Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Raden Wijaya. Show all posts
Showing posts with label Raden Wijaya. Show all posts

Sejarah Ringkas Kerajaan Majapahit

Gapura Bajang Ratu

Setelah raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasāri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singhāsāri pertama dan anak dari Dyah Lěmbu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. 

Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Kĕrtanāgara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Nāgarakertāgama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Kěrtanāgara dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasāri, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasāri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Těrik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit.

Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang. Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasāri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha.

Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina. Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian.

Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit.

Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari, Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā, Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā, dan Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhūwaneśwari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhūwanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Rājadewi Mahārājasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalagěmět. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera.

Silsilah Majapahit

Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanāgara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanāgara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.

Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayanāgara juga terpengaruh oleh hasutan Mahāpati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (běkěl bhayangkāri).

Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan. Pada masa Jayanāgara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayanāgara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.

Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayanāgara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang.

Salah satunya adalah pemberontakan Sadĕng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan. Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singhāsari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar Śri Rajasanāgara.

Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhūmi (mahāpatih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua.

Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitalokā, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitalokā bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal.

Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bahwa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala. Setelah peristiwa Bubat, Mahāpatih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pāduka Śori, anak dari Bhre Wĕngkĕr yang masih terhitung bibinya. Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik.

Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Mahāpatih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhūmi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.

Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya.
Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Parěgrěg. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumapĕl ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhūmi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan.

Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhūmi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut. Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapĕl Dyah Kĕrtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Śri Rājasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan.

Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Sūryawikrama Giriśawardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit.

Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhūmi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya.

Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam. Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.

RADEN WIJAYA / ŚRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA


Raden Wijaya adalah Pendiri sekaligus Raja Majapahit yang pertama. Raden Wijaya dinobatkan pada bulan Kartika tahun 1215 saka, yaitu 12 Nopember 1293 dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya menurut Kidung Harsa Wijaya.
Raden Wijaya adalah anak dari Rakeyan Jayadarma, raja ke-26 dari Kerajaan Sunda Galuh, dan Dyah Lembu Tal, seorang putri Singhasari. Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan keturunan langsung dari Wangsa Rajasa, yaitu dinasti pendiri Kerajaan Singhasari. Ken Arok, Raja pertama Singhasari (1222-1227) memiliki anak Mahesa Wong Ateleng dari Ken Dedes. Mahesa Wong Ateleng memiliki anak Mahesa Cempaka yang bergelar Narasinghamurti. Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian menurunkan Raden Wijaya.

Ibukota kerajaan Majapahit meliputi Kecamatan Sooko, Trowulan dan Jatirejo di Kabupaten Mojokerto dan kecamatan Mojoagung, Mojowarno serta Sumobito di Kabupaten Jombang. Kawasan ini berada pada luas 10 X 10 kilometer persegi. ,namun, ada versi lain yang menyebut 9 X 11 kilometer persegi. Pusat kota ini berada di dalam kawasan ibukota dan lokasinya kini berada di Trowulan. Situs-situs yang memperkuat ilustrasi pusat kota ini antara lain Candi Muteran, Candi Gentong, Candi Tengah, tempat kediaman Gajah Mada, kediaman kerabat kaum raja dan tempat pemandian para putri kerajaan.


Rakeyan Jayadarma adalah raja ke-26 Kerajaan Sunda Galuh, anak dari Prabu Guru Dharmadiksa, raja ke-25 dari Kerajaan Sunda Galuh. Setelah Rakeyan Jayadarma tewas diracun oleh salah seorang bawahannya, Dyah Lembu Tal kembali ke Singhasari bersama Raden Wijaya. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut sebagai Jaka Susuruh dari Pajajaran. Ia dibesarkan di lingkungan kerajaan Singhasari.
Menurut prasasti dan Kakawin Nagarakretagama disebutkan bahwa Raden Wijaya memperistri empat orang putri raja Kertanegara dengan gelar sebagai berikut :
Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari.
Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā.
Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā
Sri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri.
Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari
Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari adalah permaisuri Raden Wijaya .Dalam Nagarakretagama nama Tribhuwaneswari sering disingkat Tribhuwana. Ia adalah putri sulung Kertanagara raja terakhir Singhasari. Dikisahkan pada saat Singhasari runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari, sedangkan Gayatri ditawan musuh. Rombongan Raden Wijaya kemudian menyeberang ke Sumenep meminta perlindungan Arya Wiraraja. Dalam perjalanan menuju Sumenep, Tribhuwaneswari sering dibantu oleh Lembu Sora, abdi setia Raden Wijaya Raden Wijaya. Jika pasangan suami istri tersebut letih, Lembu Sora menyediakan perutnya sebagai alas duduk. Jika menyeberang rawa-rawa Lembu Sora, menyediakan diri menggendong Tribhuwana.
Raden Wijaya kemudian bersekutu dengan Arya Wiraraja untuk menjatuhkan Jayakatwang. Ketika Raden Wijaya berangkat ke Kadiri pura-pura menyerah pada Jayakatwang, Tribhuwana ditinggal di Sumenep. Baru setelah Raden Wijaya mendapatkan hutan Terik untuk dibuka menjadi desa Majapahit , Tribhuwana datang dengan diantar Ranggalawe putra Arya Wiraraja. Berita ini terdapat dalam Kidung Panji Wijayakarama.
Sepeninggal pasukan Mongol tahun 1293, Kerajaan Majapahit berdiri dengan Raden Wijaya sebagai raja pertama. Tribhuwana tentu saja menjadi permaisuri utama, ditinjau dari gelarnya yaitu Tribhuwana-iswari. Namun demikian, Pararaton menyebutkan, istri Raden Wijaya yang dituakan di istana bernama Dara Petak putri dari Kerajaan Dharmasraya, yang melahirkan Jayanagara sang putra Mahkota.Menurut prasasti Kertarajasa (1305), Tribhuwaneswari disebut sebagai ibu Jayanagara.
Dari berita tersebut dapat diperkirakan Jayanagara adalah anak kandung Dara Petak yang kemudian menjadi anak angkat Tribhuwaneswari sang permaisuri utama. Hal ini menyebabkan Jayanagara mendapat hak atas takhta sehingga kemudian menjadi raja kedua Majapahit tahun 1309-1328
Setelah Wafat Tribhuwaneswari dimuliakan di Candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.
2. Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā.
Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, atau disebut dengan Narendraduhita, adalah putri ketiga dari Raja Singhasari Kertanagara, dan merupakan istri kedua dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan.
3. Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita
Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita atau sering disingkat dengan nama Prajña Paramita atau Pradnya Paramita adalah putri keempat dari Raja Kertanegara dan merupakan istri ketiga dari Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan. Disebutkan bahwa Pradjnya Paramita adalah istri yang paling setia diantara kelima istri Raden Wijaya.
4. Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Gayatri
Gayatri atau Rajapatni adalah istri ke empat dari Raden Wijaya, dari Gayatri lahir Tribhuwanatunggadewi dan Rajadewi. Tribhuwanatunggadewi inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Majapahit selanjutnya. Pada saat Singhasari runtuh akibat serangan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari saja, sedangkan Gayatri ditawan musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah pada Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali.
Dalam Nagarakretagama pupuh 2/1 menguraikan bahwa putri Gayatri (Rajapatni) wafat pada tahun 1350 pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. 12 tahun setelah meninggalnya Gayatri dilaksanakan upacara srada dan dimuliakan candi di candi Boyolangu di desa Kamal Pandak tahun 1362 dengan nama Prajnyaparamita puri. Baik tanah candi maupun arcanya diberkati oleh pendeta Jnyanawidi.
5. Dara Pethak (Indreswari)
Menurut Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit, datang pasukan Kebo Anabrang yang pada tahun 1275 dikirim Kertanegara menaklukkan Pulau Sumatra. Pasukan tersebut membawa dua orang putri Mauliwarmadewa dari Kerajaan Dharmasraya bernama Dara Jingga dan Dara Petak sebagai persembahan untuk Kertanegara.
Nama Dara Pethak berarti merpati putih. Menurut Kronik Cina, pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, sehingga dapat diperkirakan pertemuan antara Raden Wijaya dan Dara Petak terjadi tanggal 4 Mei 1293. Karena Kertanegara sudah meninggal, maka ahli warisnya, yaitu Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri, sedang Dara Jingga diserahkan kepada Adwayabrahma , seorang pejabat Singhasari yang dulu dikirim ke Sumatra tahun 1286.
Dara Petak pandai mengambil hati Raden Wijaya sehingga ia dijadikan sebagai Istri tinuheng pura, atau istri yang dituakan di istana. Padahal menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya sudah memiliki empat orang istri, dan semuanya adalah putri Kertanegara. Pengangkatan Dara Petak sebagai istri tertua mungkin karena hanya dirinya saja yang melahirkan anak laki-laki, yaitu Jayanegara. Sedangkan menurut Nagarakretagama, ibu Jayanegara bernama Indreswari. Nama ini dianggap sebagai gelar resmi Dara Petak.
Pararaton menyebutkan Raden Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja. Pemberitaan tersebut terjadi sebelum Majapahit berdiri. Diperkirakan, mula-mula Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri saja. Baru setelah Majapahit berdiri, ia menikahi Mahadewi dan Jayendradewi pula. Dalam Kidung Harsawijaya, Tribhuwana dan Gayatri masing-masing disebut dengan nama Puspawati dan Pusparasmi.
Masa Pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawardhana
Setelah Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit, beliau kemudian mengangkat pengikut-pengikutnya yang berjasa dalam perjuangan mendirikan Majapahit menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan menurut Serat Kekancingan Kadadu 1294 antara lain :
*Aria Wiraraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung diberi daerah status khusus (Madura) dan diberi wilayah otonom di Lumajang hingga Blambangan.
*Nambi diangkat menjadi Rakryan Mapatih (Perdana menteri),
*Ranggalawe menjadi Rakyan Mahamantri Agung diangkat sebagai Adipati Tuban,
*Sora menjadi patih Daha (Kadiri).
Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam penanggungan tahun 1296.

1. Mahamentri Katrini
· Rakyan Menteri Hino : Dyah Pamasi
· Rakyan Menteri Halu : Dyah Singlar
· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Palisir

2. Sang Panca Wilwatika
· Rakyan Patih Majapahit : Empu Tambi
· Rakyan Demung : Empu Renteng
· Rakyan Kanuruhan : Empu Elam
· Rakyan Rangga : Empu Sasi
· Rakyan Tumenggung : Empu Wahan

3. Patih Negara Bawahan
· Rakyan Patih Daha : Empu Sora
· Rakyan Demung Daha : Empu Rakat
· Rakyan Rangga Daha : Empu Dipa
· Rakyan Tumenggung Daha : Empu Pamor

4. Pejabat Hukum Keagamaan
· Pranaraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung
· Dang Acarya Agraja menjadi Dharmadyaksa Kasaiwan
· Dang Acarya Ginantaka menjadi Dharmadyaksa Kasogatan
· Panji Paragata menjadi Pemegat Tirwan
· Dang Acarya Anggaraksa sang Pemegat di Pamotan
· Dang Acarya Rudra sang Pemegat di Jambi.
Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan.
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa. Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain:
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa
* Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
* Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan.
* Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan.
* Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Dharmaputra adalah suatu jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya Anggotanya berjumlah tujuh orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa, yang semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa pemerintahan Jayanegara (raja kedua Majapahit).
Tidak diketahui dengan pasti apa tugas dan wewenang Dharmaputra. Pararaton hanya mengatakan kalau para anggota Dharmaputra disebut sebagai pengalasan wineh suka, yang artinya pegawai istimewa. Dikisahkan mereka diangkat oleh Taden Wijaya dan tidak diketahui lagi keberadaannya setelah tahun 1328.
Pada Jaman Majapahit para pegawai pemerintahan masing masing diberi gelar sesuai jabatan yang dipangkunya dengan pembagian sebagai berikut :
Golongan Rakyan. Para pegawai pemerintahan yang berkah menggunakan gelar rakyan di antaranya
* Mahamantri Katrini yang terdiri dari Mahamantri Hino, Mahamantri Sitrikan dan Mahamantri halu
* Pasangguhan/ hulubalang yang terdiri dari 2 yaitu Pranaraja dan Nayapati.
* Sang Panca Wilwatika yaitu lima pembesar yang diserahi tugas untuk menjalankan pemerintahan Majapahit. Terdiri dari Patih Amangkubumi, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumengggung.
* Juru Pangalasan yaitu pembesar wilayah mancanagara.
* Nara pati Negara Negara bawahan.
Golongan Arya. Golongan ini mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari Rakyan, namun karena jasa jasanya seorang arya dapat dinaikan jabatannya menjadiWreddhamantri atau Menteri Sepuh.
Golongan Dang Acarya. Sebutan ini khusus diperuntukkan bagi para pendera Siwa dan Budha yang diangkat sebagai Dharnmaddyaksa atau hakim tinggi.
Pembagian wilayah
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut antara lain :
1. Daha
2. Jagaraga
3. Keling
4. Kabalan
5. Kahuripan
6. Matahun
7. Kembang jenar
8. Tumapel
9. Wirabumi
10. Kelinggapura
11. Tanjungpura
12. Singhapura
13. Pajang
14. Wengker
Peristiwa penting yang terjadi dalam masa pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawarhana.
Dalam Piagam Kudadu disebutkan bagaimana watak Raden Wijaya sebagai panglima perang yang menunaikan tugas dari Raja Kertanagara. Dalam pengabdiannya ia menunjukkan kedisiplinan serta kesetian kepada perintah yang diberikan dan menunaikan tugas tiada tercela. Demikian pula terhadap teman teman seperjuangannya Raden wijaya memberikan kedudukan yang tinggi kepada para pengikutnya sesuai dengan jasa yang selama masa perjuangan. Namun rasa keadilan bagi masing – masing orang berbeda beda. Setelah Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja timbullah rentetan ketiadakpuasan diantara pengikut pengikutnya. Peristiwa penting penting tersebut sebagai berikut :
· Peristiwa Ranggalawe ( 1295 )

Ranggalawe / Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara./ Arya Adikara adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama pada tahun 1295. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Sumenep. Ia sendiri tinggal di Tanjung, yang terletak di Madura sebelah barat.
Pertemuan pertama dengan Raden Wijaya terjadi ketika Ranggalawe diutus oleh ayahnya yaitu Arya Wiraraja yang menjabat sebagai Bupati Madura untuk mengantar Tribhuwaneswari dari Sumenep ke Majapahit bersama Banyak Kapuk dan Mahesa Pawagal utusan Raden Wijaya . Ranggalawe mempunyai watak yang agak grasa grusu, bicaranya lantang namun mempunyai kelebihan dalam hal menyusun siasat perang dan dalam pertempuran ia adalah seorang pemberani dan ahli menggunakan senjata.
Namun dibalik sifatnya yang kasar, Ranggalawe adalah seseorang yang berani, jujur dan mempunyai tekat besar yaitu berani mempertaruhkan jiwanya untuk membela Raden Wijaya Ranggalawe kemudian membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik menjadi desa Majapahit. Nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari Wenang, yang berarti benang, atau juga berarti kekuasaan. Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut. Selain itu Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Bima sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pembantunya untuk menghadapi Jayakatwang di Kadiri. Penyerangan ke Kadiri terjadi tahun 1293, Ranggalawe berada dalam gabungan pasukan Majapahit dan Mongol yang menggempur benteng timur kota Kadiri. Pemimpin benteng bernama Sagara Winotan, mati dipenggal Ranggalawe.
Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya, Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu. Prasasti Kudadu (1294) yang memuat daftar nama para pejabat awal Majapahit, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun Prasasti Kudadu menyebutkan dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang yang berbeda.
Slamet Muljana dalam bukunya, Menuju Puncak Kemegahan (1965), mengidentifikasi nama Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika diangkat sebagai pejabat Majapahit. Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut menjabat sebagai pasangguhan. Masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.
Kisah pemberontakan Ranggalawe yang merupakan perang saudara pertama di Majapahit disebutkan dalam Pararaton terjadi tahun 1295, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Ranggalawe. Pemberontakan itu dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih Majapahit. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih cakap dan berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi.
Ranggalawe juga mendapat hasutan dari tokoh licik bernama Mahapati sehingga ia nekad menghadap Raden Wijaya di ibu kota menuntut penggantian Nambi oleh Lembu Sora, namun Lembu Sora justru tetap mendukung Nambi.
Setelah menghina dan merendahkan nama Nambi dihadapan Raden Wijaya akhirnya Ranggalawe menantang Nambi untuk mengadu senjata, mendengar tantangan tersebut Nambi menjadi marah sehingga pertengkaran mulutpun tak terhindarkan diantara kedua belah pihak. Semua menteri yang hadir termasuk Kebo Anabrang (Panglima pasukan Singhasari dalam Ekspedisi Pamalayu) tidak bisa menyembunyikan kemarahan akibat perbuatan Ranggalawe yang dianggap melanggar tata krama di hadapan Sang Prabu Kertarajasa (Raden Wijaya) dan menantang untuk mengadu senjata.
Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe kemudian membuat kekacauan di halaman istana. Lembu Sora sebagai pamannya keluar menasihati Ranggalawe yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada Raja. Ranggalawe mengakui kesalahannya bahwa ia telah berbuat terlalu lancang dan sebagai hukumannnya ia minta untuk dibunuh saja. Sora tidak memenuhi permintaan keponakannya dan menasehatinya untuk mengingat segala kebaikan Prabu Kertarajasa dimana Ranggalawe diberikan kebebasan untuk keluar masuk Istana siang maupun malam. Mendengar nasehat tersebut akhirnya Ranggalawe memilih pulang ke Tuban.
Mahapati kemudian ganti menghasut Nambi dengan mengatakan kalau Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan. Maka berangkatlah Nambi atas izin raja, memimpin pasukan menyerang Tuban. Dalam pasukan itu ikut serta Lembu Sora dan Kebo Anabrang. Dalam Kidung Ranggalawe diketahui bahwa Arya Wiraraja yang merupakan ayah dari Ranggalawe menetap di Tuban, ketika mendengar putranya telah pulang dari Majapahit ia langsung menemuinya. Dari tingkah laku putranya Arya Wiraraja menangkap sesuatu yang tidak baik akan terjadi kepada anaknya. Arya Wiraraja kemudian menanyakan apa yang telah terjadi ketika menghadap sang Prabu. Ketika mendengar penjelasan yang disampaikan putranya, Arya Wiraraja terdiam dan hatinya makewuh mana yang harus dipilih cinta kepada anak atau setia kepada Sang Prabu.
Arya Wiraraja kemudian menasehati anaknya untuk tetap setia kepada sang prabu karena berkhianat akan mempunyai akibat yang sangat berat baik diakhirat maupun dalam kelahiran kembali. Mendengar nasehat ayahnya Ranggalawe terdiam dan mengakui kesalahannya, namun darah kesatria yang mengalir dalam dirinya mengharamkan bagi dirinya untuk mundur dan keperwirayudaan tersebut akan dipertahankan sampai mati.
Setelah Nasehatnya tidak didengar oleh putranya, Arya Wiraraja kemudian memanggil para Menteri, Kepala desa, Akuwu dan Demang untuk mempersiapkan pasukan untuk menghadapi serangan dari Majapahit. Mereka mengharapkan agar Nambilah yang nantinya memimpin pasukan dari Majapahit karena Nambilah orang yang paling mereka cari.
Para pengikut Ranggalawe didaerah Majapahit kemudian meninggalkan daerahnya menuju daerah Tuban, namun ketika mereka hendak menyeberangi sungai Tambak beras, air sungai sedang pasang sehingga mereka dapat disusul oleh pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Nambi. Mereka semua akhirnya dapat dihancurkan oleh Pasukan dari majapahit.

Hari hari berikutnya pagi pagi sekali pasukan dari Majapahit menyeberangi sungai Tambak Beras untuk mencapai Tuban. Mantri Gagarangan dan Tambak Baya dari Tuban memberitahukan kepada Ranggalawe bahwa pasukan Majapahit telah tiba dan segera Ranggalawe memerintahkan pasukannya untuk menyerang pasukan dari majapahit.
Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera mempersiapkan pasukannya. Kidung Ranggalawe menyebutkan nama istri Ranggalawe adalah Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani. Ranggalawe kemudian mohon pamit kepada istrinya untuk menghadapi pasukan dari Majapahit. Martaraga berusaha mencegah kepergian suaminya karena mempunyai firasat bahwa sesuatu yang tidak baik akan menimpa suaminya. Oleh mertuanya sendiri yaitu Ki Ajar Pelandongan, Ranggalawe juga dibujuk agar mengurungkan niatnya untuk maju kemedan pertempuran namun sekali lagi bujukan tersebut tidak dihiraukan oleh Ranggalawe.
Ranggalawe kemudian terjun ke medan pertempuran melawan pasukan dari Majapahit, ia bertemu dengan orang yang diharap harapkan yaitu Patih Nambi. Patih Nambi mengendarai kuda Brahma Cikur sedangkan Ranggalawe mengendai kuda Mega Lamat. Pertempuran kedua orang tersebut berjalan dengan hebatnya. Akhirnya kuda Brahma Cikur berhasil ditikam oleh Ranggalawe namun Patih Nambi berhasil mengelak dan lari menyelamatkan diri kearah selatan. Ranggalawe bersama pasukannya kemudian melakukan pengejaran sampai di sungai Tambak Beras.
Ranggalawe berniat untuk menyeberangi sungai Tambak beras namun ditahan oleh para pengikutnya karena daerah diseberang sungai adalah wilayah Majapahit, lagi pula belum semua kekuatan tentara Majapahit dikerahkan ke medan perang, Ranggalawe akhirnya menurut. Pertempuran antara pasukan Majapahit dibawah Pimpinan Nambi dengan pasukan Ranggalawe terjadi didaerah Tosan, Kidang Glatik, Siddi, Cek Muringgang dan klabang curing berakhir sampai malam hari.

Berita kekalahan pasukan dari Majapahit kemudian disampaikan Hangsa Terik ke hadapan Raden Wijaya. Betapa kecewanya Raden Wijaya mendengar kabar tersebut dan bersumpah akan membumihanguskan Kota Majapahit jika tidak berhasil mengalahkan Ranggalawe. Segera beliau mengirim Kala Angerak, Setan Kobar, Buta Angasak dan Juru Prakasa untuk memulihkan kembali kekuatan pasukan dari Majapahit yang telah tercerai berai dan menyelidiki sampai dimana kekuatan musuh.
Sementara keberangkatan 10.000 pasukan tambahan dari Majapahit telah dipersiapkan dipimpin sendiri oleh Prabu Kertarajasa, beliau mendapat laporan dari 4 orang mata mata yang dikirim ke medan pertempuran tentang kekuatan pasukan dari Ranggalawe. Akhirnya pertempuran pasukan tambahan yang dipimpin oleh Prabu kertarajasa dengan pasukan dari Ranggalawe berkobar kembali, pertempuran berjalan dengan sengit dimana korban berjatuhan diantara dikedua belah pihak. Sementara itu untuk menghindari makin banyaknya korban yang berjatuhan , Sora minta ijin kepada Prabu Kertarajasa untuk menghadapi Ranggalawe. Prabu Kertarajasa mengijinkan, akhirnya Ranggalawe dikepung dari tiga arah yaitu Kebo Anabrang dari arah timur, Gagak Sarkara dari arah barat dan Majang Mekar dari arah utara.
Perkelahian sengit kemudian terjadi dari arah timur dimana kebo Anabrang terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Kuda tunggangan kebo Anabrang berhasil dilumpuhkan oleh Ranggalawe namun penunggannya berhasil menyelamatkan diri. Hari selanjutnya untuk kedua kalinya kembali Kebo Anabrang terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Pertempuran ini terjadi di seberang sungai Tambak Beras. Pertempuran berjalan dengan hebatnya dimana masing masing kedua belah pihak mengeluarkan ilmu kesaktiannya untuk melumpuhkan lawannya. Pertempuran kemudian dilanjutkan di dalam air dimana Ranggalawe berhasil mendesak kebo anabrang sampai ketengah sungai namun dengan sigap berhasil menikam kuda tunggangan Ranggalawe.
Didalam kidung Ranggalawe dikisahkan bahwa ikan ikan berlompatan dan air muncrat bagaikan hujan akibat perang tanding diantara kedua tokoh tersebut. Mereka bergulat, saling banting didalam air berusaha menenggelamkan lawannya. Sampai akhirnya Ranggalawe terpeleset dari batu tempat berpijaknya sehingga hal tersebut berhasil dimanfaatkan oleh Kebo Anabrang untuk menenggelamkannya di dalam air. Kepalanya terpiting dibawah ketiak Kebo Anabrang. Ranggalawe kehabisan napas dan mati lemas.
Melihat keponakannya mati ditangan Kobo Anabrang secara mengenaskan hati Sora menjadi panas sehingga dengan serta merta melompat ke dalam sungai untuk menikam Kebo Anabrang dengan keris dari belakang. Keris tersebut tembus sampai ke dada, mayat Kebo Anabrang kemudian mengapung diatas sungai. Pembunuhan terhadap rekan sepasukan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora tahun 1300. Demikianlah akhir hidup Ranggalawe dan Kebo Anabrang yang sama sama tewas di sungai Tambak Beras.
Jenasah Ranggalawe dan Kebo Anabrang kemudian dibawa ke Majapahit untuk diupacarakan secara terhormat , mengingat jasa besar kedua tokoh tersebut. Ranggalawe adalah seorang pahlawan pemberani yang siap mengorbankan seluruh jiwa raganya pada masa awal pembentukan Majapahit, sedangkan Kebo Anabrang adalah Panglima pasukan Singhasari yang sukses menaklukkan Melayu pada jaman pemerintahan Prabu Kertanagara yang terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu Tahun 1275. Kisah pemberontakan Ranggalawe tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Hal itu dapat dimaklumi mengingat Nagarakretagama merupakan kitab pujian tentang kebesaran Majapahit. Ranggalawe terkenal sebagai pahlawan, sehingga diperkirakan Mpu Prapanca tidak tega mengisahkan kematiannya sebagai pemberontak.
Kiranya setelah Ranggalawe gugur tahun 1295, Arya Wiraraja merasa sakit hati dan memutuskan untuk menghadap Prabu Kertarajasa untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menagih sang prabu semasa perjuangan, yaitu membagi wilayah kerajaan menjadi dua. Janji tersebut kemudian dipenuhi oleh Prabu kertarajasa sehingga kemudian memutuskan membagi wilayah kerajaan menjadi dua :
*Bagian Timur terus keselatan sampai pantai diserahkan kepada Arya Wiraraja kemudian menjadi raja dengan ibukota Lumajang.
* Bagian Barat masih dikuasai oleh Raja Kertarajasa dengan Ibukota Majapahit.
Sejak saat itulah Daerah Majapahit timur merupakan Negara merdeka dan lepas dari kekuasaan Majapahit. Bagi masyarakat Tuban, tokoh Ronggolawe bukanlah pemberontak, tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes pengangkatan Nambi, karena figur Nambi kurang tepat memangku jabatan setinggi itu. Nambi tidak begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih banyak orang lain yang lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar, Arya Adikara, dan tentunya dirinya sendiri. Ronggolawe layak menganggap dirinya pantas memangku jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja ini besar jasanya terhadap Majapahit. Ayahnya yang melindungi Kertarajasa Jayawardhana ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang setelah Kerajaan Singsari jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara, Raja Singasari terakhir).
Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik yang kelak menjadi Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan Tartar maupun menumpas pasukan Jayakatwang. Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe adalah korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun skenario sekaligus sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati, seorang pembesar yang berambisi menjadi patih amangkubumi.
· Peristiwa Ken Sora/ Andaka Sora
Lembu Sora atau Mpu Sora atau Ken Sora atau Andaka Sora adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam berdirinya Kerajaan Majapahit, namun mati sebagai pemberontak pada tahun 1300. Peristiwa sejarah ini terdapat dalam Kidung Sorandaka artinya Andaka Sora atau Lembu Sora.
Pararaton menyebut Sora sebagai abdi Raden Wijaya yang paling setia. Ia mengawal Raden Wijaya saat menghindari kejaran pasukan Jayakatwang tahun 1292, di mana ia menyediakan punggungnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat beristirahat, serta menggendong istri Raden Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa.
Pada tahun 1293 Raden Wijaya dibantu pasukan Mongol menyerang Jayakatwang di Kadiri. Dalam perang itu, Sora menggempur benteng selatan dan berhasil membunuh Patih Kadiri Kebo Mundarang. Menurut Pararaton, setelah kemenangan tersebut, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit. Lembu Sora diangkat sebagai Rakryan Patih Daha, atau patih bawahan di Kadiri. Keputusan tersebut memicu pemberontakan Ranggalawe tahun 1295. Menurut Ranggalawe, Lembu Sora lebih pantas menjabat sebagai Rakryan Patih Majapahit dari pada Nambi. Meskipun Ranggalawe adalah keponakan Sora, namun Sora justru mendukung Raden Wijaya supaya tetap mempertahankan Nambi sebagai patih Majapahit.
Dalam peristiwe pemberontakan Ranggalawe, Sora bertindak sebagai penasehat raja, dimana Sora memberikan nasehat kepada raja agar jangan sekali kali menuruti apa kemauan Ranggalawe serta dalam pertempuran bertindak sebagai senapati yang memberikan perintah untuk mengepung Ranggalawe dari 3 arah. Siasat ini berhasil sehingga pemberontakan Ranggalawe dapat dipadamkan. Berdasarkan fakta tersebut sudah sepantasnya Sora menjadi abdi kesayangan Raden Wijaya dan menduduki posisi yang terhormat dalam masa pemerintahan Raden Wijaya. Namun dalam perjalanan hidupnya selalu ada rintangan, ada yang iri hati dengan mengungkapkan segala kekurangan yang ia miliki kehadapan sang prabu.

Sebagai mana yang kita ketahui bahwa Mahapati sebagai Menteri mempunyai ambisi yang sangat besar untuk menduduki posisi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit, Pada saat itu yang menduduki posisi tersebut adalah patih Nambi, namun untuk mencari kesalahan yang mengakibatkan jatuhnya kedudukan Nambi belum berhasil. Salah seorang tokoh yang mempunyai hubungan erat dengan sang Prabu dan berpengaruh besar yaitu Sora. Andaikata Nambi jatuh maka calon utama penggantinya pastilah Lembu Sora.
Demikianlah menurut rencananya Lembu Sora harus disingkirkan terlebih dahulu, untuk tujuan tersebut ia memperoleh tuduhan yang jitu yaitu pembunuhan Kebo Anabrang yang merupakan rekan sepasukan dalam peristiwa pemberontakan Ranggalawe. Sebelum menjalankan siasatnya Mahapati berusaha bersahabat dengan para Menteri lainnya sehingga ia dapat menjadi orang kepercayaan sang Prabu Kertarajasa.
Pembunuhan terhadap rekan sepasukan tersebut baru diungkit tahun 1300. Mahapati menghadap Raden Wijaya dan menceritakan bahwa para Menteri tidak puas dengan sikap sang Prabu terhadap Lembu Sora. Ketidakpuasan tersebut semakin meningkat karena seolah olah sang prabu membenarkan tindakan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang. Rupanya keluarga Kebo Anabrang segan menuntut hukuman karena Sora adalah abdi kesayangan Raden Wijaya. Suasana itu dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang tokoh licik yang mengincar jabatan patih. Ia menghasut putra Kebo Anabrang yang bernama Mahisa Taruna supaya berani menuntut Sora. Ia juga menghasut Raden Wijaya bahwa para menteri resah karena raja seolah-olah melindungi kesalahan Sora.
Raden Wijaya tersinggung dituduh tidak adil. Ia pun memberhentikan Lembu Sora dari jabatannya untuk menunggu keputusan selanjutnya. Mahapati pura pura mencegah tindakan sang Prabu yang serta merta tersebut dan memberi nasehat agar sang prabu mencari kesempatan yang baik untuk menyingkirkan Lembu Sora. Mahapati mengusulkan agar Lembu Sora jangan dihukum mati mengingat jasa-jasanya yang sangat besar. Raden Wijaya memutuskan bahwa Sora akan dihukum buang ke Tulembang. Yakinlah Mahapati bahwa sekaranglah saatnya untuk menyingkirkan Lembu Sora.
Mahapati menemui Sora di rumahnya untuk menyampaikan keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu. Ia berniat ke ibu kota meminta hukuman mati dari pada harus diusir dari tanah airnya. Mahapati kemudian menghasut Nambi bahwa sang prabu telah mengambil keputusan untuk membebaskan Sora dari Tugasnya dan menggantinya dengan Mahesa Taruna (anak dari Kebo Anabrang). Terpikat oleh uraian yang disampaikan Mahapati, Patih Nambi kemudian menyiapkan orang orangnya untuk menghadap sang Prabu. Dengan tegas dikemukakannnya bahwa Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang secara licik dan kejam harus mendapat hukuman yang setimpal, juga para menteri yang terkena hasutan Mahapati sepakat bahwa Lembu Sora harus mendapat hukuman akibat dari perbuatannya.
Mahapati yang pandai menjalankan peranannya sekali lagi mengunjungi kediaman Lembu sora, dikatakannya bahwa ia telah berusaha keras untuk mencegah hukuman tersebut namun tidak berhasil, lagipula Nambi telah menyiapkan pasukannya. Sementara itu telah diputuskan mengingat jasa jasanya, Lembu Sora tidak akan dijatuhi hukuman mati tetapi di hukum buang ke Tulembang. Keputusan tersebut disampaikan langsung utusan Prabu kertarajasa dari Majapahit. Sora menolak keputusan tersebut, ia lebih baik mati daripada harus dihukum buang. Raja Kertarajasa masih cukup sabar menerima keputusan Nambi tersebut dan menyesalkan konflik yang telah terjadi antara dirinya dengan Lembu Sora yang merupakan abdi kesayangannya..
Mahapati pura pura membela Sora dan mengusulkan agar sang Prabu memberikan peringatan secara tertulis kepada Sora dan menunggu jawabannya. Segera Sang prabu mengutus Mahapati untuk menyampaikan surat tersebut langsung kepada Lembu Sora yang isinya bahwa menurut kitab Undang undang Kutaramanawa , Sora harus dihukum mati, namun dibebaskan dari hukuman tersebut dan sebagai gantinya ia akan di pindahkan ke Tulembang. Kutaramanawa yaitu kitab perundang undangan pada jaman Majapahit yang isinya menekankan susunan masyarakat yang terdiri dari empat warna demi kebaikan masyarakat. Kitab tersebut sekarang disimpan di Leiden Belanda.
Setelah membaca surat tersebut, Lembu Sora kemudian menyampaikan jawabannya bahwa ia masih menaruh cinta bakti kepada sang prabu dan akan menyerahkan jiwa dan raganya ke hadapan sang Prabu. Ia tidak akan membantah sekalipun akan diserahkan kepada Kebo Taruna. Lembu Sora merencanakan untuk menghadap langsung ke hadapan sang prabu. Mahapati yang mengingikan kematian Lembu Sora belum puas akan penyerahan jiwa raga yang disampaikan oleh Lembu Sora melaporkan kepada sang Prabu bahwa Lembu Sora tidak menerima keputusan tersebut dan akan datang untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas hukuman raja.
Setelah mendesak raja, Nambi pun diizinkan menghadang Sora yang datang bersama Gajah Biru dan Juru Demung. Maka terjadilah peristiwa di mana Sora dan kedua sahabatnya mati dikeroyok tentara Majapahit. Maka berhasillah siasat Mahapati. Kematian Sora pada tahun 1300 diceritakan singkat dalam Pararaton, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka.

Berbeda dengan kisah dalam Kidung Sorandaka di atas, Pararaton menyebut kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1313, sedangkan Gajah Biru pada tahun 1314. Keduanya tewas sebagai pemberontak pada pemerintahan Jayanegara putra Raden Wijaya.
Wafatnya Raden Wijaya
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanagara. Raden Wijaya dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Budha) di Antapura dalam kota Majapahit dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Simping (dekat Blitar) yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca.
Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanagara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan.



http://www.geni.com say: “Ahmad Yanuana Samantho, Rakean Wijaya or Raden Wijaya / Prabu Kertarajasa Jayawardana Rakean Wijaya or Raden Wijaya / Prabu Kertarajasa Jayawardana is your 20th great grandfather.”


You (AHMAD YANUANA SAMANTHO→
R.R. Lieke Sri Suryaningsih [your mother] →
Rd. Hussein Martoseputro [her father] →
Martoseputro [his father] →
Ngabehi Martodirjo [his father] →
Njai Ageng Semali in Pabelan [his mother] →
Kjai Sastrodinonggo in Semali [her father] →
R Arjo GondoKoesoemo in Semali Muntilan [his father] →
K. Pangeran Poerbojo in Semali Muntilan [his father] →
Kanjeng Panembahan Senopati or Raden Sutawijaya or Sultan Mataram I (1584-1601) d. 1601 . [his father] →
Nyai Sabinah . [his mother] →
Pangeran Made Pandan (Pulau Terang) [her father] →
Pati Unus or Pangeran Sabranglor (Demak II) . [his father] →
Raden Patah Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar (Demak I) or Jin Bun . [his father] →
Brawijaya V or Kertawijaya or Bhre Kertabhumi or Raden Alit . [his father] →
Brawijaya IV or Pandanalas . [his father] →
Brawijaya III or Purwawisesa . [his father] →
Brawijaya II or Rajasawardhana . [his father] →
Brawijaya I Kertawijaya or Bhre Tumapel III . [his father] →
Kusumawardhani . [his mother] → Hayam Wuruk . [her father] →
Tribhuwana Tungga Dewi / Dyah Gitarja . [his mother] →
Rakean Wijaya or Raden Wijaya / Prabu Kertarajasa Jayawardana [her father]

Hubungan Kekerabatan Keluarga Prabu Siliwangi-Pakuan Pajajaran, dengan Raden Wijaya-Majapahit dan Keturunannya yang ada sekarang: Ahmad Yanuana Samantho


Prabu Siliwangi . Prabu Siliwangi . is your 8th cousin 16 times removed.  
You    R.R. Lieke Sri Suryaningsih your mother Rd. Hussein Martoseputro her father Martoseputro his father Ngabehi Martodirjo his father   Njai Ageng Semali in Pabelan his mother    Kjai Sastrodinonggo in Semali  her father    R Arjo GondoKoesoemo in Semali Muntilan  his father Pangeran Poerbojo in Semali Muntilan his father    Kanjeng Panembahan Senopati or Raden Sutawijaya or Sultan Mataram I (1584-1601) d. 1601 .  his father Ki Ageng Pemanahan (Kyai Gede Mataram) d. 1584 . his father Ki Ageng Enis Kjai Ageng Selo III his father Ki Ageng Sela his father Kjai Getas Pendowo Rd Depok Kijai Ageng Selo I his father Rd Bondan Kedjawen / Rd Boendan Kedjawen / Rd Bundhan Kajawan / Lembu Peteng / Kiyai Ageng Tarub II . his father Brawijaya V or Kertawijaya or Bhre Kertabhumi or Raden Alit . his father  Brawijaya IV or Pandanalas . his father    Brawijaya III or Purwawisesa . his father   Brawijaya II or Rajasawardhana . his father Brawijaya I Kertawijaya or Bhre Tumapel III . his father Kusumawardhani . his mother Hayam Wuruk . her father   Tribhuwana Tungga Dewi / Dyah Gitarja . his mother Rakean Wijaya or Raden Wijaya / Prabu Kertarajasa Jayawardana her father     RAKEAN JAYADARMA . his father  Prabu Ragasuci Sang Mokténg Taman . his brother    Prabu Citraganda Sang Mokténg Tanjung . his son    Prabu Linggadewata . his son   Ratu Uma Lestari (Putri from Kawali) . his daughter    Prabu Ragamulya . her son    Mangkubumi Bunisora Suradipati his son Mayangsari . his daughter Prabu Dewa Niskala Ningrat Kancana . her son    Prabu Siliwangi . his son   Prabu Siliwangi .


Keluarga Dekat: Son of Prabu Dewa Niskala Ningrat Kancana . danPrameswari Niskala . Husband of Wife 1 of Prabu Siliwangi (NRA Mayang Sunda) .;Nyi Subang Larang .Nyi Kentring Manik Mayang Sunda .;Nyi Ambet Kasih .Dewi Siti Sambodja dan 6 lainnya Widower of Mother of Ratu Buhun . Father of Ratu BuhunPrabu Layakusumah .Prabu Liman Sonjaya .Kiayi Sunan Cipancar .Kiayi Sunan Cipicung .dan 18 lainnya Brother of Kamandaka .Banyakngampar .Ratu Ayu Kirana / Dyah Ayu Ratu Pamekas .Jayaningrat .Rd Kusumalaya Ajar Kutamanggu Panjalu . dan 2 lainnya
Ditambah oleh: Spatikarnawa Warmandewi Dewawarman VIII ., 12 Desember 2007
Dikelola oleh: Joyce Djaelani Gordon dan 7 lainnya
Tentang
  • Bahasa Inggris (aslinya)
Born circa 1463. Or Sri Baduga Maharadja, or Sri Paduka or most known as Prabu Siliwangi Ratu Pajajaran (his Sundanese title), or also called with the name Ratu Jayadewata (Hindu Balinese name), Tome Pires commented “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan keadilan; mereka adalah para lelaki sejati). His parents were, Prabu Raja Lingga Wastu and Dewa Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475 AD)  

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya, Bogor.

Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan.

Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”. (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya). Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam).

Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): “Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”. Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi.

Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya (“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah). Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana. Keterangan tetang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah sebagai berikut: “Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rombongan punah.

Akibat perang Bubat ini pula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang”. Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di Universitas Ohio. Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja): Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu
  1. “dasa” (pajak tenaga perorangan),
  2. “calagra” (pajak tenaga kolektif),
  3. “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan
  4. “pare dondang” (padi 1 gotongan).
Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”. Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. “Pare dondang” disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti “tempat tidur” persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut “dondang” (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, “pare dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih bersifat barang antaran. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti).

Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi). Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkannya untuk “rodi”. 

Bentuk dasa diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau “Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi “lakon gawe” dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. 

Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5. 

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak. Gelar “Sripaduka” ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandang oleh 3 tokoh :
  1. Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARAN SANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNAN RUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi anak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /Ratu Galuh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali Nagari Hujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh – menjadi wali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayah dari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal /Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran Boros Ngora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada “PERANG BUBAT” dalam pertempuran yang tidak “FAIR” atas “REKAYASA” Gajah Mada / Guan Eng Cu dan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan cara dibokong dan di keroyok !!!
  2. Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGAN SANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KI AGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG / LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYA TUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWA ANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURU NISKALAWASTU DI JAMPANG
  3. MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANA SANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.
Rakeyan Mundinglaya SILIWANGI I Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata / Ki Ageng Pamanah Rasa / Sunan Pagulingan / Kebo Kenongo / Rd. Kumetir / Layang Kumetir Rakeyan Mundingwangi SILIWANGI II Rd.Salalangu Layakusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Dewata Prana Sang Prabu Guru Ratu Dewata / Kebo Anabrang ? Rakeyan Mundingsari /Mundingkawati SILIWANGI III Tumenggung Cakrabuana Wangsa Gopa Prana Sang Prabu Walangsungsang Dalem Martasinga Syekh Rachmat Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati I Ki Ageng Pamanahan / Kebo Mundaran ? Perundingan Syarif Hidayatullah Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah. Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya. Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569).

Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi. Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang. 

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar. Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. 

Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan. Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan. 

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2 Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)] Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). 

Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam. 

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran]. 

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut. Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. 

Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)]. Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu : Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi). Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa). 

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon. Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d’Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak. 

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya — Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara — diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam). Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. 

Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

PROPHECY OF SILIWANGI KING PRIOR TO ASCENDANCY

Uga Wangsit Siliwangi Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi dari bahasa Sunda. http://nurahmad.wordpress.com/wasiat-nusantara/ 

Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang : “Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.” Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke Selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke Utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke Timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat! Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi! Kalian yang di sebelah Barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang! Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah! Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. 

Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara. 

Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi. Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan. Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. 

Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah! Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. 

Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi. Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. 

Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang. Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran. Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. 

Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger. 

Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan. Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. 

Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan. Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! 

Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa. Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. 
Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? 
Darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!

 ——————– 
(Jayadewata, Manahrasa, Pamanahrasa, Prabu Guru Dewataprana, Prabu Purana, Prabu Sri Baduga Maharadja Pajajaran, Ratu Haji Di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata). Raja Pakuan Pajajaran 1482-1521. Penyatuan Kerajaan Galuh dan Sunda-Pakuan Pajajaran (Bogor). 

Notes on May 18, 2009: His name in Joyce FG: 
King of Siliwangi Prabu Siliwangi, link to his other profile:  
================================ 
Note on 6 Nov 2010/em: Link to his other profile in Joyce Tree: 
Also link to his other profile in Joyce Tree: 

Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. 

Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran. Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi. 

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja): Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”. 

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”. Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. “Pare dondang” disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti “tempat tidur” persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut “dondang” (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. 

Oleh karena itu, “pare dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih bersifat barang antaran. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi). Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk “rodi”. 

Bentuk dasa diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau “Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini. Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi “lakon gawe” dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. 

Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5. tampilkan lebih sedikit Lihat Semua Keluarga Dekat


(Source)

Terkait Berita: