Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Kawin Siri. Show all posts
Showing posts with label Kawin Siri. Show all posts

Shahihkah Hadis Syi’ah: Imam Aliy Mengharamkan Mut’ah Di Khaibar?

Mutah-apa-maksud-pernikahan-seperti-ini.

Halalnya Nikah Mut’ah adalah perkara yang diyakini kebenarannya dalam Mazhab Syi’ah dan hal ini berdasarkan hadis-hadis shahih dari Imam Ahlul Bait di sisi mereka. Tidak menjadi masalah jika kaum sunni tidak menerima hal ini [karena terdapat hadis-hadis Sunni yang mengharamkannya].


Diantara kaum sunni tersebut ternyata terdapat para nashibi yang gemar memfitnah Syi’ah. Nashibi tersebut berkata bahwa dalam kitab Syi’ah Imam Aliy telah mengharamkan mut’ah, benarkah demikian?. Tulisan ini berusaha menganalisis benarkah tuduhan para nashibi tersebut bahwa dalam mazhab Syi’ah Imam Aliy telah mengharamkan mut’ah. Inilah hadis yang dimaksud

محمد بن يحيى عن أبي جعفر عن أبي الجوزاء عن الحسين بن علوان عن عمرو بن خالد عن زيد بن علي عن آبائه عن علي عليهم السلام قال حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة

Muhammad bin Yahya dari Abi Ja’far dari Abul Jauzaa’ dari Husain bin ‘Ulwan dari ‘Amru bin Khalid dari Zaid bin Aliy dari Ayah-ayahnya dari Aliy [‘alaihis salaam] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengharamkan pada hari khaibar daging keledai jinak dan Nikah Mut’ah [Tahdzib Al Ahkam, Syaikh Ath Thuusiy 7/251].

Nashibi tersebut menyatakan bahwa para perawi hadis ini semuanya tsiqat berdasarkan standar ilmu hadis Syi’ah. Pernyataan inilah yang akan diteliti kembali berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah. Perawi yang akan dipermasalahkan disini adalah Husain bin ‘Ulwan.
 
Husain bin ‘Ulwan telah ditsiqatkan oleh Sayyid Al Khu’iy dalam Mu’jam Rijal Al Hadits no 3508  dan diikuti oleh Muhammad Al Jawahiriy dalam Al Mufiid:

الحسين بن علوان: وثقه النجاشي على ما ذكرناه في ترجمة الحسن بن علوان وإن التوثيق راجع إلى الحسين لا إلى الحسن. على أن في كلام ابن عقدة دلالة على وثاقة الحسين بن علوان

Husain bin ‘Ulwan ditsiqatkan oleh An Najasyiy sebagaimana yang kami sebutkan dalam biografi Hasan bin ‘Ulwan bahwa sesungguhnya tautsiq tersebut kembali kepada Al Husain bukan kepada Al Hasan dan sesungguhnya dalam perkataan Ibnu Uqdah terdapat dalil atas tsiqatnya Husain bin ‘Ulwan [Al Mufid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 768].
.
Memang terjadi perselisihan diantara ulama Syi’ah mengenai tautsiq terhadap Husain bin ‘Ulwan. Perselisihan ini disebabkan oleh perbedaan pemahaman mereka terhadap apa yang dikatakan An Najasyiy dalam biografi Husain bin ‘Ulwan. An Najasyiy berkata:

الحسين بن علوان الكلبي مولاهم كوفي عامي، وأخوه الحسن يكنى أبا محمد ثقة، رويا عن أبي عبد الله عليه السلام

Al Husain bin ‘Ulwan Al Kalbiy maula mereka, seorang penduduk Kufah dari kalangan ahlus sunnah dan saudaranya Al Hasan dengan kuniyah Abu Muhammad tsiqat, keduanya meriwayatkan dari Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 52 no 116].

Sebagian ulama Syi’ah memahami bahwa perkataan tsiqat An Najasyiy itu tertuju pada saudaranya Al Husain bin ‘Ulwan yaitu Al Hasan bin ‘Ulwan seperti yang dinyatakan Syaih Aliy Asy Syahruudiy dalam Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadiits 2/432 no 3681 biografi Hasan bin ‘Ulwan Al Kalbiy. Syaikh Ja’far Syubhaniy dalam Kulliyat Fii Ilm Rijal menegaskan bahwa tautsiq yang disebutkan An Najasyiy itu tertuju pada Hasan bin ‘Ulwan Al Kalbiy [Kulliyat Fii Ilm Rijal hal 65].

Ibnu Dawud Al Hilliy dalam kitab Rijal-nya ia memasukkan Hasan bin ‘Ulwan dalam Juz pertama yang memuat daftar perawi tsiqat dan terpuji menurutnya [Rijal Ibnu Dawud hal Al Hilliy 76 no 443]. Sedangkan untuk Husain bin ‘Ulwan, Ibnu Dawud memasukkan namanya dalam juz kedua yang memuat daftar perawi yang majruh dan majhul, ia berkata:

الحسين بن علوان الكلبي، مولاهم ق (جش) كوفي عامي

Al Husain bin ‘Ulwan Al Kalbiy, maula mereka, [kitab Najasyiy] penduduk Kufah dari kalangan ahlus sunnah [Rijal Ibnu Dawud hal 240 no 144].

Dari pernyataan Ibnu Dawud Al Hilliy tersebut didapatkan bahwa Ibnu Dawud memahami perkataan An Najasyiy kalau tautsiq tersebut tertuju pada Hasan bin ‘Ulwan sehingga ia memasukkannya dalam juz pertama kitabnya. Sedangkan Husain bin ‘Ulwaan tidak ada tautsiq terhadapnya dari Najasyiy dan yang lainnya maka Ibnu Dawud memasukkannya dalam juz kedua yang memuat daftar perawi majhul dan dhaif.
Hal yang sama juga disebutkan oleh Allamah Al Hilliy dalam Khulasah Al Aqwaal Fii Ma’rifat Ar Rijal, ia memasukkan Hasan bin ‘Ulwan dalam bagian pertama kitabnya yang memuat perawi tsiqat [Khulasah Al Aqwaal, hal 106] dan memasukkan Husain bin ‘Ulwan dalam kitab Khulasah-nya bagian kedua yang memuat daftar perawi dhaif atau yang ia bertawaqquf terhadapnya [Khulasah Al Aqwaal, hal 338].

Sayyid Al Khu’iy yang diikuti Muhammad Al Jawahiriy memahami lafaz tautsiq Najasyiy tertuju pada Husain bin ‘Ulwan karena disitu adalah biografi Husain bin ‘Ulwan. Pernyataan ini tidak menjadi hujjah, karena kalau diperhatikan secara terperinci metode penulisan An Najasyiy dalam kitab-nya maka didapatkan bahwa An Najasyiy sering mentautsiq seorang perawi dalam biografi perawi lain [misalnya saudara atau ayahnya]. Hal ini juga ditegaskan oleh Syaikh Ja’far Syubhaniy dalam Kulliyat Fii Ilm Rijal hal 64.

ثم إن الشيخ النجاشي قد ترجم عدة من الرواة ووثقهم في غير تراجمهم، كما أنه لم يترجم عدة من الرواة مستقلا، ولكن وثقهم في تراجم غيرهم

Kemudian Syaikh An Najasyiy telah menulis biografi sejumlah perawi dan mentsiqatkan mereka dalam biografi selain mereka, sama seperti halnya ia tidak menulis biografi sejumlah perawi secara khusus tetapi ia mentsiqatkan mereka dalam biografi selain mereka [Kulliyat Fii Ilm Rijaal, Syaikh Ja’far Syubhaniy hal 64].

Berikut adalah contoh dimana Najasyiy mentautsiq seorang perawi dalam biografi perawi lain.

مندل بن علي العنزي واسمه عمرو، وأخوه حيان، ثقتان، رويا عن أبي عبد الله عليه السلام

Mandal bin Aliy Al ‘Anziy namanya ‘Amru, dan saudaranya adalah Hayyaan, keduanya tsiqat, keduanya meriwayatkan dari Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 422 no 1131]
.
.
Jika dilihat secara zahir lafaz perkataan An Najasyiy dalam biografi Husain bin ‘Ulwan maka diketahui bahwa ia sedang menceritakan tentang keduanya tidak hanya Husain bin ‘Ulwan tetapi juga Hasan bin ‘Ulwan, maka kalau kita penggal secara benar adalah sebagai berikut:

الحسين بن علوان الكلبي مولاهم كوفي عامي،
وأخوه الحسن يكنى أبا محمد ثقة،
رويا عن أبي عبد الله عليه السلام

Al Husain bin ‘Ulwan Al Kalbiy maula mereka, penduduk Kufah dari kalangan umum [ahlus sunnah]
Dan saudaranya, Al Hasan dengan kuniyah Abu Muhammad seorang yang tsiqat
Keduanya meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam].

Lafaz rawaya ‘an yang berarti “keduanya meriwayatkan” menunjukkan bahwa Najasyiy sedang menceritakan keduanya. Sehingga susunan kalimat itu akan lebih teratur kalau dipahami bahwa lafaz “tsiqat” itu terikat pada Hasan bukan pada Husain bin ‘Ulwan. Berbeda hal-nya jika dalam biografi tersebut Najasyiy hanya bercerita tentang Husain bin ‘Ulwan saja maka tidak diragukan lafaz tsiqat itu tertuju pada Husain bin ‘Ulwan. Maka dari itu menurut kami yang rajih adalah lafaz tsiqat Najasyiy itu tertuju pada Hasan bin ‘Ulwan sebagaimana diisyaratkan oleh Allamah Al Hiliy, Ibnu Dawud dan ditegaskan oleh Syaikh Ja’far Syubhaniy dan Syaikh Ali Asy Syahruudiy.
.
Adapun hujjah Sayyid Al Khu’iy dan Muhammad Al Jawahiriy dengan perkataan Ibnu Uqdah seolah menunjukkan tautsiq pada Husain bin ‘Ulwan maka hujjah ini tertolak. Perkataan Ibnu Uqdah tersebut dinukil oleh Allamah Al Hilliy kemudian Sayyid Al Khu’iy sendiri dalam biografi Hasan bin ‘Ulwan berkomentar sebagai berikut:

ووثقه ابن عقدة أيضا، ذكره العلامة في ترجمة الحسين بن علوان في القسم الثاني، ولكن طريقه إلى ابن عقدة مجهول، فلا يمكن الاعتماد عليه

Dan ia telah ditsiqatkan Ibnu Uqdah sebagaimana yang telah disebutkan Allamah dalam biografi Husain bin ‘Ulwan dalam bagian kedua, tetapi jalannya sampai ke Ibnu Uqdah adalah majhul maka tidak mungkin berpegang dengannya [Mu’jam Rijal Al Hadits, Sayyid Al Khu’iy no 2929]
Jadi nampak bahwa Sayyid Al Khu’iy mengalami tanaqudh disini, dalam biografi Hasan bin ‘Ulwan ia melemahkan perkataan Ibnu Uqdah tersebut tetapi dalam biografi Husain bin ‘Ulwan ia malah berhujjah dengannya.
.
Seandainya pun jika perkataan Ibnu Uqdah tersebut shahih maka pernyataan Sayyid Al Khu’iy bahwa dalam perkataan Ibnu Uqdah terdapat tautsiq terhadap Husain bin ‘Ulwaan adalah keliru.

قال ابن عقدة: ان الحسن كان أوثق من أخيه

Ibnu Uqdah berkata bahwa Hasan ia lebih terpercaya dibanding saudaranya [Khulasah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 338].

Zhahir lafaz Ibnu Uqdah adalah tautsiq terhadap Hasan bin ‘Ulwaan dan menurut Sayyid Al Khu’iy di dalamnya terkandung tautsiq juga terhadap Husain saudaranya. Seolah-olah dari lafaz Ibnu Uqdah tersebut dipahami bahwa Husain dan Hasan keduanya tsiqat tetapi Hasan lebih tsiqat dari Husain. Tentu saja ini hanya sekedar dugaan, kami akan beri contoh dari kalangan mutaqaddimin yaitu An Najasyiy lafaz yang mirip dengan lafaz Ibnu Uqdah di atas.

الحسن بن محمد بن جمهور العمي أبو محمد بصري ثقة في نفسه، ينسب إلى بني العم من تميم، يروي عن الضعفاء ويعتمد على المراسيل. ذكره أصحابنا بذلك وقالوا: كان أوثق من أبيه

Hasan bin Muhammad bin Jumhuur Al ‘Ammiy Abu Muhammad penduduk Basrah yang pada dasarnya tsiqat, dinasabkan kepada bani ‘Amm dari Tamim, meriwayatkan dari perawi dhaif dan berpegang dengan riwayat-riwayat mursal, demikianlah disebutkan oleh sahabat kami dan mereka berkata “ia lebih terpercaya dibanding ayahnya” [Rijal An Najasyiy hal 62 no 144].

Kemudian apakah dalam lafaz “ia lebih terpercaya dibanding ayahnya” terdapat isyarat tautsiq terhadap ayahnya. Maka perhatikan perkataan An Najasyiy terhadap Muhammad bin Jumhuur.

محمد بن جمهورأبو عبد الله العمي ضعيف في الحديث، فاسد المذهب

Muhammad bin Jumhuur Abu ‘Abdullah Al ‘Ammiy dhaif dalam hadis rusak mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 337 no 901].

Dari sini dapat diambil faedah bahwa lafaz “ia lebih terpercaya dari saudaranya” tidak mesti menunjukkan saudaranya juga tsiqat. Jadi pendalilan tautsiq Husain bin ‘Ulwan dengan berlandaskan hujjah perkataan Ibnu Uqdah bukanlah hujjah yang kuat.
.
Sejauh ini apa yang dapat kita ambil?. Tautsiq Najasyiy sebenarnya ditujukan untuk Hasan bin ‘Ulwan Al Kalbiy bukan Husain kemudian perkataan Ibnu Uqdah bukan hujjah kuat yang membuktikan tautsiq Husain bin ‘Ulwan. Selain Najasyiy dan Ibnu Uqdah, tidak ada ulama lain yang dapat dijadikan sandaran tautsiq bagi Husain bin ‘Ulwan maka pendapat yang rajih tentang Husain bin ‘Ulwan adalah tidak ada lafaz tautsiq yang jelas padanya. Hal ini telah dinyatakan oleh sebagian ulama Syi’ah muta’akhirin
  1. Sayyid Mustafa Khumaini dalam Al Khalal Fii Shalah hal 108
  2. Abdullah Al Mamaqaniy dalam Nata’ij At Tanqiih 1/41 no 2979
  3. Muhaqqiq Al Ardabiliy dalam Majma’ Al Faidah 11/121
  4. Syahid Ats Tsaniy dalam Al Istiqshaa’ Al I’tibaar  3/274
  5. Sayyid Al Khu’iy dalam Kitab Ath Thaharah 8/161
Nampak bahwa Sayyid Al Khu’iy mengalami tanaqudh mengenai pendapatnya terhadap Husain bin ‘Ulwaan Al Kalbiy, dalam salah satu kitabnya ia menyatakan Husain tsiqat tetapi dalam kitabnya yang lain ia menyatakan Husain tidak ada yang mentautsiq-nya.
.
Sedikit tambahan mengenai Husain bin ‘Ulwan yaitu telah ditekankan oleh An Najasyiy dan diikuti oleh banyak ulama lainnya bahwa Husain bin ‘Ulwan adalah dari kalangan umum atau ahlus sunnah. Maka bagaimanakah hakikat dirinya dalam pandangan ahlus sunnah?.
Abu Hatim berkata tentang Husain bin ‘Ulwan bahwa ia lemah dhaif matruk al hadits. Ibnu Ma’in berkata “pendusta” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/61 no 277]. Ibnu Ghulabiy berkata “tidak tsiqat”. Ali bin Madini mendhaifkannya. Abu Yahya Muhammad bin ‘Abdurrahiim berkata “Husain bin ‘Ulwan meriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah dan Ibnu ‘Ajlan hadis-hadis maudhu’. Shalih bin Muhammad Al Baghdadiy berkata “pemalsu hadis”. Nasa’i dan Daruquthni berkata “matruk al hadits” [Tarikh Baghdad 8/62 no 4138]. Tentu saja kitab ahlus sunnah tidaklah menjadi pegangan di sisi Syi’ah. Kami disini hanya ingin menunjukkan bahwa Husain bin ‘Ulwan dalam pandangan ulama ahlus sunnah dikenal sebagai pendusta dan pemalsu hadis.
.
Kesimpulan : hadis Imam Aliy mengharamkan nikah mut’ah di sisi Syi’ah kedudukannya dhaif karena Husain bin ‘Ulwan berdasarkan pendapat yang rajih adalah perawi dari kalangan ahlus sunnah dan di sisi Syi’ah tidak ada lafaz tautsiq yang jelas untuknya.

Keterangan: Nasibhi = Wahabi.

Apakah Ibnu Abbas Ruju’ Dari Fatwanya Tentang Mut’ah?




Jawabannya tidak, tidak ada riwayat shahih yang menunjukkan Ibnu Abbas ruju’ dari fatwanya yang menghalalkan mut’ah. Sebaliknya Ibnu Abbas menyatakan halalnya mut’ah dengan berdalil Al Qur’anul Karim dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sampai akhir hayatnya Ibnu Abbas tetap memfatwakan halalnya nikah mut’ah, sehingga masyhur dalam sejarah bahwa murid dan sahabat-sahabat Ibnu Abbas [bahkan setelah Ibnu Abbas wafat] tetap menghalalkan mut’ah seperti Thawus, Mujahid, Sa’id bin Jubair dan Atha’ bin Abi Rabah.

Salafy yang kebingungan dengan sikap Ibnu Abbas ternyata mencatut riwayat [yang ia katakan shahih] kalau Ibnu Abbas telah ruju’ dari pandangannya. Riwayat yang dimaksud sebenarnya telah kami bahas dalam tulisan sebelumnya yaitu Riwayat Abu Awanah.

قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk. Ia [Ibnu Syihab] berkata “Tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini” [Mustakhraj Abu Awanah no 4057].

Salafy berhujjah dengan hadis di atas bahwa yang berkata Ibnu Abbas ruju’ dari fatwanya itu adalah Rabi’ bin Sabrah. Sehingga ia menerjemahkan Ia [Ibnu Sabrah] berkata “tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya”. Kami telah menunjukkan bahwa terjemahan tersebut keliru, yang benar adalah seperti yang kami tuliskan di atas. Tetapi yang namanya salafy tidak peduli apakah benar atau tidak yang penting ia mendapatkan dalih untuk membela keyakinannya. Mungkin Salafy yang aneh bin ajaib itu mengira kalau hadis di atas itu adalah dua riwayat Ibnu Sabrah yang terpisah yaitu:

قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة

Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah.

قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتي

Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk. Ia [Ibnu Sabrah] berkata “Tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini.

Terjemahan di atas memang tampak benar bagi mereka yang belum meneliti riwayat tersebut. Seperti yang telah kami tunjukkan riwayat tersebut bukannya terpisah seperti itu, melainkan satu riwayat Ibnu Sabrah dari ayahnya soal pelarangan mut’ah. Perhatikan riwayat-riwayat berikut:

قال ابن شهاب وأخبرني ربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال ابن شهاب وسمعت ربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبدالعزيز وأنا جالس

Ibnu Syihab berkata dan mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah Al Juhaniy bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah”. Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk [Shahih Muslim 2/1023 no 1406].

قال بن شهاب وأخبرني الربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال بن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

Ibnu Syihab berkata dan mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah Al Juhaniy bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah”. Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk [Sunan Baihaqi 7/205 no 13942].

قال بن شهاب وأخبرني ربيع بن سبرة الجهني ان أباه قال قد كنت استمتعت في عهد النبي صلى الله عليه و سلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال بن شهاب وسمعت ربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

Ibnu Syihab berkata dan mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah Al Juhaniy bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah”. Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk [Tahdzib Al Kamal biografi Khalid bin Muhajir no 1654].

حدثنا محمد حدثني عيسى بن يونس الرملي ، ثنا أيوب بن سويد ، حدثني ابن شهاب محمد بن مسلم ، أخبرني الربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ونهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah menceritakan kepadaku Isa bin Yunus Ar Ramliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayub bin Suwaid yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab Muhammad bin Muslim yang berkata telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah Al Juhaniy bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah”. [Ibnu Syihab] berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk [Musnad Umar bin Abdul Aziz Al Baghandiy no 73].

Hadis-hadis diatas memiliki lafaz yang serupa dengan riwayat Abu Awanah. Jadi riwayat Abu Awanah itu hanya memuat satu riwayat Ibnu Sabrah yaitu riwayat dari ayahnya tentang larangan mut’ah. Maka pembagian yang benar adalah Bagian pertama berupa:

قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk.

Bagian pertama ini sama dengan riwayat Muslim, Baihaqi, Al Mizziy dan Al Baghandiy di atas yang menunjukkan bahwa hadis yang diceritakan oleh Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin ‘Abdul Aziz dimana saat itu Az Zuhri sedang duduk adalah hadis Rabi’ bin Sabrah dari Ayahnya tentang larangan mut’ah bukan tentang Ibnu Abbas. Hanya saja dalam riwayat Abu Awanah, ia tidak menuliskan lafaz “dzalik” yang artinya [itu] atau [demikian] setelah lafaz “yuhadditsu” yang artinya [menceritakan hadis]. Terlepas dari apakah ini kekeliruan Abu Awanah atau bukan, tetapi penghilangan lafaz “dzalik” itu ternyata berakibat fatal. Contoh kesesatan yang ditimbulkan hilangnya lafaz “dzalik” itu ya terlihat dari ulah salafy.  Lafaz yang seharusnya berbunyi:

وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu kepada Umar bin ‘Abdul Aziz
Dimana dengan lafaz ini maka hadis yang dimaksudkan oleh Ibnu Syihab Az Zuhri diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin ‘Abdul Aziz adalah hadis Sabrah sebelumnya tentang larangan mut’ah. Tetapi dengan penghilangan lafaz “dzalik” menjadi:

وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis kepada Umar bin Abdul Aziz.

Maka salafy yang aneh itu keliru menisbatkan hadis yang dimaksud kepada perkataan setelahnya yaitu tentang ruju’nya Ibnu Abbas padahal yang dimaksud Ibnu Syihab Az Zuhri adalah hadis Rabi’ Bin Sabrah dari ayahnya sebelumnya. Jadi kata [menceritakan hadis] dan kata [menceritakan hadis itu] bisa menimbulkan perbedaan, kata [menceritakan hadis itu] menunjukkan kalau hadis yang dimaksud sudah disebutkan sebelumnya sedangkan lafaz [menceritakan hadis] seolah-olah hadis yang dimaksud belum disebutkan sebelumnya atau baru mau akan disebutkan. Riwayat yang tsabit adalah dengan lafaz “dzalik” sebagaimana yang tampak dalam riwayat Muslim, Baihaqi, Al Mizziy dan Al Baghandiy. Hilangnya lafaz “dzalik” dalam riwayat Abu Awanah bisa karena kekeliruannya atau kekeliruan dari naskah kitab Abu Awanah.

Bagian kedua dari riwayat Abu Awanah adalah terpisah dari bagian sebelumnya dimana disitu terdapat orang yang berkata kalau Ibnu Abbas telah ruju’ dari fatwanya.

أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Ia [Ibnu Syihab] berkata “Tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini”.

Kami menyatakan kalau orang tersebut Ibnu Syihab dan lafaz ini adalah lafaz yang diucapkan oleh Yunus bin Yazid dan dituliskan secara langsung oleh Abu Awanah. Bukti akan hal ini adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar.

وأخرج البيهقي من طريق الزهري قال ما مات بن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا وذكره أبو عوانة في صحيحه أيضا

Dan dikeluarkan Al Baihaqi dari jalan Az Zuhri yang berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini”, dan disebutkan pula oleh Abu Awanah dalam shahihnya [Talkhis Al Habiir 3/158 no 1506].

Ibnu Hajar sangat jelas menisbatkan perkataan “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari fatwanya ini” sebagai perkataan Az Zuhri bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah. Salafy yang aneh itu merasa rancu dengan potongan kalimat seperti itu, padahal kalau setiap bagian hadis dituliskan sanadnya dengan lengkap maka tidak akan ada yang rancu. Untuk melihat sanad lengkapnya maka perhatikanlah riwayat lengkap Abu Awanah.

حدثنا أحمد بن عبد الرحمن ، قثنا عمي ، ح وحدثنا محمد بن يحيى ، ثنا هارون بن معروف ، وأبو سعيد الجعفي ، قالا : أنبا ابن وهب ، ح وحدثنا محمد بن عوف ، ثنا أصبغ بن الفرج ، عن عبد الله بن وهب ، قال : أخبرني يونس ، عن ابن شهاب ، قال : حدثني عروة بن الزبير ، أن عبد الله بن الزبير ، قام بمكة ، فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم ، يفتون بالمتعة ، يعرض بابن عباس ، قال محمد بن يحيى : برجل ، وقال غيره : ابن عباس ، فناداه ابن عباس : إنك جلف جاف ، فلعمري لقد كانت المتعة تعمل في عهد إمام المتقين ، يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال له ابن الزبير : فجرب بنفسك ، فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك ، قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينما هو جالس عند ابن عباس جاءه رجل  فاستفتاه في المتعة ، فأمره ابن عباس بها ، فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري : مهلا يا ابن عباس قال ابن عباس : أما هي والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين ، قال ابن أبي عمرة : يا أبا عباس إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها ، كالميتة ، والدم ، ولحم الخنزير ، ثم أحكم الله الدين ، ونهى عنها  قال يونس : قال ابن شهاب : وأخبرني عبيد الله بن عبد الله أن ابن عباس كان يفتي بها ، ويغمص ذلك عليه أهل العلم فأبى ابن عباس أن ينتقل عن ذلك ، حتى طفق بعض الشعراء يقول : يا صاح هل لك في فتيا ابن عباس ؟ هل لك في ناعم خود مبتلة تكون مثواك حتى يصدر الناس ؟ قال : فازداد أهل العلم لها قذرا ، ولها بغضا حين قيل فيها الأشعار قال يونس : قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Dengan melengkapi sanadnya berdasarkan sanad di bagian awal maka sanad lengkap kedua bagian tersebut adalah:

حدثنا أحمد بن عبد الرحمن ، قثنا عمي ، ح وحدثنا محمد بن يحيى ، ثنا هارون بن معروف ، وأبو سعيد الجعفي ، قالا أنبا ابن وهب ، ح وحدثنا محمد بن عوف ، ثنا أصبغ بن الفرج ، عن عبد الله بن وهب قال قال يونس قال ابن شهاب : أخبرني الربيع بن سبرة أن أباه قال : كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ، ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku, dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma’ruf dan Abu Sa’id Al Ja’fiy dimana keduanya berkata telah memberitakan kepada kami Ibnu Wahab. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami Ashbagh bin Faraj dari Abdullah bin Wahab yang berkata Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : telah mengabarkan kepadaku Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah. Yunus berkata : Ibnu Syihab berkata : dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz dan saat itu aku sedang duduk.

Sedangkan bagian kedua yang kata salafy rancu itu akan menjadi:

حدثنا أحمد بن عبد الرحمن ، قثنا عمي ، ح وحدثنا محمد بن يحيى ، ثنا هارون بن معروف ، وأبو سعيد الجعفي ، قالا  أنبا ابن وهب ، ح وحدثنا محمد بن عوف ، ثنا أصبغ بن الفرج ، عن عبد الله بن وهب ، قال : أخبرني يونس ، عن ابن شهاب أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku, dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma’ruf dan Abu Sa’id Al Ja’fiy dimana keduanya berkata telah memberitakan kepada kami Ibnu Wahab. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami Ashbagh bin Faraj dari Abdullah bin Wahab yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata “tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia ruju’ dari fatwanya ini”.

Silakan para pembaca melihat tidak ada yang rancu pada kalimat tersebut jika kalimat tersebut dituliskan dengan sanad yang lengkap. Salafy itu tetap bersikeras bahwa perkataan tentang Ibnu Abbas itu adalah milik Ibnu Sabrah, dan disebabkan tidak bisa membantah soal riwayat Muslim dan Baihaqi maka ia mengatakan kalau perkataan tentang Ibnu Abbas ini adalah ziyadah [tambahan] riwayat Ibnu Sabrah dari ayahnya. Maka dengan jawaban ngawur begini maka hadis lengkap Ibnu Sabrah akan menjadi seperti ini
Rabi’ bin Sabrah berkata bahwa ayahnya berkata “aku melakukan mut’ah di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wanita dari bani ‘Aamir dengan dua kain merah kemudian Beliau melarang kami melakukan mut’ah dan Rabi’ berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia ruju’ dari fatwanya ini”.

Agak luar biasa jika salafy itu tidak melihat kerancuan hadis dengan lafaz seperti ini. Rabi’ bin Sabrah menceritakan kalau ayahnya pernah melakukan mut’ah kemudian dilarang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tiba-tiba dengan lompatan yang mengagumkan Rabi’ bin Sabrah berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia ruju’ dari fatwanya ini”. Pertanyaannya kapan Rabi’ bin Sabrah menyebutkan soal fatwa Ibnu Abbas?. Lihat baik-baik, lafaz yang diucapkan oleh Rabi’ bin Sabrah adalah “fatwanya ini”. Lafaz itu menunjukkan kalau sebelumnya Rabi’ bin Sabrah telah menyebutkan fatwa Ibnu Abbas, tapi fatwa apa?. Dimana Ibnu Sabrah menyebutkannya? Bukankah hadis sebelumnya bicara soal ayahnya?. Lafaz seperti ini jelas sangat rancu kalau dikembalikan kepada Rabi’ bin Sabrah.

Lain ceritanya jika lafaz tersebut adalah milik Ibnu Syihab Az Zuhri seperti yang kami tuliskan. Az Zuhri berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia ruju’ dari fatwanya ini” maka dimengerti bahwa fatwa yang dimaksud adalah fatwa Ibnu Abbas yang menghalalkan mut’ah dalam hadis yang disebutkan oleh Az Zuhri sebelumnya. Jadi inti dari keseluruhan hadis panjang riwayat Abu Awanah adalah Penceritaan Az Zuhri kepada Yunus bin Yazid dimana Az Zuhri menggabungkan beberapa hadis dan pendapatnya sendiri. Awalnya Az Zuhri membawakan hadis Ibnu Abbas yang menghalalkan mut’ah kemudian Az Zuhri membawakan hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang mut’ah. Kemudian Az Zuhri menutup ceritanya dengan mengatakan kalau Ibnu Abbas telah ruju’ dari fatwanya. Az Zuhri tidak mendengar dari Ibnu Abbas maka riwayatnya disini dhaif karena inqitha’ [sanadnya terputus].

Kenyataannya adalah Ibnu Abbas tidak pernah ruju’ dari fatwanya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir [Al Bidayah Wan Nihayah 4/194] dan Ibnu Hajar yang mengutip Ibnu Batal menyebutkan kalau riwayat ruju’nya Ibnu Abbas adalah dhaif [Fath Al Bari 9/173]. Hadis riwayat Az Zuhri soal perselisihan Ibnu Zubair dan Ibnu Abbas adalah bukti yang jelas kalau Ibnu Abbas sampai mendekati akhir hayatnya tetap menghalalkan mut’ah. Peristiwa pertemuan Ibnu Zubair dan Ibnu Abbas dimana Ibnu Zubair menjadi pemimpin di Mekkah dan Ibnu Abbas yang sudah buta tinggal di Mekkah terjadi tahun 66 H [Fath Al Bari 8/327] sedangkan Ibnu Abbas sendiri wafat pada tahun 68 H [ada yang berkata 67 H]. Apalagi ternyata diketahui bahwa para sahabat dan murid Ibnu Abbas setelah wafatnya Ibnu Abbas tetap mengikuti fatwa Ibnu Abbas yang menghalalkan mut’ah.  Jadi sangat jauh kemungkinan kalau Ibnu Abbas ruju’ dari fatwanya. Salam Damai

Lampiran : Berikut ini adalah hadis riwayat Abu Awanah dalam kitab yang sudah ditahqiq, kami hanya ingin menunjukkan bahwa pada versi kitab yang ditahqiq hadis Rabi’ bin Sabrah dipisahkan dengan perkataan tentang ruju’nya Ibnu Abbas.






Lihat hadis no 4057, perhatikan setiap  sanad dengan matan tertentu dibuat secara terpisah. Kalau suatu hadis satu kesatuan dengan sanad dan matannya maka akan ditulis dalam satu bentuk paragraf dimana bagian awal kalimat menjorok kedalam. Perhatikan bagian:

قال يونس : قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس

Awal kalimat “qaala Yunus” dibuat menjorok kedalam menandakan sanad baru dan kalau memang matan sanad tersebut adalah perkataan “ruju’nya Ibnu Abbas” maka mengapa itu ditulis secara terpisah. Lafaz:

أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا

Tidak dituliskan langsung setelah lafaz “wa ana jalis” padahal kalau memang itu satu kalimat matan yang sama maka ya tinggal lanjut saja tetapi kenyataannya lafaz “annahu qaala” dituliskan dibawahnya dengan menjorok kedalam [sejajar dengan lafaz "qaala Yunus"] menunjukkan itu adalah matan yang baru terpisah dari matan sebelumnya.

Kisah Pasien Terakhir 4 ( turis arab saudi manhaj salaf di kawasan Puncak disuguhi wanita jalanan oleh makelar licik)

SEBELUM MEMBACA KISAHNYA, HARUS DIKETAHUI UNTUK :

wahabi berteriak : “Syiah sesat !”
Tahukah anda ternyata gerakan anti syi’ah di Indonesia tujuannya cuma demi uang ?? Bagaimana mungkin pemerkosa TKW mengerti agama !

WASPADA… kepada tokoh-tokoh negara wahabi,.. janganlah kita tertipu dan terkagum-kagum dengan wahabi,..

waspadailah makar-makar orang wahabi,.. jika tidak,.. indonesia akan dibuat tragedi , jika kita tidak waspada akan bahaya dan makar mereka,..

wahabi di indonesia masih lemah, ingatkan keluarga kita dari pemahaman mereka, selama wahabi masih lemah, mereka akan berpura-pura, tidak berani  juga berpura-pura mengedepankan ukhuwah, usaha penyatuan antara sunni dan wahabi,.. media mereka di indonesia banyak, baik dari media radio,televisi,majalah,koran, website, juga buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit wahabi.




Kawin kontrak di Puncak, wahabi gunakan uang dari program anti syi’ah untuk Kawin Kontrak di Puncak
Menjamurnya kembali praktik kawin kontrak dan pelacuran di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat membuat gerah sejumlah ulama dan tokoh masyarakat muslim setempat. Mereka mendesak adanya tindakan tegas dan proaktif dan pemerintah.

“Kami tak mau sebutan Puncak sebagai daerah wisata juga dikenal sebagai kawasan praktik kawin kontrak dan prostitusi. Sebab itu pemkab harus segera bertindak, jika tak mampu biarkan kami yang bertindak sendiri,” ujar Hidayatullah, tokoh masyarakat Cisarua, Rabu.

Sebelumnya sejumlah alima ulama dan santri yang tergabung dalam masyarakat muslim Puncak mendatangi kantor Kecamatan Cisarua. Mereka menuntut tindakan tegas pemkab terhadap maraknya praktik kawin kontrak dan prostitusi. “Kami warga Kampung Warung Kaleng, Desa Tugu Utara, yang tahu benar kondisi di sana. Pelacur dan praktik kawin kontrak masih ada. Kami minta pemerintah bertindak, sebab jika dengan imbauan berupa spanduk tak mempan, ” ujar Munajat, ulama setempat.

Menurut dia, tingginya angka kemaksiatan di kawasan wisata Puncak menimbulkan keresahan bagi masyarakat. “Umumnya dilakukan oleh turis asing yang berlibur,” tuturnya.

Warga di sana pun, sebenarnya  sudah gerah dengan keberadaan tradisi kawin kontrak yang menjadi incaran pelancong dari negara Timur Tengah. Seorang aktivitas di Kampung sampay, Ucu, menuding lemahnya aparat Satpol PP setempat dalam menertibkan kawin kontrak di Warung Kaleng, Kampung Sampay, Kecamatan Cisarua, kabupaten Bogor. Bahkan, warga di sana juga menyatakan bahwa yang menjadi korban kawin kontrak sebagian besar adalah perempuan pendatang yang sengaja ditempatkan di vila-vila yang dikontrak oleh turis wahabi saudi.
BULAN Mei ini kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, bakal dibanjiri turis asal  Arab Saudi wahabi. Mereka biasanya menghabiskan waktu liburan di sana hingga tiga bulan berikutnya.
Selama musim liburan tersebut, para turis tersebut tinggal di sejumlah hotel dan wisma di daerah Tugu Selatan dan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Situasi ini selalu terjadi setiap tahunnya, sehingga warga setempat kerap menyebutnya sebagai ’Musim Arab’.

”Mereka selama ini tinggal di daerah Warungkaleng, Tugu Utara. Di sini juga ada wilayah yang dinamakan perkampungan Arab,” kata Dede (45), warga Kampung Sampai, Tugu Utara Dipaparkan, meskipun musim Arab baru akan dimulai Mei, tapi beberapa bulan sebelumnya sudah banyak vila, wisma, dan hotel kelas melati yang sudah dipesan. Bagi warga setempat, membanjirnya turis asal Timur Tengah membawa berkah tersendiri. ”Selain tempat penginapan penuh, rental mobil juga laku,” kata Dede.

Menurut Risman, warga lainnya, turis Arab yang berlibur di kawasan Puncak bisa menghabiskan uang hingga miliaran rupiah. Untuk berbelanja, makan, minum, transportasi, dan sejenisnya turis tersebut bisa menghabiskan Rp 3-5 juta per hari. ”Mereka biasanya datang secara berkelompok,” tutur seorang pedagang rokok di kawasan Kampung Sampai ini.

Di musim Arab ini, warga pun memanfaatkannya dengan membuka usaha makanan asal Timur Tengah. Pasalnya, turis Arab kurang begitu suka dengan makanan Indonesia. ”Mereka lebih suka makanan atau minuman asli negaranya, makanya di sini banyak toko makanan dan restoran dengan menu yang bertuliskan Arab,” ujar Risman.

Sekretaris Himpunan Pemandu Indonesia (HPI) Kabupaten Bogor Teguh Mulyana, mengatakan, musim Arab juga membawa berkah bagi para pemandu wisata. Namun, para guide tersebut tidak dibekali dengan standar seorang pemandu yang profesional, sehingga justru ada pemandu yang merugikan turis tersebut. ”Banyak warga yang fasih berbahasa Arab kemudian menjadi guide, termasuk menjadi penunggu vila,” kata Teguh Mulyana.

Rp 5 juta.
Namun, katanya, tidak sedikit turis asing yang berperilaku nakal selama berlibur di kawasan Puncak. ”Turis Arab rata-rata nakal. Sebagiannya sering ’jajan’ atau memesan perempuan. Dan sebagian yang lain ada saja yang melakukan kawin kontrak dengan warga sekitar, dengan biaya antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta. Itu baru mahar, belum kebutuhan sehari-hari lainnya yang pasti dicukupi oleh si turis itu,” ujarnya.


Gerakan anti syi’ah di Indonesia disponsori wahabi saudi, AS dan Israel
Uang dari pihak asing motifnya !

wahabi gunakan uang dari program anti syi’ah untuk Kawin Kontrak di Puncak.

Maraknya orang asing terutama dari kawasan timur tengah di kawasan Cipanas dan Puncak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat mulai mendapatkan pengawasan ekstra. Disinyalir pula, para imigran gelap yang melarikan diri pada minggu lalu dari tahanan imigrasi Sukabumi, lari ke kawasan ini. Namun, untuk pengawasan orang asing Pemda Cianjur mendapatkan banyak kendala.“Beberapa kendala di antaranya menyangkut aturan penertiban. Para orang asing tidak bisa ditertibkan begitu saja, karena ada aturan internasional. Namun, jika tidak ditertibkan keberadaanya bisa meresahkan masyarakat setempat terutama sistem sosial,” ungkap Ketua DPRD Kabupaten Cianjur, Gatot Subroto, saat dihubungiVIVAnews, 9 Juni 2012.
Gatot menjelaskan, langkah sementara yang dilakukan Pemda Cianjur adalah pembentukan tim pengawasan orang asing yang berada di kawasan Kabupaten Cianjur. Saat ini, draf pembentukan tim sedang dalam tahap penyusunan. Pembuatan draf ini sebagai kepanjangan akan diaktifkannya kembali lembaga pengawasan orang asing oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam waktu dekat.“Orang-orang Timur Tengah yang berada di Cipanas dan Puncak mulai bertambah banyak jumlahnya. Bahkan, mulai membentuk komunitas sendiri. Kala malam minggu kami bisa melihat mereka berkeliaran di sepanjang jalan atau mereka yang sedang asik kongkow di kedai-kedai Arab yang kian marak di kawasan Puncak dan Cipanas,” jelasnya.Gatot menjelaskan, dari sisi ekonomi mikro, ada hal positif keberadaan mereka.
Di antaranya, banyak kedai bergaya Arab yang menjual berbagai makanan dan keperluan seperti di Arab. Tapi, secara makro ekonomi, tidak jelas keberadaan mereka dengan pemasukan PAD Pemda Cianjur.“Yang paling ditakutkan adalah daerah ini mulai masuk wacana politik lain. Isu teroris bukan mustahil ada di kawasan ini. Saya juga dapat kabar banyak imigran yang gagal menyeberang dan tertangkap aparat lari dan bersembunyi di kawasan ini,” tuturnya.
Yang paling Gatot takutkan adalah maraknya kawin kontrak. Ini pelecehan dan akan menjadi beban panjang baik pemerintah daerah maupun pusat. “Mereka enak saja menikah dalam waktu tertentu. Setelah selesai kontrak dan punya anak bisa pergi dengan santai. Tanggung jawab anaknya siapa? Kondisi ini sudah terjadi,” keluhnya.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Tom Dani Garniat mengatakan, payung hukum berbentuk SK Bupati itu nantinya akan mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi tim pengawasan terhadap orang asing di Kabupaten Cianjur.

Aturan ini akan tidak jauh berbeda dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 49/2010 dan Permendagri Nomor 50/2010 tentang Pedoman Tata Kerja Tim Pengawasan Orang Asing.
“Nantinya kinerja atau tupoksi tim pengawasan orang asing ini diatur melalui SK bupati yang saat ini drafnya masih disusun. Kami koordinasi dengan berbagai instansi terkait, semisal dari kejaksaan dan aparat kepolisian, termasuk NGO,” ungkapnya.

Tom mengharapkan, terbitnya SK bupati menyangkut tim pengawasan orang asing ini bisa menjadi suatu upaya antisipasi menyusul maraknya kasus warga asing ilegal di berbagai di daerah. Di Kabupaten Cianjur pun, tak menutup kemungkinan banyak warga asing yang belum terdata.

“Apalagi, saat ini di Cianjur sudah mulai banyak berdiri perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang mempekerjakan tenaga asing. Tentunya ini harus diawasi agar mereka terdata. Bukan hanya tenaga asing, termasuk juga peneliti maupun turis, karena dikhawatirkan izin tinggal mereka habis,” ucapnya

KISAH PEREMPUAN BANDUNG BERJILBAB RAPI NAMUN KORBAN wahabi di Puncak.

Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter rustam, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di kota bogor. Sore itu ia datang sambil membawa hasil laboratorium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vagina discharge).

Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka dikakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Disebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan akne vulgaris (jerawat) yang ia alami.

Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu per satu pasien yang berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucap salam dia memasuki kamar periksa dokter rustam. Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Dipojok ruang sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.
Dokter : “anda hamil, kemana suami anda ?”
Pelacur Puncak Bogor : “Ngga punya pak”
Dokter : “Anda nikah mut’ah atau ngelonte ?”
Pelacur Puncak Bogor : “Ngapain nikah mut’ah, saya nikah dengan niat bercerai (nikah bi niyyat at-thalaq), dapat duit lagi”
Dokter : “dengan turis arab saudi ya ?”
Pelacur Puncak Bogor : “saya dapat duit banyak, sang makelar hanya menyuguhkan wanita jalanan seperti saya, walau hamil saya ngga takut, maklum makelar bilang saya artis ibukota, duit banyak nich”
Dokter : “Anda pezina !”
…………………………………………………………………
Fakta nyata :::
.
sunni menolak nikah mut’ah…
salafi wahabi menolak nikah mut’ah..
.
Turis Saudi Ada Yang Nikah dengan Niat Talak, Jadi Bukan Nikah Mut’ah !!!
Adalah keanehan yang nyata bahwa Poligami dan Pernikahan Dini ditentang habis, tetapi disisi lain penyimpangan-penyimpangan seperti Perkawinan sesama jenis, Lokalisasi, dan lain-lainnya tidak mendapatkan serangan/penentangan yang berarti.

Sebagai penambah wawasan (dalam artian ‘positif’), dibagian Lanjutan saya kutipkan beberapa artikel dan fatwa mengenai :
1. Nikah dengan Niat Talak
2. Kawin Kontrak
Beberapa istilah yang hampir serupa adalah :
3. Nikah Mut’ah (dibolehkan oleh kalangan Syi’ah)
4. Nikah Misywar (dibolehkan oleh beberapa Ulama Sunni).

Fatwa #1:
Majmu’ Fatawa wa Maqulat Islamiyah
jilid 5, hal. 41-43.
oleh: Syaikh bin Baz
Menikah di luar negeri itu mengandung bahaya besar dan sangat berbahaya, maka tidak boleh pergi ke luar negeri kecuali dengan syarat-syarat yang penting. Sebab pergi ke luar negeri itu dapat menyebabkan kekafiran kepada Allah dan dapat menjerumuskan kepada kemaksiatan, seperti minum minuman keras (khamar), melakukan zina dan tindak keja-hatan lainnya. Maka dari itulah para ulama menegaskan haramnya bepergian ke negara-negara kafir, sebagai pengamalan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
“Aku tidak bertanggung jawab atas setiap Muslim yang bermukim (tinggal) di tengah-tengah masyarakat musyrikin.”.

Bermukim di tengah-tengah masyarakat kafir itu sangat berbahaya sekali, apakah itu untuk keperluan tourism, studi, perniagaan maupun lainnya. Maka mereka yang musafir dari kalangan pelajar SLTA atau SLTP atau untuk studi di perguruan tinggi menghadapi bahaya yang sangat besar. Maka kewajiban negara adalah memberikan jaminan dapat belajar di dalam negeri, dan tidak mengizinkan mereka pergi ke luar negeri karena banyak mengandung resiko dan bahaya yang sangat besar bagi mereka.

Banyak sekali keburukan yang lahir dari situ, seperti riddah (murtad), meremehkan maksiat zina dan minuman keras, dan yang lebih dari itu adalah meninggalkan shalat, sebagaimana telah menjadi maklum bagi siapa saja yang memperhatikan kondisi orang-orang yang suka bepergian ke luar negeri, kecuali mereka yang dibelaskasihi Allah, dan itu pun sangat sedikit sekali. Maka wajib mencegah mereka dari hal-hal tersebut dan hendaknya tidak diperbolehkan ke luar negeri kecuali orang-orang tertentu saja dari kalangan orang-orang yang dikenal komit dalam beragama, beriman dan mempunyai ilmu bila untuk kepentingan dakwah atau mendalami spesialisasi suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh negara Islam.

Dan Hendaknya bagi musafir yang dikenal mempunyai ilmu, keunggulan dan iman, wajib tetap istiqamah agar dapat berdakwah kepada Allah atas dasar bashirah dan mempelajari sebagaimana mestinya apa yang dibebankan kepadanya. Ada pengecualian lain, yaitu terpaksa harus mempelajari disiplin ilmu tertentu di mana tidak ada orang yang mempelajarinya dan tidak mudah untuk mendatangkan tenaga pengajar ke dalam negeri. Maka orang yang diutus untuk belajar itu adalah orang yang dikenal konsisten
dalam beragama, mempunyai bekal iman yang cukup dan mempunyai keunggulan, sebagaimana kami sebut di atas.

Adapun tentang menikah dengan niat talak (cerai) terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang mengha-ramkannya, seperti Imam Al-Auza’i Rahimahullaah dan sederet ulama lainnya. Mereka mengatakan bahwa nikah dengan niat talak itu serupa dengan nikah mut’ah. Maka hendaknya seseorang tidak melakukan pernikahan dengan niat akan menceraikannya dikemudian hari. Demikian pendapat mereka.

Mayoritas Ahlul ‘ilm (ulama), sebagaimana dicatat oleh Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah Rahimahullaah di dalam karya besarnya “al-Mughni” membolehkannya jika niatnya (hanya diketahui) dia dan Allah saja dan tanpa syarat. Maka jika seseorang melakukan perjalanan jauh untuk studi atau pekerjaan lainnya, sedangkan ia mengkhawatirkan dirinya (akan terjerumus ke dalam zina. pen), maka boleh menikah sekalipun dengan niat akan menceraikannya apabila tugasnya selesai. Pendapat ini yang lebih kuat apabila niatnya hanya antara dia dengan Allah saja tanpa suatu syarat dan tidak diberitahukan kepada istri atau walinya; dan yang tahu hanya Allah saja.

Jumhur (mayoritas) ulama membolehkan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan dan itu sama sekali tidak termasuk mut’ah, karena niatnya hanya diketahui dia dan Allah saja dan nikah tersebut dilakukan tanpa syarat.

Sedangkan nikah mut’ah ada keterikatan dengan syarat, seperti hanya untuk satu bulan, dua bulan, setahuan atau dua tahun saja, yang disepakati antara laki-laki yang menikah dengan keluarga istri atau antara dia dengan istri itu sendiri. Nikah yang seperti ini disebut nikah mut’ah dan hukumnya haram, sebagaimana ijma’ ulama, dan tidak ada yang menganggapnya enteng kecuali Rafidhah (Syi’ah). Memang pada awal Islam itu diperbolehkan, namun kemudian dihapus dan diharamkan oleh Allah hingga hari kiamat, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh hadits-hadits shahih.

Adapun menikah di suatu negeri yang ia datang ke sana untuk belajar (studi) atau ia datang ke sana sebagai duta atau karena sebab lainnya yang membolehkan ia bepergian ke negeri kafir, maka baginya boleh menikah dengan niat akan menceraikannya apabila ia akan kembali ke negaranya, sebagaimana dijelaskan di muka, apabila ia butuh nikah karena khawatir terhadap dirinya (akan perbuatan zina). Akan tetapi meninggalkan niat seperti itu lebih baik, sebagai sikap hati-hati di dalam beragama dan supaya keluar dari perbedaan pendapat para ulama, dan juga sebenarnya niat seperti itu tidak diperlukan. Sebab nikah itu sendiri tidak merupakan sesuatu yang terlarang dari talak bila memang ada maslahatnya sekalipun tidak ada niat talak ketika akan menikah.
_______________________________
Fatwa #2:
Jawaban dari Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
Dalam masalah nikah dengan niat untuk mentalak seperti ini, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, niat itu sejak awal sudah disampaikan kepada calon istri atau kepada walinya dan mendapatkan persetujuan. Maka nikah itu namanya nikah mut’ah yang hukumnya haram. Nikahnya sendiri tidak sah bahkan kalau berkumpul suami istri hukumnya zina.

Kemungkinan kedua, niat itu dipendam di dalam hati tidak diberitahukan kepada calon istri. Hal itu berarti sejak awal ada niat untuk menzalimi istri atau menipu keluarganya. Nikahnya itu hanya pura-pura atau hanya untuk kepentingan sesaat. Nikah dengan jalan menipu ini pun dilarang dalam agama.

Namun bedanya antara nikah mut’ah di atas dan nikah dengan niat talak adalah bahwa nikah mut’ah itu haramnya seperti zina. Sedangkan nikah dengan niat talak itu berdosa, tetapi sesungguhnya nikahnya itu tetap sah. Yang dilarang adalah niat untuk menceraikannya sejak awal. Kalau saja ketika sejak mula nikah belum ada niat untuk menceraikan, tentu saja hukumnya halal.

Bahwa di kemudian hari terjadi sesuatu yang menyebabkan seorang suami menceraikan istrinya dengan sebab yang bisa diterima syariah, tentu hukumnya halal. Meski cerai itu tetap saja perkara halal yang paling dibenci Allah. Tetapi bila belum ada niat untuk menceraikan pada awalnya, hukumnya boleh.
Sedangkan bila sejak awal menikah sudah ada niat untuk menceraikannya, berdosalah dia ketika menceraikannya nanti. Namun pernikahannya itu tetap sah dan hubungan suami istri yang mereka lakukan juga sah. Dosanya ketika melaksanakan niatnya.

Adapun yang seringkali terjadi dan sudah bukan rahasia umum lagi adalah adanya para pezina dari negeri Arab yang datang ke negeri kita mencari pekerja seks profesional.Maka begitu puas berzina dan sudah merasa membayar kewajiban, mereka pun pulang dengan santainya ke negerinya di sana, sambil menyangka bahwa apa yang mereka lakukan itu halal.

Kalau kita punya anak perempuan yang sudah kita didik jadi anak wanita shalilah, kira-kira relakah kita menikahkannya dengan laki-laki macam begitu? Sementara kita sangat tahu bahwa dia hanya sementara saja di negeri ini. Dari visa masuk yang tertera di passport-nya saja kita bisa tahu bahwa kedatangannya hanya dalam rangka senang-senang dan wisata seks, bukan dalam rangka menikah secara syar’i.
Informasi ini bukan lagi hal yang perlu ditutup-tutupi, karena semuanya bebas terjadi di beberapa hotel mesum di Jakarta, serta jalur Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur).
.
Di Puncak, turis-turis Timur Tengah menemukan surga dunia: pemandangan hijau, banyak bunga, air mengalir, dan bidadari berseliweran.
Indonesia Menjadi Obyek “Wisata Seks” Terpopuler Bagi Turis ArabRiyadh, Naif. Ketika Indonesia menjadi obyek dakwah dan ladang persemaian gerakan-gerakan Islam yang berasal dari negara-negara Arab, di sisi yang lain Indonesia juga menjadi obyek “wisata seks” yang sangat populer bagi turis-turis Arab.
Dan lebih naifnya lagi, praktik ini dilegalkan oleh fatwa beberapa ulama Saudi.

Baru-baru ini, Kepala Bidang Pembimbingan Masyarakat (Qism ar-Ra’aya) Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mendesak Badan Pembesar Ulama (Hay’ah Kubbar al-Ulama) kerajaan petro dollar tersebut untuk mengeluarkan fatwa yang menyikapi maraknya fenomena “pernikahan” para lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia “yang diniatkan adanya talak (cerai) setelahnya” (nikah bi niyyat at-thalaq).

Khalid al-Arrak, Kepbid Bimas Kedutaan Saudi di Jakarta menyatakan, pihaknya khawatir jika fenomena yang marak di kalangan lelaki negaranya itu kian hari kian merebak dan tak dapat dikontrol.
Harian Saudi Arabia al-Wathan (16/4) melansir, fenomena “nikah dengan niat talak di belakangnya” yang dilakukan oleh para lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia itu sangat populer.

Al-Arrak menyatakan, para lelaki Saudi yang melakukan praktik ini tidak lagi memperhatikan undang-undang yang berlaku terkait pernikahan, karena mereka justru menyandarkan perbuatan mereka terhadap salah satu fatwa ulama yang melegalkannya. “Mereka melakukan pernikahan ini dengan bersandar pada fatwa ulama yang membolehkan nikah dengan niat bercerai (nikah bi niyyat at-thalaq),” ungkap al-Arrak.
Sayangnya, dari pihak perempuan Indonesia sendiri menjadikan praktik ini sebagai ladang pekerjaan. Lagi-lagi kemiskinan dan susahnya hidup yang melilit mereka adalah dendang usang kaset lawas yang dijadikan dalih. “Perempuan Indonesia beranggapan jika menikah dengan lelaki Saudi, sekalipun kelak akan diceraikan, dipandang sebagai solusi sesaat untuk mendulang uang dan jalan pintas untuk dapat keluar dari jerat kemiskinan,” tambah al-Arrak.

Kedutaan Saudi di Jakarta sendiri telah mencatat setiaknya 82 pengaduan pada tahun lalu, ditambah 18 pengaduan tahun ini yang diajukan oleh para “mantan istri” perkawinan ini, yang ternyata menghasilkan anak.
Meski tidak tercatat secara resmi di Kedutaan, namun pihaknya siap untuk memfasilitasi anak-anak yang diadukan itu untuk dapat pergi ke Saudi, negara bapak mereka berasal, dengan memberikan tiket dan visa masuk gratis.

Tetapi, dalam banyak kasus, para bapak mereka (pria Saudi) tidak akan mengakui kalau anak-anak tersebut adalah darah daging mereka, karena tidak adanya bukti-bukti legal dan lengkap dari pihak keluarga perempuan di Indonesia.

Salah seorang korban dari paktik ini, Isah Nur (24), mengaku pernah dinikahi pria Saudi saat ia berusia 16 tahun. Sekarang ia telah menjanda, dan meneruskan profesi lamanya sebagai “istri yang dinikahi sesaat untuk kemudian diceraikan” dengan menjalani kehidupan malam.

Lebih naif lagi, Isah mengaku senang saat dulu dinikahi pria Saudi tersebut, karena orang-orang Saudi dipercaya memiliki dan membawa berkah. “Umat Islam di Indonesia menganggap orang Mekkah dan Madinah memiliki dan membawa berkah,” katanya.

pria Saudi itu hanya akan menikmati tubuhnya saja, “Saat meninggalkan kami, pria itu hanya memberikan uang Rp. 3 juta,” tutur Isah.
Praktik “pernikahan dengan niat bercerai sesudahnya” ini benar-benar naif, dan lebih naif lagi dilegalkan oleh fatwa ulama. Indonesia adalah tempat terpopuler untuk obyek praktik ini bagi orang-orang Arab, karena dipandang paling murah dan paling mudah. Praktik demikian sejatinya tak jauh beda dengan prostisusi, prostitusi yang kemudian terlegalkan oleh fatwa ulama. dan salah satu lokasi wisata favorit bagi turis-turis Arab untuk melegalkan praktik tersebut adalah kawasan puncak dan sekitarnya.

Bunyi musik terdengar dari sebuah vila: bising, sejenis musik keras dengan irama dan lirik padang pasir. Sebuah jendela yang gordennya terbuka mengungkapkan suasana ruang tamu vila yang bising itu. Di bawah lampu nan terang, seorang perempuan berdiri di hadapan seorang pria sambil meliuk-liukkan badannya seirama nada. Kedua tangannya terentang ke atas, pinggulnya diputar-putar. Memang, tak sedahsyat goyang Inul, penyanyi dangdut yang ngetop akhir-akhir ini.

Pemandangan seperti itu sangat akrab dijumpai di Kampung Sampay saat musim Arab tiba, begitu orang-orang di sekitar puncak menyebutnya. Musim Arab adalah masa dimana turis-turis dari Timur Tengah menghabiskan waktu libur setelah musim haji.Kawasan puncak merupakan salah satu tempat favorit. Menikmati hawa sejuk dan menyewa vila-vila adalah salah satu kepuasan yang mereka cari.

Padahal, sang makelar kadang hanya menyuguhkan wanita jalanan. Tak hanya dari Cisarua, perempuan-perempuan pemburu rial juga datang dari Cianjur, Sukabumi, dan berbagai daerah lainnya
Tapi ada yang lebih memicu aliran darah dari sekotak pemandangan lewat jendela itu: setidaknya, tubuh bagian atas penari itu tak ditutup apa pun. Sebelum segalanya jelas, rupanya penghuni vila menyadari gorden yang terbuka. Tiba-tiba jendela itu pun ditutup.

Di pertengahan Februari lalu itu, mereka meliput kawasan tersebut, desa yang dikabarkan pada bulan tertentu menjadi Kampung Arab dengan segala gaya berlibur turis Timur Tengah.
Kampung Arab? Nama asli kampung itu sendiri yakni Kampung Sampay, satu dari tiga kampung di Desa Tugu Selatan, satu kilometer di atas Taman Safari, Cisarua, Bogor. Dari Jakarta, jarak menuju kampung ini sekitar 84 kilometer.

Tapi, kalau Anda bertanya kepada penduduk sekitar tentang Kampung Arab, mereka tampak terbengong-bengong. Satu atau dua orang yang tiba-tiba memahami arah pertanyaan akan menjawab:, maksudnya Warung Kaleng?

Benar, lebih dari Kampung Sampay, lebih dari Kampung Arab, nama Warung Kaleng dikenal bukan saja oleh warga setempat, tapi juga sopir taksi di Bandara Soekarno-Hatta. Masuklah ke sembarang taksi, lalu sebut Warung Kaleng; dijamin Anda akan sampai ke Desa Sampay, Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Bogor.

Warung Kaleng sebenarnya adalah sepotong Jalan Jakarta-Puncak di kilometer 84, tak lebih dari 50 meter panjangnya. Di kanan-kiri jalan, berjajar 30-an warung. Ini yang unik, papan-papan nama warung itu bukan hanya berhuruf latin dengan kata-kata bahasa Indonesia, tapi juga (bahkan ada yang hanya) papan nama berhuruf Arab, dari wartel sampai toko roti, dari toko kelontong sampai rumah makan. Dan yang juga khas dibandingkan kampung lain, di sini banyak terlihat warga bertampang Timur Tengah.

BIDADARI-BIDADARI.
Nama Warung Kaleng sudah menjadi nama alternatif bagi Kampung Sampay sejak zaman kolonial Belanda. Dulu, kawasan itu secara administratif adalah tanah partikelir, yang kemudian dijadikan basis perdagangan oleh pedagang pendatang dari Cina. Lambat laun, para pedagang itu berasimilasi dengan penduduk setempat, lantas masuklah Islam.

Kata penduduk setempat, riwayat nama Warung Kaleng bermula dari warung-warung yang didirikan oleh para pedagang Cina itu: hampir semua warung beratap seng atau kaleng. Jadilah sepetak lahan itu kemudian di sebut Warung Kaleng.

Nama itu tetap melekat meski suasana Cina praktis tak tercium lagi dan atap seng tak lagi terlihat. Kini, warung-warung itu bertembok dan sudah beratap genteng. Suasananya pun berganti ke-Arab-Araban. Belakangan, muncul sebutan baru itu: Kampung Arab—bukan hanya untuk sepetak Warung Kaleng, tapi juga untuk seluruh Kampung Sampay.

Jadi, melihat lokasinya, bolehlah dibilang Warung Kaleng merupakan gerbang Kampung Arab. Di kawasan warung itulah pusat lalu lintas turis Arab (kebanyakan dari Arab Saudi, Bah-rain, Kuwait, dan Qatar). Soalnya, sejauh ini, hanya di warung-warung itu tersedia segala kebutuhan turis Arab yang khas: mulai dari minuman (vodka yang didatangkan dari Jakarta), tembakau dan bumbunya (yang langsung diimpor dari Timur Tengah) untuk merokok gaya Arab, sampai roti arab (buatan lokal).

Alkisah, di awal 1990-an, ketika Irak diserbu Amerika dan sekutunya, banyak turis Timur Tengah datang ke Kampung Sampay. Mereka menginap di vila-vila selama kira-kira satu minggu hingga satu bulan. Di tahun-tahun sebelumnya, turis Arab juga sudah datang ke Kampung Sampay, namun tak banyak.

Dikenalnya Kampung Sampay oleh turis Arab tentunya dimakcomblangi biro-biro pariwisata, terutama biro yang berkantor di sepanjang Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Di kawasan ini, para turis itu boleh merasa setengah di rumah sendiri, setidaknya dalam hal makan, karena di jalan ini ada dua rumah makan khas Timur Tengah.

Tapi kenapa Kampung Sampay? Konon, turis-turis dari padang pasir itu merindukan suasana yang berbeda dengan negeri mereka yang panas dan berpantai. Mereka mengidamkan berlibur di kawasan pegunungan yang sejuk dan hijau. Lalu, dibawalah mereka ke kawasan Puncak, dari Cisarua sampai Cipanas. Bila kemudian Warung Kaleng menjadi terpopuler di antara turis Arab, ada ceritanya.

Menurut Syaiful Idries, Kepala Urusan Administrasi Desa Tugu Selatan, gambaran orang Arab tentang surga dunia itu adalah jabal ahdor atau gunung hijau. Di Kampung Sampay, kata Syaiful, mereka menemukan jabal ahdor itu. Di Puncak ini kan banyak bunga, air mengalir, lingkungannya hijau dan indah, tuturnya.

Tapi kalau hanya gunung hijau, bukan hanya Kampung Sampay yang punya. Kampung ini menjadi istimewa buat turis Arab karena banyak bidadari dan secara sosial lingkungan di sini longgar, warganya tak begitu peduli dengan urusan orang lain. Jadi (Syaiful melanjutkan ceritanya sambil tertawa), bagi orang Arab, Warung Kaleng bukan hanya jabal ahdor, tapi juga jabal al jannah, gunung surga. ˜Bidadari-bidadari itu didatangkan dari desa lain yang cukup jauh, paparnya.

MERACUNI ANAK-ANAK.
Singkat cerita, kerasanlah turis-turis itu berlibur di jabal al jannah. Bahkan, secara sosial keagamaan, suasana di sini pun okey: ada suara azan berkumandang saat menjelang salat wajib. Di Kampung Sampay, ada tiga pondok pesantren, dan ada pula satu pesantren baru yang sedang dibangun.

Warga setempat pun menyambut para turis Arab dengan terbuka. Apa boleh buat, secara nyata, mereka memang mendatangkan fulus. Penginapan terisi, makanan terjual, sumbangan pun mengalir. Lihatlah Haji Samsudin, 65 tahun, yang sedang memimpin pendirian sebuah pondok pesantren baru di Kampung Sampay ini, namanya Pondok Sikoyatun Najah.

Menurut Wak haji ini, sebagian biaya calon pesantrennya diperoleh dari sumbangan turis Arab. Di sebuah lorong di belakang Warung Kaleng, terpasang spanduk dalam tulisan dan bahasa Arab, yang artinya kurang lebih begini: Kami sedang membangun gedung untuk pondok pesantren di sini, mohon sumbangannya.

Dengan bahasa dan huruf Arab, jelaslah sasaran spanduk itu. Lantas, Nanang Supriatna, salah seorang Ketua RT di Kampung Sampay, mengatakan: Enggak ada Arab, enggak hidup ekonomi orang-orang sini.
Nanang yang sehari-hari berjualan kambing, pada Idul Adha yang lalu berhasil menjual 11 kambing. Kalau enggak ada Arab, kambing saya paling-paling laku dua ekor, tuturnya kepada TRUST. Dan ternyata bukan hanya 11. Begitu ia selesai bertransaksi untuk kambing yang ke-11 dengan Samid (mahasiswa Arab Saudi yang menginap di Vila Barita), datang pesanan dua kambing lagi dari turis Arab yang menginap di Aldita, vila pertama di daerah itu.

Tapi tak seluruh penduduk mengangguk-angguk dan mengucapkan ahlan wasahlan kepada tamu-tamu Timur Tengah itu. Haji Ichwan Kurtubi, 55 tahun, seorang tokoh masyarakat Kampung Sampay, merasa tak enak melihat perilaku para turis itu. Para ulama, katanya, pasti tidak setuju warga di sini memfasilitasi para turis itu ber-dugem ria alias berdunia gemerlapan. Mereka itu enggak bener. Masa sih ada Arab zina.

VODKA DI TANGAN KANAN.
Tapi, anak-anak muda yang dijaga oleh Haji Ichwan itu sendiri tak peduli. Mereka dengan senang mengadakan ini dan itu untuk para turis. Dan dengan begitu ”mulai sebagai pemandu wisata, mencarikan kambing korban, mengantar si turis dengan ojek, mencarikan vila, sampai menjadi preman penjaga keamanan—mereka mendapatkan penghasilan. Kata Haji Ichwan: Ulama di sini sudah kalah sama anak-anak muda itu

Sedangkan Zaki al-Habsy, pengelola gerai penukaran uang di Warung Kaleng, mencoba bersikap realistis. Yang tidak suka dengan turis-turis Arab itu hanya orang-orang yang tidak berbisnis melayani mereka, kata Zaki yang juga agen perjalanan itu.

Sebenarnya, di balik ketenangan hijaunya bukit dan pepohonan Kampung Sampay, ada keresahan yang tersembunyi. Perilaku dan gaya berlibur lelaki-lelaki dari padang pasir itu yang eksklusif dan tertutup bagi siapa saja, kecuali terhadap orang-orang yang mereka butuhkan selain melahirkan kecemburuan, juga menimbulkan ketersinggungan.

Benar, wanita-wanita yang mereka datangkan bukan warga Tugu Selatan. Yang terlihat dari jendela itu, misalnya yang diminta menari striptease atau tari perut, konon, adalah perempuan dari Cianjur, 20-an kilometer dari Tugu. Tapi, menurut Haji Ichwan, suasana seperti itu di depan mata mereka adalah racun buat generasi muda. Apalagi, setidaknya, ada dua turis Arab meninggal di salah satu vila di Kampung Sampay selagi berpesta pora. ”Orang Arab kan sudah terkenal dengan pemeo: vodka di tangan kanan dan cewek di tangan kiri, kata Abubakar Sjarief, Kepala Desa Tugu Selatan.

Dan sebenarnya, Abubakar melanjutkan, yang mendapat rezeki dari turis Arab hanya beberapa orang saja. Pokoknya, rezeki (dari para turis) itu tidak berimbang dengan mudaratnya. Secara umum, ke depan, kami dirugikan,  ungkapnya.

Memang, di luar tukang ojek, penjaga malam, tukang masak di vila, dan preman penjaga keamanan kampung, semua lahan usaha yang berhubungan dengan Arab dijalankan oleh pendatang. Kendati warga setempat bisa berbahasa arab, mereka tidak bisa menjadi pemandu wisata. Soalnya, untuk menjadi guide, mereka harus terdaftar di Ikatan Guide Puncak yang pengurusnya adalah pendatang.

Itulah, dari pemandu wisata, penerjemah, pengelola trans-portasi, sampai pengelola penyewaan mobil, hampir semuanya orang Jawa Tengah—terutama dari Solo dan sekitarnya dan dari Jakarta. Juga toko-toko yang berderet di Warung Kaleng, sebagian besar dimiliki pendatang
.
Namun, soal rezeki ini tak pernah muncul ke permukaan sebagai konflik sosial. Konflik yang pernah terjadi adalah konflik moral. Tahun lalu, sejumlah santri mulai dari Ciawi hingga Cisarua menyerbu diskotek dan tempat mesum lain di kawasan Tugu Selatan. Gebrakan itu sampai sekarang masih terasa. Menurut Abubakar, sejak saat itu, wisata berbau seks di wilayah tersebut agak mereda. Turis Arab memang masih datang, tapi musik bising dari vila-vila jauh berkurang.

Menurut seorang pemandu wisata di situ, untuk sementara mereka membawa turis Arab ber-dugem ke tempat lain: Cipanas, bahkan sampai ke Selabintana. Tapi, bisa jadi, wanita yang menari-nari di tempat menginap sama saja dengan perempuan yang terlihat dari jendela itu. Soalnya, nomor telepon genggam mereka sudah ada di tangan para calo. Jadi, kapan saja, per-empuan itu bisa dihubungi, baik secara langsung maupun dengan SMS.

Menjelang “Kumbang” Datang Kawasan Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak, Cisarua, mulai menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya. Sejumlah tempat peristirahatan berupa vila dan bungalo yang mudah ditemui ditemui disitu sudah mulai dipesan.

Hingga pekan ketiga April, peningkatan pemesanan untuk pemakaian awal bulan depan diperkirakan mencapai 50%. Padahal musim yang ditunggu itu baru akan dimulai pada Juni hingga Agustus mendatang.
Pada Juni hingga Agustus, kawasan Puncak yang kerap dijadikan tempat wisata itu berubah menjadi kawasan yang dipenuhi pria Arab.

Sungguh malang nasib Puncak, sekarang tidak lebih adalah merupakan lokalisasi pelacuran pria-pria Arab hidung belang. Rasakan saja pria-pria Arab hidung belang itu, untuk berzina saja harus pergi ke luar negeri karena tidak bisa di negaranya sendiri. Sungguh malang nasib negara kita ini, sebagian mucikari dan germo-germo di Puncak yang merasakan senang karena mendapatkan lapangan pekerjaan menyediakan jasa esek-esek di Puncak bagi laki-laki Arab hidung belang.

Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini mau saja dijadikan lokalisasi pelacuran oleh laki-laki Arab hidung belang. Demikian pun para germo dan para penari striptease serta pelacur itu sangat berbahagia. Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini yang senang sekali menyediakan jasa esek-esek bagi lelaki Arab hidung belang.
Saya jadi teringat ketika masih mahasiswa, saya memarkir mobil saya disebuah rumah makan di puncak.

Tiba-tiba, datang seorang menawarkan villa kepada kami (saya bersama teman), bahkan dengan tersenyum dia menambahkan: “ada isinya mas!”. Sekarang baru saya sadari bahwa kawasan Puncak telah berubah menjadi kawasan maksiat lokalisasi bertaraf Internasional bagi laki-laki hidung belang Arab. Saya membayangkan, bagaimana iklan syurga Puncak itu beredar di kalangan laki-laki Arab hidung belang di Timur Tengah sana. “Puncak, puncak, syurga, syurga!”

Daripada kita menuding laki-laki Arab yang hidung belang itu, lebih baik kita bersedih atas mental melacur dan menggermo bangsa kita di Puncak sana.

Ada Musim Arab di Warung Kaleng Nama Cisarua mungkin tak asing lagi. Kawasan wisata sejuk di Puncak, Kabupaten Bogor, itu kini semakin mencuat menyusul penggerebekan oleh polisi, Selasa (1/8) dini hari. Polisi menangkap para pelaku kawin kontrak yang melibatkan perempuan lokal dan WN Arab di kawasan tersebut.

Kecamatan Cisarua dipenuhi tempat hiburan dan penginapan. Ada yang berbentuk penginapan biasa, vila, atau hotel. Cisarua berada di ketinggian 650-1.100 meter di atas permukaan laut, memiliki suhu udara rata-rata 20,5 derajat Celsius, dengan curah hujan 112-161 milimeter persegi setiap tahunnya.

Cisarua terdiri dari sembilan desa dan satu kelurahan dengan total luas wilayah 6.373,62 hektar. Sembilan desa itu adalah Tugu Selatan (luas 1.712,61 hektar), Tugu Utara (1.703 hektar), Batulayang (226 hektar), Cibeureum (1.128,62 hektar), Citeko (461 hektar), Kopo (453,21 hektar), Leuwimalang (135,18 hektar), Jogjogan (154 hektar), dan Cilember (200 hektar). Satu kelurahan adalah Cisarua dengan luas 200 hektar. Di wilayah tersebut tercatat ada 1.577 vila, 42 hotel, 182 restoran dan 37 warung telekomunikasi. Fasilitas-fasilitas itu tersebar di seluruh desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Cisarua.

Namun, ada dua desa yang menjadi primadona wisatawan, terutama turis dari Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya, yakni Tugu Utara dan Tugu Selatan. Tak mengherankan jika di jalanan di dua desa tersebut bertebaran tulisan dalam huruf Arab di sana-sini. Nama-nama atau plang papan nama usaha di sana kebanyakan ditulis dalam huruf Arab dan dipasang di kaca atau pintu. Warga di dua desa tersebut, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, juga sangat fasih berbahasa Arab. Mungkin dua desa itu bisa disebut Little Town Arabian.

Suasana Arab dangat kental terasa di Tugu Selatan. Desa itu terletak sekitar 84,2 kilometer dari Jakarta, 42 kilometer dari Kantor Bupati Bogor di Cibinong, dan 90,3 kilometer dari Bandung. Jumlah penduduk 15.380 jiwa dari 3695 kepala keluarga. Di wilayah kami ada 44 RT, 17 RW, dan 7 dusun. Di Tugu Selatan sekarang ada 5 hotel, 2 tempat rekreasi, 344 vila, dan 4 restoran,” kata Sekretaris Desa Tugu Selatan, Baini, ketika ditemui Warta Kota di kantornya.

Di Desa Tugu Selatan ada kampung yang namanya sangat populer di Jazirah Arab. Kampung tersebut bernama Sampay atau lebih terkenal dengan sebutan Warung Kaleng. Sekarang, jalan utama kampung itu diberi nama Jalan Sindang Subur. Toh, nama itu tetap kalah populer dibanding Warung Kaleng. Meskipun di sini sudah diberi nama Jalan Sindang Subur, tetapi orang-orang lebih mengenal dengan sebutan Warung Kaleng. Itu sudah terkenal sejak zaman revolusi,” kata Ketua RT 14, H Syukur.

Menurutnya, nama Warung Kaleng punya cerita tersendiri. Dahulu, beberapa rumah di sana dimiliki oleh orang Cina yang sudah masuk Islam, yaitu Abdul Fadli, Abdul Salim dan Nur Salim. Mereka adalah pedagang kelontong yang warungnya berada di jalan raya, atau terletak di ujung jalan masuk ke Kampung Sampay.

Para pedagang itu membuat atap rumahnya dari kaleng bekas minyak goreng atau kaleng ble. Mereka menggunting kaleng tersebut dan memanteknya dengan paku hingga menjadi atap pengganti genteng atau asbes. Konon pada zaman revolusi, warung mereka sangat terkenal. Orang-orang yang datang ke warung-warung tersebut selalu menyebutnya dengan sebutan Warung Kaleng. Nama tersebut terus menempel hingga sekarang.

Pada zaman kemerdekaan, semakin banyak turis yang datang ke kampung tersebut. Kebanyakan berasal dari Arab Saudi atau negara Timur Tengah lainnya. Mereka suka datang ke kampung tersebut karena udaranya sejuk dan bersih, jauh berbeda dengan udara di negaranya. Tak ayal, bisnis penginapan pun tumbuh pesat. Kini di Kampung Sampay berdiri 10 vila dan satu hotel.

Seringnya turis Arab datang ke kampung itu membuat di sana ada istilah Musim Arab. Musim itu terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Pada bulan-bulan tersebut, para pekerja di Arab Saudi libur, sehingga banyak yang berlibur ke Indonesia dan melepas penat di Warung Kaleng. Repotnya, hal itu juga disusul dengan munculnya praktik zina antara para turis Arab dengan perempuan-perempuan lokal.

Para suami di Puncak rela istri kawin kontrak dengan orang Arab.

Bogor- Kawin kontrak marak terjadi di kawasan Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Mayoritas pelaku kawin kontrak adalah warga negara asing.
Namun parahnya, kebanyakan perempuan yang rela dinikahi secara kontrak itu telah bersuami. Sebelum dinikahi, pelaku harus terlebih dulu meminta izin kepada suami dari perempuan itu.
“Di sini laki-laki Arab kalau mau nikahin wanita itu harus izin suaminya dulu. Kalau suami oke nanti tanda tangan kontrak pakai materai. Kalau enggak setuju ya enggak bisa,” kata Rudi, warga setempat, kepada merdeka.com, di Desa Batu Layang, Cianjur, Jawa Barat, Senin (19/2).

Namun Rudi menyanggah jika kawin kontrak ini dilakukan oleh warga Cisarua. Dia mengatakan kebanyakan tetangganya hanya menampung para tenaga kawin kontrak.

“Kebanyakan dari Cirebon, Cianjur. Mereka ditampung di vila-vila di sini,” kata Rudi.
Rudi mengungkapkan tidak semua warga Arab yang datang dan kawin kontrak menelantarkan anaknya. “Kebanyakan mereka kawin selama tiga bulan. Nanti pergi kalau punya anak ya sudah, tapi ada juga yang enggak nelantarin anaknya,” tutup dia.

Setidaknya ada 20 RT di sejumlah desa di Cisarua yang memiliki klien WNA kawin kontrak. Kebanyakan warga asing yang melakukan kawin kontrak di kawasan ini berasal dari Afghanistan dan Pakistan. Tarif yang ditawarkan mereka bisa sampai puluhan juta perbulan-nya untuk kawin kontrak.

Sumber: Merdeka.com

Uang, wanita dan udara dingin Puncak. Tiga hal yang membuat bisnis birahi ini tak pernah mati.

Ketua P2TP2A Jabar Netty Prasetiyani Heryawan mengingatkan akan pentingnya sebuah perkawaninan tercatat secara hukum.

Pemerintah dinilai belum serius menggarap potensi pariwisata Indonesia.

Faktor tak dapat persetujuan istri pertama untuk berpoligami dan halangan keluarga jadi sebab mereka kawin di Thailand.

Pria-pria yang mayoritas berasal dari Afghanistan dan Pakistan ini mengisi vila-vila di Cisarua.

Sebelum dinikahi, pelaku harus terlebih dulu meminta izin kepada suami dari perempuan itu.

Daerah ini dikenal sebagai pusat kawin kontrak antara wanita setempat dengan orang-orang Arab yang berpelesir.

"Permasalahannya mereka itu (pelaku kawin kontrak) melakukannya secara sadar," kata Rikwanto.

"Dulu aku dapat Rp 50 juta waktu pertama kali kawin kontrak. Ada yang 80 juta," kata Sarah, pelaku kawin kontrak.

Kebanyakan wanita yang ikut dalam bisnis kawin kontrak ini mengharapkan uang. Tak berbeda dengan PSK.

wisata seks turis arab saudi manhaj salaf di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor dengan bersandar pada fatwa ulama sunni yang membolehkan nikah dengan niat bercerai (nikah bi niyyat at-thalaq)

Fakta nyata :::
.
sunni menolak nikah mut’ah…
salafi wahabi menolak nikah mut’ah..
.
Turis Saudi Ada Yang Nikah dengan Niat Talak, Jadi Bukan Nikah Mut’ah !!!
Adalah keanehan yang nyata bahwa Poligami dan Pernikahan Dini ditentang habis, tetapi disisi lain penyimpangan-penyimpangan seperti Perkawinan sesama jenis, Lokalisasi, dan lain-lainnya tidak mendapatkan serangan/penentangan yang berarti.
Sebagai penambah wawasan (dalam artian ‘positif’), dibagian Lanjutan saya kutipkan beberapa artikel dan fatwa mengenai :
1. Nikah dengan Niat Talak
2. Kawin Kontrak
Beberapa istilah yang hampir serupa adalah :
3. Nikah Mut’ah (dibolehkan oleh kalangan Syi’ah)
4. Nikah Misywar (dibolehkan oleh beberapa Ulama Sunni).

Fatwa #1 :
Majmu’ Fatawa wa Maqulat Islamiyah
jilid 5, hal. 41-43.
oleh Syaikh bin Baz
Menikah di luar negeri itu mengandung bahaya besar dan sangat berbahaya, maka tidak boleh pergi ke luar negeri kecuali dengan syarat-syarat yang penting. Sebab pergi ke luar negeri itu dapat menyebabkan kekafiran kepada Allah dan dapat menjerumuskan kepada kemaksiatan, seperti minum minuman keras (khamar), melakukan zina dan tindak keja-hatan lainnya. Maka dari itulah para ulama menegaskan haramnya bepergian ke negara-negara kafir, sebagai pengamalan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
“Aku tidak bertanggung jawab atas setiap Muslim yang bermukim (tinggal) di tengah-tengah masyarakat musyrikin.”

Bermukim di tengah-tengah masyarakat kafir itu sangat berbahaya sekali, apakah itu untuk keperluan tourism, studi, perniagaan maupun lainnya. Maka mereka yang musafir dari kalangan pelajar SLTA atau SLTP atau untuk studi di perguruan tinggi menghadapi bahaya yang sangat besar. Maka kewajiban negara adalah memberikan jaminan dapat belajar di dalam negeri, dan tidak mengizinkan mereka pergi ke luar negeri karena banyak mengandung resiko dan bahaya yang sangat besar bagi mereka.

Banyak sekali keburukan yang lahir dari situ, seperti riddah (murtad), meremehkan maksiat zina dan minuman keras, dan yang lebih dari itu adalah meninggalkan shalat, sebagaimana telah menjadi maklum bagi siapa saja yang memperhatikan kondisi orang-orang yang suka bepergian ke luar negeri, kecuali mereka yang dibelaskasihi Allah, dan itu pun sangat sedikit sekali. Maka wajib mencegah mereka dari hal-hal tersebut dan hendaknya tidak diperbolehkan ke luar negeri kecuali orang-orang tertentu saja dari kalangan orang-orang yang dikenal komit dalam beragama, beriman dan mempunyai ilmu bila untuk kepentingan dakwah atau mendalami spesialisasi suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh negara Islam.

Dan Hendaknya bagi musafir yang dikenal mempunyai ilmu, keunggulan dan iman, wajib tetap istiqamah agar dapat berdakwah kepada Allah atas dasar bashirah dan mempelajari sebagaimana mestinya apa yang dibebankan kepadanya. Ada pengecualian lain, yaitu terpaksa harus mempelajari disiplin ilmu tertentu di mana tidak ada orang yang mempelajarinya dan tidak mudah untuk mendatangkan tenaga pengajar ke dalam negeri. Maka orang yang diutus untuk belajar itu adalah orang yang dikenal konsisten
dalam beragama, mempunyai bekal iman yang cukup dan mempunyai keunggulan, sebagaimana kami sebut di atas.

Adapun tentang menikah dengan niat talak (cerai) terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang mengha-ramkannya, seperti Imam Al-Auza’i Rahimahullaah dan sederet ulama lainnya. Mereka mengatakan bahwa nikah dengan niat talak itu serupa dengan nikah mut’ah. Maka hendaknya seseorang tidak melakukan pernikahan dengan niat akan menceraikannya dikemudian hari. Demikian pendapat mereka.

Mayoritas Ahlul ‘ilm (ulama), sebagaimana dicatat oleh Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah Rahimahullaah di dalam karya besarnya “al-Mughni” membolehkannya jika niatnya (hanya diketahui) dia dan Allah saja dan tanpa syarat. Maka jika seseorang melakukan perjalanan jauh untuk studi atau pekerjaan lainnya, sedangkan ia mengkhawatirkan dirinya (akan terjerumus ke dalam zina. pen), maka boleh menikah sekalipun dengan niat akan menceraikannya apabila tugasnya selesai. Pendapat ini yang lebih kuat apabila niatnya hanya antara dia dengan Allah saja tanpa suatu syarat dan tidak

diberitahukan kepada istri atau walinya; dan yang tahu hanya Allah saja.
Jumhur (mayoritas) ulama membolehkan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan dan itu sama sekali tidak termasuk mut’ah, karena niatnya hanya diketahui dia dan Allah saja dan nikah tersebut dilakukan tanpa syarat.

Sedangkan nikah mut’ah ada keterikatan dengan syarat, seperti hanya untuk satu bulan, dua bulan, setahuan atau dua tahun saja, yang disepakati antara laki-laki yang menikah dengan keluarga istri atau antara dia dengan istri itu sendiri. Nikah yang seperti ini disebut nikah mut’ah dan hukumnya haram, sebagaimana ijma’ ulama, dan tidak ada yang menganggapnya enteng kecuali Rafidhah (Syi’ah). Memang pada awal
Islam itu diperbolehkan, namun kemudian dihapus dan diharamkan oleh Allah hingga hari kiamat, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh hadits-hadits shahih.

Adapun menikah di suatu negeri yang ia datang ke sana untuk belajar (studi) atau ia datang ke sana sebagai duta atau karena sebab lainnya yang membolehkan ia bepergian ke negeri kafir, maka baginya boleh menikah dengan niat akan menceraikannya apabila ia akan kembali ke negaranya, sebagaimana dijelaskan di muka, apabila ia butuh nikah karena khawatir terhadap dirinya (akan perbuatan zina). Akan tetapi meninggalkan niat seperti itu lebih baik, sebagai sikap hati-hati di dalam beragama dan supaya keluar dari perbedaan pendapat para ulama, dan juga sebenarnya niat seperti itu tidak diperlukan. Sebab nikah itu sendiri tidak merupakan sesuatu yang terlarang dari talak bila memang ada maslahatnya sekalipun tidak ada niat talak ketika akan menikah.
_______________________________
Fatwa #2 :
Jawaban dari Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
Dalam masalah nikah dengan niat untuk mentalak seperti ini, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, niat itu sejak awal sudah disampaikan kepada calon istri atau kepada walinya dan mendapatkan persetujuan. Maka nikah itu namanya nikah mut’ah yang hukumnya haram. Nikahnya sendiri tidak sah bahkan kalau berkumpul suami istri hukumnya zina.

Kemungkinan kedua, niat itu dipendam di dalam hati tidak diberitahukan kepada calon istri. Hal itu berarti sejak awal ada niat untuk menzalimi istri atau menipu keluarganya. Nikahnya itu hanya pura-pura atau hanya untuk kepentingan sesaat. Nikah dengan jalan menipu ini pun dilarang dalam agama.

Namun bedanya antara nikah mut’ah di atas dan nikah dengan niat talak adalah bahwa nikah mut’ah itu haramnya seperti zina. Sedangkan nikah dengan niat talak itu berdosa, tetapi sesungguhnya nikahnya itu tetap sah. Yang dilarang adalah niat untuk menceraikannya sejak awal. Kalau saja ketika sejak mula nikah belum ada niat untuk menceraikan, tentu saja hukumnya halal.

Bahwa di kemudian hari terjadi sesuatu yang menyebabkan seorang suami menceraikan istrinya dengan sebab yang bisa diterima syariah, tentu hukumnya halal. Meski cerai itu tetap saja perkara halal yang paling dibenci Allah. Tetapi bila belum ada niat untuk menceraikan pada awalnya, hukumnya boleh.
Sedangkan bila sejak awal menikah sudah ada niat untuk menceraikannya, berdosalah dia ketika menceraikannya nanti. Namun pernikahannya itu tetap sah dan hubungan suami istri yang mereka lakukan juga sah. Dosanya ketika melaksanakan niatnya.

Adapun yang seringkali terjadi dan sudah bukan rahasia umum lagi adalah adanya para pezina dari negeri Arab yang datang ke negeri kita mencari pekerja seks profesional.Maka begitu puas berzina dan sudah merasa membayar kewajiban, mereka pun pulang dengan santainya ke negerinya di sana, sambil menyangka bahwa apa yang mereka lakukan itu halal.

Kalau kita punya anak perempuan yang sudah kita didik jadi anak wanita shalilah, kira-kira relakah kita menikahkannya dengan laki-laki macam begitu? Sementara kita sangat tahu bahwa dia hanya sementara saja di negeri ini. Dari visa masuk yang tertera di passport-nya saja kita bisa tahu bahwa kedatangannya hanya dalam rangka senang-senang dan wisata seks, bukan dalam rangka menikah secara syar’i.
Informasi ini bukan lagi hal yang perlu ditutup-tutupi, karena semuanya bebas terjadi di beberapa hotel mesum di Jakarta, serta jalur Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur).

 Di Puncak, turis-turis Timur Tengah menemukan surga dunia: pemandangan hijau, banyak bunga, air mengalir, dan bidadari berseliweran.
Indonesia Menjadi Obyek “Wisata Seks” Terpopuler Bagi Turis ArabRiyadh, Naif. Ketika Indonesia menjadi obyek dakwah dan ladang persemaian gerakan-gerakan Islam yang berasal dari negara-negara Arab, di sisi yang lain Indonesia juga menjadi obyek “wisata seks” yang sangat populer bagi turis-turis Arab.
Dan lebih naifnya lagi, praktik ini dilegalkan oleh fatwa beberapa ulama Saudi.

Baru-baru ini, Kepala Bidang Pembimbingan Masyarakat (Qism ar-Ra’aya) Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mendesak Badan Pembesar Ulama (Hay’ah Kubbar al-Ulama) kerajaan petro dollar tersebut untuk mengeluarkan fatwa yang menyikapi maraknya fenomena “pernikahan” para lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia “yang diniatkan adanya talak (cerai) setelahnya” (nikah bi niyyat at-thalaq).
Khalid al-Arrak, Kepbid Bimas Kedutaan Saudi di Jakarta menyatakan, pihaknya khawatir jika fenomena yang marak di kalangan lelaki negaranya itu kian hari kian merebak dan tak dapat dikontrol.

Harian Saudi Arabia al-Wathan (16/4) melansir, fenomena “nikah dengan niat talak di belakangnya” yang dilakukan oleh para lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia itu sangat populer.
Al-Arrak menyatakan, para lelaki Saudi yang melakukan praktik ini tidak lagi memperhatikan undang-undang yang berlaku terkait pernikahan, karena mereka justru menyandarkan perbuatan mereka terhadap salah satu fatwa ulama yang melegalkannya. “Mereka melakukan pernikahan ini dengan bersandar pada fatwa ulama yang membolehkan nikah dengan niat bercerai (nikah bi niyyat at-thalaq),” ungkap al-Arrak.
Sayangnya, dari pihak perempuan Indonesia sendiri menjadikan praktik ini sebagai ladang pekerjaan. Lagi-lagi kemiskinan dan susahnya hidup yang melilit mereka adalah dendang usang kaset lawas yang dijadikan dalih. “Perempuan Indonesia beranggapan jika menikah dengan lelaki Saudi, sekalipun kelak akan diceraikan, dipandang sebagai solusi sesaat untuk mendulang uang dan jalan pintas untuk dapat keluar dari jerat kemiskinan,” tambah al-Arrak.

Kedutaan Saudi di Jakarta sendiri telah mencatat setiaknya 82 pengaduan pada tahun lalu, ditambah 18 pengaduan tahun ini yang diajukan oleh para “mantan istri” perkawinan ini, yang ternyata menghasilkan anak.
Meski tidak tercatat secara resmi di Kedutaan, namun pihaknya siap untuk memfasilitasi anak-anak yang diadukan itu untuk dapat pergi ke Saudi, negara bapak mereka berasal, dengan memberikan tiket dan visa masuk gratis.

Tetapi, dalam banyak kasus, para bapak mereka (pria Saudi) tidak akan mengakui kalau anak-anak tersebut adalah darah daging mereka, karena tidak adanya bukti-bukti legal dan lengkap dari pihak keluarga perempuan di Indonesia.

Salah seorang korban dari paktik ini, Isah Nur (24), mengaku pernah dinikahi pria Saudi saat ia berusia 16 tahun. Sekarang ia telah menjanda, dan meneruskan profesi lamanya sebagai “istri yang dinikahi sesaat untuk kemudian diceraikan” dengan menjalani kehidupan malam.
Lebih naif lagi, Isah mengaku senang saat dulu dinikahi pria Saudi tersebut, karena orang-orang Saudi dipercaya memiliki dan membawa berkah. “Umat Islam di Indonesia menganggap orang Mekkah dan Madinah memiliki dan membawa berkah,” katanya.

pria Saudi itu hanya akan menikmati tubuhnya saja, “Saat meninggalkan kami, pria itu hanya memberikan uang Rp. 3 juta,” tutur Isah. Praktik “pernikahan dengan niat bercerai sesudahnya” ini benar-benar naif, dan lebih naif lagi dilegalkan oleh fatwa ulama. Indonesia adalah tempat terpopuler untuk obyek praktik ini bagi orang-orang Arab, karena dipandang paling murah dan paling mudah. Praktik demikian sejatinya tak jauh beda dengan prostisusi, prostitusi yang kemudian terlegalkan oleh fatwa ulama. dan salah satu lokasi wisata favorit bagi turis-turis Arab untuk melegalkan praktik tersebut adalah kawasan puncak dan sekitarnya.

Bunyi musik terdengar dari sebuah vila: bising, sejenis musik keras dengan irama dan lirik padang pasir. Sebuah jendela yang gordennya terbuka mengungkapkan suasana ruang tamu vila yang bising itu. Di bawah lampu nan terang, seorang perempuan berdiri di hadapan seorang pria sambil meliuk-liukkan badannya seirama nada. Kedua tangannya terentang ke atas, pinggulnya diputar-putar. Memang, tak sedahsyat goyang Inul, penyanyi dangdut yang ngetop akhir-akhir ini.

Pemandangan seperti itu sangat akrab dijumpai di Kampung Sampay saat musim Arab tiba, begitu orang-orang di sekitar puncak menyebutnya. Musim Arab adalah masa dimana turis-turis dari Timur Tengah menghabiskan waktu libur setelah musim haji.Kawasan puncak merupakan salah satu tempat favorit. Menikmati hawa sejuk dan menyewa vila-vila adalah salah satu kepuasan yang mereka cari.

Padahal, sang makelar kadang hanya menyuguhkan wanita jalanan. Tak hanya dari Cisarua, perempuan-perempuan pemburu rial juga datang dari Cianjur, Sukabumi, dan berbagai daerah lainnya
Tapi ada yang lebih memicu aliran darah dari sekotak pemandangan lewat jendela itu: setidaknya, tubuh bagian atas penari itu tak ditutup apa pun. Sebelum segalanya jelas, rupanya penghuni vila menyadari gorden yang terbuka. Tiba-tiba jendela itu pun ditutup.

Di pertengahan Februari lalu itu, mereka meliput kawasan tersebut, desa yang dikabarkan pada bulan tertentu menjadi Kampung Arab dengan segala gaya berlibur turis Timur Tengah.
Kampung Arab? Nama asli kampung itu sendiri yakni Kampung Sampay, satu dari tiga kampung di Desa Tugu Selatan, satu kilometer di atas Taman Safari, Cisarua, Bogor. Dari Jakarta, jarak menuju kampung ini sekitar 84 kilometer.

Tapi, kalau Anda bertanya kepada penduduk sekitar tentang Kampung Arab, mereka tampak terbengong-bengong. Satu atau dua orang yang tiba-tiba memahami arah pertanyaan akan menjawab:, maksudnya Warung Kaleng?

Benar, lebih dari Kampung Sampay, lebih dari Kampung Arab, nama Warung Kaleng dikenal bukan saja oleh warga setempat, tapi juga sopir taksi di Bandara Soekarno-Hatta. Masuklah ke sembarang taksi, lalu sebut Warung Kaleng; dijamin Anda akan sampai ke Desa Sampay, Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Bogor.

Warung Kaleng sebenarnya adalah sepotong Jalan Jakarta-Puncak di kilometer 84, tak lebih dari 50 meter panjangnya. Di kanan-kiri jalan, berjajar 30-an warung. Ini yang unik, papan-papan nama warung itu bukan hanya berhuruf latin dengan kata-kata bahasa Indonesia, tapi juga (bahkan ada yang hanya) papan nama berhuruf Arab, dari wartel sampai toko roti, dari toko kelontong sampai rumah makan. Dan yang juga khas dibandingkan kampung lain, di sini banyak terlihat warga bertampang Timur Tengah.

BIDADARI-BIDADARI.
Nama Warung Kaleng sudah menjadi nama alternatif bagi Kampung Sampay sejak zaman kolonial Belanda. Dulu, kawasan itu secara administratif adalah tanah partikelir, yang kemudian dijadikan basis perdagangan oleh pedagang pendatang dari Cina. Lambat laun, para pedagang itu berasimilasi dengan penduduk setempat, lantas masuklah Islam.

Kata penduduk setempat, riwayat nama Warung Kaleng bermula dari warung-warung yang didirikan oleh para pedagang Cina itu: hampir semua warung beratap seng atau kaleng. Jadilah sepetak lahan itu kemudian di sebut Warung Kaleng.

Nama itu tetap melekat meski suasana Cina praktis tak tercium lagi dan atap seng tak lagi terlihat. Kini, warung-warung itu bertembok dan sudah beratap genteng. Suasananya pun berganti ke-Arab-Araban. Belakangan, muncul sebutan baru itu: Kampung Arab—bukan hanya untuk sepetak Warung Kaleng, tapi juga untuk seluruh Kampung Sampay.

Jadi, melihat lokasinya, bolehlah dibilang Warung Kaleng merupakan gerbang Kampung Arab. Di kawasan warung itulah pusat lalu lintas turis Arab (kebanyakan dari Arab Saudi, Bah-rain, Kuwait, dan Qatar). Soalnya, sejauh ini, hanya di warung-warung itu tersedia segala kebutuhan turis Arab yang khas: mulai dari minuman (vodka yang didatangkan dari Jakarta), tembakau dan bumbunya (yang langsung diimpor dari Timur Tengah) untuk merokok gaya Arab, sampai roti arab (buatan lokal).

Alkisah, di awal 1990-an, ketika Irak diserbu Amerika dan sekutunya, banyak turis Timur Tengah datang ke Kampung Sampay. Mereka menginap di vila-vila selama kira-kira satu minggu hingga satu bulan. Di tahun-tahun sebelumnya, turis Arab juga sudah datang ke Kampung Sampay, namun tak banyak.

Dikenalnya Kampung Sampay oleh turis Arab tentunya dimakcomblangi biro-biro pariwisata, terutama biro yang berkantor di sepanjang Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Di kawasan ini, para turis itu boleh merasa setengah di rumah sendiri, setidaknya dalam hal makan, karena di jalan ini ada dua rumah makan khas Timur Tengah.

Tapi kenapa Kampung Sampay? Konon, turis-turis dari padang pasir itu merindukan suasana yang berbeda dengan negeri mereka yang panas dan berpantai. Mereka mengidamkan berlibur di kawasan pegunungan yang sejuk dan hijau. Lalu, dibawalah mereka ke kawasan Puncak, dari Cisarua sampai Cipanas. Bila kemudian Warung Kaleng menjadi terpopuler di antara turis Arab, ada ceritanya.

Menurut Syaiful Idries, Kepala Urusan Administrasi Desa Tugu Selatan, gambaran orang Arab tentang surga dunia itu adalah jabal ahdor atau gunung hijau. Di Kampung Sampay, kata Syaiful, mereka menemukan jabal ahdor itu. Di Puncak ini kan banyak bunga, air mengalir, lingkungannya hijau dan indah, tuturnya.
Tapi kalau hanya gunung hijau, bukan hanya Kampung Sampay yang punya. Kampung ini menjadi istimewa buat turis Arab karena banyak bidadari dan secara sosial lingkungan di sini longgar, warganya tak begitu peduli dengan urusan orang lain. Jadi (Syaiful melanjutkan ceritanya sambil tertawa), bagi orang Arab, Warung Kaleng bukan hanya jabal ahdor, tapi juga jabal al jannah, gunung surga. ˜Bidadari-bidadari itu didatangkan dari desa lain yang cukup jauh, paparnya.

MERACUNI ANAK-ANAK.
Singkat cerita, kerasanlah turis-turis itu berlibur di jabal al jannah. Bahkan, secara sosial keagamaan, suasana di sini pun okey: ada suara azan berkumandang saat menjelang salat wajib. Di Kampung Sampay, ada tiga pondok pesantren, dan ada pula satu pesantren baru yang sedang dibangun.
Warga setempat pun menyambut para turis Arab dengan terbuka. Apa boleh buat, secara nyata, mereka memang mendatangkan fulus. Penginapan terisi, makanan terjual, sumbangan pun mengalir. Lihatlah Haji Samsudin, 65 tahun, yang sedang memimpin pendirian sebuah pondok pesantren baru di Kampung Sampay ini, namanya Pondok Sikoyatun Najah.

Menurut Wak haji ini, sebagian biaya calon pesantrennya diperoleh dari sumbangan turis Arab. Di sebuah lorong di belakang Warung Kaleng, terpasang spanduk dalam tulisan dan bahasa Arab, yang artinya kurang lebih begini: Kami sedang membangun gedung untuk pondok pesantren di sini, mohon sumbangannya. Dengan bahasa dan huruf Arab, jelaslah sasaran spanduk itu. Lantas, Nanang Supriatna, salah seorang Ketua RT di Kampung Sampay, mengatakan: Enggak ada Arab, enggak hidup ekonomi orang-orang sini.
Nanang yang sehari-hari berjualan kambing, pada Idul Adha yang lalu berhasil menjual 11 kambing. Kalau enggak ada Arab, kambing saya paling-paling laku dua ekor, tuturnya kepada TRUST. Dan ternyata bukan hanya 11. Begitu ia selesai bertransaksi untuk kambing yang ke-11 dengan Samid (mahasiswa Arab Saudi yang menginap di Vila Barita), datang pesanan dua kambing lagi dari turis Arab yang menginap di Aldita, vila pertama di daerah itu.

Tapi tak seluruh penduduk mengangguk-angguk dan mengucapkan ahlan wasahlan kepada tamu-tamu Timur Tengah itu. Haji Ichwan Kurtubi, 55 tahun, seorang tokoh masyarakat Kampung Sampay, merasa tak enak melihat perilaku para turis itu. Para ulama, katanya, pasti tidak setuju warga di sini memfasilitasi para turis itu ber-dugem ria alias berdunia gemerlapan. Mereka itu enggak bener. Masa sih ada Arab zina
.
VODKA DI TANGAN KANAN.
Tapi, anak-anak muda yang dijaga oleh Haji Ichwan itu sendiri tak peduli. Mereka dengan senang mengadakan ini dan itu untuk para turis. Dan dengan begitu ”mulai sebagai pemandu wisata, mencarikan kambing korban, mengantar si turis dengan ojek, mencarikan vila, sampai menjadi preman penjaga keamanan—mereka mendapatkan penghasilan. Kata Haji Ichwan: Ulama di sini sudah kalah sama anak-anak muda itu.

Sedangkan Zaki al-Habsy, pengelola gerai penukaran uang di Warung Kaleng, mencoba bersikap realistis. Yang tidak suka dengan turis-turis Arab itu hanya orang-orang yang tidak berbisnis melayani mereka, kata Zaki yang juga agen perjalanan itu.

Sebenarnya, di balik ketenangan hijaunya bukit dan pepohonan Kampung Sampay, ada keresahan yang tersembunyi. Perilaku dan gaya berlibur lelaki-lelaki dari padang pasir itu yang eksklusif dan tertutup bagi siapa saja, kecuali terhadap orang-orang yang mereka butuhkan selain melahirkan kecemburuan, juga menimbulkan ketersinggungan.

Benar, wanita-wanita yang mereka datangkan bukan warga Tugu Selatan. Yang terlihat dari jendela itu, misalnya yang diminta menari striptease atau tari perut, konon, adalah perempuan dari Cianjur, 20-an kilometer dari Tugu. Tapi, menurut Haji Ichwan, suasana seperti itu di depan mata mereka adalah racun buat generasi muda. Apalagi, setidaknya, ada dua turis Arab meninggal di salah satu vila di Kampung Sampay selagi berpesta pora. ”Orang Arab kan sudah terkenal dengan pemeo: vodka di tangan kanan dan cewek di tangan kiri, kata Abubakar Sjarief, Kepala Desa Tugu Selatan.

Dan sebenarnya, Abubakar melanjutkan, yang mendapat rezeki dari turis Arab hanya beberapa orang saja. Pokoknya, rezeki (dari para turis) itu tidak berimbang dengan mudaratnya. Secara umum, ke depan, kami dirugikan,  ungkapnya.

Memang, di luar tukang ojek, penjaga malam, tukang masak di vila, dan preman penjaga keamanan kampung, semua lahan usaha yang berhubungan dengan Arab dijalankan oleh pendatang. Kendati warga setempat bisa berbahasa arab, mereka tidak bisa menjadi pemandu wisata. Soalnya, untuk menjadi guide, mereka harus terdaftar di Ikatan Guide Puncak yang pengurusnya adalah pendatang.

Itulah, dari pemandu wisata, penerjemah, pengelola trans-portasi, sampai pengelola penyewaan mobil, hampir semuanya orang Jawa Tengah—terutama dari Solo dan sekitarnya dan dari Jakarta. Juga toko-toko yang berderet di Warung Kaleng, sebagian besar dimiliki pendatang.

Namun, soal rezeki ini tak pernah muncul ke permukaan sebagai konflik sosial. Konflik yang pernah terjadi adalah konflik moral. Tahun lalu, sejumlah santri mulai dari Ciawi hingga Cisarua menyerbu diskotek dan tempat mesum lain di kawasan Tugu Selatan. Gebrakan itu sampai sekarang masih terasa. Menurut Abubakar, sejak saat itu, wisata berbau seks di wilayah tersebut agak mereda. Turis Arab memang masih datang, tapi musik bising dari vila-vila jauh berkurang.

Menurut seorang pemandu wisata di situ, untuk sementara mereka membawa turis Arab ber-dugem ke tempat lain: Cipanas, bahkan sampai ke Selabintana. Tapi, bisa jadi, wanita yang menari-nari di tempat menginap sama saja dengan perempuan yang terlihat dari jendela itu. Soalnya, nomor telepon genggam mereka sudah ada di tangan para calo. Jadi, kapan saja, per-empuan itu bisa dihubungi, baik secara langsung maupun dengan SMS.

Menjelang “Kumbang” Datang Kawasan Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak, Cisarua, mulai menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya. Sejumlah tempat peristirahatan berupa vila dan bungalo yang mudah ditemui ditemui disitu sudah mulai dipesan.

Hingga pekan ketiga April, peningkatan pemesanan untuk pemakaian awal bulan depan diperkirakan mencapai 50%. Padahal musim yang ditunggu itu baru akan dimulai pada Juni hingga Agustus mendatang.
Pada Juni hingga Agustus, kawasan Puncak yang kerap dijadikan tempat wisata itu berubah menjadi kawasan yang dipenuhi pria Arab.

Sungguh malang nasib Puncak, sekarang tidak lebih adalah merupakan lokalisasi pelacuran pria-pria Arab hidung belang. Rasakan saja pria-pria Arab hidung belang itu, untuk berzina saja harus pergi ke luar negeri karena tidak bisa di negaranya sendiri. Sungguh malang nasib negara kita ini, sebagian mucikari dan germo-germo di Puncak yang merasakan senang karena mendapatkan lapangan pekerjaan menyediakan jasa esek-esek di Puncak bagi laki-laki Arab hidung belang. Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini mau saja dijadikan lokalisasi pelacuran oleh laki-laki Arab hidung belang.

Demikian pun para germo dan para penari striptease serta pelacur itu sangat berbahagia. Sungguh kasihan sekali bangsa kita ini yang senang sekali menyediakan jasa esek-esek bagi lelaki Arab hidung belang. Saya jadi teringat ketika masih mahasiswa, saya memarkir mobil saya disebuah rumah makan di puncak. Tiba-tiba, datang seorang menawarkan villa kepada kami (saya bersama teman), bahkan dengan tersenyum dia menambahkan: “ada isinya mas!”. Sekarang baru saya sadari bahwa kawasan Puncak telah berubah menjadi kawasan maksiat lokalisasi bertaraf Internasional bagi laki-laki hidung belang Arab. Saya membayangkan, bagaimana iklan syurga Puncak itu beredar di kalangan laki-laki Arab hidung belang di Timur
Tengah sana. “Puncak, puncak, syurga, syurga!”

Daripada kita menuding laki-laki Arab yang hidung belang itu, lebih baik kita bersedih atas mental melacur dan menggermo bangsa kita di Puncak sana.

Ada Musim Arab di Warung Kaleng Nama Cisarua mungkin tak asing lagi. Kawasan wisata sejuk di Puncak, Kabupaten Bogor, itu kini semakin mencuat menyusul penggerebekan oleh polisi, Selasa (1/8) dini hari. Polisi menangkap para pelaku kawin kontrak yang melibatkan perempuan lokal dan WN Arab di kawasan tersebut.

Kecamatan Cisarua dipenuhi tempat hiburan dan penginapan. Ada yang berbentuk penginapan biasa, vila, atau hotel. Cisarua berada di ketinggian 650-1.100 meter di atas permukaan laut, memiliki suhu udara rata-rata 20,5 derajat Celsius, dengan curah hujan 112-161 milimeter persegi setiap tahunnya.

Cisarua terdiri dari sembilan desa dan satu kelurahan dengan total luas wilayah 6.373,62 hektar. Sembilan desa itu adalah Tugu Selatan (luas 1.712,61 hektar), Tugu Utara (1.703 hektar), Batulayang (226 hektar), Cibeureum (1.128,62 hektar), Citeko (461 hektar), Kopo (453,21 hektar), Leuwimalang (135,18 hektar), Jogjogan (154 hektar), dan Cilember (200 hektar). Satu kelurahan adalah Cisarua dengan luas 200 hektar. Di wilayah tersebut tercatat ada 1.577 vila, 42 hotel, 182 restoran dan 37 warung telekomunikasi. Fasilitas-fasilitas itu tersebar di seluruh desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Cisarua.

Namun, ada dua desa yang menjadi primadona wisatawan, terutama turis dari Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya, yakni Tugu Utara dan Tugu Selatan. Tak mengherankan jika di jalanan di dua desa tersebut bertebaran tulisan dalam huruf Arab di sana-sini. Nama-nama atau plang papan nama usaha di sana kebanyakan ditulis dalam huruf Arab dan dipasang di kaca atau pintu. Warga di dua desa tersebut, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, juga sangat fasih berbahasa Arab. Mungkin dua desa itu bisa disebut Little Town Arabian.

Suasana Arab dangat kental terasa di Tugu Selatan. Desa itu terletak sekitar 84,2 kilometer dari Jakarta, 42 kilometer dari Kantor Bupati Bogor di Cibinong, dan 90,3 kilometer dari Bandung. Jumlah penduduk 15.380 jiwa dari 3695 kepala keluarga. Di wilayah kami ada 44 RT, 17 RW, dan 7 dusun. Di Tugu Selatan sekarang ada 5 hotel, 2 tempat rekreasi, 344 vila, dan 4 restoran,” kata Sekretaris Desa Tugu Selatan, Baini, ketika ditemui Warta Kota di kantornya.

Di Desa Tugu Selatan ada kampung yang namanya sangat populer di Jazirah Arab. Kampung tersebut bernama Sampay atau lebih terkenal dengan sebutan Warung Kaleng. Sekarang, jalan utama kampung itu diberi nama Jalan Sindang Subur. Toh, nama itu tetap kalah populer dibanding Warung Kaleng. Meskipun di sini sudah diberi nama Jalan Sindang Subur, tetapi orang-orang lebih mengenal dengan sebutan Warung Kaleng. Itu sudah terkenal sejak zaman revolusi,” kata Ketua RT 14, H Syukur.

Menurutnya, nama Warung Kaleng punya cerita tersendiri. Dahulu, beberapa rumah di sana dimiliki oleh orang Cina yang sudah masuk Islam, yaitu Abdul Fadli, Abdul Salim dan Nur Salim. Mereka adalah pedagang kelontong yang warungnya berada di jalan raya, atau terletak di ujung jalan masuk ke Kampung Sampay.

Para pedagang itu membuat atap rumahnya dari kaleng bekas minyak goreng atau kaleng ble. Mereka menggunting kaleng tersebut dan memanteknya dengan paku hingga menjadi atap pengganti genteng atau asbes. Konon pada zaman revolusi, warung mereka sangat terkenal. Orang-orang yang datang ke warung-warung tersebut selalu menyebutnya dengan sebutan Warung Kaleng. Nama tersebut terus menempel hingga sekarang.

Pada zaman kemerdekaan, semakin banyak turis yang datang ke kampung tersebut. Kebanyakan berasal dari Arab Saudi atau negara Timur Tengah lainnya. Mereka suka datang ke kampung tersebut karena udaranya sejuk dan bersih, jauh berbeda dengan udara di negaranya. Tak ayal, bisnis penginapan pun tumbuh pesat. Kini di Kampung Sampay berdiri 10 vila dan satu hotel.

Seringnya turis Arab datang ke kampung itu membuat di sana ada istilah Musim Arab. Musim itu terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Pada bulan-bulan tersebut, para pekerja di Arab Saudi libur, sehingga banyak yang berlibur ke Indonesia dan melepas penat di Warung Kaleng. Repotnya, hal itu juga disusul dengan munculnya praktik zina antara para turis Arab dengan perempuan-perempuan lokal.

Terkait Berita: