Pada hari seperti sekarang, 10 Ramadhan 10 H, Sayyidah Khadijah as, istri Rasulullah saw dan perempuan pertama yang memeluk Islam itu berpulang ke rahmatullah. Peristiwa ini merupakan titik akhir masa kebersamaan Khadijah dengan Rasulullah saw selama 25 tahun. Dengan wafatnya sang istri, Rasulullah pun merasa sangat sedih, apalagi peristiwa tak berselang lama dengan wafatnya Abu Thalib, paman beliau. Sedemikian sedihnya beliau, hingga tahun itu dikenal dengan sebutan ‘Amul Khuzn', tahun duka. Ketika Khadijah as wafat, Rasulullah saw sangat menangisi kepergiannya. Beliau menuturkan, "Di mana lagi ada yang seperti Khadijah? Ketika masyarakat menafikanku, ia membenarkanku. Ia membantuku dalam (menyebarkan) agama Allah dan menolongku dengan hartanya".
Sayyidah Khadijah berasal dari keluarga terhormat di kalangan masyarakat Quraisy. Sebelum Rasulullah saw diutus menjadi nabi, Khadijah merupakan seorang penganut agama tauhid Ibrahimi. Selain dikenal sebagai perempuan yang mulia, ia juga memiliki kekayaan yang besar dan termasuk salah seorang niagawan terbesar di Hijaz.
Khadijah as adalah sosok perempuan yang bijaksana dan berwawasan luas. Ia sangat menyenangi persoalan spiritual dan cukup mengenal ajaran kitab-kitab samawi. Perempuan mulia ini juga merupakan salah seorang penanti kedatangan nabi akhir zaman yang dijanjikan kedatangannya dalam kitab-kitab samawi. Terkadang ia juga bertanya kepada pamannya, Waraqah bin Naufal dan para ilmuan lain tentang tanda-tanda kenabian.
Akhirnya, jauh hari sebelum Muhammad saw diangkat sebagai Rasulullah saw, Khadijah as telah terlebih dahulu mengenal beliau. Suatu ketika, ia menyerahkan tanggung jawab pimpinan kafilah dagangnya kepada Muhammad saw yang kala itu dikenal sebagai pemuda yang jujur dan amanah. Perjalanan niaga itu, membuat keelokan akhlak dan kepribadian Muhammad saw semakin tampak jelas di mata Khadijah. Ia pun akhirnya meyakini bahwa pemuda mulia itu merupakan seorang yang berhati suci dan sangat berbeda dengan yang lain. Muhammad saw adalah pemuda yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan jiwanya selalu terhiasi dengan keindahan spiritual. Khadijah juga tahu, Muhammad saw adalah seorang yang sangat menyayangi kaum fakir-miskin dan selalu membela orang-orang yang terzalimi. Karena itu, Muhammad begitu dihormati lantaran sifat-sifat kepribadiannya yang mulia seperti amanah, santun, jujur, dan sifat-sifat terpuji lain.
Sayyidah Khadijah juga sadar betul, kehidupan Muhammad telah menempatkan dirinya melangkah di jalan yang benar. Namun demikian, pujian Khadijah as terhadap Muhammad dan niatnya untuk menikahi beliau, menyulut reaksi keras masyarakat jahiliyah di Mekkah saat itu. Sebab, masyarakat jahiliyah selalu menjadikan kekayaan material sebagai tolak ukur kehormatan seseorang. Sementara Muhammad bukanlah pemuda kaya. Karena itu, setelah Khadijah as menikah dengan Muhammad saw, muncul sekelompok perempuan Quraisy yang selalu mencaci dan menghina Khadijah lantaran menikah dengan pemuda miskin.
Menjawab hinaan itu, Khadijah berkata, "Adakah seseorang seperti Muhammad di antara kalian? Adakah seorang manusia yang berakhlak mulia seperti dia di Negeri Hijaz ini? Aku menikah dengannya karena sifat-sifatnya yang mulia". Tentu saja, alasan yang dilontarkan Khadijah as itu merupakan hal yang tidak bisa dipahami oleh masyarakat jahiliyah di zaman itu. Karena itu, perempuan-perempuan Quraisy memusuhi Khadijah. Ironisnya, setelah Rasulullah saw diangkat sebagai nabi, tindakan jahat kalangan perempuan Quraisy terhadap Khadijah makin keras. Bahkan pada saat Sayidah Fatimah Az-Zahra as lahir, mereka tak juga sudi menolong Khadijah as. Tentu saja, hal itu menjadi ujian besar bagi istri pertama Rasulullah saw itu. Meski demikian, Allah swt senantiasa membantu Khadijah dalam memperjuangkan agama ilahi dan tak pernah membiarkannya sendiri. Sebagaimana yang terjadi saat kelahiran putrinya, Fatimah Az-Zahra. Allah swt mengirimkan para perempuan termulia, seperti Sarah, istri Nabi Ibrahim as; Asiah, istri Firaun; Maryam, ibu Nabi Isa; dan Kultsum, saudara perempuan Nabi Musa as untuk membantunya.
Meski Khadijah seorang perempuan kaya dan memiliki posisi terpandang, namun ia senantiasa bersikap rendah hati dan penuh hormat terhadap Muhammad saw. Ia juga tahu, Rasulullah saw sangat mencintai ibadah. Karena itu, ia selalu memberikan kesempatan bebas kepada beliau untuk beribadah. Sebelum diutus sebagai nabi, setiap bulannya Muhammad saw senantiasa pergi berkhalwat atau menyendiri untuk beribadah di gua Hirah yang terletak di gunung Nur. Selama berkhalwat, Khadijah selalu mengutus Ali bin Abi Thalib as untuk mengantar makanan kepada beliau. Bahkan Ali as terkadang juga turut menemani Rasulullah saw berkhalwat.
Setelah Muhammad saw diangkat sebagai nabi, banyak kalangan dan sanak famili yang meninggalkannya sendirian. Namun Khadijah as tak pernah menyerah untuk selalu mendampingi sang suami berjuang menyebarkan agama Islam. Dengan penuh keyakinan dan ikhlas, ia pun mengakui kenabian Muhammad dan menjalin sumpah abadi dengannya. Khadijah mengimani Islam bukan hanya dengan lisan. Ia bahkan menyerahkan seluruh harta kekayaannya untuk dibaktikan di jalan perjuangan Islam. Apalagi ketika umat Islam diasingkan dan diboikot oleh masyarakat kafir Quraisy di lembah tandus, Sya'b Abu Thalib, bantuan materi dan pemikiran Khadijah as sungguh terasa nyata. Bahkan pasca boikot pun, harta Khadijah berperan penting dalam menyelamatkan perjuangan dakwah Islam. Sampai-sampai Rasulullah saw berkata, harta Khadijah as sangat membantuku.
Selama hidup bersama dengan Rasulullah saw, Khadijah as selalu mengedepankan kesabaran dan ketabahan. Sebab ia sungguh meyakini jalan yang dipilih suaminya sebagai utusan Allah yang terakhir untuk menyelamatkan umat manusia. Baik sebelum maupun sesudah masa pengutusan, Khadijah as selalu mencintai Rasulullah saw dengan penuh ketulusan. Ia selalu mendampingi Rasulullah saw baik dalam keadaan suka maupun duka.
Khadijah sungguh percaya kepada Muhammad. Ia selalu meyakini apa yang dituturkannya dan membantu beliau. Allah saw menenangkan hati Rasulullah saw melalui perantara Khadijah. Dikisahkan, suatu hari sekelompok orang musyrik Mekah melempari Rasulullah saw dengan batu hingga beliau terluka dan terus mengejarnya hingga di rumah Khadijah, bahkan rumah Khadijah itu pun juga menjadi sasaran lemparan batu mereka. Menyaksikan hal itu, Khadijah pun keluar dan berkata kepada mereka, "Apakah kalian tidak malu melempari batu rumah seorang perempuan yang paling terpandang di antara kalian?". Mendengar ucapan itu, mereka pun akhirnya merasa menyesal dan menghentikan aksinya.
Khadijah pun segera mengobati luka Muhammad saw dan di saat itulah, Allah swt menyampaikan salam kepada Khadijah dan berjanji memberinya istana yang terbuat dari zamrud di surga yang bebas dari segala duka.
Saat umat Islam diblokade di lembah Sya'b Abu Thalib, boikot ekonomi kaum kafir Quraisy membuat tantangan yang dihadapi kaum muslimin begitu berat. Sedemikian beratnya, hingga Sayidah Khadijah as jatuh sakit dan akhirnya ia pun memenuhi panggilan ilahi. Menjelang wafatnya, saat ia terbaring lunglai, ia berkata, "Wahai Rasulullah saw, Aku belum memenuhi hak-hak mu secara penuh, dan aku tidak melaksanakan apa yang semestinya. Maafkanlah aku, kini tak ada yang kuinginkan selain kerelaanmu".
Maka, setelah 25 tahun hidup bersama Rasulullah dalam pasang surutnya kehidupan, Khadijah as pun akhirnya mengucapkan selamat jalan untuk selamanya dan berpulang ke hadirat ilahi.
Ada Manipulasi Sejarah Berkenaan dengan Usia Siti Khadijah
Tanggal: 2013/07/20 – 11:47 |
Wawancara dengan Syaikh Najmuddin Tabasi:
Ada Manipulasi Sejarah Berkenaan dengan Usia Siti Khadijah.
Yang kita dapati dalam kitab Shahih Bukhari misalnya, Aisyah
meriwayatkan lebih dari 2000 hadits dari Nabi. Namun bandingkan dengan
siti Khadijah yang hidup bersama Nabi, satu-satunya istri Nabi selama 25
tahun dan ada 10 tahun disaat Muhammad telah diangkat menjadi Nabi,
dalam shahih Bukhari hadits yang beliau riwayatkan tidak lebih dari 25
buah hadits. Menurut kamu ada apa ini? Mengapa periwayatan dari siti
Khadijah disensor sedemikian rupa?
malam kesepuluh Ramadhan ditahun kesepuluh bi’tsat adalah malam penuh
duka cita bagi Rasulullah Saw. Malam telah berpulangnya istri terkasih
beliau yang telah menemani kehidupannya selama 25 tahun, Hadhrat
Khadijah Kubra (sa). Perempuan yang dalam catatan sejarah disebut
sebagai perempuan pertama yang memeluk agama yang dibawa Nabi dan
mengorbankan banyak hartanya dalam upaya penyebaran Islam.
Hari wafat Siti Khadijah hanya berselang beberapa hari dengan
wafatnya Abu Thalib paman dan pelindung Nabi Saw. Karena kepergian dua
orang yang begitu dikasihinya, Nabi menyebut tahun kesepuluh bi’tsat
sebagai tahun kesedihan.
Namun berlepas dari musibah yang menimpa Rasulullah dengan kepergian istri terkasihnya dan paman yang sangat dicintainya, musibah turut pula menimpa kaum muslimin dengan adanya penyelewengan sejarah berkenaan dengan kehidupan dua kekasih Rasulullah tersebut dan perannya dalam penyebaran Islam. Abu Thalib oleh rekayasa sejarah disebut mati dalam keadaan kafir, sementara siti Khadijah dikecilkan keberadaannya.
Berikut adalah wawancara wartawan ABNA dengan Hujjatul Islam wa Muslimin Ustad Najmuddin Tabasi, pakar sejarah Islam yang bermukim di Qom Iran yang akan membeberkan fakta-fakta sejarah yang sengaja disembunyikan berkenaan dengan keutamaan Hadhrat Khadijah yang hari kesepuluh Ramadhan ini kita peringati syahadahnya.
ABNA: Malam Ini, malam kesepuluh Ramadhan dan malam yang dikenal dalam tarikh Islam sebagai malam wafatnya Ummul Mukminin Hadhrat Khadijah Kubra (sa). Bolehkan anda menyampaikan, apa yang dirasakan dan dilakukan Nabi dan putrinya Az Zahra pada malam itu?
-Bismilllahirrahmanirrahim. Almarhum Syaikh Haji Abbas Qomi meriwayatkan dalam kitabnya Hadhrat Khadijah dimalam ia hendak berpulang, ia berkata kepada Rasulullah Saw suaminya tercinta, “Ya Rasulullah, saya hendak menyampaikan beberapa hal kepadamu. Pertama, maafkan saya karena keterbatasan pengetahuanku tentangmu sehingga saya sering memperlakukanmu tidak selayaknya, pengabdianku padamu banyak cela dan cacatnya.” Nabi menanggapi, “Tidaklah demikian istriku. Kamu telah melakukan semua yang semestinya kamu lakukan.”
Siti Khadijah melanjutkan, “Yang kedua, dengan kepergianku putri kita akan mejadi yatim. Saya amanahkan putri 3 tahun ini untuk anda jaga baik-baik.”
“Yang ketiga, saya malu menyampaikan langsung kepadamu. Dengan penuh rasa hormat, saya meminta kepadamu ya Rasulullah, bawa putriku kesini dan biarkan kami berdua, aku hendak menyampaikan satu hal padanya yang kemudian disampaikannya kepadamu.” Nabi memenuhi permintaan istrinya tersebut. Dibawanya Fatimah disisi istrinya itu. Lalu meninggalkan mereka berdua. Fatimah mendekatkan telinganya ke bibir bunda tercintanya. Dengan kekuatan yang tersisa siti Khadijah berkata, “Anakku, sampaikan kepada ayahmu. Saya telah menyerahkan semua yang saya miliki untuk perjuangan di jalan Islam, sampai saya tidak lagi memiliki uang yang tersisa untuk membeli kain kafan. Saya takut dengan azab kubur, saya ingin pakaian yang ayahmu kenakan digunakan sebagai pengganti kain kafan untuk membungkus jasadku sehingga saya bisa aman dari siksa kubur.”
Siti Fatimah menyampaikan permintan ibunya tersebut kepada Nabi. Dengan penuh rasa sedih, Nabi Saw menyanggupinya. Namun tiba-tiba Malaikat Jibril as datang dan berkata, “Allah Azza wa Jalla berfirman, karena Khadijah telah mengorbankan dan mempersembahkan semua harta yang dimilikinya di jalan-Ku, maka sudah selayaknya Kami berikan padanya kain kafan.” Demikianlah, sesaat setelah wafatnya, jasad mulia Siti Khadijah dibungkus dengan kain kafan yang berasal dari surga. Nabi Saw tetap memenuhi permintaan istrinya. Beliau mendirikan shalat malam dan menghadiahkan pahala-pahala ibadahnya untuk istrinya. Dengan demikian, siti Khadijah dibungkus dengan dua kain, kain dari surga dan kain dari pakaian Rasulullah, kemudian dimakamkan dengan penuh pemuliaan.
ABNA: Dengan adanya persembahan Ilahi itu, apa hal itu menunjukkan ketinggian derajat Siti Khadijah?
-Iya. Hadhrat Khadijah adalah seseorang yang memiliki keutamaan yang sangat besar. Jika seseorang meninggal dunia, maka Nabi mengenang kematiannya di hari pertamanya, di hari ketujuhnya, dihari keempat puluhnya, namun ketika siti Khadijah meninggal dunia, Nabi menyatakan kesedihannya sepanjang tahun sampai menyebut tahun wafat siti Khadijah sebagai tahun kesedihan.
Siti Khadijah adalah perempuan pertama yang menyatakan keimanan terhadap aqidah yang dibawa Nabi. Beliaupun telah mengorbankan semua hartanya di jalan Islam sampai kemudian tidak ada yang lagi tersisa hatta untuk membeli kain kafan sekalipun. Dan kami katakan, perempuan teragung setelah siti Fatimah as adalah siti Khadijah sa.
ABNA: Mungkin karena besarnya keutamaan yang dimiliki siti Khadijah itulah yang kemudian dijadikan kebanggaan oleh Maksumin as dalam berhadapan dengan para musuh-musuhnya, bahwa mereka adalah putera-putera Khadijah?
-Iya. Mereka setelah memperkenalkan diri sebagai putera Fatimah mereka as juga menyebut diri sebagai putera-putera Khadijah sa. Para Aimmah maksum diri mereka sendiri sebenarnya adalah cahaya yang memiliki maqam yang sangat agung dan tinggi dan tidak ada orang biasa yang menyamai maqam mereka namun untuk mereka, mereka tetap menjadikan siti Khadijah sebagai kebanggaan dan sebuah keutamaan menjadi keturunannya.
ABNA: Banyak syubhat yang berkenaan dengan berapa usia Siti Khadijah saat menikah dengan Nabi. Dari penelitian dan pengkajian anda, diusia berapa siti Khadijah menikah dengan Nabi?
-Mengenai usia beliau tidaklah penting. Yang penting adalah peran beliau dalam penyebaran Islam. Namun karena anda mempertanyakan, maka saya katakan, selama ini ada manipulas sejarah yang terus dipelihara dan disebarkan. Siti Khadijah diperkenalkan sebagai perempuan tua yang menikah dengan Muhammad muda. Meninggalnya pun disebutkan karena termakan usia. Namun bukan itu yang sebenarnya.
ABNA: Yang benar seperti apa?
-Yang benar menurut saya dan itu yang terkuat adalah usia beliau ketika menikah dengan Nabi dibawah 30 tahun, bukan 40 tahun. Azd Dzahabi, salah seorang ahli hadits Ahlus Sunnah menyatakan, usia siti Khadijah ketika menikah dengan Nabi berusia 28 tahun. Tidak berbeda dengan hasil tahkik yang saya temukan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas usia beliau dibawah 30 tahun. Sebagian lagi mengatakan usianya masih 25 tahun. Namun rekayasa sejarah usia beliau disebut 40 tahun, dikenal sebagai janda tua yang tidak menarik lagi.
ABNA: Apa keuntungannya jika disebut Siti Khadijah usianya 40 tahun kala itu?
-Inilah yang disayangkan, sepanjang sejarah musuh-musuh Islam dengan gigih menyebarkan kedustaan tersebut. Sampai pada tingkat, hadits-hadits keutamaan Ahlul Bait disingkirkan dan tidak diperkenalkan secara massif sebagaimana hadits-hadits keutamaan sahabat dikaji dan disampaikan. Kaum muslimin diperhadapkan oleh perbandingan siti Khadijah yang tua dengan Aisyah yang masih muda dan cerdas. Nabi dikatakan menikah dengan Khadijah janda tua, dan bocah perempuan yang masih berusia dibawah 9 tahun –pendapat masyhur 7 tahun- yang saat dinikahi Nabi masih gemar bermain dengan bonekanya. Bukankah kesenjangan itu akan menjadi lelucon bagi musuh-musuh Islam?.
ABNA: Masyarakat Barat sampai saat ini menyebut pernikahan Nabi dengan Aisyah diusianya yang masih sangat muda sebagai titik kelemahan Islam. Benar begitu?
-Iya. Jika kita memperhatikan dan menganalisa catatan sejarah secara seksama usia Aisyah tidak semuda itu. Kembali Adz Dzahabi menyatakan, Asma saudara perempuan Aisyah pada malam hijrah berusia 27 tahun. Selisih umur Asma dan adiknya Aisyah 10 tahun. Jadi usia Aisyah pada malam hijrah 17 tahun. Dan pada saat hijrah itu, Nabi belum menikahi Aisyah, melainkan beberapa tahun setelah hijrah. Yaitu usia pernikahannya dengan Nabi sekurang-kurangnya 19 tahun. Namun sebagian pihak secara gigih mengatakan usianya jauh lebih muda dari itu sementara usia siti Khadijah ditambahkan sehingga tampak terhitung perempuan tua.
ABNA: Mengapa sampai rekayasa itu terjadi?
-Banyak alasan yang bisa dikemukakan. Diantaranya adalah rekayasa Bani Umayyah. Kita tahu Bani Umayyah diawal penyebaran Islam berada dalam posisi sebagai musuh. Mereka berperang melawan Nabi dan kaum muslimin sampai akhirnya takluk dan menyerah saat fathul Makah. Pasca Fathul Makahpun tidak sedikit dari mereka yang termasuk golongan munafikin yang hendak merusak Islam dari dalam. Karenanya sesuatu yang bisa diduga ada upaya dari mereka yang tidak henti-hentinya untuk menciderai Islam. Ada dua jenis Islam yang hidup saat Bani Umayah yang berkuasa atas kaum muslimin. Islam Muhammadi sebagaimana Islam yang diusung siti Khadijah dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang menjadi penyokong dan pendukung setia dakwah Nabi dan Islam Umawi yang disponsori Muawiyah dan Marwan. Dimasa kekuasaan Bani Umayyah urusan kaum muslimin ditangan mereka. Mereka punya kuasa penuh atas versi sejarah Islam yang harus beredar ditengah masyarakat. Mereka banyak melakukan manipulasi terhadap sejarah generasi awal, bukan hanya berkenaan dengan siti Khadijah melainkan juga istri-istri Nabi yang lain termasuk Ummu Salamah. Menurut kami, Ummu Salamah berada pada posisi kedua sebagai istri terbaik Nabi setelah Siti Khadijah. Namun diceritakan semua kecintaan dan perhatian Nabi seakan tertumpu dan terfokus hanya pada Aisyah, semua keutamaan ada pada Aisyah, keilmuan, kecerdasan, kecantikan, usia yang muda dan seterusnya. Bahkan secara ekstrim mereka memposisikan Nabi tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya yang lain, karena lebih mengutamakan Aisyah. Apakah –nauzubillah- seseorang yang tidak bisa menegakkan keadilan dalam rumah tangganya mampu menegakkan keadilan dalam masyarakat?.
Oleh karena itu, kelompok Islam Umawi dan para pendukung mereka, mengecilkan peran dan posisi siti Khadijah, Imam Ali dan Sayyidah Fatimah dengan menyebarkan riwayat-riwayat palsu yang dengan itu akan mengokohkan kepentingan mereka.
ABNA: Argumentasi lain yang bisa diberikan?
-Satu hal lain yang patut ditekankan adanya pernyataan kerinduan Nabi kepada Khadijah yang disampaikan berkali-kali dan terbuka. Diantara sabdanya, “Khadijah mempercayaiku disaat yang lain menolak dakwahku, disaat Khadijah mengimani apa yang kubawa, kamu dan ayahmu justru memerangiku.” Menurut Ibnu Abi al Hadid dan ulama besar Ahlus Sunnah lainnya menyatakan bahwa perkataan Nabi tersebutlah yang menimbulkan kedengkian dihati Muawiyah.
Keistimewaan lainnya siti Khadijah adalah beliau satu-satunya istri yang memberikan Nabi keturunan yang mampu hidup lebih lama sampai mempunyai keturunan, yaitu Siti Fatimah az Zahrah. Asbabun Nuzul turunnya surah al Kautsar berkenaan dengan lahirnya Sayyidah Fatimah tersebut. Siti Khadijah juga dikaruniai cucu, imam Hasan dan Husain yang keduanya adalah penghulu pemuda di surga. Keutamaan itulah yang tidak dimiliki yang lain.
ABNA: Apakah dengan lebih banyaknya riwayat dari Aisyah dalam literatur Ahlus Sunnah juga menunjukkan adanya tujuan tersebut?
-Bayangkan, Siti Khadijah bersama Nabi selama kurang lebih 25 tahun. 15 tahun sebelum bi’tsat dan 10 tahun pasca bi’tsat. Sementara Aisyah hidup bersama Nabi ada berapa tahun?. Nabi menikahi Aisyah tahun kedua Hijriyah dan wafat awal tahun 11 H, jadi hidup bersama Nabi sekitar 8 tahun. Dan juga Nabi saat itu tidak setiap hari bersama Aisyah, sebab juga memiliki istri-istri yang lain, yang bahkan bila dikumpulkan, bisa jadi untuk satu tahun penuhpun Nabi tidak selalu bersama Aisyah. Jika satu tahun itu, dalam satu hari Aisyah meriwayatkan satu hadits dari Nabi, maka akan ada 365 hadits dari periwayatan Aisyah, jika dua hadits perharinya ada 730 hadits dan jika 3 hadits perhari ada 1095 hadits. Namun yang kita dapati dalam kitab Shahih Bukhari misalnya, Aisyah meriwayatkan lebih dari 2000 hadits dari Nabi. Namun bandingkan dengan siti Khadijah yang hidup bersama Nabi, satu-satunya istri Nabi selama 25 tahun dan ada 10 tahun disaat Muhammad telah diangkat menjadi Nabi, dalam shahih Bukhari hadits yang beliau riwayatkan tidak lebih dari 25 buah hadits. Menurut kamu ada apa ini? Mengapa periwayatan dari siti Khadijah disensor sedemikian rupa?. Tentu kita tidak mengatakan yang melakukan semua rekayasa ini adalah siti Aisyah, melainkan orang-orang setelah beliau. Yaitu dimasa kekuasaan Bani Umayyah.
ABNA: Dalam kitab-kitab hadits Syiah sendiri bagaimana? Apa periwayatan dari Siti Khadijah ada?
-Dalam kitab-kitab Syiahpun demikian, dalilnya, jika ulama-ulama hadits kita bersikeras untuk tetap meriwayatkan hadits melalui periwayatan Ahlul Bait khususnya siti Khadijah dan Sayyidah Fatimah maka kitab-kitab mereka akan dibakarnya, ulama dibunuhi dan sebagainya. Mengapa itu bisa terjadi? Pemerintahan dalam penguasaan mereka, dan itu sangat memungkinkan terjadi.
ABNA: Bisa jadi dalihnya seperti ini, siti Khadijah ketika bersama Nabi hidupnya di Mekah disaat kaum muslimin berada dibawah tekanan dan saat itu kondisi umat Islam masih lemah, sementara tidak demikian dengan masa Aisyah, bersama Nabi di Madinah dan dalam kondisi aman dan Islam memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk tersebar, sehingga masyarakat Islam saat itu bisa dengan mudah mendapatkan periwayatan hadits melalui Aisyah. Bagaimana menurut anda?
-Jika mereka berargumentasi seperti itu, maka kami tanyakan kepada saudara kami Ahlus Sunnah, lantas dimana periwayatan dari Sayyidah Fatimah as?. Beberapa pendapat sejarahwan Ahlus Sunnah menyebutkan sayyidah Fatimah wafat diusia 28 tahun, 6 bulan kemudan setelah wafatnya Nabi. Jadi beliau tinggal bersama Nabi 27 tahun 6 bulan. Sebut saja jika dalam 1 tahun Sayyidah Fatimah hanya meriwayatkan 1 hadits dari Nabi, maka tentunya setidaknya ada 28 hadits dalam kitab mereka. Namun bisakah anda menemukan ke 28 hadits itu?. Atau sebut saja 1 hadits dalam 2 tahun, maka ada setidaknya 14 hadits. Dalam kitab paling mu’tabar mereka, tunjukkan saya ke 14 hadits itu.
Anda tidak akan bisa menemukan 14 hadits ataupun separuhnya dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah az Zahrah. Dalam shahih Bukhari hanya 1 hadits dari Sayyidah Fatimah. Apakah mungkin putri Nabi sepanjang usianya hanya meriwayatkan satu hadits dari ayahnya?. Dalam kitab mu’tabar Ahlus Sunnah, hanya dalam Musnad Ahmad yang meriwayatkan 8 hadits, yang lima riwayat diantaranya berkenaan dengan Fatimah bukan dari Fatimah. Berarti dalam Musnad Ahmad pun riwayat dari Fatimah hanya ada 3 hadits.
Bayangkan dari istri paling utama Nabi dan dari putrinya, hadits yang dinukilkan dari keduanya bisa dihitung jari, sementara dari yang lain sampai ribuan hadits. Inilah yang membuat tugas kita menjadi sangat berat.
ABNA: Atas penyampaian dan kesempatan yang anda berikan, kami ucapkan terimakasih.
Namun berlepas dari musibah yang menimpa Rasulullah dengan kepergian istri terkasihnya dan paman yang sangat dicintainya, musibah turut pula menimpa kaum muslimin dengan adanya penyelewengan sejarah berkenaan dengan kehidupan dua kekasih Rasulullah tersebut dan perannya dalam penyebaran Islam. Abu Thalib oleh rekayasa sejarah disebut mati dalam keadaan kafir, sementara siti Khadijah dikecilkan keberadaannya.
Berikut adalah wawancara wartawan ABNA dengan Hujjatul Islam wa Muslimin Ustad Najmuddin Tabasi, pakar sejarah Islam yang bermukim di Qom Iran yang akan membeberkan fakta-fakta sejarah yang sengaja disembunyikan berkenaan dengan keutamaan Hadhrat Khadijah yang hari kesepuluh Ramadhan ini kita peringati syahadahnya.
ABNA: Malam Ini, malam kesepuluh Ramadhan dan malam yang dikenal dalam tarikh Islam sebagai malam wafatnya Ummul Mukminin Hadhrat Khadijah Kubra (sa). Bolehkan anda menyampaikan, apa yang dirasakan dan dilakukan Nabi dan putrinya Az Zahra pada malam itu?
-Bismilllahirrahmanirrahim. Almarhum Syaikh Haji Abbas Qomi meriwayatkan dalam kitabnya Hadhrat Khadijah dimalam ia hendak berpulang, ia berkata kepada Rasulullah Saw suaminya tercinta, “Ya Rasulullah, saya hendak menyampaikan beberapa hal kepadamu. Pertama, maafkan saya karena keterbatasan pengetahuanku tentangmu sehingga saya sering memperlakukanmu tidak selayaknya, pengabdianku padamu banyak cela dan cacatnya.” Nabi menanggapi, “Tidaklah demikian istriku. Kamu telah melakukan semua yang semestinya kamu lakukan.”
Siti Khadijah melanjutkan, “Yang kedua, dengan kepergianku putri kita akan mejadi yatim. Saya amanahkan putri 3 tahun ini untuk anda jaga baik-baik.”
“Yang ketiga, saya malu menyampaikan langsung kepadamu. Dengan penuh rasa hormat, saya meminta kepadamu ya Rasulullah, bawa putriku kesini dan biarkan kami berdua, aku hendak menyampaikan satu hal padanya yang kemudian disampaikannya kepadamu.” Nabi memenuhi permintaan istrinya tersebut. Dibawanya Fatimah disisi istrinya itu. Lalu meninggalkan mereka berdua. Fatimah mendekatkan telinganya ke bibir bunda tercintanya. Dengan kekuatan yang tersisa siti Khadijah berkata, “Anakku, sampaikan kepada ayahmu. Saya telah menyerahkan semua yang saya miliki untuk perjuangan di jalan Islam, sampai saya tidak lagi memiliki uang yang tersisa untuk membeli kain kafan. Saya takut dengan azab kubur, saya ingin pakaian yang ayahmu kenakan digunakan sebagai pengganti kain kafan untuk membungkus jasadku sehingga saya bisa aman dari siksa kubur.”
Siti Fatimah menyampaikan permintan ibunya tersebut kepada Nabi. Dengan penuh rasa sedih, Nabi Saw menyanggupinya. Namun tiba-tiba Malaikat Jibril as datang dan berkata, “Allah Azza wa Jalla berfirman, karena Khadijah telah mengorbankan dan mempersembahkan semua harta yang dimilikinya di jalan-Ku, maka sudah selayaknya Kami berikan padanya kain kafan.” Demikianlah, sesaat setelah wafatnya, jasad mulia Siti Khadijah dibungkus dengan kain kafan yang berasal dari surga. Nabi Saw tetap memenuhi permintaan istrinya. Beliau mendirikan shalat malam dan menghadiahkan pahala-pahala ibadahnya untuk istrinya. Dengan demikian, siti Khadijah dibungkus dengan dua kain, kain dari surga dan kain dari pakaian Rasulullah, kemudian dimakamkan dengan penuh pemuliaan.
ABNA: Dengan adanya persembahan Ilahi itu, apa hal itu menunjukkan ketinggian derajat Siti Khadijah?
-Iya. Hadhrat Khadijah adalah seseorang yang memiliki keutamaan yang sangat besar. Jika seseorang meninggal dunia, maka Nabi mengenang kematiannya di hari pertamanya, di hari ketujuhnya, dihari keempat puluhnya, namun ketika siti Khadijah meninggal dunia, Nabi menyatakan kesedihannya sepanjang tahun sampai menyebut tahun wafat siti Khadijah sebagai tahun kesedihan.
Siti Khadijah adalah perempuan pertama yang menyatakan keimanan terhadap aqidah yang dibawa Nabi. Beliaupun telah mengorbankan semua hartanya di jalan Islam sampai kemudian tidak ada yang lagi tersisa hatta untuk membeli kain kafan sekalipun. Dan kami katakan, perempuan teragung setelah siti Fatimah as adalah siti Khadijah sa.
ABNA: Mungkin karena besarnya keutamaan yang dimiliki siti Khadijah itulah yang kemudian dijadikan kebanggaan oleh Maksumin as dalam berhadapan dengan para musuh-musuhnya, bahwa mereka adalah putera-putera Khadijah?
-Iya. Mereka setelah memperkenalkan diri sebagai putera Fatimah mereka as juga menyebut diri sebagai putera-putera Khadijah sa. Para Aimmah maksum diri mereka sendiri sebenarnya adalah cahaya yang memiliki maqam yang sangat agung dan tinggi dan tidak ada orang biasa yang menyamai maqam mereka namun untuk mereka, mereka tetap menjadikan siti Khadijah sebagai kebanggaan dan sebuah keutamaan menjadi keturunannya.
ABNA: Banyak syubhat yang berkenaan dengan berapa usia Siti Khadijah saat menikah dengan Nabi. Dari penelitian dan pengkajian anda, diusia berapa siti Khadijah menikah dengan Nabi?
-Mengenai usia beliau tidaklah penting. Yang penting adalah peran beliau dalam penyebaran Islam. Namun karena anda mempertanyakan, maka saya katakan, selama ini ada manipulas sejarah yang terus dipelihara dan disebarkan. Siti Khadijah diperkenalkan sebagai perempuan tua yang menikah dengan Muhammad muda. Meninggalnya pun disebutkan karena termakan usia. Namun bukan itu yang sebenarnya.
ABNA: Yang benar seperti apa?
-Yang benar menurut saya dan itu yang terkuat adalah usia beliau ketika menikah dengan Nabi dibawah 30 tahun, bukan 40 tahun. Azd Dzahabi, salah seorang ahli hadits Ahlus Sunnah menyatakan, usia siti Khadijah ketika menikah dengan Nabi berusia 28 tahun. Tidak berbeda dengan hasil tahkik yang saya temukan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas usia beliau dibawah 30 tahun. Sebagian lagi mengatakan usianya masih 25 tahun. Namun rekayasa sejarah usia beliau disebut 40 tahun, dikenal sebagai janda tua yang tidak menarik lagi.
ABNA: Apa keuntungannya jika disebut Siti Khadijah usianya 40 tahun kala itu?
-Inilah yang disayangkan, sepanjang sejarah musuh-musuh Islam dengan gigih menyebarkan kedustaan tersebut. Sampai pada tingkat, hadits-hadits keutamaan Ahlul Bait disingkirkan dan tidak diperkenalkan secara massif sebagaimana hadits-hadits keutamaan sahabat dikaji dan disampaikan. Kaum muslimin diperhadapkan oleh perbandingan siti Khadijah yang tua dengan Aisyah yang masih muda dan cerdas. Nabi dikatakan menikah dengan Khadijah janda tua, dan bocah perempuan yang masih berusia dibawah 9 tahun –pendapat masyhur 7 tahun- yang saat dinikahi Nabi masih gemar bermain dengan bonekanya. Bukankah kesenjangan itu akan menjadi lelucon bagi musuh-musuh Islam?.
ABNA: Masyarakat Barat sampai saat ini menyebut pernikahan Nabi dengan Aisyah diusianya yang masih sangat muda sebagai titik kelemahan Islam. Benar begitu?
-Iya. Jika kita memperhatikan dan menganalisa catatan sejarah secara seksama usia Aisyah tidak semuda itu. Kembali Adz Dzahabi menyatakan, Asma saudara perempuan Aisyah pada malam hijrah berusia 27 tahun. Selisih umur Asma dan adiknya Aisyah 10 tahun. Jadi usia Aisyah pada malam hijrah 17 tahun. Dan pada saat hijrah itu, Nabi belum menikahi Aisyah, melainkan beberapa tahun setelah hijrah. Yaitu usia pernikahannya dengan Nabi sekurang-kurangnya 19 tahun. Namun sebagian pihak secara gigih mengatakan usianya jauh lebih muda dari itu sementara usia siti Khadijah ditambahkan sehingga tampak terhitung perempuan tua.
ABNA: Mengapa sampai rekayasa itu terjadi?
-Banyak alasan yang bisa dikemukakan. Diantaranya adalah rekayasa Bani Umayyah. Kita tahu Bani Umayyah diawal penyebaran Islam berada dalam posisi sebagai musuh. Mereka berperang melawan Nabi dan kaum muslimin sampai akhirnya takluk dan menyerah saat fathul Makah. Pasca Fathul Makahpun tidak sedikit dari mereka yang termasuk golongan munafikin yang hendak merusak Islam dari dalam. Karenanya sesuatu yang bisa diduga ada upaya dari mereka yang tidak henti-hentinya untuk menciderai Islam. Ada dua jenis Islam yang hidup saat Bani Umayah yang berkuasa atas kaum muslimin. Islam Muhammadi sebagaimana Islam yang diusung siti Khadijah dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang menjadi penyokong dan pendukung setia dakwah Nabi dan Islam Umawi yang disponsori Muawiyah dan Marwan. Dimasa kekuasaan Bani Umayyah urusan kaum muslimin ditangan mereka. Mereka punya kuasa penuh atas versi sejarah Islam yang harus beredar ditengah masyarakat. Mereka banyak melakukan manipulasi terhadap sejarah generasi awal, bukan hanya berkenaan dengan siti Khadijah melainkan juga istri-istri Nabi yang lain termasuk Ummu Salamah. Menurut kami, Ummu Salamah berada pada posisi kedua sebagai istri terbaik Nabi setelah Siti Khadijah. Namun diceritakan semua kecintaan dan perhatian Nabi seakan tertumpu dan terfokus hanya pada Aisyah, semua keutamaan ada pada Aisyah, keilmuan, kecerdasan, kecantikan, usia yang muda dan seterusnya. Bahkan secara ekstrim mereka memposisikan Nabi tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya yang lain, karena lebih mengutamakan Aisyah. Apakah –nauzubillah- seseorang yang tidak bisa menegakkan keadilan dalam rumah tangganya mampu menegakkan keadilan dalam masyarakat?.
Oleh karena itu, kelompok Islam Umawi dan para pendukung mereka, mengecilkan peran dan posisi siti Khadijah, Imam Ali dan Sayyidah Fatimah dengan menyebarkan riwayat-riwayat palsu yang dengan itu akan mengokohkan kepentingan mereka.
ABNA: Argumentasi lain yang bisa diberikan?
-Satu hal lain yang patut ditekankan adanya pernyataan kerinduan Nabi kepada Khadijah yang disampaikan berkali-kali dan terbuka. Diantara sabdanya, “Khadijah mempercayaiku disaat yang lain menolak dakwahku, disaat Khadijah mengimani apa yang kubawa, kamu dan ayahmu justru memerangiku.” Menurut Ibnu Abi al Hadid dan ulama besar Ahlus Sunnah lainnya menyatakan bahwa perkataan Nabi tersebutlah yang menimbulkan kedengkian dihati Muawiyah.
Keistimewaan lainnya siti Khadijah adalah beliau satu-satunya istri yang memberikan Nabi keturunan yang mampu hidup lebih lama sampai mempunyai keturunan, yaitu Siti Fatimah az Zahrah. Asbabun Nuzul turunnya surah al Kautsar berkenaan dengan lahirnya Sayyidah Fatimah tersebut. Siti Khadijah juga dikaruniai cucu, imam Hasan dan Husain yang keduanya adalah penghulu pemuda di surga. Keutamaan itulah yang tidak dimiliki yang lain.
ABNA: Apakah dengan lebih banyaknya riwayat dari Aisyah dalam literatur Ahlus Sunnah juga menunjukkan adanya tujuan tersebut?
-Bayangkan, Siti Khadijah bersama Nabi selama kurang lebih 25 tahun. 15 tahun sebelum bi’tsat dan 10 tahun pasca bi’tsat. Sementara Aisyah hidup bersama Nabi ada berapa tahun?. Nabi menikahi Aisyah tahun kedua Hijriyah dan wafat awal tahun 11 H, jadi hidup bersama Nabi sekitar 8 tahun. Dan juga Nabi saat itu tidak setiap hari bersama Aisyah, sebab juga memiliki istri-istri yang lain, yang bahkan bila dikumpulkan, bisa jadi untuk satu tahun penuhpun Nabi tidak selalu bersama Aisyah. Jika satu tahun itu, dalam satu hari Aisyah meriwayatkan satu hadits dari Nabi, maka akan ada 365 hadits dari periwayatan Aisyah, jika dua hadits perharinya ada 730 hadits dan jika 3 hadits perhari ada 1095 hadits. Namun yang kita dapati dalam kitab Shahih Bukhari misalnya, Aisyah meriwayatkan lebih dari 2000 hadits dari Nabi. Namun bandingkan dengan siti Khadijah yang hidup bersama Nabi, satu-satunya istri Nabi selama 25 tahun dan ada 10 tahun disaat Muhammad telah diangkat menjadi Nabi, dalam shahih Bukhari hadits yang beliau riwayatkan tidak lebih dari 25 buah hadits. Menurut kamu ada apa ini? Mengapa periwayatan dari siti Khadijah disensor sedemikian rupa?. Tentu kita tidak mengatakan yang melakukan semua rekayasa ini adalah siti Aisyah, melainkan orang-orang setelah beliau. Yaitu dimasa kekuasaan Bani Umayyah.
ABNA: Dalam kitab-kitab hadits Syiah sendiri bagaimana? Apa periwayatan dari Siti Khadijah ada?
-Dalam kitab-kitab Syiahpun demikian, dalilnya, jika ulama-ulama hadits kita bersikeras untuk tetap meriwayatkan hadits melalui periwayatan Ahlul Bait khususnya siti Khadijah dan Sayyidah Fatimah maka kitab-kitab mereka akan dibakarnya, ulama dibunuhi dan sebagainya. Mengapa itu bisa terjadi? Pemerintahan dalam penguasaan mereka, dan itu sangat memungkinkan terjadi.
ABNA: Bisa jadi dalihnya seperti ini, siti Khadijah ketika bersama Nabi hidupnya di Mekah disaat kaum muslimin berada dibawah tekanan dan saat itu kondisi umat Islam masih lemah, sementara tidak demikian dengan masa Aisyah, bersama Nabi di Madinah dan dalam kondisi aman dan Islam memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk tersebar, sehingga masyarakat Islam saat itu bisa dengan mudah mendapatkan periwayatan hadits melalui Aisyah. Bagaimana menurut anda?
-Jika mereka berargumentasi seperti itu, maka kami tanyakan kepada saudara kami Ahlus Sunnah, lantas dimana periwayatan dari Sayyidah Fatimah as?. Beberapa pendapat sejarahwan Ahlus Sunnah menyebutkan sayyidah Fatimah wafat diusia 28 tahun, 6 bulan kemudan setelah wafatnya Nabi. Jadi beliau tinggal bersama Nabi 27 tahun 6 bulan. Sebut saja jika dalam 1 tahun Sayyidah Fatimah hanya meriwayatkan 1 hadits dari Nabi, maka tentunya setidaknya ada 28 hadits dalam kitab mereka. Namun bisakah anda menemukan ke 28 hadits itu?. Atau sebut saja 1 hadits dalam 2 tahun, maka ada setidaknya 14 hadits. Dalam kitab paling mu’tabar mereka, tunjukkan saya ke 14 hadits itu.
Anda tidak akan bisa menemukan 14 hadits ataupun separuhnya dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah az Zahrah. Dalam shahih Bukhari hanya 1 hadits dari Sayyidah Fatimah. Apakah mungkin putri Nabi sepanjang usianya hanya meriwayatkan satu hadits dari ayahnya?. Dalam kitab mu’tabar Ahlus Sunnah, hanya dalam Musnad Ahmad yang meriwayatkan 8 hadits, yang lima riwayat diantaranya berkenaan dengan Fatimah bukan dari Fatimah. Berarti dalam Musnad Ahmad pun riwayat dari Fatimah hanya ada 3 hadits.
Bayangkan dari istri paling utama Nabi dan dari putrinya, hadits yang dinukilkan dari keduanya bisa dihitung jari, sementara dari yang lain sampai ribuan hadits. Inilah yang membuat tugas kita menjadi sangat berat.
ABNA: Atas penyampaian dan kesempatan yang anda berikan, kami ucapkan terimakasih.
BENARKAN SAYYIDAH KHADIJAH AS BERSTATUS JANDA ? sebagian pakar sejarah mengatakan bahwa hanya Fathimah Zahro putri beliau ,sementara anak perempuan lainnya merupakan keponakannya yang dibesarkan oleh Khadijah.
“Sebagian hadis menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menikah
dengan seorang gadispun kecuali Aisyah. Dalam beberapa riwayat lain
menjelaskan bahwa Sy. Khadijah sebelum menikah dengan Nabi Muhamad saww
telah menikah sebanyak 2 kali. Namun kami meragukan keshahihan
riwayat-riwayat tersebut. Karena pertama, Ibnu Syahr Asyub berkata:
“Ahmad Biladzari, Abu al-Qasim Kufi, Sayyid Murtadha dalam Syafi dan Abu
Jakfar dalam Talkhis meriwayatkan bahwa Nabi Muhamad saww telah menikah
dengan Sy. Khadijah sementara beliau dalam keadaan gadis”. Kedua, tidak
jauh kemungkinan pada jangka lama ini beliau tidak menikah dengan
siapapun, karena ayahnya telah meninggal di perang Fijar. Dan wali
beliau tidak memiliki kekuasaan dalam memaksa beliau untuk menikah.
Beliau telah menolak lamaran beberapa pembesar, sampai akhirnya beliau
menemukan suami yang diidamkannya yang memiliki sifat-sifat mulia dan
kepribadian yang agung. Begitupula, berkaitan dengan usia pernikahan Sy.
Khadijah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Meskipun
berdasarkan pendapat termasyhur yang beliau menikah dengan Nabi Muhamad
saww pada usia pada 40 tahun namun sebagian mengatakan beliau menikah
pada usia 25, 28, 30, 35 bahkan ada yang mengatakan pada usia 45 tahun”.
———————————————
Sy. Khadijah binti Khuwailid adalah dari keturunan Qusay bin Kilab
(kakek ke-4 Rasulullah saww). Ibunya bernama Fathimah binti Zaidah bin
Asham. Berdapatkan pendapat masyhur, sebelum menikah dengan Nabi Muhamad
saww beliau telah menikah 2 kali, pertama dengan Atiq bin A’id Mahzuni
dan sepeninggal suami pertamanya kemudian beliau menikah dengan Abu
Halah Tamimi.
Seorang pakar sejarah Islam yang bernama Jakfar Murtadha dalam karyanya yang berjudul ‘ash-shahih min sirati an-nabiyi’ menulis:
“Sebagian hadis menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menikah dengan
seorang gadispun kecuali Aisyah. Dalam beberapa riwayat lain menjelaskan
bahwa Sy. Khadijah sebelum menikah dengan Nabi Muhammad saww telah
menikah sebanyak 2 kali. Namun kami meragukan keshahihan riwayat-riwayat
tersebut. Karena pertama, Ibnu Syahr Asyub berkata: “Ahmad Biladzari,
Abu al-Qasim Kufi, Sayyid Murtadha dalam Syafi dan Abu Jakfar dalam
Talkhis meriwayatkan bahwa Nabi Muhamad saww telah menikah dengan Sy.
Khadijah sementara beliau dalam keadaan gadis”. Kedua, tidak jauh
kemungkinan pada jangka lama ini beliau tidak menikah dengan siapapun,
karena ayahnya telah meninggal di perang Fijar. Dan wali beliau tidak
memiliki kekuasaan dalam memaksa beliau untuk menikah. Beliau telah
menolak lamaran beberapa pembesar, sampai akhirnya beliau menemukan
suami yang diidamkannya yang memiliki sifat-sifat mulia dan kepribadian
yang agung. Begitupula, berkaitan dengan usia pernikahan Sy. Khadijah
terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Meskipun berdasarkan
pendapat termasyhur yang beliau menikah dengan Nabi Muhamad saww pada
usia pada 40 tahun namun sebagian mengatakan beliau menikah pada usia
25, 28, 30, 35 bahkan ada yang mengatakan pada usia 45 tahun”. [1].
Sy. Khadijah sangat kaya raya, setiap tahun beliau mengirim
orang-orang ke berbagai tempat untuk berbisnis. Selain kaya raya
beliaupun berparas cantik dan menarik, bahkan sifat-sifat dan
kepribadian agung yang dimilikinya telah dikenal oleh semua orang,
sehingga di Mekkah beliau telah digelari dengan thahirah (yang suci).
Sewaktu Abu Thalib (ayahnya Imam Ali) melamar Sy.Khadijah dalam
menggambarkan kepribadian beliau berkata: “Wahai para hadirin ketahuilah
bahwa keponakanku, Muhamad bin Abdullah telah melamar kemuliaan kalian
(kaum Quraisy), perempuan yang sangat terkenal dengan kedermawanan dan
keterjgaan (iffah). Perempuan yang kemuliaannya telah dikenal oleh semua
orang, ia agung dan mulia”.[2].
Jakfar Murthada seorang pakar sejarah Islam menulis: “Khadijah
merupakan perempuan Quraisy terbaik, termulia, terkaya dan tercantik. Ia
diberi gelar thahirah dan sayyidah (penghulu) Quraisy, semua para
pembesar kabilah berkeinginan untuk menikah dengannya”. Para pembesar
Quraisy untuk melamarnya telah bersedia menyediakan harta yang banyak
sebagai maharnya, mereka adalah; Uqbah bin Abi Mui’th, Shalti bin Abi
Yahab, Abu Jahal dan Abu Sufyan. Namun Sy. Khadijah –yang terpenting
baginya kemulian bathin dan akhlak prilakunya- telah menolak semua
lamaran mereka. Beliau menerima lamaran Nabi Muhamad saww karena
keluhuran budi pekerti dan kemuliaan jiwa yang dimiliki oleh Nabi
Muhamad saww. [3]
Abul Hasan Bakri menulis: “Pada suatu hari Khadijah duduk di antara
kumpulan para pelayannya, sementara seorang ulama Yahudi hadir di
tempat tersebut. Tiba-tiba Nabi Muhamad saww melewati tempat tersebut.
Sewaktu ulama yahudi melihatnya dan mengenalnya, ia memohon kepada Sy.
Khadijah untuk mengundang beliau ke acara pertemuan tersebut. Sy.
Khadijah mengirim budaknya untuk mengundang Nabi saww hadir di acara
itu. Ketika ulama Yahudi melihat tanda kenabian di pundak beliau, lantas
ia berkata: “Sumpah demi Tuhan inilah penutup kenabian”.
Sy. Khadijah berkata: “Jika pamannya mengetahui bahwa engkau telah
melihat bagian dari tubuhnya maka ia akan menghukum Anda, karena beliau
sangat merasa takut kepada ulama Yahudi. Ulama Yahudi berkata: “Siapa
yang akan berani berbuat jahat kepadanya, sumpah demi kebenaran kalam
Tuhan ia adalah Nabi akhir zaman. Berbahagialah orang yang akan menjadi
istrinya, karena beliau orang yang sudah mencapai kemuliaan dunia dan
akhirat. Sejak dari sini rasa cinta terhadap Nabi saww telah tumbuh di
hati Sy. Khadijah”. [4]
Dengan berlalunya waktu rasa cinta terhadap Nabi saww semakin
bertambah. Ini dikarenakan setiap hari beliau menyaksikan kemuliaan
pribadi dan keluhuran budi pekertinya. Sampai akhirnya pada suatu hari
beliau mendengar bahwa Abu Thalib akan mengirimnya untuk pergi berniaga.
Sy. Khadijah segera mengusulkan kepadanya agar Nabi saww pergi ke Syam
untuk berniaga dengan membawa barang dagangannya, dengan membagi
keuntungan sebagaimana yang telah diberikan kepada yang lainnya. Sy.
Khadijah mengirim budaknya yang bernama Maisaroh untuk menemani Nabi
saww selama dalam perjalanannya.
Sekembalinya dari perniagaan Maisaroh menceritakan segala keajaiban
yang telah disaksikannya selama menemani Nabi saww, yang menunjukkan
kedudukan agung yang dimiliki oleh beliau. Dan iapun menyampaikan pesan
seorang pendeta tentang Nabi saww kepada tuannya Sy. Khadijah. [5]
Setelah mendengar tentang keajaiban-keajaiban yang terjadi pada
Nabi saww dari budaknya sebagai rasa syukur ia membebaskan budaknya yang
bernama Maisaroh beserta keluarganya dengan membekali modal untuk
memulai kehidupan barunya. [6].
Keesokan harinya ketika Nabi Muhamad saww kembali mendatangi untuk
menghitung dan menyerahkan keuntungan hasil perniagaannya, ia memancing
Nabi saww sehingga diketahui beliau berencana untuk membangun rumah
tangga. Sy. Khadijah bertanya: “Apakah Anda senang, jika saya nikahkan
dengan seorang perempuan pilihanku? Nabi saww menjawab: “Ya”. Sy.
Khadijah kembali melanjutkan: “Saya telah menemukan seseorang yang
sesuai untuk Anda, ia berasal dari bangsa Quraisy. Ia perempuan terkaya,
tercantik, termulia, paling dermawan dan baik. Ia akan membantu segala
urusanmu, ia rela dengan yang engkau miliki dan ia menyesuaikan hidupnya
dengan hidupmu. Padahal apabila orang lain yang melamarnya dengan
memberikan harta yang banyak ia tidak akan menerimanya”. Diakhir
pembicaraannya Sy. Khadijah berkata: “Perempuan itu, yang akan menjadi
pelayan dan milikmu adalah Khadijah”.
Karena Nabi saww mengetahui dan mengenal kemuliaan dan keluhuran
budi pekerti Sy. Khadijah, beliaupun menerima usulannya dan akhirnya
beliau melamarnya melalui pamannya Abu Thalib. [7] Setelah beliau
menikah dengan Nabi saww para perempuan pembesar Quraisy mengucilkannya
karena beliau telah menikah dengan orang miskin dan bukan bangsawan.
Dari pernikahannya yang suci ini terlahirlah Qosim, Abdullah dan empat
anak perempuan diantaranya ialah Sy. Fathimah Zahro. [8]
Rujukan:
1. Ash-Shahih min Sirat an-Nabi al-A’dzam, jil 1, hal 121-126.
2. Bihar al-Anwar, jil 16, hal 69.
3. Ash-Shahih min Sirat an-Nabi al-A’dzam, jil 1, hal 122.
4. Bihar al-Anwar, jil 16, hal 20.
5. Ibid hal 22 dan 44.
6. Ibid, hal 52.
7. Ibid, hal 54
8. Dalam kitab ‘Ash-Shahih min Sirat an-Nabi al-A’dzam’ jil 1, hal
121 dijelaskan bahwa sebagian pakar sejarah mengatakan bahwa hanya
Fathimah Zahro putri beliau ,sementara anak perempuan lainnya merupakan
keponakannya yang dibesarkan oleh Sy. Khadijah.
[Euis D, Sumber: Buzurg Zanon Shadre Islom (Para perempuan besar
awal kemunculan Islam), Pazuhesykadeh Tahqiqote Islomi (penelitian dalam
bidang keislaman), hal 38-43].
Khadijah adalah perawan (belum menikah) ketika menikah dengan Rasulullah saw. ! Justru Aisyah yang sudah janda ketika menikah dengan Rasulullah saw.
Kreativiti Hafsah yang berusaha keras menyenangkan
suaminya sudah bertukar menjadi perkara yang menyusahkan Nabi. Bagi
Nabi, Hafsah perlu diberi pengajaran. Baginda telah menceraikan Hafsah
talak satu. Dunia bagaikan gelap gelita bagi Hafsah. Diceraikan suami
bergelar Nabi memang menyiksakan batinnya.
.
HAFSAH BINTI UMAR: DICERAIKAN NABI.
Penulisan sejarah Islam Sunni benar-benar telah dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik dan ideologis. Banyak data-data sejarah
dirahasiakan demi meloloskan sederetan agenda ideologis sebagaimana
tidak sedikit kepalsuan dipasarkan dengan serius juga demi membangun
kesimpulan-kesimpulan tertentu yang diharapkan mampu membangun ide-ide
politik dan kemazhaban tertentu.Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan secara tuntas masalah ini. ia hanya akan menyajikan beberapa contoh yang diharap dapat menjadi pembuka wawasa baru yang sehat dan bertanggung jawab dalam mengkaji sejarah Islam jauh dari kepentingan dan tujuan apapun selain menemukan kebenaran sejarah sejati dan hakikan apa yang terjadi.
Tidak sedikit faktor yang memperkosa data-data sejarah untuk disesuaikan dengan pola pandang resmi tertentu dan kemudian diterima sbagai sebuah kepastian yang dijadikan pondasi di atasnya mereka akan membangun kesimpulan-kesimpulan seperti apa yang mereka maukan sesuai dengan ideologi yang mereka yakini sebelumnya.
Menyajikan sebuah kasus sejarah dengan sederetan rinciannya atau mengada-ngada sebuah kasus sejarah yang lalu memaksanya masuk dalam daftar peristiwa yang harus diterima tanpa boleh dipertanyakan tidak lain adalah upaya penulisan sejarah dan kemudian menggiring para pembaca untuk membacanya sesuai dengan kaca mata pemikiran dan kemazhaban siap saji yang dimaukan!
Upaya seperti diharap mampu menjadikan para pembaca sebagai pengekor yang menelan mentah-mentah sebuah pemikiran yang disajikan dan dikampanyekan oleh “polisi pemberangus kebebasan berfikir” yang berkhidmat untuk kekuasaan di masa penulisan sejarah itu berlangsung.
Jika metodologi penulisan sejarah telah ditundukkan kepada kepentingan kekuasaa maka ia pasti akan menundukkan data-data sejarah yang disajikan demi kekuasaan yang kecenderungan-kedenderungannya.
Dalam kasempatan ini saya akan angkat satu data sejarah yang selama disengaja disembunyikan dan dirahasiakan sedemikian rupa oleh kepentingan politik dan kemazhaban. Ia adalah:
Nabi saw. Telah Menceraikan Hafshah –Putri Umar-!
Ibnu al Jauzi membongkar dokumen sejarah berbahaya tersebut. Ia berkata:
Dari Qais ibn Zaid bahwa Nabi saw. telah menceraikan Hafshah binti Umar. Lalu saudara ibunya; Qudamah dan Utsman keduanya putra Madz’ûn, ia (Hafshah) menangis dan berkata, ‘Demi Allah, ia tidak menceraikanku dalam keadaan kenyang. Dan Nabi saw. datang dan ia pun berjilbab… “[1]
Peristiwa penceraian Hafshah dapat dibilang sebagai peristiwa yang tergenting dalam kehidupan rumah tangga Nabi saw. sebab ia akan membongkar tingkat kemesraan yang erjalin antara keduanya yang tentunya akan berpengaruh kepada hubungan antara Nabi dan Umar; ayah Hafshsh yang selama ini diandalkan oleh pola pandang sebagian mazhab Islam. Di mana mereka membangun sederetan kesimpulan dan keistimewaan atas dasar hubungan itu! Demikian pula dengan hubungan Nabi saw. dengan Aisyah.
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah riwayat panjang dari Ibnu Abbas ra. tentang keretakan hubungan rumah tangga Nabi dengan Hafshah putrinya. Dalam riwayat itu Umar –ayah Hafshah- memperjelas kisah kegentingan dan keretakan hubungan rumah tangga itu:
قَالَ كُنَّا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ قَوْمًا نَغْلِبُ النِّسَاءَ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ وَجَدْنَا قَوْمًا تَغْلِبُهُمْ نِسَاؤُهُمْ فَطَفِقَ نِسَاؤُنَا يَتَعَلَّمْنَ مِنْ نِسَائِهِمْ قَالَ وَكَانَ مَنْزِلِي فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ بِالْعَوَالِي فَتَغَضَّبْتُ
يَوْمًا عَلَى امْرَأَتِي فَإِذَا هِيَ تُرَاجِعُنِي فَأَنْكَرْتُ أَنْ
تُرَاجِعَنِي فَقَالَتْ مَا تُنْكِرُ أَنْ أُرَاجِعَكَ فَوَاللَّهِ إِنَّ
أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُرَاجِعْنَهُ
وَتَهْجُرُهُ إِحْدَاهُنَّ الْيَوْمَ إِلَى اللَّيْلِ فَانْطَلَقْتُ
فَدَخَلْتُ عَلَىحَفْصَةَ فَقُلْتُ
أَتُرَاجِعِينَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ نَعَمْ فَقُلْتُ أَتَهْجُرُهُ إِحْدَاكُنَّ الْيَوْمَ إِلَى
اللَّيْلِ قَالَتْ نَعَمْ قُلْتُ قَدْ خَابَ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْكُنَّ
وَخَسِرَ أَفَتَأْمَنُ إِحْدَاكُنَّ أَنْ يَغْضَبَ اللَّهُ عَلَيْهَا
لِغَضَبِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هِيَ قَدْ
هَلَكَتْ لَا تُرَاجِعِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَلَا تَسْأَلِيهِ شَيْئًا وَسَلِينِي مَا بَدَا لَكِ وَلَا
يَغُرَّنَّكِ أَنْ كَانَتْ جَارَتُكِ هِيَ أَوْسَمَ وَأَحَبَّ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْكِ يُرِيدُ عَائِشَةَ
قَالَ وَكَانَ لِي جَارٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَيَأْتِينِي بِخَبَرِ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَآتِيهِ بِمِثْلِ ذَلِكَ وَكُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّ غَسَّانَتُنْعِلُ الْخَيْلَ لِتَغْزُوَنَا فَنَزَلَ صَاحِبِي ثُمَّ أَتَانِي عِشَاءً فَضَرَبَ بَابِي ثُمَّ نَادَانِي فَخَرَجْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ حَدَثَ أَمْرٌ عَظِيمٌ قُلْتُ مَاذَا أَجَاءَتْ غَسَّانُ قَالَ لَا بَلْ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ وَأَطْوَلُ طَلَّقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ فَقُلْتُ قَدْ خَابَتْ حَفْصَةُ وَخَسِرَتْ قَدْ كُنْتُ أَظُنُّ هَذَا كَائِنًا حَتَّى إِذَا صَلَّيْتُ الصُّبْحَ شَدَدْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي ثُمَّ نَزَلْتُ فَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ وَهِيَ تَبْكِي فَقُلْتُ أَطَلَّقَكُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ لَا أَدْرِي هَا هُوَ ذَا مُعْتَزِلٌ فِي هَذِهِ الْمَشْرُبَةِ
“ … Umar berkata, “Kami kaum Quraisy adalah kaum yang mengalahkan istri-istri kami dan setelah kami berhijrah ke Madinah kami menemukan kaum yang dikalahkan oleh istri-istri mereka. Wanita-wanita kami mulai belajar dari wanita-wanita mereka. Umar berkata, “Rumah tempat tinggalku di daerah bani Umayyah ibn Zaid di perbukitan. Pada suatu hari aku marah kepada istriku, tiba-tiba ia berami membantahku, aku marah kepadanya karena ia berani membantahku, lalu ia berkata, ‘Mengaka kaum mengingkari karena aku membanthmu? Demi Allah sesungguhnya istri-istri Nabi saw. benar-benar telah membantahnya dan seorang dari mereka terkadang tidak mengajaknya berbicara sehari semalam! Aku pergi dan menemui Hafshah, aku bertanya, “Apakah engkau membantah Rasulullah saw.? Ia menjawab, “Ya. Aku berkata, “Akapah seorang dari kalian tidak mengajaknya berbicara sehari semalam? Ia menajwab, ‘Ya.’ Aku berkata, “Sungguh celaka dan merugilah seorang dari kalian yang melakukan perbuatan itu. Apakah seorang dari kalian merasa aman dari murka Allah karena murka Rasul-Nya. Pasti ia celaka! Jangan engkau membantah Rasulullah saw. dan jangan engkau meminta-minta sesuatu darinya. Mintalah kepadaku apapun yang engkau inginkan! Janganlah engkau tertipu oleh tetanggamu (Aisyah) maksudnya ia itu lebih cantik dan lebih dicintai Rasulullah saw.’Umar berkata, “Aku punya tetangga dari suku Anshar, kami bergantian mendatangi Rasulullah saw. sehari aku turun dan sehari ia yang turun. Ia dating dengan membawa kabar tentang wahyu dan selainnya. Begitu juga aku seperti itu. Kami berbincang-bincang bahwa suku Ghassân telah bersiap-siap untuk menyerang kota Madinah. Temanku turun kemudian ia dating menemuiku dan mengetuk pintu rumahku dan memanggilku. Aku keluar menemuinya. Ia berkata, “Telah terjadi perkara besar!” Aku bertanya, “Apakah suku Ghassân dating?” Ia menjawab, “Lebih besar dan lebih panjang ceritanya dari itu. Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya!” Aku berkata, ‘Kecewa dan merugilah Hafshah. Aku telah memperkirakan ini pasti terjadi. Seusai aku shalat shubuh aku pakai bajuku aku turun ke kota menemui Hafshah, ia menangis. Aku kerkata kepadanya, ‘Apakah Rasulullah saw. menceraikan kalian? Hafshah menjawab, “Aku tidak tau. Sekarang ia menyendiri di tempat istirahatnya… “[2]
Imam Muslim juga meriwayatkan hadis lain dari Ibnu Abbas ra. bahwa Umar mengabarkan kepadanya seperti di bawah ini:
لَمَّا اعْتَزَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نِسَاءَهُ قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا النَّاسُ يَنْكُتُونَ
بِالْحَصَى وَيَقُولُونَ طَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يُؤْمَرْنَ بِالْحِجَابِ
فَقَالَ عُمَرُ فَقُلْتُ لَأَعْلَمَنَّ ذَلِكَ الْيَوْمَ قَالَ فَدَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَقَدْ بَلَغَ مِنْ شَأْنِكِ أَنْ تُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ مَا لِي وَمَا لَكَ -
يَا ابْنَ الْخَطَّابِعَلَيْكَ بِعَيْبَتِكَ قَالَ فَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ فَقُلْتُ لَهَا يَا حَفْصَةُ أَقَدْ
بَلَغَ مِنْ شَأْنِكِ أَنْ تُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحِبُّكِ وَلَوْلَا أَنَا
لَطَلَّقَكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَكَتْ
أَشَدَّ الْبُكَاءِ
Ibnu Abbas berkata, “Umar berkata kepadaku, ‘Ketika Nabi saw.
