Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Qira'ah. Show all posts
Showing posts with label Qira'ah. Show all posts

Amalan dalam Shalat : Qira’ah


Di dalamnya orang yang salat membaca Al Fatihah dan satu surat dari al-Quran. Qiraah memiliki adab-adab yang banyak yang layak dijaga oleh orang yang salat dan selainnya. Imam shadiq as bersabda: “Barang siapa  yang membaca Al Quran dan tidak tunduk kepada Allah, dan hatinya tidak lunak, dan tidak pula merasa sedih dan takut di hatinya berarti ia telah meremehkan keagungan Allah dan sangat merugi. Maka pembaca Al Quran membutuhkan tiga perkara: hati yang khusyuk, badan yang kosong, dan tempat yang kosong. Apabila hatinya khusyuk maka setan akan lari darinya. Allah swt berfirman: “Apabila kamu membaca Al Quran maka berlindunglah kepada Allah dari godaan setan yang keji.”[1] Dan sunah ber-isti’adzah sebelum qiraah.

Hendaknya pelaku salat membaca surat Al Quran dalam salatnya dengan penuh tafakur dan perenungan. Dan telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin as bahwasannya beliau bersabda: “Ketahuilah bahwa Al Quran ini adalah penasehat yang tidak menipu, dan penunjuk yang tidak menyesatkan, dan pembicara yang tidak dusta. Tak seorangpun duduk bersimpuh dengan Al Quran ini kecuali berdiri dengan tambahan dan kekurangan; tambahan dalam petunjuk atau kekurangan dalam kebutaan.”[2]

Hendaknya pembaca Al Quran membacanya dengan tartil dan suara yang bagus. Imam Ridha as meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwasannya beliau pernah bersabda: “Perbaguslah Al Quran dengan suara kalian, sesungguhnya suara yang bagus dapat menambahkan keindahan al-Quran”[3]. Diriwayatkan juga dari Abu Bashir bahwa Abu Abdillah as bersabda berkenaan dengan firman Allah swt: “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (tartil), yaitu kamu memelankan bacaannya dan memperindah suaramu.”[4]

Hukum qiraah:
Dalam salat wajib: wajib membaca Al Fatihah pada rakaat pertama dan kedua, dan berdasarkan ihtiyath wajib harus menambahkan satu surat sempurna setelahnya. Adapun dalam salat nafilah hanya wajib membaca Al Fatihah dan tidak wajib membaca surat setelahnya.

Beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam qiraah:
  1. Tidak boleh mendahulukan bacaan surat atas Al Fatihah, jika sengaja mendahulukannya maka salatnya batal dan wajib mengulanginya lagi.
  2. Jika lupa mendahulukan bacaan surat atas Al Fatihah dan telah membaca Al Fatihah dan ingat sebelum rukuk, maka ia wajib mengulangi bacaan surat saja, namun apabila ingat setelah rukuk maka salatnya dihukumi sah dan tidak ada kewajiban apapun baginya. Apabila ia membaca surat tanpa membaca Al Fatihah lalu teringat, maka ia wajib mengulangi Al Fatihah dan surat jika teringat sebelum rukuk, kalau tidak (teringat) maka salatnya sah dan tidak ada kewajiban apa-apa baginya.
  3. Begitu juga jika lupa membaca Al Fatihah atau lupa surat atau lupa kedua-duanya, jika telah rukuk maka salatnya sah dan tidak ada kewajiban apapun baginya, dan bila ingat sebelum rukuk maka wajib melakukannya.
  4. Apabila salat itu berupa salat nafilah dan mengandung surat-surat khusus, maka terdapat dua keadaan:
  5. Surat itu menjadi dasar keabsahannya. Maka surat itu wajib dibaca setelah Al Fatihah, dan nafilah tidak sah tanpanya.
  6. Surat itu menjadi syarat kesempurnaannya dan bukan dasar keabsahannya. Maka ia boleh ditinggalkan seperti membaca surat al ‘Adiyat dalam salat Ja’far Thayyar, maka boleh ditinggalkan.
  7. Apabila mukallaf bernazar atau bersumpah untuk melaksanakan salat nafilah, maka tidak wajib baginya membaca surat kecuali jika surat itu menjadi dasar keabsahannya seperti di atas .
  8. Apabila orang yang salat membaca surat-surat al ‘Azhaim dalam salat wajib, maka ada beberapa gambaran:
  9. Dia wajib sujud, jika sujud maka salatnya menjadi batal dan harus mengulangi.
  10. Apabila dia tidak sujud, maka ia telah bermaksiat (dengan meninggalkan sujud itu-pent), tetapi salatnya sah, dan ihtiyath istihbabinya harus mengulangi.
  11. Jika dia membaca surat-surat itu lantaran lupa dan baru ingat setelah membacanya dan melakukan sujud karena lupa, maka salatnya sah dan harus menyempurnakannya.
  12. Apabila dia ingat sebelum melakukan sujud, maka hukum di atas yang berkaitan dengan qiraah secara sengaja berlaku atasnya.
Adapun dalam salat nafilah, maka boleh (membaca surat al ‘Azaim), dan apabila membacanya, ia wajib sujud kemudian menyempurnakan salatnya.

Tempat-tempat gugurnya bacaan surat setelah Al Fatihah:
Bacaan surat akan gugur di beberapa tempat:
  1. Bagi orang sakit, sekalipun ihtiyath istihbabinya kebolehan meninggalkan surat itu terbatas pada kondisi sulit.
  2. Bagi orang yang tergesa-gesa, sekalipun ihtiyath istihbabinya kebolehan meninggalkan surat itu terbatas pada kondisi sulit.
  3. Bagi orang yang takut dari sesuatu.
  4. Waktu sempit; jika membaca surat waktu bisa habis.
Mengeraskan dan memelankan suara dalam qiraah:
Tolok ukur pada keduanya adalah keras dan pelan yang ‘urfi (lumrah).
Hukumnya: berdasarkan ihtiyath wajib orang laki-laki harus mengeraskan (jahr) qiraah pada salat Subuh dan pada dua rakaat pertama dari salat Magrib dan Isya. Adapun pada salat Zuhur dan Asar maka berdasarkan ihtiyath (wajib) harus memelankan (ikhfat) qiraah pada dua rakaat pertama darinya, selain bacaan basmalah yang sunah dibaca keras. Sedangkan perempuan bisa memilih antara membaca dengan keras dan pelan pada salat-salat jahriyah (yang dibaca keras), sementara pada salat-salat ikhfatiyah (yang dibaca pelan),  menurut ihtiyah wajib mereka wajib membaca pelan.
  1. Jika dilakukan dengan sengaja, maka berdasarkan ihtiyath wajib salatnya batal.
  2. Jika dilakukan lantaran lupa atau tidak tahu hukum sama sekali atau tidak tahu makna keras dan pelan, maka ia tidak terkena kewajiban apa-apa. Akan tetapi, jika dia ingat atau mengetahui di tengah-tengah qiraah, maka ia wajib menyempurnakan qiraah dengan cara yang benar dan tidak wajib mengulangi apa yang telah dibacanya.
Tata cara qiraah:
Qiraah wajib dilakukan dengan benar (memakai bahasa Arab yang fasih). Dan barang siapa  yang tidak bisa, maka ia wajib belajar. Adapun orang yang tidak mampu untuk belajar, maka ia wajib membaca semampunya seperti pada perincian klasifikasi berikut:
  • Orang yang terpaksa membaca bacaan yang tidak sempurna lantaran kecerobohannya, maka salatnya sah jika melakukan kewajiban di atas, tetapi untuk kemaslahatan ia wajib bermakmum.
  • Bacaan surat menjadi gugur bagi orang yang tidak tahu (jahil) jika tidak mampu mempelajarinya.
Beberapa bacaan pada sebagian ayat-ayat Al Fatihah dan surat al Ikhlas:
  1. Boleh membaca (مَالِكِ يَوْمِ الدَّينِ) dan (مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ).
  2. Kata (الصِراطَ) bisa dibaca dengan Shad atu Sin (السِراطَ)
  3. Kata (كُفْواً) dalam surat al-Ikhlas bisa dibaca dengan salah satu dari empat bacaan ini:  (كُفُواً)  atau (كُفُؤاً) atau (كُفْواً) atau (كُفْؤاً) dengan tidak men-tasydid-kan huruf Wau.
  4. Jika tidak waqaf (berhenti) pada kata (أحـد) dalam kalimat
(قل هو الله أحد)  dan dibaca sambung kepada (الله الصمد) , maka berdasarkan ihtiyath istihbabi harus dibaca(أحدُنِ اللهُ الصمد) .

Beberapa hukum qiraah:
  1. Apabila mukallaf salat dengan meyakini kebenaran qiraahnya (Al Fatihah atau surat) kemudian ketahuan kesalahannya, maka salatnya sah dan berdasarkan ihtiyath istihbabi harus mengulangi salatnya.
  2. Apabila mukallaf membaca Al Fatihah atau surat atau tasbih, kemudian ragu akan kebenaran harakat salah satu dari kata-katanya, maka ia harus membaca berdasarkan salah satu dari yang diragukan, kemudian merujuk Jika sesuai maka salatnya sah, kalau tidak sesuai maka harus mengulangi salatnya. Hal ini jika ia ceroboh (muqashshir) dalam belajar, dan kalau tidak ceroboh maka tidak wajib mengulangi.
  3. Boleh membawa Al Quran di tengah-tengah salat, sebagaimana dibolehkan juga mengajari qiraah yang benar kepada orang yang
  4. Apabila mukallaf membaca sebuah surat kemudian lupa satu kata, maka ia boleh mencukupkan dengan apa yang telah dibaca, sebagaimana juga boleh mengganti dengan surat lain.
  5. Menurut ihtiyath istisbabi, harus meninggalkan waqaf (berhenti) dengan harakat dan washal (bersambung) dengan sukun.
  6. Apabila ragu dalam qiraah atau surat, maka ada beberapa keadaan:
  7. Apabila setelah qiraah ragu akan kebenaran, baik ia sedang membaca surat dan ragu dalam Al Fatihah, atau sedang membaca sebuah ayat dan ragu pada ayat yang lain, atau tengah membaca akhir ayat dan ragu pada awalnya, maka dihukumi benar.
  8. Apabila setelah masuk rukuk ragu apakah sudah membaca (qiraah) atau belum, maka dihukumi sudah membaca.
  9. Apabila setelah qunut ragu apakah sudah membaca atau belum, maka tidak wajib mengulang.
  10. Apabila ragu apakah sudah membaca atau belum dan belum masuk kepada bagian yang lain seperti qunut atau rukuk, maka ia wajib membaca.
  11. Apabila orang yang salat ingin maju atau mundur di tengah-tengah qiraah, maka ia harus diam, setelah tenang maka kembali lagi kepada qiraah. Gerakan tangan atau jari-jari kaki di waktu qiraah tidak masalah.
  12. Surat al-Fil dan Qurasy dihitung satu surat, begitu juga surat al-Dhuha dan al-Syarh, maka berdasarkan ihtiyath wajib tidak cukup membaca satu darinya, namun harus menggabung keduanya dengan tertib dan membaca basmalah yang terletak di antara
Menentukan surat dengan basmalah:
 Wajib membaca basmalah pada setiap surat (selain surat at-Taubah), akan tetapi dihitungnya basmalah sebagai bagian dari setiap surat selain surat al Fatihah masih diperbincangkan. Maka berdasarkan ihtiyath (wajib) hal-hal kecil tidak berpengaruh atasnya, sebagaimana tidak wajib menentukan basmalah ketika qiraah untuk sebuah surat.

Tempat-tempat boleh merubah (‘udul)  bacaan surat kepada surat yang lain:
  1. Menurut ihtiyath wajib dibolehkan mengganti bacaan sebuah surat kepada surat yang lain jika belum mencapai separuh surat, kecuali surat al Kafirun dan al
  2. Wajib ‘udul jika waktu sempit untuk menyempurnakan surat, yaitu merubahnya kepada surat yang lebih pendek yang bisa diselesaikan sebelum waktu habis.
  3. Apabila lupa sebagian dari surat, maka dia boleh mencukupkan dengan apa yang telah dibacanya, sebagaimana ia juga boleh ‘udul kepada surat lain.
  4. Apabila di hari jumat berniat membaca surat al Jum’ah pada rakaat pertama dan al Munafiqun pada rakaat kedua untuk salat Jumat atau salat hari jumat lalu lupa dan mulai membaca surat lain, maka ia boleh ‘udul kepadanya sekalipun (yang telah dibaca) berupa surat al Kafirun dan al
  5. Pada hari jumat, dalam kondisi darurat dibolehkan mengganti surat al Jum’ah menjadi al Munafiqun dan al Munafiqun kepada al Jum’ah, maka berdasarkan ihtiyath wajib boleh mengganti kepada salah satunya dan bukan kepada selain keduanya.
Tempat-tempat yang tidak dibolehkan ‘udul:
  1. Tidak boleh ‘udul dari surat al Ikhlas atau al Kafirun kepada salah satunya atau dari salah satunya kepada selain keduanya.
  2. Berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh ‘udul setelah mencapai separuh.
  3. Menurut ihtiyath wajib, pada hari jumat tidak boleh ‘udul dari surat al Jumu’ah dan al Munafiqun kepada selain keduanya jika tidak darurat, sekalipun kepada surat al Kafirun dan al
Qiraah dan zikir pada tempat-tempat zikir:
Sebelumnya telah kita singgung bahwa pada rakaat ketiga dari salat Magrib dan rakaat keempat dari salat ruba’iyah (empat rakaat) dibolehkan qiraah atau zikir, hanya saja zikir lebih utama. Tata cara zikir adalah mengucapkan:

(سُبْحَانَ الله ، والحَمْدُ لله ، ولا إلهَ إلا اللهُ ، و اللهُ أكبر)

sekali, dan ihtiyathnya membaca tiga kali. Dalam zikir ini harus memperhatikan perkara-perkara berikut:
  1. Menurut ihtiyath wajib harus memelankan bacaan tasbih, dan dibolehkan bahkan disunahkan mengeraskan basmalah bila memilih qiraah pada rakaat ketiganya jika tidak bermakmum.
  2. Bagi orang yang bermakmum dibolehkan memilih bacaan Al Fatihah pada rakaat ketiga, tetapi jika membaca Al Fatihah maka berdasarkan ihtiyath wajib harus memelankan bacaan basmalah.
  3. Pada salat ruba’iyah tidak wajib menyamakan (bacaan) dua rakaat terakhir, maka ia boleh memilih qiraah pada salah satunya dan zikir pada yang lain.
  4. Apabila orang yang salat berniat memilih qiraah dan terlanjur membaca zikir atau sebaliknya, maka ia wajib mengulangi dan memilih yang diinginkan.
  5. Apabila mukallaf membaca Al Fatihah dengan anggapan bahwa ia berada pada dua rakaat yang pertama, lalu sadar kalau dirinya sedang berada pada dua rakaat terakhir, maka ia boleh mencukupkan dengan apa yang telah dibaca dan menyempurnakan salatnya.
  6. Apabila mukallaf lupa qiraah atau zikir, maka dia mempunyai dua keadaan:
  7. Jika ingat setelah sampai kepada batas rukuk, maka salatnya sah.
  8. Jika ingat sebelum sampai pada batas rukuk atau setelah menunduk untuk rukuk, maka ia wajib kembali dan membaca (qiraah) atau zikir jika dituntut untuk zikir.
Hal-hal yang disunahkan dalam qiraah:
  1. Ber-isti’adzah sebelum memulai qiraah pada rakaat pertama dengan mengatakan: ( أعوذ بالله من الشيطان الرجيم )
  2. Mengeraskan basmalah pada dua rakaat pertama salat Zuhur dan Asar.
  3. Memperindah suara dan perlahan-lahan (tartil) dalam qiraah.
  4. Berdiam sejenak di antara Al Fatihah dan surat, dan di antara surat dan takbir untuk rukuk atau qunut.
  5. Setelah selesai membaca Al Fatihah, membaca
( الحمد لله رب العالمين ), dan makmum membacanya setelah imam selesai.
  1. Setelah mambaca surat al-Ikhlas mengucapkan (كذلك الله ربي)  atau (كذلك الله ربنا) bagi orang yang membaca surat sendiri.
  2. Membaca sebagian surat pada sebagian salat seperti surat ‘Amma, al Insan, dan al Ghasyiah pada salat Subuh, dan al-A’la dan asy-Syams pada salat Zuhur dan Isya, dan al-‘Ashr dan at-Takatsur pada salat Asar dan Magrib.
Pada setiap salat disunahkan membaca surat al Qadr pada rakaat pertama dan surat al Ikhlas pada rakaat yang kedua.

Hal-hal yang dimakruhkan dalam qiraah:
  1. Makruh meninggalkan bacaan surat al Ikhlas pada semua salat wajib yang lima.
  2. Makruh membaca surat al Ikhlas dengan satu nafas.
  3. Makruh membaca surat yang sama pada dua rakaat pertama kecuali surat al
Rujuk:
[1] Q.S. al-Nahl: 98.
[2]  Nahjul balaghah, khutbah 176.
[3]  Bihar al-Anwar, juz 72, hal. 255.
[4]  Wasail al-Syiah, juz. 4, hal. 856.

Terkait Berita: