Pesta Yang Memalukan
Pernah dalam suatu resepsi di Istana Merdeka, seorang pejabat tinggi membisiki Bung Karno, bahwa saputangan kecil berwarna putih yang menghiasi saku jas Jusuf Muda Dalam agar diambil BK. Itu bukan saputangan asli, tetapi palsu! Tentu saja BK ingin tahu dan terus berusaha mendekati Jusuf Muda Dalam. Pak Jusuf sendiri tidak menaruh curiga ketika didekati BK dengan tersenyum. Setelah dekat sekali, BK tiba-tiba mengambil hiasan putih yang menyerupai setrip putih di atas saku jas Pak Jusuf.
Pak Jusuf terperanjat dan berusaha mempertahankannya. Tetapi sudah terlambat karena benda itu sudah di tangan BK. Ketika BK membuka kain putih itu, orang-orang tertawa terbahak-bahak. Mereka melihat sebuah pakaian dalam perempuan, bersih, putih, dan masih baru. Tetapi itu celana dalam untuk boneka kecil.
Presiden Menunggu Pengawal
Pernah ada kejadian langka, Bung Karno harus menunggu seorang pengawalnya. Peristiwa itu berlangsung ketika BK pergi ke rumah dokter gigi di Kota Baru, Yogyakarta, dengan sopir Pak Arif, beserta ajudan Pramurahardjo dan dikawal Sudiyo.
Belum lama BK tiba di rumah dokter itu, Sudiyo lapor kepada ajudan presiden, perutnya sakit. Atas keputusan ajudan, Pak Arif diperintahkan mengantar Sudiyo pulang ke istana, dan membawa seorang pengawal pribadi yang sedang bertugas, sebagai pengganti.
Sebelum mobil tadi kembali ke rumah dokter, BK sudah pamit kepada tuan rumah, untuk segera kembali ke istana. Setelah BK sampai di serambi depan, ajudannya gelisah. Ajudan pun melaporkan, mobil belum datang karena dipakai mengantar Sudiyo yang sedang sakit perut, pulang ke istana. Mendengar laporan itu, BK tidak marah, malah berkata, “Baik, tidak apa-apa. Saya tunggu dulu di sini.”
Setelah mobil dan pengawalnya datang, Bung Karno pamit lagi kepada tuan rumah. Sampai di halaman istana, beliau melihat Sudiyo yang tadi sakit perut telah berdiri tegap di serambi istana, siap membuka pintu mobil BK. Bung Karno langsung bertanya kepada Sudiyo, “Kamu tadi sakit perut?” Sudiyo menjawab, “Ya, Pak.”
Bung Karno selanjutnya menganjurkan kepada Sudiyo, agar lain kali kalau hendak tugas supaya makan pagi dulu, jadi tidak masuk angin. Sambil malu-malu Sudiyo kembali menjawab, “Ya, Pak.”
Debat Bung Karno dan Sopir
Dalam suatu perjalanan jauh, BK pernah bertanya pada Pak Arif, “Rif, apa ini yang bunyi berisik?”
Pak Arif menjawab dengan tenang, “Mobilnya, Tuan.”
Bung Karno kembali bertanya, “Kenapa tidak kau cari yang berisik itu dan kau betulkan?”
Pak Arif menjawab, “Dicari sih sudah, Tuan. Tetapi belum ketemu. Orang namanya besi beradu dengan besi, tentu saja berisik sekali, Tuan.”
Mendapat jawaban dari Pak Arif, Bung Karno tidak lagi bertanya.
Perhatian Sang Presiden
Pernah juga BK membatalkan keberangkatan rombongan sewaktu akan meninggalkan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Karena BK mengetahui, semua pengawal belum mendapat sarapan pagi. Padahal rombongan sudah siap berangkat. Bung Karno memerintahkan ajudan supaya keberangkatannya ditunda sampai para pengawal selesai makan pagi.
Selanjutnya, BK memerintahkan ajudannya supaya selalu memperhatikan semua sopir dan pengawal yang sedang bertugas mengawalnya, jangan sampai mereka telantar makan dan minumnya.
Presiden Dibentak Pembagi Roti
Di Istana Merdeka Jakarta, pertengahan 1950, Sudiyo gendut sedang bertugas mengambil sarapan roti dari dapur untuk kawan-kawannya di paviliun. Ketika sedang komat-kamit menghitung jumlah roti yang dibawanya, ia berpapasan dengan Bung Karno yang sedang jalan pagi di halaman istana. Sudiyo memberi salam dengan santai, “Goede morgen mijnheer,” sambil terus berlalu. Ia mengira sedang berpapasan dengan Ven Der Bijl, orang Belanda yang bertugas di istana.
Mendengar ucapan salam itu, Bung Karno langsung berhenti. Beliau menoleh ke arah Sudiyo, dan bertanya kepada pengawalnya, “Siapa dia?”
“Sudiyo gendut, Pak,” jawab sang pengawal.
Bung Karno mengajak pengawalnya itu membuntuti Sudiyo. Ketika Sudiyo sambil jongkok masih juga sibuk menghitung jumlah roti yang dibawanya, BK berdiri di belakangnya sambil berkata, “Kalau rotinya masih saja kurang, ambil lagi ….”
Tanpa menoleh Sudiyo malahan membentak dengan suara keras, “Ya, nanti saja wong masih dihitung kok.”
Bung Karno tertawa, tetapi pengawal langsung menegur Sudiyo, rekannya itu, “He, lihat dulu, kamu sedang bicara dengan siapa?”
Begitu menoleh, Sudiyo baru tahu Bung Karno sudah berdiri di belakangnya. Dengan gemetaran Sudiyo langsung berdiri dan dengan sikap sempurna, melapor, “Siap Pak, Sudiyo mohon maaf.” BK tersenyum dan meneruskan jalan pagi sambil mengontrol kebersihan serta kerapian tanaman di halaman.
Pohon Sawo Berbuah Polisi
Di halaman Istana Yogyakarta yang luas, tumbuh beberapa pohon buah-buahan, antara lain mangga, jambu, kedondong, dan sawo. Kalau sedang panen buah-buahan, Ibu Fatmawati sering membagi-bagi buah-buahan itu.
Pada suatu hari, Bung Karno memergoki seorang anggota Polisi Pengawal Pribadi sedang berada di atas pohon sawo. Anggota polisi itu tahu kalau BK mendekati pohon sawo dan mengira tidak melihatnya. Saking ketakutannya, dia diam di atas pohon tanpa bergerak dengan harapan tak diketahui BK. Bung Karno sengaja tak mau melihat ke atas pohon sawo itu. Kepada polisi yang ada di dekatnya, ia berkata, “Itu buah sawonya kok tambah?”
Anggota pengawal yang diajak bicara kontan tertawa, pengawal yang ada di atas pohon pun ikut tertawa, tapi dengan nada ketakutan. Lalu Bung Karno berkata lagi, “Bapak ‘kan sudah bilang, biar buahnya tua dan matang dulu. Nanti kamu orang juga dibagi. Kalau kamu tidak sabar, pindahkan saja pohon sawo ini ke dekat asramamu itu ….”
Bung Karno kemudian meninggalkan pohon sawo itu. Setelah BK tidak kelihatan lagi, polisi yang ada di atas pohon baru berani turun. Kawan-kawannya pun mengejek, “Rasain lu.” Mulai saat itu, tidak ada lagi yang berani memanjat pohon buah-buahan.
Presiden Juga Bisa Minta Ma’af
Pernah suatu hari di Jakarta, BK marah sekali. Delapan orang pengawal dikumpulkan lalu ditempeleng satu per satu. “Saya mohon Bapak sabar dulu …,” kata Mangil, salah satu korban kemarahan. Belum sampai habis bicara, BK membentak Mangil, “Diam!” Anggota pengawal yang baru saja menerima hadiah bogem mentah itu saling melihat satu sama lain dan semua ketawa kecil.
Setelah kembali ke istana, Bung Karno memanggil Mangil, dan berkata, “Mangil, kau mau tidak memaafkan Bapak? Bapak meminta maaf kepada anak buahmu. Ternyata Bapak berbuat salah kepada anak buahmu.”
“Tidak apa-apa, Pak,” jawab Mangil. Kemudian Bung Karno merangkul Mangil. Belakangan diketahui, BK telah menerima laporan yang salah dari orang lain mengenai salah satu anak buah Mangil.
Banyolan Pengawal Pribadi
Seperti biasanya Bung Karno pergi sore hari bersama Ibu Fatmawati dengan mobil. Mobil Bung Karno di garasi tidak dapat distarter oleh Pak Arif, sopirnya. Begitu tutup mesinnya dibuka, ternyata accu-nya tidak ada.
Accu mobil dipakai oleh ajudannya tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada Pak Arif dan tanpa seizin Bung Karno. BK pun marah. Anggota pengawal pribadi tak berani berkutik. Mereka malah bersikap sempurna dengan berdiri tegap, juga tidak berani bergerak sedikit pun, kecuali matanya yang kedapkedip, sehingga BK tertawa melihatnya.
Prihatin Yang Memprihatinkan
Biasanya, kalau BK sedang marah, tidak ada yang berani menghadap, kecuali Prihatin, salah seorang anggota Polisi Pengawal Pribadi Presiden. Ketika makan bersama di Istana Tampaksiring di Bali, BK berkata, “Kamu orang itu terlalu. Kalau saya sedang marah, selalu Prihatin yang kau suruh menghadap. Dia sering saya semprot dan saya tahu dia tidak salah. Saya merasa kasihan sama Prihatin. Besok kalau saya ke luar negeri, Prihatin akan saya ajak. Lha mbok kalau saya sedang marah, yang disuruh menghadap saya seorang wanita cantik dengan membawa map surat-surat yang harus saya tanda tangani, ‘kan saya tidak jadi marah. Jullie te erg. Lagi-lagi Prihatin yang datang!” Betul saja, waktu BK pergi ke Kanada, Prihatin diajak.
Kaca Mata
BK juga pernah marah sekali dan berkata, “Godverdomme. Saya tidak akan berangkat kalau kacamata Bapak tidak ada.” Saat itu BK hendak membaca surat dalam perjalanan dari istana ke lapangan terbang Kemayoran. Ternyata kacamatanya tertinggal di istana.
Radio Kenangan
Suatu pagi Bung Karno jalan kaki mengelilingi istana. Dari arah kamar ajudan presiden, ia mendengar suara radio diputar keras. Ia bertanya kepada seorang pengawalnya, “Siapa itu yang nyetel radio keras-keras?” Polisi pengawal menjawab, bahwa radio itu ada di dalam kamar ajudan. Sang presiden masuk ke ruang ajudan itu, dan berkata, “Kunnen jullie niet leven zonder radio?” (Tidak dapatkah kalian hidup tanpa radio [keras-keras]). Kebetulan yang ada di ruang itu Kapten Andi Jusuf, yang dijadikan umpan oleh Gandhi dan Mangil.
Tongkat Komando Bung Karno
Bung Karno tidak pernah lupa membawa tongkat kebesaran. Salah satu tongkat komandonya merupakan hadiah dari Presiden Filipina Quirino. Tongkat ini yang sering dia bawa ke mana-mana dalam acara resmi di Jakarta maupun ke luar kota, ke daerah-daerah, bahkan ke luar negeri. Belakangan orang bilang, tongkat BK mempunyai kekuatan gaib. Berita burung itu sampai ke telinganya. Ia berkata, “Lo, ini ‘kan cuma dibuat dari kayu biasa, dan juga dibuat oleh manusia biasa yang doyan nasi juga.”
Perintah Berantai
Kalau sedang jalan pagi atau sore hari di halaman istana, Bung Karno selalu memperhatikan keadaan sekitarnya. Bagaimana kebersihannya, keadaan tanaman dan bunga, letak pot-pot bunga masih teratur atau tidak. Suatu pagi, seperti biasa BK jalan-jalan di halaman istana, disertai Sugandhi ajudan presiden dan seorang polisi pengawal pribadi. Melihat bata merah pembatas halaman rumput tidak teratur, BK memerintahkan Sugandhi membetulkan letak bata merah itu. Lantas Pak Gandhi ganti menyuruh pengawal pribadi membetulkannya. Langsung BK berkata, “Ya sudah, kalau kamu tak mau, akan saya kerjakan sendiri.” Bung Karno kemudian membetulkan letak bata merah itu. Dengan cepat Pak Gandhi dan pengawal pribadi ikut membetulkannya.
