Pesan Rahbar

Home » » Kampung Bugis Denpasar, Potret Harmonisasi Muslim dan Hindu

Kampung Bugis Denpasar, Potret Harmonisasi Muslim dan Hindu

Written By Unknown on Sunday 3 April 2016 | 18:00:00

Warga Kampung Bugis yang kini bermukim di Pulau Serangan, Denpasar diyakini sudah ada sejak abad ke-17 (Foto: .koranjuri.com)

Tak jarang pelaksanaan ibadah suatu umat beragama bersinggungan dengan umat beragama lainnya. Sebagaimana yang pernah terjadi ketika Muslim melaksanakan salat gerhana pada gerhana matahari total saat 9 Maret 2016, di saat bersamaan umat Hindu melaksakan Hari Raya Nyepi.

Bagi masyarakat Bugis di Desa Serangan, Denpasar, Bali, pelaksanaan peribadatan dua umat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan bukanlah halangan terciptanya harmonisasi.

Melansir dari sejuk.org, menyikapi hal ini, kedua tokoh adat sudah berunding hingga menghasilkan kesepakatan bahwa kedua kegiatan akan dilaksanakan secara bersama-sama.

Masyarakat muslim Bugis akan diperbolehkan berpergian keluar rumah dan akan dilindungi oleh pecalang adat setempat dalam melaksanakan salat. Masyarakat Islam Bugis akan menghormati perayaan Nyepi dengan berpergian hanya untuk kebutuhan sholat saja dan tidak membuat keributan.

Kerukunan bagi kedua umat beragama memang telah lama terjalin. Pun demikian pada saat pelaksaan hari raya. Masing-masing hari raya yang dirayakan kedua belah pihak dilakukan secara bersama-sama secara harmonis dengan batasan–batasan tertentu.

Ketika hari raya Idul Fitri saat masyarakat Kampung Bugis melakukan takbiran keliling, masyarakat Hindu sekitar juga mengikuti acara takbiran keliling tersebut.

Pun begitu dengan masyarakat Kampung Bugis. Mereka turut membantu persiapan hari raya masyarakat Hindu. Ketika hari raya Galungan dan Kuningan, misalnya, seperti yang diungkapkan Haji Mahmuidin, Imam Masjid Asy-Syuhada, keterlibatan warga Bugis dalam proses keharmonisan dengan menjadi panitia acara yang mengontrol parkir, keamanan, kebersihan dan lain sebagainya.

Di sisi lain, Mangku Kahyangan, tokoh masyarakat Hindu setempat yang tinggal bersebelahan langsung dengan komunitas Bugis, menceritakan bagaimana interaksi antar kedua agama dan budaya yang berbeda itu dilakukan. Baginya, baik warga Kampung Bugis ataupun masyarakat Hindu memiliki keyakinan sendiri- sendiri.

Meski kadang saling berlawanan, dalam prakteknya dapat saling memahami. “Kami (warga Hindu-red), makan babi dan minum arak sebagai bagian dari tradisi. Namun hal itu tidak berlaku bagi mereka yang bahkan mengharamkan,” ujar lelaki berkuncir satu ini saat ditemui di pelataran Pura Bale.

Menurutnya, praktik keharmonisan atas keragaman di Banjar Peken antara komunitas Bugis dan Hindu terlihat dalam gotong-royong bersama di kegiatan-kegiatan desa.

Relasi ini bukan terbentuk begitu saja. Ia tumbuh di tengah kebutuhan kedua belah pihak. Perlahan dan terus menjadi lebih matang. Hingga bukan bagaimana lagi cara merancang relasi, tapi cukup dengan menjaga yang sudah ada. Bukan tak ada halang-rintang dalam harmoni ini, mulai dari hal kecil yang menjadi gesekan di kedua belah pihak, sampai pada penyusupan-penyusupan yang bertujuan merusak relasi tersebut.

Made Sedana (46), Bendesa Adat Desa Serangan mengisahkan pernah ada pengajar di salah satu sekolah dasar menyusupkan ideologi ekstremis saat mengajar ihwal relasi yang tak perlu ada di antara dua kelompok ini. Jadinya, sempat terjadi perang senyap di antara dua komunitas. Hal ini terus berlanjut sampai akhirnya kedua belah pihak merasa tak nyaman dengan situasi tersebut.

Perwakilan keduanya bertemu, setelahnya, relasi tersebut kembali harmoni seperti sedia kala. Tak lama, pengajar tersebut juga pindah dari sekolah dasar tersebut. “Mungkin karena merasa gagal,” ujar Sedana tertawa saat dihubungi lewat telepon seluler.

(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: