Ar-Rabadzah
adalah nama sebuah gurun di antara Makkah dan Madinah. Daerah adalah
daerah yang tandus. Tak ada yang mendiami tempat tersebut. Tetapi pada
tahun 30 H, ada sebuah kemah di sana. Di dalam kemah itu terdapat
seorang lelaki tua, perempuan tua, dan putrid mereka.
Lalu mengapa lelaki tua itu mendiami tempat terpencil di tengah gurun tersebut?
Ia tinggal di sana bukan karena keinginannya, melainkan seorang khalifah (Utsman bin Affan ) telah membuangnya ke sana.
Lelaki tua itu menderita sakit dan istrinya selalu menangis. Ia pun
bertanya pada istrinya," Wahai Ummu Dzar, mengapa kau menangis?"
Perempuan tua itu menjawab," Bagaimana aku tidak menangis, sementara
engkau menjelang ajal di tengah gurun ini?"
Lelaki tua itu lalu berkata," Suatu hari, teman-temanku dan aku duduk
bersama Rasulullah saw. Kemudian beliau saw. berkata pada kami,'Salah
satu dari kalian akan mati di gurun. Dan sekelompok Mukmin akan
menghadiri kematiannya.' Lalu teman-temanku pulang ke rumah mereka
masing-masing. Tak seorang pun yang mengingatnya kecuali aku. Seseorang
akan datang dan menolongmu."
Perempuan tua itu kemudian berkata," Musim Haji telah usai. Tak ada seorang pun yang akan lewat di gurun ini."
Lelaki tua itu menjawab," Jangan khawatir! Naiklah ke bukit dan lihatlah jalan yang biasa di lewati kafilah-kafilah."
Kemudian perempuan tua itu pun pergi ke atas bukit dan meihat.
Setelah lama ia menunggu, di kejauhan perempuan tua itu melihat kafilah datang menujum ke arahnya.
Perempuan tua itu melambaikan sehelai kain. Para penunggang kuda itu
heran dan saling bertanya di antara mereka tentang perempuan tua itu
yang sendirian berada di tengah gurun.
Mereka lalu mendekatinya dan bertanya tentang keadaannya. Dan ia pun
berkata," Suamiku aku meninggal. Dan tak ada seorang pun yang ada di
sampingnya."
Mereka bertanya,"Siapa suamimu?"
Sambil menangis, perempan tua itu menjawab,"Abu DZar, sahabat Rasulullah!"
Mereka pun terkejut. Lalu mereka berkata," Abu Dzar! Sahabat Rasulullah! Mari kita lihat dia!"
Rombongan itu masuk ke kemah. Ketika mereka masuk, mereka melihat Abu
Dzar sedang tidur di atas tempat tidurnya. Mereka lalu berkata,"Assalamu
'alaika, wahai sahabat Rasulullah!"
Abu Dzar menjawab," Wa'alaikum salaam, siapa anda sekalian?"
Salah seorang dari mereka menjawab," Malik al Harts al Asythar. Dan
beberapa orang bersamaku dari Irak. Kami akan pergi ke Madinah untuk
berbicara pada khalifah tentang penganiayaan yang kami alami."
Abu Dzar lalu berkata,"Wahai saudaraku! Bergembiralah! Rasulullah telah
mengatakan padaku bahwa aku akan mati di gurun dan ada beberapa orang
Mukmin akan menghadiri kematianku."
Malik dan kawan-kawannya duduk di dalm kemah Abu Dzar. Malik al Asythar
merasa kasihan meliaht keadaan Abu Dzar. Dan ia merasa sedih mendengar
bani Umayya telah menganiaya sahabat besar itu.
Al Asythar .
Malik bin al Harts al Nakhai adalah salah seorang dari suku tua Yaman.
Ia telah memeluk Islam sejak masa NAbi saw. dan ia pun sangat setia
dengan keislamannya itu.
Ia mengambil bagian dan bertempur dengan gagah berani dalampertempuran
Yarmuk. Ia dengan berani menghadang serangan pasukan Romawi atas pasukan
kaum Muslim. Sehingga kelopak matanya robekkarena terbelah pedang
musuh. Oleh karena itulah ia dijuluki Al Asytar (yang tergores wajahnya
karena pukulan).
Pada tahun 30 H, kaum Muslim Kufah dan kaum Muslim yang ada di kota-kota
lain menjadi marah atas perlakuan penguasa-penguasa mereka. Sebagai
contoh, Al Walid bin Akabah (saudara Khalifah Utsman), Gubernur Kufah,
yang kelakuannya sangat bertentangan dengan Islam. Ia adalah peminum
khamar (minuman keras) dan menghabiskan waktunya dengan berfoya-foya.
Suatu hari, ia pernah memasuki masjid dalam keadaan mabuk. Ia melakukan
salat empat rakaat pada waktu subuh. Kemudian ia berbalik menghadap
orang-orang yang sedang beribadah dan berkata dengan sinis," Apakah
salah jika aku menambah salatku?"
Rakyat merasa tidak senang dengan kelakuannya. Mereka mengkritik di pasar-pasar, rumah-rumah, dan di Masjid-masjid.
Orang-orang bertanya-tanya," Apakah khalifah tidak menemukan penguasa yang baik untuk menggantikan yang buruk ini ?"
"Ia meminum khamar dengan terang-terangan."
"Ia melanggar ajaran agama dan hak-hak kaum Muslim."
Akhirnya, rakyat memutuskan untuk meminta nasihat pada orang-orang bijak. Lalu mereka pun mendatangi Malik al Asytar.
Malik berkata pada mereka,"Kita sebaiknya menasehatinya terlebih dahulu.
Bila tidak bisa dinasehati, kita laporkan pada khalifah kelakuan
buruknya."
Malik dan beberapa orang pergi ke istana untuk menghadap al Walid.
Ketika mereka sampai di istana, mereka melihat al Walid sedang minum
khamar seperti biasanya. Mereka menasihatinya untuk berbuat baik. Tetapi
ia justru membentak dan mengusir mereka.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke Madinah untuk menemui khalifah Utsman dan mengatakan padanya tentang masalah ini.
Para utusan itu bertemu dengan khalifah dan melaporkan kelakuan buruk al
Walid. Namun saying, Khalifah justru membentak dan mengusir mereka.
Bahkan ia pun menolak untuk mendengarkan keluhan mereka. Sehingga mereka
menjadi kecewa.
Mereka lalu berpikir untuk menemui Imam Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi
Muhammad Saw, karena beliaulah satu-satunya harapan untuk memperbaiki
keadaan.
Utusan.
Sementara itu, seluruh kaum Muslim mengeluhkan kelakuan buruk para penguasa kotanya.
Para sahabat pergi ke rumah Imam Ali. Mereka mengatakan pada beliau
tentang penganiayaan dan korupsiyang dilakukan para penguasa tersebut.
Imam Ali sedih mendengar berita itu. Sehingga beliau pergi ke istana
Khalifah. Beliau menemui Utsman dan menasehatinya," Wahai Utsman, kaum
Muslim mengeluh tentang penganiayaan yang dilakukan para penguasa. Dan
engkau mengetahuinya dengan baik. Aku telah mendengar Rasulullah saw.
bersabda,"Di hari kiamat nanti, penguasa yang zalim akan diseret ke
neraka. Dan tak seorang pun yang mendukung atau membebaskannya. Kemudian
dia akan dilemparkan ke dalam neraka. Ia akan jatuh berputar-putar
hingga ia mencapai kerak neraka."
Utsman berpikir sejenak. Ia menundukkan kepalanya dengan sedih. Ia
mengakui kesalahannya. Dan ia berjanji bahwa ia akan bertobat kepada
Allah dan memohon maaf pada kaum Muslim.
Imam Ali pergi dan memberi tahukan kabar baik itu pada kaum Muslim. Mereka semua bergembira.
Tetapi arwan, seorang munafik, berkata pada Khalifah," Engkau sebaiknya
mengancam rakyat sehingga tak seorang pun yang berani melawan Khalifah."
Revolusi.
Utsman melanggar janjinya. Ia tidak berkelakuan baik dan tidak mengganti
gubernurnya. Pada saat yang sama, ia menggunakan kebijakan keras untuk
melawan rakyat. Muawiyah, Gubernur Syam, menyarankan Khalifah agar
mengusir para sahabat Nabi Saw.
Khalifah pun membuang Abu Dzar, seorang sahabat besar, ke Rabadzah, di
mana ia meninggal di sana. Ia menganiaya Ammar bin Yasir, yang juga
seorang sahabat besar.
Khalifah juga mencambuk Abdullah bin Mas'ud. Karenanya, rakyat mengeluhkan keputusan Utsman dan para gubernurnya itu.
Para sahabat Nabi Muhammad saw. mengirim banyak surat ke kaum Muslim
yang ada di seluruh kota. Surat-surat itu berbunyi sebagai berikut:"
Kaum Muslim, mari bergabung dengan kami. Selamatkan kekhalifahan.
Kitabullah (Alquran) dan sunnah Nabi telah diselewengkan. Maka,
bergabunglah dengan kami jika kalian beriman kepada Allah dan hari
pembalasan."
Kaum Muslim berduyun-duyun datang ke Madinah dari berbagai penjuru.
Malik al Asytar mewakili para pemberontak. Ia mengadakan pertemuan
dengan Utsman untuk membahas permasalahan pemerintahan kaum Muslim.
Para pemberontak meminta Utsman untuk menanggalkan kekuasaannya. Tetapi
Utsman menolak hal tersebut. Imam Ali mencoba untuk memperbaiki keadaan.
Namun, semua usaha beliau sia-sia.
Kaum Muslim tidak senang dengan penganiayaan yang dilakukan Utsman dan
para gubernurnya yang zalim itu. Sementara Utsman tetap keras kepala
memaksakan keputusannya.
Para pemberontak mengepung istana Utsman. Sehingga Imam Ali meminta
kedua putranya, Al Hasan dan Al Husain as, untuk menjaga Utsman.
Para pemberontak memanjat dinding-dinding istana. Mereka menorobos masuk
ke dalam ruangan khalifah dan membunuhnya. Sementara itu, Marwan dan
kaum munafik lainnyamelarikan diri.
Thalhah dan Zubair berambisi untuk menjadi Khalifah . Sehingga mereka
pun membantu pemberontakan. Tetapi rakyat berpikir hanya satu orang yang
layak menjadi khalifah. Dan orang itu adalah Imam Ali.
Rakyat berbondong-bondong mendatangi rumah Imam Ali. Mereka meminta beliau menjadi Khalifah. Tetapi Imam Ali menolaknya.
Malik al Asytar dan sahabat-sahabat yang lain tetap mendesak agar Imam
Ali menjadi Khalifah. Malik menyeru rakyat dengan bersemangat,"Wahai
umat, ini adalah Khalifah Rasulullah. Ia telah belajar ilmu-ilmu
Rasulullah. Alquran telah menyebut keimanannya. Rasulullah berkata
padanya bahwa ia masuk ke surga Al Ridwan. Kepribadiannya sempurna.
Orang-orang dari masa lampau maupun sekarang mengakui tindakan dan
pengetahuannya."
Oleh karena itu, Malik al Asythar adalah orang yang pertama membai'at
(menyatakan sumpah setianya kepada) Imam Ali untuk menjadi Khalifah.
Kemudia kaum Muslim mengikutinya.
Ketika Imam Ali menjadi Khalifah, babak baru dimulai. Beliau memecat
semua penguasa zalim. Sebagai gantinya, beliau menunjuk orang-orang yang
saleh.
Perang Jamal.
Beberapa orang berambisi menjadi khalifah. Thalhah dan Zubair adalah dua
orang diantaranya. Mereka pergi ke Makkah untuk mendesak Aisyah, putrid
Abu Bakar, untuk mengadakan pemberontakan guna melawan Imam Ali.
Marwan mengambil keuntungan dari keadaan itu. Ia mulai menggunakan uang
kaum Muslim yang ia curi, untuk membentuk pasukan besar. Ia mengumumkan
bahwa ia akan membalas dendam pada para pembunuh Utsman.
Pasukan itu menuju Basrah. Mereka tumbangkan gubernurdi daerah itu dan
mengusirnya. Mereka pun merampok baitulmal (perbendaharaan harta kaum
Muslim).
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontak dengan gigih.
Beliau menuju Basrah untuk meminta rakyat di sana berjuang melawan
pemberontak itu.
Beliau juga mengutus Al Hasan dan Ammar bin Yasir ke Kufah, meminta
rakyat di sana untuk bergabung melawan pemberontak. Namun gubernur
Kufah, Abu Musa al Asy'ari, justru mencegah rakyat untuk berjuang dan
juga memerintahkan rakyat untuk tidak mematuhi Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib.
Hari-hari berlalu, tetapi Al Hasan dan Ammar bin Yasir belum kembali.
Sehingga, Imam Ali kemudian mengirim Malik Asythar untuk menyusul mereka
berdua.
Malik Asythar adalah seorang pemberani dan bersemangat tinggi. Ia
menyadari bahwa orang-orang Kufah akan selalu mendukung Imam Ali melawan
musuh-musuh beliau. Dan ia mengerti bahwa Abu Musa lah yang menghalangi
mereka.
Malik Asythar tiba di Kufah dan mulai mengundang rakyat untuk
mengikutinya. Sejumlah orang menaatinya. Sehingga ia mulai menyerang
istana Gubernur dan membubarkan para pengawal yang ada di sana.
Saat itu, Gubernur Abu Musa al Asy'ari meminta Malik Asythar untuk
memberikan waktu beberapa hari baginya untuk meninggalkan Kufah. Malik
menyetujuinya. Pada hari yang sama, Malik al Asythar bergegas menuju
masjiduntuk mendorong rakyat agar mendukung Imam Ali.
Sehingga akhirnya Malik dapat membentuk pasukan besar. Pasukan itu
berjumlah lebih dari 18 ribu orang. Al Hasan memimpin sembilan ribu
orang. Mereka bergerak lewat darat. Dan sebagian yang lain bergerak
lewat sungai. Tujuannya adalah untuk bergabung dengan pasukan Imam Ali
di Dziqar, bagian selatan Irak.
Imam Ali memimpin pasukan bergerak menuju Basrah, dimana beliau
berhadapan dengan pasukan Aisyah. Pemimpin pasukan Aisyah adalah
Thalhah, Zubair, dan Marwan bin Hakam.
Malik al Asythar memimpin di sayap kanan. Ammar bin Yasir memimpin di
sayap kiri. Imam Ali memimpin di tengah pasukan. Dan Muhammad ibnu al
Hanafiah, anak Imam Ali, membawa bendera.
Pasuka Aisyah mulai menyerang pasukan Imam Ali. Mereka menghujani
pasukan Imam Ali dengan panah. Sehingga beberapa pasukan terbunuh dan
sebagian lainnya terluka-luka.
Pasukan Imam Ali ingin mundur satu per satu. Tetapi Imam Ali
menghentikan mereka dan berkata," Siapa yang mau mengambil Alquran ini
dan pergi ke mereka untuk menyerukan mereka agar kembali kepadanya?
Seorang pemuda berkata,"Amirul Mukminin, aku akan membawanya."
Lalu ia memimpin pasukan penunggang unta dengan mengangkat Alquran. Dan Aisyah pun berteriak, "Panah dia!"
Segera pasukan panah menyerangnya. Ia pun jatuh ke tanah dan menjadi syahid.
Saat itu, Amirul Mukminin mengangkat tangannya ke langit. Beliau berdoa
pada Allah SWT agar memberikan merek kemenangan. Kemudian beliau pun
berkata," Ya Allah, mata ini memandang-Mu! Dan tangan-tangan ini
mengulur (pada-Mu)! Tuhanku, hakimilah umat kami dan kami dengan
keadilan! Dan Engkau adalah sebaik-baiknya hakim!"
Kemudian Imam memerintahkan pasukannya untuk melancarkan serangan. Malik
al Asythar pun maju. Ia bertempur dengan gagah berani. Pertempuran
sengit terjadi di sekitar riuhnya unta.
Imam menyadari bahwa dengan membunuh unta ia dapat mengakhiri
pertumpahan darah, itu akan mengakhiri pertempuran antara dua pasukan
tersebut.
Sehingga atas perintah Imam, Malik al Asythar segera melancarkan
serangan kea rah unta. Ia bertempur dengan gagah berani dan jujur. Ia
tidak membunuh mereka yang terluka. Ia tidak memburu mereka yang
melarikan diri.
Malik al Asythar meneladani Imam Ali. Ia mencintai Khalifah Rasulullah
saw. itu. Imam juga mencintai Malik, karena ia orang yang takut pada
Allah. Dan Allah mencintai siapa pun yang takut pada-Nya.
Kemenangan.
Setelah pertempuran sengit, pasukan Imam membunuh unta-unta. Sehingga
pasukan musuh menjadi lemah semangatnya dan mulai melarika diri dari
medan tempur.
Imam memerintahkan pasukannya untuk menghentikan perang. Dan beliau juga
memerintahkan pasukannya untuk memperlakukan Aisyah dengan baik dan
membawanya kembali ke Madinah.
Imam membebaskan tawanan perang. Imam pun memerintahkan untuk merawat mereka yang terluka. Dan Imam membebaskan mereka semua.
Di Kufah.
Setelah beberapa hari tinggal di Basrah, Imam Ali pergi menuju Kufah.
Dalam peperangan, Malik al Asythar bertempur dengan berani layaknya
singa. Sehingga musuh-musuh takut padanya. Tetapi pada kesehariannya, ia
adalah lelaki miskin. Ia mengenakan pakaian sederhana. Ia berjalan
dengan rendah hati. Oleh karena itu, kebnyakan orang tidak mengenalnya.
Suatu hari, Malik al Asythar berjalan di jalanan, dan ada seorang bodoh
sedang makan beberapa butir kurma dan melemparkan biji-bijinya.
Malik al Asythar melewati orang bodoh itu. Si bodoh itu lalu melemparkan
biji kurma kea rah Malik. Biji kurma itu mengenai punggung Malik. Orang
bodoh itu pun menertawainya.
Seorang laki-laki melihat kelakuan orang bodoh itu. Ia lalu berkata
padanya," Apa yang kau lakukan? Tahukah kau siapa laki-laki itu?"
Orang bodoh itu menjawab," Tidak, Siapa dia?"
Orang itu berkata," Ia adalah Malik al Asythar!"
Malik melanjutkan perjalanannya. Ia tidak memedulikan orang bodoh itu.
Ia ingat bagaimana orang-orang musyrik memperlakukan Nabi Muhammad saw.
dengan buruk di Makkah. Mereka melempari Nabi saw. dengan debu dan
kotoran, tetapi Nabi saw. tetap diam. Malik pun masuk ke dalam masjid,
dan ia mulai memohon kepada Allah SWT.
Laki-laki bodoh tadi segera berlari. Ia masuk kedalam masjid, lalu
memeluk Malik seraya meminta maaf dan berkata," Aku meminta maaf atas
kelakuan burukku tadi! Terimalah permintaan maafku ini." Malik pun
menjawab dengan tersenyum," saudaraku, jangan khawatir. Demi Allah, aku
masuk ke masjid ini untuk memohon kepada Allah agar Ia memaafkanmu.
Perang Shiffin.
Imam Ali memilih orang-orang saleh untuk menjadi gubernur di kota-kota.
Beliau menunjuk Malik al Asythar menjadi Gubernur Mosul, Sinjar,
Nasibin, Hit, dan Anat. Itu adalah daerah-daerah di perbatasan Syam.
Muawiyah tidak mematuhi Khalifah Ali. Ia pun menjadi dictator di Syam.
Bahkan ia ingin melakukan pemberontakan terhadap Imam Ali dengan dalih
menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan.
Imam Ali mencoba menempuh jalan damai. Imam mengajak Muawiyah untuk
mematuhi beliau. Imam mengirim beberapa surat kepada Muawiyah. Dan
mengirim beberapa utusan untuk berbicara kepadanya. Tetapi, semua usaha
Imam Ali sia-sia. Muawiyah tetap ingin melakukan pemberontakan.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi Imam Ali kecuali menghadapi
pemberontakan Muawiyah tersebut. Imam Ali lalu membentuk pasukan dan
menyerahkan komandonya kepada Malik Asythar.
Pasukan pmaju menuju Syam. Ketika tiba di Kirkisya, terjadilah bentrokan
dengan pasuklan Muawiyah yang dipimpin oleh Abi al Awar al Salmi.
Malik al Asythar mencoba membujuk Abi al Awar al Salmi untuk mengakhiri
pemberontakan dan mematuhi Amirul Mukminin. Tetap ia menolaknya.
Malam harinya, pasukan Muawiyah mengambil kesempatan dengan melancarkan
sebuah serangan mendadak. Tindakan itu bertentangan dengan agama dan
etika perang, Karena kedua kubu tersebut sedang dalam perundingan.
Pasukan Imam melawan seranga mendadak itu. Mereka membunuh dan melukai
banyak penyerang dan memaksa lainnya untuk mundur ke tempat asal mereka.
Malik al Asythar menunjukkan lagi keberaniannya. Ia mengirim utusan
untuk menemui Abi al Awar untuk mengundangnya berduel dengan pedang.
Utusan itu berkata," Wahai Abi al Awar, Malik al Asythar mengundangmu
untuk berduel dengannya!"
Pemimpin pasukan Muawiyah itu menjadi takut dan dengan perasaan kecut berkata," Aku tidak ingin berduel dengannya!"
Muawiyah memimpin sebuah pasukan besar untuk bergabung dengan pasukan
Abi al Awar al Salmi. Kedua kubu bertemu di dataran Shiffin di tepi
Sungai Eufrat.
Beberapa unit pasukan Muawiyah berhasil menduduki tepi sungai dan
mengepung sungai tersebut untuk mencegah pasukan Imam Ali mengambil air.
Tindakan ini juga bertentangan dengan hukum Islam dan hukum perang.
Lalu Imam Ali mengutus Sasa'ah bin Suhan, salah seorang sahabat Nabi
Muhammad saw., untuk berbicara kepada Muawiyah.
Sasa'ah mendatangi kemah Muawiyah dan berkata," Hai Muawiyah, Ali
berpesan,'Biarkan kami mengambil sedikit air. Lalu kami akan memutuskan
selanjutnya antara kalian dan kami. Jika tidak, kalian dan kami akan
bertempur hingga si pemenang yang akan minum."
Muawiyah terdiam sejenak lalu berkata," Aku akan menjawabnya nanti."
Utusan Imam Ali pergi. Muawiyah meminta saran dari beberapa orang. Al
Walid berkata dengan marah," Cegah mereka dari meminum air untuk memaksa
mereka menyerah."
Mereka setuju dengan pendapat tersebut. Muawiyah mempekerjakan
orang-orang jahat di sekelilingnya . Mereka adalah pelanggar hukum-hukum
Islam dan hak asasi manusia.
Malik al Asythar mengamati gerakan pasukan yang ada di tepi sungai. Ia
melihat perbekalan pasukan tersebut. Sehingga ia sadar bahwa Muawiyah
akan memperketat pengepungan sungai itu.
Tentara Imam menjadi haus. Malik pun demikian. Seorang tentara berkata
padanya," Adam sedikit air dalam tempat minumku, minumlah." Malik
menolaknya dan berkata," Aku tak akan minum sebelum seluruh pasukanku
minum!"
Malik pergi menemui Imam Ali dan berkata," Amirul Mukminin, pasukan kita
kehausan. Tidak ada jalan lagi bagi kita selain bertempur." Imam
menjawab, Baiklah."
Imam Ali menyampaikan sebuah Khutbahdan mendorong mereka untuk bertempur dengan berani. Ia maju ke tepi sungai Eufrat.
Setelah pertempuran sengit terjadi, Malik dapat menguasai kembali tepi sungai dan memaksa pasukan Muawiyah untuk menarik diri.
Pasukan Muawiyah menjadi jauh dari air. Sehingga mereka pun berpikir
untuk membuat tipu muslihat demi menguasai kembali sungai Eufrat
tersebut.
Pada hari berikutnya, sebuah anak panah jatuh diantara pasukan Imam. Di
panah itu terikat sepucuk surat. Para tentara membaca surat itu dengan
hati-hati. Mereka dengan cepat menceritakan pesan itu satu sama lain.
Pesan itu berbunyi," Dari seorang saudara setia di pasukan Syam (pasukan
Muawiyah), Muawiyah akan membuka bendungan sungai itu untuk
menenggelamkan kalin. Maka, berhati-hatilah!"
Pasukan Imam percaya pada berita itu dan mundur. Sehingga pasukan Syam
mengambil kesempatan dari keadaan itu dan merebut kembali tepi sungai .
Namun pasukan Imam kemudian melancarkan serangan dan mengusir pasukan Syam dari daerah itu.
Muawiyah sanagt khawatir, sehingga ia bertanya kepada Amr bin Ash,"
Apakah menurutmu Ali akan mencegah kita meminum air?" Amr bin Ash
menjawab," Ali tak akan melakukan apa yang kamu lakukan."
Pasukan Syam juga merasa khawatir. Namun, segera mereka mendengar bahwa Imam mengizinkan mereka datang ke sungai dan minum air.
Beberapa orang Syam pun menyadari perbedaan kualitas diri Muawiyah dan
Imam Ali. Muawiyah melakukan segala cara untuk memenangkan peperangan.
Tetapi Imam Ali tidak berpikir untuk melakukan semua itu. Ia melakukan
tindakan yang baik, terpuji, dan berperikemanusiaan.
Oleh karena itu, beberapa tentara Syam meninggalkan kubu Muawiyah dengan
diam-diam di malam hari. Mereka bergabung dengan pasukan Imam Ali
karena kubu Imam Ali selalu mewakili kebenaran dan kemanusiaan.
Muawiyah.
Muawiyah merasa tidak senang kepada Malik al Asythar, karena
keberaniannya membuat pasukan Imam Ali berperang dengan penuh semangat,
dan pada saat yang sama mencemaskan pasukan Syam.
Sehingga Muawiyah memutuskan untuk membunuh Malik al Asythar melalui
duel pedang. Ia memerintahkan Marwan untuk berduel dengan Malik. Tetapi
Marwan takut pada Malik. Oleh karena itu, ia meminta maaf kepada
Muawiyah dan berkata," Biarlah Amr bin Ash yang berduel dengannya karena
ia adalah tangan kananmu."
Kemudian Muawiyah memerintahkan Amr bin Ash untuk berduel dengan Malik.
Amr bin Ash dengan rasa enggan menyetujui rencana Muawiyah tersebut.
Amr lalu memanggil Malik untuk berduel dengannya. Malik maju ke arah Amr
bin Ash dengan memegang tombaknya. Malik memukulnya dengan keras tepat
pada wajah, sehingga Amr bin Ash pun melarikan diri ketakutan.
Kesyahidan Ammar.
Peperangan menjadi bertambah hebat. Ammar memimpin di sayap kiri. Meskipun ia sudah tua, namun ia bertempur dengan gagah berani.
Ketika matahari hampir terbenam, Ammar bin Yasir meminta sedikit makanan untuk berbuka puasa.
Seorang tentara membawakan untuknya secangkir penuh yoghurt (susu asam).
Ammar menjadi gembira dan berkata," Malam ini, aku mungkin syahid
karena Rasulullah saw. telah berkata padaku,'Ammar, sekelompok orang
zalim akan membunuhmu, dan makanan terakhirmu di dunia adalah secangkir
yoghurt."
Sahabat besar itu pun berbuka puasa dan lalu maju ke medan pertempuran.
Ia bertempur dengan gagah berani. Namun akhirnya ia pun jatuh ke tanah
dan syahid.
Imam Ali datang dan duduk di dekat kepala Ammar lalu berkata dengan
sedih," Semoga Allah merahmati Ammar di hari ia menjadi syahid. Semoga
Allah merahmati Ammar di hari ia dibangkitkan dari kematian. Wahai Ammar
nikmatilah surgamu."
Kesyahidan Ammar di pertempuran itu sangat mempengaruhi jalannya
pertempuran itu sangat mempengaruhi jalannya pertempuran. Pasukan Imam
berada dalam semangat yang tinggi. Sementara itu, pasukan Muawiyah
justru berada dalam semangat yang rendah.
Semua kaum Muslim menjadi teringat pada sabda Rasulullah saw. kepada
Ammar bin Yasir. Hadis itu berbunyi," Wahai Ammar, kelompok orang-orang
zalim akan membunuhmu."
Sehingga semua menjadi demikian jelas bahwa Muawiyah dan tentaranya
adalah salah, sementara Imam Ali dan sahabat-sahabatnya adalah benar.
Oleh karena itu, pasukan Imam Ali semakin meningkatkan serangannya atas
pasukan Muawiyah. Muawiyah dan pasukannya bersiap untuk melarikan diri.
Tipuan Baru.
Muawiyah berpikir untuk memperdayai pasukan Imam. Sehingga ia pun
meminta saran kepada Amr bin Ash. Lalu Amr berkata," Aku yakin kita
dapat menipu mereka dengan Alquran."
Muawiyah gembira dengan siasat licik itu dan memerintahkan tentaranya untuk mengangkat Alquran dengan tombak-tombak mereka.
Ketika pasukan Imam melihat Alquran , mereka berpikir untuk menghentikan
pertempuran. Siasat licik Muawiyah ini berhasil menipu beberapa tentara
Imam Ali.
Imam lalu berkata,"Itu adalah tipuan! Akulah yang pertama mengajak
mereka pada kitabullah. Dan akulah yang pertama mengimaninya. Meraka
tidak mematuhi Allah dan melanggar ketetapan-Nya.
Namun tetap saja 20 ribu tentara Imam tidak mau mematuhi perintah beliau
dan berkata," Hentikan pertempuran dan perintahkan Al Asythar untuk
mundur!"
Imam akhirnya mengutus seorang tetara kepada Al Asythar untuk
menghentikan pertempuran. Malik Al Asythar pun terpaksa mundur. Ia
berkata," Tidak ada kekuatan dan kekuasaan kecuali milik Allah.
Tahkim.
Malik al Asythar mengetahui bahwa tindakan Muawiyah itu hanyalah tipuan.
Tetapi ia tetap mematuhi perintah Imam agar tak ada bencana yang
terjadi. Ia adalah seorang pemimpin yang pemberani dan prajurit yang
patuh.
Pertempuran pun berhenti. Dan kedua kubu menyetujui untuk bertahkim (memutuskan hukum) dengan Kitabullah.
Muawiyah mengirim Amr bin Ash untuk mewakilinya dalam negosiasi itu. Dan
Imam memilih seorang yang siaga dan bijaksana. Orang itu juga mesti
memiliki pengetahuan yang baik tentang Kitabullah. Sehingga, beliau
memilih Abdullah bin Abbas, seorang yang berpengetahuan tinggi tentang
agama.
Tetapi kubu pasukan pemberontak yang tidak mematuhi Imam menolaknya dan berkata," Kami memilih Abu Musa al Asy'ari."
Imam menjawab," Aku tidak setuju dengan pilihan kalian. Abdullah bin Abbas lebih baik darinya."
Sekali lagi para pemberontak itu menolak keputusan Imam. Sehingga, Imam berkata, " Aku akan memilih Al Asythar."
Mereka juga menolak Al Asythar. Mereka tetap kukuh memilih Abu Musa al
Asy'ari. Akhirnya, demi menghindari terjadinya malapetaka, Imam lalu
berkata," Lakukan apa yang kalian suka!"
Kemudian kedua wakil itu bertemu untuk berbicara. Amr bin Ash berpikir
tentang sebuah rencana yang sekiranya dapat diterima oleh al Asy'ari.
Amr berkata padanya," Wahai Abu Musa, Muawiyah dan Ali telah menyebabkan
semua kesulitan ini. Sehingga, marilah kita tinggalkan mereka dan
memilih orang lain."
Abu Musa al Asy'ari tidak menyukai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Sehingga, ia pun setuju dengan rencana itu. Ia lalu berkata di depan
orang-orang," Aku melepaskan Ali dari kekhalifahan sebagaimana aku
melepaskan cincin dari jariku." Kemudian ia pun melepaskan cincinnya.
Namun Amr bin Ash justru berkata dengan tegas," Aku menempatkan Muawiyah
pada kekhalifahan sebagaimana aku menempatkan cincin kejariku."
Kemudian ia memakai cincinnya.
Para tentara Imam, yang telah membangkan tadi , menyesali perbuatan
mereka yang salah itu. Tetapi mereka tetap berkeras untuk tidak patuh
pada Imam. Malah mereka meminta Imam untuk bertaubat kepada Allah
(karena mau berdamai dengan Muawiyah) dan melanjutkan peperangan lagi.
Tetapi Imam menghormati janji dan kesepakatan yang telah dibuat. Beliau
menyetujui gencatan senjata dengan Muawiyah dan menghentikan peperangan
selama setahun.
Imam meminta prajuritnya itu untuk bersabar selama setahun. Tetapi
mereka tetap tidak mau patuh pada Imam. Mereka itulah yang disebut kaum
Khawarij.
Racun dan Madu.
Imam mengutus Malik al Asythar untuk menggantikan posisi Muhammad bin
Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir. Imam berkata kepadanya," Malik, semoga
Allah merahmatimu, pergilah ke Mesir. Allah sangat percaya padamu.
Berserahdirilah kepada Allah! Gunakan kelembutan pada tempatnya dan
kekerasan juga pada tempatnya."
Malik al Asythar pun segera berangkat ke Mesir.
Muawiyah merasa khawatir dengan kepergian Malik ke Mesir, karena ia tahu
bahwa Malik akan dapat menhalangi rencananya untuk menguasai Mesir.
Oleh karena itu, Muawiyah merencanakan sebuah cara untuk membunuhnya.
Muawiyah biasa menggunakan racun yang dicampurkan pada madu untuk
membunuh musuh-musuhnya. Mawiyah mendapatkan racun tersebut dari Romawi.
Orang-orang Romawi mengizinkan Muawiyah membelinya karena mereka tahu
bahwa ia menggunakannya untuk membunuh kaum Muslim.
Amr bin Ash berkata pada Muawiyah," Aku kenal seorang laki-laki yang
tinggal di kota Al Qilzim di perbatasan Mesir. Ia memiliki tanah yang
luas di sana. Pasti Malik al Asythar akan melewati kota itu dan berhenti
di sana untuk beristirahat.
Muawiyah lalu berkata,"Kirim seorang utusan untuk mengatakan padanya
agar membunuh Al Asythar dan kita akan membebaskannya dari pajak seumur
hidup."
Utusan Muawiyah dengan segera pergi ke Mesir dengan membawa madu
beracun, dan membujuk laki-laki itu untuk meracuni Malik al Asythar.
Kesyahidan.
Laki-laki itu setuju dengan rencana Muawiyah. Ia mengambil madu beracun itu, dan menanti kedatangan Malik.
Setelah beberapa hari, Malik tiba di kota Al Qilzim. Laki-laki itu lalu
mengundang Malik untuk makan siang di rumahnya. Malik al Asythar
menerima undangan itu dengan penuh hormat.
Laki-laki itu segera meletakkan secangkir madu beracun tadi di atas
meja. Malik lalu meminum sesendok madu beracun tersebut. Dan seketika ia
pun merasakan sakit yang hebat pada perutnya. Ia segera sadar bahwa ada
yang merencanakan itu. Lalu ia meletakkan tangannya di atas perut dan
berkata," Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Sungguh kita
adalah milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya!"
Malik al Asythar menjemput kematiannya dengan keberanian seorang beriman, yang mengetahui bahwa jalannya adalah Islam dan surga.
Mendengar Malik telah syahid, Muawiyah serasa terbang karena gembira.
Sehingga ia berkata," Ali bin Abi Thalibmempunyai dua tangan. Aku telah
memotong satu diantaranya pada perang Shiffin. Ia adalah Ammar bin
Yasir. Dan hari ini, aku telah memotong tangannya yang lain. Ia adalah
Malik al Asythar."
Amirul Mukminin merasa sangat sedih. Beliau pun menyatakan perasaan duka
citanya," Semoga Allah merahmati Malik. Ia mencintai dan mematuhiku
sebagaimana aku mencintai dan mematuhi Rasulullah."
Dengan cara seperti itu Malik Al Asythar mengakhiri kehidupannya yang
penuh dengan jihad. Kecemerlangan tinkah lakunya akan menjadi teladan
bagi para pemuda Muslim di mana pun.
" Aku telah mengirim seorang di antara hamba Allah terberani. Ia lebih
kuat dari api dalam melawan kebusukan. Ia adalah Malik bin Harts al
Asythar. Ia adalah seorang yang lembut dalam damai. Ia pun seorang yang
tenang dalam peperangan. Ia mempunyai pandangan yang nyata dan kesabaran
yang baik." (Imam Ali bin Abi Thalib).[]
|
|