Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Wilayah. Show all posts
Showing posts with label Wilayah. Show all posts

WILAYAH AL-FAQIH


MAKNA WILAYAH Al-FAQIH[1]
Wilayah dalam bahasa Arab berarti kedaulatan, kekuasaan, perwalian dan pengawasan.[2] Dalam terminologi syiah, kata ini menjadi istilah kunci perumusan politik Islam, yang mengindikasikan kepemimpinan universal. Adapun faqih, secara etimologis, dari bahasa Arab yang bermakna “seseorang yang baik pemahamannya”. Berbeda dengan fahim, arif, atau alim dan kata serupa lainnya, —yang sifat katanya, cenderung menyatakan pengalaman, ciri khas, dan selamanya tidak lepas dari sebuah kualitas—maka faqih telah menjadi term khusus yang berkaitan dengan ilmu yurisprudensi Islam (fikih), artinya, seorang faqih adalah seorang yang ahli dalam ilmu fikih, mirip dengan hakim yang berarti seorang yang ahli hukum dan tabib yang berarti ahli dalam pengobatan.

Oleh karena itu pada kajian ini, kata faqih tidaklah sembarang pengetahuan yang diperoleh seseorang atau ahli pada umumnya, tetapi tertuju pada kelompok ahli yang khusus, yang mengambil spesialisasi dalam ilmu fikih. Jadi faqih adalah seorang mujtahid yang berhak mengeluarkan hukum Islam dan mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan peraturan-peraturan Islam yang sah dari sumber-sumber yang asli.[3]

Dengan demikian wilayatul faqih secara sederhana berarti sebuah sistem pemerintahan yang kepemimpinannya di bawah kekuasaan seorang faqih yang adil dan berkompeten dalam urusan agama dan dunia atas seluruh kaum muslimin di ‘Negeri Islam’ yang bersumber dari kekuasaan dan kedaulatan absolut Allah atas umat manusia dan alam semesta. Dalam bentuk aplikatifnya di Iran pemimpin tertinggi wilayatul faqih ini disebut juga dengan rahbar dan wali al-amr.

Konsepsi wilayah faqih ini, seperti dijelaskan sebelumnya, merupakan kelanjutan dari doktrin kenabian dan imamah, yang mana secara periodik dalam sejarah syiah, kepemimpinan universal berdasarkan mandat ilahi terbagi pada empat periode, yaitu periode nabi, periode imam, periode kegaiban sughro (gaib kecil), dan periode kegaiban kubro (gaib besar/sempurna).

Selama imam ke-12 mengalami gaib kubra (kegaiban panjang), hingga ia muncul (zuhur) kembali pada akhir zaman, maka para ulama (faqih) dinobatkan menjadi penerus rangkaian kepemimpinan umat ini sebagai wakil imam (naib al-imam). Meskipun begitu, sebagaimana para imam mengambil alih seluruh peran kepemimpinan umat dari Nabi Saw, maka para faqih juga memiliki hak dan peran yang sama dalam hal ini. Tepatnya, mereka mewakili pelaksanaan peran ini dari imam, yakni imam terakhir (Muhammad al-Mahdi) yang sedang gaib. Bahkan dipercayai bahwa para ulama seperti ini mendapatkan bimbingan imam yang sedang gaib tersebut. Hanya bedanya, jika para imam mendapatkan kedudukannya dari Allah, sehingga dengan demikian maksum (terpelihara dari kesalahan), para ulama (faqih) ini memperoleh kedudukannya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya. Dan, tidak seperti Nabi dan imam, mereka tidaklah maksum. Dalam bentuk formalnya, di Republik Islam Iran, faqih yang berkedudukan sebagai Wali Faqih dipilih oleh suatu Dewan Ahli yang beranggotakan para ulama terkemuka, yang memperoleh jabatannya itu lewat pemilu demokratis seperti akan diuraikan berikutnya.

SEJARAH GAGASAN WILAYAH AL-FAQIH.

Meskipun dipopulerkan bahkan secara praktis baru berhasil dilaksanakan oleh Imam Khumaini, tetapi pemikiran mengenai konsepsi wilayah al-faqih bukanlah hal baru dalam tata politik syiah. Setidaknya ia telah menjadi kajian oleh tokoh-tokoh syiah klasik seperti Syeikh Thusi, Sayid Murtadha, Bahrul ulum, Syeikh Mufid, Muhaqqiq al-Hilli, Muhaqqiq Karaki, dan lain-lainnya.

Syeikh Mufid (w 1022 M) yang merupakan salah seorang ulama besar syiah telah mengajukan gagasan bahwa pemimpin yang ditunjuk oleh Tuhan merupakan sosok yang diakui sebagai pemegang otoritas untuk menyuruh atau melarang melukai dan membunuh dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar. Pelaksanaan perintah itu dilakukan oleh para Imam-imam maksum yang terpilih, atau oleh para penguasa yang ditunjuk oleh imam maksum, atau oleh para fuqaha syiah yang telah ditunjuk oleh imam-imam maksum sebagai para pemimpin masyarakat Islam sekaligus pelaksana syariat Islam.[4]

Penjelasan Syeikh Mufid bahwa para imam maksum telah memberi kepercayaan pembuatan keputusan tentang pelaksanaan hukum-hukum Islam kepada para fakih syiah mereka,[5] telah menegaskan tentang posisi fakih yang menggantikan posisi imam untuk mengimplementasikan hukum-hukum ilahi menjadi petunjuk jelas akan konsepsi wilayah al-faqih. Lebih jauh ia mengungkapkan,´
”(Penerapan hukum-hukum Islam) secara nyata mendukung seseorang (fakih) yag telah ditunjuk pemegang kekuasaan atas tugas tersebut, atau telah ditunjuk olehnya sebagai orang yang bertanggung jawab atas sejumlah utusan pokoh yang dimilikinya. Maka, ia harus melaksanakan keputusan hukum Islam, menerapkan perintah-perintah hukum agama, ber-amar ma’ruf nahi munkar, serta berjihad melawan kaum kafir.[6]

Di bawah ini akan dikutip beberapa penegasan ulama-ulama syiah dari yang klasik hingga sekarang untuk mengetahui kontinuitas historis konsepsi wilayah al-faqih:[7]
  1. Muhaqqia al-Hilli (w.1277) menyebutkan, “Merupakan sebuah perintah bahwa ‘bagian imam’ (hissat al-imam) dibagikan secara adil kepada mereka yang layak menerimanya oleh orang yang mempunyai otoritas disebabkan kedudukannya sebagai wakil imam (niyabah); sebagaimana dirinya juga bertanggung jawab untuk menunaikan berbagai kewajiban (agama) semasa kegaiban imam maksum.”
  2. Zainuddin bin Ali Amili alias Syahid Tsani (w. 1559 M) menerangkan, “Orang yang memiliki otoritas karena pendelegasian dari imam adalah fakih adil syiah yang memenuhi seluruh persyaratan untuk mengeluarkan fatwa-fatwa. Sebab, orang seperti ini adalah wakil dan yang ditunjuk Imam Zaman.”
  3. Muhaqqiq Karaki (w. 1561) mengungkapkan, “…Fakih yang memenuhi syarat penuh (faqih jami’ al-syarait), yang disebut mujtahid, adalah wakil atau deputi (naib) imam-imam maksum as dalam semua urusan berdasarkan konsep perwakilan (niyabah).
  4. Jawad bin Muhammad Husaini Amili (w. 1811) menegaskan, “Fakih ditunjuk Imam Zaman dan ini didukung argument (akal), ijma’, riwayat-riwayat, dan hadits-hadits.”
  5. Mulla Ahmad Naraqi (w.1829) lebih tegas lagi menyatakan bahwa fakih mempunyai wilayah (otoritas) atas dua permasalahan. Pertama, fakih mempunyai wilayah seperti dimiliki nabi dan para imam maksum sebagai pemimpin atas masyarakat dan benteng pertahanan Islam. Kedua, fakih mempunyai wilayah atas apa pun yang berhubungan dengan masalah spiritual dan keduniawian masyarakat yang perlu diselesaikan.
  6. Syeikh Muhammad Hasan Najafi (w. 1849) menulis, “Saya percaya bahwa Allah telah menjadikan kepatuhan dan kesetiaan pada para fukaha ‘pemegang otoritas’ (ulil amri) sebagai kewajiban kita; bukti-bukti mengenai pemerintahan fakih, khususnya hadis dari imam Mahdi membenarkan hal ini.”
  7. Bahrul Ulum (w. 1908) membicarakan masalah wilayah al-faqih dengan mengajukan beragam dalil, diantaranya ia berkata , “..untuk memelihara masyarakat Islam, Imam harus mengangkat seorang pengganti atau wakil yang tak lain kecuali seorang fakih yang memenuhi persyaratan lengkap.”
  8. Ayatullah Burujerdi (w. 1962) mengungkapkan bahwa pemerintahan fakih dalam segala urusan merupakan aksioma. Ia menulis, “…untuk menyimpulkan, berkenaan dengan apa yang dimengerti, tidak ada keberatan yang dapat dimunculkan untuk menolak kenyataan bahwa fakih adil diangkat untuk melihat masalah-masalah penting yang mempengaruhi masyarakat.”
  9. Ayatullah Syeikh Murtadha Ha’iri menganggap bahwa perintah suci dari Imam Gaib sebagai salah satu bukti tentang wilayah al-faqih, “Fakih adalah pemilik kewenangan yang ditunjuk—hujjah—imam. Menjadi hujjah yang diangkat imam, secara umum, berarti bahwa fakih memiliki kekuasaan dan menjadi rujukan dalam hal apa saja yang menjadi perhatian imam.”
  10. Imam Khumaini (w. 1989) yang dianggap sebagai peletak sistematis wilayah al-faqih dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengimplementasikan hal tersebut. Baginya, para fakih menerima wilayah absolut yang memegang semua tanggung jawab dan kakuasaan Imam Zaman (Imam Mahdi). Untuk itu Imam Khumaini menulis, “Imam maksum telah mempercayakan atas apa pun kepada para fukaha di mana mereka memiliki kewenangan (wilayah)…dan bahwa fakih menerima semua kekuasaan dari Nabi saaw dan Imam ke-12 dalam aturan dan pemerintahan.”
Dengan keterangan ini, jelaslah bahwa konsepsi wilayah al-faqih bukanlah gagasan asing yang tidak memiliki akar pemikiran dalam sejarah Islam. Bahkan dalam bentuk praktisnya, para fukaha ini telah memainkan peran penting dalam setiap pemerintahan baik secara langsung maupun tidak seperti pada masa kekuasaan Dinasti Safawid, Dinasti Buwaihi, Dinasti Qajar, Dinasti Pahlevi, dan tentunya secara factual pada masa Republik islam Iran pasca Revolusi Islam.  Imam khumaini sendiri mengakui bahwa wilayah al-faqih bukanlah hal yang baru. Beliau menulis :
“Sebagaiman saya sebutkan sebelumnya, tema wilayah al-faqih bukanlah hal yang baru. Bahkan masalah ini telah dibahas sejak dulu…saya hanya membahasnya lebih panjang berkenaan dengan cabang-cabang pemerintahan yang berbeda, untuk memberikan penjelasan yang lebih banyak tentang masalah ini.”[8]

Jadi, merujuk pada hal ini, maka Imam Khumaini sebenarnya mengumandangkan kembali hal-hal yang telah dikaji, diulas dan diyakini oleh para ulama dan masyarakat syiah. Teriakan Imam Khumaini ini, ternyata berhasil menyadarkan kevakuman yang tejadi untuk mengalirkan semangat baru bagi usaha membentuk pemerintahan ilahiah di bumi Allah yang diciptakan untuk diwarisi oleh hamba-hamba yang shalih.
 
DASAR WILAYAH AL-FAQIH.
 
Telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagaimana dalam mazhab Ahl al-Sunnah, dalam pemikiran syiah, otoritas dan kedaulatan hanyalah hak preogatif Allah (Q.S. al-A‘raf: 54; Ali ‘Imran: 154; Yusuf: 40). Baru kemudin Allah mendelegasikan haknya tersebut kepada Nabi Muhammad Saw (Q. S. al-Nisa‘: 80; al-Ahzab: 36). Setelah berakhirnya nubuwwah, hak-hak tersebut beralih kepada ulu al-amri yang menurut kepercayaan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah para Imam yang berjumlah dua belas orang. Imam mendapatkan haknya sebagai penerus Nabi Muhammad Saw, yang tidak berstatus Nabi, dan tidak pula membawa syariat, namun sebagai penjelas resmi syariat Nabi Muhammad saaw langsung dari Allah, lewat Nabi Saw.  Mereka disebut wali al-naìb. 

Prinsipnya, karena sifat luthf (kasih sayang) dan hikmah (kebijaksanaa)-Nya, Allah tak akan membiarkan suatu umat tanpa bimbingan.[9] Dengan kata lain, Allah selalu mengirim utusan pada setiap umat (Q.S. al-Nahl: 36). Jadi, kesinambungan kepemimpinan sejak Nabi, Imam, hingga Faqih adalah suatu keniscayaan keagamaaan. Di bawah ini, adalah hadis yang masyhur, bersumber dari Imam Ja‘far al-Shadiq, Imam Keenam mazhab syiah, “Menyangkal wewenang seorang mujtahid (faqih) berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang Imam berarti menentang wewenang Nabi Saw. Menentang wewenang Nabi Saw, berarti menentang wewenang Allah. Menentang wewenang Allah, sama dengan syirik”. [10]
 
Hadis lain dari Imam Ja`far al-Shadiq menyebutkan: “Terlalu besar kekuasaan Allah sehingga (tak mungkin) Dia meninggalkan dunia dan para penghuninya tanpa seorang pemimpin dan pembimbing yang menegakkan keadilan.” Imam Ja’far Shadiq ditanya, “Mungkinkah Allah membiarkan suatu masyarakat tanpa pemimpin?” Dia menjawab, “Tak mungkin.” [11]

Kemudian Muhammad Baqir Sadr megemukakan, legitimasi atas otoritas para Faqih ini dapat dilihat pada surah al-maidah ayat 44 :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang  menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi (nabiyyun] yang berserah diri kepada Allah, oleh orang Alim mereka [Rabbaniyun], dan pendeta-pendeta mereka [ahbar], disebabkan mereka diperintahkan memlihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya (syuhadaa).” (Q.S. al-Maidah: 44)

Interpretasi Sadr  atas ayat itu menjelaskan karakterisasi yang menyentuh baik penafsiran konstitusional politis maupun suatu pemahaman berkarakter syiah. Menurutnya, ada tiga kategori dari ayat ini, yaitu nabiyyun, rabbaniyyun dan ahbar. Kelompok ahbar adalah ulama dari syariat, dan rabbaniyyun membentuk sebuah lapisan tengah antara kelompok nabi dan `alim, inilah level dari para Imam. Karena itu adalah mungkin untuk mengatakan bahwa garis dari syahadah (pernyataan kesaksian) dihadirkan oleh tiga mandataris yakni para Nabi (anbiya`), para Imam sebagai penerus para nabi sesuai kehendak Allah (rabbani), dan marja’`iyyah, yang dipertimbangkan sebagai kesinambungan (rasyid) dari Nabi dan Imam dalam garis kelompok syahadah.[12]
 
Pada interpretasi ayat Alquran ini, Baqir Sadr telah mengekstraksi suatu skema institusional syiah murni. Pertama, ia menghapus referensi paten Yudais dengan mengkategorikan Taurat di bawah klasifikasi “buku ketuhanan”. Kemudian, dengan mengaJukan kelompok rabbaniyun pada kedua belas Imam Ja`fari, Sadr bagaikan telah melingkarkan sebuah cincin syiah yang kuat pada interpretasinya. Para ahbar, diterjemahkan sebagai ahli hukum (faqih), dimaksudkan untuk mengartikan marja’`iyah syiah—yang bagi Shadr menetapkan badan saksi terakhir dalam garis syahadah—yang dipercayakan untuk melindungi Kitab Suci setelah Nabi Muhammad dan Dua Belas imam. Dibebani dengan suatu implikasi tanggung jawab publik, syahadah menganugerahkan pada marja’`iyah tugas untuk menjaga Republik Islam.[13]

Tabathabai juga telah memberi penafsiran ayat ini dengan sangat menarik. Ia menyatakan bahwa dari ayat ini, dipastikan terdapat satu tingkat (manzilah) di antara lapisan anbiya` dan ahbar, yang merupakan tingkat para Imam. Dan kombinasi antara kenabian serta imamah dalam satu kelompok tidak merintangi mereka untuk terpisah satu sama lain.

Sebuah  pemisahan formal diperkenalkan di antara tiga kategori; golongan para nabi, golongan imam-imam dan golongan ulama. Imam Ali berkata, ‘para Imam berada di bawah para Nabi’, bermakna bahwa mereka terletak satu derajat di bawah tingkat para nabi mengacu pada gradasi ayat tersebut, dengan cara yang sama sebagaimana para ahbar, yang tidak lain adalah para ulama, berada di bawah para imam (rabbaniyun).[14]
 
Dalam konsep Wilayah al-Faqih, menurut Ahmad Mousawi, dan Jalaluddin Rakhmat, kepemimpinan didasarkan atas empat prinsip filosofis: pertama, Allah adalah Hakim Mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua, kepemimpinan manusia (qiyadah al-basyariyah) yang mewujudkan hakimiyah Allah di bumi ialah nubuwwah. Ketiga, garis imamah melanjutkan garis nubuwah dalam memimpin umat. Keempat, para faqih adalah khalifah para imam dan kepemimpinan umat dibebankan kepada mereka.[15]

Dengan pemikirannya yang khas, Muhammad Taqi Misbah yazdi, salah seorang anggota majma al-mudarrisin merumuskan dalil-dalil wilayah al-faqih dalam dua ketegori yaitu dalil-dalil akal (aqliyah) dan dalil-dalil wahyu (naqliyah). Secara rasional, pemerintahan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan individu dan masyarakat, dan dalam pemerintahan jelas dibutuhkan adanya pemimpin. Pemimpin tersebut, selama kegaiban Imam Mahdi as, diberikan kepada para fakih yang memahami hukum Islam dan persoalan masyarakat. Hal ini sesuai dengan mandat Imam Mahdi sendiri yang bersabda, “Atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat, maka kembalikanlah kepada para perawi hadits kami, karena sesungguhnya mereka adalah hujjahku atas kamu dan aku adalah hujjah Allah atas mereka.” [16]

Hal ini, merupakan dalil bahwa seseorang yang mendekati derajat kemaksuman harus menempati posisi imam maksum, dalam membimbing dan memimpin umat. Posisi ini hanya layak ditempati oleh orang yang memiliki tiga kompetensi, yakni pengetahuan mendalam tentang hukum dan peraturan dasar Islam (faqahah), memiliki kepribadian dan akhlak mulia yang mampu mengontrol ruh dan dirinya, untuk senantiasa mentaati Allah dan tidak akan secara sengaja atau tidak sengaja melanggar hukum Islam (takwa), dan mampu mengatur masyarakat serta memahami kondisinya (kafaah).[17]

Masih menurut Yazdi, dari sudut pandang Islam tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk Allah lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Maha Kuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak siapa pun dan apa pun hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak dengan hukum-hukumnya. Jelas bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan pernah mengizinkan siapa pun untuk menjalankan hukum tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum-hukumnya, atau tanpa jaminan kebenaran dari tindaknnya dan kepatuhannya pada hukum-hukum ketuhanan, atau tanpa ketakwaan, dan kualifikasi moral yang memadai.[18]

Interpretasi bahwa Allah pemegang kekuasaan Mutlak tampaknya berlaku bagi mayoritas ulama Islam, baik syi’ah maupun sunni yang menganggap Islam adalah agama dan kekuasaan (al-din wa al-daulah). Artinya, Islam meyakini bahwa kedaulatan hanya milik Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana-pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi.

Banyak ayat al-Quran yang bisa dijadikan dasar bagi politik Islam yang mengindikasikan tentang Allah pemilik kedaulatan mutlak, antara lain:

Katakanlah, `Wahai Tuhan Yang Mempunyai Kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Ali Imran: 26).

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Mahaperkasa atas sesuatu.” (Q.S. Ali Imran: 189).

“ Sesungguhnya Aku  hendak  menjadikan  seorang Khalifah di muka bumi.” (Q.S. al-Baqarah: 30).
“Sesungguhnya  Aku akan menjadikanmu Imam bagi  seluruh  manusia. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah : 124).

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah..” (QS. An-Nur : 55). 

Ayat-ayat al-Quran tersebut, di samping ayat-ayat yang lain, menegaskan bahwa Allah Swt adalah sumber segala kekuasaan. Ayat-ayat itu juga menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan mutlak, sehingga boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Artinya, meskipun seseorang telah mendapat restu Tuhan untuk menjadi pemimpin dan penguasa di bumi, tetapi tetap tidak diperbolehkan memaksakan kepemimpinannya tersebut tanpa persetujuan dan kesadaran masyarakat dalam mengimplementasikan sendiri kepemimpinan ilahiah tersebut.

Hanya saja, al-Quran juga menegaskan bahwa Allah sebagai pemilik kekuasaan mutlak menghendaki manusia agar mampu berperan sebagai wakil (khalifah)-Nya di bumi. Oleh karena itu, manusia dapat mengklaim dirinya mempunyai kekuasaan tak terbatas sepanjang digunakan hanya demi memenuhi kehendak-Nya.[19] Allah berfirman :

Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. al-An-am: 165).

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”(Q.S. Sad: 26).

Dengan konsep kekuasaan seperti ini, tidak ada lagi pertentangan antara kekuasaan Allah dan kebutuhan manusia akan adanya pemerintahan. Allah Swt tetap berkedudukan sebagai satu-satunya pemilik kekuasaan itu. Tetapi, uji coba kekuatan dan kekuasaan itu didelegasikan kepada Nabi Muhammad Saaw. atau khalifah Allah di bumi yang mendapat instruksi untuk menegakkan pemerintahan yang adil.[20] Bedanya, sunni menganggap kekuasaan didelegasikan kepada masyarakat untuk melanjutkan tugas kepemimpinan, sementara syiah memandang terdapat kontinuitas kepemimpinan yang diwariskan (imamah), dan setelah kegaiban imam kedua belas, pemilik otoritas kepemimpinan berlanjut kepada para Faqih yang dipilih oleh rakyat.

NEGARA DALAM PERSPEKTIF WILAYAH AL-FAQIH.

“Mengkaji pemerintahan Islam merupakan suatu kewajiban dalam agama. Pemerintahan Islam mengimplementasikan aturan Allah di muka bumi sekaligus sebagai sarana pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah Allah… Kajian tentang pemerintahan Islam menggunakan rujukan tersendiri dalam bidang kebudayaan yang secara mendasar dapat membangkitkan semangat sosial yang sangat luar biasa.”[21]

Sayid Muhammad Baqir Sadr memulai bukunya Intoduction to Islamic Political System dengan ungkapan di atas. Memang diantara yang menjadi permasalahan yang sangat krusial dari dahulu sampai sekarang—bahkan semakin hangat dan memuncak—serta dapat memancing debat dan kontroversi, baik dalam literatur Islam ataupun kajian politik dan dinamika budaya kekuasaan adalah “bagaimana membentuk suatu pemerintahan Islam yang dapat menata keharmonisan hubungan antara agama dan politik (negara)?

Persoalan pemerintahan Islam sebenarnya disepakati sebagai salah satu persoalan penting dalam Islam baik dari sisi akidah terlebih dalam studi fiqh. Dalam studi akidah (teologis), berdasarkan pada konsepsi tauhid dan an-nubuwah (Kenabian) sebagai ushuluddin (dasar agama) dalam Islam, jelas dipahami bahwa Tuhan adalah pemegang mutlak kekuasaan di dunia dan di akhirat, dan dengan izin-Nya pula, telah mendelegasikan wewenang kepada Nabi Muhammad saww sebagai mandataris-Nya. Maka setidaknya ada enam fungsi kenabian :
  1. Menerima syariat
  2. Menjelaskan syariat
  3. Mengamalkan syariat
  4. Menyebarkan syariat
  5. Memberi teladan dan membimbing umat
  6. Menjaga syariat dari kebatilan, penyelewengan dan kesalah pahaman.
Keenam fungsi kenabian tersebut mestilah diimplementasikannya sesuai kemampuan dan kondisi yang meliputinya. Akan tetapi, nabi, tidak saja pasrah mengikuti situasi dan jebakan kondisi, melainkan dengan kreatifitas dan inovasinya berjuang keras untuk membaktikan diri sepenuhnya dalam usaha mengaktualkan syariat-syariat Allah di permukaan bumi ini. Untuk itu, ia akan berusaha membentuk suatu kekuatan massa yang mampu menjaga syariat Allah tersebut dari kejahilan dan kejahatan manusia yang ingin merusaknya. Di sini, kepemimpinan dan komunitas sosial-politik yang menjadi penting dan bermakna.

Pengemban wasiat kenabian, Imam Ali bin Abi Thalib menyatakan tentang keharusan adanya pemerintahan, dengan kalimat yang fasih :
“Manusia tidak bisa berbuat apapun tanpa pemerintahan, baik atau buruk. Di bawah naungan suatu pemerintahan, orang-orang yang beriman dapat berjuang demi Allah, orang-orang kafir mendapatkan keuntungan duniawi mereka, dan manusia memetik hasil kerja keras mereka. Melalui kekuasaan pemerintahlah, pajak-pajak dikumpulkan, para penjajah diusir, keamanan jalan dilindungi, dan orang-orang tertindas dapat menuntut kembali hak-hak mereka, hingga warga yang saleh akan bahagia dan aman dari kejahatan si penindas.”[22]

Begitu pula, para ulama mengamini pandangan bahwa mendirikan sebuah sistem pemerintahan adalah kewajiban yang mesti ditegakkan demi terealisasinya kemaslahatan kaum muslimin.[23] Bahkan semua ahli ittifaq, suatu petaka besar bagi masyarakat, hidup dalam rimba kehidupan tanpa aturan dan pemimpin. Hal itu menjadi jelas, baik dari pendekatan normatif (naqliyah) dan empiris-historis, maupun dari pendekatan rasional (aqliyah) dan nalar filosofis.

Dengan berpegang pada wahyu dan akal, pengusung wilayah al-faqih meyakini bahwa agama diturunkan untuk mengatur seluruh dimensi kehidupan. Agar tujuan tersebut terealisasi secara baik, maka pemerintahan sebagai suatu sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat umat manusia, tidak dapat dipungkiri sebagai bagian dari persoalan krusial keagamaan, bahkan merupakan bagian penting untuk terealisasinya pelaksanaan hukum Tuhan di bawah kendali manusia-manusia pilihan-Nya agar keadilan tercipta, kedamaian dan kebahagiaan dunia dan akhirat di dapat. Karena mengimplementasikan syariat merupakan kewajiban dan hal itu dapat terealisasikan melalui pendirian sebuah negara, maka mendirikan pemerintahan Islam juga merupakan kewajiban (ma la yatim al-wajib illa bihi fahuwa wajib). Imam Khumaini berkata:
“Menjaga dan membela pemerintahan merupakan kewajiban yang sangat ditekankan, sementara merusak urusan-urusan kaum muslimin merupakan perbuatan yang sangat dibenci. Kedua-dua kondisi ini hanya dapat terealisir dan terenyahkan dalam kehidupan kaum muslimin dengan adanya seorang wali (penguasa) dan pemerintahan… Menjaga dan membela wilayah teritorial kaum muslimin dari serbuan musuh adalah sebuah keharusan, baik secara akal maupun syariat. Kondisi ini mustahil dilakukan tanpa membentuk sebuah pemerintahan. Semua itu merupakan kebutuhan kaum muslimin. Dan kebutuhan yang sangat vital ini mustahil tidak mendapat perhatian Allah… Mungkinkah Allah yang terkenal dengan hikmah-Nya membiarkan umat Islam tanpa menentukan kewajiban untuk mereka? Ataukah Allah rela dengan berbagai kekacauan dan rusaknya sebuah sistem?”[24]
 
Dengan demikian, keberadaan negara dalam perspektif wilayah al-faqih adalah sebuah keniscayaan, karena itu harus tetap menjadi cita-cita yang tertanam kuat di dalam jiwa setiap kaum muslimin.
Lebih dari itu, negara dalam perspektif wilayah al-faqih ini melintasi batas-batas geografis. Artinya, Islam mengklaim dirinya sebagai agama universal yang diperuntukkan bagi semesta alam kapan pun dan di manapun (shalih li kulli zaman wa al-makan), “Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (Q.S. al-A’raf: 158); “Dan Kami tidak mengutusmu (hai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta” (Q.S. al-Anbiya: 107), “Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia” (Q.S. al-Nisa: 79).

Dengan begitu, Negara Islam juga, merupakan negara yang meliputi jagat raya dalam satu kesatuan yang utuh, di mana batas-batas yang disepakati bersama oleh masyarakat tidak mempengaruhi sistem politik Islam yang monolitik. Meskipun begitu, Negara Islam tetap menghargai dan bergantung pada mekanisme yang memungkinkan dalam setiap masa. Maksudnya, dalam bentuk praktis operasionalnya, Negara Islam dapat disesuaikan dengan berbagai hal yang dianggap signifikan dalam perkembangan masyarakat serta tata politik dunia. Misalnya, pada saat ini, dengan banyaknya sistem yang berdaulat dan perubahan tata politik dunia, kesatuan yang utuh dari Negara Islam dapat dibagi-bagi ke dalam unit-unit yang lebih kecil dengan kedaulatan negaranya masing-masing, yang dikelola oleh para fakih yang berasal dari wilayahnya masing-masing.[25]
 
FUNGSI, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB WILAYAH AL-FAQIH.

Melihat pada kontinuitas kepemimpinan ilahiah, yang melalui jalur kenabian, kemudian dilanjutkan melalui garis imamah, dan juga ulama (faqih), maka fungsi kepemimpinan mencakup empat hal yaitu :
  1. Fungsi legislatif yakni menemukan dan menerangkan syariat (hukum) yang datang dari sisi Allah dan menjadi sumber rujukan hukum. Kita ketahui bahwa tidak semua orang mampu untuk menggali khazanah wahyu Tuhan padahal kita di tuntut untuk menjalankan aturan Tuhan. Karenanya bagi yang tidak paham dianjurkan untuk bertanya pada yang memahami, “maka bertanyalah kepada kepada ahli zikr, jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. an-Nahl: 43); “…Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Q.S. al-Hasyr : 7).
  2. Fungsi yudikatif yakni memutuskan dan menyelesaikan berbagai perselisihan yang terjadi. Hal ini karena disatu sisi manusia merupakan makhluk sosial, namun di sisi lain hubungan sosial itu tidak selamanya harmonis.[26] Untuk itu diperlukan orang yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (Q.S. al-Nisa: 105); “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…” (Q.S. al-Baqarah: 213); “…Jika mereka (orang Yahudi) dating kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (al-Maidah: 42); “…maka putuskanlah perkera mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah dating kepadamu” (Q.S. al-Maidah: 48); “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Nisa: 58); “Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. an-Nisa: 65);[27]
  3. Fungsi eksekutif yakni memimpin dan mengatur masyarakat atau membentuk pemerintahan. Dalam suatu komunitas, agar hubungan diantara sesamanya harmonis maka diperlukan adanya pemimpin yang menegakkan hukum-hukum, “Nabi itu lebih berhak bagi diri orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (Q.S. al-Ahzab: 6), Ambillah olehmu (Muhammad) sedekah untuk membersihkan mereka dan mengembangkan kehidupan mereka” (Q.S. at-Taubah: 103). “Hai orang-orang yang beriman, tatatilah Allah dan tatatilah rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. al-Nisa: 59); “Sesunguhnya pemimpin kamu adalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat selagi mereka ruku” (al-Maidah: 55).
  4. Fungsi edukatif yakni menjadi pembimbing dan pendidik umat untuk mensucikan mereka menuju kesempurnaan kemanusiaan yang sesuai dengan aturan ilahiah, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. al-Baqarah: 151); “Dan Kami tidak menutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui … dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. an-nahl: 43-44), “Dialah  yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. al-Jumuah: 2)
Keempat fungsi ini merupakan wewenang pemimpin. Meskipun begitu, secara praktis pemimpin dapat mendelegasikan wewenangnya tersebut kepada orang lain –dengan tetap dibawah kendalinya— yang dipilihnya, atau yang memenuhi syarat yang ditetapkannya, “Dan berkatalah Musa kepada saudaranya yaitu Harun, ‘gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan”. (Q.S. Al-A’raf: 142).

Melihat pada empat fungsi kepemimpinan di atas, maka tugas-tugas para faqih (ulama) membutuhkan kompetensi yang tinggi dan teruji baik dari sisi kompetensi intelektual maupun kompetensi keribadian dan keterampilan memimpin.

Adapun menurut ‘Ain Najaf sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, tugas para faqih adalah sebagai berikut:[28]
  1. Tugas intelektual (al-‘amal al-fikry); ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan mendirikan majelis-majelis ilmu, pesantren, atau hauzah; menyusun kitab-kitab yang bermanfaat bagi manusia yang meliputi ilmu Alquran, al-hadis, aqaid, fiqih, ushul fiqh, ilmu-ilmu aqliyah, matematika, tarikh, ilmu bahasa, kedokteran, biologi, kimia dan fisika; membuka perpustakaan-perpustakaan ilmiah.
  2. b. Tugas bimbingan keagamaan; ia harus menjadi rujukan (marja’‘) dalam menjelaskan halal dan haram. Ia mengeluarkan fatwa tentang berbagai hal yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam.
  3. c. Tugas komunikasi dengan umat (al-ittishal bi al-ummah); ia harus dekat dengan umat yang dibimbingnya. Ia tidak boleh terpisah dan membentuk kelas elit. Akses pada umat diperolehnya melalui hubungan langsung, mengirim wakil ke setiap daerah secara permanen, atau menyampaikan khutbah.
  4. d. Tugas menegakkkan syi‘ar Islam; ia harus memelihara, melestraikan dan menegakkan berbagai manifestasi ajaran Islam. Ini dapat dilakukannya dengan membangun masjid, meramaikannya dan menghidupkan ruh Islam di dalamnya; dengan menyemarakkan upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasikan maknanya dalam kehidupan aktual; dan dengan menghidupkan sunah Rasulullah Saw. sambil menghilangkan bid‘ah-bid‘ah jahiliyah dalam pemikiran dan kebiasan umat.
  5. e. Tugas mempertahankan hak-hak umat; ia harus tampil membela kepentingan umat, bila hak-hak mereka dirampas. Ia harus berjuang “meringankan penderitaan mereka dan melepaskan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka”
  6. f. Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim; faqih (ulama) adalah mujahidin yang siap menghadapi lawan-lawan Islam bukan saja dengan pena dan lidah, tetapi juga dengan tangan dan dadanya. Mereka selalu mencari syahadah sebagai kesaksian atas komitmennya yang total terhadap Islam.
Dengan bahasa berbeda tapi mengandung esensi yang sama, Murtadha Muthahhari menulis tentang tugas dan tanggung jawab wali faqih (pemimpin para faqih)[29] :
  1. Seorang wali mengingatkan manusia akan musuh-musuhnya dan menanamkan semangat berjuang dan melawan penindas.
  2. Seorang wali menanamkan cinta kepada keindahan ilahiyah.
  3. Seorang wali menanamkan kepada manusia kebencian akan maksiat dan dosa.
  4. Seorang wali menunjukkan asal mula perintah, petunjuk dan hukum yang harus dipatuhi.
  5. Seorang wali melatih manusia untuk melindungi dan memelihara benteng ideologi di atas dengan segala risikonya.
  6. Seorang wali mengajar manusia untuk memegang teguh dan menjaga syari‘ah setelah memerangi dan menundukkan nafsu-nafsunya yang rendah.
  7. Seorang wali menanamkan pada diri manusia hasrat untuk taqarrub kepada Allah, berkhidmat kepada manusia, berbuat baik dan penyayang pada semua makhluk Allah.
Melihat fungsi, kedudukan, sifat dan kewajiban fuqaha dalam falsafah Wilayah al-Faqih, dapat dipahami betapa berat tanggung jawab dan kewajiban yang harus dilaksanakan para faqih. Hadis yang berasal dari Imam Ali Ridha di bawah ini, menurut Yamani menjelaskan peran seorang wali:[30]

“Pemimpin (wali) umat adalah sarana untuk melindungi iman dan jaminan bagi persatuan struktur sosial, pengembangan ekonomi, dan penerapan hukum-hukum Tuhan. Keberadaannya menjamin keamanan perbatasan negeri dan penerapan hudud (hukum pidana). Ia menjamin pemberian hak-hak Ilahi, memelihara integritas iman, dan menjaga kehormatan umat Islam. ia menimbulkan kemarahan dan kesedihan di hati kaum munafik dan merancang penghancuran kaum kafir. Imam umat adalah penggembala rakyat, negarawan dan administrator-cakap urusan-urusan mereka, yang kehendak dan keteguhannya tak pernah memudar dan melemah.”

Jika rumusan tugas dan tanggung jawab faqih di atas titik tekannya bersifat umum, maka pada tataran yang lebih khusus, setelah terbentuknya Republik Islam dan setelah terpilihnya wali faqih, maka menurut Muhammad Baqir al-Shadr, wali faqih secara resmi mewakili Islam. Mujtahid yang memegang otoritas tersebut adalah wakil umum Imam Mahdi a.s. yang hak-hak hukumnya sebagai berikut :
  1. Ia merupakan pilar utama pemerintahan, yang memperoleh kedudukannya melalui otoritasnya. Ia adalah pemimpin tertinggi angkatan bersenjata.
  2. Dia memutuskan apakah suatu konstitusi yang dikonsepsikan sesuai atau tidak dengan hukum Islam.
  3. Dialah yang secara final menyetujui hukum-hukum sosial yang berlaku dalam perundang-undangan bebas.
  4. Jika timbul perbedaan terhadap poin-poin di atas, maka wali al-faqih menunjuk hakim pengadilan untuk memutuskan isu-isu tersebut.
  5. Ia mendirikan lembaga-lembaga peradilan di seluruh pelosok negeri untuk mendengar, memutuskn kasus-kasus dan untuk memelihara kepentingan-kepentingan dari partai-partai yang dirugikan. [31]
Seorang alim yang memenuhi kriteria-kriteria seperti di atas dijabarkan dalam konsep Wilayah al-Faqih biasanya dijuluki marja’`i taqlid. Masyarakat Islam syiah terbagi ke dalam dua golongan: mujtahid dan muqallid. Mujtahid adalah orang yang memiliki kemampuan berijtihad. Dalam konsep syiah, ijtihad selalu terbuka, tetapi tidak semua orang dipandang mampu melakukannya. Yang tidak mampu harus merujuk kepada ulama ikutan mereka (marja’). Kepada marja’, mereka bukan saja menyerahkan keputusan-keputusan agama, melainkan juga memberikan zakat dan khumus. Tetapi, kalau ulama itu cacat atau bersalah, umat dengan serentak akan meningggalkan ulama tersebut. Sistem ini melahirkan ulama yang secara alami terseleksi, bebas dari penguasa, dan berakar di masyarakat.

WEWENANG MUTLAK WILAYAH AL-FAQIH.

Gambaran fungsi, tanggung jawab, dan kekuasaan faqih yang diuraikan di atas setidaknya memberikan suatu garis demarkasi akan keabsolutan wewenang faqih yang nyaris tak terbatas, sebab menjadi mendataris resmi nabi dan para imam as. terutama Imam Mahdi afs. Imam Khumaini, peletak sistematis konsep wilayah al-faqih menegaskan bahwa kewenangan seorang fakih yang adil sama dengan wilayah nabi saaw. dan para imam as. meskipun kedudukan (maqam) nabi dan imam jelas tidak sama dengan maqam-nya para fakih. Namun, yang menjadi dasar pikir kewenangan fakih adalah fungsinya bukan kedudukannya (maqam).[32]

Dengan ini, maka jelaslah bahwa seorang fakih memiliki semua tanggung jawab dan kekuasaan atas seluruh teritorial dan individual manusia. Kewenangan ini dalam tata politik syiah disebut dengan wilayah al-faqih al-mutlaqah (kewenangan faqih secara mutlak).[33] Kemutlakan ini memiliki dua cakupan:
Pertama, masyarakat seluruhnya, atas siapa sang fakih menggenggam wilayah (mawla ‘alayhim). Di sini fakih memiliki kekuasaan (kewenangan) atas tiap-tiap individu baik muslim maupun non-muslim, mujtahid maupun muqallid, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Kedua, masalah-masalah di mana ia (fakih) menggenggam kekuasaan. Pada posisi ini, fakih mempunyai otoritas dalam semua urusan masyarakat dan dapat mengeluarkan peraturan, perintah, dan larangan untuk mereka sesuai dengan yang diwajibkan bagi semuanya. Penggunaan otoritas fakih seputar masalah-masalah yang diperintahkan—baik itu mewajibkan atau mengharamkan—bersifat mengikat secara syariat.[34]

Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali Khamenei, yang pada saat ini memegang amanat sebagai wali faqih menggantikan Imam Khumaini menegaskan bahwa seluruh kaum muslimin wajib mematuhi perintah-perintah wila’iyah (perintah pemegang kepemimpinan) yang dikeluarkan pemimpin muslimin (wali amr al-muslimin) dan wajib menerima sepenuhnya perintah dan larangannya, termasuk seluruh fukaha besar dan para muqallid. Keterikatan kepada wilayah al-faqih ini, menurut Sayid Ali Khemenei, merupakan keyakinan yang tidak dapat dipisahkan dari keterikatan kepada pada Islam dan wilayah para imam maksum (wilayah al-aimmah).[35]

Lebih lanjut tentang wilayah al-mutlaqah, Sayid Ali Khemenei menjelaskan :
“Yang dimaksud dengan wewenang mutlak (wilayah al-muthlaqah) bagi fakih yang memenuhi persyaratan ialah bahwa Islam, yang merupakan agama murni dan pamungkas agama-agama samawi dan yang kekal hingga hari kiamat, adalah agama yang memerintah dan mengatur masyarakat. Karenanya, harus ada penguasa, hakim Syar’i, dan pemimpin di tengah masyarakat Islam yang terdiri dari semua lapisan agar dapat menjaga umat dari musuh-musuh Islam dan muslimin serta menjaga sistem mereka, menegakkan keadilan, mencegah yang kuat agar tidak menindas yang lemah, dan menyediakan sarana-sarana kebudayaan, politik, dan sosial bagi kemajuan dan perkembangan mereka.

“Masalah ini dalam tingkat penerapan kadang kala bertentangan dengan keinginan-keinginan, ambisi-ambisi, kepentingan-kepentingan, dan kebebasan sebagian orang. Ketika melaksanakan taklif kepemimpinan dalam acuan fikih Islam, penguasa kaum muslimin wajib mengambil tindakan-tindakan yang dibutuhkan kapan saja ia memandang perlu hal itu.

“Yang bertalian dengan kemaslahatan umum bagi Islam dan muslimin hendaknya keinginan dan kewenangannya mengungguli keinginan dan kewenangan orang-orang di saat terjadi pertentangan.” [36]

Penjelasan dan uraian ini dengan gamblang telah menggariskan wewenang mutlak wali faqih untuk dipatuhi oleh seluruh kaum muslim (syiah). Namun, perlu pula ditegaskan bahwa wewenang yang dimiliki oleh fakih tersebut, dalam batas-batas hukum Islam yang keberlakuannya dan pelaksanaannya bukan hanya bagi masyarakat namun juga bagi fakih itu sendiri. Artinya, seorang fakih, dengan wewenang mutlaknya, tidaklah akan menjadi pemimpin tataliter dan otoriter yang diktator sehingga bebas dari pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, sebab dalam menggunakan kekuasaannya seorang fakih harus memahami dan mempertimbangkan beragam faktor, seperti ketepatan, kebutuhan, prioritas, dan kondisional  persyaratan pelaksanaan hukum-hukum yang diputuskannya.[37] Pada sisi yang lain, kondisi ketakwaan dan keadilan (adalah) yang dimiliki seorang fakih jelas memberikan penjagaan total kepada dirinya untuk tidak berperilaku yang melanggar syariat dan menunjukkan kehinaan dirinya.

KUALIFIKASI MENJADI WALI FAQIH.

Pemimpin adalah manusia pilihan Tuhan, bukan pilihan manusia, karenanya untuk mengaktualkan kepemimpinan ilahiah ini, masyarakat mesti bersandar pada pesan-pesan Tuhan dalam memilih pemimpin, seperti : alim, adil, mampu mengatur masyarakat, dan sebagainya. Artinya, orang yang memenuhi karakteristik yang dibuat Tuhanlah yang pantas untuk dipilih menjadi pemimpin dan ditaati, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulul amri yang berada diantara kamu. (Q.S. al-Nisa: 59), Dialah yang menjadikan kamu khalifah (penguasa) di bumi” (Q.S. Fathir: 39).

Namun tidak ada paksaan kepada masyarakat dalam menentukan pilihan tersebut, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk melaksanakan amanah itu kepada ahlinya”. (Q.S. al-Nisa: 58) “ Sesungguhnya Aku  hendak  menjadikan  seorang Khalifah di muka bumi.” (Q.S. al-Baqarah: 30) 

Sesungguhnya  Aku akan menjadikanmu Imam bagi  seluruh  manusia. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah : 124). “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah..” (QS. An-Nur : 55

Dari sudut pandang syiah, sejak kegaiban besar (gaib kubro; major occultation) Imam Mahdi atau Imam Zaman, tidak ada orang khusus yang talah diangkat untuk menjadi kepala pemimpin umat Muslim. Itulah mengapa dalam hadits-hadits yang berkenaan dengan kepemimpinan selama periode ini, hanya persyaratan-persyaratan dan karakteristik-karakteristik umum yang harus dimiliki seorang pemimpin. Ini menunjukkan bahwa hal itu terserah kepada umat sendiri untuk memilih seorang sebagai pemimpin mereka. Misalnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah saaw bersabda, “Tidaklah layak kepemimpinan kecuali bagi orang yang memilki tiga sifat: wara’ yang menghalanginya untuk bermaksiat kepada Allah, ketabahan yang dapat mengendalikan amarahnya, dan kebaikan dalam memimpin rakyatnya yang membuat ia bagaikan seorang ayah yang penuh kasih.[38]
 
Menurut Murtadha Muthahhari, kualifikasi-kualifikasi utama seorang pemimpin selama kegaiban Imam Mahdi adalah :
  1. Beriman kepada Allah, wahyu-wahyu-Nya, dan ajaran-ajaran Nabi-Nya. (Q.S. An-Nisa: 141)
  2. Jujur, taat kepada hukum-hukum Islam, dan sungguh-sungguh dalam pelaksanaannya. (Q.S. Yunus: 124; Q.S. 38; 26)
  3. Pengetahuan Islam yang memadai, sesuai dengan kedudukannya yang mulia (Q.S. Al-Baqarah: 35)
  4. Cukup kompeten memegang posisi tersebut dan bebas dari setiap cacat yang tidak sesuai dengan kepemimpinan Islam.
  5. Standar hidupnya sama dengan hidup orang-orang yang berpenghasilan rendah.[39]
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa untuk menjadi refresentasi tertinggi dari pemerintahan Islam seorang Faqih disyaratkan sebagai berikut:
  1. Ia harus orang yang saleh dan mempunyai berbagai kualitas penting untuk menjadi mujtahid mutlak, yakni seorang mujtahid peringkat pertama yang sepenuhnya berkompoten untuk menguraikan hukum secara terperinci  dan sampai kepada keputusan-keputusan mandiri.
  2. Kecenderungan pemikirannya harus menunjukkan keyakinan yang kokoh terhadap pemerintahan Islam dan menyadari pentingnya membela pemerintahan Islam.
  3. Otoritas keagamaannya harus diterima dan diakui sesuai dengan tradisi-tradisi syiah sepanjang sejarah.
  4. Dia harus memberikan dukungan kepada mayoritas anggota-anggota dewan konsultatif Wilayah al-Faqih. Di samping itu, sejumlah “para pelayan agama” yag jumlahnya di tentukan dalam konstitusi, seperti para ulama, pelajar-pelajar pusat keagamaan, Imam shalat berjamaah, para khatib, dan pemikir-pemikir Islam harus mendukung syarat-syarat keterpilihannya.
Dari gambaran tersebut, jelaslah, untuk menjadi seorang faqih bukanlah suatu pemberian gratis, melainkan usaha ikhtiariyah yang panjang, berat, dan penuh kesungguhan, sehingga berkat perjuangannya, seseorang akan memiliki ilm, ‘aql, taqwa (ketaatan), idarah (keahlian-keahlian administratif) dan hilm (belas kasih) yang merupakan kemestian bagi seorang faqih yang akan menduduki posisi kepemimpinan dan harus membuktikan dirinya lolos dari seleksi alamiah yang berlaku di dunia syiah. [40]

Dengan dasar-dasar ini, sebagai pemimpin umat, secara teoritisasi umum dalam sistem politik syiah, dirumuskan syarat untuk menjadi seorang wali faqih, yaitu harus memenuhi tiga kompetensi, yaitu :
  1. Faqahah; yaitu mujtahid mutlak yang mampu menetapkan kesimpulan tentang hukum-hukum syara` dari sumber-sumbernya. .[41]
  2. ‘Adalah,[42] yaitu tetap teguh menjalankan syariat Islam dan memilki pribadi yang bersih, saleh dan takwa sehingga menjadikan dirinya tidak mengikuti nafsu dan kecenderungan duniawi.
  3. Kafa’ah; yaitu memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas sehingga terampil mengurus kehidupan umat, memahami kebutuhan zaman, mengurusi permasalahan sosial, politik, administratif, kemanan, ekonomi, dan sebagainya yang merupakan unsur-unsur penting dalam sebuah negara.
Sebagai usulan konkritnya, untuk memenuhi ketiga kompetensi di atas, disusunlah usaha bersama dalam mengkader pribadi-pribadi yang memiliki potensi keunggulan dalam bidang-bidang tersebut. Beragam disiplin ilmu menjadi acuan formal, sebagai penilaian dan penentuan keberhasilan seseorang memenuhi persyaratan menjadi wali faqih. Contohnya, untuk mengasah kemampuan faqahah[43] diperlukan pembelajaran ilmu fiqih dan ushul fiqih, untuk kemampuan adalah diperoleh melalui ajaran dan amalan irfani (tasawuf); dan untuk kafaah didapat dengan mempelajari secara sungguh-sungguh pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu sosial.
Jadi, dalam bentuk praktisnya, ketiga rumusan tersebut ditafsirkan dengan aneka pemikiran dan bentuk formalitas dalam sebuah Negara, sebab wali faqih adalah realitas sosial yang ditentukan oleh masyarakat Muslim dan eksistensinya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam. Jika ditemukan hanya seorang pribadi yang memilik ketiga kompetensi tersebut secara baik maka secara otomatis ia memiliki restu ilahiah untuk menduduki posisi pemimpin Islam (wali faqih). Jika, dalam kasus di mana terdapat lebih dari satu orang untuk dipilih sebagai pemegang posisi wali al-faqih, masyarakat mempunyai hak untuk memilih salah seorang di antara mereka melalui suatu referendum.

Orang-orang tersebut merupakan para wakil yang sah dari pemerintahan Islam. secara hukum, mereka mempunyai hak yang sama dalam persolan ini. Setiap individu mempunyai hak memilih dan mengambil bagian dalam berbagai aktivitas politik. Mereka juga bebas menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka.[44]


[1] Wilayah al-Faqih adalah bahasa Arab, dalam bahasa Persia Velayat-e Faqih. lihat: Heinz Halm. Shi’a Islam from Religion to Revolution. (Princeton: Markus Wiener Publishers, 1997), h. 138.
[2] Ali Mishkini. Wali faqih. (Jakarta: Risalah Masa, 1991), h. 24.
[3] Ali Mishkini. Wali, h. 24.
[4] Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Negara Ilahiah.(Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 42.
[5] Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 42.
[6] Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 43.
[7] Penjelasan para ulama syiah ini disadur dari penelitian Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h.46-54.
[8] Imam Khumaini. Sistem Pemerintahan Islam. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002) h.133-134.
[9] Mehdi Hadavi Tehrani merumuskan dalil kebijaksanaan (hikmah) ini sebagai berikut: “Berdasarkan bukti keberadaan Tuhan dan akhirat, akal menyimpulkan bahwa tindakan manusia mempunyai akibat yang tak dapat dihapuskan dalam kehidupan akhiratnya. Namun, upaya pribadi semata tidak akan cukup untuk seseseorang menyaksikan dan meneliti dengan jelas akibat-akibat, sebab-sebab, dan hubungan-hubungan perbuatannya itu. Oleh karena itu, lewat kebijaksanaan-Nya, Tuhan (sebagai pencipta dunia dan manusia) harus menunjukkan kepada manusia jalan menuju keselamatan dengan mengirimkan para utusan-Nya.” Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Nagara, h. 58.
[10] Yamani. Antara Al-Farabi dan Khumaini: Filsafat Politik Islam. (Bandung: Mizan, 2002), h. 114-115.
[11] Yamani. Antara, h. 116.
[12] Chibli Mallat. Menyegarkan Islam. (Bandung: Mizan, 2001), h.  99-100.
[13] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 101.
[14] Muhammad Husayn Tabathabai. al-Mizan fi Tafsir al-quran Juz VI.(Beirut: 1970), h. 362
[15] Ahmad Mousawi. Teori Wilayah al-Faqih: Asal Mula dan Penampilannya dalam Literatur Hukum Syiah. dalam Mumtaz Ahmad. ed. Teori Politik Islam. (Bandung: Mizan, 1993), h. 129.
[16] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Nazhrah ‘Abirah ila Nazhariyati wilayah al-faqih. (Qum: Majam’ al-alami li ahl al-bait, 2006), h. 120. Dalam buku ini bisa dilihat dalil-dalil lainnya dengan ulasan panjang lebar melalui premis-premis akal dan beragam riwayat dari para Imam syiah yang dijadikan dalil-dalil untuk wilayah al-faqih.
[17] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Nazhrah, h. 105. lihat juga Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Sekilas Tentang Filsafat Politik Islam, dalam Jurnal Al-Huda, Vol III, No. 9, 2003, h. 97.
[18] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Sekilas Tentang Filsafat Politik Islam, dalam Jurnal Al-Huda, Vol III, No. 9, 2003, h. 97 .
[19] Khalid Ibrahim Jindan. Teori Politik Islam. (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 73-74 .
[20] Khalid Ibrahin Jindan. Teori, h. 74.
[21] Sayid Muhammad Baqir Sadr. Introduction to Islamic Political System. (London: Islamic Seminary Publication, 1987), h. 1.
[22] Sayid Syarif Radhi. Nahj al-Balaghah Vol. I. (Qum: Sayid Mujtaba Musawi Lari Foundation, tt), hlm. 204-205.
[23] Lihat Ibnu Taymiyah. Al-Siyasah al-Syariah fi Islahi al-Ra’I wa al-Rai’yyah (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyyah, tt); Al-Ghazali. Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad (Beirut: Darul Kitab Al-‘Ilmiyah, 1998); al-Mawardi. al-Ahkam al-Sulthaniyyah. (Jakarta: Darul Falah, 2000).
[24] Imam Khomeini. Kitab Al-Bai’ juz II, hal 461-462.
[25] Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 79-80.
[26] Lihat penjelasannya dalam Jawadi Amuli. Sistem Pengadilan Islam dalam al-Quran. dalam Jurnal al-Huda, Vol.III, No. 9, 2003, h. 5-9.
[27] Masih banyak ayat-ayat yang bicara senada, misalnya al-Nisa: 105 dan 135; al-Hadid: 25-26;  al-Ahzab: 36.
[28] Jalaluddin Rahmat. Islam Alternatif. (Bandung: Mizan, 1998), h. 258. Lihat juga Imam Khomeini. Sistem, h. 27-41.
[29] Jalaluddin Rakhmat. Islam, h. 14.
[30] Yamani. Antara, h. 116. Mengenai penetapan Wilayah al-Faqih dalam nash juga dapat dilihat dalam Imam Khomeini. Sistem, h. 113-134.
[31] Muhammad Baqir Shadr. Sistem Politik Islam. (Jakarta: Lentera, 2001), h. 105.
[32] Imam Khumaini. Sistem, h. 58.
[33] Lihat penjelasannya dalam Misbah Yazdi. Nazhrah, h. 128-138.
[34] Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 75-76.
[35] Sayid Ali Khamenei. Fatwa-Fatwa. (Jakarta: Al-Huda, 2003), jawaban untuk soal  58, h.40.
[36] Sayid Ali Khamenei. Fatwa, soal 59, h. 40.
[37] Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 77-79.
[38] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi (Beirut: Muassasah al-a’lami li al-Mathbuat, 2005), h. 232.  lihat kitab al-Hujjah bab Ma Yajibu min Haqq al-Imam ala al-Raiyah wa Haqq al-Raiyyah ala al-Imam.
[39] Murtadha Muthahhari. Kepemimpinan Islam. (Banda Aceh: Gua Hira, 1991), h.22.
[40] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65.
[41] Imam Ja’far ash-Shadiq juga berkata: “Sesungguhnya kami tidak menganggap seorang faqih dari kalian adalah faqih, sampai dia menjadi seorang yang muhaddats. Maksudnya, ketika ia diajak berbicara secara batin, diberi pengetahuan, maka dia mendapatkan ilham. Periwayat ini merasa keheranan dan berkata, “Dapatkan seorang faqih menjadi muhaddats? Mungkinkan seorang faqih menjadi muhaddats?] Muhaddats adalah ciri-ciri khusus para nabi dan imam. Imam Shadiq as berkata,Dia akan mufahham (diberi pemahaman) dan orang yang diberi pemahaman itu adalah muhaddats”. Lihat Murtadha Muthahari. Kenabian Terakhir. (Jakarta: Lentera, 2001), h. 166.
[42] Mujtahid dan Marja’ disyaratkan bukan hanya ahli dalam fikih saja, tetapi juga kesucian hati. Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Faqih berada pada posisi yang paling tinggi, mengeluarkan setiap yang masuk. Seorang yang hendak menerapkan berbagai cabang pada pokoknya; mesti memiliki sifat di atas keadilan. Kita tidak hendak mengatakan bahwa mereka menerima wahyu atu ilham, tetapi mestilah lebih tinggi dari yang lain. Memiliki kesucian dan kecerahan hati yang senantiasa mendukung dan membimbingnya. Tidak cukup hanya dilengkapi kekuatan berpikir, tetapi juga mesti dilengkapi dengan kekuatan jiwa dan maknawiyah. Lihat, Murtadha Muthahari. Kenabian, h. 166.
[43] Untuk kompetensi faqahah, misalnya, banyak dirumuskan dalam buku-buku fiqih persayaratan seseorang untuk dikategorikan sebagai ahli fikih atau mujtahid. Diantaranya harus menguasai disiplin ilmu-ilmu keislaman diantaranya Bahasa Arab dengan aneka cabangnya, fiqih dan Ushul Fiqh,   ilmu Hadis, Ilmu al-Rijal (Ilmu menyelidiki para penyebar hadis dan orang-orang yang membentuk mata rantai penyebaran sejak masa kemunculan hadis), dan pengetahuan penuh tentang ayat-ayat al-Quran (ulum al-Quran). Lihat Ali Mishkini, Wali, h. 9-10.
[44] Chibli Mallat, Menyegarkan, h.65.

Tauhid dan Wilayah


Oleh : DR. Muhammad Fana’ie Eshkavari.

Setelah tahmid dan shalawat. Selamat memperingati hari kelahiran Imam Ali Ar-Ridha, semoga Allah memberikan kita kesempatan memperoleh syafaatnya. Assalâmu’alaikum wa rahmatullâh.

Dalam beberapa menit ini saya akan menyampaikan sebuah sabda beliau yang Insya Allah Anda semua sudah pernah mendengarnya. Kemudian saya akan membahas beberapa hal mengenai hadis tersebut. Ada sebuah hadis qudsi yang terkenal, yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, sehingga dikenal dengan istilah silsilah dzahabiah (rantai perawi yang dinilai dengan emas). Suatu hari Imam Ali Ar-Ridha mengucapkan hadis qudsi tersebut, “Lâ ilâha illallâh adalah benteng-Ku. Barangsiapa memasuki benteng-Ku maka akan aman dari azab-Ku.” Setelah beberapa langkah, Imam Ali Ar-Ridha melanjutkan, “Tetapi dengan syarat; dan aku di antara syarat tersebut.”

Dalam hadis ini, Imam Ali Ar-Ridha menyampaikan dua hal yang penting dan mendasar dalam Islam. Pertama adalah tauhid, yakni pengesaan terhadap Allah, dan yang kedua adalah wilâyah, yakni kepemimpinan Ahlul Bait. Tauhid adalah pijakan dasar yang diyakini oleh setiap muslim, dan semua ajaran Islam bersumber dari ajaran yang satu ini. Memang semua Muslim sepakat akan keesaan Allah SWT, walaupun pada saat yang sama pemahaman tauhid tentu bisa jadi berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena tauhid merupakan samudera yang luas dan dalam, semakin kita menyelam maka semakin dalam pemaknaan tersebut.

Tidak ada pernyataan yang paling mendasar dalam Islam selain kalimat tauhid tersebut, di mana kita mengatakan tidak ada tuhan selain Allah, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada yang berhak disembah selain Allah, dan tidak ada ketaatan selain bersumber dari Allah SWT. Jika kita ingin memahami lebih dalam kalimat tersebut, maka kita akan mendapat kesimpulan bahwa tidak ada kebaikan dan kesempurnaan yang bersumber selain dari Allah. Karena setiap kesempurnaan, kebaikan dan keindahan merupakan manifestasi dari Allah SWT.

Di antara manifestasi Tuhan di muka bumi yang mewakili keindahan Allah adalah seseorang yang disebut dengan walî atau wali Allah. Walî adalah seseorang yang memiliki kesempurnaan yang tinggi. Kesempurnaan yang bersumber dari Allah karena usahanya, ibadahnya, dan kedekatannya kepada Allah. Karena karunia itu bersumber dari Allah, maka wali tidak mungkin sejajar dengan Allah. Karena itu, wali adalah seseorang yang paling sempurna dalam bertauhid kepada Allah.

Dalam hadis tadi, Imam juga menyebutkan hal lain; selain tauhid dan wilayah, Imam juga menyebutkan tentang muwahid, yakni siapa yang paling layak disebut bertauhid kepada Allah. Ketika kita menyebut wali, maka para imam Ahlul Bait adalah pribadi yang paling layak menyandang kata tesebut, sebagaimana dalam hadis tersebut. Dan sebelum sampai kepada Imam, yang paling layak menyandang kata tersebut adalah Rasulullah. Sebagaimana dalam sebuah ayat Allah berfirman: Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan Rasul-Nya… (QS. Al-Mâidah : 55)

Cahaya wilayah para imam didapatkan dari cahaya Rasulullah dan Rasulullah mendapatkan cahaya tersebut dari Cahaya Allah. Allah berfirman: Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi (QS. An-Nûr : 35). Dalam Doa Kumail pun kita menyeru Allah dengan Ya Nûr Ya Quddus. Allah-lah cahaya yang sempurna, mutlak, dan tidak ada kegelapan sedikit pun. Cahaya tersebut terpancar kepada Rasul dan Ahlul Bait, karena Rasul adalah makhluk yang paling dekat kepada Allah, dan setelah Rasul, Ahlul Bait adalah yang paling dekat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dunia dan segala isinya merupakan kegelapan dan hal itu tidak akan bermakna tanpa cahaya yang sampai kepadanya. Cahaya yang pertama kali memancar dari Allah SWT adalah cahaya yang memancar kepada Rasul dan dengan cahaya yang dibawa kepada Rasul kemudian sampai kepada para Imam Ahlul Bait dan barulah setelah itu kepada makhluk Allah lainnya beserta isi dunia. Tanpa mereka dunia berada dalam kegelapan. Mustahil bagi kita membayangkan dunia tanpa wali-wali Allah.

Karena itu, merupakan pemahaman yang salah jika kita meyakni wali hanya berada dalam lembaran sejarah; hidup dan meninggal lalu selesai, kemudian kita peringati dan kita cintai. Ini adalah pemahaman yang salah karena wali harus ada pada setiap zaman. Karena tanpa wali dunia beserta isinya berada dalam kegelapan. Wali dibutuhkan dalam rangka agar dunia dan isinya mendapat cahaya Allah. Tanpa wali maka tidak ada yang layak menerima cahaya Allah untuk kelangsungan dunia ini. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Jika tidak ada hujjah maka dunia dan isinya akan hancur.”

Permasalahan wilayah Ahlul Bait bukanlah permasalahan sejarah, tapi merupakan sebuah hal yang akan terus belangsung hingga akhir zaman. Bukankha kita membaca dalam Doa Nudbah, “Di manakah orang yang menjadi penyambung antara langit dan bumi?” Hal ini membuktikan bahwa di setiap zaman harus ada wali dari keturunan Rasulullah yang akan “menyambungkan” antara langit dan bumi dan itulah hakikat keberadaan Imam Mahdi baik scara fisik atau ghaib.

Begitu juga dengan keberagamaan kita yang diwujudkan dengan ibadah dan ketaatan kepada Allah tidak akan terlaksana kecuali dengan pemahaman kita kepada para imam. Dalam sebuah doa disebutkan: “Ya Allah kenalkan kepadaku siapa Engkau, karena ketika aku tidak mengenal-Mu, maka aku tidak akan mengenal nabi-Mu. Ya Allah kenalkan kepadaku siapa nabi-Mu, karena ketika aku tidak mengenal nabi-Mu maka takut tidak akan mengenal siapa hujjah-Mu, dan ketika aku tidak mengenal hujjah-Mu pada zaman ini maka aku akan berada dalam kesesatan.” Mengapa kesesatan? Karena kita berada dalam kegelapan. Kita tidak mendapat cahaya Allah yang dititipkan kepada mereka. Bersama dengan Ahlul Bait kita berada dalam cahaya. Sebagaimana firman Allah: Allah adalah walî orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir, wali-wali mereka ada thaghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan… (QS. Al-Baqarah : 257).

Dari sini kita bisa memahami mengapa Imam Ali Ar-Ridha menyebutkan dalam hadis tetadi “Aku adalah salah satu syarat”. Mengapa Imam menyebutkan bahwa orang bisa selamat dari siksa Allah dengan lâ ilâha illallâh tapi juga harus menyandingkannya dengan Imam Ali Ar-Ridha? Karena bertauhid tanpa ada wilayah kepada Ahlul Bait yang pada zaman itu adalah Imam Ali Ar-Ridha, maka akan menyebabkan adanya kegelapan dan kesesatan. Sedangkan cahaya hanya kita dapatkan dari mereka sebagai pelanjut dari Rasul.
Memang kenabian merupakan sebuah perjalanan sejarah yang kemudian akan berakhir ketika terjadi kematian, namun wilayah tidaklah demikian. Wilayah terus bersambung selama dunia ini ada dan haruslah ada seorang wali yang menyambung ajaran Allah kepada manusia melalui nabi dan cahaya Allah. Memang benar bahwa Rasulullah SAW adalah nabi terakhir, wahyu yang diturunkan sebagai pemberi petunjuk kepada manusa adalah Quran kita terakhir. Setelah ini tidak ada lagi nabi dan kitab. Tapi dibutuhkan imam yang akan menafsirkan wahyu tersebut kepada manusia dan membimbing manusia kepada konsep Allah dalam Al-Quran. Kenabian dapat berhenti, namun wilayah tidak akan berhenti.

Karena itu tidak benar jika seseorang mengatakan bahwa ketika Allah menurukan Quran dan Quran sebagai wahyu dan kitab terakhir, maka untuk apalagi kita butuh petunjuk lain atau wali. Penjelasannya adalah bahwa wali bukanlah membawa petunjuk baru, bukan membawa agama baru, tapi para wali setelah Rasul adalah penjelas tentang maksud Quran dan pemberi petunjuk. Untuk beragama kita butuh kepada wali, karena tanpa petunjuk imam maka keagamaan kita menjadi salah. Sementara kalau ada pemahaman dan praktik yang ma’shûm, hal itu menjamin kemurnian agama yang sampai kepada kita.

Keberadaan Quran sebagai konsep dan sunnah sebagai pemberi petunjuk tidak menjamin setiap orang akan berada dalam kesalamatan dan berada dalam cahaya. Karena dibutuhkan mereka orang yang mengontrol pemahaman dan praktik yang benar yang diambil dari Quran dan sunnah, itulah peran imam Ahlul Bait. Bukti nyata ketika orang meninggalkan Ahlul Bait maka akan muncul problem dan masalah serta perpecahan, keterpurukan dan keterbelakangan dalam umat Islam.

Karena itu Imam Ali Ar-Ridha AS menegaskan bahwa lâ ilâha illallâh tidaklah cukup, tetapi harus dimitrakan dengan Ahlul Bait yang pada zaman itu adalah beliau. Itulah syarat yang menyelamatkan manusia kemudian kita harus berpegang teguh kepadanya. Ketika Imam menyebutkan hal itu, hal itu bukan berasal dari dirinya dan ucapannya tidak terlepas dari Al-Quran. Karena Quran pun menyebutkan bahwa kalimat tauhid saja tidak cukup. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka… (QS. Fushshilat : 30). Hal itu berarti harus diiringi dengan konsistensi (istiqamah) bahwa kita harus mengamalkan tauhid selain beramal saleh adalah berwilayah kepada Ahlul Bait.

Tentu berwilayah kepada Ahlul Bait tidak cukup hanya dengan ucapan dan keinginan untuk berziarah kepada makam beliau. Tapi berwilayah kepada Ahlul Bait adalah dengan memperbanyak mengenal dan mendalami hakikat dan ajaran yang beliau sampaikan. Memahami tidak terlalu butuh biaya besar sebagaimana ziarah, meski berziarah memiliki keutamaan dan pahalanya tersendiri. Tapi jangan lupa bahwa menggali ilmu makrifat tentang apa yang beliau sabdakan merupakan bagian terpenting. Apa yang saya sampaikan hanya satu hadis dan sebagian penjelasan dari hadis tersebut. Anda semua dapat melanjutkan pemahaman tersebut. Sekali lagi selamat atas kelahiran beliau. Wassalâmu ’alaikum

Konsep Imamah Dan Wilayah Dalam Islam Syi’ah


Oleh Candiki Repantu.
 
Membincangkan Wilayah al-Faqih (vilayat-e faqih) tidak bisa terlepas dari konsep Imamah dan wilayah. Imamah dan wilayah adalah konsep kepemimpinan yang diyakini oleh umat syiah. Mayoritas syiah terdapat di Iran (Persia). Iran lewat perjuangan Ayatullah Khomeini telah menjadikan konsep Wilayah al-Faqih sebagai konstitusi negaranya setelah revolusi 1979. Karenanya, sebelum membahas fokus kajian ini, penulis terlebih dahulu menguraikan konsep Imamah dan wilayah tersebut sebagai faktor perumusan wilayah al-faqih.
 
Makna Imamah.
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata imam. Kata imam[1] sendiri berasal dari kata “amma” yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imam berarti “pemimpin atau contoh yang harus diikuti, atau yang mendahului”. Orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat.[2]
Dalam al-Quran, kata imam (bentuk tunggal) dipergunakan sebanyak 7 kali, dan kata a‘immah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi sesuai dengan penggunaanya. Bisa bermakna jalan umum (Q.S. Yasin/36: 12); pedoman (Q.S. Hud/11: 7); ikut (Q.S. al-Furqan: 74); dan petunjuk (Q.S. al-Ahqaf/46: 12). Begitu pula dalam makna pemimpin, kata ini merujuk pada banyak konteks, seperti pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama umatnya untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan mereka (Q.S. al-Isra/17: 71); pemimpin orang-orang kafir (Q.S. at-Taubah/9: 12); pemimpin spiritual atau para rasul yang dibekali wahyu untuk mengajak manusia mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, yaitu Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub (Q.S. al-Anbiya/21: 73); pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum ataupun dalam arti negatif (Q.S. al-Qasas/28: 5 dan 41); dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah Swt (Q.S. as-Sajadah/32: 24).[3]
 
Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kata imam yang berarti pemimpin, bisa digunakan untuk beberapa maksud, yaitu pemimpin dalam arti negatif yang mengajak manusia kepada perbuatan maksiat, pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum, dan pemimpin yang bersifat khusus yakni pemimpin spiritual.
Kata imam yang berarti pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum bisa digunakan untuk sebutan pemimpin pemerintahan atau pemimpin politik (sekuler), dan bisa pula untuk pemimpin agama. Sedangkan dalam arti pemimpin yang bersifat khusus, yakni sebagai pemimpin spiritual, bisa saja berimplikasi politik karena dipengaruhi oleh tuntutan keadaan. Karena, pada kenyataannya, upaya melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat dalam ajaran Islam, tidak hanya menyangkut pribadi tapi juga kehidupan kolektif, sebab itu, urusan seorang imam bisa berdimensi politis.

Nabi Muhammad saaw. misalnya, pada awalnya lebih berfungsi sebagai nabi dan rasul dalam makna sempit, yakni pemimpin spiritual yang menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, pada periode Madinah, kedudukan beliau mulai bersifat politis, sebab beliau juga melaksanakan tugas politik dan pemerintahan sebagai pemimpin atau kepala negara bagi masyarakat Madinah.[4]

Secara istilah, imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan juga urusan dunia sekaligus.[5] Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan mutlak agama dan negara, dunia dan akhirat, mesjid dan istana, atau ulama dan politikus. Inilah yang menjadikan penganut syiah, tidak hanya memandang para imam sebagai pengajar agama, tetapi juga sebagai pengatur segala urusan umat yang berhubungan dengan pranata-pranata sosial, politik, keamanan, ekonomi, budaya, dan seluruh kebutuhan interaksi umat lainya.

Penetapan Imamah Sebagai Ushuluddin.
Salah satu perbedaan pokok yang mendasar antara sunni dan syiah adalah keyakinan tentang imamah, yaitu bahwa Allah swt melalui lisan Nabi-Nya telah mengangkat orang-orang yang memiliki kualitas tinggi untuk menjadi pemimpin umat setelah wafatnya Nabi Muhammad Saww.
Keyakinan pada posisi imamah ini begitu mendasar dalam mazhab syiah imamiyah, sehingga dijadikan salah satu prinsip agama (ushuluddin), selain keyakinan pada ketuhanan (tauhid), keadilan (al-adl), kenabian (an-nubuwah), dan hari kebangkitan (al-ma’ad). Sehingga secara sederhana dapat dikatakan, seseorang dapat disebut sebagai penganut syiah jika ia mempercayai adanya imam yang dipilih Nabi saaw, yang secara formal berhak penuh melanjutkan kedudukan menggantikan Nabi Muhammad sebagai Imam seluruh umat, yang dalam keyakinan syiah, orang yang dipilih nabi tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, kerabat dan menantu beliau.
Hal ini juga berdasar pada wahyu ilahi. Misalnya, di dalam al-Quran, Allah berfirman bahwa manusia diperintahkan untuk bergabung dengan orang-orang yang takwa dan benar, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar” (QS. Al-Taubah: 119).

Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam barisan orang-orang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir sunni dan syiah terhadap makna ayat ini.[7]

Kriteria Imamah: Ishmah Dan Ilmu
Imam yang menggantikan Nabi Saw bukanlah sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi Saw. oleh karena itu, persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apa pun) dan ilm (ilmu yang sempurna).[8] Dalam hal ini, berdasarkan pada nas-nas yang shahih, syiah menegaskan bahwa orang yang memiliki sifat demikian hanyalah orang-orang tertentu (bukan semuanya) dari ahlul bait yang memiliki kedekatan dengan Nabi Saaw. Ahlul bait nabi yang dimaksud sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran (Q.S. al-Ahzab: 33) diantaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan kedua anaknya, Imam Hasan dan Imam Husain.

Imamah yang memiliki sifat ‘ismah perlu, karena syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi (tersaksikan dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna, tanpa cacat dan kesalahan.[9] Jadi, bagi syiah, orang yang memenuhi syarat untuk berperan sebagai penafsir hukum Tuhan hanyalah perantara ‘supra manusiawi’ yang diberi petunjuk oleh pencipta hukum tersebut, yaitu para Imam. Karenanya, syiah mengembangkan teori tentang Imamah sesuai dengan ketentuan imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia.[10]

Ishmah dan ilmu berjalan seiring dan saling dukung. Maksudnya, ishmah diperoleh salah satunya melalui ilmu yang sempurna. Dengan ilmunya, seorang imam mengetahui hukum-hukum agama dan akibat-akibat yang ditimbulkan karena melanggar ajaran-ajaran agama tersebut. Dengan ilmu yang yakin (ilmu al-yakin) dan menyaksikan konsekuensi perbuatannya (ain al-yakin), seorang imam akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan maksiat dan dosa. Laiknya seperti orang yang mengetahui dengan ilmunya yang pasti bahwa minyak panas akan dapat melukai dan menghancurkan kulitnya, maka ia tidak akan mau mencelupkan tangannya ke dalam kuali yang berisi minyak panas, walaupun hal itu belum pernah dicobanya.
Syiah, selain menggunakan dalil akal untuk menetapkan ‘ishmah para Imam, juga mengajukan dalil naqli, al-Quran dan hadits. Diantaranya yang cukup jelas adalah firman Allah kepada Nabi Ibrahim as, bahwa imam akan diangkat dari keturunannya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ’sesungguhnya Aku menjadikan engkau Imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman: “Janjiku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 124).

Ayat ini membicarakan tentang kisah Nabi Ibrahim as. yang setelah melewati fase kenabian dan kerasulan, dan setelah lulus dalam sejumlah ujian berat, maka Nabi Ibrahim as. diangkat menjadi Imam seluruh manusia. Dengan kesungguhannya, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi ini.

Frase terakhir dari ayat di atas menegaskan bahwa ketetapan Allah tidak akan mengenai orang-orang yang zalim. Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa dalam hal ini, secara terperinci kelompok manusia dibagi pada empat posisi, yaitu :
1. Manusia yang zalim sepanjang umurnya.
2. Manusia yang tidak zalim sepanjang umurnya.
3. Manusia yang zalim di awal umurnya, dan tidak diakhir umurnya.
4. Manusia yang tidak zalim di awal umurnya, tetapi zalim diakhirnya.[11]

Merujuk pada pembagian ini, maka kelompok manusia yang kedualah yang berhak mendapat dan diangkat menjadi imam, karena tidak pernah berbuat zalim alias maksum, seperti ditegaskan oleh ayat di atas. Sebab seseorang yang berbuat dosa adalah orang zalim atas dirinaya, sesuai dengan firman Allah, “…di antara mereka ada yang manganiaya diri mereka sendiri.” (Q.S. Fatir: 32).

Selain ayat di atas, Allah juga menegaskan kepada manusia untuk mematuhi pemimpin melalui firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. al-Nisa’: 59).

Ayat tersebut menurut Husein al-Habsyi menunjukkan bahwa ulil amri yang wajib ditaati adalah pemimpin yang senantiasa cocok dengan hukum Allah Swt. Ketaatan mutlak tidak akan pernah dilaksanakan kecuali jika pemimpin tersebut adalah orang yang maksum. Sebab, jika mereka berbuat kesalahan, maka harus ditegur dan ditolak saat itu juga. Sikap semacam ini bertentangan dengan keharusan taat kepada mereka. Akhirnya dua perintah Allah akan menjadi saling berbenturan, padahal keduanya menuntut adanya pelaksanaan untuk menghindari murka Yang Maha Kuasa, dalam arti kata taat kepada mereka.[12]
Sedangkan ayat yang secara jelas menyebutkan ahlul bait adalah ayat tathir, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Q.S. al-Ahzab: 33)

Para ulama ahli hadis, tafsir, dan sejarawan menyatakan bahwa ayat di atas turun kepada lima orang, yaitu Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein. Hal ini dapat ditemukan dalam banyak literatur baik di kalangan sunni maupun syiah seperti Musnad Ahmad bin Hambal, Mustadrak al-Hakim, Sunan al-Turmizi, tafsir Al-Tabari, Tarikh Baghdadi dan lain-lain.[13] Bahkan beberapa buku ditulis khusus untuk menguraikan tentang ayat tersebut, diantaranya[14]:
1. Sayid Syahid al-Qadhi Nurullah al-Tusturi, Al-Sahab al-Mathir fi Tafsiri Ayat Tathir.
2. Allamah Baha’uddin Muhammad bin Hasan al-Isfahani yang dikenal dengan gelar al-Fadhil al-Hindi, Tathir at-Tathir.
3. Allamah Sayid Abdul Baqi al-Husaini, Syarhu Tathir at-Tahir.
4. Syekh Abdul Karim bin Muhammad bin Thahir al-Qummi, Al-Shuwar al-Munthabaah.
5. Syekh Ismail bin Zainal Abidin yang bergelar Misbah, Tafsir Ayat at-Tathir.
6. Syekh Muhammad Ali bin Muhammad Taqi al-Bahrain, Jala’ul Dhamir fi Halli Musykilat Ayat Takhir.
7. Allamah Syekh Abdul Husain bin Mustafa, Aghlab ad-Dawain fi Tafsiri Ayat Tathir.
8. Syekh Luthfullah Ash-Shafi, Risalah Qayyimah fi Tafsiri Ayat Tathir.
9. Sayid Ja’far Murtadha al-Amili, Ahlulbait fi Ayat at-Tathir.
10. Syekh Muhammad Mahdi ash-Shifi, Kitab fi Maqal Ayat Tathir.
11. Sayid Ali al-Muwahhid al-Abthahi, Ayat Tathir fi Ahadits al-Fariqain.
12. Syekh Ja’far Subhani, Ayat at-Tathir.
13. Sayid Kamal haydari, al-Ishmah.

Dengan demikian, nas-nas al-Quran di atas secara jelas mengungkapkan bahwa, kepemimpinan ilahiah dalam Islam tidaklah berakhir setelah Rasulullah saw wafat. Akan tetapi, garis imamah dilanjutkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan orang-orang suci dari keturunannya melalui jalur Imam Ali dan Fatimah al-Zahra as.
Dan batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, kemaksuman yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa dan kesalahan, serta memiliki ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agama serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman. Setidaknya ada tiga syarat penting yang mesti dimiliki seseorang untuk menduduki posisi Imamah yaitu :
1. Merupakan pilihan dan diangkat oleh Allah swt, bukan diangkat oleh masyarakat umum
2. Memiliki keilmuan yang mencakup keseluruhan ilmu yang diperoleh secara ladunni dari sisi Allah swt.
3. Maksum dari segala kesalahan dan kekeliruan serta dosa.[15]

Ketiga syarat tersebut mengindikasikan bahwa orang yang menjadi imam mestilah diangkat oleh Allah, seperti halnya para Nabi, bukan diangkat oleh manusia. Namun, orang yang diangkat Allah swt haruslah orang yang memiliki kualitas kenabian secara lahiriah dan ruhaniah seperti yang disyaratkannya memiliki ilmu dan kemaksuman. Orang-orang yang memiliki kualitas seperti ini hanya Allah swt yang mengetahuinya, karena hanya Dialah yang senantiasa mengawasi manusia dengan kecermatan, ketelitian, dan pengawasan yang tidak mungkin dihinggapi kekeliruan.

Selain itu, Imamah juga merupakan petunjuk pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan Ilahi yang mesti dijalankan manusia. Tuhan dianggap adil karena Ia ingin manusia berjalan di garis yang benar; Tuhan pencipta manusia dan tidak akan membiarkan makhluk-Nya dalam kesesatan. Untuk misi itulah para rasul diutus oleh Tuhan.

Pengangkatan Dan Penunjukkan Imam.
Seperti disebutkan di atas bahwa pengangkatan atau penunjukan imam merupakan hak preogratif Allah swt, yang disampaikan melalui wahyu dan lisan Rasulullah saaw. Manusia tidaklah memiliki peran dalam pemilihan tersebut, disebabkan penentuan seorang imam menunut kelayakan zatiah, yakni kelayakan yang mana pada diri seseorang telah tertanam sifat-sifat dan kriteria imam seperti ishmah dan ilmu secara sempurna dan telah menjadi jati dirinya.

Imamah dalam pandangan kaum syiah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat, yang kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Khwajah Nasiruddin at-Thusi sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari menggunakan ungkapan ilmiah dan mengatakan bahwa Imam adalah luthf (karunia) Allah. Maksudnya seperti kenabian dan berada di luar otoritas manusia. Karenanya, Imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti Nabi Saw, Imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi berhubungan langsung dengan Allah Swt, sedangkan Imam diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah Swt.[16]

Pandangan ini diperkuat dengan penunjukan langsung Rasulullah Muhammad saaw untuk menjadikan Imam Ali sebagai pemimpin (maula, waliy) seluruh kaum muslimin sesaat setelah menyelesaikan haji wada’. Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan “hadits ghadir khum” yang mencapai derajat mutawatir.
Jumhur ulama Islam baik dari sunni dan syiah telah mengakui bahwa Nabi Saw pada hari ke-18, pada bulan Zulhijjah tahun ke-10 H, sepulangnya dari haji wada’ menuju Madinah al-Munawarah, beliau berhenti di Ghadir, di sebuah dataran yang bernama Khum. Beliau memerintahkan orang yang mendahuluinya untuk kembali dan menanti orang-orang yang tertinggal di belakang. Sehingga semua orang yang bersama beliau berkumpul, jumlah mereka pada waktu itu diperkirakan mencapai 70.000 orang atau lebih, dan ada yang berpendapat 120.000 orang.[17]

Rasulullah naik ke atas mimbar, beliau berbicara dengan khutbah yang sangat istimewa. Pesan-pesan ilahiah mengenai persaudaraan, keimanan, keutamaan Islam, dan sebagainya disampaikan nabi saaw dengan fasihnya. Hingga kemudian beliau menyampaikan akan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib, mendoakannya dan mendoakan orang-orang yang mendukungnya, serta mereka yang menjadikannya sebagai wali.[18]

Kemudian, beliau memerintahkan para sahabatnya agar menyediakan tempat bagi Ali, kemudian mendudukkannya di tempat itu. Nabi kemudian memerintahkan semua yang bersama beliau untuk mendatanginya, baik perseorangan maupun berjamaah, untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya atas kepemimpinan Ali kelak terhadap seluruh kaum Muslim. Setelah itu para sahabat diperintahkan nabi membai’at Imam Ali. Rasulullah Saw berkata, “Tuhanku telah memerintahkan kepadaku tentang hal ini, dan menyuruh kamu sekalian untuk membai’at kepada Ali.” Riwayat ini menurut Ayatullah Sayyid Muhammad al-Musawi, terdapat dalam lebih 60 kitab karangan ulama-ulama terkenal Sunni, lebih dari 300 sumber dan lebih 100 periwayat dari sahabat Nabi. Sumber-sumber itu antara lain Sunan Abu Daud, Sahih Muslim, Sir al-‘Alamin karya Abu Hamid al-Gazali, Sunan Ibnu Majah, al-Mustadrak al-Hakim, Minhaj al-Sunnah Ibnu Taimiyah, Sunan an-Nasa’i dan lain-lain. [19]

Inilah deklarasi umum kepemimpinan Imam Ali, dengan memproklamirkan, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya juga (man kuntu maula hu fa hadza Ali maula hu .[20]

Hadits ini mempunyai banyak jalur periwayatan baik dari jalur sunni maupun syiah, sehingga mustahil untuk diragukan. Ridha al-Hakimi dalam Hamaseh Ghadir menyatakan “Apabila (kriteria keshahihan) hadits al-Ghadir ini tidak kita terima kebenarannya, niscaya tidak ada satupun hadits lain yang dapat kita terima”.[21]

Hadis al-Ghadir termasuk hadis yang paling mutawatir. Husain Ali Mahfuz, dalam risetnya yang mendalam seputar persoalan Ghadir Khum, telah mencatat dengan dokumentasi bahwa hadits al-ghadir ini telah dirawikan oleh paling sedikit 110 sahabat, 84 thabiin, 355 ulama, 25 sejarawan, 27 ahli hadits, 11 mufasir, 18 teolog, dan 5 filolog.[22] Al-Amini dalam karya monumentalnya al-Ghadir sebanyak 11 jilid dengan panjang lebar menelusuri sumber-sumber rujukan hadits tersebut. Al-Amini menyebutkan para perawinya dari kalangan sahabat yang mencapai 110 orang sahabat sebagai berikut :
1. Abu Hurairah al-Dausi (w.57/58H). Diantaranya diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad jilid VIII, hlm. 290. Al-Khawarizmi di dalam Manaqib, hlm. 130. Ibn Hajar di dalam Tahzhib al-Tahzhib jilid VII, hlm. 327.
2. Abu Laila al-Ansari (w. 37 H). Diantaranya ditulis oleh al-Khawarizmi, Manaqib, hlm. 35. Al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114 dan Samhudi di dalam kitab Jawahir al-Aqidain.
3. Abu Zainab bin ‘Auf al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah jilid 3, hlm. 307. dan jilid 5, hlm. 205; Ibn Hajr Asqalani, al-Isabah jilid 3, hlm. 408 dan jilid 4, hlm. 80.
4. Abu Fadhalah al-Ansari, sahabat Nabi saaw di dalam peperangan Badr. Di antara orang yang memberi penyaksian kepada ‘Ali AS dengan hadith al-Ghadir di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah jilid 3, hlm. 307, dan jilid 5, hlm.205.
5. Abu Qudamah al-Ansari. Di antara orang yang menyahut seruan ‘Ali AS di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah jilid 5, hlm. 276.
6. Abu ‘Umrah bin ‘Umru bin Muhsin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah Jilid 3, hlm. 307.
7. Abu al-Haitsam bin al-Taihan meninggal dunia saat perang al-Siffin tahun 37 H. Diriwayatkan oleh al-Qadhi dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
8. Abu Rafi’ al-Qibti, hamba Rasulullah SAWAW. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi dalam Maqtal dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam Nakhb.
9. Abu Dhuwaib Khuwalid atau Khalid bin Khalid bin Muhrith al-Hazali wafat di dalam pemerintahan Khalifah ‘Uthman. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalam Hadith al-Wilayah, al-Khawarizmi di dalam Maqtal.
10. Abu Bakr bin Abi Qahafah al-Taimi (w.13H). Lihat Ibn Uqdah dalam Hadith al-Wilayah; Abu Bakr al-Ja’abi dalam al-Nakhb, al-Mansur al-Razi dalam kitabnya Hadith al-Ghadir, Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i dalam Asna al-Matalib, hlm. 3.
11. Usamah bin Zaid bin al-Harithah al-Kalbi (w.54H). Diriwayatkan di dalam Hadith al-Wilayah dan Nakhb al-Manaqib.
12. Ubayy bin Ka’ab al-Ansari al-Khazraji (w. 30/32H). Lihat Abu Bakr al-Ja’abi dalam Nakhb al-Manaqib.
13. As’ad bin Zararah al-Ansari. Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4.
14. Asma’ binti Umais al-Khath’amiyyah. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalam Hadith al-Wilayah.
15. Umm Salamah isteri Nabi SAWAW. Lihat al-Samhudi al-Syafii dalam Jawahir al-Aqirain; dan al-Qunduzi al-Hanafi dalam Yanabi al-Mawaddah, hlm. 40.
16. Umm Hani’ binti Abi Talib. Lihat al-Qunduzi l-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 40 dan Ibn ‘Uqdah, Hadith al-Wilayah.
17. Abu Hamzah Anas bin Malik al-Ansari al-Khazraji hamba Rasulullah saaw (w. 93H). Lihat al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikhnya jilid VII, hlm. 377; Ibn Qutaibah, al-Ma’arif, hlm. 291; al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
18. Al-Barra’ bin ‘Azib al-Ansari al-Ausi (w. 72H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm. 281; Ibn Majah di dalam Sunan, I, hlm. 28-29.
19. Baridah bin al-Hasib Abu Sahl al-Aslami (w. 63H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 110; al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
20. Abu Sa’id Thabit bin Wadi’ah al-Ansari al-Khazraji al-Madani. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
21. Jabir bin Samurah bin Janadah Abu Sulaiman al-Sawa’i (w. 70H). Diriwayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-Ummal, VI, hlm. 398.
22. Jabir bin Abdullah al-Ansari (w. 73/74H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Birr di dalam al-Isti’ab, II, hlm. 473; Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tadhib, V, hlm. 337.
23. Jabalah bin ‘Umru al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah.
24. Jubair bin Mut’am bin ‘Adi al-Qurasyi al-Naufali (w. 57/58/59 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 31, 336.
25. Jarir bin ‘Abdullah bin Jabir al-Bajali (w. 51/54 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 106.
26. Abu Dhar Janadah al-Ghaffari (w.31 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah; Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4.
27. Abu Junaidah Janda’ bin ‘Umru bin Mazin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 308.
28. Hubbah bin Juwain Abu Qadamah al-’Arani (w. 76-79H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 103; al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad, VIII, hlm. 276.
29. Hubsyi bin Janadah al-Jaluli. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307, V, hlm. 203; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa Nihayah, VI, hlm. 211.
30. Habib bin Badil bin Waraqa’ al-Khaza’i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 304.
31. Huzaifah bin Usyad Abu Sarihah al-Ghaffari. (w.40/42 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 38.
32. Huzaifah al-Yamani (w.36 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 40.
33. Hasan bin Tsabit. Salah seorang penyair al-Ghadir pada abad pertama Hijrah.
34. Imam Mujtaba Hasan bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
35. Imam Husain bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Hilyah al-Auliya’, IX, hlm.9.
36. Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Ansari (w.50/51H). Diriwayatkan oleh Muhibuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, I, hlm. 169; Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabbah, V, hlm. 6 dan lain-lain.
37. Abu Sulaiman Khalid bin al-Walid al-Mughirah al-Makhzumi (w. 21/22H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
38. Khuzaimah bin Thabit al-Ansari Dhu al-Syahadataini (w. 37H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah,III, hlm. 307 dan lain-lain.
39. 39. Abu Syuraih Khuwailid Ibn `Umru al-Khaza`i (w. 68 H).Di antara orang yang menyaksikan Amiru l-Mukminin dengan hadis al-Ghadir.
40. Rifaah bin `Abd al-Munzhir al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
41. Zubair bin al-`Awwam al-Qurasyi (w. 36 H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 3.
42. Zaid bin Arqam al-Ansari al-Khazraji (w. 66/68 H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm.368 dan lain-lain.
43. Abu Sa`id Zaid bin Thabit (w. 45/48 H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib,hlm. 4 dan lain-lain.
44. Zaid Yazid bin Syarahil al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, II, hlm. 233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 567 dan lain-lain.
45. Zaid bin `Abdullah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
46. Abu Ishak Sa`d bin Abi Waqqas (w. 54/56/58 H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak , III, hlm. 116 dan lain-lain.
47. Sa`d bin Janadah al-`Aufi bapa kepada `Atiyyah al-`Aufi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah , dan lain-lain.
48. Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji (w. 14/15 H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja`abi di dalam Nakhb.
49. Abu Sa`id Sa`d bin Malik al-Ansari al-Khudri (w.63/64/65H). Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Manaqibnya, hlm. 8; Ibn Kathir di dalam Tafsirnya, II, hlm. 14 dan lain-lain.
50. Sa`id bin Zaid al-Qurasyi `Adwi (w. 50/51 H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Maghazili di dalam Manaqibnya.
51. Sa`id bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
52. Abu `Abdullah Salman al-Farisi (w. 36/37 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
53. Abu Muslim Salmah bin `Umru bin al-Akwa` al-Islami (w. 74H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya didalam Hadis al-Wilayah.
54. Abu Sulaiman Samurah bin Jundab al-Fazari (w.58/59/60 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
55. Sahal bin Hanif al-Ansari al-Awsi (w. 38 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
56. Abu `Abbas Sahal bin Sa`d al-Ansari al-Khazraji al-Sa`idi (w. 91H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
57. Abu Imamah al-Sadiq Ibn `Ajalan al-Bahili (w. 86 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
58. Dhamirah al-Asadi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
59. Talhah bin `Ubaidillah al-Tamimi wafat pada tahun 35 Hijrah di dalam Perang Jamal. Diriwayatkan oleh al-Mas`udi di dalam Muruj al-Dhahab, II, hlm. 11; al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 171 dan lain-lain.
60. Amir bin `Umair al-Namiri. Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 255.
61. Amir bin Laila bin Dhumrah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 92 dan lain-lain.
62. Amir bin Laila al-Ghaffari. Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 257 dan lain-lain.
63. 63. Abu Tufail `Amir bin Wathilah. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 118; al-Turmudhi di dalam Sahihnya, II, hlm. 298 dan lain-lain.
64. 64. `Aisyah binti Abu Bakr bin Abi Qahafah, isteri Nabi (s.`a.w.). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
65. Abbas bin `Abdu l-Muttalib bin Hasyim bapa saudara Nabi (s.`a.w.). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
66. Abdu al-Rahman bin `Abd Rabb al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 408 dan lain-lain.
67. Abu Muhammad bin `Abdu al-Rahman bin Auf al-Qurasyi al Zuhri (w. 31 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 3 dan lain-lain.
68. Abdu al-Rahman bin Ya`mur al-Daili. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
69. Abdullah bin Abi `Abd al-Asad al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
70. Abdullah bin Badil bin Warqa’ Sayyid Khuza`ah. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
71. Abdullah bin Basyir al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
72. Abdullah bin Thabit al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
73. Abdullah bin Ja`far bin Abi Talib al-Hasyim (w. 80 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
74. Abdullah bin Hantab al-Qurasyi al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam Ihya’ al-Mayyit.
75. Abdullah bin Rabi`ah. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtalnya.
76. Abdullah bin `Abbas (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Nasa`i di dalam al-Khasa`is, hlm. 7 dan lain-lain.
77. Abdullah bin Ubayy Aufa `Alqamah al-Aslami (w.86/87H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
78. Abu `Abd al-Rahman `Abdullah bin `Umar bin al-Khattab al- `Adawi (w. 72/73 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 106 dan lain-lain.
79. Abu `Abdu al-Rahman `Abdullah bin Mas`ud al-Hazali (w. 32/33H). Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam al-Durr al-Manthur, II, hlm. 298 dan lain-lain.
80. Abdullah bin Yamil. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 274; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 382 dan lain-lain.
81. Uthman bin `Affan (w. 35 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
82. Ubaid bin `Azib al-Ansari, saudara al-Bara’ bin `Azib. Di antara orang yang membuat penyaksian kepada `Ali a.s di Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
83. Abu Tarif `Adi bin Hatim (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
84. Atiyyah bin Basr al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
85. Uqbah bin `Amir al-Jauhani. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68.
86. Amiru l-Mukminin `Ali bin Abi Talib a.s. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 152; al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107; al-Suyuti di dalam Tarikh al- Khulafa’, hlm. 114; Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tahdhib, VII, hlm. 337; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, V, hlm. 211 dan lain-lain.
87. Abu Yaqzan `Ammar bin Yasir (w. 37H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
88. Ammarah al-Khazraji al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107 dan lain-lain.
89. Umar bin Abi Salmah bin `Abd al-Asad al-Makhzumi (w. 83 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
90. Umar bin al-Khattab (w. 23 H). Diriwayatkan oleh Muhibbuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, II, hlm. 161; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, VII, hlm. 349 dan lain-lain.
91. Abu Najid `Umran bin Hasin al-Khuza`i (w. 52 H). Diriwayatkan oleh syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
92. Amru bin al-Humq al-Khuza`i al-Kufi (w. 50 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
93. Amru bin Syarhabil.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtalnya.
94. Amru bin al-`Asi. Diriwayatkan oleh Ibn Qutaibah di dalam al-Imamah wa al-Siyasah, hlm. 93 dan lain-lain.
95. Amru bin Murrah al-Juhani Abu Talhah atau Abu Maryam. Diri-wayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-`Ummal, VI, hlm. 154 dan lain-lain.
96. Al-Siddiqah Fatimah binti Nabi (s.`a.w.).Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
97. Fatimah binti Hamzah bin `Abdu l-Muttalib. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
98. Qais bin Thabit bin Syamas al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 305 dan lain-lain.
99. Qais bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
100. Abu Muhammad Ka`ab bin `Ajrah al-Ansari al-Madani (w. 51 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
101. Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairath al-Laithi (w. 84 H). Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114 dan lain-lain.
102. Al-Miqdad bin `Amru al-Kindi al-Zuhri (w. 33 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
103. Najiah bin`Amru al-Khuza`i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, V, hlm. 6; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, III, hlm. 542 dan lain-lain.
104. Abu Barzah Fadhlah bin `Utbah al-Aslami (w. 65 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
105. Na’mar bin `Ajalan al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68 dan lain-lain.
106. Hasyim al-Mirqal Ibn`Utbah bin Abi Waqqas al-Zuhri (w. 37H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 366; Ibn Hajr di dalam _al-Isabah, I, hlm. 305.
107. Abu Wasmah Wahsyiy bin Harb al-Habsyi al-Hamsi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
108. Wahab bin Hamzah.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi pada Fasal Keempat di dalam Maqtalnya.
109. Abu Juhaifah Wahab bin`Abdullah al-Suwa’i (w. 74 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
110. Abu Murazim Ya’li bin Murrah bin Wahab al-Thaqafi. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah , II, hlm.233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah , III, hlm. 542[23].

Demikianlah 110 perawi-perawi hadis al-Ghadir di kalangan sahabat mengenai penunjukan Ali a.s sebagai imam atau khalifah secara langsung oleh Rasulullah saaw. Kemudian diikuti pula oleh 84 perawi-perawi dari golongan para Tabi`in yang meriwayatkan hadis al-Ghadir serta 360 perawi-perawi di kalangan para ulama Sunnah yang meriwayatkan hadis tersebut di dalam buku-buku mereka. Malah terdapat 26 pengarang dari kalangan para ulama Ahl al-Sunnah yang mengarang buku secara khusus tentang hadis al-Ghadir.[24]

Para perawi hadis al-Ghadir tidak berhenti sampai batas ini, melainkan juga dinukil secara mutawatir pada setiap tingkatan-tingkatannya. Jumlah para perawinya dari abad kedua hingga abad keempat belas Hijrah mencapai 360 orang. Diantara ulama Sunni kontemporer yang menyebutkan peristiwa ini, diantaranya :
1. Ahmad Zaini Dahlan al-Makki al-Syafii dalam kitabnya Futuhat al-Islamiyah
2. Syeikh Yusuf al-Nabhani al-Beiruti dalam kitabnya al-Syaraf al-Muayyad
3. Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsir al-Manar
4. Abdul Hamid al-Alusi al-Baghdadi dalam kitabnya Natsr al-La’ali
5. Sayyid Mukmin Sablanji al-Misri dalam Nur al-Abshar
6. Syeikh Muhammad Habibullah Syanqithi dalam Kifayah al-Thalib
7. Dr. Ahmad Rifai dalam kitabnya Ta’liqat Mu’jam al-Udaba
8. Ahmad Zaki al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat al-Ghani
9. Ahmad Nashim al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat Diwan Mihyar Dailami
10. Muhammad Mahmud Rifai dalam kitabnya Syarhu al-Hasyimiyat
11. Nashir as-sunnah al-Hamdhrani dalam Tasynif al-Adzan
12. Dr. Umar al-Faruk dalam Hakim al-Muammarah.[25]
Adapun ulama Syiah diantaranya:
1. Syeikh Ahmad bin Ali bin Abi Thalib at-Thabarsi menulis kitab al-Ihtijaj
2. Mir Hamid Husain al-Hindi dalam karyanya Abaqat al-Anwar sebanyak 20 jilid
3. Syeikh Abdul Husain al-Amini dalam karyanya al-Ghadir sebanyak 11 jilid
4. Ali Akbar Shadeqi, Payam Ghadir (Khutbah al-Rasul saw fi Ghadir Khum).
5. Syeikh Ayub al-Hairi, al-Ghadir

Hadits al-Ghadir di atas umumnya dipandang sebagai pelantikan Imam Ali as saja, sedangkan syiah meyakini ada 12 imam. Keyakinan akan 12 imam atau khalifah ini didukung teks-teks hadits yang cukup terkenal yang diriwayatkan para ahli hadits di dalam kitab-kitab utama mereka seperti : Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, serta kitab-kitab standar lainnya yang jika kita telusuri akan mencapai setidaknya 270 riwayat, diantaranya Al-Qanduzi al-Hanafi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah, “Yahya bin Hasan telah menyebutkan di dalam kitab al-’Umdah melalui dua puluh jalan bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, dan seluruhnya dari bangsa Quraisy. Dan begitu juga di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, di dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui tiga jalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi melalui tiga jalan.

Sebagai misal, di dalam Sahih Bukhari berasal dari Jabir yang mengatakan, “Rasulullah saw telah bersabda, ‘Akan muncul sepeninggalku dua belas orang amir’, kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang saya tidak mendengarnya. Lalu saya menanyakannya kepada ayah saya, ‘Apa yang telah dikatakannya?’ Ayah saya men-jawab, ‘Semuanya dari bangsa Quraisy.’” Adapun di dalam Sahih Muslim berasal dari ‘Amir bin Sa’ad yang berkata, “Saya menulis surat kepada Ibnu Samrah, ‘Beritahukan kepada saya sesuatu yang telah Anda dengar dari Rasulullah saw.’ Lalu Ibnu Samrah menulis kepada saya, ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Jumat sore pada saat dirajamnya al-Aslami, ‘Agama ini akan tetap tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya dua belas orang khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy.”

Ayatullah Ibrahim Amini meneliti hadits-hadits tentang 12 imam atau khalifah dan mengelompokkanya menjadi lima kelompok,[26] yaitu :
1. Hadits-hadits yang menggambarkan bahwa para khalifah dan umara setelah nabi berjumlah 12 orang. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim Jilid III, “Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy.”
2. Hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para imam berjumlah dua belas orang dan terakhirnya bernama al-Qaim atau Mahdi.
3. Hadits-hadits yang menyebutkan jumlah 12 orang dengan disertai nama-nama setiap imam.
4. Hadits-hadits yang menyatakan bahwa para imam ada 12 orang dan semuanya suci.
5. Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa ahlul bait akan tetap ada hingga hari kiamat.

Syiah meyakini bahwa tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas khalifah yang ditentukan Nabi Muhammad saaw. itu adalah para Imam maksum as. dari Imam Ali bin Abi Thalib as hingga Imam Muhammad al-Mahdi afs.

Meskipun begitu, umumnya ulama sunni tetap menganggap bahwa pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah bukanlah hal yang mutlak, bahkan sebagiannya ada yang menolak persoalan tersebut. Menurut analisa Jalaluddin Rakhmat, setidaknya, dalam menanggapi persoalan ini para pemikir sunni melakukan enam teknik pengalihan fakta[27], yaitu :
1. Membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang kabur. Contoh: Tarikh al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi tentang Ali, “Inilah washiku dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam tafsir al-Thabari dan Ibnu Katsir diganti dengan “wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah)”. Tentu kata ‘washi’ dan ‘khalifah’ sangat jelas, sedangkan” wa kadza” tidak jelas.
2. Membuang seluruh beritanya dengan memberithaukan bahwa pembuangan cerita itu ada. Contohnya: Dalam buku ‘Shiffin’ karya Nashr bin Mazahim (w. 212 H) dan Muruj al-Dzahab karya al-Masudi (w. 246 H) diceritakan bahwa Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Muawiyah menjelakan keutamaan Imam Ali sebagai ‘washi’ nabi, dan muawiyah mengakuinya. Namun, al-Thabari yang juga menceritakan kisah tersebut dengan merujuk pada buku-buku di atas sebagai sumber, membuang semua isi surat itu dengan alasan supaya orang banyak tidak resah mendengarnya. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, juga menghilangkan isi surat itu dengan alasan yang sama.
3. Memberikan makna lain (takwil) pada riwayat. Contohnya : al-Thabrani dalam Majma al-Zawaid meriwayatkan ucapan Nabi kepada Salman al-Farisi bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberikan komentar, “Nabi menjadikannya washi untuk keluarganya, bukan untuk khalifah”.
4. Membuang sebagian riwayat tanpa menyebutkan petunjuk atau alasan. Contohnya: Ibnu Hisyam mendasarkan kitabnya, Tarikh Ibnu Hisyam pada Tarikh Ibnu Ishaq. Akan tetapi Ibnu Hisyam dalam kata pengantarnya berkata bahwa ia meninggalkan beberapa bagian riwayat Ibnu Ishaq yang jelek bila disebut orang. Diantara yang ditinggalakanya itu adalah kisah “wa andzir ashiratakal aqrabin”, yang dalam Sirah Ibnu Ishaq di riwayatkan Nabi mengatakan “Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada bukunya cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi, “siapa yang akan membantuku dalam urusan ini akan menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Pada cetakan kedua (tahun 1354 H) ucapan Nabi ini dibuang dari bukunya.
5. Melarang penulisan hadits-hadits Nabi saw, dari masa sahabat sampai masa thabiin, sehingga kemungkinan hadits banyak yang hilang.
6. Mendhaifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan orang yang kita dukung atau yang menunjukkan kehebatan lawan. Contohnya: Ibnu Katsir mendhaifkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali sebagai washi dan khalifah Nabi. Ia menganggap riwayat ini sebagai dusta yang dibuat-buat orang syiah atau orang-orang bodoh dalam ilmu hadits. Padahal hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat oleh Imam Ahmad, al-Thabari, al-Thabrani, Abu Nuaim al-Isbahani, Ibnu Asakir, dan lainya.
 

Cara ini telah melahirkan diskusi mazhab yang panjang. Ulama Sunni menulis buku yang menyerang mazhab Syiah, dan Ulama Syiah membalasnya dengan menulis buku juga sebagai jawaban. Al-Hilli menulis buku Minhaj al-Karamah yang dibantah oleh Ibnu Rouzban (dari sunni) dan dibalas lagi oleh al-Marasyi al-Tustary (dari Syiah). Kompilasi bantahan ini sekarang menjadi buku ‘Ihqaq al-Haq’ sebanyak 19 jilid, yang setiap jilidnya sama dengan ukuran Encyclopedia Britannica. Ibnu Taymiyah menulis buku ‘Minhaj al-Sunnah’ juga untuk membantah buku ‘Minhaj al-Karamah’. Akhirnya ditulislah 11 jilid al-Ghadir dan 20 jilid “Abaqat al-Anwar” untuk membuktikan keshahihan hadits ghadir khum yang didhaifkan Ibnu Taymiyah. Sampai saat ini belum ada bantahan untuk kedua buku tersebut.

Hubungan Imamah Dan Wilayah.
Pada dasarnya, imamah dan wilayah adalah konsepsi yang tak terpisahkan, antara bagian dan keseluruhan. Maksudnya, wilayah adalah payung besar yang menaungi seluruh konsepsi kepemimpinan Islam, baik itu kenabian (an-nubuwah), keimaman (imamah), ataupun keulamaan (fukaha). Ini berarti wilayah merupakan konsepsi yang khas sebagai bentuk distribusi kepemimpinan mulai dari Allah (wilayah Allah), Nabi (wilayah al-nabi), imam (wilayah al-imam), hingga ulama (wilayah al-faqih).

Ayat berikut dipandang oleh syiah sebagai rujukan penting mengenai wilayah: “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan rukuk.” (Q.S. al-Maidah: 55)

Ayat ini menetapkan tiga “kewalian” yaitu Allah, Nabi Muhammad Saw, dan “orang yang beriman”. Frasa terakhir (orang yang beriman) ini, disebutkan oleh para ahli hadits dan tafsir merujuk kepada Imam Ali bin Abi Thalib.[28] Jadi, ayat ini mengindikasikan kewalian Imam Ali bin Abi Thalib, dan para imam lainnya yang wilayah mereka ditetapkan melalui penunjukan mereka oleh Nabi Saw.[29]

Menurut A.A. Sachedina, Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir telah melaksanakan tugasnya mengemban wilayah al-ilahiyah. Wilayah al-Ilahiyah berkaitan dengan visi moral wahyu islami. Wahyu islami memandang kehidupan publik sebagai suatu proyeksi niscaya dari tanggapan pribadi terhadap tantangan moral untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang berdasarkan ajaran-ajaran Allah di muka bumi. Untuk mewujudkan itu, kepemimpinan amat penting. Sebab hanya melalui kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah, penciptaan masyarakat yang ideal dapat diwujudkan. Masalah kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah dalam memenuhi rencana Allah, di bawah naungan wilayah al-Ilahiyah, dengan demikian menempati posisi sentral dalam sistem keimanan atau pandangan Syiah, yang di dalamnya Nabi Muhammad Saw sebagai wakil aktif Allah yang transendental di muka bumi, digambarkan sebagai memiliki wilayah Ilahi. Untuk menjamin kontinuitas visi wahyu yang demikian, kontinuitas realisasi kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan.[30]

Fakta ini demikian penting, sehingga baik selama masa hidup Nabi Muhammad Saw, maupun segera setelah wafatnya, masalah kepemimpinan dalam Islam menjadi jalin-berjalin demikian erat dengan penciptaan suatu tatanan Islami. Wahyu Islami tak pelak lagi mengandung arti bimbingan Allah melalui perwakilan yang ditunjuk oleh Allah, yaitu Nabi Muhammad Saw, untuk mewujudkan tatanan masyarakat Islami. Dan setelah Rasulullah Muhammad saaw, amanah untuk menjaga dan mewujudkan tatanan islami itu dilanjutkan oleh para imam yang diangkat oleh Allah melalui lisan wahyu Rasulullah saaw.

Imamah Dan Wilayah Sebagai Kepemimpinan Universal.
Kata maula[31] dan al-waliy dalam kamus-kamus Bahasa Arab memiliki beberapa arti, diantaranya : yang bertanggung jawab dalam suatu pekerjaan (al-mutawalli fi al-amr), penolong (nashir), teman (shahib), pecinta (muhib), sekutu (haliif), pewaris (warits).
 
 Sebagian dari penulis ahli sunnah menyatakan bahwa al-wali atau maula dalam ayat dan hadis “man kuntu maula” berarti teman atau kekasih atau dengan kata lain dalam hadis al-Ghadir, Rasul hanya ingin menegaskan pada kaum muslimin bahwa siapa yang mencintai beliau harus juga mencintai Imam Ali a.s dan tidak lebih dari itu.

Memang tidak ada yang memungkiri bahwa kata al-wali atau maula bisa berarti teman atau kekasih. Akan tetapi, menurut pandangan syiah, dalam konteks ayat wilayah dan hadits al-ghadir, tidaklah tepat memaknai kata tersebut dengan teman atau kekasih dikarenakan alasan sebagai berikut: [32]

1. Bahwasanya kecintaan terhadap Imam Ali a.s. dan kecintaan kaum muslimin dengan sesama mereka adalah masalah yang sudah tersebar luas dan diketahui oleh seluruh umat Islam, karena diawal-awal dakwah rasul, beliau selalu menyampaikan “innamal mukminuna ikhwah”, sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara “, oleh karena itu tidak perlu lagi rasul mengumpulkan puluhan bahkan ratusan ribu kaum muslimin dalam kondisi dibawah terik matahari hanya untuk menyampaikan bahwa mereka harus mencintai Imam Ali as.
2. Ayat tentang wilayah ini mengandung makna pengaturan dan ketaatan khusus pada tiga wali yakni Allah, Nabi dan ‘orang beriman’ (Imam Ali).

Terkait Berita: