Pesan Rahbar

Home » » Peristiwa G30S: Kata-kata Terakhir Jenderal Soetojo Yang Menyisakan Trauma Bagi Putrinya

Peristiwa G30S: Kata-kata Terakhir Jenderal Soetojo Yang Menyisakan Trauma Bagi Putrinya

Written By Unknown on Tuesday, 22 March 2016 | 20:04:00


Peristiwa Gerakan 30 September 1965 hingga kini masih meninggalkan rasa bersalah dan trauma yang mendalam dalam diri Nani Sotojo, putri sulung Brigjend TNI Soetojo Siswomihardjo setiap kali mengingat peristiwa tersebut.

Ia tak akan pernah bisa melupakan kata-kata terakhir ayahnya kala itu. “Sudah ya, Papa pergi dulu,” begitu kata-kata pamitan Brigjen TNI Soetojo Siswomihardjo kepada Nani pada Kamis sore, 30 September 1965.

Terlebih, belakangan sebelumnya hubungan dirinya dengan sang ayah tengah renggang. Gara-garanya, beberapa hari sebelum tragedi 1 Oktober 1965, Nani lupa membereskan mesin tik yang dipakainya di ruang kerja rumah Jenderal Soetojo, Jalan Sumenep Nomor 17, Menteng, Jakarta Pusat.

Karena pun dimarahi oleh sang ayah. Nani yang saat itu baru beranjak remaja lantas merasa kesal, oleh karenanya Nani memilih minggat dan tak pulang. Tapi Kamis siang, 30 September 1965, ada suatu pertanda yang membuatnya melangkahkan kaki untuk pulang.

Setelah sempat tidur siang, Nani pun akhirnya bertemu dengan ayahnya. Tapi pertemuannya begitu singkat, karena jenderal kelahiran Kebumen, 28 Agustus 1922 itu harus kembali pergi lagi untuk menghadiri rapat raksasa jelang HUT ABRI di Istora Senayan.

Foto keluarga Brigjend Soetojo Siswomihardjo. Nani duduk di depan kiri

Kata-kata Brigjend Soetojo kepada Nani pada siang itu rupanya jadi pamitan sederhana yang ternyata, jadi pamitan terakhir sang Ayah pada anaknya itu. Pasalnya pada 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00 WIB, Jenderal Soetojo dijemput paksa dari rumahnya oleh segerombolan Pasukan Tjakrabirawa.

Gerombolan itu merangsek masuk ke rumah sang jenderal lewat garasi, sembari menodongkan senjata mereka ke para pembantu rumah tangga, untuk dimintai kunci rumah

Jenderal Soetojo salah satu dari beberapa perwira yang masih hidup ketika diculik, seperti halnya Mayjen TNI Siswondo Parman dan Mayjen Raden Soeprapto. Tapi sayangnya nyawa mereka tetap dihabisi di Lubang Buaya.

“Pak Tojo, lekas buka pintu. Bapak dipanggil Presiden,” cetus salah satu dari gerombolan itu. Ketika keluar kamar dengan mengenakan piyama motif batik, sang jenderal segera diapit dan dibawa keluar rumah

Sementara anak-anak dan istri sang jenderal berusaha mengunci diri di salah satu kamar lain, lantaran takut terjadi apa-apa. Perabotan rumah turut diacak-acak sampai mereka pergi membawa Jenderal Soetojo.

Sang istri kemudian berusaha mencari informasi lewat telepon. Setelah tahu sambungan telefon diputus, mereka berusaha meminjam telefon dari tetangga, Soekotjo yang juga anggota CPM (Corps Polisi Militer), untuk menelefon ke beberapa pihak yang dipercaya, termasuk Jaksa Agung saat itu, Soetardhio yang sayangnya hasilnya nihil.

dalam bukunya "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965", Nani menuliskan bahwa ia dan adik-adiknya amat trauma dengan peristiwa penculikan ayahnya. Bahkan salah satu adiknya menjadi sakit hingga akhirnya meninggal dunia karena masih dihantui oleh penculikan keji tersebut"

(Dari-Berbagai-Sumber/Memobee/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: