Pertanyaan:
Bukankah Ka’bah itu rumah Tuhan dan pengikut
agama-agama Ilahi juga menyembah Tuhan? Bukankah banyak nabi Ilahi
menunaikan shalat dan dikebumikan di kota suci ini? Lantas mengapa hanya
kaum Muslimin yang dibolehkan untuk masuk ke kota ini?
Seluruh
nabi Ilahi menyeru seluruh manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun
masa syariat masing-masing agama hanya berlaku hingga datangnya syariat
nabi baru setelahnya yang telah diberitakan pada agama sebelumnya.
Setelah kedatangan agama baru dari sisi Tuhan dan diutusnya nabi baru
disertai dengan mukjizat dan tanda-tanda kenabian maka seluruh pengikut
agama sebelumnya bertugas untuk mengikuti agama baru. Karena itu, dengan
datangnya Islam, seluruh agama sebelumnya telah dianulir dan para
pengikutnya bertugas untuk mematuhi instruksi-instruksi Islam sebagai
agama pamungkas dan paling sempurna Ilahi. Adapun orang-orang yang
membangkang perintah Ilahi ini akan tergolong sebagai orang kafir.
Hukum-hukum
orang-orang seperti ini adalah bahwa mereka tidak boleh dan terlarang
untuk memasuki Masjid al-Haram. Ulama berkata bahwa dalil hukum larangan
ini adalah ayat yang menyatakan, ““Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka
janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (Qs.
Al-Taubah [9]:28) Di kalangan fukaha Syiah bahkan di antara seluruh kaum
Muslimin bersepakat dalam masalah ini bahwa Ahlulkitab tidak boleh
memasuki Masjid al-Haram.
Jelas bahwa kota suci Mekkah
adalah ibu kota ruhani Islam dan sentral wahyu serta rumah Allah
(baitullah) terdapat di kota suci tersebut. Atas dasar itu, kota Mekkah
adalah kota suci; karena merupakan masjid dan setiap masjid adalah suci.
Masjid dijadikan sebagai tempat suci karena merupakan tempat dan lokasi
untuk berpikir dan beribadah. Sebagai hasilnya, kekotoran dan
pikiran-pikiran setan tidak memiliki tempat di dalamnya. Karena itu,
kita dapat menyaksikan para penafsir al-Qur’an dalam tafsir-tafsir
mereka yang membahas masalah ini.
Pengarang Tafsir al-Kâsyif
dalam hal ini menulis, “Diwajibkan untuk mencegah masuknya setiap najis
– baik manusia atau hewan dan lain sebagainya atau najis dari jenis
benda-benda cair (baik bersifat material atau non-material) yang dapat
menyebabkan mengalir atau tersebarnya (najis tersebut) yang akan
menyebabkan penodaan kehormatan masjid atau tidak – ke setiap masjid.
Dan apabila terdapat najis dalam masjid maka diwajibkan untuk mensucikan
dan mengeluarkannya.
Pengarang tafsir Min Huda al-Qur’ân menyebutkan tiga hal sebagai falsafah atas pelarangan ini:
Pertama,
syirik merupakan keyakinan yang sesat dan batil. Kebudayaan yang
dibangung di atas syirik merupakan kebudayaan yang rusak. Dan diwajibkan
bagi kaum Muslimin untuk menjaga jarak dengan orang-orang musyrik
sehingga tidak menyisakan pengaruh negatif pada kaum Muslimin.
Kedua,
kaum musyrikin tidak memiliki keharusan beramal terhadap aturan-aturan
dan adab-adab Islam utamanya terkait dengan masalah kebersihan dan
kesehatan badan. Karena itu, mereka tidak boleh diperkenankan memasuki
kota-kota yang dihuni mayoritas kaum Muslimin yang memiliki
aturan-aturan dan instruksi-instruksi tersendiri.
Ketiga,
negara-negara Islam harus mandiri dari sisi perekonomian, karena itu
mereka harus berusaha semaksimal mungkin supaya mencapai swa-sembada
perekonomian sehingga meraih kemerdekaan yang seutuhnya, khususnya
terkait dengan segala kebutuhan seperti bahan-bahan makanan, minuman
sehingga mereka tidak terpaksa menengadahkan tangan kepada orang-orang
asing.
Karena itu, jelas bahwa orang-orang seperti ini
(kaum musyrikin dan orang-orang kafir) tidak memiliki kelayakan untuk
memasuki tempat-tempat suci dan hal ini merupakan suatu hal yang masuk
akal. Tatkala kita saksikan bahwa kebanyakan negara mencegah masuknya
orang-orang asing ke negara mereka, sebelum mereka diperiksa oleh tim
medis dan menyatakan keselamatan orang tersebut. Nah, keselamatan
jasmani sedemikian tinggi signifikansinya apatah lagi keselamatan ruhani
dan pikiran. Apakah Islam tidak memiliki hak untuk menjaga keselamatan
pikiran para penganutnya!
Kendati
seluruh nabi Ilahi menyeru seluruh manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan menaati-Nya. Namun semenjak masa pengutusan nabi-nabi, aturan dan
sunnah Ilahi berlaku demikian bahwa setiap nabi dipatuhi pada masanya
hingga sebelum masa datangnya seorang nabi baru yang membawa instruksi
baru. Dan segera setelah datangnya nabi baru yang membawa instruksi baru
atau diutus dengan argumen-argumen dan tanda-tanda yang terang maka
agamanya akan dianulir dan seluruh pengikutnya bertugas untuk mengikuti
agama baru. Dan sebagaimana pada masa Nabi Musa As satu-satunya agama
yang diterima adalah ajaran Nabi Musa dan agama nabi-nabi sebelumnya
dianulir. Pada masa Nabi Isa As satu-satunya agama yang diterima Allah
Swt adalah ajaran Nabi Isa As, semenjak pengutusan Nabi Muhammad Saw dan
pensyariatan agama Islam, satu-satunya agama yang diterima Allah Swt
adalah agama Islam dan selainnya, tidak akan diterima. Hal ini
ditegaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, “Barang
siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) darinya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.” (Qs. Ali Imran [3]:85).
Dengan
demikian masa kini, kita tidak dapat memandang orang-orang yang
mengetahui dan tidak menerima Islam sebagai hamba Allah yang taat dan
beriman sebagaimana Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw, “Katakanlah,
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Ali Imran [3]:31) .
Atas dalil ini
kebanyakan para juris memandang Ahlulkitab dan pengikut agama-agama
monotheisme (Ibrahim) tergolong sebagai orang kafir dan musyrik. Dan
mereka memandang bahwa orang kafir dan musyrik tidak boleh diperkenankan
memasuki Masjid al-Haram sebagaimana Allah Swt tidak memberikan izin
kepada kaum musyrikin untuk memasukinya. Allah Swt berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun
ini.” (Qs. Al-Taubah [9]:28).
Lebih dari itu,
kebanyakan juris Syiah meyakini bahwa non-Muslim, tidak dapat memasuki
salah satu masjid di mana pun masjid itu berada.
Dalam pembahasan-pembahasan fikih, terkait dengan pembahasan jihad, tatkala sampai pada hukum-hukum ahlidzimmah
(orang-orang kafir yang berada dalam lindungan pemerintahan Islam),
para juris Syiah mengemukakan pembahasan ini dan memandang supaya setiap
orang kafir dzimmah untuk “tidak memasuki masjid-masjid” sebagai sebuah tugas yang harus dijalankan. Tatkala orang-orang kafir dzimmah,
yang menjalani hidup mereka di bawah naungan pemerintahan Islam, tidak
dapat memasuki masjid, maka taklif kaum Musyrikin dan orang-orang mulhid
(atheis) serta orang-orang kafir yang hidup di negeri-negeri kafir
menjadi jelas. Artinya larangan bagi mereka lebih besar. Dan tatkala
mereka dilarang memasuki masjid-masjid biasa maka tugas mereka untuk
tidak memasuki masjid dengan segala kebesarannya seperti Masjid al-Haram
juga menjadi jelas.
Syaikh Thusi
bersabda, “Dalil kami “atas larangan kepada orang-orang kafir untuk
tidak memasuki masjid-masjid” adalah firman Allah Swt, “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.
Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan
kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Taubah [9]:28)[1]
Dalil
terpenting yang dikemukakan baik para fakih Syiah dan juga juris Sunni
atas larangan masuknya orang-orang kafir ke Masjid al-Haram adalah ayat “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun
ini.” (Qs. Al-Taubah [9]:28).
Karena para
fakih menyatakan bahwa orang musyrik tidak terkhusus bagi para penyembah
berhala dan mereka yang memandang adanya sekutu bagi Tuhan dalam
masalah uluhiyyah, melainkan juga mencakup Ahlulkitab. Juris kawakan Syiah, pengarang kitab Jawâhir al-Kalâm berkata, “Syirik juga termasuk (seperti apa yang dilakukan) Yahudi dan Kristen, karena Allah Swt berfirman , “Orang-orang Yahudi berkata, “‘Uzair itu putra Allah” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putra Allah.”[2] “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”[3] Dan juga firman Allah Swt kepada Isa, “Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain
Allah.’ Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya.” [4] Dan inilah ucapan orang-orang Kristen yang berkata, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Allah adalah salah satu dari tiga tuhan”[5]
Karena itu, berdasarkan penafsiran atas syirik, ayat suci di samping
melarang orang-orang Musyrik dan juga mengharamkan Ahlulkitab untuk
memasuki Masjid al-Haram.[6]
Bagaimanapun
kendati terdapat perbedaan dalam makna syirik dan kecocokannya
Ahlulkitab atas redaksi ayat ini, seluruh juris Syiah, bahkan di antara
seluruh kaum Muslimin, bersepakat dalam masalah ini. Karena itu harus
dikatakan bahwa ijma (konsensus para juris Syiah bahkan seluruh kaum
Muslimin) adalah dalil terpenting atas larangan masuknya kaum musyrikin
dan orang-orang kafir ke Masjid al-Haram.[7]
Mekkah al-Mukarramah adalah sebuah tanah suci. Di samping itu, ia juga merupakan
ibu
kota ruhani Islam, sentral wahyu dan terdapat rumah Allah (baitullah)
di dalam kota suci tersebut. Di samping itu, ia merupakan sebuah lembah
suci yang merupakan masjid dan setiap masjid adalah suci. Masjid
dijadikan sebagai tempat suci karena merupakan tempat dan lokasi untuk
berpikir dan beribadah. Sebagai hasilnya, kekotoran dan pikiran-pikiran
setan tidak memiliki tempat di dalamnya. Karena itu, kita saksikan para
penafsir al-Qur’an dalam tafsir-tafsir mereka membahas falsafah hukum
ini dan berkata bahwa hukum ini pada kenyataannya merupakan tindakan
pencegahan supaya tempat dan atmosfer suci senantiasa terpelihara
kesucian dan kekudusannya dari segala jenis kotoran dan najis. Syaikh
Jawad Mughniyah dalam tafsir al-Kâsyif dalam hal ini menulis,
“Diwajibkan untuk mencegah masuknya segala jenis najis – baik manusia
atau hewan dan lain sebagainya atau najis dari jenis benda-benda cair
(baik bersifat material atau non-material) yang dapat menyebabkan
mengalir atau tersebarnya najis tesebut yang akan menyebabkan penodaan
kehormatan masjid – ke setiap masjid. Dan apabila terdapat najis dalam
masjid maka diwajibkan untuk mensucikan dan mengeluarkannya.”[8]
Allamah Sayid Muhammad Husain Fadhlullah, pengarang kitab Tafsir Min Wahy al-Qur’ân, memasuki pembahasan dengan cara yang lebih jelas terkait dengan falsafah hukum (larangan) ini. Katanya, “Seruan ini[9]
dialamatkan kepada orang-orang beriman yang menjelaskan batasan antara
kaum Muslimin dan Musyrikin. Di samping itu, ayat ini juga
mengilustrasikan seluruh ajaran yang jelas dan tegas, sikap berlepas
diri dari kaum Musyrikin dan berjihad melawan mereka. Kesimpulan dan
hasil praktis kesyirikan adalah kekotoran dan kenistaan ruhani dan
maknawi serta seruan kepadanya. Manusia musyrik menjalani hidup dalam
pusaran kenajisan dan kekotoran pikiran, mental dan spiritual. Tatkala
hidup dan atmosfer pikiran, mental dan spiritual berada dalam pusaran
ini dan sepanjang ruh dan pikirannya berada dalam suasana busuk
penyembahan berhala dan alur pikirannya dicekoki sesuatu yang kering dan
tanpa ruh seperti batu, kayu, daging dan sebagainya. Tidak terdapat
tanda-tanda hidup, pikiran dan gerakan ke arah kesempurnaan dalam
dirinya dalam pusaran ini. Apa yang pasti adalah bahwa ruh dan pikiran
manusia yang memiliki kesucian akan merubahnya dan memandunya kepada
sumber mata air yang penuh dan meluap-luap spiritual yang senantiasa
memberikan kehidupan baru kepada manusia; sedemikian sehingga tatkala
berhadapan dengan manusia beriman, ia merasakan akhlak dan iman yang
murni. Dan tatkala hal ini termanifestasi dalam dirinya maka ia akan
menjalin persahabatan dan keakraban denganya. Dengannya ia merasa bahwa
segala sesuatunya itu adalah suci; karena ia bergerak dalam lingkaran
kebersihan internal yang sama sekali tidak dapat dimasuki oleh segala
jenis kekotoran dan akhlak tercela dan seterusnya. Kesucian apa yang
lebih kudus dari aliran sungai iman yang mengalir dalam kalbu dan
pikiran manusia dan hidup bersama Tuhannya dalam setiap alirannya. Tuhan
yang menjadi sumber mata air segala kesucian pada segala sesuatu dan
setiap dimensi kehidupan. Hal ini bersambung dengan segala sesuatu,
dunia dan manusia melalui jalan nurani, fitrah dan dari kedalaman
kesadarannya. Karena itu, sebagaimana iman merupakan penjelas kesucian
nurani dan fitrah maka sebaliknya syirik juga demikian adanya merupakan
penjelas kekotoran dan kenistaan serta endapan-endapan busuk kegelapan,
kebodohan dan kedunguan yang dijalan oleh seorang manusia musyrik dalam
hidupnya. Tatkala kehidupan dan atmosfer pikiran dan ruhani mereka
berada dalam kondisi seperti ini jelas mereka tidak boleh mendekati
masjid. Sebuah tempat yang telah dijadikan Allah Swt sebagai tempat
kesucian dan kekudusan supaya orang-orang yang berada di dalamnya
tersucikan dari dosa dan akhlak tercela serta kebiasaan buruk yang
menjadikan makna hidup sebagai tak bernilai. Lalu bagaimana mungkin kaum
Musyrikin yang beribada menyembah berhala – berhala yang merupakan
simbol seluruh kenistaan pikiran, mental dan spiritual – dapat
diperkenankan memasuki tempat-tempat suci seperti ini.[10]
Pengarang Tafsir Min Huda al-Qur’ân menyebutkan tiga hal sebagai falsafah atas pelarangan ini:
Pertama,
syirik merupakan keyakinan yang sesat dan batil. Kebudayaan yang
dibangung di atas syirik merupakan kebudayaan yang rusak. Dan diwajibkan
bagi kaum Muslimin untuk menjaga jarak dengan orang-orang musyrik
sehingga tidak menyisakan pengaruh negatif pada kaum Muslimin.
Kedua,
kaum Musyrikin tidak memiliki keharusan beramal terhadap aturan-aturan
dan adab-adab Islam utamanya terkait dengan masalah kebersihan dan
kesehatan badan. Karena itu, mereka tidak boleh diperkenankan memasuki
kota-kota yang dihuni mayoritas kaum Muslimin yang memiliki
aturan-aturan dan instruksi-instruksi tersendiri. Jelas bahwa dalam
batasan kesucian dan kebersihan, khamar, air seni, darah dan secara umum
najis adalah penyakit-penyakit yang berbahaya dan seseorang yang
terjangkiti penyakit semacam ini (seorang kafir dan musyrik yang tidak
meyakini kenajisan khamar, darah dan sebagainya) sepanjang tidak
mematuhi aturan masyarakat Islam akan tertolak dari masyarakat Islam.
Ketiga,
negara-negara Islam dari sisi perekonomian mandiri, karena itu mereka
harus berusaha semaksimal mungkin supaya mencapai swa-sembada
perekonomian sehingga meraih kemerdekaan yang seutuhnya, khususnya
terkait dengan segala kebutuhan seperti bahan-bahan makanan, minuman[11] sehingga mereka tidak terpaksa menengadahkan tangan kepada orang-orang asing.[12]
Karena
itu, jelas bahwa orang-orang seperti ini (kaum Musyrikin dan
orang-orang Kafir) tidak memiliki kelayakan untuk memasuki tempat-tempat
suci dan hal ini merupakan suatu hal yang masuk akal. Tatkala kita
saksikan bahwa kebanyakan negara mengantisipasi masuknya orang-orang
asing ke negara mereka, sebelum mereka diperiksa oleh tim medis dan
menyatakan keselamatan orang tersebut. Nah, keselamatan jasmani
sedemikian tinggi signifikansinya apatah lagi keselamatan ruhani dan
pikiran. Apakah Islam tidak memiliki hak untuk menjaga keselamatan
pikiran para pemeluknya!
Rujuk:
[1]
. Syaikh Thusi, Khilâf, jil. 1, hal. 518.
[2]. (Qs. Al-Taubah [9]:30)
[3]. (Qs. Al-Taubah [9]:30)
[4]. (Qs. Al-Maidah [5]:116)
[5]. (Qs. Al-Maidah [5]:73)
[6]
. Jawâhir al-Kalâm, jil. 6, hal. 42-43.
[7].
Silahkan lihat, Majalah Miqât al-Haj, No. 45, Muhammad Hasan Najafi, Masuknya touris non-Muslim ke tempat-tempat suci.
[8]
. Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir al-Kâsyif, jil. 4, hal. 28.
[9]
. Menengarai firman Allah Swt yang berfirman, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis.”
[10]
. Muhammad Husain Fadhlullah, Tafsir Min Wahy al-Qur’ân, jil. 11, hal. 68-69.
[11]
. Muhammad Taqi Mudarrisi, Tafsir Min Huda al-Qur’ân, jil. 4, ha. 153.
[12].
Melakukan transaksi perekonomian dengan orang asing memiliki
syarat-syarat khusus yang dijelaskan oleh para juris dan cendekiawan
Islam dalam pembahasan terkait.
Inilah 7 Nama Kota Makkah dalam Alquran
REPUBLIKA.CO.ID,
Sebagaimana tercantum dalam Alquran, Makkah Al-Mukarramah mempunyai nama lain.
Dari sejumlah nama ini, Alquran menyebut tujuh di antaranya, yaitu:
1. Makkah,
sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Dan Dialah yang mencegah
tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan mencegah tangan kamu dari
(membinasakan) mereka di tengah kota Makkah. setelah Allah memenangkan
kamu atas mereka." (Al-Fath [48]: 24).
2. Bakkah,
sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT, "Sesungguhnya rumah
ibadah pertama yang dibangun untuk manusia ialah Baitullah yang di
Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam." (Ali
Imran [3]: 96).
3. Umm Al-Qura,
sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Dan ini (Al Quran) adalah
kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab
yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada
(penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar
lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat
tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara
sembahyangnya." (Al-An‘am [6]: 92).
4. Al-balad,
sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Aku bersumpah dengan
negeri ini (al-balad. Makkah) dan engkau (Muhammad) bertempat di negeri
ini (al-balad. Makkah)." (Al-Balad [90]: 1-2).
5. Al-baldah,
sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Aku (Muhammad) hanya
diperintahkan menyembah Tuhan negeri ini (al-bal- dah, Makkah) yang
telah Dia sucikan." (Al-Naml [27]: 91).
6. Al-balad Al-amin,
sebagaimana tersurat dalam firman Allah, "Demi buah Tin dan huah
Zaytun, demi gunung Sinai, dan demi negeri yang aman ini (al-balad
al-amin, Makkah)." (Al-Tin [95]: 1-3).
7. Al-balad Al Aminin,
sebagaimana tersurat dalam firman Allah Swt, "Dan ingatlah ketika
Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri (Makkah) ini negeri yang
aman (al-balad al-Amin)." (Al-Baqarah [2]: 126).
Sumber : Buku Induk Haji dan Umrah untuk Wanita, Oleh; Dr. Ablah Muhammad Alkahlawy.
REPUBLIKA.CO.ID,
Tak sembarang orang yang bisa
memasuki Ka'bah. Oleh sebab itu, banyak yang bertanya, apa sebenarnya
yang ada dalam Ka'bah itu ? Apa benar dalam Ka'bah masih tersimpan
berhala-berhala zaman dulu sebagaimana yang dituduhkan kaum perusak
Islam?
Sebagaimana
yang diperlihatkan dokumenter Kerajaan Arab Saudi, isi dalam Ka'bah
hanya berupa ruangan kosong. Bahagian dalam Ka'bah terdapat tiga pilar
dari kayu gaharu terbaik. Panjang satu pilar sekitar seperempat meter
atau setengah meter berwarna campuran antara merah dan kuning. Ketiga
pilar ini berjejer lurus dari utara ke selatan.
Pada
awal abad ini (tahun 2000-an), bagian bawah ketiga pilar retak yang
kemudian diperbaiki dengan diberi kayu melingkar di sekelilingnya.
Ketiga pilar ini dibuat atas inisiatif Abdullah ibn Al Zubair tiga abad
yang lalu. Meski demikian, ketiganya masih tetap kokoh hingga saat ini.
Atap
dalam Ka'bah penuh dengan ukiran-ukiran mengagumkan, selain diberi
lampu-lampu indah yang terbuat dari emas mumi dan dari
perhiasan-perhiasan indah lainnya. Lantai Ka'bah dibuat dari batu
pualam putih.
Dinding
Ka'bah bagian dalam dibalut dengan batu pualam warna-warni dan dihiasi
dengan ukiran bergaya Arab. Terdapat tujuh papan yang menempel di
dinding ini yang bertuliskan nama-nama orang yang pernah merenovasi atau
menambahkan sesuatu yang batu di dalam Ka'bah atau Masjidil Haram.
Dikatakan
bahwa tembok Syadzarwan adalah bangunan tambahan pada Ka'bah yang
dikerjakan oleh kaum Quraisy. Menurut mazhab Syafi'i dan Maliki, tembok
Syadzarwan termasuk bagian Ka'bah, sehingga jamaah haji yang bertawaf
harus berada di luarnya. Pendapat sebaliknya dikatakan oleh mazhab
Hanafi. Menurut mereka, tembok Syadzarwan bukan merupakan bagian Ka’bah.
Adapun
mazhab Hanbali memilih berada di antara dua pendapat di atas. Menurut
mereka, menjauhi tembok itu sangat dianjurkan, tetapi seandainya jamaah
melakukan tawaf di dalamnya maka tawafnya tetap sah dan tidak sampai
rusak.
Yang
jelas, belum diketahui secara pasti kapan pertama kali tembok
Syadzarwan dibangun. Setiap kali Masjidil Haram dipugar, tempat-tempat
di sekitarnya juga dipugar. Yang pasti, tembok Syadzarwan mengalami
pemugaran pada tahun 542 H, 636 H 660 H, dan 1010 H.
Kakbah (
bahasa Arab: الكعبة, transliterasi:
Ka'bah) adalah sebuah bangunan mendekati bentuk
kubus yang terletak di tengah
Masjidil Haram di Mekah. Bangunan ini adalah monumen suci bagi kaum muslim (umat Islam). Merupakan bangunan yang dijadikan patokan arah
kiblat atau arah patokan untuk hal hal yang bersifat ibadah bagi umat
Islam di seluruh dunia seperti
salat. Selain itu, merupakan bangunan yang wajib dikunjungi atau diziarahi pada saat musim
hajidan
umrah.
[1]
Sejarahwan, narator dan lainnya memiliki pendapat berbeda tentang siapa
yang telah membangun Kakbah. Beberapa pendapat itu ada yang mengatakan
Malaikat,
Adam dan
Syits.
[2] Dimensi struktur bangunan kakbah lebih kurang berukuran 13,10m tinggi dengan sisi 11,03m kali 12,62m. Juga disebut dengan nama
Baitullah.
Sejarah perkembangan
Kakbah yang juga dinamakan
Bayt al `Atiq (
Arab:
بيت ال عتيق,
Rumah Tua) adalah bangunan yang dipugar pada masa Nabi
Ibrahim dan Nabi
Ismail setelah
Nabi Ismail berada di Mekkah atas perintah Allah SWT. Dalam Al-Qur'an,
surah 14:37 tersirat bahwa situs suci Kakbah telah ada sewaktu Nabi
Ibrahim menempatkan Hajar dan bayi Ismail di lokasi tersebut.
Pada masa
Nabi Muhammad SAW berusia
30 tahun (sekitar 600 M dan belum diangkat menjadi Rasul pada saat
itu), bangunan ini direnovasi kembali akibat banjir bandang yang melanda
kota
Mekkah pada saat itu. Sempat terjadi perselisihan antar kepala suku atau kabilah ketika hendak meletakkan kembali batu
Hajar Aswad pada
salah satu sudut Kakbah, namun berkat penyelesaian Muhammad SAW
perselisihan itu berhasil diselesaikan tanpa pertumpahan darah dan tanpa
ada pihak yang dirugikan.
Pada saat menjelang Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi sampai kepindahannya ke kota
Madinah,
bangunan Kakbah yang semula rumah ibadah agama monotheisme (Tauhid)
ajaran Nabi Ibrahim telah berubah menjadi kuil pemujaan bangsa Arab yang
di dalamnya diletakkan sekitar 360
berhala/
patung yang merupakan perwujudan tuhan-tuhan politheisme bangsa Arab
ketika masa kegelapan pemikiran (jahilliyah) padahal sebagaimana ajaran
Nabi Ibrahim yang merupakan nenek moyang bangsa
Arab dan bangsa
Yahudi serta ajaran Nabi
Musa terhadap kaum
Yahudi,
Allah Sang
Maha Pencipta tidak boleh dipersekutukan dan disembah bersamaan dengan
benda atau makhluk apapun jua dan tidak memiliki perantara untuk
menyembahNya serta tunggal tidak ada yang menyerupaiNya dan tidak
beranak dan tidak diperanakkan (
Surah Al-Ikhlas dalam
Al-Qur'an).
Kakbah akhirnya dibersihkan dari patung-patung agama politheisme ketika
Nabi Muhammad membebaskan kota Mekkah tanpa pertumpahan darah dan
dikembalikan sebagai rumah ibadah agama Tauhid (Islam).
Bangunan Kakbah
Pada awalnya bangunan Kakbah terdiri atas dua pintu serta letak pintu
Kakbah terletak di atas tanah, tidak seperti sekarang yang pintunya
terletak agak tinggi. Pada saat Muhammad SAW berusia 30 tahun dan belum
diangkat menjadi rasul, dilakukan renovasi pada Kakbah akibat bencana
banjir. Pada saat itu terjadi kekurangan biaya,
[rujukan?] maka bangunan Kakbah dibuat hanya satu pintu. Adapula bagiannya yang tidak dimasukkan ke dalam bangunan Kakbah, yang dinamakan
Hijir Ismail,
yang diberi tanda setengah lingkaran pada salah satu sisi Kakbah. Saat
itu pintunya dibuat tinggi letaknya agar hanya pemuka suku
Quraisy yang bisa memasukinya, karena suku Quraisy merupakan suku atau kabilah yang dimuliakan oleh bangsa Arab saat itu.
Nabi Muhammad SAW pernah mengurungkan niatnya untuk merenovasi kembali
Kakbah karena kaumnya baru saja masuk Islam, sebagaiman tertulis dalam
sebuah hadits perkataannya: "Andaikata kaumku bukan baru saja
meninggalkan kekafiran, akan aku turunkan pintu Kakbah dan dibuat dua
pintunya serta dimasukkan Hijir Ismail ke dalam Kakbah", sebagaimana
pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim.
Ketika masa
Abdullah bin Zubair memerintah daerah
Hijaz,
bangunan itu dibangun kembali menurut perkataan Nabi Muhammad SAW,
yaitu diatas pondasi Nabi Ibrahim. Namun ketika terjadi peperangan
dengan
Abdul Malik bin Marwan penguasa daerah Syam (
Suriah,
Yordania dan
Lebanon sekarang) dan
Palestina, terjadi kebakaran pada Kakbah akibat tembakan peluru pelontar (
onager)
yang dimiliki pasukan Syam. Abdul Malik bin Marwan yang kemudian
menjadi khalifah, melakukan renovasi kembali Kakbah berdasarkan bangunan
di masa Nabi Muhammad SAW dan bukan berdasarkan pondasi Nabi Ibrahim.
Kakbah dalam sejarah selanjutnya beberapa kali mengalami kerusakan
sebagai akibat dari peperangan dan karena umur bangunan.
Ketika masa pemerintahan khalifah
Harun Al Rasyid pada
masa kekhalifahan Abbasiyyah, khalifah berencana untuk merenovasi
kembali kakbah sesuai pondasi Nabi Ibrahim dan yang diinginkan Nabi
Muhammad SAW. namun segera dicegah oleh salah seorang ulama terkemuka
yakni
Imam Malik karena
dikhawatirkan nanti bangunan suci itu dijadikan ajang bongkar pasang
para penguasa sesudah beliau. Sehingga bangunan Kakbah tetap sesuai masa
renovasi khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai sekarang.
Penentuan arah kiblat
Gambar ruang bangun disertai rincian ukuran Kakbah.
Untuk menentukan arah kiblat dengan cukup presisi dapat dilakukan dengan
merujuk pada kordinat Bujur / Lintang dari lokasi Kakbah di Mekkah
terhadap masing-masing titik lokasi orientasi dengan menggunakan
perangkat
GPS.
Untuk kebutuhan tersebut dapat digunakan hasil pengukuran kordinat
Ka'bah berikut sebagai referensi penentuan arah kiblat. Lokasi Kakbah,
- 21°25‘21.2“ Lintang Utara
- 039°49‘34.1“ Bujur Timur
- Elevasi 304 meter (ASL)
Dari
Bumi, pengamat melihat seolah-olah
Matahari mengitari
Bumi. Pengamat melihat
Matahari mengitari
Bumi pada bidang
ekliptika. Karena Bidang
ekliptika membentuk
sudut terhadap bidang
ekuator Bumi, dalam
interval satu
tahun itu,
Matahari pada satu saat berada di
utara ekuator, dan disaat yang lain berada di
selatan ekuator.
Matahari bisa sampai sejauh 23,5º dari
ekuatorke arah
utara pada sekitar
tanggal 22 Juni. Enam
bulan kemudian, sekitar
tanggal 22 Desember,
Matahari berada 23,5º dari
ekuator ke arah
selatan. Antara
22 Juni dan
22 Desember,
Matahari bergerak ke arah
selatan ekuator, bergerak relatif terhadap
bintang-bintang. Sedangkan antara tanggal
22 Desember dan
22 Juni,
Matahari bergerak ke arah
utara ekuator.
Karena gerak tahunannya tersebut dikombinasikan dengan gerak terbit terbenam
Matahari akibat
rotasi Bumi, maka
Mataharimenyapu daerah-daerah yang memiliki
lintang antara 23,5º LU dan 23,5º LS. Pada daerah-daerah di permukaan
Bumi yang memiliki
lintang dalam rentang tersebut,
Matahari dua kali setahun akan berada kurang lebih tepat di atas
kepala. Karena
Mekkah memiliki
lintang 21º 26' LU, yang berarti berada dalam daerah yang disebutkan di atas, maka dua kali dalam setahun,
Matahari akan tepat berada di atas
kota Mekkah. Kapan hal ini terjadi, bisa dilihat dalam
almanak, misalnya
Astronomical Almanac.
Penentuan arah
kiblat dengan cara melihat langsung posisi
Matahari seperti yang disebutkan di atas (pada
tanggal-tanggaltertentu yang disebutkan di atas), tidaklah bisa dilakukan di semua tempat. Sebabnya karena bentuk
Bumi yang
bundar. Tempat-tempat yang bisa menggunakan cara di atas untuk penentuan arah
kiblat adalah tempat-tempat yang terpisah dengan
Mekkah kurang dari 90º. Pada tempat-tempat yang terpisah dari
Mekkah lebih dari 90º, saat
Matahari tepat berada di
Mekkah,
Matahari (dilihat dari tempat tersebut) telah berada di bawah
horizon. Misalnya untuk posisi pengamat di
Bandung, saat
Matahari tepat di atas
Mekkah (tengah hari), dilihat dari
Bandung, posisi
Matahari sudah cukup rendah, kira-kira 18º di atas
horizon. Sedangkan bagi daerah-daerah di Indonesia Timur, saat itu
Matahari telah terbenam, sehingga praktis momen itu tidak bisa digunakan di sana. Bagi tempat-tempat yang saat
Matahari tepat berada di atas
Kakbah,
Matahari telah berada di bawa h
ufuk/
horizon, bisa menunggu 6
bulan kemudian. Pada tiap
tanggal 28 November 21:09 UT (
29 November 04:09 WIB) dan
16 Januari 21:29 UT (
17 Januari 04:29 WIB),
Matahari tepat berada di bawah
Kakbah. Artinya, pada saat tersebut, jika pengamat tepat menghadap ke arah
Matahari, pengamat tepat membelakangi arah
kiblat. Jika pengamat memancangkan tongkat tegak lurus, maka arah jatuh
bayangan tepat ke arah
kiblat.
dapet dari forum sebelah..http://www.forumbebas.com/thread-47868.html Buat temen2 yang pengen tahu kira2 apa isi ka'bah itu...Ini aku ada informasi dari media informasi umat islam (jadi bukan joke).Yang isi nya:Kami
jelas tidak tahu apa isi ka’bah sekarang ini. Sebab hanya orang-orang
penting seperti presiden sebuah negara yang berhak untuk memasukinya.
Itu pun karena menjadi tamu raja di negara itu.Mantan
Presiden Soeharto dan rombongan konon malah pernah diberi kehormatan
untuk masuk ke dalamnya. Mungkin anda bisa bertanya kepada rombongan
yang ikut pada tahun 1991 itu.Tapi
kalau sekedar foto yang menggambarkan isi ka’bah, kita bisa dapati
banyak di internet. Dan menurut mereka yang pernah masuk, foto-foto itu
memang benar-benar pemandangan isi ka’bah yang sesungguhnya.Jadi
kalau anda ingin bertanya, apakah isi ka’bah, maka silahkan saja
melihat foto ini. Ternyata isi ka’bah itu kosong saja, kecuali ada tiga
tiang besar di dalamnya, sebagaimana terlihat dalam gambar.Kalau
tidak salah, gambar ini diambil pada salah satu momentum di mana ada
tamu negara yang diberi kehormatan untuk memasukinya. Dan barangkali
gambar ini diambil diam-diam oleh tamu itu. Mengingat secara resmi
petugas masjid Al-Haram mengharamkan pemotretan di lokasi masjid,
apalagi kalau sampai di dalam ka’bah.Sebagian
kalangan juga membenarkan foto ini lantaran serupa dengan gambar denah
yang diterbitkan resmi oleh kerajaan, sebagaimana yang kita lihat dalam gambar ini.Tapi
yang jelas pertanyaan anda sudah terjawab lewat foto ini, bukan?
Berhala yang berjumlah 360 itu memang sudah tidak ada, sudah dihancurkan
sejak Fathu Makkah 14 abad yang lalu.Bagaimana? Anda ingin dan
bercita-cita bisa masuk ka’bah suatu ketika nanti? Syaratnya mungkin
harus jadi presiden dulu ya? Atau setidaknya ikut dalam rombongan
Presiden, entah jadi wartawan, pengawal atau bahkan tukang bawakan tas
presiden.
[b]Isi Ka'bah
Mulai
dari sebelah kiri pintu Ka’bah adalah Multazam (antara pintu Ka’bah dan
Hajarul Aswad). Sebelah kanan dari pintu terdapat kotak dari marmer
tempat menyimpan alat keperluan kebersihan di dalam Ka’bah.
Di
tengah–tengah Ka’bah agak meninggi terdapat 3 buah tiang penyangga yg
terbuat dari kayu dan yang dikenal dengan “Tiang Abdullah bin Zubair.
Dinamakan demikian karena Allah SWT telah memberikan kemuliaan kepada
beliau, sebagai pembuat tiang penyangga pada atap Ka’bah itu untuk
menghindari kerobohannya.
Sebelah
Utara dari Ka’bah terdapat pintu kecil yang dinamakan “ Pintu Taubah”.
Itu adalah sebuah tanda dari keteguhan. Pintu Taubah ini terbuat dari
kayu pilihan yang dilapisi dengan Emas dan Perak yang terukir dan
dilapisi juga dengan kaca yang tebal sampai atap Ka’bah. Pada dinding
sebelah Barat yang berhadapan dengan pintu Ka’bah digantungkan 9 Pigura
yang terbuat dari Marmer dan bertuliskan nama-nama Penguasa-penguasa
atau Khalifah yang telah memperbaiki dan memperbarui Ka’bah yang agung.
Kesemuanya
itu tertulis setelah Abad 6H. Pada dinding Timur antara pintu Ka’bah
dan pintu Taubah diletakkan keterangan tentang perbaikan yang dilakukan
oleh Raja Fahd pada th.1419H setelah perbaikan terakhir pada zaman
Sultan Murod IV dari Utsmaniah pada th.1040H.
Sisi-sisi
Ka’bah yang empat dilapisi dengan Marmer putih setinggi 2 Meter dan
diatasnya ditutupi dengan hordeng warna merah dan pink, yang terbuat
dari bahan kain Sutera yang bertuliskan “Syahadatain “ dan Asma ul-Husna
dalam bentuk angka 8 atau 7 Arab berselang-seling. Hadiah dari Raja
Fahd.
Diantara
tiga tiang yang ditengah (Tiang Abdullah bin Zubair) ada tempat untuk
meletakkan barang yang terbuat dari Perak murni untuk menyimpan barang,
seperti antara lain : Teko-teko , Pajangan , dan barang-barang
bersejarah lainnya yang terbuat dari Emas dan Perak yang telah berusia
puluhan bahkan ratusan tahun yang lewat sebagai hadiah-hadiah dari
Raja-raja, Khalifah dan para Sultan kepada Ka’bah sebagai pendekatan dan
pengabdian kepada Rabb yang Esa untuk mencari ridho Nya.
Pencucian Ka'bah
Pencucian
Ka`bah biasanya dilakukan dua kali setiap tahun yakni pada pertengahan
bulan Sya`ban sebagai persiapan menghadapi musim Umrah pada bulan
Ramadhan, dan pertengahan Dzulqa`idah sebagai persiapan menyambut jamaah
haji.
Ka`bah biasanya dicuci dengan air
zamzam yang dicampur dengan mawar Thaif dan anbar, sedangkan dindingnya
diharumkan dengan parfum misik.
Nizar As-Syaibi, putra tertua keluarga
pengurus Masjidil Haram Syeikh Abdul Aziz As-Syaibi, menyebutkan
pencucian Ka`bah merupakan tradisi yang disunnahkan namun tidak harus
dilakukan pada waktu tertentu.
Secara historis, Rasulullah pernah
sekali mencuci Ka`bah pada bulan Sya`ban ketika beliau kembali ke Mekkah
dalam peristiwa "Fathu Mekkah", setelah beliau membersihkannya dari
patung-patung sesembahan yang berada di dalam maupun di sekitar Ka`bah.
Sejak saat itu, pencucian Ka`bah
menjadi sesuatu yang disunnahkan namun tidak ada waktu tertentu yang
dianggap paling utama untuk melakukannya.
"Ritual ini adalah bentuk penghormatan
terhadap Ka`bah, khususnya saat sebelum Umrah dan setelah haji. Tujuan
inilah yang paling utama ketimbang sekadar membersihkannya. Pada saat
pencucian pun, pintu Ka`bah tetap tertutup. Pencucian ini tidak lebih
dari sekadar membersihkan debu yang menempel di dinding Ka`bah,"
demikian As-Syaibi.
semoga bermanfaat...
sorry ya kalo nice repost... semoga ada yang bisa menambahkan lagi...
Hajar Aswad, Batuan dari Surga
Hajar
Aswad adalah batu berwarna hitam kemerah-merahan, terletak di sudut
selatan, sebelah kiri pintu Ka’bah. Ketinggiannya 1,10 m dari permukaan
tanah. Ia tertanam di dinding Ka’bah.
Dahulu, Hajar Aswad berupa satu batu yang berdiameter ± 30 cm. Akibat berbagai peristiwa yang menimpanya selama ini,sekarang Hajar Aswad tersisa delapan butir batu kecil sebesar kurma yang dikelilingi oleh bingkai perak.Namun, tidak semua yang terdapat di dalam bingkai adalah Hajar Aswad. Butiran Hajar Aswad tepat berada di tengah bingkai. Butiran inilah yang disentuh dan dicium oleh jamaah haji.
Hajar Aswad berasal dari surga. Awalnya batu ini berwarna putih. Namun, dia menjadi hitam disebabkan oleh dosa manusia. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Hajar Aswad turun dari surga dalam keadaan lebih putih daripada susu. Lalu, dosa-dosa Bani Adam lah yang membuatnya hitam.” Demikianlah, bagian dalam Hajar Aswad berwarna putih, sedangkan bagian luarnya berwarna hitam.
Hajar Aswad selalu dimuliakan, baik pada masa Jahiliah, maupun setelah Islam datang.
Hingga, pada musim haji tahun 317 H, saat dunia Islam sangat lemah dan bercerai berai, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Abu
Thahir Al-Qurmuthi, seorang kepala salah satu suku Syi’ah Ismailiyah di
Jazirah Arab bagian timur, untuk merampas Hajar Aswad. Dengan 700 anak buah bersenjata lengkap dia mendobrak
Masjid Al-Haram dan membongkar Ka’bah secara paksa lalu merebut Hajar
Aswad dan mengangkutnya ke negaranya yang terletak di kota Ahsa’ yang
terletak di wilayah Bahrain, kawasan Teluk Persia sekarang ATAU MASUK
WILAYAH KEKUASAAN RAJA2 SAUDIA..???.
Kemudian, ia membuat maklumat dengan menantang umat Islam. Inti dari
maklumat itu, jika ingin mengambil Hajar Aswad, tebuslah dengan sejumlah
uang yang pada saat itu sangat berat bagi umat Islam atau dengan
perang. Baru setelah 22 tahun (tahun 339 H) batu itu dikembalikan ke
Mekah oleh Khalifah Abbasiyah Al-Muthi’ lillah setelah ditebus dengan uang sebanyak 30.000 Dinar. Mereka
membawanya ke Kufah, lalu menggantungkannya ke tiang ke tujuh Masjid
Jami’. Setelah itu, mereka mengembalikannya ke tempat semula.
Penulis: Ristyandani
Referensi: Athlasul Hajj wal ‘Umrah, Dr. Sami Maghluts dan sumber lain.
hajar
aswad , mencium hajar aswad , hukum mencium hajar aswad , asal usul
haji , asal usul hajar aswad , asal usul naik haji , asal mula ibadah
haji , asal usul hajarul aswad, asal usul masjidil haram , asal usul
kabah , Asal usul , asal mula hukum , asal usul mencium hajar aswad ,
hadist tentang mencium hajar aswad , hukum mencium hajar aswat , asal
usul ibadah haji , asal-usul , asal usul hukum , asal mula hajar aswat,
asal muasal ibadah haji
*****
HUKUM MENCIUM HAJAR ASWAD UNTUK MENCARI TABARRUK
Tanya :
Apakah hikmah mencium hajar aswad itu adalah tabarruk (mencari berkah)?
Jawab :
Hikmah thawaf telah dijelaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dengan sabdanya,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللهِ.
“Sesungguhnya Thawaf di Ka’bah, Sa’i di antara Shafa dan Marwah, dan melontar jumroh itu dijadikan untuk menegakkan dzikrullah.”
Pelaku Thawaf yang mengitari Baitullah itu dengan hatinya ia melakukan
pengagungan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala yang menjadikannya selalu
ingat kepada Allah, semua gerak-geriknya, seperti melangkah, mencium dan beristilam kepada hajar dan sudut (rukun) yamani dan
memberi isyarat kepada hajar aswad sebagai dzikir kepada Allah Ta’ala,
sebab hal itu bagian dari ibadah kepada-Nya. Dan setiap ibadah adalah
dzikir kepada Allah dalam pengertian umumnya. Adapun takbir, dzikir dan
do’a yang diucapkan dengan lisan adalah sudah jelas merupakan
dzikrullah; sedangkan mencium hajar aswad itu merupakan ibadah di
mana seseorang menciumnya tanpa ada hubungan antara dia dengan hajar
aswad selain beribadah kepada Allah semata dengan mengagungkan-Nya dan
mencontoh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam hal itu, sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mu’minin, Umar bin Khattab Radhiallaahu anhu ketika beliau mencium hajar aswad mengatakan, “Sesungguhnya
aku tahu bahwa engkau (hajar aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya,
tidak juga manfa’at. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”
Adapun
dugaan sebagian orang-orang awam (bodoh) bahwa maksud dari mencium
hajar aswad adalah untuk mendapat berkah adalah dugaan yang tidak
mempunyai dasar, maka dari itu batil. Sedangkan yang
dinyatakan oleh sebagian kaum Zindiq (kelompok sesat) bahwa thawaf di
Baitullah itu sama halnya dengan thawaf di kuburan para wali dan ia
merupakan penyembahan terhadap berhala, maka hal itu merupakan
kezindikan (kekufuran) mereka, sebab kaum Muslimin tidak melakukan
thawaf kecuali atas dasar perintah Allah, sedangkan apa saja yang
perin-tahkan oleh Allah, maka melaksanakannya merupakan ibadah
kepada-Nya.
Tidakkah anda tahu bahwa melakukan sujud kepada selain Allah itu
merupakan syirik akbar, namun ketika Allah Subhannahu wa Ta’ala
memerintahkan kepada para malaikat agar sujud kepada Nabi Adam, maka
sujud kepada Adam itu merupakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala
dan tidak melakukannya merupakan kekufuran?!
Maka dari itu, thawaf di Baitullah adalah merupakan salah satu ibadah
yang paling agung, ia merupakan salah satu rukun di dalam haji,
sedangkan haji merupakan salah satu rukun Islam. Maka dari itu orang
yang thawaf di Baitullah pasti akan merasakan ketentraman karena
lezat-nya melakukan thawaf dan hatinya merasakan kedekatannya kepada
Rabb (Tuhan)nya, yang dengannya (thawaf itu) dapat diketahui
keagungan-Nya dan amat besarnya karunia-Nya. Wallahul musta’an.
( Ibnu Utsaimin: fatawal ‘aqidah, hal. 28-29. )
****
Kisah Pembangunan Ka’bah dan Peletakan Hajar Aswad
Ketika Rasulullah berusia tiga puluh lima tahun, beliau belum diangkat
oleh Allah sebagai seorang nabi. Waktu itu kota Makkah dilanda banjir
besar yang meluap sampai ke Masjidil Haram. Orang-orang Quraisy menjadi
khawatir banjir ini akan dapat meruntuhkan Ka’bah.
Selain itu, bangunan Ka’bah dulunya belumlah beratap. Tingginya pun
hanya sembilan hasta. Ini menyebabkan orang begitu mudah untuk
memanjatnya dan mencuri barang-barang berharga yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu bangsa Quraisy akhirnya sepakat untuk memperbaiki bangunan Ka’bah tersebut dengan terlebih dahulu merobohkannya.
Untuk perbaikan Ka’bah ini, orang-orang Quraisy hanya menggunakan harta
yang baik-baik saja. Mereka tidak menerima harta dari hasil melacur,
riba dan hasil perampasan.
Di awal-awal perbaikan, pada awalnya mereka masih takut untuk merobohkan
Ka’bah. Akhirnya salah seorang dari mereka yang bernama Al-Walid bin
Al-Mughirah Al-Makhzumy bangkit mengawali perobohan tersebut. Setelah
melihat tidak ada hal buruk yang terjadi pada Al-Walid, orang-orang
Quraisy pun mulai ikut merobohkan Ka’bah sampai ke bagian rukun Ibrahim.
Mereka kemudian membagi sudut-sudut Ka’bah dan mengkhususkan setiap
kabilah dengan bagian-bagiannya sendiri. Pembangunan kembali Ka’bah ini
dipimpin oleh seorang arsitek dari bangsa Romawi yang bernama Baqum.
Rasulullah ikut Membangun
Rasulullah sendiri ikut
bersama-sama yang lain membangun kabah. Beliau bergabung bersama paman
beliau Abbas radhiyallahu ‘anhu. Ketika beliau mengambil batu-batu,
Abbas menyarankan kepada beliau untuk mengangkat jubah beliau hingga di
atas lutut. Namun Allah menakdirkan agar aurat beliau senantiasa
tertutup, sehingga belum sempat beliau mengangkat jubahnya, beliau jatuh
terjerembab ke tanah.
Beliau kemudian memandang ke atas
langit sambil berkata, “Ini gara-gara jubahku, ini gara-gara jubahku”.
Setelah itu aurat beliau tidaklah pernah terlihat lagi.
Peletakan Hajar Aswad
Sebelum kita lanjutkan kisah ini, tahukah kalian apa itu hajar aswad?
Hajar Aswad adalah sebuah
batu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari surga. Dulu
batu itu berwarna putih, namun karena dosa-dosa anak Adam, maka batu itu
pun berubah menjadi berwarna hitam.
Nah, ketika pembangunan sudah sampai ke bagian Hajar Aswad, bangsa
Quraisy berselisih tentang siapa yang mendapatkan kehormatan untuk
meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Mereka berselisih sampai
empat atau lima hari. Perselisihan ini bahkan hampir menyebabkan
pertumpahan darah.
Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi kemudian memberikan saran kepada
mereka agar menyerahkan keputusan kepada orang yang pertama kali lewat
pintu masjid. Bangsa Quraisy pun menyetujui ide ini.
Allah subhanahu wa ta’ala kemudian menakdirkan bahwa orang yang pertama
kali lewat pintu masjid adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Orang-orang Quraisy pun ridha dengan diri beliau sebagai penentu
keputusan dalam permasalahan tersebut.
Rasulullah pun kemudian menyarankan suatu jalan keluar yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka. Bagaimana jalan keluarnya?
Beliau mengambil selembar selendang. Kemudian Hajar Aswad itu diletakkan
di tengah-tengan selendang tersebut. Beliau lalu meminta seluruh pemuka
kabilah yang berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang itu.
Mereka kemudian mengangkat Hajar Aswad itu bersama-sama. Setelah
mendekati tempatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-lah yang
kemudian meletakkan Hajar Aswad tersebut.
Ini merupakan jalan keluar yang
terbaik. Seluruh kabilah setuju dan meridhai jalan keluar ini. Mereka
pun tidak jadi saling menumpahkan darah.
Akhir Pembangunan Ka’bah
Bangsa Quraisy akhirnya kehabisan
dana dari penghasilan baik-baik yang mereka kumpulkan. Mereka akhirnya
menyisakan bangunan Ka’bah di bagian utara seukuran enam hasta yang
kemudian disebut Al-Hijir atau Al-Hathim.
Mereka juga membuat pintu Ka’bah lebih tinggi daripada permukaan tanah.
Setelah bangunan Ka’bah mencapai ketinggian lima belas hasta, mereka
memasang atap dengan disangga enam sendi.
Ka’bah pun selesai dibangun kembali. Tingginya sekarang lima belas
meter, panjang sisinya di bagian Hajar Aswad dan sebaliknya adalah
sepuluh meter. Hajar aswad sendiri diletakkan satu setengah meter dari
lantai. Adapun sisi yang lain panjangnya dua belas meter. Pintu Ka’bah
diletakkan dua meter dari permukaan tanah. (*)