mengasingkan diri dari sitri-istrinya, aku masuk ke dalam masjid
tiba-tiba aku menyaksikan orang-orang membulak-balikkan batu-batu kecil
ke atas tanah (sebagai tanda kesedihan _pen), mereka berkata, ‘Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.’ Ketika itu hijab belum diwajibkan.Umar berkata, “Aku akan mencari tau hari ini. ia berkata, ‘Aku masuk menemui Aisyah lalu aku berkata, ‘Hai anak Abu Bakar, apakah sudah sampai seperti itu kamu mengganggu Rasulullah saw.? Aisyah berkata, “Apa urusanmu dan dan aku hai anak Khaththab? Uruslah anakmu sendiri!”
Umar berkata, “Aku masuk menemui Hafshah, aku berkata kepadanya, “Apakah sudah sampai seperti itu kamu mengganggu Rasulullah saw.? Demi Allah aku benar-benar mengatahui bahwa Rasulullah tidak mencintaimu. Jika buklan karena aku pastilah beliau sudah menceraikanmu.” Maka ia menangis dengan tangisan yang sangat… .”[3][4]
Demikianlah hubungan yang terjalin antara Rasulullah saw. dan kedua istri beliau; anak Abu Bakar dan anak Umar!
Peristiwa ini tidak mendapat perhatian yang sesuai di kalangan sekelompk Muslimin padahal ia sangat penting dalam pristiwa-pristiwa Sirah Nabi saw. Sepertinya mereka bersepakat untuk tidak mengangkat kasus ini agar tidak memimbulkan keingintauan kaum Muslimin terhadap apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tangga Nabi saw. yang tentu akan memiliki ekor panjang dalam kehidupan sejarah umat Islam! Dan akan mempertanyakan kembali sederetan keistimewaan yang diberikan kepada kedua ayah merekaa atas dasar kedekatan dan kemesraan hubungan yang terjalin antara Nabi saw. dan kedua anak mereka! Karenanya pristiwa ini harus ditutup rapat demi kemapanan ideologis yang telah dibangun di atas kisah kemesraan dan kehangatan hubungan!
Semua kisah sejarah harus dirajut jauh dari bayanhg-bayang kasus/peristiwa yang tidak diinginkan.
Benarkan Aisyah Masih Gadis Ketika Menikah Dengan Nabi saw.?
Kasus lain yang juga diupayakan agar tetap dalam kerahasiannya adalah peristiwa pernikahan Aisyah dengan seorang pemuda bernama Jubair ibn Muth’im, tentunya sebelum kemudian Aisyah menikah dengan Rasulullah saw.! Artinya ketika dinikahi Nabi saw., Aisyah adalah janda setelah diceraikan oleh suaminya atas permiantaan Abu Bakar.
Perhatikan riwayat Ibnu Sa’ad di bawah ini yang ia nukil dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata, “Rasulullah saw. melamar Aisyah binti Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, aku sudah berikah dia kepada Muth’im untuk dinikahkah kepada anaknya si Jubair. Jadi biarkan aku ambil dengan berlahan lagi dari mereka.’ Lalu Abu Bakar mengambilnya dengan cara halus kemudian menikahkannya dengan Rasulullah saw.”[5]
Data riwayat di atas tidak menjelaskan apakah suami Aisyah sudah melakukan hubungan suami istri dengannya atau belum sempat. Dan karena Rasulullah saw. melawar Aisyah maka Abu Bakar melihat bahwa adalah mashlahat apabila ia meminta kerelaan keluarga Muth’im untuk mengembalikan putrinya kepadanya. Kemudian keluarga Muth’im berbaik hati dengan menuruti permintaan Abu Bakar dan menceraikan Aisyah dan setelahnya Abu Bakar menikahkannya dengan Rasulullah saw.
Peristiwa yang mirip juga terjadi dengan Zainab dan Zaid ibn Hâritsah anak angkat Rasulullah saw. ketika Zaid mengetahui bahwa Rasulullah saw. tertarik kepada istrinya; Zainab, ia datang menemui Rassullah dan berkata, “Wahai Rasulullah saw. telah sampai berita kepadaku bahwa Anda dating ke rumahku, mengapa Anda tidak sudi masuk? Wahai Rasulullah, semoga ayah dan ibuku sebagai tebusan begi Anda, apakah Anda tertarik kepada Zainab? Aku siap menceraikannnya untuk Anda.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Peganglah tali pernikahanmu dengan istrimu!”[6]
Di sini, dalam kasus ini, Zaid lebih mengutamakan keingininan Nabi saw. dan siap menceraikan istrinya demi beliau saw. mirip dengan apa yang dilakukan oleh Jubair ketika ia sudi menceraikan Aisyah demi keinginan Rasulullah saw.
Pristiwa pernikahan Aisyah dengan Jubair ibn Muth’im meruntuhkan khayalan yang selama dijadikan pondasi membangun sederetan kesimpulan dan penganugerahan berbagai keistimewaan untuk Siti Aisyah. Dia anartanya aadalah bahwa ia adalah satu-satunya istri Nabi saw. yang gadis saat dinikahi Rasulullah saw. yang di atasnya pengagungan dan pengutamaan dibangun!
Demikianlaah dua contoh kasus sejarah yang dirahasiakan dan/atau diabaikan sedemikian rupa demi mepertahankan bangunan keutamaan dan keistimewaan yang atas pula pondasi ideologi dan kemazhaban ditegakkan dan kemudian disakralkan!
Mengada-ngada Pristiwa Demi Politik Dan Mazhab.
Sebagaimana sebagian mereka juga mengada-ngada pristiwa sejarah demi tujuan kemazahaban dan ideologis dan kemudian sebagian lainnya terjebak dalam membesar-besarkannya serta terseret dalam penyimpulan-penyimpulan yang sengaja dimaukan para pembaca terjebak di dalamnya, seperti pristiwa NIKAHNYA UMAR DENGAN UMMU KULTSUM PUTRI IMAM ALI AS.
Di mana kita menyaksikan bagaimana sebagian mereka yang terjebak, baik dengan sadar atau tidak berlomba-lomba menyajikan kesimpulan-kesimpulan “lugu” dan terkadang terkesan ‘dungu” di atas pristiwa yang sulit mereka buktikan sendiri jika tidak mustahil untuk dibuktikan kebenarannya!
Dengan pristiwa yang paling baik status yang pantas kita berikan untuknya adalah pristiwa yang belum pasti kebenarannya, mereka membangun kesimpulan “lugu” dan mengabaikan semua bukti sejarah yang bertolak belakang dengannya… sungguh sukses para pemalsu itu ketika mampu menciptkan generasi pembaca sejarah sesuai dengan arah yang dimaukan oleh para pemalsu itu!
Mudah-mudahan dalam kesempatan lain kami dapat menyajikan tema tersebut!Insya Allah.
[1] Shafwah ash Shafwah,1/354, al Kunâ wa al Asmâ’; Imam an Nawawi,2/338 dan ath Thabaqât; Ibnu Sa’ad,6/62.
[2] Shahih Muslim, Kitâb ath Thalâq, Bab (5) al Îlâ’ wa I’tizâl an Nisâ’ wa takhyîruhunna,4/192-193. Dâr al Ma’rifah, Bairut. Lihat juga di sini: http://hadith.al-islam.com/Page.aspx?pageid=192&TOCID=663&BookID=25&PID=2779
[3] Ibid. 188. Lihat juga di sini: http://hadith.al-islam.com/ Page.aspx? pageid= 192& BookID =25& TOCID =663.
[4] Mungkin
saat itu Sayyidina Umar, Siti Hafshah dan siti Aisyah belum mengetahui
bahwa semua sahabat itu adalah ADIL, dan apapun yang mereka lakukan
pasti diberi pahala sebab dilakukan berdasarkan ijtihad! Jadi semestinya
Sayyidina Umar tidak perlu mengancam dan Siti Hafshah pun tidak perlu
menangis! Mendapat pahala kok malah menangis?! Aneh bukan?!
[5] Ath Thabaqat al Kubrâ,6/42.
[6] Ibid.75.
Adakah Putri Rasul Selain Fatimah as?
Konon, sebelum menjadi istri Rasul, Khadijah as adalah merupakan janda dari dua orang yang bernama ‘Atiq bib ‘Aizd bin Abdullah al-Makhzumi dan Abu Halah at-Tamimi dan dari pernikahan tersebut, Khajidah as memiliki dua putri yang bernama Zaenab dan Ruqayah, dan dua putri lainnya dari Rasulullah yang bernama Ummu Kultsum dan Fatimah az-Zahra. Benarkah?
Sejumlah sejarawah menegaskan bahwa Khadijah adalah perawan (belum menikah) ketika menikah dengan Rasulullah saw. Abu al-Qasim al-Kufi mengatakan; para sejarawah dan penukil berita bahwa tidak tersisa dari pembesar Quraisy –bangsawan dan orang kaya- melainkan seluruhnya mengajukan lamaran kepada Khadijah, tetapi semuanya ditolak. Dan ketika lamaran Rasul diterima, marahlah para wanita Quraisy dan dengan nada tinggi berkata kepadanya; para pembesar Quraisy telah melamarmu, tapi enkau tolak dan engkau terima lamaran Muhammad, anak yatim asuhan Abu Thalib, miskin dan tidak memiliki harta. Isbahani menambahkan; “Khadijah adalah seorang perawan (sebelum dan ketika menikahi Rasul).[7]
Lantas siapakah ‘Atiq bib ‘Aizd bin Abdullah al-Makhzumi dan Abu Halah at-Tamimi? Khuwailid bin Asad memiliki dua putri yang bernama Halah dan Khadijah. Halah pada masa jahiliyah menikah dengan ‘Atiq bib ‘Aizd bin Abdullah al-Makhzumi dan dari pernikahan tersebut lahirlah Zainab dan Ruqayah.
Beberapa alasan bisa dikemukan untuk menguatkan riwayat di atas. Alasan yang pertama adalah, al-Makhzumi dan at-Timimi sebenarnya adalah orang yang sama yang memiliki dua panggilan, bukan dua pribadi yang berbeda.
Di antara kebiasaan orang Arab dahulu, memanggil seseorang dengan menambahkan kata Abu kepada sifat seseorang, atau anak, atau istrinya kemudian menjadi panggilan bagi orang tersebut. Al-Makhzumi memiliki panggilan lain Abu Halah dari nama istrinya, sedangkan sejarah juga mencatat bahwa Abu Halah juga panggilan lain dan ai-Tamimi, di sisi lain, tidak ada satupun uraian sejarah yang menjelaskan siapakah di antara keduanya yang menjadi suami pertama dan kedua.[8]
Siapa pulakah Zainab, Rugayah dan Ummu Kultsum? Zainab dan Rugayah, keduanya adalah putri dari Halah binti Khuwailid saudari Khadijah as yang ketika kedua suami Halah meninggal, perawatan keduanya berada di tangan Khadijah. Sedangkan satu-satunya putri Khadijah dengan Rasulullah adalah Fatimah az-Zahra as.
Beberapa alasan yang menguatkan pendapat ini adalah sebagai berikut:
a. Banyak riwayat yang menyebutkan kedekatan khusus dan hubungan erat antara Rasulullah dengan putrinya Fatimah as. Rasulullah bersabda: “Fatimah Ibu bagi bapaknya”[9] Ibnu Abbas meriwayatkan; “setiap kali rasulullah kembali dari bepergian akan mendatangi dan mencium Fatimah”[10] Dan ketika turun ayat Tathhir, selama enam bulan Rasulullah senantiasa mendatangi rumah putrinya Fatimah as dan mengucapkan salam Assalamu ‘alikum ya Ahla Baiti an-Nubuwah.[11]
Hadits-hadits yang menerangkan hubungan kedua ayah-putri ini berjumlah ratusan, tapi tidak ada satupun hadis yang menyampaikan hubungan Rasul dengan Zainab dan Ruqayah. Sejarah juga mencatat bagaimana peran Fatimah dalam mendukung dan membela dakwah Rasulullah bahkan pada saat ia masih belia. Lantas di manakah “kedua saudari” Fatimah?
b. Pada masa hidup Rasul sampai kekhalifahan Utsman, para sahabat tidak pernah menyebutkan bahwa dengan menikahi Zainab dan Ummu kulzum merupakan sebuah keutamaan baginya dan tidak para sahabat ketika itu menyebut hal yang sama terhadap Utsman. Juga tidak ada satupun pihak baik dari pihak yang melindungi Utsman maupun pihak pembunuh Utsman yang menyebut Dzun Nurain sebagai keutamaannya ketika peristiwa Fitnah ad-Dar terjadi.
Belakangan terbukti, bahwa gelar Dzun Nurain bagi Utsman baru pertama kali dikenal setelah pembunuhan atasnya terjadi, yakni pada masa pemerintahn Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
c. Ketika Imam Ali as menyusul hijrah ke Madinah. Bersamanya Ummu Aiman dan rombongan para wanita yang semuanya bernama Fatimah beserta orang-orang lemah kaum mukmin. Di manakah Zainab, Ruqayah dan Ummu Kulzum? Apakah mereka dilahirkan di Madinah? Bagaimana mungkin! Bukankah Khadijah wafat sebelum hijrah ke Madinah?
[7] . Dalail an-Nubuwah: 178.
[8] . al-Awail al-Askari: 1/159.
[9] . Usudul Ghabah: 7/220.
[10] . Ibid: 7/224, Majma’ as-Zawaid: 8/42.
[11] . Sunan at-Tirmizi: 2/29, Tafsir at-Tabari 5/22, Musnad Ahmad: 2/252.
Konon, sebelum menjadi istri Rasul, Khadijah as adalah merupakan janda dari dua orang yang bernama ‘Atiq bib ‘Aizd bin Abdullah al-Makhzumi dan Abu Halah at-Tamimi dan dari pernikahan tersebut, Khajidah as memiliki dua putri yang bernama Zaenab dan Ruqayah, dan dua putri lainnya dari Rasulullah yang bernama Ummu Kultsum dan Fatimah az-Zahra. Benarkah?
Sejumlah sejarawah menegaskan bahwa Khadijah adalah perawan (belum menikah) ketika menikah dengan Rasulullah saw. Abu al-Qasim al-Kufi mengatakan; para sejarawah dan penukil berita bahwa tidak tersisa dari pembesar Quraisy –bangsawan dan orang kaya- melainkan seluruhnya mengajukan lamaran kepada Khadijah, tetapi semuanya ditolak. Dan ketika lamaran Rasul diterima, marahlah para wanita Quraisy dan dengan nada tinggi berkata kepadanya; para pembesar Quraisy telah melamarmu, tapi enkau tolak dan engkau terima lamaran Muhammad, anak yatim asuhan Abu Thalib, miskin dan tidak memiliki harta. Isbahani menambahkan; “Khadijah adalah seorang perawan (sebelum dan ketika menikahi Rasul).[7]
Lantas siapakah ‘Atiq bib ‘Aizd bin Abdullah al-Makhzumi dan Abu Halah at-Tamimi? Khuwailid bin Asad memiliki dua putri yang bernama Halah dan Khadijah. Halah pada masa jahiliyah menikah dengan ‘Atiq bib ‘Aizd bin Abdullah al-Makhzumi dan dari pernikahan tersebut lahirlah Zainab dan Ruqayah.
Beberapa alasan bisa dikemukan untuk menguatkan riwayat di atas. Alasan yang pertama adalah, al-Makhzumi dan at-Timimi sebenarnya adalah orang yang sama yang memiliki dua panggilan, bukan dua pribadi yang berbeda.
Di antara kebiasaan orang Arab dahulu, memanggil seseorang dengan menambahkan kata Abu kepada sifat seseorang, atau anak, atau istrinya kemudian menjadi panggilan bagi orang tersebut. Al-Makhzumi memiliki panggilan lain Abu Halah dari nama istrinya, sedangkan sejarah juga mencatat bahwa Abu Halah juga panggilan lain dan ai-Tamimi, di sisi lain, tidak ada satupun uraian sejarah yang menjelaskan siapakah di antara keduanya yang menjadi suami pertama dan kedua.[8]
Siapa pulakah Zainab, Rugayah dan Ummu Kultsum? Zainab dan Rugayah, keduanya adalah putri dari Halah binti Khuwailid saudari Khadijah as yang ketika kedua suami Halah meninggal, perawatan keduanya berada di tangan Khadijah. Sedangkan satu-satunya putri Khadijah dengan Rasulullah adalah Fatimah az-Zahra as.
Beberapa alasan yang menguatkan pendapat ini adalah sebagai berikut:
a. Banyak riwayat yang menyebutkan kedekatan khusus dan hubungan erat antara Rasulullah dengan putrinya Fatimah as. Rasulullah bersabda: “Fatimah Ibu bagi bapaknya”[9] Ibnu Abbas meriwayatkan; “setiap kali rasulullah kembali dari bepergian akan mendatangi dan mencium Fatimah”[10] Dan ketika turun ayat Tathhir, selama enam bulan Rasulullah senantiasa mendatangi rumah putrinya Fatimah as dan mengucapkan salam Assalamu ‘alikum ya Ahla Baiti an-Nubuwah.[11]
Hadits-hadits yang menerangkan hubungan kedua ayah-putri ini berjumlah ratusan, tapi tidak ada satupun hadis yang menyampaikan hubungan Rasul dengan Zainab dan Ruqayah. Sejarah juga mencatat bagaimana peran Fatimah dalam mendukung dan membela dakwah Rasulullah bahkan pada saat ia masih belia. Lantas di manakah “kedua saudari” Fatimah?
b. Pada masa hidup Rasul sampai kekhalifahan Utsman, para sahabat tidak pernah menyebutkan bahwa dengan menikahi Zainab dan Ummu kulzum merupakan sebuah keutamaan baginya dan tidak para sahabat ketika itu menyebut hal yang sama terhadap Utsman. Juga tidak ada satupun pihak baik dari pihak yang melindungi Utsman maupun pihak pembunuh Utsman yang menyebut Dzun Nurain sebagai keutamaannya ketika peristiwa Fitnah ad-Dar terjadi.
Belakangan terbukti, bahwa gelar Dzun Nurain bagi Utsman baru pertama kali dikenal setelah pembunuhan atasnya terjadi, yakni pada masa pemerintahn Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
c. Ketika Imam Ali as menyusul hijrah ke Madinah. Bersamanya Ummu Aiman dan rombongan para wanita yang semuanya bernama Fatimah beserta orang-orang lemah kaum mukmin. Di manakah Zainab, Ruqayah dan Ummu Kulzum? Apakah mereka dilahirkan di Madinah? Bagaimana mungkin! Bukankah Khadijah wafat sebelum hijrah ke Madinah?
[7] . Dalail an-Nubuwah: 178.
[8] . al-Awail al-Askari: 1/159.
[9] . Usudul Ghabah: 7/220.
[10] . Ibid: 7/224, Majma’ as-Zawaid: 8/42.
[11] . Sunan at-Tirmizi: 2/29, Tafsir at-Tabari 5/22, Musnad Ahmad: 2/252.
Fatimah Az Zahra dan Sayyidah Khadijah.
Tak diragukan lagi, sebagian besar problem dan masalah yang dihadapi umat manusia adalah karena kelalaiannya akan hakikat wujud kemanusiaannya, sehingga dia terjebak dalam tipuan dunia. Sebaliknya, manusia bisa mendekatkan diri kepada Tuhan saat dia mengenal dirinya dan mengetahui tugas yang harus ia lakukan dan pertanggungjawabkan kepada Allah, Sang Pencipta alam kehidupan.
Fatimah Zahra AS, adalah seorang figur yang unggul dalam keutamaan ini. Dalam doanya, beliau sering berucap, “Ya Allah, kecilkanlah jiwaku di mataku dan tampakkanlah keagungan-Mu kepadaku. Ya Allah, sibukkanlah aku dengan tugas yang aku pikul saat Engkau menciptakanku, dan jangan Engkau sibukkan aku dengan hal-hal yang lain.”
Keikhlasan dalam beramal adalah jembatan menuju keselamatan dan keberuntungan. Manusia yang memiliki jiwa keikhlasan akan terbebas dari seluruh belenggu hawa nafsu dan akan sampai ke tahap penghambaan murni. Keikhlasan akan memberikan keindahan, kebaikan, dan kejujuran kepada seseorang. Contoh terbaik dalam hal ini dapat ditemukan pada pribadi agung Fatimah Zahra AS. Seseorang pernah bertanya kepada Imam Mahdi AS, “Siapakah di antara putri-putri Nabi yang lebih utama dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi?” Beliau menjawab, “Fatimah.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana Anda menyebut Fatimah sebagai yang lebih utama padahal beliau hanya hidup singkat dan tidak lama bersama Nabi?” Beliau menjawab, “Allah memberikan keutamaan dan kemuliaan ini kepada Fatimah karena keikhlasan dan ketulusan hatinya.”
Sayyidah Fatimah dalam munajatnya sering mengungkapkan kata-kata demikian, “Ya Allah, aku bersumpah dengan ilmu ghaib yang Engkau miliki dan kemampuan penciptaan-Mu. Berilah aku keikhlasan. Aku ingin aku tetap tunduk dan menghamba kepada-Mu di kala senang dan susah. Saat kemiskinan mengusikku atau kekayaan datang kepadaku, aku tetap berharap kepada-Mu. Hanya dari-Mu aku memohon kenikmatan tak berujung dan kelapangan pandangan yang tak berakhir dengan kegelapan. Ya Allah, hiasilah aku dengan iman dan masukkanlah aku ke dalam golongan mereka yang mendapatkan petunjuk.”
Kecintaan Fatimah AS kepada Tuhan disebut oleh Rasulullah sebagai buah dari keimanannya yang tulus. Beliau bersabda, “Keimanan kepada Allah telah merasuk ke kalbu Fatimah sedemikian dalam, sehingga membuatnya tenggelam dalam ibadah dan melupakan segalanya.”
Manusia yang mengenal Tuhannya akan menghiasi perilaku dan tutur katanya dengan akhlak yang terpuji. Asma’, salah seorang wanita yang dekat dengan Sayyidah Fatimah AS mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorangpun wanita yang lebih santun dari Fatimah. Fatimah belajar kesantunan dari Dzat yang Mahabenar. Hanya orang yang terdidik dengan tuntunan Ilahi-lah yang bisa memiliki perilaku dan kesantunan yang suci. Ketika Allah swt melalui firman-Nya memerintahkan umat untuk tidak memanggil Rasul dengan namanya, Fatimah lantas memanggil ayahnya dengan sebutan Rasulullah. Kepadanya Nabi bersabda, “Fatimah, ayat suci ini tidak mencakup dirimu.” Dalam kehidupan rumah tangganya, putri Nabi ini selalu menjaga etika dan akhlak. Kehidupan Ali dan Fatimah yang saling menjaga kesantunan ini layak menjadi teladan bagi semua.
Kasih sayang dan kelemah-lembutan Fatimah AS diakui oleh semua orang yang hidup sezaman dengannya. Dalam sejarah disebutkan bahwa kaum fakir miskin dan mereka yang memiliki hajat, akan datang ke rumah Fatimah ketika semua jalan yang bisa diharapkan membantu mengatasi persoalan mereka telah tertutup. Fatimah tidak pernah menolak permintaan mereka, padahal kehidupannya sendiri serba berkekurangan.
Poin penting lain yang dapat dipelajari dari kehidupan dan kepribadian penghulu wanita sejagat ini adalah sikap tanggap dan peduli yang ditunjukkan beliau terhadap masalah rumah tangga, pendidikan dan masalah sosial. Banyak yang berprasangka bahwa keimanan dan penghambaan yang tulus kepada Allah akan menghalangi orang untuk berkecimpung dalam urusan dunia.
Kehidupan Sayyidah Fatimah Zahra AS mengajarkan kepada semua orang akan hal yang berbeda dengan anggapan itu. Dunia di mata beliau adalah tempat kehidupan, meski demikian hal itu tidak berarti harus dikesampingkan. Beliau menegaskan bahwa dunia laksana anak tangga untuk menuju ke puncak kesempurnaan, dengan syarat hati tidak tertawan oleh tipuannya. Fatimah AS berkata, “Ya Allah, perbaikilah duniaku bergantungnya kehidupanku. Perbaikilah kondisi akhiratku, karena ke sanalah aku akan kembali. Panjangkanlah umurku selagi aku masih bisa berharap kebaikan dan berkah dari dunia ini…”
Detik-detik akhir kehidupannya telah tiba. Duka dan derita terasa amat berat untuk dipikul oleh putri tercinta Nabi ini. Meski demikian, dengan lemah lembut Fatimah bersimpuh di hadapan Sang Maha Pencipta mengadukan keadaannya. Asma berkata, “Saya menyaksikan saat itu Fatimah AS mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantara kemuliaan Nabi dan kecintaannya kepadaku. Aku memohon kepada-Mu dengan nama Ali dan kesedihannya atas kepergianku. Aku memohon kepada-Mu dengan perantara Hasan dan Husein serta derita mereka yang aku rasakan. Aku memohon kepada-Mu atas nama putri-putriku dan kesedihan mereka. Aku memohon, kasihilah umat ayahku yang berdosa. Ampunilah dosa-dosa mereka. Masukkanlah mereka ke dalam surga-Mu. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pengasih dari semua pengasih.”
Sebelum ajal datang menjemputnya, Fatimah Zahra AS menghadap kiblat setelah sebelumnya berwudhu. Beliau mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah kematian bagai kekasih yang aku nantikan. Ya Allah, curahkanlah rahmat dan inayah-Mu kepadaku. Tempatkanlah ruhku di tengah arwah orang-orang yang suci dan jasadku di sisi jasad-jasad mulia. Ya Allah, masukkanlah amalanku ke dalam amalan-amalan yang Engkau terima.”
Tanggal 3 Jumadi Tsani tahun 11 Hijriyyah, Fatimah Zahra putri kesayangan Nabi menutup mata untuk selamanya. Beliau wafat meninggalkan pelajaran-pelajaran yang berharga bagi kemanusiaan. Hari ini, kami mengucapkan belasungkawa kepada para pecinta keluarga suci Rasul.
Rasul pernah menyifati putrinya, Fatimah AS dengan sabdanya, “Allah telah memenuhi hati dan seluruh anggota tubuh Fatimah dengan keimanan dan keyakinan.” Kepada putrinya itu, beliau pernah bersabda, “Fatimah, Allah telah memilihmu dan menghiasimu dengan makrifat dan pengetahuan. Dia juga telah membersihkanmu dan memuliakanmu di atas wanita seluruh jagat.“
Kecintaan Rasulullah SAW kepada Fatimah Zahra AS merupakan satu hal khusus yang layak untuk dipelajari dari kehidupan beliau. Di saat bangsa Arab menganggap anak perempuan sebagai pembawa sial dan kehinaan, Rasul memuliakan dan menghormati putrinya sedemikian besar. Selain itu, Rasulullah SAW biasa memuji seseorang yang memiliki keutamaan. Dengan kata lain, pujian Rasul kepada Fatimah adalah karena beliau menyaksikan kemuliaan pada diri putrinya itu. Nabi SAW tahu akan apa yang bakal terjadi sepeninggalnya kelak. Karena itu, sejak dini beliau telah mengenalkan kemuliaan dan keagungan Fatimah kepada umatnya, supaya kelak mereka tidak bisa beralasan tidak mengenal keutamaan penghulu wanita sejagat itu.
Suatu hari, seorang sahabat bertanya kepada Rasul, “Mengapa Anda tidak memperlakukan anak-anak Anda yang lain seperti Fatimah?” Rasul menjawab, “Engkau tidak mengenal Fatimah. Aku mencium bau surga pada diri Fatimah. Engkau tidak tahu bahwa keredhaan Allah ada pada keredhaan Fatimah dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan Fatimah.”
Kesempurnaan manusia tidak mengenal jenis jantina. Kesempurnaan itu adalah sebuah anugerah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya untuk dapat mengenal dirinya lebih dalam. Fatimah adalah contoh nyata dari sebuah kesempurnaan. Dengan mengikuti dan meneladaninya, kesuksesan dan kebahagiaan hakiki yang menghantarkan kepada kesempurnaan akan bisa digapai. Fatimah adalah wanita yang banyak menimba ilmu, makrifat dan hikmah hakiki. Keluasan ilmunya tampak sekali dalam khotbah yang beliau sampaikan di masjid Nabi, di hadapan para sahabat.
Dalam khotbah itu, Fatimah AS menjelaskan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dan masyarakat adalah dengan memegang teguh agama dan patuh kepada perintah Allah. Beliau yang mengetahui psikologi masyarakatnya menerangkan berbagai kekurangan yang ada di tengah mereka. Dalam khotbah itu, Fatimah AS membawakan berbagai ayat suci Al-Qur’an dan menjelaskan tafsirannya. Peristiwa yang terjadi di masa lalu, sejarah umat-umat terdahulu yang layak dijadikan pelajaran dan bahan peringatan, diungkapkannya. Dalam khotbah tersebut Fatimah sebagai seorang hamba yang saleh dan arif yang hakiki, menjelaskan kecintaannya kepada Sang Maha Pencipta.
Fatimah Zahra AS, adalah wanita yang mengenal betul kondisi di tengah masyarakat. Beliau sadar akan adanya makar dan tipu daya musuh-musuh Islam. Hal itulah yang kemudian beliau ungkapkan dalam khotbahnya. Singkatnya, Fatimah AS sebagai seorang yang mengetahui seluk beluk politik dan sadar akan kondisi di zamannya, menerangkan kepada semua orang bahwa Islam adalah agama terakhir Tuhan dan syariat yang paling sempurna. Beliau juga menjelaskan bahwa satu-satunya jalan keselamatan adalah dengan mengikuti jejak Ahlul Bait AS.
Berikut ini adalah sekelumit dari khotbah Sayyidah Fatimah Zahra AS di masjid Nabi. “Rasulullah diutus saat seluruh bangsa terpecah-pecah. Mereka menyembah berhala. Meski mengenal Tuhan, mereka mengingkarinya. Dengan perantara Muhammad, Allah menyingkap tabir syirik dan kekafiran. Dia membersihkan kotoran dari hati, dan Dia berikan cahaya di mata. Muhammad dengan cahaya petunjuk bangkit di tengah umat untuk menyelamatkan mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke cahaya benderang. Dia menggiring umat ke arah agama yang kuat dan mengajak mereka kepada kebenaran.
Detik-detik terakhir kehidupan Fatimah Az-Zahra as Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad Hari ini Fatimah as tampak dalam keadaan terbaik yang seharusnya setiap wanita seperti itu.
Fatimah as memegang Hasan as dan Husein as dan membasuh kepala mereka Lalu ia bertemu Imam Ali as dan berkata:“Hai Abu Hasan, jiwaku telah membisikiku bahwa tak lama lagi aku akan berpisah denganmu,Aku mempunyai wasiat yang telah kupendam dalam dadaku yang ingin aku wasiatkan padamu” Ali as menjawab: “Wasiatkanlah apa saja yang kau sukai, niscaya kau dapati aku sebagai orang yang menepati dan melaksanakan semua yang kau perintahkan padaku,Dan aku dahulukan urusanmu atas urusanku” Fatimah as mulai berkata: “Abu Hasan,engkau tidak pernah mendapatiku berdusta dan berkhianat,Dan aku tidak pernah menentangmu sejak engkau menikah denganku” baca selanjutnya.
Ali as menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, engkau orang yang paling baik disisi Allah, paling ‘alim dan paling takwa,Tidak wahai Fatimah, engkau begitu mulia dan tidak pernah membantahku,Sungguh berat bagiku berpisah dan meninggalkanmu,Tetapi ini adalah hal yang harus terjadi”.“Demi Allah engkau mengulangi musibah Rasulullah saww atasku,Sungguh besar musibah kematianmu dan kepergian atasku,Kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali,Atas musibah yang sangat besar, sangat menyakitkan dan sangat menyedihkan”. Kemudian Ali as mengusap kepala Fatimah sambil menangis.
Lalu Fatimah melanjutkan wasiatnya: “Abu Hasan, jika aku telah meninggal,Mandikanlah aku, hunuthlah tubuhku dengan sisa hunuth yang telah dipakai oleh ayahku Rasulullah saww, lalu kafanilah aku,Shalatilah aku dan jangan biarkan orang-orang yang memperlakukan aku secara kejam menghadiri jenazahku,Baik dari kalangan mereka maupun dari pengikut mereka”. Kemudian Fatimah meneruskan: “Kuburlah aku diwaktu malam saat keheningan menyelimuti bumi dan mata terlelap dalam tidur, Dan sembunyikanlah letak kuburanku”. “Abu Hasan, aku berwasiat kepadamu agar menjaga Zainab, juga Hasan as dan Husien as,Jangan kau bentak mereka,Karena mereka akan menjadi anak-anak yatim yang penuh derita, Baru saja kemarin mereka ditinggal oleh kakek mereka Rasulullah saw,
Dan hari ini mereka akan kehilangan ibu mereka, Fatimah as”. Kemudian Imam as keluar menuju mesjid. Fatimah as berdiri dan memandikan Hasan as dan Husein as,Ia mengganti pakaian Hasan as dan Husein as setelah menyiapkan makanan bagi mereka. Fatimah as berkata kepada mereka: “Keluarlah kalian dan pergilah ke Mesjid” Sebagaimana biasa, Fatimah as menitipkan Zainab kerumah ummu Salamah.Hingga tak seorangpun dari anaknya yang ada dirumah. Asma’ binti Umais berkata bahwa ia melihat Fatimah as dan ia berkata kepadaku:“Wahai Asma’, aku akan masuk kedalam kamarku ini untuk mengerjakan shalat-shalat sunahku, Dan membaca wirid-wiridku dan Al-Quran”.
“Bila suaraku terhenti, maka panggillah aku bila aku masih bisa menjawab,Kalau tidak, berarti aku telah menyusul ayahku Rasulullah saww”. Asma’ berkata: “ Lalu, Fatimah as masuk ke dalam kamar”. Tatkala aku sedang asyik mendengar suaranya yang membaca Al-Qur’an,tiba-tiba suara Fatimah as berhenti. Aku memanggilnya: “Ya Zahra… ia tak menjawab, hai ibunya Hasan…iapun tak menjawab, Aku masuk kekamar dan Fatimah as telah terbentang kaku menghadap kiblat,Sambil meletakkan telapak tangannya dibawah pipi kanannya. Fatimah as menemui ajalnya dalam keadaan dianiaya, syahid dan sabar. Asma’ berkata: “Aku menciuminya dan berkata kepadanya: “Wahai Tuanku/Pemimpinku”,“Sampaikan salamku kepada Ayahmu Rasulullah saw”.
Saat aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.Hasan as dan Husein as yang masih kanak-kanak itu, pulang dari Masjid, Saat mereka masuk, Husein as yang pertama kali bertanya kepadaku:“Asma’, dimana ibu kami Fatimah as ?”Aku menjawab: “Kedua pemimpinku, ibu klalian sedang tidur”Husein as berkata: “Apa yang membuat ibu kami tertidur disaat ini , saat waktu shalatnya? Tidak biasanya ia tertidur disaat ini”. Aku berkata: “Wahai Dua Pemimpinku, duduklah hingga aku bawakan makanan untuk kalian”.Asma’ berkata: “Aku letakkan makanan dihadapan Hasan as dan Husein as”.Mereka memanggut-manggut, kepala mereka kearah bawah.“
Sekarang… ini makanannya, duhai Hasan, Cahaya Mata, duhai Husein as”.Husein as berkata: “Wahai Asma’, sejak kapan kami makan tanpa ditemani ibu kami Fatimah as?Setiap hari kami makan bersama Ibu kami Fatimah as, mengapa hari ini tidak?” Perasaan Husein as tidak enak, ia berlari kekamar…
Kemudian ia duduk didepan kepala Fatimah as dan menciuminya, Lalu berkata: “Oh ibu, berbicaralah kepadaku, aku putra tercintamu…Husein,Ibu…, berbicaralah padaku sebelum rohku keluar dari badanku”. Husein berteriak: “Hai Hasan as…, semoga Allah melipat gandakan pahala padamu atas kematian Ibu kita Fatimah as”. Imam Hasan as datang dan merangkul Ibunya dan menciuminya Asma’ berkata: “Aku masuk kamar…
Demi Allah, Husein as telah merobek-robek hatiku”.Aku melihatnya menciumi kaki ibunya Fatimah asDan dia berkata: “Ibu…, Berbicaralah padaku sebelum jiwa berpisah dari badanku”.