Pesan Rahbar

Home » » Kajian Wahabisme: Sepintas Masalah Ru′yah

Kajian Wahabisme: Sepintas Masalah Ru′yah

Written By Unknown on Sunday 11 December 2016 | 01:40:00


Oleh: Ali Kurani Al-Amili

Arti ru′yah (melihat Allah Swt): Mungkinkan kita melihat Allah Swt dengan mata kita di dunia atau di akhirat?

Ahlul Bait, Ummul Mukminin Aisyah beserta para sahabat lainnya telah menolak kemungkinan melihat Allah Swt. Demikian pula para filosof dan orang-orang Muktazilah menafikan kemungkinan tersebut dengan beranjak dari firman-firman Allah Swt berikut, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”[1]; “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku”[2]; “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan”[3]. Mereka berargumen bahwa menurut logika (hukum akal) segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata pastilah suatu yang materi yang membutuhkan ruang dan waktu.

Para penganut pemikiran Hanbali dan pemikiran Asy′ari, baik dari Mazhab Hanafi, Maliki maupun Syafi′i meyakini bahwa Allah Swt dapat dilihat dengan mata di dunia ataupun di akhirat. Mereka berdalih dengan makna lahir sebagian ayat-ayat Al-Quran, seperti ayat yang berbunyi, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat”[4] juga arti secara lahir hadis-hadis yang menceritakan bahwa manusia dapat melihat Allah Swt dapat di akhirat kelak. Dari satu sisi, mereka selalu berusaha menakwilkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang menolak kemungkinan dilihatnya Allah Swt.


Kapankah Hadis Ru′yah itu Muncul?

Bukti hadis dan sejarah menyatakan bahwa kaum Muslimin yang hidup di masa Rasulullah Saw dan khalifah Abu Bakar berkeyakinan bahwa Allah Swt tidak dapat digapai mata atau dengan indra lainnya. Mereka menyadari bahwa wujud Allah Swt bukanlah wujud materi sehingga dapat dilihat oleh mata dan digapai oleh khayalan. Wujud-Nya hanya dapat dicapai oleh mata hati yang cakupannya lebih dalam dari penglihatan mata kepala.

Tidak diragukan, bahwa semenjak masa kekhalifahan Umar bin Khaththablah sebagian umat Islam mulai berasumsi bahwa Allah Swt dapat dilihat dengan mata. Asumsi ini berbarengan dengan munculnya ideologi Korporealisme (tajsim) di tengah-tengah mereka. Bangkitlah Ahlul Bait as beserta sahabat lainnya untuk menolak dan mengingkari pemikiran tersebut. Ummul Mukminin Aisyah pun dikejutkan oleh pemikiran yang asing ini (di luar ideologi Islam) yang bertentangan dengan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Saw. Beliau menegaskan bahwa hadis-hadis yang dijadikan pijakan oleh sebagian orang untuk membuktikan bahwa Allah Swt dapat dilihat, adalah hadis-hadis palsu yang dinisbahkan kepada Rasulullah Saw. Hal ini adalah kebohongan besar atas Allah Swt dan Rasul-Nya. Karena itu, wajib bagi umat Islam untuk menolak dan mengingkarinya.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Masruq, ia berkata, ″Aku bertanya kepada Aisyah ra, ′Wahai ibundaku! Apakah Muhammad Saw melihat Tuhannya?′ Beliau pun menjawab, ′Sungguh rambutku telah memutih mendengar apa yang kauucapkan! Di manakah engkau? Ketahuilah barangsiapa yang mengatakan kepadamu tiga perkara, maka ia telah berdusta. Barangsiapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad Saw telah melihat Tuhannya, maka ia telah berdusta, kemudian beliau membaca ayat, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui”.[5] “Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir”.[6] Dan barangsiapa yang mengatakan kepadamu bahwa ada seseorang yang mengetahui akan kejadian hari esok, maka ia telah berbohong. Kemudian beliau menbaca, “Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok”.[7] Dan barangsiapa yang mengatakan kepadamu bahwa Nabi Saw telah menyembunyikan wahyu, maka ia telah berbohong. Kemudian beliau membaca ayat, “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.[8] Akan tetapi beliau (Rasulullah Saw) telah melihat Jibril dengan rupa aslinya sebanyak dua kali.″[9]

Dalam hadis lain, Imam Bukhari meriwayatkan dari Sya′bi, dari Masruq, dari Aisyah ra, beliau berkata, ″Barangsiapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad Saw telah melihat Tuhannya, maka ia telah berbohong. Kemudian beliau membaca, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui”. Barangsiapa yang mengatakan kepadamu, bahwa ia mengetahui hal yang gaib, maka ia telah berbohong. Beliau pun membaca, “Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah”[10].”[11]

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Aisyah ra berkata, ″Barangsiapa yang menganggap bahwa Muhammad Saw telah melihat Tuhannya, berarti ia telah berbohong besar atas Allah Swt.″[12]

Imam Nasa′i meriwayatkan pula, bahwa Nabi Saw melihat Tuhannya dengan hatinya bukan dengan penglihatan matanya.[13]

Imam Turmudzi meriwayatkan dari Masyruq, ia berkata, ″Saat aku berada di hadapan Aisyah,″ beliau berkata, ″Wahai Aba Aisyah[14]! Ada tiga perkara yang jika seseorang mengatakan salah satunya, maka ia telah berbuat kebohongan besar atas Allah Swt. Barangsiapa yang mengatakan, bahwa Muhammas Saw telah melihat Tuhannya, maka ia telah berdusta besar atas Allah Swt, karena Allah Swt berfirman, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui. Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.″[15] Aku sedang bersandar, mendengar demikian aku pun segera duduk dan bertanya, ″Wahai Ummul Mukminin! Tolong jelaskan kepadaku, bukankah Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain”.[16] “Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang?″[17] Beliau menjawab, ″Demi Allah! Akulah yang pertama kali bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai ayat-ayat ini, dan beliau bersabda, ″Sesungguhnya ia (yang aku lihat) adalah Jibril. Aku tidak melihatnya dengan rupa aslinya selain di kedua kesempatan tersebut. Aku melihatnya turun dari langit, tampak keagungan penciptaannya menutupi segala yang ada di antara langit dan bumi.″ [Aisyah ra melanjutkan] ″Barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad Saw telah menyembunyikan sesuatu yang Allah telah turunkan kepadanya, maka ia telah berdusta besar atas Allah Swt. Karena Allah Swt telah berfirman, “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.[18] Dan barangsiapa yang menganggap bahwa dirinya mengetahui apa-apa yang akan terjadi di hari esok, maka ia pun telah berbohong besar atas Allah Swt, karena Allah Swt berfirman, “Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah.’″[19]

Imam Turmudzi mengatakan, ″Hadis ini adalah hadis hasan dan sahih, dan laqab Masyruq bin Ajda′ adalah Abu Aisyah.″

Thabari menukil dari Syi′bi, ia meriwayatkan bahwa Aisyah as berkata, ″Barangsiapa yang mengatakan, bahwa seseorang telah melihat Tuhannya, maka ia telah berbuat kebohongan besar atas Allah Swt. Allah Swt berfirman, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan”.

Oleh karenanya, para ulama mengatakan, bahwa arti dari idrak dalam ayat ini adalah ″melihat″. Dengan demikian, mereka mengingkari kemungkinan dilihatnya Allah Swt baik di dunia maupun di akhirat. Mereka pun menakwil makna ″melihat″ dalam ayat, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat, dengan arti ″menunggu rahmat Allah Swt″.[20]

Imam Ahmad bin Hanbal, meriwayatkan hadis yang serupa dengan tambahan sebagai berikut, Aisyah ra berkata, ″Mahasuci Allah! Sungguh perkataanmu telah membuat rambutku memutih.″[21]

Riwayat ini pun dinukil oleh Tsa′alabi kemudian ia berkomentar, ″Baihaqi memilih hadis yang bersumber dari Aisyah, Ibnu Mas′ud dan Abu Hurairah. Mereka semua menafsirkan ayat, “Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi”[22] artinya bahwa Rasul Saw telah melihat Jibril. Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Syarik telah terbantahkan oleh hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Ghiffari yang menceritakan bahwa Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah Saw, ″Wahai Rasulullah! Apakah Anda telah melihat Tuhan Anda?″ Rasul Saw menjawab, ″yang aku lihat adalah] cahaya.″[23]

Menyangkut firman Allah Swt yang berbunyi, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya”[24], Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melihat Tuhannya dengan kedua mata kepala beliau. Kemudian Aisyah menepis ucapannya dan mengatakan, ″Diriku sendiri yang menanyakan mengenai ayat-ayat ini, dan Rasulullah bersabda kepadaku, ″Yang disebutkan di seluruh ayat ini –yang aku lihat- adalah Jibril.″

Ibnu Jazi menuliskan, ″Dikatakan bahwa yang dilihat oleh
Rasulullah Saw adalah Allah Swt, namun perkara ini diingkari oleh Aisyah.″[25]

Dzahabi menuliskan, ″Dari Aisyah ra, beliau berkata, ′Barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad telah melihat Tuhannya, berarti ia telah berbuat kebohongan besar atas Allah Swt. Akan tetapi beliau melihat Jibril sebanyak dua kali dengan bentuk dan penciptaan aslinya yang menutupi segala sesuatu yang berada di antara dua ufuk.′″

Tidak ada bukti teks yang jelas (nash) yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw telah melihat Tuhannya dengan kedua mata kepalanya. Sebaiknya seorang Muslim berdiam dan tidak menyibukan diri akan perkara ini. Adapun melihat Allah Swt di dalam mimpi, telah banyak riwayat dan berbagai sumber lain yang menceritakan hal ini. Adapun melihat Allah Swt di akhirat adalah suatu kepastian yang dinyatakan hadis yang mutawatir, dimana hadis-hadis ini dikumpulkan dan disusun oleh Darul Quthni, Baihaqi dan ulama lainnya.[26]

Dalam catatan kakinya, Dzahabi menuliskan, ″Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, jld. 6, hlm. 241, dari jalur Ibnu Abi ′Adi, dari Daud bin Abi Hind, dari Sya′bi, dari Masyruq, ia berkata, ′Saat berada di hadapan Aisyah, saya bertanya kepada beliau, ′Bukankah Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang”.[27] “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain”[28] Beliau menjawab, ′Aku adalah orang pertama dari umat ini yang bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai kedua ayat tersebut. Beliau bersabda, ′Sesungguhnya ia adalah Jibril yang tidak pernah tampak dengan bentuk penciptaan aslinya selain pada kedua kali tersebut. Ia terlihat turun dari langit dan keagungan penciptaannya menutupi segala yang berada di antara langit dan bumi.′″

Dzahabi melanjutkan, ″Imam Muslim juga menukil riwayat ini dalam hadis no. 177, tentang ″Keimanan″, bab ″Ma′na Qauluhu Azza wa Jalla: wa laqad Roaahu Nazlatan Ukhra″, dari jalur Sya′bi. Bukhari pun meriwayatkan hadis tersebut dalam Shahih-nya jld. 8, hlm. 466, dari jalur Sya′bi dari Masyruq. Turmudzi pun meriwayatkan dalam kitab tafsirnya dari jalur Sufyan dari Majalid dari Sya′bi. Hadis ini adalah hadis yang sahih sanadnya.″[29]

Patut diperhatikan, dari riwayat-riwayat di atas tampak bahwa Aisyah ra mengingkari kemungkinan melihat Allah Swt baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Thabari. Oleh karenanya, Dzahabi dan juga yang lainnya terpaksa menakwil riwayat-riwayat Aisyah dan ayat-ayat yang menafikan telihatnya Allah Swt. Padahal mereka sendiri mengharamkan penakwilan atas hadis-hadis yang menyatakan dapat dilihatnya Allah Swt dan yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Swt. Bahkan mereka menolak segala bentuk penakwilan dan menganggapnya sebagai praktik yang sesat dan syirik, sebagaimana yang kita akan bahas pada kajian mendatang.

Damairi menuliskan, ″Aisyah tidak menerima bahwa makna ″melihat″ dalam surah Al-Najm adalah Nabi Saw telah melihat Tuhannya, bahkan beliau mengingkari kemungkinan terlihatnya Allah Swt secara mutlak. Allah Swt Mahasuci dan Mahaagung, Dia tidak dapat disifati dengan arah dan tempat, dibatasi dengan kriteria-kriteria tertentu dan berada pada ruang dan waktu. Dia Mahasuci dan Mahatinggi! Oleh karenanya, mustahil Zat-Nya dapat dibatasi dengan ruang tertentu dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain atau menetap di satu tempat. Diriwayatkan, bahwa saat Allah Swt berkata-kata dengan Nabi Musa as, beliau mendengar suara dari berbagai arah. Apabila hal ini diakui kebenarannya, maka tidak ada celah bagi kita untuk mengatakan, bahwa Allah Swt berada di tempat tertentu, bahwa firman-Nya adalah berupa huruf-huruf dan suara, sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Hanbaliah Hasyawiah.″[30]


Referensi:

[1] Al-Syura:11.

[2] Al-A′raf:143.

[3] Al-An′am:103.

[4] Al-Qiyamah:22-23.

[5] Al-An′am:103.

[6] Al-Syura:51.

[7] Luqman: 34.

[8] Al-Maidah: 67.

[9] Shahîh Al-Bukhôrî, jld. 6, hlm. 50.

[10] Al-Naml: 65.

[11] Ibid., jld. 8, hlm. 166. Dalam jld. 2, juz 4, hlm. 83 dan jld. 3, juz 6, hlm. 50 dan juz 4, hlm. 83, Imam Bukhari pun meriwayatkan hadis-hadis seperti ini.

[12] Shahih Muslim, jld. 1, hlm. 110.

[13] Tafsir Nasa′i, jld. 2, hlm. 339 dan 245. Hadis ini juga diriwayatkan pula dalam kitab Irsyâd Al-Sârî, jld. 5, hlm. 276. jld. 7, hlm. 359 dan jld. 10, hlm. 356. Imam Razi pun meriwayatkan hadis ini dalam kitabnya Al-Matôlib Al-′Âliyah, jld. 1, juz 1, hlm. 87.

[14] Panggilan bagi Masyruq.

[15] Al-Syura:51.

[16] Al-Najm:13.

[17] Al-Takwir:23.

[18] Al-Maidah:67.

[19] Sunan Turmudzi, jld. 4, hlm. 328.

[20] Tafsir Thabari, jld. 27, hlm. 20, 30 dan 100.

[21] Ulama hadis lainnya juga meriwayatkan hadis yang serupa seperti, Baghawi dalam kitabnya Al-Mashabîh jld. 4, hlm. 30, Suhaili dalam Al-Raudh Al-Âanif jld. 2, hlm.156, Nuwairi dalam Nihayah Al-Irb jld. 8, bagian 16, hlm. 295.

[22] Al-Najm:8.

[23] Jawâhir Al-Ihsân, jld. 3, hlm. 252.

[24] Al-Najm:11.

[25] Al-Ta’shil, jld. 2, hlm. 381.

[26] Siyar A′lâm Al-Nubala, jld. 2, hlm. 166.

[27] Al-Takwir: 23.

[28] Al-Najm: 13.

[29] Ibid., jld. 2, hlm. 166, catatan kaki.

[30] Hayât Al-Hayawân, jld. 2, hlm. 71.



Makna ″Dusta atas Allah″ dan Asal Muasalnya

Dusta (firyah) ialah menciptakan suatu yang baru dalam agama (bid′ah) dan dengan sengaja berbohong dengan mengatasnamakan agama Allah Swt.[1]

Kemungkinan istilah ″dusta atas Allah Swt″ (firyah ′ala-Allah) besaral dari lisan suci Rasulullah Saw yang kemudian diadopsi oleh Aisyah ra dan Ahlul Bait as.

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Watsilah bin Asqa′, ia berkata, ″Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ′Sesungguhnya dusta yang besar, tiga perkara …′″[2]

Terdapat indikasi bahwa istilah tersebut pada asalnya dilontarkan terhadap orang-orang Yahudi.

Haitsami menceritakan, ″Sesungguhnya Abdullah bin Rawahah telah melontarkan kata-kata tersebut kepada orang-orang Yahudi Khaibar. Saat ia berjalan di kebun korma mereka, kemudian ia menoleh ke arah mereka dan berkata, ′Demi Allah Swt! Aku tidak pernah menemukan seorang pun dari makhluk Allah yang lebih besar dustanya terhadap Allah dan paling memusuhi Rasul-Nya Saw, melebihi kalian!′″[3]

Dalam riwayat di bawah ini, kita akan temukan lebih jelas lagi bahwa istilah ″dusta atas Allah″ pada mulanya memang ditujukan kepada orang-orang Yahudi.

Allamah Majlisi meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa saat ia berada di majelis Umar bin Khaththab yang juga Ka′ab Akhbar hadir di dalamnya. Umar berkata kepada Ka′ab, ″Wahai Ka′ab! Apakah kamu menghapal Taurat?″ Ka′ab menjawab, ″Sesungguhnya aku banyak menghapal darinya.″ Kemudian berkata seorang yang berada di sisi majelis, ″Wahai Amirul Mukminin! Tanyakan kepadanya, di manakah Allah berada sebelum Dia menciptakan Arasy-Nya!″ Umar berkata, ″Wahai Ka′ab! Apakah engkau mengetahui perkara ini?″ Ka′ab pun menjawab, ″Ya! Wahai Amirul Mukminin! Kami dapatkan dalam Taurat tertulis, bahwa Allah Swt telah ada sebelum Arasy diciptakan dan Dia berada di atas batu Baitul Muqaddas yang mengapung di udara. Saat hendak menciptakan Arasy, Dia meludah yang kemudian air ludah tersebut menjadi lautan yang luas dan gelombang yang bergemuruh, di sanalah Dia menciptakan Arasy-Nya dari batu yang berada di dalam lautan tersebut dan sebagian lagi dari batu yang berada di Baitul Muqaddas.″

Ibnu Abbas berkata, ″Saat itu Ali bin Abi Thalib, yang juga hadir dalam majelis tersebut, segera menyebut dan mengagungkan Allah Swt. Kemudian beliau berdiri dan bergegas meninggalkan majelis. Namun Umar memintanya untuk kembali, beliau pun kembali.

Umar bekata kepada beliau, ″Apakah yang akan Anda katakan, wahai Abu Hasan! Sungguh kami tidak mengenal Anda kecuali sebagai pemecah berbagai permasalahan.″

Ali menoleh ke arah Ka′ab dan berkata, ″Kalian telah melakukan kesalahan, kalian telah mengubah kitab Allah dan berdusta kepada-Nya! Wahai Ka′ab! Celakalah engkau! Sungguh batu yang kau katakan itu tidak akan dapat memikul keagungan dan kebesaran-Nya, dan udara yang kau katakan itu tidak akan dapat meliputi keberadaan-Nya. Seandainya batu dan udara telah ada bersama-Nya, maka keduanya adalah sekutu baginya. Mahatinggi dan Mahasuci Allah Swt untuk dikatakan bahwa Dia memiliki tempat guna menetap di sana. Allah tidaklah seperti yang dikatakan oleh orang-orang ateis (mulhid) dan juga tidak seperti yang disangka oleh orang-orang bodoh. Dia ada sebelum adanya ruang. Pemikiran seseorang tidak akan dapat mencapainya. Ucapanku ″Dia ada″, dikarenakan ketidakberdayaan untuk mengungkapkan kebesaran-Nya. Perkataanku ini adalah kepandaian yang telah Allah Swt ajarkan, Allah Swt berfirman, “Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara”[4]. Dengan ini, aku akan berbicara mengenai keagungan dan kebesaran-Nya.

Sejak semula (azal), Tuhan kami Mahakuasa atas segala sesuatu dan meliputi segala sesuatu, kemudian Dia menciptakan segala yang dihendaki tanpa melalui proses berpikir dan tanpa sekutu. Tidak ada sedikit pun kekurangan atas kehendak-Nya. Sesungguhnya Allah Swt menciptakan cahaya dari ketiadaan, kemudian menciptakan darinya kegelapan, Dia mampu menciptakan kegelapan dari ketiadaan sebagaimana Dia menciptakan cahaya dari ketiadaan. Kemudian dari kegelapan tersebut Dia menciptakan kembali cahaya…

Dia menciptakan Arasy-Nya dari cahaya dan menciptakan Arasy di atas air. Di Arasy terdapat sepuluh ribu lisan yang selalu bertasbih kepada-Nya dengan sepuluh ribu bahasa. Masing-masing dari lisan memiliki bahasa yang berbeda. Arasy berada di atas air yang dipenuhi tirai-tirai kabut, inilah makna firman Allah Swt, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya”[5]. Celakalah engkau wahai Ka′ab! Jika yang diludahkannya adalah lautan sebagaimana yang kau katakan, maka Dia Mahabesar sehingga dapat dipikul oleh batu Baitul Muqaddas atau diliputi oleh udara yang kau anggap bahwa Dia berada di sana.″[6]


Pendapat Syekh Al-Bani Mengenai ″Melihat Allah″

Al-Bani menuliskan, ″Sesungguhnya keyakinan akan melihat
Allah Swt bukan hanya tertera dalam hadis-hadis saja, namun banyak nas yang menyatakan demikian. Sesungguhnya keyakinan ini juga bersumber dari Al-Quran yang riwayat penafsirannya datang secara mutawatir dari Rasulullah Saw. Sesungguhnya firman Allah Swt, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”. Wajah-wajah tersebut adalah wajah-wajah orang-orang mukmin yang pasti akan melihat Allah Swt. Orang-orang Syiah dan Muktazilah dengan akal mereka mengatakan bahwa makna ayat, wajah-wajah melihat Tuhannya, ialah melihat kepada nikmat Tuhannya. Praktik takwil seperti ini merupakan penghancur bagi Sunnah yang benar.″[7]

Tampaknya Al-Bani dan kawan-kawannya telah lupa, bahwa untuk memahami hukum Allah Swt secara sempurna dan benar, kita tidak diperkenankan untuk mengambil sebagian dari ayat-ayat Al-Quran dan meninggalkan sebagian lainnya. Dalam masalah ini, selain kita mengkaji ayat di atas, kita pun diharuskan untuk melihat ayat-ayat lain lainnya, seperti ayat, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan”. Dan ayat, “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”[8] dan ayat lainnya yang juga menafikan kemungkinan melihat Allah Swt. Setelah itu, kita pun harus membandingkan antara ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih, sehingga kita dapat mencapai kesimpulan dan penafsiran yang benar.

Berdasarkan kaidah inilah, kami mengatakan bahwa ayat yang berbunyi, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”, tidak menunjukkan bahwa orang-orang mukmin akan melihat Zat Allah Swt di surga kelak. Akan tetapi ayat ini berkaitan dengan kejadian di alam mahsyar sebelum mereka masuk surga. Terbukti ayat setelahnya menyebutkan, bahwa orang-orang kafir bermuka muram sebelum mereka masuk neraka dan menerima siksa, “Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram. Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat”.[9] Dengan demikian, arti kedua ayat ini ialah, wajah orang-orang beriman berseri-seri, menunggu rahmat dan pahala dari Tuhan mereka, sedangkan wajah-wajah orang kafir menjadi murung, karena takut akan siksa-Nya.

Al-Bani dan orang-orang yang sepemikiran dengannya mengatakan bahwa meninggalkan hadis-hadis yang menyatakan kemungkinan melihat Allah Swt, merupakan penghancuran terhadap Sunnah. Akan tetapi mereka telah lupa, bahwa mereka sediri telah meninggalkan hadis-hadis sahih yang bersumber dari Aisyah ra dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta ulama hadis lainnya. Apakah mereka akan mengakui bahwa mereka pun telah merobohkan Sunnah Rasulullah Saw?

Pada dasarnya, ayat yang menolak kemungkinan melihat Allah Swt, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku”, merupakan ayat yang muhkamah. Maka dari itu, tidak dibenarkan bagi kita untuk meninggalkan kandungan ayat ini dan beralih kepada makna lahir ayat yang mutasyabihah yang tampak menolak kandungan ayat ini. Bukankah kita diharuskan untuk menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihah dengan ayat-ayat yang muhkamah?

Berkaitan dengan masalah ini, di sana terdapat hadis-hadis yang menyatakan kemungkinan melihat Allah Swt dan terdapat pula hadis-hadis yang menolak kemungkinan tersebut. Seluruh hadis ini dinyatakan shahih oleh saudara kami Ahli Sunnah dan termaktub dalam kitab-kitab sahih mereka. Dalam kondisi seperti ini, maka tidak ada pilihan bagi kita kecuali berpegang kepada salah satu kandungan sebagian dari hadis-hadis tersebut dan meninggalkan sebagian yang lainnya. Hal semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai pekerjaan orang-orang Syiah atau Muktazilah, serta tidak dapat dianggap sebagai penghancuran atas Sunnah Nabi Saw. Karena mereka sendiri yang bersikeras mengatakan bahwa Allah Swt dapat dilihat, telah meninggalkan hadis-hadis Aisyah ra dan para sahabat lainnya. Demikian pula, mereka yang menolak kemungkinan melihat Allah Swt, telah meninggalkan hadis-hadis yang menyatakan mungkinnya melihat Allah Swt.

Meninggalkan sebagian riwayat dan berpegangan kepada riwayat lainnya, sama sekali bukanlah penghancuran atas Sunnah. Hal ini telah dilegalkan dan disahkan dalam ilmu Ushûl Al-Fiqh khususnya dalam Bab Al-Ta′dîl wa Al-Tarjîh, yang di sana disebutkan bahwa merupakan kaidah yang disepakati oleh seluruh ulama, saat tidak dimungkinkan untuk menggabungkan antara dua riwayat yang saling bertentangan, maka diharuskan untuk berpegang kepada riwayat yang memiliki prioritas lebih dibanding riwayat lainnya. Oleh karenanya, dalam kasus ini kita melihat bahwa hadis-hadis yang menafikan kemungkinan terlihatnya Allah Swt lebih memiliki prioritas daripada hadis-hadis yang menyatakan sebaliknya. Karena, hadis-hadis tersebut sesuai dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamah, seperti ayat, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan” dan ayat, “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”.[10]

Selain itu, hadis-hadis yang menafikan ru′yah sesuai dengan hukum dasar (ashl). Pada dasarnya, sebelum adanya bukti-bukti yang konkret dan kuat (yang memberikan keyakinan), kita tidak dapat menghukumi bahwa Allah Swt dapat dilihat oleh mata. Selain itu, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahlul Bait as dan Aisyah ra berisikan bantahan atas hadis-hadis yang menyatakan kemungkinan ru′yah. Sebaliknya tidaklah demikian, hadis-hadis yang membolehkan ru′yah sama sekali tidak membantah hadis-hadis yang membolehkan ru′yah. Ditambah lagi, hadis-hadis yang menafikan ru′yah, selaras dengan hukum akal yang pasti (qath′i), namun tidak demikian dengan hadis-hadis yang menolak ru′yah.


Ucapan Lancang pun Terhadap Siti Aisyah

Ibnu Khuzaimah mengatakan, ″Saya pikir ucapan ini dilontarkan oleh Aisyah saat beliau sedang marah. Seandainya beliau tidak dalam keadaan marah, maka beliau akan mengucapkan sesuatu yang lebih baik. Bukanlah suatu yang baik, seseorang mengatakan bahwa Ibnu Abbas, Abu Dzar, Anas bin Malik dan sahabat lainnya telah melakukan dusta besar atas Allah Swt. Akan tetapi dalam keadaan marah, seseorang dapat mengucapkan sesuatu di luar kehendaknya.

″Jika tidak demikian, paling tidak kita katakan bahwa Aisyah ra berselisih pendapat dengan Abu Dzar, Anas bin Malik dan sahabat lainnya seputar, apakah Nabi Saw pernah melihat Allah Swt atau tidak? Aisyah ra mengatakan, Nabi Saw tidak pernah melihat Allah Swt. Namun, Abu Dzar, Ibnu Abbas dan Anas bin Malik ra mengatakan, Nabi Saw pernah melihat Allah Swt. Sebagaimana yang telah saya katakan di beberapa kesempatan dalam kitab-kitab saya, penafian tidak melahirkan pengetahuan, penetapanlah yang melahirkan ilmu dan pengetauan. Apa yang Aisyah ra ucapkan tidak bersumber dari Nabi Saw, dan Nabi tidak mengabarkan kepada Aisyah ra bahwa beliau tidak melihat Allah Swt. Akan tetapi, Aisyah sendiri yang membaca firman Allah Swt, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan.[11] Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir”.[12]

″Barangsiapa yang merenungkan dua ayat tersebut sesuai dengan pemahaman yang benar, maka ia akan menyadari bahwa tidak satu pun dari kedua ayat tersebut yang dapat dijadikan pijakan guna menuding seseorang bahwa ia telah melakukan dusta besar atas Allah Swt. Karena firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata”, sebagaimana yang disebutkan oleh para penafsir al-Quran, bahwa ayat ini memiliki dua pengertian. Pertama, adalah sabda beliau yang ditujukan kepada Ikrimah budak beliau yang berbunyi, ″Itu adalah cahaya-Nya. Jika Dia Swt bertajalli dengan cahaya-Nya, maka tidak satu pun yang dapat melihat-Nya″. Kedua, maksud dari ayat, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata”, adalah mata mayoritas umat manusia. Karena kata-kata abshâr (penglihatan-penglihatan) dalam bahasa Arab tertuju untuk penglihatan banyak orang. Saya tidak mengira bahwa ada seorang Arab yang mengatakan ″penglihatan satu orang″ dengan ibarat wahid abshâr (satu penglihatan-penglihatan), akan tetapi ia akan mengatakan, wahid bashar (satu penglihatan). Bahkan saya tidak pernah mendengar seorang Arab mengungkapkan untuk satu orang dengan basharân (dua penglihatan), terlebih lagi dengan ungkapan abshâr.

″Jika kami mengatakan bahwa di dunia ini para manusia telah melihat Allah Swt, maka kami telah mengucapkan kebatilan dan kebohongan. Namun bagaimana dengan seseorang yang mengatakan bahwa di dunia ini hanya Nabi Saw yang pernah melihat Allah Swt bukan manusia lainnya? Dan bagaimana dengan seseorang yang mengatakan bahwa di dunia ini para manusia telah melihat Allah Swt sedangkan Nabi Saw tidak pernah melihat-Nya? Maka dari itu, pahamilah baik-baik permasalahan ini, wahai orang-orang yang terpelajar! Kalian akan menyadari bahwa Ibnu Abbas, Abu Dzar, Anas bin Malik dan yang sependapat dengan mereka, tidak pernah berbuat dusta besar atas Allah Swt. Sama sekali tidak! Dalam masalah ini mereka tidak mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan kitab Allah Swt.

″Adapun berkenaan dengan ayat yang beliau (Aisyah ra) sebutkan, ‘Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir’, Ibnu Abbas, Abu Dzar, Anas bin Malik dan seluruh yang mengatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Tuhan-Nya sama sekali tidak mengatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt saat Dia berkata-kata dengan beliau, sehingga dapat dikatakan bahwa ucapan mereka bertentangan dengan ayat ini.

″Oleh karenanya, barangsiapa yang mengatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Tuhannya, maka ucapannya sama sekali tidak bertentangan dengan ayat, ‘Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir’. Namun, barangsiapa yang mengatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Tuhannya di saat beliau diajak bicara oleh Allah Swt, maka ucapan inilah yang bertentangan dengan ayat tersebut.

″Ibnu Umar ra dengan segala kebesarannya, keluasan ilmunya, keindahan akhlaknya, kecemerlangan pemikirannya dan kedudukannya dalam Islam dan ilmu pengetahuan, beliau menyerap ilmu dalam masalah ini dari Ibnu Abbas yang merupakan sepupu Nabi Saw dan juga seorang penafsir besar. Ibnu Umar ra bertanya kepada beliau, ″Apakah Nabi Saw telah melihat Tuhannya?″ Dalam hal ini, Ibnu Umar meminta kejelasan dari Ibnu Abbas sebagai seorang yang menguasai masalah ini. Ibnu Abbas pun menegaskan bahwa Nabi Saw telah melihat Tuhannya. Dengan penuh keyakinan, setiap orang yang berilmu akan megetahui bahwa perkara ini merupakan perkara yang tidak dapat dicerna oleh akal dan pemikiran. Perkara ini tidak akan pernah diketahuai kecuali melalui nas, baik melalui sabda Nabi Saw ataupun firman Allah Swt. Saya tidak menduga, bahwa ada seorang yang berilmu luas yang menganggap bahwa ucapan Ibnu Abbas semata didasari oleh pemikiran dan dugaan beliau saja. Tidak! Sama sekali hal ini tidak akan terjadi baik pada diri Ibnu Abbas atau Abu Dzar maupun Anas bin Malik.

″Pandangan kami ialah seperti yang diungkapkan oleh Muamar bin Rasyid saat ia bercerita mengenai perbedaan pendapat yang terjadi antara Aisyah ra dan Ibnu Abbas ra. Muammar mengatakan, ′Menurut kami, Aisyah ra bukanlah seorang yang lebih pintar daripada Ibnu Abbas.′ Menurut kami, Aisyah ra adalah seorang wanita yang jujur (Shiddiqah) putri dari seorang yang jujur (Shiddiq). Beliau adalah kekasihnya kekasih Allah, yang luas ilmunya dan pemahamannya. Di satu sisi, Ibnu Abbas ra adalah sepupu Nabi Saw yang pernah didoakan oleh beliau agar Allah Swt menganugrahinya ilmu dan pengetahuan yang luas. Berkat doa ini, beliau dikenal sebagai penafsir besar Al-Quran. Umar al-Faruq senantiasa bertanya kepada beliau akan makna sebagian ayat al-Quran dan selalu menerima ucapan beliau walaupun sahabat-sahabat yang lebih tua dari beliau tidak sepakat dengan ucapan beliau.

″Oleh karenanya, jika dua pribadi ini (Aisyah ra dan Ibnu Abbas ra) saling berbeda pendapat, maka tidak benar kita mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah berbuat dusta besar atas Allah Swt, lantaran beliau telah menyatakan sesuatu yang ditolak oleh Aisyah ra. Bahkan kepada para ulama pun, seandainya mereka mengalami kesalahan dalam mengartikan sebagian ayat Al-Quran atau menyatakan sesuatu yang tampak bertentangan dengan sebagian hadis Nabi Saw yang jumlahnya sangat banyak, maka tetap kita tidak dibenarkan untuk menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berbuat dusta besar terhadap Allah Swt. Jika demikian, bagaimana mungkin kita dapat menganggap seorang yang menyatakan sesuatu yang sama sekali tidak dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis, sebagai seorang yang telah berbuat dosa besar atas Allah Swt. Maka dari itu, pahamilah baik-baik dan janganlah berbuat kesalahan!″[13]

Ini adalah sebagian dari ucapan Ibnu Khuzaimah, seorang yang dianggap oleh kelompok Wahhabi sebagai guru para penulis kitab sahih dan imam para ulama. Dari ungkapannya, tampak bahwa ia terbawa oleh hawa nafsunya, sehingga ia telah melampaui batas dalam membuktikan akan kesalahan ucapan Aisyah ra yang menolak bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt dengan mata kepala beliau. Perilaku buruk dan kelancangan yang dilakukannya ini, membuat peneliti kitabnya Syekh Muhammad Khalil Haras, seorang gurubesar Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo, menjadi berang, sehingga dalam catatan kaki kitab tersebut dengan nada yang keras ia menjawab ucapan Ibnu Khuzaimah dan menuliskan:

Pertama: Sesungguhnya Aisyah ra jelas-jelas menolak dan mengingkari anggapan bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt. Oleh karena itu, dengan tegas beliau berkata kepada Masyruq, ″Ucapanmu telah membuat rambutku memutih!″. Tidaklah berhak bagi penulis untuk mengajari sopan santun kepada Ummul Mukminin ra, karena beliau lebih mengetahui apa yang dikatakannya daripada dirinya.

Kedua: Ucapan Aisyah ra tidak ditujukan untuk orang tertentu, namun beliau melontarkannya secara umum.

Ketiga: Tidak dapat dibuktikan bahwa yang dimaksud Ibnu Abbas ra adalah bahwa Nabi Saw melihat Tuhannya dengan mata kepala beliau. Namun terdapat kesaksian bahwa yang dimaksud Ibnu Abbas adalah bahwa Nabi Saw melihat Allah Swt dengan hati dan nurani beliau.

Keempat: Bagaimana mungkin ucapan Ibnu Khuzaimah ini dapat ditujukan kepada Aisyah ra, padahal mayoritas sahabat seperti Ibnu Mas′ud dan lainnya, sepakat dengan beliau dalam masalah ini. Adapun istri-istri Nabi Saw lainnya, tidak ada bukti bahwa di antara mereka yang tidak sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Selain itu, tidak ada satu dari mereka yang memiliki keluasan ilmu dan pemahaman seperti Aisyah ra.

Kelima: Seharusnya, mereka yang berpendapat bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt, mengutarakan argumentasi yang mendukung pendapat mereka. Karena yang pertama harus kita hukumi, ialah menafikan sesuatu, sehingga kita menemukan bukti unutk dapat menetapkannya. Dan hal ini tidak dilakukan oleh mereka. Namun sebaliknya, justru Aisyah lah yang telah membawakan beberapa argumen ayat-ayat Al-Quran, padahal beliau dalam posisi menafikan sesuatu, yaitu melihat Allah Swt. Selayaknya, seorang yang ingin menetapakan sesuatulah yang harus mengutarakan argumentasi. Karena jika tidak terdapat bukti, maka penafianlah yang harus didahulukan dan untuk menafikan sesuatu tidak membutuhkan sebuah bukti.

Keenam: Cukup menakjubkan! Bagaimana mungkin seorang Imam para ulama telah mengkhianati ilmunya sendiri? Bagaimana mungkin ia dapat memahami bahwa penglihatan yang dinyatakan oleh Al-Quran tidak dapat melihat Allah Swt adalah penglihatan banyak orang dan bukan penglihatan satu orang? Apakah jika seseorang mengatakan, ″Aku tidak memakan buah delima″, maka kita akan memahami bahwa ia tidak memakan banyak buah delima, namun yang dimakannya hanya satu buah delima saja? Semoga Allah Swt merahmati Ibnu Khuzaimah! Sungguh ia telah terperosok dan melakukan kesalahan.

Ada beberapa poin yang ingin kami tambahkan dari apa yang telah dikatakan oleh Syekh Muhammad ini. Pertama, kami tidak mendapatkan dari hadis-hadis yang termaktub dalam kitab-kitab standar saudara kami Ahli Sunnah, yang menyatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt saat Isra′ dan Mi′raj, kecuali beberapa hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar dan Aisyah ra. Dalam hadis tersebut pun, Nabi Saw mengingkari bahwa beliau telah melihat Allah Swt dengan mata kepala beliau. Sungguh mereka yang mengatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt, tidak pernah membawakan satu hadis pun yang menegaskan bahwa beliau telah melihat Allah Swt dengan mata kepala beliau. Mereka berpendapat demikian semata berdasarkan ijtihad mereka sendiri. Jadi pada dasarnya, yang saling bertentangan adalah antara hadis-hadis, yang diriwayatkan oleh Aisyah dan Abu Dzar ra, yang menafikan terlihatnya Allah Swt dengan kesimpulan-kesimpulan ijtihad mereka yang menyatakan sebaliknya. Dan bukan antara satu hadis dengan hadis lainnya.

Berkaitan dengan riwayat Ibnu Abbas ra, kita temukan bahwa kandungan riwayat-riwayat tampak membingungkan. Oleh karena itu, riwayat-riwayat tersebut dinyatakan gugur dan kita harus kembali kepada hukum semula, yaitu menafikan ru′yah sehingga ada kesaksian yang menetapkannya. Sebelum mengkritik Aisyah ra, Ibnu Khuzaimah sendiri telah menukil hadis-hadis dari Ibnu Abbas ra yang menafikan terlihatnya Allah Swt dengan mata.

Ibnu Khuzaimah menuliskan, ″Para perawi yang menukil ucapan Ibnu Abbas berselisih pendapat dalam menakwil ayat, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain”. Sebagian mereka, dengan menukil dari Ibnu Abbas, mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah Nabi Saw melihat Allah Swt dengan hati beliau. Dengan riwayat sebagai berikut.

Qasim bin Muhammad bin Ibad Mahlabi mengabarkan kepada kami, Abdullah bin Daud Khuraibi dan A′masy dari Ziad bin Hushain dari Abul Aliah dari Ibnu Abbas ra, mengenai ayat, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain”, beliau (Ibnu Abbas) berkata, ″Beliau melihat-Nya dengan hati.″

Telah mengabarkan kepadaku pamanku, Ismail, bahwa Abdurazzak berkata, Dari Israil dari Samak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata, ″Mengenai ayat, ‘Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya’, sesungguhnya beliau telah melihat Allah Swt dengan hatinya.″[14]

Menarik perhatian, pada permulaan ucapannya, Ibnu Khuzaimah mengabaikan hadis Aisyah ra yang secara jelas dinukil dari Nabi Saw, ia pun bersikeras menganggapnya sebagian kesimpulan dari ijtihad Aisyah sendiri. Namun, dalam ucapan selanjutnya, ia mengakui bahwa yang diucapkan oleh Aisyah adalah hadis
Nabi Saw. Namun ia menganggap hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, sebagai hadis yang bertolak belakang dengan hadis Aisyah ra. Kemudian ia menyatakan bahwa hadis Ibnu Abbas diutarakan lebih akhir daripada hadis Aisyah.

Yang menjadi pertanyaan, atas dasar apakah Ibnu Khuzaimah menghukumi ucapan Ibnu Abbas ra sebagai hadis Nabi Saw? Dan darimanakah ia mengetahui bahwa riwayat Ibnu Abbas diutarakan lebih akhir daripada riwayat Aisyah ra? Kita saksikan bersama bahwa riwayat Aisyah menafikan ru′yah secara mutlak, sedangkan riwayat Ibnu Abbas menetapkan sebagian bentuk ru′yah. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa riwayat Aisyah ra diutarakan untuk menyanggah riwayat-riwayat yang menetapkan terlihatnya Allah Swt. Maka itu, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa riwayat Ibnu Abbas diutarakan lebih akhir daripada riwayat Aisyah?

Dan juga, atas dasar apakah ia membuat sebuah kaidah bahwa saat ada dua riwayat yang saling bertentangan, maka kita harus berpegangan dengan riwayat yang berisikan penetapan dan menganggap riwayat ini sebagai riwayat yang menggugurkan (menasikh) riwayat yang mengandung penafian? Apakah Ibnu Khuzaimah sendiri konsisten dengan kaidah yang buatnya tersebut? Apakah yang dilakukannya saat menghadapi dua riwayat yang saling bertentangan, yang satu menetapkan wasiat Nabi Saw akan kekhilafahan setelah beliau dan yang satunya menafikan? Apakah ia tetap akan mengatakan bahwa yang harus menjadi pegangan adalah riwayat yang menetapkan bahwasanya Nabi Saw telah berwasiat mengenai siapakah khalifah setelah beliau?

Apakah dikarenakan Ibnu Abbas ra lebih luas ilmunya dibanding Aisyah ra, maka ucapan Ibnu Abbas ra senantiasa harus lebih didahulukan daripada ucapan Aisyah ra? Jika demikian, maka hendaknya Ibnu Khuzaimah lebih berpegang kepada ucapan Ibnu Abbas ra yang mengabarkan bahwa Nabi Saw telah mengangkat Imam Ali as sebagai khalifah setelah beliau dan memerintahkan kepada seluruh umat Islam untuk berbaiat kepadanya di daerah yang bernama Ghadir Khum[15]. Mengapa dalam masalah ini Ibnu Khuzaimah malah berpegangan kepada ucapan Aisyah yang menafikan wasiat Nabi Saw dalam perkara ini?

Saya tidak yakin Ibnu Khuzaimah akan komitmen dengan segala apa yang telah dikatakannya. Apa yang dilakukannya adalah semata untuk menetapkan ru′yah atas Allah Swt dengan mata kepala. Hal ini disebabkan dirinya telah terdoktrin untuk meyakini pemikiran tersebut sehingga hatinya tertutup untuk kembali merenungkannya. Akibatnya, untuk mempertahankan ideologi tersebut, ia bersedia merancang berbagai kaidah dan hukum, walaupun ia harus terjerumus dalam kontradiksi yang nyata.

Lain halnya dengan Syekh Muhammad Abduh, beliau tampak objektif saat memandang permasalahan ini. Dalam kitab tafsirnya, ia menuliskan, ″Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pernyataan akan kontradiksinya riwayat Ibnu Abbas dan riwayat Aisyah adalah hasil ijtihadnya (Ibnu Khuzaimah) semata yang tidak didasari oleh satu pun hadis Nabi. Riwayat Ibnu Abbas ra yang menyatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt dengan mata hatinya lebih dapat kita terima, karena tidak bertentangan dengan riwayat Aisyah ra yang memberitakan bahwa yang dimaksud dua ayat surah Al-Najm adalah Nabi Saw telah melihat Jibril dengan rupa dan penciptaan aslinya.

″Adapun hadis yang dikatakan telah dinukil Ikrimah dari Ibnu Abbas ra, tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya Ikrimah menukil hadis tersebut dari dari Ka′ab Ahbar yang diriwayatkan oleh Muawiyah. Akan tetapi, riwayat ini tercatat dalam kitab Bukhari. Adapun riwayat Ibnu Ishaq menyatakan, sesungguhnya riwayat ini sama sekali tidak dapat dijadikan sandaran dalam masalah ini. Karena Ibnu Ishaq adalah seorang pemalsu hadis. Walaupun ia adalah seorang yang dapat dipercaya dalam masalah peperangan, namun tidak demikian dalam meriwayatkan hadis. Dengan demikian, hadis Ibnu Abbas yang menetapkan penglihatan dengan hati, lebih dapat dan layak untuk kita terima.″[16]

Seandainya benar bahwa yang disampaikan Aisyah adalah hasil ijtihad beliau sendiri, maka ijtihad tersebut merupakan ijtihad yang berdasarkan bukti dan dalil. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Abduh, ″Sesungguhnya Aisyah adalah orang yang paling fasih dari kalangan Quraisy yang berdalil guna menafikan ru′yah atas Allah Swt. Beliau berdalil dengan membawakan ayat, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir”. Beliau menjadikan kedua ayat tersebut sebagai bukti dalam menafikan ru′yah atas Allah Swt di dunia ini. Namun perlu diingat, sebagaimana di dunia ini, melihat Allah Swt di akhirat pun merupakan suatu hal yang mustahil.[17]


Referensi:

[1] Makna ″firyah″ secara bahasa, telah dijelaskan oleh Khalil dalam Al-′Ayn, jld. 8 hlm. 280, Jawhari dalam Al-Shihâh, jld. 6, hlm. 24 dan Raghib dalam Al-Mufrodât, hlm. 379.

[2] Musnad Ahmad ibn Hanbal, jld. 3, hlm. 491.

[3] Majma Al-Zawâ’id, jld. 4, hlm. 122.

[4] Al-Rahman: 3-4.

[5] Hud:7.

[6] Bihâr Al-Anwâr, jld. 36, hlm. 194.

[7] Majmû‘at Al-Fatâwâ, hlm. 143.

[8] Al-Syura:11.

[9] Al-Qiyamah:24-25.

[10] Al-Syura:11.

[11] Al-An′am:103.

[12] Al-Syura:51.

[13] Al-Tawhîd, hlm. 225.

[14] Ibid., hlm. 200.

[15] Wasiat ini disampaikan oleh Nabi Saw sepulang beliau dari Haji Wada′, haji terakhir yang beliau tunaikan.

[16] Tafsîr Al-Manâr, jld. 9, hlm. 148.

[17] Ibid., jld. 9, hlm. 139.

(Info-Hauzah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: