Persatuan Islam adalah impian besar yang berusaha diwujudkan oleh semua pemikir dan cendekiawan Islam. Sebagian besar problema dunia Islam berakar dari perpecahan yang terjadi di tengah kaum Muslimin. Tentu saja kita tak bisa mengabaikan peran imprealisme, khususnya Inggris, di balik terjadinya perpecahan ini. Hanya saja, hegemoni dan ketamakan para penguasa serta kesalahan sikap dan tindakan ulama juga bisa disebut sebagai faktor lain terjadinya perpecahan umat Islam.
Harus ada langkah konkrit untuk menghilangkan perpecahan dan mewujudkan persatuan, seperti yang telah dilakukan para tokoh Sunni dan Syiah, seperti Allamah Syaikh Abdulmajid Salim, Syaikh Mahmud Syaltut, Ayatullah Boroujerdi, dan Imam Khomeini ra. Kita harus membangun persatuan di atas fondasi yang telah mereka rintis, sehingga dunia Islam bisa kembali memperoleh keagungan dan kejayaannya. Kajian atas karya-karya Syahid Muthahhari menunjukkan bahwa persatuan Islam adalah salah satu topik yang menarik perhatian beliau. Beliau memiliki beberapa pandangan penting dalam hal ini, khususnya berkenaan dengan makna persatuan Islam. Barangkali kita bisa menempuh setengah jalan menuju persatuan dengan memahami terlebih dahulu makna persatuan Islam. Di sini, kita akan melihat pandangan-pandangan beliau terkait masalah ini. Dalam makalah ‘Ghadir dan Persatuan Islam’ yang ditulis dalam rangka memperingati Allamah Amini, Syahid Muthahhari mengatakan:
“Para pemikir dan cendekiawan Muslim dewasa ini mengetahui bahwa persatuan antar mazhab Islam, khususnya di tengah upaya musuh untuk memperluas perselisihan klasik dan menciptakan perselisihan baru, adalah salah satu kebutuhan mendesak dunia Islam. Kita mengetahui bahwa persatuan dan persaudaraan Islami sangat diperhatikan oleh syariat dan merupakan salah satu tujuan penting Islam. Al-Qu'ran, Sunnah, dan sejarah adalah saksi atas hal ini.
“Apa maksud persatuan Islam? Apakah maksudnya adalah kita harus memilih salah satu mazhab Islam dan menyingkirkan mazhab selain yang kita yakini? Atau maknanya adalah kita mengambil titik persamaan dan mengesampingkan titik perbedaan? Sehingga, dengan cara ini, muncul suatu mazhab baru yang tidak menyerupai mazhab manapun? Atau maksudnya adalah bahwa persatuan Islam sama sekali tidak berkaitan dengan kemanunggalan mazhab, tapi maksudnya adalah bersatunya para pengikut berbagai mazhab—dengan segala perbedaan yang ada—untuk menghadapi musuh-musuh Islam?
“Para penentang persatuan kaum Muslimin menyodorkan persatuan Islam dengan nama ‘persatuan mazhab’ (meleburkan pelbagai mazhab dalam satu mazhab), guna menampakkannya sebagai sebuah konsep non-ilmiah dan irasional. Adalah jelas bahwa para ulama Islam tidak memaksudkan persatuan Islam dalam pengertian menggabungkan beragam mazhab dalam satu mazhab, atau mengambil titik persamaan dan membuang jauh-jauh titik perbedaan. Persatuan dalam pengertian seperti ini jelas tidak logis dan mustahil untuk dipraktekkan. Persatuan yang mereka maksud adalah bergabungnya kaum Muslimin dalam satu barisan guna menghadapi musuh bersama Islam.
“Para ulama mengatakan bahwa kaum Muslimin memiliki banyak persamaan yang bisa dijadikan fondasi sebuah persatuan yang kokoh. Mereka semua menyembah Tuhan Yang Mahaesa, mengakui kenabian Rasulullah saw, meyakini Al-Qur'an, menghadap satu kiblat (Ka`bah), melakukan haji, shalat, puasa, menjalian hubungan antara mereka melalui pernikahan, melakukan transaksi satu sama lain, dan saling menguburkan jenazah di antaramereka. Dalam masalah-masalah ini, tak ada perbedaan di antara mereka, kecuali dalam sebagian hal yang bersifat parsial (juz`i).
“Semua kaum Muslim memiliki pandangan dunia dan budaya seragam serta kebanggaan terhadap sebuah peradaban besar nan agung. Keseragaman dalam pandangan dunia, budaya, peradaban, visi, akidah, ibadah, dan ritual keagamaan, kiranya bisa menjadikan mereka sebagai sebuah bangsa bersatu dan adidaya, yang mampu memaksa kekuatan-kekuatan dunia bertekuk lutut di hadapan mereka. Literatur-literatur Islam sendiri telah menegaskan prinsip ini. Al-Qur'an menyatakan bahwa kaum Muslimin adalah saudara satu sama lain dan setiap orang Islam memiliki hak dan kewajiban terhadap saudara seagamanya.
Meskipun umat Islam memiliki ajaran seperti ini, namun mengapa kaum Muslimin tidak memanfaatkan ajaran yang agung ini dan mengimplementasikannya dalam kehidupan mereka?
“Para ulama ini berpendapat, persatuan Islam sama sekali tidak meniscayakan kaum Muslimin untuk bertoleransi dalam hal pokok atau cabang mazhab mereka. Juga tidak mengharuskan mereka menghindari argumentasi dan kajian tentang masalah pokok atau cabang yang diperselisihkan. Satu-satunya hal yang dituntut dalam persatuan Islam demi menghindari permusuhan sesama Muslim adalah, mereka tidak saling mencaci, saling menuduh, dan merendahkan pendapat pihak lain. Pendek kata, mereka tidak boleh melukai perasaan pihak lain dan keluar dari batas logika serta argumen. Setidaknya, mereka harus memerhatikan batas-batas yang ditentukan Islam dalam berdakwah kepada non-Muslim, yaitu: ‘Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik serta berdebatlah dengan cara terbaik.’
“Sebagian orang menyangka bahwa mazhab-mazhab yang hanya berbeda dalam hal cabang, seperti Syafi`i dan Hanafi, bisa bersaudara dan bergabung dalam satu barisan. Sebaliknya, mazhab-mazhab yang berbeda dalam masalah pokok, tidak mungkin bisa bersatu dan bersaudara. Menurut kalangan ini, prinsip-prinsip mazhab adalah suatu himpunan yang saling terikat, atau menurut istilah Ushul Fiqh ‘aqal wa atsar irtibathi’; bahwa hilangnya satu bagian akan berakibat pada hilangnya semua bagian. Oleh karena itu, para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ketika, misalnya prinsip imamah (kepemimpinan pasca Nabi saw) harus dikorbankan demi persatuan Islam, maka persatuan dan persaudaraan sama sekali tidak akan pernah terwujud. Dengan demikian, Syiah dan Ahlussunnah sama sekali tidak bisa bergandengan tangan sebagai dua saudara Muslim dan bergabung dalam satu barisan.
“Kalangan pertama menjawab, tak ada dalil bahwa prinsip-prinsip mazhab mesti dianggap sebagai sebuah himpunan yang saling terkait, hingga meniscayakan kita menerapkan prinsip ‘semua atau tidak sama sekali’. Yang berlaku di sini adalah kaidah ‘al-maysur la yasquthu bil ma`sur’ (hal yang sulit tidak menggugurkan hal yang mudah) dan ‘ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh’ (bila semuanya tak bisa diambil, maka jangan meninggalkan semuanya). Biografi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah pelajaran terbaik bagi kita semua. Beliau menerapkan sikap rasional dan logis, yang memang pantas dilakukan manusia agung seperti dirinya.
“Ali bin Abi Thalib selalu berupaya mendapatkan kembali haknya dan memanfaatkan segala upayanya untuk melestarikan prinsip imamah. Kendati demikian, beliau tidak pernah menerapkan slogan ‘semua atau tidak sama sekali’. Sebaliknya, beliau menjadikan prinsip ‘ ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh’ sebagai dasar sikapnya.
“Imam Ali tidak pernah mengangkat senjata menghadapi lawan-lawan politiknya yang notabene berusaha mengambil kekuasaannya. Ini bukan karena keterpaksaan, namun sebuah langkah yang telah diperhitungkan dengan matang. Ali sama sekali tidak takut mati. Mati di jalan Allah adalah harapan terbesarnya. Ali selalu mengharapkan syahadah dan mengangankannya lebih dari hasrat bayi kepada air susu ibunya. Imam Ali menyimpulkan bahwa dalam kondisi seperti itu bekerja sama dengan pihak penguasa dan meninggalkan perlawanan bersenjata justru lebih membawa maslahat demi Islam. Beliau sendiri telah berulang kali menegaskan hal ini.
“Dalam salah satu suratnya kepada Malik Asytar (surat ke-62 dalam Nahj Al-Balaghah), beliau menulis,’Awalnya, aku tidak bersedia berbaiat, sampai aku melihat sekelompok orang telah murtad dan mengajak masyarakat menghancurkan agama Muhammad saw. Aku khawatir, jika aku tak segera bangkit menolong Islam dan kaum Muslimin, maka akan terjadi sebuah kehancuran dalam Islam, yang bencananya jauh lebih besar daripada kehilangan tampuk kekhalifahan beberapa saat saja.’
“Setelah dipilihnya Utsman oleh Abdurrahman bin Auf dalam Dewan Enam Orang yang dibentuk Khalifah Umar, Ali mengutarakan pengaduan dan sekaligus kesiapannya untuk bekerja sama. Beliau berkata ,’Kalian semua tahu bahwa aku lebih pantas menjadi khalifah dibanding orang lain. Demi Allah, selama urusan Muslimin masih berjalan baik dan para sainganku sudah cukup puas dengan menyingkirkanku dan tidak memenuhi hak pribadiku, aku akan menerimanya dan tak akan menentang.’
“Semua ini memberitahukan bahwa Ali menolak prinsip ‘semua atau tidak sama sekali’ dalam masalah ini. Kita tak perlu lebih jauh membahas tentang biografi Ali dalam masalah ini, karena bukti-bukti historis terkait masalah ini sudah cukup banyak.”
Terkait konsep persatuan Islam, Syahid Muthahhari dalam mukadimah buku Emamat va Rahbari mengatakan,”Konsep persatuan Islam yang selama seratus tahun terakhir ini mengemuka di kalangan ulama dan para pemikir Muslim, tidak berarti bahwa semua kelompok Islam harus berpaling dari prinsip akidah atau non-akidah mereka demi mewujudkan persatuan. Atau dengan kata lain, hanya mengambil titik persamaan mazhab dan membuang titik perbedaannya. Ini adalah hal yang tidak logis dan sangat tidak praktis.
“Bagaimana mungkin para pengikut suatu mazhab diminta untuk berpaling dari suatu prinsip akidah atau amalan yang diyakininya sebagai bagian dari Islam, hanya demi menjaga maslahat dan persatuan Islam? Ini sama saja dengan kita, atas nama Islam, menuntut dia menyingkirkan salah satu ajaran Islam.
“Mendorong suatu golongan untuk memegang sebuah prinsip mazhab atau mencampakkannya, bisa dilakukan dengan cara-cara lain. Cara paling lumrah adalah melalui logika dan argumen. Hanya dengan modal permohonan yang mengatasnamakan maslahat, suatu golongan tidak bisa didorong untuk meyakini sebuah prinsip atau menolaknya.
“Kita sendiri adalah golongan Syiah dan bangga telah mengikuti Ahlul Bait. Kita tidak tawar menawar demi sebuah hal paling remeh, walau hanya sebuah hukum makruh atau mustahab. Kita sama sekali tidak menerima seseorang berharap kita melakukan hal semacam ini. Kita juga tidak berharap pihak lain berpaling dari salah satu prinsip-prinsip mereka demi maslahat dan persatuan Islam. Yang kita harapkan adalah terciptanya kondisi saling memahami, sehingga khazanah keilmuan Ahlul Bait dalam bidang fikih, hadis, kalam (teoligi), filsafat, tafsir, dan sastra, bisa dipajang dan dipamerkan dengan leluasa dalam kepustakaan dunia Islam. Dengan demikian, mazhab Syiah tidak lagi menjadi golongan yang terasing dan dikucilkan.
“Mengambil titik persamaan dan membuang titik perbedaan setiap golongan, adalah pembelahan sebuah ijma` yang tersusun. Dampaknya tak lain adalah kemunculan Islam yang tidak otentik. Sebab, pada akhirnya, ajaran ekslusif sebuah mazhab bukan bagian dari Islam. Dan tak ada Islam yang terlepas dari semua hal-hal khusus dan eksklusif ini.
“Di samping itu, para pencetus persatuan Islam, yang di masa kita diwakili oleh Ayatullah Boroujerdi dari kalangan Syiah serta Allamah Syaikh Abdulmajid Salim dan Allamah Syaikh Mahmud Syaltut dari kalangan Ahlussunnah, tidak memiliki program semacam di atas. Harapan ulama-ulama besar ini adalah bahwa kelompok-kelompok Islam, dengan semua titik perbedaan yang ada dan dengan perantaraan titik persamaan yang jumlahnya lebih banyak, bisa membentuk satu front dalam menghadapi musuh-musuh Islam. Mereka sama sekali tidak pernah merancang program persatuan mazhab atas nama persatuan Islam, yang sama sekali tidak bisa diaplikasikan.
“Dalam istilah kalangan awam, ada perbedaan antara satu partai dan satu front. Kesatuan partai mengharuskan tiap individu memiliki satu warna dalam hal pemikiran, ideologi, dan metode. Sedangkan arti kesatuan front adalah bahwa beragam partai dan golongan–meski berbeda dalam hal ideologi, tapi dengan perantaraan banyaknya sisi persamaan di antara mereka–membentuk satu barisan dalam menghadapi musuh yang sama. Jelas bahwa membentuk satu barisan dalam menghadapi musuh, tidak bertentangan dengan pembelaan terhadap prinsip yang kita yakini atau kritik terhadap prinsip yang diyakini saudara kita.
“Yang dipikirkan secara khusus oleh mendiang Ayatullah Boroujerdi adalah, terbukanya kesempatan untuk menyebarkan ajaran Ahlul Bait di tengah saudara-saudara Ahlussunnah kita. Menurut beliau, hal ini tidak bisa diwujudkan tanpa adanya sikap saling memahami. Dicetaknya sebagian kitab fikih Syiah di Mesir oleh orang-orang Mesir sendiri adalah berkat sikap saling memahami yang dimunculkan beliau. Ini adalah salah satu kesuksesan terpenting ulama Syiah di bidang penegakan ukhuwah islamiyah. Semoga Allah membalasnya dengan ganjaran terbaik.
“Ringkasnya, dukungan terhadap tesis persatuan Islam tidak menghalangi kita untuk menyatakan kebenaran. Yang harus dihindari adalah tindakan-tindakan yang menyinggung perasaan pihak lain. Jelas bahwa pembahasan ilmiah hanya berurusan dengan akal dan logika, bukan emosi dan perasaan.
“Beruntung bahwa di masa kini, banyak bermunculan para pengkaji Syiah yang menerapkan metode ini. Di antaranya adalah Allamah Sayyid Syarafuddin Amili, Ayatullah Syaikh Muhammad Husain Kasyiful Ghitha`, dan Allamah Syaikh Abdulhusain Amini, penulis kitab Al-Ghadir.
Sejarah kehidupan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, baik yang bersifat ucapan atau tindakan, yang bisa dipahami dari sejarah hidup beliau, adalah pelajaran terbaik bagi kita dalam masalah ini.
“Ketika Khalifah Umar ingin terjun sendiri dalam perang melawan Persia, Ali berkata, ’Jangan ikut dalam perang, sebab selama engkau berada di Madinah, musuh akan berpikir bahwa andai pasukan Muslim bisa dikalahkan, bala bantuan akan dikirim dari pusat. Namun bila engkau pergi sendiri ke medan perang, mereka akan berkata ‘ini dia pemimpin Arab’. Akibatnya, mereka akan memfokuskan kekuatan mereka guna membasmi kalian. Jika Anda meninggal, mereka akan lebih bersemangat memerangi kaum Muslimin.’(Nahj Al-Balaghah khotbah 114)
“Dalam praktiknya, Ali juga menerapkan metode ini. Dari satu sisi, beliau tidak mau menerima jabatan dari khalifah manapun, baik sebagai komandan perang, gubernur, amir haji, atau selainnya. Sebab, bila beliau menerimanya, ini menandakan beliau telah berpaling dari hak kekhalifahannya. Namun dari sisi lain, beliau tidak melarang kerabat dan sahabatnya untuk menerima jabatan, sebab itu murni kerjasama dengan para khalifah, bukan persetujuan atau legitimasi terhadap kekhalifahan mereka.
“Tindakan Ali dalam masalah ini amat diperhitungkan dan menunjukkan pengorbanan beliau demi tujuan-tujuan Islam. Beliau menyambung hubungan ketika orang lain memutusnya, dan menjalin benang yang telah diuraikan selainnya.
“Abu Sufyan berupaya memanfaatkan ketidakpuasan Ali dan membalas dendam kepada Nabi saw dalam bentuk ‘simpati’ kepada washi-nya (penerima wasiatnya). Namun Ali tidak terperdaya oleh muslihat Abu Sufyan dan mengusirnya dari sisinya.
“Di setiap zaman, orang-orang seperti Abu Sufyan dan Hay bin Akhtab selalu mengintai. Kita bisa melihat jejak-jejak para Hay bin Akhtab modern dalam banyak peristiwa di masa kini. Kaum Muslimin, khususnya Syiah dan pengikut Ali, harus menjadikan sirah Amirul Mukmiin sebagai pedoman dan tidak terperdaya oleh kelicikan orang-orang seperti Abu Sufyan dan Hay bin Akhtab.”
Melalui konsep persatuan yang diterangkan Syahid Muthahhari, bahwa persatuan Islam tidak berarti persatuan beragam mazhab, tapi setiap kelompok bisa dan harus tetap berpegangan dengan prinsip-prinsipnya, namun di sisi lain mereka bias bersatu dengan kelompok lain berdasarkan sisi persamaan yang ada dan membentuk satu barisan dalam menghadapi musuh Islam, kita dapat menyimpulkan bahwa persatuan Islam bukan sebuah mimpi yang mustahil diwujudkan. Sedikit usaha dan kejelian dalam menghadapi konspirasi musuh Islam akan menghantarkan kita kepada tujuan mulia ini. Semoga dengan terwujudnya tujuan ini, kita bisa kembali menyaksikan kebesaran dan kejayaan Dunia Islam.