dari kejaksaan dan aparat
kepolisian, termasuk NGO,” ungkapnya.
Tom mengharapkan, terbitnya SK bupati menyangkut tim pengawasan orang
asing ini bisa menjadi suatu upaya antisipasi menyusul maraknya kasus
warga asing ilegal di berbagai di daerah. Di Kabupaten Cianjur pun, tak
menutup kemungkinan banyak warga asing yang belum terdata.
“Apalagi, saat ini di Cianjur sudah mulai banyak berdiri perusahaan
penanaman modal asing (PMA) yang mempekerjakan tenaga asing. Tentunya
ini harus diawasi agar mereka terdata. Bukan hanya tenaga asing,
termasuk juga peneliti maupun turis, karena dikhawatirkan izin tinggal
mereka habis,” ucapnya
KISAH PEREMPUAN BANDUNG BERJILBAB RAPI NAMUN KORBAN wahabi di Puncak.
Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter rustam, seorang dokter
spesialis kulit dan kelamin di kota bogor. Sore itu ia datang sambil
membawa hasil laboratorium seperti yang diperintahkan dokter dua hari
sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu
buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan
dari vagina (vagina discharge).
Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak
tampak menangis kesakitan karena luka dikakinya, kayaknya dia menderita
Pioderma. Disebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk
badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja putri
melamun, merenungkan akne vulgaris (jerawat) yang ia alami.
Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu
per satu pasien yang berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya
tiba, dengan mengucap salam dia memasuki kamar periksa dokter rustam.
Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan
penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Dipojok ruang
sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta
kotak yang berisi obat-obatan.
Dokter : “anda hamil, kemana suami anda ?”
Pelacur Puncak Bogor : “Ngga punya pak”
Dokter : “Anda nikah mut’ah atau ngelonte ?”
Pelacur Puncak Bogor : “Ngapain nikah mut’ah, saya nikah dengan niat bercerai (nikah bi niyyat at-thalaq), dapat duit lagi”
Dokter : “dengan turis arab saudi ya ?”
Pelacur Puncak Bogor : “saya dapat duit banyak, sang makelar hanya
menyuguhkan wanita jalanan seperti saya, walau hamil saya ngga takut,
maklum makelar bilang saya artis ibukota, duit banyak nich”
Dokter : “Anda pezina !”
…………………………………………………………………
Fakta nyata :::
.
sunni menolak nikah mut’ah…
salafi wahabi menolak nikah mut’ah..
.
Turis Saudi Ada Yang Nikah dengan Niat Talak, Jadi Bukan Nikah Mut’ah !!!
Adalah keanehan yang nyata bahwa Poligami dan Pernikahan Dini
ditentang habis, tetapi disisi lain penyimpangan-penyimpangan seperti
Perkawinan sesama jenis, Lokalisasi, dan lain-lainnya tidak mendapatkan
serangan/penentangan yang berarti.
Sebagai penambah wawasan (dalam artian ‘positif’), dibagian Lanjutan saya kutipkan beberapa artikel dan fatwa mengenai :
1. Nikah dengan Niat Talak
2. Kawin Kontrak
Beberapa istilah yang hampir serupa adalah :
3. Nikah Mut’ah (dibolehkan oleh kalangan Syi’ah)
4. Nikah Misywar (dibolehkan oleh beberapa Ulama Sunni).
Fatwa #1:
Majmu’ Fatawa wa Maqulat Islamiyah
jilid 5, hal. 41-43.
oleh: Syaikh bin Baz
Menikah di luar negeri itu mengandung bahaya besar dan sangat
berbahaya, maka tidak boleh pergi ke luar negeri kecuali dengan
syarat-syarat yang penting. Sebab pergi ke luar negeri itu dapat
menyebabkan kekafiran kepada Allah dan dapat menjerumuskan kepada
kemaksiatan, seperti minum minuman keras (khamar), melakukan zina dan
tindak keja-hatan lainnya. Maka dari itulah para ulama menegaskan
haramnya bepergian ke negara-negara kafir, sebagai pengamalan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
“Aku tidak bertanggung jawab atas setiap Muslim yang bermukim (tinggal) di tengah-tengah masyarakat musyrikin.”.
Bermukim di tengah-tengah masyarakat kafir itu sangat berbahaya
sekali, apakah itu untuk keperluan tourism, studi, perniagaan maupun
lainnya. Maka mereka yang musafir dari kalangan pelajar SLTA atau SLTP
atau untuk studi di perguruan tinggi menghadapi bahaya yang sangat
besar. Maka kewajiban negara adalah memberikan jaminan dapat belajar di
dalam negeri, dan tidak mengizinkan mereka pergi ke luar negeri karena
banyak mengandung resiko dan bahaya yang sangat besar bagi mereka.
Banyak sekali keburukan yang lahir dari situ, seperti riddah
(murtad), meremehkan maksiat zina dan minuman keras, dan yang lebih dari
itu adalah meninggalkan shalat, sebagaimana telah menjadi maklum bagi
siapa saja yang memperhatikan kondisi orang-orang yang suka bepergian ke
luar negeri, kecuali mereka yang dibelaskasihi Allah, dan itu pun
sangat sedikit sekali. Maka wajib mencegah mereka dari hal-hal tersebut
dan hendaknya tidak diperbolehkan ke luar negeri kecuali orang-orang
tertentu saja dari kalangan orang-orang yang dikenal komit dalam
beragama, beriman dan mempunyai ilmu bila untuk kepentingan dakwah atau
mendalami spesialisasi suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh
negara Islam.
Dan Hendaknya bagi musafir yang dikenal mempunyai ilmu, keunggulan
dan iman, wajib tetap istiqamah agar dapat berdakwah kepada Allah atas
dasar bashirah dan mempelajari sebagaimana mestinya apa yang dibebankan
kepadanya. Ada pengecualian lain, yaitu terpaksa harus mempelajari
disiplin ilmu tertentu di mana tidak ada orang yang mempelajarinya dan
tidak mudah untuk mendatangkan tenaga pengajar ke dalam negeri. Maka
orang yang diutus untuk belajar itu adalah orang yang dikenal konsisten
dalam beragama, mempunyai bekal iman yang cukup dan mempunyai keunggulan, sebagaimana kami sebut di atas.
Adapun tentang menikah dengan niat talak (cerai) terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang
mengha-ramkannya, seperti Imam Al-Auza’i Rahimahullaah dan sederet ulama
lainnya. Mereka mengatakan bahwa nikah dengan niat talak itu serupa
dengan nikah mut’ah. Maka hendaknya seseorang tidak melakukan pernikahan
dengan niat akan menceraikannya dikemudian hari. Demikian pendapat mereka.
Mayoritas Ahlul ‘ilm (ulama), sebagaimana dicatat oleh Al-Muwaffaq
Ibnu Qudamah Rahimahullaah di dalam karya besarnya “al-Mughni”
membolehkannya jika niatnya (hanya diketahui) dia dan Allah saja dan
tanpa syarat. Maka jika seseorang melakukan perjalanan jauh untuk studi
atau pekerjaan lainnya, sedangkan ia mengkhawatirkan dirinya (akan
terjerumus ke dalam zina. pen), maka boleh menikah sekalipun dengan niat
akan menceraikannya apabila tugasnya selesai. Pendapat ini yang lebih
kuat apabila niatnya hanya antara dia dengan Allah saja tanpa suatu
syarat dan tidak diberitahukan kepada istri atau walinya; dan yang tahu hanya Allah saja.
Jumhur (mayoritas) ulama membolehkan hal tersebut, sebagaimana
dijelaskan dan itu sama sekali tidak termasuk mut’ah, karena niatnya
hanya diketahui dia dan Allah saja dan nikah tersebut dilakukan tanpa
syarat.
Sedangkan nikah mut’ah ada keterikatan dengan syarat, seperti hanya
untuk satu bulan, dua bulan, setahuan atau dua tahun saja, yang
disepakati antara laki-laki yang menikah dengan keluarga istri atau
antara dia dengan istri itu sendiri. Nikah yang seperti ini disebut
nikah mut’ah dan hukumnya haram, sebagaimana ijma’ ulama, dan tidak ada
yang menganggapnya enteng kecuali Rafidhah (Syi’ah). Memang pada awal Islam itu diperbolehkan, namun kemudian dihapus dan diharamkan oleh
Allah hingga hari kiamat, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh
hadits-hadits shahih.
Adapun menikah di suatu negeri yang ia datang ke sana untuk belajar
(studi) atau ia datang ke sana sebagai duta atau karena sebab lainnya
yang membolehkan ia bepergian ke negeri kafir, maka baginya boleh
menikah dengan niat akan menceraikannya apabila ia akan kembali ke
negaranya, sebagaimana dijelaskan di muka, apabila ia butuh nikah karena
khawatir terhadap dirinya (akan perbuatan zina). Akan tetapi
meninggalkan niat seperti itu lebih baik, sebagai sikap hati-hati di
dalam beragama dan supaya keluar dari perbedaan pendapat para ulama, dan
juga sebenarnya niat seperti itu tidak diperlukan. Sebab nikah itu
sendiri tidak merupakan sesuatu yang terlarang dari talak bila memang
ada maslahatnya sekalipun tidak ada niat talak ketika akan menikah.
_______________________________
Fatwa #2:
Jawaban dari Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
Dalam masalah nikah dengan niat untuk mentalak seperti ini, ada dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama, niat itu sejak awal sudah disampaikan
kepada calon istri atau kepada walinya dan mendapatkan persetujuan. Maka
nikah itu namanya nikah mut’ah yang hukumnya haram. Nikahnya sendiri
tidak sah bahkan kalau berkumpul suami istri hukumnya zina.
Kemungkinan kedua, niat itu dipendam di dalam hati tidak
diberitahukan kepada calon istri. Hal itu berarti sejak awal ada niat
untuk menzalimi istri atau menipu keluarganya. Nikahnya itu hanya
pura-pura atau hanya untuk kepentingan sesaat. Nikah dengan jalan menipu
ini pun dilarang dalam agama.
Namun bedanya antara nikah mut’ah di atas dan nikah dengan niat talak
adalah bahwa nikah mut’ah itu haramnya seperti zina. Sedangkan nikah
dengan niat talak itu berdosa, tetapi sesungguhnya nikahnya itu tetap
sah. Yang dilarang adalah niat untuk menceraikannya sejak awal. Kalau
saja ketika sejak mula nikah belum ada niat untuk menceraikan, tentu
saja hukumnya halal.
Bahwa di kemudian hari terjadi sesuatu yang menyebabkan seorang suami
menceraikan istrinya dengan sebab yang bisa diterima syariah, tentu
hukumnya halal. Meski cerai itu tetap saja perkara halal yang paling
dibenci Allah. Tetapi bila belum ada niat untuk menceraikan pada
awalnya, hukumnya boleh.
Sedangkan bila sejak awal menikah sudah ada niat untuk
menceraikannya, berdosalah dia ketika menceraikannya nanti. Namun
pernikahannya itu tetap sah dan hubungan suami istri yang mereka lakukan
juga sah. Dosanya ketika melaksanakan niatnya.
Adapun yang seringkali terjadi dan sudah bukan rahasia umum lagi
adalah adanya para pezina dari negeri Arab yang datang ke negeri kita
mencari pekerja seks profesional.Maka begitu puas berzina dan sudah
merasa membayar kewajiban, mereka pun pulang dengan santainya ke
negerinya di sana, sambil menyangka bahwa apa yang mereka lakukan itu
halal.
Kalau kita punya anak perempuan yang sudah kita didik jadi anak
wanita shalilah, kira-kira relakah kita menikahkannya dengan laki-laki
macam begitu? Sementara kita sangat tahu bahwa dia hanya sementara saja
di negeri ini. Dari visa masuk yang tertera di passport-nya saja kita
bisa tahu bahwa kedatangannya hanya dalam rangka senang-senang dan
wisata seks, bukan dalam rangka menikah secara syar’i.
Informasi ini bukan lagi hal yang perlu ditutup-tutupi, karena
semuanya bebas terjadi di beberapa hotel mesum di Jakarta, serta jalur
Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur).
.
Di Puncak, turis-turis Timur Tengah menemukan surga dunia: pemandangan
hijau, banyak bunga, air mengalir, dan bidadari berseliweran.
Indonesia Menjadi Obyek “Wisata Seks” Terpopuler Bagi Turis
ArabRiyadh, Naif. Ketika Indonesia menjadi obyek dakwah dan ladang
persemaian gerakan-gerakan Islam yang berasal dari negara-negara Arab,
di sisi yang lain Indonesia juga menjadi obyek “wisata seks” yang sangat
populer bagi turis-turis Arab.
Dan lebih naifnya lagi, praktik ini dilegalkan oleh fatwa beberapa ulama Saudi.
Baru-baru ini, Kepala Bidang Pembimbingan Masyarakat (Qism ar-Ra’aya)
Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mendesak Badan Pembesar Ulama
(Hay’ah Kubbar al-Ulama) kerajaan petro dollar tersebut untuk
mengeluarkan fatwa yang menyikapi maraknya fenomena “pernikahan” para
lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia “yang diniatkan adanya talak
(cerai) setelahnya” (nikah bi niyyat at-thalaq).
Khalid al-Arrak, Kepbid Bimas Kedutaan Saudi di Jakarta menyatakan,
pihaknya khawatir jika fenomena yang marak di kalangan lelaki negaranya
itu kian hari kian merebak dan tak dapat dikontrol.
Harian Saudi Arabia al-Wathan (16/4) melansir, fenomena “nikah dengan
niat talak di belakangnya” yang dilakukan oleh para lelaki Saudi dengan
perempuan Indonesia itu sangat populer.
Al-Arrak menyatakan, para lelaki Saudi yang melakukan praktik ini
tidak lagi memperhatikan undang-undang yang berlaku terkait pernikahan,
karena mereka justru menyandarkan perbuatan mereka terhadap salah satu
fatwa ulama yang melegalkannya. “Mereka melakukan pernikahan ini dengan
bersandar pada fatwa ulama yang membolehkan nikah dengan niat bercerai
(nikah bi niyyat at-thalaq),” ungkap al-Arrak.
Sayangnya, dari pihak perempuan Indonesia sendiri menjadikan praktik
ini sebagai ladang pekerjaan. Lagi-lagi kemiskinan dan susahnya hidup
yang melilit mereka adalah dendang usang kaset lawas yang dijadikan
dalih. “Perempuan Indonesia beranggapan jika menikah dengan lelaki
Saudi, sekalipun kelak akan diceraikan, dipandang sebagai solusi sesaat
untuk mendulang uang dan jalan pintas untuk dapat keluar dari jerat
kemiskinan,” tambah al-Arrak.
Kedutaan Saudi di Jakarta sendiri telah mencatat setiaknya 82
pengaduan pada tahun lalu, ditambah 18 pengaduan tahun ini yang diajukan
oleh para “mantan istri” perkawinan ini, yang ternyata menghasilkan
anak.
Meski tidak tercatat secara resmi di Kedutaan, namun pihaknya siap
untuk memfasilitasi anak-anak yang diadukan itu untuk dapat pergi ke
Saudi, negara bapak mereka berasal, dengan memberikan tiket dan visa
masuk gratis.
Tetapi, dalam banyak kasus, para bapak mereka (pria Saudi) tidak akan
mengakui kalau anak-anak tersebut adalah darah daging mereka, karena
tidak adanya bukti-bukti legal dan lengkap dari pihak keluarga perempuan
di Indonesia.
Salah seorang korban dari paktik ini, Isah Nur (24), mengaku pernah
dinikahi pria Saudi saat ia berusia 16 tahun. Sekarang ia telah
menjanda, dan meneruskan profesi lamanya sebagai “istri yang dinikahi
sesaat untuk kemudian diceraikan” dengan menjalani kehidupan malam.
Lebih naif lagi, Isah mengaku senang saat dulu dinikahi pria Saudi
tersebut, karena orang-orang Saudi dipercaya memiliki dan membawa
berkah. “Umat Islam di Indonesia menganggap orang Mekkah dan Madinah
memiliki dan membawa berkah,” katanya.
pria Saudi itu hanya akan menikmati tubuhnya saja, “Saat meninggalkan kami, pria itu hanya memberikan uang Rp. 3 juta,” tutur Isah.
Praktik “pernikahan dengan niat bercerai sesudahnya” ini benar-benar
naif, dan lebih naif lagi dilegalkan oleh fatwa ulama. Indonesia adalah
tempat terpopuler untuk obyek praktik ini bagi orang-orang Arab, karena
dipandang paling murah dan paling mudah. Praktik demikian sejatinya tak
jauh beda dengan prostisusi, prostitusi yang kemudian terlegalkan oleh
fatwa ulama. dan salah satu lokasi wisata favorit bagi turis-turis Arab
untuk melegalkan praktik tersebut adalah kawasan puncak dan sekitarnya.
Bunyi musik terdengar dari sebuah vila: bising, sejenis musik keras
dengan irama dan lirik padang pasir. Sebuah jendela yang gordennya
terbuka mengungkapkan suasana ruang tamu vila yang bising itu. Di bawah
lampu nan terang, seorang perempuan berdiri di hadapan seorang pria
sambil meliuk-liukkan badannya seirama nada. Kedua tangannya terentang
ke atas, pinggulnya diputar-putar. Memang, tak sedahsyat goyang Inul,
penyanyi dangdut yang ngetop akhir-akhir ini.
Pemandangan seperti itu sangat akrab dijumpai di Kampung Sampay saat
musim Arab tiba, begitu orang-orang di sekitar puncak menyebutnya. Musim
Arab adalah masa dimana turis-turis dari Timur Tengah menghabiskan
waktu libur setelah musim haji.Kawasan puncak merupakan salah satu
tempat favorit. Menikmati hawa sejuk dan menyewa vila-vila adalah salah
satu kepuasan yang mereka cari.
Padahal, sang makelar kadang hanya menyuguhkan wanita jalanan. Tak
hanya dari Cisarua, perempuan-perempuan pemburu rial juga datang dari
Cianjur, Sukabumi, dan berbagai daerah lainnya
Tapi ada yang lebih memicu aliran darah dari sekotak pemandangan
lewat jendela itu: setidaknya, tubuh bagian atas penari itu tak ditutup
apa pun. Sebelum segalanya jelas, rupanya penghuni vila menyadari gorden
yang terbuka. Tiba-tiba jendela itu pun ditutup.
Di pertengahan Februari lalu itu, mereka meliput kawasan tersebut,
desa yang dikabarkan pada bulan tertentu menjadi Kampung Arab dengan
segala gaya berlibur turis Timur Tengah.
Kampung Arab? Nama asli kampung itu sendiri yakni Kampung Sampay,
satu dari tiga kampung di Desa Tugu Selatan, satu kilometer di atas
Taman Safari, Cisarua, Bogor. Dari Jakarta, jarak menuju kampung ini
sekitar 84 kilometer.
Tapi, kalau Anda bertanya kepada penduduk sekitar tentang Kampung Arab,
mereka tampak terbengong-bengong. Satu atau dua orang yang tiba-tiba
memahami arah pertanyaan akan menjawab:, maksudnya Warung Kaleng?
Benar, lebih dari Kampung Sampay, lebih dari Kampung Arab, nama
Warung Kaleng dikenal bukan saja oleh warga setempat, tapi juga sopir
taksi di Bandara Soekarno-Hatta. Masuklah ke sembarang taksi, lalu sebut
Warung Kaleng; dijamin Anda akan sampai ke Desa Sampay, Kelurahan Tugu
Selatan, Kecamatan Cisarua, Bogor.
Warung Kaleng sebenarnya adalah sepotong Jalan Jakarta-Puncak di
kilometer 84, tak lebih dari 50 meter panjangnya. Di kanan-kiri jalan,
berjajar 30-an warung. Ini yang unik, papan-papan nama warung itu bukan
hanya berhuruf latin dengan kata-kata bahasa Indonesia, tapi juga
(bahkan ada yang hanya) papan nama berhuruf Arab, dari wartel sampai
toko roti, dari toko kelontong sampai rumah makan. Dan yang juga khas
dibandingkan kampung lain, di sini banyak terlihat warga bertampang
Timur Tengah.
BIDADARI-BIDADARI.
Nama Warung Kaleng sudah menjadi nama alternatif bagi Kampung Sampay
sejak zaman kolonial Belanda. Dulu, kawasan itu secara administratif
adalah tanah partikelir, yang kemudian dijadikan basis perdagangan oleh
pedagang pendatang dari Cina. Lambat laun, para pedagang itu
berasimilasi dengan penduduk setempat, lantas masuklah Islam.
Kata penduduk setempat, riwayat nama Warung Kaleng bermula dari
warung-warung yang didirikan oleh para pedagang Cina itu: hampir semua
warung beratap seng atau kaleng. Jadilah sepetak lahan itu kemudian di
sebut Warung Kaleng.
Nama itu tetap melekat meski suasana Cina praktis tak tercium lagi dan
atap seng tak lagi terlihat. Kini, warung-warung itu bertembok dan sudah
beratap genteng. Suasananya pun berganti ke-Arab-Araban. Belakangan,
muncul sebutan baru itu: Kampung Arab—bukan hanya untuk sepetak Warung
Kaleng, tapi juga untuk seluruh Kampung Sampay.
Jadi, melihat lokasinya, bolehlah dibilang Warung Kaleng merupakan
gerbang Kampung Arab. Di kawasan warung itulah pusat lalu lintas turis
Arab (kebanyakan dari Arab Saudi, Bah-rain, Kuwait, dan Qatar). Soalnya,
sejauh ini, hanya di warung-warung itu tersedia segala kebutuhan turis
Arab yang khas: mulai dari minuman (vodka yang didatangkan dari
Jakarta), tembakau dan bumbunya (yang langsung diimpor dari Timur
Tengah) untuk merokok gaya Arab, sampai roti arab (buatan lokal).
Alkisah, di awal 1990-an, ketika Irak diserbu Amerika dan sekutunya,
banyak turis Timur Tengah datang ke Kampung Sampay. Mereka menginap di
vila-vila selama kira-kira satu minggu hingga satu bulan. Di tahun-tahun
sebelumnya, turis Arab juga sudah datang ke Kampung Sampay, namun tak
banyak.
Dikenalnya Kampung Sampay oleh turis Arab tentunya dimakcomblangi
biro-biro pariwisata, terutama biro yang berkantor di sepanjang Jalan
Raden Saleh, Jakarta Pusat. Di kawasan ini, para turis itu boleh merasa
setengah di rumah sendiri, setidaknya dalam hal makan, karena di jalan
ini ada dua rumah makan khas Timur Tengah.
Tapi kenapa Kampung Sampay? Konon, turis-turis dari padang pasir itu
merindukan suasana yang berbeda dengan negeri mereka yang panas dan
berpantai. Mereka mengidamkan berlibur di kawasan pegunungan yang sejuk
dan hijau. Lalu, dibawalah mereka ke kawasan Puncak, dari Cisarua sampai
Cipanas. Bila kemudian Warung Kaleng menjadi terpopuler di antara turis
Arab, ada ceritanya.
Menurut Syaiful Idries, Kepala Urusan Administrasi Desa Tugu Selatan,
gambaran orang Arab tentang surga dunia itu adalah jabal ahdor atau
gunung hijau. Di Kampung Sampay, kata Syaiful, mereka menemukan jabal
ahdor itu. Di Puncak ini kan banyak bunga, air mengalir, lingkungannya
hijau dan indah, tuturnya.
Tapi kalau hanya gunung hijau, bukan hanya Kampung Sampay yang punya.
Kampung ini menjadi istimewa buat turis Arab karena banyak bidadari
dan secara sosial lingkungan di sini longgar, warganya tak begitu
peduli dengan urusan orang lain. Jadi (Syaiful melanjutkan ceritanya
sambil tertawa), bagi orang Arab, Warung Kaleng bukan hanya jabal ahdor,
tapi juga jabal al jannah, gunung surga. ˜Bidadari-bidadari itu
didatangkan dari desa lain yang cukup jauh, paparnya.
MERACUNI ANAK-ANAK.
Singkat cerita, kerasanlah turis-turis itu berlibur di jabal al jannah.
Bahkan, secara sosial keagamaan, suasana di sini pun okey: ada suara
azan berkumandang saat menjelang salat wajib. Di Kampung Sampay, ada
tiga pondok pesantren, dan ada pula satu pesantren baru yang sedang
dibangun.
Warga setempat pun menyambut para turis Arab dengan terbuka. Apa
boleh buat, secara nyata, mereka memang mendatangkan fulus. Penginapan
terisi, makanan terjual, sumbangan pun mengalir. Lihatlah Haji Samsudin,
65 tahun, yang sedang memimpin pendirian sebuah pondok pesantren baru
di Kampung Sampay ini, namanya Pondok Sikoyatun Najah.
Menurut Wak haji ini, sebagian biaya calon pesantrennya diperoleh dari
sumbangan turis Arab. Di sebuah lorong di belakang Warung Kaleng,
terpasang spanduk dalam tulisan dan bahasa Arab, yang artinya kurang
lebih begini: Kami sedang membangun gedung untuk pondok pesantren di
sini, mohon sumbangannya.
Dengan bahasa dan huruf Arab, jelaslah sasaran
spanduk itu. Lantas, Nanang Supriatna, salah seorang Ketua RT di
Kampung Sampay, mengatakan: Enggak ada Arab, enggak hidup ekonomi
orang-orang sini.
Nanang yang sehari-hari berjualan kambing, pada Idul Adha yang lalu
berhasil menjual 11 kambing. Kalau enggak ada Arab, kambing saya
paling-paling laku dua ekor, tuturnya kepada TRUST. Dan ternyata bukan
hanya 11. Begitu ia selesai bertransaksi untuk kambing yang ke-11 dengan
Samid (mahasiswa Arab Saudi yang menginap di Vila Barita), datang
pesanan dua kambing lagi dari turis Arab yang menginap di Aldita, vila
pertama di daerah itu.
Tapi tak seluruh penduduk mengangguk-angguk dan mengucapkan ahlan
wasahlan kepada tamu-tamu Timur Tengah itu. Haji Ichwan Kurtubi, 55
tahun, seorang tokoh masyarakat Kampung Sampay, merasa tak enak melihat
perilaku para turis itu. Para ulama, katanya, pasti tidak setuju warga
di sini memfasilitasi para turis itu ber-dugem ria alias berdunia
gemerlapan. Mereka itu enggak bener. Masa sih ada Arab zina.
VODKA DI TANGAN KANAN.
Tapi, anak-anak muda yang dijaga oleh Haji Ichwan itu sendiri tak
peduli. Mereka dengan senang mengadakan ini dan itu untuk para turis.
Dan dengan begitu ”mulai sebagai pemandu wisata, mencarikan kambing
korban, mengantar si turis dengan ojek, mencarikan vila, sampai menjadi
preman penjaga keamanan—mereka mendapatkan penghasilan. Kata Haji
Ichwan: Ulama di sini sudah kalah sama anak-anak muda itu
Sedangkan Zaki al-Habsy, pengelola gerai penukaran uang di Warung
Kaleng, mencoba bersikap realistis. Yang tidak suka dengan turis-turis
Arab itu hanya orang-orang yang tidak berbisnis melayani mereka, kata
Zaki yang juga agen perjalanan itu.
Sebenarnya, di balik ketenangan hijaunya bukit dan pepohonan Kampung
Sampay, ada keresahan yang tersembunyi. Perilaku dan gaya berlibur
lelaki-lelaki dari padang pasir itu yang eksklusif dan tertutup bagi
siapa saja, kecuali terhadap orang-orang yang mereka butuhkan selain
melahirkan kecemburuan, juga menimbulkan ketersinggungan.
Benar, wanita-wanita yang mereka datangkan bukan warga Tugu Selatan.
Yang terlihat dari jendela itu, misalnya yang diminta menari striptease
atau tari perut, konon, adalah perempuan dari Cianjur, 20-an kilometer
dari Tugu. Tapi, menurut Haji Ichwan, suasana seperti itu di depan mata
mereka adalah racun buat generasi muda. Apalagi, setidaknya, ada dua
turis Arab meninggal di salah satu vila di Kampung Sampay selagi
berpesta pora. â€Orang Arab kan sudah terkenal dengan pemeo: vodka di
tangan kanan dan cewek di tangan kiri, kata Abubakar Sjarief, Kepala
Desa Tugu Selatan.
Dan sebenarnya, Abubakar melanjutkan, yang mendapat rezeki dari turis
Arab hanya beberapa orang saja. Pokoknya, rezeki (dari para turis) itu
tidak berimbang dengan mudaratnya. Secara umum, ke depan, kami
dirugikan, ungkapnya.
Memang, di luar tukang ojek, penjaga malam, tukang masak di vila, dan
preman penjaga keamanan kampung, semua lahan usaha yang berhubungan
dengan Arab dijalankan oleh pendatang. Kendati warga setempat bisa
berbahasa arab, mereka tidak bisa menjadi pemandu wisata. Soalnya, untuk
menjadi guide, mereka harus terdaftar di Ikatan Guide Puncak yang
pengurusnya adalah pendatang.
Itulah, dari pemandu wisata, penerjemah, pengelola trans-portasi, sampai
pengelola penyewaan mobil, hampir semuanya orang Jawa Tengah—terutama
dari Solo dan sekitarnya dan dari Jakarta. Juga toko-toko yang berderet
di Warung Kaleng, sebagian besar dimiliki pendatang
.
Namun, soal rezeki ini tak pernah muncul ke permukaan sebagai konflik
sosial. Konflik yang pernah terjadi adalah konflik moral. Tahun lalu,
sejumlah santri mulai dari Ciawi hingga Cisarua menyerbu diskotek dan
tempat mesum lain di kawasan Tugu Selatan. Gebrakan itu sampai sekarang
masih terasa. Menurut Abubakar, sejak saat itu, wisata berbau seks di
wilayah tersebut agak mereda. Turis Arab memang masih datang, tapi musik
bising dari vila-vila jauh berkurang.
Menurut seorang pemandu wisata di situ, untuk sementara mereka membawa turis Arab ber-dugem ke tempat lain: Cipanas, bahkan
sampai ke Selabintana. Tapi, bisa jadi, wanita yang menari-nari di
tempat menginap sama saja dengan perempuan yang terlihat dari jendela
itu. Soalnya, nomor telepon genggam mereka sudah ada di tangan para
calo. Jadi, kapan saja, per-empuan itu bisa dihubungi, baik secara
langsung maupun dengan SMS.
Menjelang “Kumbang” Datang Kawasan Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak, Cisarua, mulai
menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya. Sejumlah tempat peristirahatan
berupa vila dan bungalo yang mudah ditemui ditemui disitu sudah mulai
dipesan.
Hingga pekan ketiga April, peningkatan pemesanan untuk pemakaian awal
bulan depan diperkirakan mencapai 50%. Padahal musim yang ditunggu itu
baru akan dimulai pada Juni hingga Agustus mendatang.
Pada Juni hingga Agustus, kawasan Puncak yang kerap dijadikan tempat wisata itu berubah menjadi kawasan yang dipenuhi pria Arab.
Sungguh malang nasib Puncak, sekarang tidak lebih adalah merupakan lokalisasi pelacuran pria-pria Arab hidung belang. Rasakan saja pria-pria Arab hidung belang itu, untuk berzina saja harus pergi ke luar negeri karena tidak bisa di negaranya sendiri. Sungguh malang nasib negara kita ini, sebagian mucikari dan germo-germo di Puncak yang merasakan senang karena mendapatkan lapangan pekerjaan menyediakan jasa esek-esek di Puncak bagi laki-laki Arab hidung belang.
Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini mau saja dijadikan lokalisasi pelacuran oleh laki-laki Arab hidung belang. Demikian pun para germo dan para penari striptease serta pelacur itu sangat berbahagia. Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini yang senang sekali menyediakan jasa esek-esek bagi lelaki Arab hidung belang.
Saya jadi teringat ketika masih mahasiswa, saya memarkir mobil saya disebuah rumah makan di puncak.
Tiba-tiba, datang seorang menawarkan villa kepada kami (saya bersama teman), bahkan dengan tersenyum dia menambahkan: “ada isinya mas!”. Sekarang baru saya sadari bahwa kawasan Puncak telah berubah menjadi kawasan maksiat lokalisasi bertaraf Internasional bagi laki-laki hidung belang Arab. Saya membayangkan, bagaimana iklan syurga Puncak itu beredar di kalangan laki-laki Arab hidung belang di Timur Tengah sana. “Puncak, puncak, syurga, syurga!”
Daripada kita menuding laki-laki Arab yang hidung belang itu, lebih baik kita bersedih atas mental melacur dan menggermo bangsa kita di Puncak sana.
Ada Musim Arab di Warung Kaleng Nama Cisarua mungkin tak asing lagi. Kawasan wisata sejuk di Puncak,
Kabupaten Bogor, itu kini semakin mencuat menyusul penggerebekan oleh
polisi, Selasa (1/8) dini hari. Polisi menangkap para pelaku kawin
kontrak yang melibatkan perempuan lokal dan WN Arab di kawasan tersebut.
Kecamatan Cisarua dipenuhi tempat hiburan dan penginapan. Ada yang
berbentuk penginapan biasa, vila, atau hotel. Cisarua berada di
ketinggian 650-1.100 meter di atas permukaan laut, memiliki suhu udara
rata-rata 20,5 derajat Celsius, dengan curah hujan 112-161 milimeter
persegi setiap tahunnya.
Cisarua terdiri dari sembilan desa dan satu kelurahan dengan total
luas wilayah 6.373,62 hektar. Sembilan desa itu adalah Tugu Selatan
(luas 1.712,61 hektar), Tugu Utara (1.703 hektar), Batulayang (226
hektar), Cibeureum (1.128,62 hektar), Citeko (461 hektar), Kopo (453,21
hektar), Leuwimalang (135,18 hektar), Jogjogan (154 hektar), dan
Cilember (200 hektar). Satu kelurahan adalah Cisarua dengan luas 200
hektar. Di wilayah tersebut tercatat ada 1.577 vila, 42 hotel, 182
restoran dan 37 warung telekomunikasi. Fasilitas-fasilitas itu tersebar
di seluruh desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Cisarua.
Namun, ada dua desa yang menjadi primadona wisatawan, terutama turis
dari Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya, yakni Tugu Utara dan
Tugu Selatan. Tak mengherankan jika di jalanan di dua desa tersebut
bertebaran tulisan dalam huruf Arab di sana-sini. Nama-nama atau plang
papan nama usaha di sana kebanyakan ditulis dalam huruf Arab dan
dipasang di kaca atau pintu. Warga di dua desa tersebut, mulai dari
anak-anak hingga orang dewasa, juga sangat fasih berbahasa Arab. Mungkin
dua desa itu bisa disebut Little Town Arabian.
Suasana Arab dangat kental terasa di Tugu Selatan. Desa itu terletak
sekitar 84,2 kilometer dari Jakarta, 42 kilometer dari Kantor Bupati
Bogor di Cibinong, dan 90,3 kilometer dari Bandung. Jumlah penduduk
15.380 jiwa dari 3695 kepala keluarga. Di wilayah kami ada 44 RT, 17 RW,
dan 7 dusun. Di Tugu Selatan sekarang ada 5 hotel, 2 tempat rekreasi,
344 vila, dan 4 restoran,” kata Sekretaris Desa Tugu Selatan, Baini,
ketika ditemui Warta Kota di kantornya.
Di Desa Tugu Selatan ada kampung yang namanya sangat populer di
Jazirah Arab. Kampung tersebut bernama Sampay atau lebih terkenal dengan
sebutan Warung Kaleng. Sekarang, jalan utama kampung itu diberi nama
Jalan Sindang Subur. Toh, nama itu tetap kalah populer dibanding Warung
Kaleng. Meskipun di sini sudah diberi nama Jalan Sindang Subur, tetapi
orang-orang lebih mengenal dengan sebutan Warung Kaleng. Itu sudah
terkenal sejak zaman revolusi,” kata Ketua RT 14, H Syukur.
Menurutnya, nama Warung Kaleng punya cerita tersendiri. Dahulu,
beberapa rumah di sana dimiliki oleh orang Cina yang sudah masuk Islam,
yaitu Abdul Fadli, Abdul Salim dan Nur Salim. Mereka adalah pedagang
kelontong yang warungnya berada di jalan raya, atau terletak di ujung
jalan masuk ke Kampung Sampay.
Para pedagang itu membuat atap rumahnya dari kaleng bekas minyak
goreng atau kaleng ble. Mereka menggunting kaleng tersebut dan
memanteknya dengan paku hingga menjadi atap pengganti genteng atau
asbes. Konon pada zaman revolusi, warung mereka sangat terkenal.
Orang-orang yang datang ke warung-warung tersebut selalu menyebutnya
dengan sebutan Warung Kaleng. Nama tersebut terus menempel hingga
sekarang.
Pada zaman kemerdekaan, semakin banyak turis yang datang ke kampung
tersebut. Kebanyakan berasal dari Arab Saudi atau negara Timur Tengah
lainnya. Mereka suka datang ke kampung tersebut karena udaranya sejuk
dan bersih, jauh berbeda dengan udara di negaranya. Tak ayal, bisnis
penginapan pun tumbuh pesat. Kini di Kampung Sampay berdiri 10 vila dan
satu hotel.
Seringnya turis Arab datang ke kampung itu membuat di sana ada
istilah Musim Arab. Musim itu terjadi pada bulan Juni hingga Agustus.
Pada bulan-bulan tersebut, para pekerja di Arab Saudi libur, sehingga
banyak yang berlibur ke Indonesia dan melepas penat di Warung Kaleng.
Repotnya, hal itu juga disusul dengan munculnya praktik zina antara para
turis Arab dengan perempuan-perempuan lokal.
Para suami di Puncak rela istri kawin kontrak dengan orang Arab.
Bogor- Kawin kontrak marak terjadi di kawasan Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Mayoritas pelaku kawin kontrak adalah warga negara asing.
Namun
parahnya, kebanyakan perempuan yang rela dinikahi secara kontrak itu
telah bersuami. Sebelum dinikahi, pelaku harus terlebih dulu meminta
izin kepada suami dari perempuan itu.
“Di
sini laki-laki Arab kalau mau nikahin wanita itu harus izin suaminya
dulu. Kalau suami oke nanti tanda tangan kontrak pakai materai. Kalau
enggak setuju ya enggak bisa,” kata Rudi, warga setempat, kepada
merdeka.com, di Desa Batu Layang, Cianjur, Jawa Barat, Senin (19/2).
Namun
Rudi menyanggah jika kawin kontrak ini dilakukan oleh warga Cisarua.
Dia mengatakan kebanyakan tetangganya hanya menampung para tenaga kawin
kontrak.
“Kebanyakan dari Cirebon, Cianjur. Mereka ditampung di vila-vila di sini,” kata Rudi.
Rudi
mengungkapkan tidak semua warga Arab yang datang dan kawin kontrak
menelantarkan anaknya. “Kebanyakan mereka kawin selama tiga bulan. Nanti
pergi kalau punya anak ya sudah, tapi ada juga yang enggak nelantarin
anaknya,” tutup dia.
Setidaknya ada
20 RT di sejumlah desa di Cisarua yang memiliki klien WNA kawin kontrak.
Kebanyakan warga asing yang melakukan kawin kontrak di kawasan ini
berasal dari Afghanistan dan Pakistan. Tarif yang ditawarkan mereka bisa
sampai puluhan juta perbulan-nya untuk kawin kontrak.
Uang, wanita dan udara dingin Puncak. Tiga hal yang membuat bisnis birahi ini tak pernah mati.
Ketua P2TP2A Jabar Netty Prasetiyani Heryawan mengingatkan akan pentingnya sebuah perkawaninan tercatat secara hukum.
Pemerintah dinilai belum serius menggarap potensi pariwisata Indonesia.
Faktor tak dapat persetujuan istri pertama untuk berpoligami dan halangan keluarga jadi sebab mereka kawin di Thailand.
Pria-pria yang mayoritas berasal dari Afghanistan dan Pakistan ini mengisi vila-vila di Cisarua.
Sebelum dinikahi, pelaku harus terlebih dulu meminta izin kepada suami dari perempuan itu.
Daerah ini dikenal sebagai pusat kawin kontrak antara wanita setempat dengan orang-orang Arab yang berpelesir.
"Permasalahannya mereka itu (pelaku kawin kontrak) melakukannya secara sadar," kata Rikwanto.
"Dulu aku dapat Rp 50 juta waktu pertama kali kawin kontrak. Ada yang 80 juta," kata Sarah, pelaku kawin kontrak.
Kebanyakan wanita yang ikut dalam bisnis kawin kontrak ini mengharapkan uang. Tak berbeda dengan PSK.
Fakta nyata :::
.
sunni menolak nikah mut’ah…
salafi wahabi menolak nikah mut’ah..
.
Turis Saudi Ada Yang Nikah dengan Niat Talak, Jadi Bukan Nikah Mut’ah !!!
Adalah keanehan yang nyata bahwa Poligami dan Pernikahan Dini
ditentang habis, tetapi disisi lain penyimpangan-penyimpangan seperti
Perkawinan sesama jenis, Lokalisasi, dan lain-lainnya tidak mendapatkan
serangan/penentangan yang berarti.
Sebagai penambah wawasan (dalam artian ‘positif’), dibagian Lanjutan saya kutipkan beberapa artikel dan fatwa mengenai :
1. Nikah dengan Niat Talak
2. Kawin Kontrak
Beberapa istilah yang hampir serupa adalah :
3. Nikah Mut’ah (dibolehkan oleh kalangan Syi’ah)
4. Nikah Misywar (dibolehkan oleh beberapa Ulama Sunni).
Fatwa #1 :
Majmu’ Fatawa wa Maqulat Islamiyah
jilid 5, hal. 41-43.
oleh Syaikh bin Baz
Menikah di luar negeri itu mengandung bahaya besar dan sangat
berbahaya, maka tidak boleh pergi ke luar negeri kecuali dengan
syarat-syarat yang penting. Sebab pergi ke luar negeri itu dapat
menyebabkan kekafiran kepada Allah dan dapat menjerumuskan kepada
kemaksiatan, seperti minum minuman keras (khamar), melakukan zina dan
tindak keja-hatan lainnya. Maka dari itulah para ulama menegaskan
haramnya bepergian ke negara-negara kafir, sebagai pengamalan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
“Aku tidak bertanggung jawab atas setiap Muslim yang bermukim (tinggal) di tengah-tengah masyarakat musyrikin.”
Bermukim di tengah-tengah masyarakat kafir itu sangat berbahaya
sekali, apakah itu untuk keperluan tourism, studi, perniagaan maupun
lainnya. Maka mereka yang musafir dari kalangan pelajar SLTA atau SLTP
atau untuk studi di perguruan tinggi menghadapi bahaya yang sangat
besar. Maka kewajiban negara adalah memberikan jaminan dapat belajar di
dalam negeri, dan tidak mengizinkan mereka pergi ke luar negeri karena
banyak mengandung resiko dan bahaya yang sangat besar bagi mereka.
Banyak sekali keburukan yang lahir dari situ, seperti riddah
(murtad), meremehkan maksiat zina dan minuman keras, dan yang lebih dari
itu adalah meninggalkan shalat, sebagaimana telah menjadi maklum bagi
siapa saja yang memperhatikan kondisi orang-orang yang suka bepergian ke
luar negeri, kecuali mereka yang dibelaskasihi Allah, dan itu pun
sangat sedikit sekali. Maka wajib mencegah mereka dari hal-hal tersebut
dan hendaknya tidak diperbolehkan ke luar negeri kecuali orang-orang
tertentu saja dari kalangan orang-orang yang dikenal komit dalam
beragama, beriman dan mempunyai ilmu bila untuk kepentingan dakwah atau
mendalami spesialisasi suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh
negara Islam.
Dan Hendaknya bagi musafir yang dikenal mempunyai ilmu, keunggulan
dan iman, wajib tetap istiqamah agar dapat berdakwah kepada Allah atas
dasar bashirah dan mempelajari sebagaimana mestinya apa yang dibebankan
kepadanya. Ada pengecualian lain, yaitu terpaksa harus mempelajari
disiplin ilmu tertentu di mana tidak ada orang yang mempelajarinya dan
tidak mudah untuk mendatangkan tenaga pengajar ke dalam negeri. Maka
orang yang diutus untuk belajar itu adalah orang yang dikenal konsisten
dalam beragama, mempunyai bekal iman yang cukup dan mempunyai keunggulan, sebagaimana kami sebut di atas.
Adapun tentang menikah dengan niat talak (cerai) terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang
mengha-ramkannya, seperti Imam Al-Auza’i Rahimahullaah dan sederet ulama
lainnya. Mereka mengatakan bahwa nikah dengan niat talak itu serupa
dengan nikah mut’ah. Maka hendaknya seseorang tidak melakukan pernikahan
dengan niat akan menceraikannya dikemudian hari. Demikian pendapat mereka.
Mayoritas Ahlul ‘ilm (ulama), sebagaimana dicatat oleh Al-Muwaffaq
Ibnu Qudamah Rahimahullaah di dalam karya besarnya “al-Mughni”
membolehkannya jika niatnya (hanya diketahui) dia dan Allah saja dan
tanpa syarat. Maka jika seseorang melakukan perjalanan jauh untuk studi
atau pekerjaan lainnya, sedangkan ia mengkhawatirkan dirinya (akan
terjerumus ke dalam zina. pen), maka boleh menikah sekalipun dengan niat
akan menceraikannya apabila tugasnya selesai. Pendapat ini yang lebih
kuat apabila niatnya hanya antara dia dengan Allah saja tanpa suatu
syarat dan tidak
diberitahukan kepada istri atau walinya; dan yang tahu hanya Allah saja.
Jumhur (mayoritas) ulama membolehkan hal tersebut, sebagaimana
dijelaskan dan itu sama sekali tidak termasuk mut’ah, karena niatnya
hanya diketahui dia dan Allah saja dan nikah tersebut dilakukan tanpa
syarat.
Sedangkan nikah mut’ah ada keterikatan dengan syarat, seperti hanya
untuk satu bulan, dua bulan, setahuan atau dua tahun saja, yang
disepakati antara laki-laki yang menikah dengan keluarga istri atau
antara dia dengan istri itu sendiri. Nikah yang seperti ini disebut
nikah mut’ah dan hukumnya haram, sebagaimana ijma’ ulama, dan tidak ada
yang menganggapnya enteng kecuali Rafidhah (Syi’ah). Memang pada awal
Islam itu diperbolehkan, namun kemudian dihapus dan diharamkan oleh
Allah hingga hari kiamat, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh
hadits-hadits shahih.
Adapun menikah di suatu negeri yang ia datang ke sana untuk belajar
(studi) atau ia datang ke sana sebagai duta atau karena sebab lainnya
yang membolehkan ia bepergian ke negeri kafir, maka baginya boleh
menikah dengan niat akan menceraikannya apabila ia akan kembali ke
negaranya, sebagaimana dijelaskan di muka, apabila ia butuh nikah karena
khawatir terhadap dirinya (akan perbuatan zina). Akan tetapi
meninggalkan niat seperti itu lebih baik, sebagai sikap hati-hati di
dalam beragama dan supaya keluar dari perbedaan pendapat para ulama, dan
juga sebenarnya niat seperti itu tidak diperlukan. Sebab nikah itu
sendiri tidak merupakan sesuatu yang terlarang dari talak bila memang
ada maslahatnya sekalipun tidak ada niat talak ketika akan menikah.
_______________________________
Fatwa #2 :
Jawaban dari Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
Dalam masalah nikah dengan niat untuk mentalak seperti ini, ada dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama, niat itu sejak awal sudah disampaikan
kepada calon istri atau kepada walinya dan mendapatkan persetujuan. Maka
nikah itu namanya nikah mut’ah yang hukumnya haram. Nikahnya sendiri
tidak sah bahkan kalau berkumpul suami istri hukumnya zina.
Kemungkinan kedua, niat itu dipendam di dalam hati tidak
diberitahukan kepada calon istri. Hal itu berarti sejak awal ada niat
untuk menzalimi istri atau menipu keluarganya. Nikahnya itu hanya
pura-pura atau hanya untuk kepentingan sesaat. Nikah dengan jalan menipu
ini pun dilarang dalam agama.
Namun bedanya antara nikah mut’ah di atas dan nikah dengan niat talak
adalah bahwa nikah mut’ah itu haramnya seperti zina. Sedangkan nikah
dengan niat talak itu berdosa, tetapi sesungguhnya nikahnya itu tetap
sah. Yang dilarang adalah niat untuk menceraikannya sejak awal. Kalau
saja ketika sejak mula nikah belum ada niat untuk menceraikan, tentu
saja hukumnya halal.
Bahwa di kemudian hari terjadi sesuatu yang menyebabkan seorang suami
menceraikan istrinya dengan sebab yang bisa diterima syariah, tentu
hukumnya halal. Meski cerai itu tetap saja perkara halal yang paling
dibenci Allah. Tetapi bila belum ada niat untuk menceraikan pada
awalnya, hukumnya boleh.
Sedangkan bila sejak awal menikah sudah ada niat untuk
menceraikannya, berdosalah dia ketika menceraikannya nanti. Namun
pernikahannya itu tetap sah dan hubungan suami istri yang mereka lakukan
juga sah. Dosanya ketika melaksanakan niatnya.
Adapun yang seringkali terjadi dan sudah bukan rahasia umum lagi
adalah adanya para pezina dari negeri Arab yang datang ke negeri kita
mencari pekerja seks profesional.Maka begitu puas berzina dan sudah
merasa membayar kewajiban, mereka pun pulang dengan santainya ke
negerinya di sana, sambil menyangka bahwa apa yang mereka lakukan itu
halal.
Kalau kita punya anak perempuan yang sudah kita didik jadi anak
wanita shalilah, kira-kira relakah kita menikahkannya dengan laki-laki
macam begitu? Sementara kita sangat tahu bahwa dia hanya sementara saja
di negeri ini. Dari visa masuk yang tertera di passport-nya saja kita
bisa tahu bahwa kedatangannya hanya dalam rangka senang-senang dan
wisata seks, bukan dalam rangka menikah secara syar’i.
Informasi ini bukan lagi hal yang perlu ditutup-tutupi, karena
semuanya bebas terjadi di beberapa hotel mesum di Jakarta, serta jalur
Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur).
Di Puncak, turis-turis Timur Tengah menemukan surga dunia: pemandangan
hijau, banyak bunga, air mengalir, dan bidadari berseliweran.
Indonesia Menjadi Obyek “Wisata Seks” Terpopuler Bagi Turis
ArabRiyadh, Naif. Ketika Indonesia menjadi obyek dakwah dan ladang
persemaian gerakan-gerakan Islam yang berasal dari negara-negara Arab,
di sisi yang lain Indonesia juga menjadi obyek “wisata seks” yang sangat
populer bagi turis-turis Arab.
Dan lebih naifnya lagi, praktik ini dilegalkan oleh fatwa beberapa ulama Saudi.
Baru-baru ini, Kepala Bidang Pembimbingan Masyarakat (Qism ar-Ra’aya)
Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mendesak Badan Pembesar Ulama
(Hay’ah Kubbar al-Ulama) kerajaan petro dollar tersebut untuk
mengeluarkan fatwa yang menyikapi maraknya fenomena “pernikahan” para
lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia “yang diniatkan adanya talak
(cerai) setelahnya” (nikah bi niyyat at-thalaq).
Khalid al-Arrak, Kepbid Bimas Kedutaan Saudi di Jakarta menyatakan,
pihaknya khawatir jika fenomena yang marak di kalangan lelaki negaranya
itu kian hari kian merebak dan tak dapat dikontrol.
Harian Saudi Arabia al-Wathan (16/4) melansir, fenomena “nikah dengan
niat talak di belakangnya” yang dilakukan oleh para lelaki Saudi dengan
perempuan Indonesia itu sangat populer.
Al-Arrak menyatakan, para lelaki Saudi yang melakukan praktik ini
tidak lagi memperhatikan undang-undang yang berlaku terkait pernikahan,
karena mereka justru menyandarkan perbuatan mereka terhadap salah satu
fatwa ulama yang melegalkannya. “Mereka melakukan pernikahan ini dengan
bersandar pada fatwa ulama yang membolehkan nikah dengan niat bercerai
(nikah bi niyyat at-thalaq),” ungkap al-Arrak.
Sayangnya, dari pihak perempuan Indonesia sendiri menjadikan praktik
ini sebagai ladang pekerjaan. Lagi-lagi kemiskinan dan susahnya hidup
yang melilit mereka adalah dendang usang kaset lawas yang dijadikan
dalih. “Perempuan Indonesia beranggapan jika menikah dengan lelaki
Saudi, sekalipun kelak akan diceraikan, dipandang sebagai solusi sesaat
untuk mendulang uang dan jalan pintas untuk dapat keluar dari jerat
kemiskinan,” tambah al-Arrak.
Kedutaan Saudi di Jakarta sendiri telah mencatat setiaknya 82
pengaduan pada tahun lalu, ditambah 18 pengaduan tahun ini yang diajukan
oleh para “mantan istri” perkawinan ini, yang ternyata menghasilkan
anak.
Meski tidak tercatat secara resmi di Kedutaan, namun pihaknya siap
untuk memfasilitasi anak-anak yang diadukan itu untuk dapat pergi ke
Saudi, negara bapak mereka berasal, dengan memberikan tiket dan visa
masuk gratis.
Tetapi, dalam banyak kasus, para bapak mereka (pria Saudi) tidak akan
mengakui kalau anak-anak tersebut adalah darah daging mereka, karena
tidak adanya bukti-bukti legal dan lengkap dari pihak keluarga perempuan
di Indonesia.
Salah seorang korban dari paktik ini, Isah Nur (24), mengaku pernah
dinikahi pria Saudi saat ia berusia 16 tahun. Sekarang ia telah
menjanda, dan meneruskan profesi lamanya sebagai “istri yang dinikahi
sesaat untuk kemudian diceraikan” dengan menjalani kehidupan malam.
Lebih naif lagi, Isah mengaku senang saat dulu dinikahi pria Saudi
tersebut, karena orang-orang Saudi dipercaya memiliki dan membawa
berkah. “Umat Islam di Indonesia menganggap orang Mekkah dan Madinah
memiliki dan membawa berkah,” katanya.
pria Saudi itu hanya akan menikmati tubuhnya saja, “Saat meninggalkan kami, pria itu hanya memberikan uang Rp. 3 juta,” tutur Isah. Praktik “pernikahan dengan niat bercerai sesudahnya” ini benar-benar
naif, dan lebih naif lagi dilegalkan oleh fatwa ulama. Indonesia adalah
tempat terpopuler untuk obyek praktik ini bagi orang-orang Arab, karena
dipandang paling murah dan paling mudah. Praktik demikian sejatinya tak
jauh beda dengan prostisusi, prostitusi yang kemudian terlegalkan oleh
fatwa ulama. dan salah satu lokasi wisata favorit bagi turis-turis Arab
untuk melegalkan praktik tersebut adalah kawasan puncak dan sekitarnya.
Bunyi musik terdengar dari sebuah vila: bising, sejenis musik keras
dengan irama dan lirik padang pasir. Sebuah jendela yang gordennya
terbuka mengungkapkan suasana ruang tamu vila yang bising itu. Di bawah
lampu nan terang, seorang perempuan berdiri di hadapan seorang pria
sambil meliuk-liukkan badannya seirama nada. Kedua tangannya terentang
ke atas, pinggulnya diputar-putar. Memang, tak sedahsyat goyang Inul,
penyanyi dangdut yang ngetop akhir-akhir ini.
Pemandangan seperti itu sangat akrab dijumpai di Kampung Sampay saat
musim Arab tiba, begitu orang-orang di sekitar puncak menyebutnya. Musim
Arab adalah masa dimana turis-turis dari Timur Tengah menghabiskan
waktu libur setelah musim haji.Kawasan puncak merupakan salah satu
tempat favorit. Menikmati hawa sejuk dan menyewa vila-vila adalah salah
satu kepuasan yang mereka cari.
Padahal, sang makelar kadang hanya menyuguhkan wanita jalanan. Tak
hanya dari Cisarua, perempuan-perempuan pemburu rial juga datang dari
Cianjur, Sukabumi, dan berbagai daerah lainnya
Tapi ada yang lebih memicu aliran darah dari sekotak pemandangan
lewat jendela itu: setidaknya, tubuh bagian atas penari itu tak ditutup
apa pun. Sebelum segalanya jelas, rupanya penghuni vila menyadari gorden
yang terbuka. Tiba-tiba jendela itu pun ditutup.
Di pertengahan Februari lalu itu, mereka meliput kawasan tersebut,
desa yang dikabarkan pada bulan tertentu menjadi Kampung Arab dengan
segala gaya berlibur turis Timur Tengah.
Kampung Arab? Nama asli kampung itu sendiri yakni Kampung Sampay,
satu dari tiga kampung di Desa Tugu Selatan, satu kilometer di atas
Taman Safari, Cisarua, Bogor. Dari Jakarta, jarak menuju kampung ini
sekitar 84 kilometer.
Tapi, kalau Anda bertanya kepada penduduk sekitar tentang Kampung Arab,
mereka tampak terbengong-bengong. Satu atau dua orang yang tiba-tiba
memahami arah pertanyaan akan menjawab:, maksudnya Warung Kaleng?
Benar, lebih dari Kampung Sampay, lebih dari Kampung Arab, nama
Warung Kaleng dikenal bukan saja oleh warga setempat, tapi juga sopir
taksi di Bandara Soekarno-Hatta. Masuklah ke sembarang taksi, lalu sebut
Warung Kaleng; dijamin Anda akan sampai ke Desa Sampay, Kelurahan Tugu
Selatan, Kecamatan Cisarua, Bogor.
Warung Kaleng sebenarnya adalah sepotong Jalan Jakarta-Puncak di
kilometer 84, tak lebih dari 50 meter panjangnya. Di kanan-kiri jalan,
berjajar 30-an warung. Ini yang unik, papan-papan nama warung itu bukan
hanya berhuruf latin dengan kata-kata bahasa Indonesia, tapi juga
(bahkan ada yang hanya) papan nama berhuruf Arab, dari wartel sampai
toko roti, dari toko kelontong sampai rumah makan. Dan yang juga khas
dibandingkan kampung lain, di sini banyak terlihat warga bertampang
Timur Tengah.
BIDADARI-BIDADARI.
Nama Warung Kaleng sudah menjadi nama alternatif bagi Kampung Sampay
sejak zaman kolonial Belanda. Dulu, kawasan itu secara administratif
adalah tanah partikelir, yang kemudian dijadikan basis perdagangan oleh
pedagang pendatang dari Cina. Lambat laun, para pedagang itu
berasimilasi dengan penduduk setempat, lantas masuklah Islam.
Kata penduduk setempat, riwayat nama Warung Kaleng bermula dari
warung-warung yang didirikan oleh para pedagang Cina itu: hampir semua
warung beratap seng atau kaleng. Jadilah sepetak lahan itu kemudian di
sebut Warung Kaleng.
Nama itu tetap melekat meski suasana Cina praktis tak tercium lagi dan
atap seng tak lagi terlihat. Kini, warung-warung itu bertembok dan sudah
beratap genteng. Suasananya pun berganti ke-Arab-Araban. Belakangan,
muncul sebutan baru itu: Kampung Arab—bukan hanya untuk sepetak Warung
Kaleng, tapi juga untuk seluruh Kampung Sampay.
Jadi, melihat lokasinya, bolehlah dibilang Warung Kaleng merupakan
gerbang Kampung Arab. Di kawasan warung itulah pusat lalu lintas turis
Arab (kebanyakan dari Arab Saudi, Bah-rain, Kuwait, dan Qatar). Soalnya,
sejauh ini, hanya di warung-warung itu tersedia segala kebutuhan turis
Arab yang khas: mulai dari minuman (vodka yang didatangkan dari
Jakarta), tembakau dan bumbunya (yang langsung diimpor dari Timur
Tengah) untuk merokok gaya Arab, sampai roti arab (buatan lokal).
Alkisah, di awal 1990-an, ketika Irak diserbu Amerika dan sekutunya,
banyak turis Timur Tengah datang ke Kampung Sampay. Mereka menginap di
vila-vila selama kira-kira satu minggu hingga satu bulan. Di tahun-tahun
sebelumnya, turis Arab juga sudah datang ke Kampung Sampay, namun tak
banyak.
Dikenalnya Kampung Sampay oleh turis Arab tentunya dimakcomblangi
biro-biro pariwisata, terutama biro yang berkantor di sepanjang Jalan
Raden Saleh, Jakarta Pusat. Di kawasan ini, para turis itu boleh merasa
setengah di rumah sendiri, setidaknya dalam hal makan, karena di jalan
ini ada dua rumah makan khas Timur Tengah.
Tapi kenapa Kampung Sampay? Konon, turis-turis dari padang pasir itu
merindukan suasana yang berbeda dengan negeri mereka yang panas dan
berpantai. Mereka mengidamkan berlibur di kawasan pegunungan yang sejuk
dan hijau. Lalu, dibawalah mereka ke kawasan Puncak, dari Cisarua sampai
Cipanas. Bila kemudian Warung Kaleng menjadi terpopuler di antara turis
Arab, ada ceritanya.
Menurut Syaiful Idries, Kepala Urusan Administrasi Desa Tugu Selatan,
gambaran orang Arab tentang surga dunia itu adalah jabal ahdor atau
gunung hijau. Di Kampung Sampay, kata Syaiful, mereka menemukan jabal
ahdor itu. Di Puncak ini kan banyak bunga, air mengalir, lingkungannya
hijau dan indah, tuturnya.
Tapi kalau hanya gunung hijau, bukan hanya Kampung Sampay yang punya.
Kampung ini menjadi istimewa buat turis Arab karena banyak bidadari
dan secara sosial lingkungan di sini longgar, warganya tak begitu
peduli dengan urusan orang lain. Jadi (Syaiful melanjutkan ceritanya
sambil tertawa), bagi orang Arab, Warung Kaleng bukan hanya jabal ahdor,
tapi juga jabal al jannah, gunung surga. ˜Bidadari-bidadari itu
didatangkan dari desa lain yang cukup jauh, paparnya.
MERACUNI ANAK-ANAK.
Singkat cerita, kerasanlah turis-turis itu berlibur di jabal al jannah.
Bahkan, secara sosial keagamaan, suasana di sini pun okey: ada suara
azan berkumandang saat menjelang salat wajib. Di Kampung Sampay, ada
tiga pondok pesantren, dan ada pula satu pesantren baru yang sedang
dibangun.
Warga setempat pun menyambut para turis Arab dengan terbuka. Apa
boleh buat, secara nyata, mereka memang mendatangkan fulus. Penginapan
terisi, makanan terjual, sumbangan pun mengalir. Lihatlah Haji Samsudin,
65 tahun, yang sedang memimpin pendirian sebuah pondok pesantren baru
di Kampung Sampay ini, namanya Pondok Sikoyatun Najah.
Menurut Wak haji ini, sebagian biaya calon pesantrennya diperoleh dari
sumbangan turis Arab. Di sebuah lorong di belakang Warung Kaleng,
terpasang spanduk dalam tulisan dan bahasa Arab, yang artinya kurang
lebih begini: Kami sedang membangun gedung untuk pondok pesantren di
sini, mohon sumbangannya. Dengan bahasa dan huruf Arab, jelaslah sasaran
spanduk itu. Lantas, Nanang Supriatna, salah seorang Ketua RT di
Kampung Sampay, mengatakan: Enggak ada Arab, enggak hidup ekonomi
orang-orang sini.
Nanang yang sehari-hari berjualan kambing, pada Idul Adha yang lalu
berhasil menjual 11 kambing. Kalau enggak ada Arab, kambing saya
paling-paling laku dua ekor, tuturnya kepada TRUST. Dan ternyata bukan
hanya 11. Begitu ia selesai bertransaksi untuk kambing yang ke-11 dengan
Samid (mahasiswa Arab Saudi yang menginap di Vila Barita), datang
pesanan dua kambing lagi dari turis Arab yang menginap di Aldita, vila
pertama di daerah itu.
Tapi tak seluruh penduduk mengangguk-angguk dan mengucapkan ahlan
wasahlan kepada tamu-tamu Timur Tengah itu. Haji Ichwan Kurtubi, 55
tahun, seorang tokoh masyarakat Kampung Sampay, merasa tak enak melihat
perilaku para turis itu. Para ulama, katanya, pasti tidak setuju warga
di sini memfasilitasi para turis itu ber-dugem ria alias berdunia
gemerlapan. Mereka itu enggak bener. Masa sih ada Arab zina
.
VODKA DI TANGAN KANAN.
Tapi, anak-anak muda yang dijaga oleh Haji Ichwan itu sendiri tak
peduli. Mereka dengan senang mengadakan ini dan itu untuk para turis.
Dan dengan begitu ”mulai sebagai pemandu wisata, mencarikan kambing
korban, mengantar si turis dengan ojek, mencarikan vila, sampai menjadi
preman penjaga keamanan—mereka mendapatkan penghasilan. Kata Haji
Ichwan: Ulama di sini sudah kalah sama anak-anak muda itu.
Sedangkan Zaki al-Habsy, pengelola gerai penukaran uang di Warung
Kaleng, mencoba bersikap realistis. Yang tidak suka dengan turis-turis
Arab itu hanya orang-orang yang tidak berbisnis melayani mereka, kata
Zaki yang juga agen perjalanan itu.
Sebenarnya, di balik ketenangan hijaunya bukit dan pepohonan Kampung
Sampay, ada keresahan yang tersembunyi. Perilaku dan gaya berlibur
lelaki-lelaki dari padang pasir itu yang eksklusif dan tertutup bagi
siapa saja, kecuali terhadap orang-orang yang mereka butuhkan selain
melahirkan kecemburuan, juga menimbulkan ketersinggungan.
Benar, wanita-wanita yang mereka datangkan bukan warga Tugu Selatan.
Yang terlihat dari jendela itu, misalnya yang diminta menari striptease
atau tari perut, konon, adalah perempuan dari Cianjur, 20-an kilometer
dari Tugu. Tapi, menurut Haji Ichwan, suasana seperti itu di depan mata
mereka adalah racun buat generasi muda. Apalagi, setidaknya, ada dua
turis Arab meninggal di salah satu vila di Kampung Sampay selagi
berpesta pora. â€Orang Arab kan sudah terkenal dengan pemeo: vodka di
tangan kanan dan cewek di tangan kiri, kata Abubakar Sjarief, Kepala
Desa Tugu Selatan.
Dan sebenarnya, Abubakar melanjutkan, yang mendapat rezeki dari turis
Arab hanya beberapa orang saja. Pokoknya, rezeki (dari para turis)
itu tidak berimbang dengan mudaratnya. Secara umum, ke depan, kami
dirugikan, ungkapnya.
Memang, di luar tukang ojek, penjaga malam, tukang masak di vila, dan
preman penjaga keamanan kampung, semua lahan usaha yang berhubungan
dengan Arab dijalankan oleh pendatang. Kendati warga setempat bisa
berbahasa arab, mereka tidak bisa menjadi pemandu wisata. Soalnya, untuk
menjadi guide, mereka harus terdaftar di Ikatan Guide Puncak yang
pengurusnya adalah pendatang.
Itulah, dari pemandu wisata, penerjemah, pengelola trans-portasi, sampai
pengelola penyewaan mobil, hampir semuanya orang Jawa Tengah—terutama
dari Solo dan sekitarnya dan dari Jakarta. Juga toko-toko yang berderet
di Warung Kaleng, sebagian besar dimiliki pendatang.
Namun, soal rezeki ini tak pernah muncul ke permukaan sebagai konflik
sosial. Konflik yang pernah terjadi adalah konflik moral. Tahun lalu,
sejumlah santri mulai dari Ciawi hingga Cisarua menyerbu diskotek dan
tempat mesum lain di kawasan Tugu Selatan. Gebrakan itu sampai sekarang
masih terasa. Menurut Abubakar, sejak saat itu, wisata berbau seks di
wilayah tersebut agak mereda. Turis Arab memang masih datang, tapi musik
bising dari vila-vila jauh berkurang.
Menurut seorang pemandu wisata di situ, untuk sementara mereka membawa turis Arab ber-dugem ke tempat lain: Cipanas, bahkan
sampai ke Selabintana. Tapi, bisa jadi, wanita yang menari-nari di
tempat menginap sama saja dengan perempuan yang terlihat dari jendela
itu. Soalnya, nomor telepon genggam mereka sudah ada di tangan para
calo. Jadi, kapan saja, per-empuan itu bisa dihubungi, baik secara
langsung maupun dengan SMS.
Menjelang “Kumbang” Datang Kawasan Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak, Cisarua, mulai
menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya. Sejumlah tempat peristirahatan
berupa vila dan bungalo yang mudah ditemui ditemui disitu sudah mulai
dipesan.
Hingga pekan ketiga April, peningkatan pemesanan untuk pemakaian awal
bulan depan diperkirakan mencapai 50%. Padahal musim yang ditunggu itu
baru akan dimulai pada Juni hingga Agustus mendatang.
Pada Juni hingga Agustus, kawasan Puncak yang kerap dijadikan tempat wisata itu berubah menjadi kawasan yang dipenuhi pria Arab.
Sungguh malang nasib Puncak, sekarang tidak lebih adalah merupakan lokalisasi pelacuran pria-pria Arab hidung belang. Rasakan saja pria-pria Arab hidung belang itu, untuk berzina saja harus pergi ke luar negeri karena tidak bisa di negaranya sendiri. Sungguh malang nasib negara kita ini, sebagian mucikari dan germo-germo di Puncak yang merasakan senang karena mendapatkan lapangan pekerjaan menyediakan jasa esek-esek di Puncak bagi laki-laki Arab hidung belang. Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini mau saja dijadikan lokalisasi pelacuran oleh laki-laki Arab hidung belang.
Demikian pun para germo dan para penari striptease serta pelacur itu sangat berbahagia. Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini yang senang sekali menyediakan jasa esek-esek bagi lelaki Arab hidung belang. Saya jadi teringat ketika masih mahasiswa, saya memarkir mobil saya disebuah rumah makan di puncak. Tiba-tiba, datang seorang menawarkan villa kepada kami (saya bersama teman), bahkan dengan tersenyum dia menambahkan: “ada isinya mas!”. Sekarang baru saya sadari bahwa kawasan Puncak telah berubah menjadi kawasan maksiat lokalisasi bertaraf Internasional bagi laki-laki hidung belang Arab. Saya membayangkan, bagaimana iklan syurga Puncak itu beredar di kalangan laki-laki Arab hidung belang di Timur
Tengah sana. “Puncak, puncak, syurga, syurga!”
Daripada kita menuding laki-laki Arab yang hidung belang itu, lebih baik kita bersedih atas mental melacur dan menggermo bangsa kita di Puncak sana.
Ada Musim Arab di Warung Kaleng Nama Cisarua mungkin tak asing lagi. Kawasan wisata sejuk di Puncak,
Kabupaten Bogor, itu kini semakin mencuat menyusul penggerebekan oleh
polisi, Selasa (1/8) dini hari. Polisi menangkap para pelaku kawin
kontrak yang melibatkan perempuan lokal dan WN Arab di kawasan tersebut.
Kecamatan Cisarua dipenuhi tempat hiburan dan penginapan. Ada yang
berbentuk penginapan biasa, vila, atau hotel. Cisarua berada di
ketinggian 650-1.100 meter di atas permukaan laut, memiliki suhu udara
rata-rata 20,5 derajat Celsius, dengan curah hujan 112-161 milimeter
persegi setiap tahunnya.
Cisarua terdiri dari sembilan desa dan satu kelurahan dengan total
luas wilayah 6.373,62 hektar. Sembilan desa itu adalah Tugu Selatan
(luas 1.712,61 hektar), Tugu Utara (1.703 hektar), Batulayang (226
hektar), Cibeureum (1.128,62 hektar), Citeko (461 hektar), Kopo (453,21
hektar), Leuwimalang (135,18 hektar), Jogjogan (154 hektar), dan
Cilember (200 hektar). Satu kelurahan adalah Cisarua dengan luas 200
hektar. Di wilayah tersebut tercatat ada 1.577 vila, 42 hotel, 182
restoran dan 37 warung telekomunikasi. Fasilitas-fasilitas itu tersebar
di seluruh desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Cisarua.
Namun, ada dua desa yang menjadi primadona wisatawan, terutama turis
dari Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya, yakni Tugu Utara dan
Tugu Selatan. Tak mengherankan jika di jalanan di dua desa tersebut
bertebaran tulisan dalam huruf Arab di sana-sini. Nama-nama atau plang
papan nama usaha di sana kebanyakan ditulis dalam huruf Arab dan
dipasang di kaca atau pintu. Warga di dua desa tersebut, mulai dari
anak-anak hingga orang dewasa, juga sangat fasih berbahasa Arab. Mungkin
dua desa itu bisa disebut Little Town Arabian.
Suasana Arab dangat kental terasa di Tugu Selatan. Desa itu terletak
sekitar 84,2 kilometer dari Jakarta, 42 kilometer dari Kantor Bupati
Bogor di Cibinong, dan 90,3 kilometer dari Bandung. Jumlah penduduk
15.380 jiwa dari 3695 kepala keluarga. Di wilayah kami ada 44 RT, 17 RW,
dan 7 dusun. Di Tugu Selatan sekarang ada 5 hotel, 2 tempat rekreasi,
344 vila, dan 4 restoran,” kata Sekretaris Desa Tugu Selatan, Baini,
ketika ditemui Warta Kota di kantornya.
Di Desa Tugu Selatan ada kampung yang namanya sangat populer di
Jazirah Arab. Kampung tersebut bernama Sampay atau lebih terkenal dengan
sebutan Warung Kaleng. Sekarang, jalan utama kampung itu diberi nama
Jalan Sindang Subur. Toh, nama itu tetap kalah populer dibanding Warung
Kaleng. Meskipun di sini sudah diberi nama Jalan Sindang Subur, tetapi
orang-orang lebih mengenal dengan sebutan Warung Kaleng. Itu sudah
terkenal sejak zaman revolusi,” kata Ketua RT 14, H Syukur.
Menurutnya, nama Warung Kaleng punya cerita tersendiri. Dahulu,
beberapa rumah di sana dimiliki oleh orang Cina yang sudah masuk Islam,
yaitu Abdul Fadli, Abdul Salim dan Nur Salim. Mereka adalah pedagang
kelontong yang warungnya berada di jalan raya, atau terletak di ujung
jalan masuk ke Kampung Sampay.
Para pedagang itu membuat atap rumahnya dari kaleng bekas minyak
goreng atau kaleng ble. Mereka menggunting kaleng tersebut dan
memanteknya dengan paku hingga menjadi atap pengganti genteng atau
asbes. Konon pada zaman revolusi, warung mereka sangat terkenal.
Orang-orang yang datang ke warung-warung tersebut selalu menyebutnya
dengan sebutan Warung Kaleng. Nama tersebut terus menempel hingga
sekarang.
Pada zaman kemerdekaan, semakin banyak turis yang datang ke kampung
tersebut. Kebanyakan berasal dari Arab Saudi atau negara Timur Tengah
lainnya. Mereka suka datang ke kampung tersebut karena udaranya sejuk
dan bersih, jauh berbeda dengan udara di negaranya. Tak ayal, bisnis
penginapan pun tumbuh pesat. Kini di Kampung Sampay berdiri 10 vila dan
satu hotel.
Seringnya turis Arab datang ke kampung itu membuat di sana ada
istilah Musim Arab. Musim itu terjadi pada bulan Juni hingga Agustus.
Pada bulan-bulan tersebut, para pekerja di Arab Saudi libur, sehingga
banyak yang berlibur ke Indonesia dan melepas penat di Warung Kaleng.
Repotnya, hal itu juga disusul dengan munculnya praktik zina antara para
turis Arab dengan perempuan-perempuan lokal.