Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label nikah Masal. Show all posts
Showing posts with label nikah Masal. Show all posts

Nikah Mut’ah tidak dapat dilakukan di Indonesia – Malaysia dan Brunei karena ““Nikah Mut’ah harus didukung oleh OTORiTAS PENUH NEGARA dibawah kondisi yang dikendalikan secara ketat, Mereka yang menyalahgunakannya harus dihukum, Nikah Mut’ah memiliki tujuan orisinal untuk memelihara perintah TUHAN dengan tepat agar tidak diputar balikkan oleh orang orang JAHAT demi kepentingan zina dan pelacuran mereka””



Nikah  Mut’ah  tidak  dapat dilakukan di Indonesia – Malaysia dan Brunei  karena  ““Nikah Mut’ah harus didukung  oleh  OTORiTAS PENUH NEGARA  dibawah kondisi yang dikendalikan secara ketat, Mereka yang menyalahgunakannya harus dihukum, Nikah Mut’ah memiliki  tujuan orisinal untuk memelihara perintah TUHAN dengan tepat agar tidak diputar balikkan oleh orang orang JAHAT demi kepentingan zina dan pelacuran mereka””

Indonesia – Malaysia dan Brunei  bukan negara Islam bermazhab syi’ah…

Jika anda menemukan pemerkosa di tiga negara tersebut, dapatkah anda menggantung nya hidup hidup tanpa didasari HUKUM NEGARA ?

Jika anda melakukan, maka bisa bisa anda masuk penjara…
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.

Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.

Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.

Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah
Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi:
“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)

Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.

Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah.
Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:
1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.
2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.
3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.
4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.
5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.
6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.
7. dst.

Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in.
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.

Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?

Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?

Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87).

Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?

Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.

Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.

Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.

Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.

Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”.

Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .

Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.

Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.

Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).

Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.

Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.

Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?

Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).

Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.

Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:
  1. Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
  2. Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
  3. Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
  4. Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.
Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).

2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?

Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.

Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?

Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?

Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.

Penutup:
Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).

Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59).

Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36)

Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku.



Perkahwinan satu rahmat Allah swt.

Mut’ah dianggap sebagai pelacuran oleh mereka yang tidak mengetahui dan mereka yang tidak mahu mengetahui. Dalam mempermainkan Mut’ah dan berbohong mengenai hal tersebut, mereka lupa bahawa Mut’ah pernah dibenarkan dalam Islam dan al-Quran, pertikaian yang berlaku hanyalah terhadap pemansuhannya.

Perkahwinan Syarat-Tetap/Sementara/Nikmat adalah nama-nama lain untuk perkataan Arab iaitu Mut’ah yang mana adalah kontrak antara seorang lelaki dan wanita, banyak persamaannya dengan Perkahwinan Jangka Panjang/Kekal/Lazim. Perbezaan utama adalah nikah Mut’ah bertahan hanya untuk jangka masa yang ditetapkan, dan lelaki dan wanita akan menjadi orang asing terhadap sesama sendiri selepas tamat tempoh tanpa penceraian. Satu salah faham berkenaan nikah Mut’ah ialah sesetengah orang berfikir bahawa wanita yang terlibat dalam nikah Mut’ah boleh melakukan kontrak secara berterusan tanpa henti. Ini sebenarnya adalah kefahaman yang salah mengenai nikah Mut’ah. Selepas satu-satu kontrak itu tamat tempohnya, wanita tersebut perlu menunggu selama dua bulan (Iddah) sebelum dapat berkahwin dengan orang lain. Isu ini, termasuk yang lain, akan dibincangkan kemudian dengan lebih mendalam. Malah, terdapat juga pelbagai syarat untuk melakukan Mut’ah.

Isu Mut’ah dan pemansuhannya akan dibahagikan kepada 2 bahagian, iaitu melalui al-Quran dan hadis.
Orang pertama yang menggubal undang-undang mengenai Mut’ah dan semua peraturan berkaitan dengannya adalah Rasul Allah (SAW), selepas ianya diturunkan dalam al-Quran. Semua Muslim bersetuju bahawa Rasul Allah menggubal undang-undang berkaitan Mut’ah dan membenarkannya selepas penghijrahan ke Madinah, dan Muslim mengamalkan Mut’ah semasa hayat baginda. 
al-Mughni, by Ibn Qudamah, v6, p644, 3rd Edition
Walaubagaimanapun terdapat percanggahan pendapat antara Syiah dan kebanyakan Sunni mengenai  sama ada Nabi kemudiannya melarang perbuatan itu ataupun tidak. Kebanyakan Sunni menegaskan bahawa walaupun Nabi membenarkannya, baginda kemudiannya melarang perbuatan tersebut. Sementara itu, Syiah mempercayai bahawa nikah Mut’ah tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi (SAW). Lagipun, tiada ayat al-Quran yang diturunkan untuk membatalkan ayat al-Quran sebelumnya yang membuatkan Mut’ah dibolehkan, dan hadis tidak boleh bercanggah dengan al-Quran. Allah menurunkan ayat tersebut dalam al-Quran, dan ianya diamalkan secara meluas sehingga ke hujung hayat baginda serta  ketika  zaman Abu Bakar dan peringkat awal pemerintahan Umar, sehinggalah Umar melarangnya.
Dan (diharamkan juga kamu berkahwin dengan) perempuan-perempuan isteri orang, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki. (Haramnya segala yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan) atas kamu. Dan (sebaliknya) dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan yang lain daripada yang tersebut itu, untuk kamu mencari (isteri) dengan harta kamu secara bernikah, bukan secara berzina. Kemudian mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah ia menjadi isteri kamu), maka berikanlah kepada mereka maskahwinnya (dengan sempurna), sebagai suatu ketetapan (yang diwajibkan oleh Allah). Dan tiadalah kamu berdosa mengenai sesuatu persetujuan yang telah dicapai bersama oleh kamu (suami isteri), sesudah ditetapkan maskahwin itu (tentang cara dan kadar pembayarannya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana
Quran [4:24] (Translation by Ibn Kathir)
Dalam ayat di atas, perkataan Arab yang bersamaan dengan “perkahwinan” atau yang berkaitan dengannya TIDAK digunakan. Akan tetapi “Istamta’tum”, daripada perkataan akar “Mut’ah” (nikmat/perkahwinan sementara) telah digunakan. Perkataan Istamta’a adalah bentuk lisan ke-sepuluh dari perkataan akar m-t-a. Seperti yang akan kami tunjukkan sebentar lagi, perkataan Istamta’a juga telah digunakan secara meluas dalam koleksi buku-buku autentik Sunni untuk nikah Mut’ah. Tentu saja, Mut’ah adalah salah satu jenis perkahwinan, tetapi sebahagian daripada peraturannya adalah berlainan daripada perkahwinan tetap, termasuklah pasangan tersebut boleh menyambung kontrak melalui persetujuan bersama seperti yang dijelaskan di akhir ayat di atas.
Mujahid menerangkan bahawa, (Kemudian mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah ia menjadi isteri kamu), maka berikanlah kepada mereka maskahwinnya,) telah diturunkan mengenai nikah Mut’ah. Nikah Mut’ah adalah satu perkahwinan yang berakhir pada tarikh yang telah ditetapkan di awal perkahwinan.
Tafsir Ibn Kathir, Tafsir of Surah 4, Verse 24
Jabir tidak mengaitkan “Istamta’a” kepada perkahwinan secara umumnya. Tambahan pula Allah berkata, “… Dan tiadalah kamu berdosa mengenai sesuatu persetujuan yang telah dicapai bersama oleh kamu (suami isteri), sesudah ditetapkan maskahwin. Persetujuan yang dicapai bersama selepas ditetapkan maskahwin merujuk kepada menyambung tempoh masa kepada nikah Mut’ah selepas pembayaran penuh kepada maskahwin sebelum itu telah dilakukan, supaya pihak wanita dapat membuat keputusan secara bebas terhadap penyambungan kepada tempoh masa nikah Mut’ah tanpa sebarang tekanan atau rayuan. Melalui cara ini, Allah menggalakkan manusia yang melakukan Mut’ah bahawa mereka akan mendapat lebih banyak ganjaran jika mereka menyambung kepada tempoh yang lebih lama (atau mungkin menukarnya kepada perkahwinan kekal) dengan membuat maskahwin baru selepas memenuhi kehendak maskahwin yang sebelumnya. 
Tafsir al-Tabari, by Ibn Jarir al-Tabari, under the verse 4:24, v8, p180.
Penjelasan yang lain terhadap mengapa maskahwin yang disebut dalam ayat di atas (4:24) tidak merujuk kepada perkahwinan tetap, ialah al-Quran telahpun berkata berkenaan dengan maskahwin untuk perkahwinan kekal pada bahagian awal dalam surah yang sama. Allah membicarakan tentang jenis perkahwinan yang berbeza: pertama, perkahwinan kekal dalam ayat (4:3), kemudian perkahwinan sementara (4:24), dan kemudian mengenai perkahwinan dengan hamba wanita dalam (4:25). 

Maka Allah mengulangi isu maskahwin sebanyak tiga kali, sekali untuk perkahwinan kekal, sekali untuk perkahwinan sementara dan sekali untuk hamba wanita.

Ayat ini diturunkan pada peringkat awal Nabi tinggal di Madinah. Dengan turunnya ayat ini, nikah Mut’ah menjadi adat kebiasaan di Madinah dan dilihat sebagai salah satu jenis perkahwinan dan dirujuk dengan panggilan Istimta’a, perkataan sama yang digunakan dalam ayat al-Quran – walaupun maksud dari segi bahasanya adalah “untuk mencari manfaat” atau “untuk menikmati”. Maka maksud kepada ayat al-Quran mestilah difahami dari segi penggunaan lazim pada masa tersebut, kerana seperti yang diketahui dalam ilmu tafsir al-Quran dan Undang-undang Islam, al-Quran mengikuti penggunaan lazim oleh manusia dalam semua fatwa dan penetapan undang-undang. Jika seseorang mahu memahami perkataan dalam al-Quran selain daripada maksud lazim pada masa tersebut, individu tersebut perlu memberi sebab-musabab yang kuat untuk melakukan sedemikian. Lagi pula jika seseorang melihat kepada hadis-hadis mengenai nikah sementara dalam koleksi autentik Sunni seperti Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, individu tersebut dapat melihat bahawa Rasul Allah dan para sahabat baginda menggunakan perkataan Istimta’a apabila merujuk kepada konteks ini, yang mana adalah perkataan yang sama yang digunakan dalam al-Quran.
Nabi membuat Umrah ke Mekah, dan wanita-wanita Mekah bersiap-siap semata-mata untuk upacara ini. Beberapa sahabat mengadu mengenai perpisahan yang jauh dari isteri-isteri mereka, dan Nabi menjawab: “Maka pergilah menikmati (Istamta’a) dengan wanita-wanita ini.”
Tafsir al-Kabir, by Fakhr al-Razi (the famous Sunni theologian), v3, p286
Maka telah diperjelaskan disini bahawa Mut’ah adalah dibolehkan oleh al-Quran sendiri. Oleh itu dimanakah bermulanya perbezaan yang berlaku?
Dalam kedua-dua Sahih, telah direkodkan bahawa Amirul Mukminin `Ali bin Abi Talib berkata, “Rasul Allah melarang nikah Mut’ah dan memakan daging keldai yang dijinakkan pada Hari Khaibar (pertempuran).” Tambahan lagi, dalam Sahihnya, Muslim merekodkan bahawa Ar-Rabi` bin Sabrah bin Ma`bad Al-Juhani berkata bahawa ayahnya berkata bahawa dia mendampingi Rasul Allah semasa pembukaan Mekah, dan Nabi berkata, (Wahai kalian! Aku membenarkan kamu untuk bernikah Mut’ah sebelum ini. Sekarang, Allah telah melarangnya sehinggalah ke Hari Kiamat. Oleh itu, sesiapa yang mempunyai Mut’ah dengan mana-mana wanita, lepaskanlah mereka, dan jangan mengambil kembali apa yang telah kamu beri kepada mereka.)
Tafsir Ibn Kathir, Tafsir of Surah 4, Verse 24
Menurut Sunni, Mut’ah diamalkan sehingga tahun ke-7 Hijrah (i.e. selepas penghijrahan ke Madinah). Hal ini dipersetujui oleh hampir semua Sunni. Tetapi perbahasan berlaku sama ada ianya dilarang kemudiannya oleh Allah ataupun tidak. Sebelum saya menyambung, perlu diingatkan bahawa Mut’ah pernah dibenarkan dalam Islam, oleh itu mengapa mengecamnya seperti ianya adalah perbuatan jahiliyyah?

Sunni mendakwa bahawa Nabi (SAW) kemudiannya mengharamkan Mut’ah. Hal ini telah banyak merumitkan keadaan. Sesebuah hadis serta keasliannya boleh dipersoalkan. Perkara yang sama tidak berlaku terhadap isi kandungan al-Quran. Jika kita mengambil hadis dan meninggalkan al-Quran jika berlaku percanggahan dia antara keduanya, maka kita akan mudah tersimpang dari jalan kebenaran. Mesti terdapat ayat al-Quran yang diturunkan untuk memansuhkan perintah al-Quran yang sedia ada.

Biarpun jika kita mempercayai bahawa ayat ini telah dimansuhkan dan tidak lagi boleh dipakai, maka kewujudannya dalam al-Quran adalah tidak relevan dan hanya akan menyesatkan generasi yang akan datang. Sesuatu yang tidak boleh diaplikasikan dan telah dimansuh tidak sepatutnya menjadi sebahagian daripada agama, dan juga, tidak tetap menjadi sebahagian daripada al-Quran.

Bagaimanapun, kami akan menganalisa semua hadis yang membincangkan mengenai pemansuhan Mut’ah.
Sebagai permulaanya, suka untuk saya memetik dakwaan Syiah dari satu sumber Sunni.
Umar berkata: Dua jenis Mut’ah adalah (dibolehkan) semasa hayat Rasulullah dan aku mengharamkan kedua-duanya, dan aku akan menghukum sesiapa yang melakukannya. Kedua-duanya adalah: Mut’ah Haji dan Mut’ah Wanita.
Tafsir al-Kabir, by al-Fakhr al-Razi, v3, p201 under verse 4:24 -
Musnad Ahmad Ibn Hanbal, v1, p52
Oleh yang demikian seperti mana semua orang bersetuju bahawa Mut’ah wanita pernah menjadi sebahagian daripada Islam, pemansuhannya juga tidak terdapat dalam al-Quran. Malah, kami mendakwa bahawa Umarlah yang melarang Mut’ah dan kami adalah pengikut ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad (SAW), bukannya Umar, maka kami menekankan terhadap kebolehan untuk bermut’ah kerana rahmat dan kebijaksaan yang terdapat dalamnya yang akan dibincangkan kemudian.
Seperti mana larangan kepada Mut’ah Haji diketahui, rujukan dibawah sepatutnya mencukupi.
Musa b. Nafi melaporkan: Aku datang ke Mekah sebagai Mutamattil untuk Umrah (melakukan Umrah dahulu kemudan menanggalkan Ihram dan kemudian sekali lagi memasuki keadaan berihram untuk Haji) empat hari sebelum Hari Tarwiya (i. e. pada 4 Zulhijjah). …….. Ata’ berkata: Jabir b. ‘Abdullah al’Ans-ari (RA) meriwayatkan kepadaku bahawa dia melakukan Haji dengan Rasul Allah (SAW) pada tahun dia membawa haiwan sembelihan bersamanya dan mereka memakai Ihram untuk Haji sahaja (sebagai Mufrid). Rasul Allah (SAW) berkata: Tanggalkan Ihram dan kelilingi Kaabah, dan (lari) di antara al-Safa dan al-Marwa. Dan potonglah rambut dan tinggal sebagai bukan Muhrim. Apabila tibanya Hari Tarwiya, maka pakailah Ihram untuk Haji dan buat Ihram untuk Mut’ah (kamu telah memakai Ihram untuk Haji, tetapi tanggalkan ia selepas melakukan Umrah dan kemudian pakai semula Ihram untuk Haji tersebut). Mereka berkata: Bagaimana patut kami lakukan Mut’ah walaupun kami memakai Ihram untuk Haji? Baginda berkata: Lakukan apa yang aku suruh kamu lakukan. …….
Sahih Muslim , Book 7, Hadith 2799
Mutarrif melaporkan: ‘Imran b. Husain berkata kepadaku: Haruskah aku tidak meriwayatkan kepada kamu satu hadis hari ini yang mana Allah akan menguntungkan kamu di kemudian hari-dan ingatlah bahawa Rasul Allah (SAW) membuatkan beberapa orang dari ahli keluarganya melakukan Umrah dalam lingkungan sepuluh hari dalam Zulhijjah. Tiada ayat al-Quran diturunkan untuk memansuhkannya, dan baginda (Nabi Muhammad) tidak beralih dari melakukannya sehigga baginda wafat. Maka selepas baginda semua orang berkata seperti yang dingini, (tetapi ianya adalah pandangan peribadi seseorang itu dan bukanlah fatwa berkenaan Shari’ah).
Sahih Muslim, Book 7, Hadith 2824
Hadis ini telah diriwayatkan di atas hak Jurairi dengan rantaian periwayat yang sama, dan Ibn Hatim berkata dalam riwayatnya: “Seseorang berkata berdasarkan pandangannya sendiri, dan dia ialah Umar.”
Sahih Muslim, Book 7, Hadith 2825
Mutarrif melaporkan: …… Aku dirahmati, dan ingatlah bahawa Rasul Allah (SAW) mencantumkan Haji dan Umrah. Lalu tiada ayat diturunkan berkaitan dengannya dalam Kitab Allah (yang memansuhkannya) dan Rasul Allah (SAW) tidak melarang (dari melakukannya). Dan apa yang seseorang (, Umar) katakan adalah berdasarkan pandangan dirinya sendiri.
Sahih Muslim, Book 7, Hadiths 2828-2831
Sa’id b. al-Musayyab melaporkan bahawa ‘Ali dan ‘Uthman (RA) berjumpa di ‘Usfan; dan Uthman pernah melarang (penduduk) dari melakukan Tamattu’ dan ‘Umrah (semasa musim Haji), lalu ‘Ali berkata: Apa pandangan kamu mengenai sesuatu yang Rasul Allah (SAW) lakukan tetapi kamu melarangnya? Lalu Uthman berkata: Kamu biarkan kami sendiri, lalu dia (‘Ali) berkata: Aku tidak boleh membiarkan kamu sendiri. Apabila ‘Ali melihat perkara ini, dia memakai Ihram untuk kedua-dua mereka bersama (kedua-dua untuk Haji dan Umrah). Sahih Muslim, Book 7, Hadiths 2816

Oleh itu kami melihat bahawa kenyataan yang dibuat oleh Umar adalah sangat autentik dari sudut sejarah dan dia adalah penyebab kepada larangan melakukan Mut’ah Haji.

Seperti mana Mut’ah wanita diambil berat, al-Quran membenarkannya dan kami tidak menjumpai sebarang ayat yang memansuhkannya. Konflik di antara hadis-hadis akan dibincangkan.
Diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talib: Pada hari pembukaan Khaibar, Rasulullah melarang Mut’ah (i.e. nikah Mut’ah) dan memakan daging keldai.
Sahih Bukhari, Volume 5, Book 59, Hadith 527
Sahih Bukhari, Volume 7, Book 62, Hadith 50
Diriwayatkan oleh Abdullah: Nafi meriwayatkan kepadaku bahawa Abdullah berkata bahawa Rasulullah melarang Shighar. Aku bertanya kepada Nafi’, “Apakah itu Shighar?” Dia berkata, “Ianya ialah mengahwini anak perempuan seseorang dan mengahwinkan seseorang anak perempuan (pada masa yang sama) tanpa mahar (dalam kedua-dua kes); atau untuk mengahwini adik perempuan seseorang dan mengahwinkan seseorang adik perempuan tanpa Mahar.” Sesetengah orang berkata, “Jika seseorang, melalui muslihat, mengahwini atas dasar Shighar, perkahwinan tersebut sah tetapi kondisinya haram.” Sarjana yang sama berkata mengenai Mut’ah, “Perkahwinan tersebut tidak sah dan kondisinya haram.” Sesetengah yang lain pula berkata, “Mut’ah dan Shighar adalah dibenarkan tetapi kondisinya haram.”
Sahih Bukhari, Volume 9, Book 86, Hadith 90
Abd al-Malik b. Rabi’ b. Sabraal-Juhanni melaporkan di atas hak ayahnya yang meriwayatkannnya di atas hak ayahnya (i e. ‘Datuk kepada Abd al-Malik, Sabura al-juhanni): Rasulullah (SAW) membenarkan kami membuat kontrak nikah Mut’ah pada Tahun Kemenangan, ketika kami memasuki Mekah, dan kami keluar dari situ tetapi baginda melarang kami untuk melakukannya.
Sahih Muslim, Book 8, Hadiths 3257-3260
Diriwayatkan oleh  Jabir bin ‘Abdullah dan Salama bin Al-Akwa’: Ketika kami dalam ketenteraan, Rasul Allah datang kepada kami dan berkata, “Kamu telah dibenarkan untuk melakukan Mut’ah (nikah) jadi lakukanlah ia.” Salama bin Al-Akwa’ berkata: Rasul Allah berkata, “Jika seorang lelaki dan seorang wanita bersetuju (untuk nikah Mut’ah), perkahwinan mereka akan bertahan selama tiga malam, dan jika mereka ingin menyambungnya, mereka boleh melakukannya; dan jika mereka mahu berpisah, mereka boleh melakukannya.” Aku tidak mengetahui sama ada ianya hanya untuk kami atau untuk semua orang secara umum. Abu Abdullah (Al-Bukhari) berkata: Ali menegaskan bahawa Nabi berkata, “Nikah Mut’ah telah dibatalkan (diharamkan).”
Sahih Bukhari, Volume 7, Book 62, Hadith 52
Iyas b. Salama melaporkan atas hak ayahnya bahawa Rasul Allah (SAW) memberi kebenaran untuk melakukan kontrak nikah Mut’ah selama tiga malam dalam tahun Autas dan kemudian melarangnya.
Sahih Muslim, Book 8, Hadith 3251
Oleh itu kita dapati bahawa:
  • Mut’ah telah dibenarkan dalam al-Quran oleh Nabi (SAW) sendiri
  • Para sahabat pernah melakukan Mut’ah apabila diperlukan
  • Mut’ah kemudiannya telah dilarang oleh nabi sendiri pada hari pembukaan Khaibar atau pada tahun pembukaan Mekah atau pada tahun Autas
  • Masih lagi terdapat keraguan sama ada Mut’ah dilarang atau masih dibenarkan
  • Perhatikan bahawa masa larangan Mut’ah dilaksanakan dalam setiap hadis berbeza-beza
Hanya terdapat 4 hadis mengenainya, yang hanya diriwayatkan oleh 3 orang sahabat (melalui rantaian yang berbeza). Jangan terkeliru apabila dihadapkan dengan hadis yang banyak. Jika anda melihat rantaiannya, ianya akan kembali kepada 3 orang ini. Nama kepada 3 sahabat ini adalah:
  1. Rabi Ibn Sabra (yang meriwayatkannya dari ayahnya Sabra Jahani)
  2. Ali Ibn Talib
  3. Salma b. al-Akwa’
Semua riwayat oleh 3 sahabat ini bercanggah terhadap satu sama lain dalam aspek “Masa kepada larangan Mut’ah”
  • Hadis yang mana Ali mendakwa Mut’ah telah diharamkan pada tahun ke-7 Hijrah (di Khaibar)
  • Dalam satu hadis, Ibn Sabra mendakwa bahawa Mut’ah telah diharamkan pada tahun ke-8 Hijrah (sewaktu pembukaan Mekah). Manakala dalam hadis yang lain, Ibn Sabra (individu yang sama) mendakwa bahawa Mut’ah telah diharamkan pada tahun ke-10 Hijrah (sewaktu Haji terakhir Hujjatul Wida)
  • Sementara Salma b. al-Akwa mendakwa bahawa Mut’ah telah diharamkan pada tahun ke-9 Hijrah (i.e. pada tahun Autas, iaitu selepas perang Hunain)
Hadis-hadis di atas tidak boleh digunakan secara bersama untuk membatalkan sesuatu ayat al-Quran dan membuktikan larangan Mut’ah oleh Rasulullah kerana mereka sendiri tidak dapat menentukan bila waktunya nabi melarang Mut’ah, jika nabi benar-benar melarangnya.

Sebaliknya, dalam buku yang sama, kita menemui hadis-hadis yang merupakan penyokong kuat Mut’ah dan tidak membicarakan tentang larangannya.
Diriwayatkan oleh Abu Jamra: Aku mendengar Ibn Abbas (memberi pendapat) apabila dia ditanya mengenai Mut’ah wanita, dan dia membenarkannya (Nikah Mut’ah). Kemudian seorang dari hambanya yang dibebaskan berkata kepadanya, “Itu pun apabila ianya amat diperlukan dan wanita sukar untuk didapati.” Kemudian, Ibn ‘Abbas berkata, “Ya.”
Sahih Bukhari, Book 62, Hadith 51
Abdullah (b. Mas’ud) melaporkan: Kami dalam satu ekspidisi bersama Rasulullah (SAW) dan kami tidak mempunyai wanita bersama kami. Kami berkata: Perlukah kami tidak mengasi diri kami sendiri? Baginda (nabi) melarang kami dari melakukan sedemikian. Baginda kemudian memberi kami kebenaran bahawa kami perlu membuat nikah Mut’ah untuk jangka masa yang ditetapkan dengan memberi mereka pakaian, dan  ’Abdullah kemudian membaca ayat ini: ‘ Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu haramkan benda-benda yang baik-baik yang telah dihalalkan oleh Allah bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas (pada apa yang telah ditetapkan halalnya itu); kerana sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. ” (al-Qur’an, al Maidah, v. 87).
Sahih Muslim Book 8, Hadith 3243
Salama b. al. Akwa’ dan Jabir b. Abdullah melaporkan: Rasulullah (SAW) mendatangi kami dan membenarkan kami untuk membuat nikah Mut’ah.
Sahih Muslim Book 8, Hadiths 3246-3247
Syiah mendakwa bahawa setelah al-Quran memberi kebenaran kepada perbuatan Mut’ah, sebuah ayat perlulah diturunkan untuk membatalkan apa yang telah dibolehkan yang mana secara jelasnya tidak berlaku, kerana ianya tidak pernah dilarang oleh Nabi (SAW) sendiri. Oleh itu, dari mana munculnya khabar angin berkaitan dengan larangan Mut’ah?
Ibn Uraij melaporkan: ‘Ati’ memberitahu bahawa Jibir b. Abdullah datang untuk melaksanakan Umrah, dan kami pergi ke tempat kediamannya, dan orang-orang bertanya kepadanya mengenai hal yang berbeza, dan kemudian mereka menyebut mengenai nikah Mut’ah, di mana dia berkata: Ya, kami telah memanfaatkan diri kami dengan nikah Mut’ah semasa hayat Nabi (SAW) dan semasa zaman Abu Bakar dan Umar.
Sahih Muslim Book 8, Hadith 3248
Jabir b. ‘Abdullah melaporkan: Kami membuat nikah Mut’ah dengan memberi segenggam (cerita atau tepung sebagai mahar ketika zaman Rasulullah (SAW) dan semasa zaman Abu Bakar sehinggalah Umar melarangnya dalam kes berkaitan Amar b. Huraith.
Sahih Muslim Book 8, Hadith 3249
Abu Nadra melaporkan: Ketika aku didampingi Jabir b. Abdullah, seseorang datang kepadanya dan berkata bahawa Ibn ‘Abbas dan Ibn Zubair berbeza pandangan terhadap dua jenis Mut’ah (Haji Tamattu’ 1846 dan Tamattu’ wanita), setelah itu Jabir berkata: Kami pernah melakukan dua perkara ini ketika zaman Rasulullah (SAW). Kemudian Umar melarang kita dari melakukannya, oleh itu kami tidak kembali kepada mereka.
Sahih Muslim Book 8, Hadith 3250
Kita juga dapat melihat hadis-hadis dalam teks penulisan Sunni yang menunjukkan bahawa Mut’ah masih lagi diteruskan sehingga zaman khalifah Abu Bakar serta Umar, sehinggalah Umar melarang sesuatu yang dibolehkan oleh Allah dan RasulNya.
Imran Ibn Husain meriwayatkan: “Ayat Mut’ah (4:24) telah ditunjukkan dalam Kitab Allah, dan tidak datang ayat lain selepasnya untuk memansuhkannya; dan Nabi menyuruh kami untuk melakukannya, maka kami melakukannya di zaman Rasulullah, dan baginda tidak melarang kami dari melakukannya sehingga baginda wafat. Tetapi seseorang itu (yang menganggapnya haram) menyuarakan apa yang difikirkannya.”
Tafsir al-Kabir, by al-Tha’labi, under commentary of verse 4:24 of Quran
Juga dalam ulasan Sunni yang lain ianya dilaporkan bahawa: Umar berkata, ketika di atas mimbar: “Wahai rakyat! Tiga perkara adalah (dibenarkan) semasa zaman Rasulullah (SAAW), dan aku melarangnya, dan membuatnya Haram, dan menghukum sesiapa yang membuatnya. Ianya adalah: Mut’ah wanita, Mut’ah Haji (ziarah), dan melaungkan ‘Hayya Ala Khair al-Amal’.”
Sharh Al-Tajreed, by al-Fadhil al-Qoshaji, (Imama Section)
al-Mustaniran, by al-Tabari
Perkara ketiga yang disebut di atas yang mana telah dilarang oleh Umar, ialah apa yang disebut dalam Azan dan Iqaamah selepas kalimah “Hayya Ala al-Falah”, dan ianya masih dilakukan oleh Syiah sehingga ke hari ini. Ianya bermaksud “Marilah melakukan kebaikan”. Bahagian azan ini telah dimansuhkan oleh Umar juga. Sebaliknya, dia menggantikannya dengan kalimah: “Sembahyang lebih baik dari tidur”!
“Dia (Umar) adalah yang pertama membuat Mut’ah sebagai larangan (Haram).”
Tarikh al-Khulafaa, by al-Hafidh Jalaluddin al-Suyuti, p136
Juga kedua-dua Ibn Jarir al-Tabari dan al-Zamakhshari meriwayatkan bahawa: “al-Hakam Ibn Ayniyah telah ditanya adakah ayat mengenai Mut’ah wanita telah dimansuhkan. Dia menjawab: ‘Tidak’.”
Tafsir al-Tabari, under commentary of verse 4:24 of Quran, v8, p178
Tafsir al-Kashshaf, by al-Zamakhshari, under the verse 4:24, v1, p519

Juga al-Qastalani menulis: Ungkapan “Tetapi seseorang itu berkata melalui pendapatnya apa yang diinginkannya” (seperti yang disebut dalam buku-buku sahih Sunni seperti Sahih al-Bukhari), adalah Umar Ibn al-Khattab dan bukannya Uthman, kerana dialah yang pertama melarang Mut’ah. Maka yang datang selepasnya (i.e., Uthman) hanya mengikut Umar dalam tindakannya.”
al-Irshad, by al-Qastalani, v4, p169
Persoalan kini timbul bahawa, jika Mut’ah telah disebut dalam al-Quran, & telah diterima oleh Nabi Muhammad (SAW), bagaimana khalifah yang berkuasa selepas Muhammad (SAW) boleh mengatakan Mut’ah adalah dilarang sedangkan Allah membenarkannya dalam al-Quran dan Nabi (SAW) menerimanya sebagai firman Yang Maha Esa?
Imran Ibn Sawadah melaporkan: Aku pergi ke rumah Umar dan memberitahunya bahawa aku ingin memberinya sedikit nasihat. Umar membalas, “Orang yang memberi nasihat yang baik adalah sentiasa dialu-alukan.” Aku berkata, “Komuniti kamu menemui kesalahan kamu atas empat perkara.” Umar meletakkan bahagian atas cematinya di janggutnya dan bahagian bawah cemati di atas pahanya. Kemudian dia berkata, “Beritahu aku lagi.” Aku menyambung, “Telah disebut-sebut bahawa kamu telah mengisytiharkan larangan terhadap haji tamattu’ semasa bulan-bulan haji…” Dia menjawab, “Hal ini dibenarkan. (Tetapi alasan terhadap larangan aku ialah) jika mereka melakukan haji tamattu’ semasa bulan-bulan haji, mereka akan menganggapnya sebagai pengganti kepada haji penuh, dan (Mekah) tidak akan diraikan oleh sesiapa, walaupun ianya sebahagian daripada kebesaran Allah. Kamu benar.” Aku menyambung, “Juga telah disebut-sebut bahawa kamu telah melarang nikah Mut’ah, walaupun ianya lesen yang telah diberikan oleh Allah. Kami menikmati nikah Mut’ah buat sementara (waktu), dan kami boleh berpisah selepas tiga hari.” Dia menjawab, “Rasulullah (SAW) membenarkannya ketika waktu diperlukan. Kemudian orang kembali menikmati kesenangan hidup. Aku tidak mengetahui mana-mana Muslim yang melakukannya atau kembali kepadanya (selepas aku melarangnya) Sekarang, sesiapa yang berkeinginan, boleh berkahwin untuk sementara (waktu) dan berpisah selepas tiga malam. Kamu benar.” Aku menyambung, “Kamu membebaskan seorang hamba wanita jika dia melahirkan anak, tanpa tuannya (bersetuju) tentang kemerdekaannya… (dan aduan keempat ialah) Terdapat beberapa aduan mengenai kamu meninggikan suara terhadap penduduk kamu dan kamu menyapa mereka dengan kasar.” …
History of al-Tabari, English version, v14, pp 139-140
Ini menjelaskan fakta bahawa Mut’ah tidak diharamkan oleh Nabi (SAW) & hadis berkenaan dengan larangan Mut’ah telah direka-reka dan dibuat untuk melindungi & membenarkan apa yang Umar haramkan & Allah telah benarkan. Jika ianya benar-benar firman Allah, anda tidak akan melihat kenyataan yang bercanggah dalam sejarah berkenaan isu ini. Malahan, Sunni mendakwa bahawa Khalifah adalah terbimbing & mempunyai pengetahuan luas, maka mengapa berlaku percanggahan terhadap ayat al-Quran dan kata-kata Nabi (SAW) yang mana semestinya tidak akan bercanggahan dengan firman Allah, iaitu al-Quran. Jika Nabi (SAW) telah benar-benar mengharamkan Mut’ah sebagaimana dakwaan sesetengah Sunni, mengapa Umar perlu mengharamkannya sekali lagi?

Saya harap saya telah memperjelaskan kekeliruan mengenai Mut’ah. Persoalan yang timbul sekarang ialah apakah peraturan serta hukum-hakam mengenai Mut’ah dan mengapa Mut’ah diperlukan?
“Ali berkata: Mut’ah adalah rahmat dari Allah kepada hambanya. Jika bukan kerana Umar yang melarangnya, tidak ada yang akan melakukan (dosa) zina kecuali (Shaqi/Shafa).
al-Nihaya, by Ibn al-Athir, v2, p249
al-Faiq, by al-Zamakhshari, v1, p331
Lisan Al-Arab, Ibn Mandhoor, v19, p166
Kanz al-Ummal, by al-Muttaqi al-Hindi, v8, p293
Imam Ja’far (AS) menganggap Mut’ah sebagai rahmat Ilahi di mana manusia diselamatkan dari dosa zina dan dibebaskan dari hukuman Allah. Mengenai ayat al-Quran: “Apa jua jenis rahmat yang dibukakan oleh Allah kepada manusia, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menahannya (35:2),” Imam berkata: “Mut’ah adalah sebahagian daripada rahmat itu.”
Wasa’il al-Shia, v14, p439
Perlu difahamkan bahawa Mut’ah adalah jalan terakhir. Jika muncul situasi keperluan seksual yang ekstrim, seseorang itu mesti cuba untuk membuat pernikahan secara kekal. Jika ianya tidak dapat dilakukan atas beberapa sebab, seseorang itu perlu cuba untuk berpuasa dan  melakukan usaha untuk mengawal keinginannya sehingga dia dapat mengahwini seseorang muslimah secara kekal. Namun jika masih gagal, pintu Mut’ah masih lagi terbuka dalam Islam dan dalam Mazhab Ahlulbayt yang membantu manusia mengelak dari melakukan zina.

Walaupun konsep Mut’ah adalah sah, terdapat peraturan dan hukum-hakam tertentu yang perlu diikuti untuk membuat kontrak nikah Mut’ah. 

Terdapat Empat tiang Undang-undang kepada nikah sementara atau Mut’ah. Meskipun artikel menyeluruh secara terperinci dapat ditulis mengenai peraturan nikah Mut’ah, disini terdapat beberapa pengarahan asas secara umum.
  • Wanita yang mana Mut’ah adalah dibolehkan ialah sama ada seorang janda atau seorang yang telah bercerai, oleh itu wanita tersebut boleh mendapatkan keuntungan kewangan serta keselamatan melalui Mut’ah, bersama-sama dengan kepuasan keperluan fitrahnya. Wanita tersebut mestilah seorang muslim atau dari penganut ahli kitab. Mut’ah dengan seorang dara adalah sangat dicela dan tidak dikira sah oleh kerana perkawhwinan yang kekal adalah lebih diutamakan dalam kes ini. Walaubagaimanpun dengan kebenaran oleh ayah kepada si dara, ianya dibolehkan tetapi masih dikira makruh.
  • Oleh kerana Mut’ah adalah satu kontrak, ia memerlukan syarat dan penerimaan dalam setiap aturan. Pihak wanita menyediakan syarat & pihak lelaki dengan senang hati menerima syarat tersebut. Supaya kontrak itu menjadi sah, ianya perlulah disimpulkan oleh lelaki dan wanita itu sendiri, atau wakil mereka, atau ayah mereka.
  • Tempoh masa kepada nikah Mut’ah perlu diterangkan secara jelas di dalam kontrak yang mana tempoh tersebut boleh dikurangkan atau dipanjangkan seperti mana yang dipersetujui secara bersama oleh pasangan. Apabila tempoh masa sudah tamat, si isteri telah bebas dari kontrak & kewajipan yang berkaitan dengan kontrak. Sesudah tamatnya kontrak, isteri perlu menunggu untuk jangka waktu tertentu (Iddah) sebelum dia dibenarkan untuk berkahwin lagi, seperti mana dalam kes perkahwinan kekal. Namun perbezaannya ialah tempoh masa Iddah untuk kedua-dua kes adalah berbeza. Dalam perkahwinan kekal, tempoh masa untuk iddah adalah 4 bulan atau 3 kitaran haid, sementara untuk perkahwinan Mut’ah pula ialah 45 hari atau 2 kitaran haid. Apa yang diterangkan di sini adalah beberapa keperluan umum untuk muddah, termasuk beberapa lain yang ada, sebagai contoh terdapat juga perundangan untuk wanita yang hamil semasa dalam perkahwinan kontrak.
  • Pihak wanita boleh menerangkan secara jelas syarat-syarat semasa membuat kontrak untuk mengelak atau mengehadkan hubungan seksual. Oleh itu wanita tersebut tidak menjadi kewajipan ke atasnya untuk menyediakan hubungan seksual kepada suaminya & masih layak untuk mendapatkan mahar. Terdapat beberapa  syarat terperinci lain yang perlu dipertimbangkan di bawah tiang Undang-undang ini yang juga mungkin memerlukan penjelasan terperinci. Walau bagaimanapun saya perlu mengehadkan butiran terperinci mengenainya untuk penjelesan asas dan perbahasan mengenai isu ini.
Berikut ialah perbezaan dasar dari Quran bagi 2 jenis nikah yang berbeza. Semoga bermanfaat, insyaAllah.
Dasar Nikah Daim , An-Nisa (4) : 4
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai PEMBERIAN DENGAN PENUH KERELAAN . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Dasar Nikah Mut’ah, An-Nisa (4) : 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang TELAH kamu ni’mati (campuri) di antara mereka, BERIKANLAH KEPADA MEREKA MAHAR MAHARNYA (dengan sempurna), SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dengan memperhatikan kedua ayat diatas , kita mendapati terdapat dua perbezaan iaitu :
1.. Waktu memberikan mahar. ( diberikan di depan [daim] dan diberikan dibelakang [mut’ah])
2.. Status Mahar. (sebagai suka rela dan sebagai kewajiban)

Hanya dengan memperhatikan dua ayat tersebut pengguna akal yang sihat langsung tahu keduanya adalah jenis perkawinan yang berbeza :
1. Yang pertama (Nikah Daim) , Mahar diberikan didepan dan diberikan sebagai shadaqah, sukarela.
2. Yang kedua (Nikah Mut’ah), Mahar diberikan dibelakang dan sebagai suatu kewajiban.

Merujuk kepada artikel saya tentang mut’ah, telah dinyatakan bahawa orang pertama yang mengharamkan mut’ah ialah Khalifah Umar.[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 137] Pernyataan al-Suyuti sebagai berikut :
a) Nikah mut’ah adalah halal menurut Islam.
b) Khalifah Umarlah yang mengharamkan nikah mut’ah yang telah dihalalkan pada waktu Rasulullah (Saw.), khalifah Abu Bakar dan pada waktu permulaan zaman khalifah Umar.
c) Umar mempunyai kuasa veto yang boleh memansuhkan atau membatalkan hukum nikah mut’ah sekalipun ianya halal di sisi Allah dan Rasul-Nya. Al-Suyuti seorang Mujaddid Ahlil Sunnah abad ke-6 Hijrah mempercayai bahwa nikah mut’ah adalah halal, karena pengharamannya adalah dilakukan oleh Umar dan bukan oleh Allah dan RasulNya.Kenyataan al-Suyuti adalah berdasarkan kepada al-Qur’an dan kata-kata Umar sendiri.

Dan sebenarnya para ulama Ahlul Sunnah sendiri telah mencatat bahwa Umarlah yang telah mengharamkan nikah mut’ah sebagai berikut:

a) Al-Baihaqi di dalam al-Sunan, V, hlm. 206, meriwayatkan kata-kata Umar,”Dua mut’ah yang dilakukan pada waktu Rasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, yaitu mut’ah perempuan dan mut’ah haji”.

b) Al-Raghib di dalam al-Mahadarat, II, hlm. 94 meriwayatkan bahwa Yahya bin Aktam berkata kepada seorang syaikh di Basrah:”Siapakah orang yang anda ikuti tentang harusnya nikah mut’ah.”Dia menjawab:”Umar al-Khatab.”Dia bertanya lagi,”Bagaimana sedangkan Umarlah orang yang melarangnya.”Dia menjawab:”Mengikut riwayat yang sahih bahwa dia menaiki mimbar masjid dan berkata: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah menghalalkan untuk kalian dua mut’ah tetapi aku mengharamkan kedua-duanya (mut’ah perempuan dan mut’ah haji). Maka kami menerima kesaksiannya tetapi kami tidak menerima pengharamannya.”

c) Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata:”Kami telah melakukan nikah mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada waktu Rasulullah dan Abu Bakar sehingga Umar melarang dan mengharamkannya dalam kes Umru bin Harith.[Muslim, Sahih, I, hlm. 395; Ibn Hajar, Fatih al-Bari, IX, hlm.41; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VIII, hlm.294]

d) Dari Urwah bin al-Zubair,”Sesungguhnya Khaulah bt. Hakim berjumpa Umar al-Khattab dan berkata:”Sesungguhnya Rabiah bin Umaiyyah telah melakukan nikah mut’ah dengan seorang perempuan, kemudian perempuan itu mengandung, maka Umar keluar dengan marah dan berkata:”Sekiranya aku telah memberitahukan kalian mengenainya dari permulaan niscaya aku merajamnya.”Isnad hadis ini adalah tsiqah, dikeluarkan oleh Malik di dalam al-Muwatta’, II, hlm. 30;al-Syafi’i, al-Umm, VII, hlm. 219;al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 206].

e) Kata-kata Imam Ali AS,”Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut’ah niscaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka.”[al-Tabari, Tafsir, V, hlm. 9; Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III, hlm.200; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm.140].
Kata-kata Ali a.s ini menolak dakwaan orang yang mengatakan bahwa Ali telah melarang nikah mut’ah karena beliau tidak memansuhkan ayat di dalam Surah al-Nisa’ (4):24.

f) Dari Ibn Juraij, dari ‘Ata’ dia berkata:”Aku mendengar Ibn Abbas berkata: “Semoga Allah merahmati Umar, mut’ah adalah rahmat Tuhan kepada umat Muhammad dan jika ia tidak dilarang (oleh Umar) niscaya seseorang itu tidak perlu berzina melainkan orang yang celaka.”[al-Jassas, al-Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 179; al-Zamakhshari, al-Fa'iq, I, hlm. 331;al-Qurtubi, Tafsir, V, hlm. 130].

Pertanyaan bagi “mereka” yang masih meragui halalnya Nikah Mut’ah :
1. Menurut kalian an-Nisa : 24 itu ayat Nikah apa
2. Ketika rasulullah menghalalkannya , ayat apa yang mendasarinya ?
3. Dan ketika Beliau SAWW mengharamkannya , ayat apa yang menjadi dasarnya ?

Fikir-fikirkan.

Pernikahan Massal Mahasiswa Iran.

 









Terkait Berita: