Prabu Siliwangi . Prabu Siliwangi . is your 8th cousin 16 times removed.
You → R.R. Lieke Sri Suryaningsih your mother → Rd. Hussein Martoseputro her father → Martoseputro his father → Ngabehi Martodirjo his father → Njai Ageng Semali in Pabelan his mother → Kjai Sastrodinonggo in Semali her father → R Arjo GondoKoesoemo in Semali Muntilan his father → Pangeran Poerbojo in Semali Muntilan his father → Kanjeng Panembahan Senopati or Raden Sutawijaya or Sultan Mataram I (1584-1601) d. 1601 . his father → Ki Ageng Pemanahan (Kyai Gede Mataram) d. 1584 . his father → Ki Ageng Enis Kjai Ageng Selo III his father → Ki Ageng Sela his father → Kjai Getas Pendowo Rd Depok Kijai Ageng Selo I his father → Rd Bondan Kedjawen / Rd Boendan Kedjawen / Rd Bundhan Kajawan / Lembu Peteng / Kiyai Ageng Tarub II . his father → Brawijaya V or Kertawijaya or Bhre Kertabhumi or Raden Alit . his father → Brawijaya IV or Pandanalas . his father → Brawijaya III or Purwawisesa . his father → Brawijaya II or Rajasawardhana . his father → Brawijaya I Kertawijaya or Bhre Tumapel III . his father → Kusumawardhani . his mother → Hayam Wuruk . her father → Tribhuwana Tungga Dewi / Dyah Gitarja . his mother → Rakean Wijaya or Raden Wijaya / Prabu Kertarajasa Jayawardana her father → RAKEAN JAYADARMA . his father → Prabu Ragasuci Sang Mokténg Taman . his brother → Prabu Citraganda Sang Mokténg Tanjung . his son → Prabu Linggadewata . his son → Ratu Uma Lestari (Putri from Kawali) . his daughter → Prabu Ragamulya . her son → Mangkubumi Bunisora Suradipati his son → Mayangsari . his daughter → Prabu Dewa Niskala Ningrat Kancana . her son → Prabu Siliwangi . his son Prabu Siliwangi .
Keluarga Dekat: | Son of Prabu Dewa Niskala Ningrat Kancana . danPrameswari Niskala . Husband of Wife 1 of Prabu Siliwangi (NRA Mayang Sunda) .;Nyi Subang Larang .; Nyi Kentring Manik Mayang Sunda .;Nyi Ambet Kasih .; Dewi Siti Sambodja dan 6 lainnya Widower of Mother of Ratu Buhun . Father of Ratu Buhun; Prabu Layakusumah .; Prabu Liman Sonjaya .; Kiayi Sunan Cipancar .; Kiayi Sunan Cipicung .dan 18 lainnya Brother of Kamandaka .; Banyakngampar .; Ratu Ayu Kirana / Dyah Ayu Ratu Pamekas .; Jayaningrat .; Rd Kusumalaya Ajar Kutamanggu Panjalu . dan 2 lainnya |
Ditambah oleh: | Spatikarnawa Warmandewi Dewawarman VIII ., 12 Desember 2007 |
Dikelola oleh: | Joyce Djaelani Gordon dan 7 lainnya |
- Bahasa Inggris (aslinya)
Born circa 1463. Or Sri Baduga Maharadja,
or Sri Paduka or most known as Prabu Siliwangi Ratu Pajajaran (his
Sundanese title), or also called with the name Ratu Jayadewata (Hindu
Balinese name), Tome Pires commented “The Kingdom of Sunda is justly
governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan keadilan;
mereka adalah para lelaki sejati). His parents were, Prabu Raja Lingga
Wastu and Dewa Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475 AD)
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang
dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad
ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa
pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan)
sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian
diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi
yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan
Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Ia disebut secara
anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di
Rancamaya, Bogor.
Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan
Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun
(1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua
kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari
ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru
Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari
mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa
Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Jadi sekali lagi dan untuk terakhir
kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan
iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat
pada Pindahnya Ratu Pajajaran Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal
dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak
630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri
Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya
berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan.
Peristiwa itu dari segi sejarah berarti
saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu
Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga
Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut
gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan
Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.
Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia
menulis: “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh
ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka
dudu ngaran swaraga nira”. (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon
serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja
Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya). Waktu mudanya Sri
Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan
satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu
bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang
beragama Islam).
Dalam berbagai hal, orang sejamannya
teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga
Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. Tentang hal itu,
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang
Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih
yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): “Di
medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu
Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau
negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi
pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang
jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua
pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran
dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat.
Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara
atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja
membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan,
angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu
Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya
lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan
orang Sunda”. Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan
sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi.
Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab
penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah
Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya
(“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga,
yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah). Nah,
orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu
Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam
Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah
“seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?
Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan
ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana.
Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri
Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan
Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana
sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir
Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti)
Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu
Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga
babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari
ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu
Kancana. Keterangan tetang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah
sebagai berikut: “Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda
itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih
Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya
antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan
persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja
Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan
Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang
ikut rombongan punah.
Akibat perang Bubat ini pula, maka
hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi
renggang”. Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan
Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat
antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih
Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja
(sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di
Universitas Ohio. Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial Tindakan
pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja
adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan
melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di
Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti
peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya
saja): Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu
Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada
Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di
Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya.
Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan
“pare dongdang”. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar
jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan
membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan
peraturan dewa. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di
Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4
macam pajak, yaitu
- “dasa” (pajak tenaga perorangan),
- “calagra” (pajak tenaga kolektif),
- “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan
- “pare dondang” (padi 1 gotongan).
Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut
adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”. Dalam koropak 406
disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut)
harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1
timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan
tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat
secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. “Pare dondang”
disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil
cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh
terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian
ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau
penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti “tempat
tidur” persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk
memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau
bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut “dondang”
(berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada
selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, “pare dongdang” atau
“penggeres reuma” ini lebih bersifat barang antaran. Pajak yang
benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di
Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti).
Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk
kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara
saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang
kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi). Dalam
kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada
wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara.
Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan.
Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini
memanfaatkannya untuk “rodi”.
Bentuk dasa diubah menjadi
“Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar).
Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau
“Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum,
seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis
pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan
dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang
keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga
ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah
menjadi “lakon gawe” dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat
pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya.
Dari sinilah orang
Sunda mempunyai peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar
untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap
berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah
bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para
pembesar setempat. Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk
kepentingan umum atas perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah
gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak
dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan
sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri
Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya.
Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas
“kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai
“lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak. Gelar
“Sripaduka” ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandang oleh 3
tokoh :
- Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARAN SANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNAN RUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi anak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /Ratu Galuh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali Nagari Hujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh – menjadi wali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayah dari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal /Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran Boros Ngora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada “PERANG BUBAT” dalam pertempuran yang tidak “FAIR” atas “REKAYASA” Gajah Mada / Guan Eng Cu dan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan cara dibokong dan di keroyok !!!
- Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGAN SANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KI AGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG / LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYA TUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWA ANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURU NISKALAWASTU DI JAMPANG
- MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANA SANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.
Rakeyan Mundinglaya SILIWANGI I Rd.
Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah Sri Paduka Maharaja Prabu
Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata / Ki Ageng Pamanah Rasa / Sunan
Pagulingan / Kebo Kenongo / Rd. Kumetir / Layang Kumetir Rakeyan
Mundingwangi SILIWANGI II Rd.Salalangu Layakusumah Sri Paduka Maharaja
Prabu Guru Dewata Prana Sang Prabu Guru Ratu Dewata / Kebo Anabrang ?
Rakeyan Mundingsari /Mundingkawati SILIWANGI III Tumenggung Cakrabuana
Wangsa Gopa Prana Sang Prabu Walangsungsang Dalem Martasinga Syekh
Rachmat Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati I Ki Ageng Pamanahan /
Kebo Mundaran ? Perundingan Syarif Hidayatullah Tahun 1527 bulan Juni
Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang
telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi
Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara
resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi
Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah. Perebutan
pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser
kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak
wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu
persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke
dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya. Satu
hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam
riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat
dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569).
Diriwayatkan dalam perundingan terakhir
dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan
dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau
Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang
ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar
dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk
diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam
perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini,
sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1.
Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang
merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2.
Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus
menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan
dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah
ke pemukiman Baduy Luar. Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini
adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak
opsi pertama dan ke 2.
Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk
agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap
bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan. Sejarah membuktikan hingga
penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan
Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan
sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi
menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang
Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat
telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya
penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun
sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Pustaka Nagara Kretabhumi
parwa I sarga 2 Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian
terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan
pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan
Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia
dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka
di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)] Ketika itu Sri Baduga baru
saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa).
Kemudian
diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di
Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan
Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang
dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan
Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan
Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya
Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan
kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang
Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita
(pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah
warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan
daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah
Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum
menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana.
Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri
Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh
penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada
awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan
perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat
angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur).
[Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki
kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak
40 ekor.
Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton
dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya
(saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan
dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat
pasangan yang dijodohkan, yaitu : Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu
Kirana (Purnamasidi). Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor. Pangeran
Jayakelana dengan Ratu Pembayun. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu
Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul
Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima
angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di
Cirebon. Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri
Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa
menghubungi Panglima Portugis Alfonso d’Albuquerque di Malaka (ketika
itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai).
Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap
menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh
karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang
ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri
Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab,
bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah
seorang muslimah dan ketiga anaknya — Walangsungsang alias Cakrabuana,
Lara Santang, dan Raja Sangara — diizinkan sejak kecil mengikuti agama
ibunya (Islam). Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan
darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam
negerinya.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman
kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan
jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly
governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil;
mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan
Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah
merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan
hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000
kapal.
PROPHECY OF SILIWANGI KING PRIOR TO ASCENDANCY
Uga Wangsit Siliwangi Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi dari bahasa Sunda. http://nurahmad.wordpress.com/wasiat-nusantara/
Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada
waktu beliau sebelum menghilang : “Perjalanan kita hanya sampai disini
hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh
membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan
miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar
besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi
Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang
berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab
untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke
Selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat
memisahkan diri ke Utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang
berkuasa, cepat memisahkan diri ke Timur! Yang tidak ingin ikut
siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat! Dengarkan! Kalian yang di
timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan
kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi
kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena.
Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi! Kalian yang di
sebelah Barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan
kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara
sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik
hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun
terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan
kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai
berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat!
Jangan menoleh kebelakang! Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota
takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu
diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun
yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti
akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan.
Waspadalah! Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada
waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang
perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya.
Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan
terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik
hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang
harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah
lakunya.
Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri
dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata.
Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan
jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti
yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang
mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya
menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang
sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.
Suatu saat
nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur
dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus
menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan
sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai,
pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa
yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau
ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia
terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui
banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman
yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap
waktu akan berulang itu dan itu lagi. Dengarkan! yang saat ini memusuhi
kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal
di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di
situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang
digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota.
Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan
keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa
sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan. Semenjak
itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada
yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi.
Dari yang hilang
dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar
sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang
tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh
negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang
salah arah! Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule
kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi
tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah
habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh
penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit.
Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat
digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang
mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan.
Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam
sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah
berganti cerita lagi. Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar
gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini?
Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di
sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan.
Banyak
yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang
jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan
caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah
menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang
bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin
kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena
dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada
yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang. Lalu berdiri
lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan
penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata.
Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak
itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama,
setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang
terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara.
Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran. Lalu
akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak
boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat
pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin.
Memang
penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala
penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang
sudah susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu
bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya.
Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil
menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya
menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti
aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian
semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang
berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka,
terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Pada saat itu
datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil
menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan
pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya
menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul
dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan
ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan
mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.
Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan
Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama
ini.
Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau
bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan
hewan. Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah
kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat
datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk
perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak
gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah
semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu
menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh
pemuda gendut!
Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah
punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada
diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa. Yang bertengkar
lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong,
sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu
menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu
mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya
setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua
mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama
pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang
ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati.
Dengarkan! jaman akan
berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh
tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil,
orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa
jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu
siapa?
Darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu.
Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan
menoleh kebelakang!
——————–
(Jayadewata, Manahrasa, Pamanahrasa, Prabu
Guru Dewataprana, Prabu Purana, Prabu Sri Baduga Maharadja Pajajaran,
Ratu Haji Di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata). Raja Pakuan
Pajajaran 1482-1521. Penyatuan Kerajaan Galuh dan Sunda-Pakuan Pajajaran
(Bogor).
Notes on May 18, 2009: His name in Joyce FG:
King of Siliwangi Prabu Siliwangi, link to his other profile:
================================
Note on 6 Nov 2010/em: Link to his other profile in Joyce Tree:
Also link to his other profile in Joyce Tree:
Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja
(Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa
inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis
diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama
ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang
kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima
Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini,
ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali
lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa
Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah
tempat dari timur ke barat.
Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga
kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran. Di Jawa Barat Sri
Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi
sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis
tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam
berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan.
Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai
kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu
Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama.
orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka
juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia
dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa
Siliwangi bukan nama pribadi.
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai
kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah
mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan
Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam
berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang
buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari
Prabu Wangi. Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah
resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu
Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia
masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada
salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai
berikut (artinya saja): Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi
Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana,
maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus
menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada
yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas
timbang”, dan “pare dongdang”.
Maka diperintahkan kepada para petugas
muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti
dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas
mengamalkan peraturan dewa. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan”
(ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini
dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan),
“calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan
“pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak
tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”. Dalam
koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang
Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka =
10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai
upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan
kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
“Pare dondang” disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih
atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi
yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan
kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak
raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti
“tempat tidur” persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang
untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali
atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut
“dondang” (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang
antaran pada selamatan atau arak-arakan.
Oleh karena itu, “pare
dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan
“calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti).
Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya :
menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di
ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di
peruntukkan bagi upacara resmi). Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani
bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah
prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini
terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak
mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk “rodi”.
Bentuk dasa
diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau
pembesar). Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau
“Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum,
seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis
pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan
dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang
keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga
ini. Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi “lakon gawe” dan
berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk
mereka yang melalaikannya.
Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa
“puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau
dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada
kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat
kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi
“gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas
perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang
tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga.
Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa
Tarumanagara dalam abad ke-5. tampilkan lebih sedikit Lihat Semua Keluarga Dekat
Menampilkan 12 dari 45 orang <pribadi> spouse <pribadi> child Wife for other Cianjur and Galuh… wife Prabu Mundingsari Ageung son Wife for other Wahid ‘s path . wife Prabu Liman Sanjaya(Mengger Limb… son Prabu Brajadilewa . son Prabu Hande Limansenjaya . son Nyi Puteri Inten Dewata (Wahib’s… wife Sunan Gordah son <pribadi> child Wife (Firman’s path) . wife
(Source)