Rokok Tak Bertuan
Pernah Bung Karno menemukan puntung rokok di sekitar pos penjagaan polisi pengawal pribadi yang tidak dibuang ke dalam asbak. Ia lantas bertanya kepada anggota yang bertugas, “Siapa di antara kamu yang suka merokok? Coba keluarkan, rokokmu merek apa?”
Setelah semua petugas jaga mengeluarkan rokok, tidak ada yang cocok dengan puntung rokok yang dipegang BK. Lalu, ia membuang puntung itu ke asbak di atas meja pos penjagaan dan memerintahkan, agar semua tempat di istana selalu bersih. Jangan dikotori puntung rokok.
Sapu Yang Malang
Halaman istana banyak pohon besar dan rindang. Tetapi jangan sekali-kali memotong dahan atau rantingnya, sebab Bung Karno akan tahu. Semuanya diatur sendiri olehnya, termasuk tanaman-tanaman kecil di halaman istana.
Di sekitar tempat penjagaan Polisi Pengawal Pribadi Presiden, terdapat pohon besar. Dengan sendirinya, banyak daun kering jatuh di bawahnya. Melihat itu BK langsung berhenti dan menyuruh seorang polisi pengawal mencari sapu. Setelah sapu didapat, segera dia memerintahkan membersihkan tempat itu. BK kemudian meneruskan jalan kaki, dan mengitari halaman istana.
Sewaktu anggota polisi pengawal pribadi itu sedang menyapu, datang tukang kebun sambil meminta sapu itu. Sapu diserahkan oleh polisi pengawal kepada tukang kebun, dan secara kebetulan BK melihat adegan serah terima sapu itu. Ia segera kembali ke pos penjagaan dan meminta sapu dari tukang kebun sambil berkata kepada polisi pengawal tadi, “Baik, kalau kamu tidak mau membikin bersih tempatmu sendiri, Bapak yang akan membersihkannya.” Setelah Bung Karno selesai menyapu dan membersihkan tempat penjagaan, sapu dibanting sampai gagangnya patah.
Bung Karno Jadi Tukang Sapu
Pernah juga BK pagi-pagi masuk di sekitar paviliun di Istana Negara, tempat tinggal polisi pengawal pribadi. Di sini BK melihat tempatnya kotor, kamar mandi dan selokan juga kotor. BK memerintahkan seorang polisi pengawal pribadi mencari sapu dan mengumpulkan semua penghuninya. Kemudian, ia berkata, “Lihat, kamu orang saya beri contoh bagaimana caranya membikin bersih tempat kotor ini.” Bung Karno memegang sapu dan terus menyapu serta membersihkan tempat itu. Orang-orang gemetar ketakutan ketika melihat BK membersihkan tempat itu. Selesai menyapu BK berkata, “Bisa tidak kamu membikin bersih tempatmu sendiri?”
Kandang Kuda Untuk Kapten Soedarto
Di Istana Bogor pun BK selalu memeriksa kebersihan sekitar istana, termasuk tempat tinggal para pelayan. Juga garasi dan kandang kuda. Ketika BK sedang memeriksa kebersihan di sekitar istana, ia diikuti seorang polisi pengawal pribadi dan Kapten CPM Soedarto. Sampai di kandang kuda, sang kapten berkata, “Wah, kandang kuda ini lebih bagus dan lebih bersih dari rumahku.” Mendengar kata-kata itu, Bung Karno langsung mendekati Kapten Soedarto dan berkata, “Kalau begitu, kamu tinggal saja di sini.” Semua yang mengikuti Bung Karno tertawa lebar.
Jari Bung Karno Yang Malang
BK mempunyai kebiasaan “aneh”. Beliau selalu memukul-mukul kap atas pintu mobilnya yang akan dinaiki. Bukan kenapa-kenapa. Sebab, kepala BK pernah terbentur pinggiran atas pintu mobilnya. Mulai saat itu pula pengawal selalu diminta BK untuk mengingatkan dengan kata-kata, “Awas pintu, Pak.” Mendengar kata-kata itu, BK selalu menjawab, “Yooooo,” sambil memukul kap atas pintu mobilnya terus masuk dan duduk di dalam mobil.
Insiden kecil juga pernah terjadi ketika BK menjemput tamu agung dari luar negeri di lapangan terbang Kemayoran Jakarta, dengan mobil sedan terbuka. Waktu pintu mobil ditutup dengan keras oleh Sugandhi, jari tangan BK terjepit pintu mobil hingga luka berdarah. Tentu saja sakit sekali. Akan tetapi, untuk menjaga agar jangan sampai tamunya ikut gelisah, BK tetap tertawa dan melambaikan tangannya kepada rakyat yang ikut menjemput tamu itu.
Bung Karno terseret mobil
Pernah juga Bung Karno terseret pintu mobil di serambi Istana Merdeka. Mobil baru berhenti setelah polisi pengawal BK berteriak keras, “Stop, stop!”, gara-gara mobil buru-buru dimajukan sopirnya. Sejak kejadian itu, sopir BK selalu harus turun dari mobil ketika BK akan turun dari mobil, dan baru naik ke mobil setelah BK sudah naik.
Beramal Dengan Korek Api
Di mejanya selalu terdapat tumpukan koran atau buku bacaan kalau sedang duduk sendirian. Pagi-pagi surat-surat kabar itu harus sudah ada di mejanya. Para anggota DKP (Detasemen Kawal Pribadi) memeriksa, jumlah surat kabar jangan sampai kurang. Kalau ada yang kurang, BK pasti akan menanyakan. Pagi maupun sore hari, ia selalu membaca surat kabar. Bahkan ke kamar kecil pun selalu membaca surat kabar atau majalah.
Bung Karno juga mempunyai kebiasaan khas. Kalau ia duduk di suatu tempat, tidak boleh ada angin dari belakang, tidak boleh ada kipas angin yang dihidupkan di sekitarnya. Ia juga tidak suka tidur di tempat tidur empuk mentul-mentul. Ia terbiasa tidur di tempat tidur beralas papan dan kasur kapuk.
Pernah suatu hari Bung Karno berkata kepada Mangil, “Mangil, kamu itu selalu dekat Bapak. Ibaratnya kamu harus selalu memegang baju Bapak sebelah belakang. Maka dari itu, kamu supaya selalu membawa sakarin dan korek api. Sungguh pun yang minta api itu bukan saya, tetapi orang lain. Kamu memberikan api kepada orang yang akan merokok, kamu dapat pahala.” Sampai-sampai, Mangil selalu membawa korek api, sekalipun ia tidak merokok.
States Express 555
Bung Karno menyukai rokok merek States Express 555. Pernah dalam suatu perjalanan sehabis makan BK minta Rokok “555”, tetapi tidak ada yang punya. Ia berkata kepada rombongannya, “Bapak ini merokok sehari hanya dua batang. Tiap-tiap habis makan satu batang. Kok rokok saya satu kaleng yang isinya 50 batang bisa habis satu hari, itu bagaimana?”
Sejak itu, setiap dalam perjalanan, Mangil membawakan rokok Bung Karno supaya selalu utuh, tidak ada yang berani minta rokok padanya, karena Mangil sendiri tidak merokok. Tetapi kalau keluar istana, selain air putih juga Ovaltine yang selalu disediakan oleh Pembantu Inspektur Polisi Sogol, salah seorang anggota DKP.
Setiap kali akan berpidato, Bung Karno terlebih dahulu selalu minum air putih yang sudah dingin, bukan dikasih air es, atau es atau air yang dimasukkan di dalam kulkas. Tetapi air putih yang sudah dimasak dan dingin, tanpa es. Suatu ketika BK didaulat untuk memberikan wejangan oleh rakyat setempat dalam suatu perjalanan ke daerah Aceh. Sebelum berpidato, Bung Karno minta air minum. Rakyat berebut ingin memberikan air minum. Bung Karno berkata, “Saya minta air minum, bukan air teh, bukan kopi, juga bukan bir. Bapak hanya minta air putih yang sudah dimasak dan sudah dingin tanpa diberi es.”
Bung Karno Dan Wayang Kulit
BK senang sekali menonton pergelaran wayang kulit di Istana Negara. Dalam suatu pertunjukan wayang, ia kagum akan kepahlawanan dan kepatriotan Gatotkaca.
Pernah suatu pagi, seusai menonton pertunjukan wayang kulit, BK bertanya kepada Sugandhi, ajudan Presiden, “Ndi, lucu tidak banyolannya tadi malam?” Sugandhi menjawab, “Lucu sanget, Pak (lucu sekali, Pak).” “Coba tirukan, apa yang kau anggap lucu,” kata BK lagi. Sugandhi tidak dapat menirukan dan dengan terus terang menjawab, “Dalem mboten ningali, Pak (saya tidak nonton, Pak).” Bung Karno hanya tertawa mendengar pengakuan jujur itu.
Korban Tari Lenso
Bung Karno juga senang menari lenso dalam acara-acara khusus, baik di Istana Merdeka, Istana Negara, Istana Bogor, atau Istana Cipanas. Untuk melayani BK santai, dibentuklah kelompok band ABS, Asal Bapak Senang. Semua lagu kesenangan BK dipelajari dengan baik. BK merasa cocok dengan adanya tim kesenian ini. Kalau BK sedang menari lenso dan iramanya disenangi, tidak boleh diganti dengan lagu lain, sekalipun yang mendengarkan mungkin sudah bosan.
Pernah pada suatu hari Bung Karno dan Ibu Hartini mendapat undangan makan di tempat peristirahatan Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones di Puncak, Cipanas. Sehabis makan siang, Bung Karno memanggil saya dan bertanya, “Anak-anak ada atau tidak?” Bung Karno menari lenso dengan Ny. Jones, yang menyanyi semua anggota polisi pengawal pribadi, sambil memukuli peralatan dapur seadanya untuk memberikan suara dan irama lenso yang dikehendaki BK. Tanpa alat musik pun, tari lenso berlangsung meriah. Selain BK, juga ikut menari Ibu Hartini, Duta Besar Howard Jones dan nyonya, juga para anggota staf Kedutaan Besar AS. Seusai acara, alat-alat dapur tadi pada penyok.
Latar belakang seorang pemimpin pada dasarnya akan menentukan corak kepemimpinannya dimasa mennadatang.
Rumus diatas ternyata menimpa pula sang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Kita semua tahu bahwasanya Bung Karno dibesarkan didunia politik dan jauh dari dunia militer, hal ini berdampak sangat besar pada saat Bung Karno telah menjabat Presiden RI. Dibanding dengan para politikus dan tokoh partai maka dapat dikatakan hubungan Bung Karno dengan ABRI dirasa kurang mesra terlebih dengan AD. Era kepemimpinan Soekarno merupakan masa kejayaan tokoh partai dan kalangan politikus sementara ABRI bagaikan suatu lembaga yang nyaris terabaikan. Hal ini terkadang menimbulkan suasana yang cukup menegangkan, atau bahkan sering menimbulkan cerita konyol.
Ada cerita di tahun 1946 BungKarno nanya ke Ajudannya :
“Heh, Paimin pangkat kamu apa sekarang?”
“Letnan, Pak”
“Mulai sekarang kamu Kapten” si Paimin yang Kapten itu langsung pulang ke rumah yang letaknya cuman sebelas meter dari Istana Presiden dan jingkrak-jingkrak di depan isterinya. “pangkat aku Kapten sekarang…”
Nggak lama Paimin dateng lagi ke Istana, dan lihat Bung Karno lagi ngobrol dengan seseorang. Bung Karno yang lagi ketawa-tawa itu nanya sama orang disebelahnya. “Lihat tuh paimin baru tadi saya naikkan pangkatnya menjadi Kapten”
“Hah, Kapten??” sergah orang yang ditanyai Bung Karno.
“Ya memang kenapa…ketinggian ya?” tanya Bung Karno.
“Bung, asal Bung tahu ajudannya Ratu Inggris saja itu Kolonel penuh seorang Obers, masak ajudan bung cuman Kapten.
Muka Bung Karno merah, lalu Bung Karno panggil itu Paimin. “Heh,Paimin kesini kamu”
“Siap Presiden”
“Mulai sekarang Pangkat kamu Mayor” kata Bung Karno sambil garuk-garuk jidatnya. Terus tangan Bung Karno notok badan Paimin. “Kalo dadi ajudan sing tenanan ojo keakehan gojekan”
“Siap Presiden”
Paimin mukanya pucat, bayangkan enggak sampai dua jam pangkatnya naik dua kali.
Kata Brigjen Sugandhi, eks Ajudan Bung Karno…kalo mau jadi ajudan itu harus rela jadi Paidon (diludahin) ini ungkapan Jawa untuk mengartikulasi peran ajudan yang bersedia menerima sumpah serapah majikannya bila nggak mood. Brigjen Sugandhi inilah yang mengadu ke Bung Karno bahwa dia mendengar PKI mau berontak dari DN Aidit, hanya saja aduan Sugandhi ditentang oleh Maulwi Saelan, ajudan Bung Karno juga yang adiknya menikah dengan Jenderal Jusuf.
Plat Nomer Kepresidenan
Seandainya saya dapat berbicara langsung dengan para mantan ajudan Presiden Soekarno saya yakin tak akan ada rasa kantuk walau semalaman mendengar cerita tentang keseharian Bing Karno.
Terlalu banyak hal yang dapat digali dari keseharian Pemimpin Besar Revolusi ini. Dan tak jarang kita dengar bagaimana Bung Karno melempar jauh sebuah kaedah apabila dia telah berkehendak atau memerintahkan sesuatu.
Cuplikan Kisah dibawah ini mungkin hanya sebuah percikan kecil dari keseharian Putera Sang Fajar ini.
Bung Karno yang flamboyan ini ternyata pernah ’’melanggar’’ peraturan lalu lintas.
Apakah Bung Karno melanggar lampu merah atau ngebut? Bukan. Bung Karno
membuat plat nomor mobil sendiri. Plat nomor tersebut adalah REP 1. Padahal, polisi telah melarang. Selain itu, tangan Bung Karno juga terjepit pintu mobil sehingga berdarah. Dia juga terseret mobil. Bagaimana ceritanya? Berikut lanjutan kisah-kisah kecil Bung Karno sebagaimana ditulis Mangil dalam Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967.
PALING tidak, ada satu perbedaan antara plat nomor mobil dinas Bung Karno dengan plat nomor mobil dinas Soeharto. Plat nomor mobil Bung Karno adalah REP 1.
Sementara, plat nomor mobil Soeharto, pria yang pernah mendapat gelar bapak pembangunan Indonesia itu, adalah INDONESIA 1 atau B 1.
Dari mana Bung Karno mendapatkan plat nomor nyentrik tersebut? Dari pihak kepolisiankah? Ternyata bukan. Bung Karno yang berpostur tinggi besar ini membuat sendiri plat nomor tersebut. Ceritanya, Bung Karno baru pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Ketika itu, ibu kota Indonesia memang dipindahkan dari Jakarta ke kota gudeg itu.
Suatu hari, Mangil diperintah Bung Karno untuk minta plat nomor mobil kepada polisi Yogyakarta. Mangil lantas menghadap Kepala Polisi Lalu Lintas Soenarjo untuk meneruskan permintaan Bung Karno supaya mobil merek Buick yang dibawa Bung Karno dari Jakarta diberi nomor polisi REP 1. Sayangnya, permintaan Bung Karno ini tak dikabulkan Soenarjo dengan penjelasan tidak ada dalam undang-undang dan peraturan lalu lintas. Jadi, permintaan presiden ini tidak dapat dikabulkan polisi. Mangil melaporkan hal tersebut kepada Bung Karno. Setelah mendengar laporan ini, Bung Karno berkata, ’’Ya sudah, tidak apa-apa. Saya akan bikin sendiri plat nomor mobil itu.’’
Bung Karno lalu memerintah sopirnya, Arif, untuk membuat plat nomor REP 1. Setelahselesai, dipasanglah plat tersebut di mobil Bung Karno di depan dan di belakang. Plat ini selalu dipakai Bung Karno dalam perjalanan resmi dalam kota Yogyakarta dengan dikawal polisi lalu lintas anak buah Soenarjo. Dalam perjalanan ke luar daerah Yogyakarta pun, mobil Bung Karno selalu memakai nomor REP 1.
Selain mobil Buick, di istana masih ada mobil-mobil lain. Misalnya, mobil bercat sawo matang pinjaman Sri Paku Alam. Orang-orang di istana bisanya menamai mobil ini Tenno Heika. Mangil mengaku tidak tahu siapa yang memberi julukan itu pada si Coklat. Selain itu, ada mobil bercat hitam yang dipakai pejabat tinggi kepresidenan, mobil bermerek de Soto dan satu lagi bermerek Cadillac.
(Pena-Soekarno/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email