Pesan Rahbar

Home » » Penurunan Al Qur'an

Penurunan Al Qur'an

Written By Unknown on Sunday 11 December 2016 | 02:05:00


Oleh: Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

Nuzûl (turunnya) Al-Quran merupakan salah satu poin penting yang dibahas dalam wacana ilmu-ilmu Al-Quran, yang meliputi berbagai persoalan, seperti siapa yang menurunkan Al-Quran, bagaimanakah wahyu Al-Quran itu, siapa penerima Al-Quran, bagaimana cara diwahyukannya Al-Quran, kapan, serta jenis dan tahap-tahap seperti apa Al-Quran diwahyukan. Pada bab ini, kami akan mendedah masalah-masalah tersebut.[1]

Sebelum melakukan analisis terhadap sejumlah poin penting seputar diwahyukannya Al-Quran, kami akan sedikit mengulangi berbagai istilah yang digunakan Al-Quran dalam menjelaskan peahyuan Al-Quran dan secara tak langsung menatuh perhatiannya pada keistimewaan atau dimensi khas diwahyukannya Al-Quran.


Kata-kata Yang Menerangkan Penurunan Al-Quran

Dalam Al-Quran, kita akan menemukan serangkaian ayat yang mengungkap turunnya Al-Quran dan penisbatannya kepada Allah swt. Dikarenakan penyebutannya secara keseluruhan bukanlah ihwal yang mendesak dan juga tidak sesuai dengan lingkup pembahasan yang terdapat dalam kitab ini, maka kami hanya akan mencukupkan pada satu atau dua contoh untuk setiap kasusnya. Sebagaimana terjadi dalam kandungan dan relasi kata-kata, pada ayat ini pun terdapat berbagai pendapat yang membutuhkan ruang tersendiri untuk menganalisis dan membahasnya. Dalam kesempatan ini, kami hanya akan mengetengahkan salah satu pandangan tersebut, yang menurut kami lebih relevan dengan teks ayat.

1. Nuzûl, Tanzîl, dan Tanazzul

Rangkaian kosakata tersebut mempunyai satu kata dasar leksikal, dan merupakan yang paling banyak digunakan dan barangkali menjadi yang paling sering didengar sekaitan dengan penjelasan seputar nuzûl dan turun (diwahyukan)nya Al-Quran.

Pada surah Al-Syu’ara’ [26]: 193 dan 194, Allah swt. berfirman, “Ar-Ruh al-Amin (Jibrail) telah menurunkannya ke-dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.”

Demikian pula pada surah Al-Baqarah [2]: 176, Dia berfirman, “Yang demikian itu karena Allah telah menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran.”

Dan pada surah Al-Hasyr [59]: 21, Allah swt. berfirman, “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.”

Sebagian ayat (tiga ayat terakhir) menggunakan kata-kata di atas dalam posisinya menjelaskan pewahyuan Al-Quran, terkait dengan Al-Quran secara keseluruhan, dan sebagiannya lagi seperti pada ayat pertama surah Al-Nur [24], “(Ini adalah) satu surah yang Kami turunkan,” hanya menitikberatkan sebagian tertentu dari [isi] Al-Quran. Sebagian lainnya dari ayat-ayat ini, meskipun diungkapkan oleh selain-Nya dan kadangkala peritiwa pewahyuan Al-Quran digunakan sebagai bahan olok-olok, namun ayat-ayat ini tetap menunjukkan adanya klaim semacam ini dari Allah swt. dan Al-Quran. Seperti yang maktub dalam surah Al-Furqan [25]: [25]: 32, “Orang-orang yang kafir berkata, ‘Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’”

Dengan sejumlah perbedaan yang ditunjukkan pada tingkatannya, pada umumnya kelompok ayat ini menunjukkan klaim kitab ini; bahwa ia diturunkan dari sisi Tuhan.

Kandungan nuzûl dari aspek kata dasarnya semakin jelas dengan diikutinya makna inzâl dan tanzîl. Ini telah dikemukakan pada penjelasan ketujuh dalam sub bab nama-nama independen Al-Quran. Kali ini, akan diulas soal perbedaan inzâl dan tanzîl dari perspektif kedua kata tersebut.

Sebagian pakar tafsir dan ahli linguistik menjelaskan perbedaan inzâl dan tanzîl dengan uraian berikut.

Inzâl menunjukkan peristiwa pewahyuan dalam satu tahap atau serentak; sedangkan tanzîl menunjukkan peristiwa pewahyuan secara bertahap. Dalam kaitannya dengan pewahyuan Al-Quran, seraya memperhatikan masalah ketunggalan dan simultansi, digunakanlah ungkapan inzâl. Ini sebagaimana maktub dalam surah Al-Baqarah [2]: 185, “(Beberapa hari yang telah ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia.” Sedangkan dalam kasus pentahapan, digunakan ungkapan tanzîl. Ini sebagaimana diungkapkan dalam salah satu ayat-Nya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”[2]

Tentunya membuktikan poin ini terhadap seluruh kasus merupakan ihwal yang tidak mudah. Contohnya, pada surah Al-An’am [6]: 114, Allah swt. berfirman:

{ أَفَغَيْرَ اللهِ أَبْتَغي‏ حَكَماً وَ هُوَ الَّذي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتابَ مُفَصَّلاً }

“Maka (dengan demikian), patutkah aku mencari penengah selain dari Allah, padahal Dia-lah yang telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu dengan terperinci (dan segala sesuatu termaktub di dalamnya)?”

Dan pada surah Al-Hajj [22]: 16:

{ وَ كَذلِكَ أَنْزَلْناهُ آياتٍ بَيِّناتٍ وَ أَنَّ اللهَ يَهْدي مَنْ يُريدُ }

“Dan demikianlah Kami telah menurunkan Al-Quran sebagai ayat-ayat yang nyata; dan bahwasanya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki”

Kendati poin utama yang dibahas pada rangkaian ayat di atas berkisar pada pentahapan diwahyukannya Al-Quran; namun pada ayat-ayat tersebut tetap digunakan kata inzâl. Sementara, di sisi lain, pada surah Al-Furqan [25]: [25]: 32, Dia berfirman:

{ وَ قالَ الَّذينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً }

“Orang-orang yang kafir berkata, “Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?””

Pada ayat ini, digunakan kata tanzîl; padahal pembahasannya menekankan pada diwahyukannya Al-Quran secara serentak (keseluruhan). Akan halnaya pada ayat:

{ وَ قَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتابِ أَنْ إِذا سَمِعْتُمْ آياتِ اللهِ يُكْفَرُ بِها وَ يُسْتَهْزَأُ بِها فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا في‏ حَديثٍ غَيْرِهِ }

“Dan sungguh Allah telah menurunkan (sebuah ketentuan) kepadamu di dalam Al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain”[3]

Meskipun perhatian yang difokuskan pada topik pembahasan ayat ini berkisar pada ketunggalan, namun kata yang digunakan adalah nazzala.[4] Darinya, kalangan yang menyepakati penggunaan istilah tanzil untuk menunjuk peristiwa turunnya Al-Quran secara bertahap dan kata inzâl untuk peristiwa turunnya [keseluruhan] Al-Quran dalam satu momen, berada dalam posisi menjelaskan ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat yang serupa dengannya–yang banyak dijumpai dalam Al-Quran. Atau, dalam posisi menjelaskan maksud diwahyukannya Al-Quran secara bertahap atau sekaligus.[5]

Bentuk lain yang terlihat lebih jelas dalam perbedaan kedua istilah ini dan barangkali dapat disesuaikan dengan seluruh ayat yang dimaksud tanpa kecuali adalah bahwa inzâl hanya menunjuk pada prinsip seputar proses pewahyuannya semata dan dalam pemahamannya tidak terkandung masalah yang berkenaan dengan soal pentahapan, simultansi, tunggal ataupun banyak. Karena itu, ini sesuai dengan kebersatuan, keragaman, simultansi, maupun pentahapan. Akan tetapi, istilah tanzîl, seraya memperhatikan kesesuaiannya dengan pola taf’îl, memiliki makna katsrah (banyak, bukan bertahap). Dan katsrah adakalanya berada pada posisi fi‘l (kata kerja), seperti طفت الکعبه yaitu aku berkali-kali melakukan tawaf Kabah. Dan adakalanya berada pada posisi fâ‘il (pelaku), seperti dalam kalimat ماتت الابال yaitu banyak unta-unta mati. Juga terkadang berada dalam posisi maf’ûl (objek), seperti غلقت الابواب yaitu pintu-pintu itu banyak yang tertutup.[6]

Berkaitan dengan proses turunnya Al-Quran, kosakata katsrah dapat digunakan karena kuantitas ayatnya yang relatif banyak (katsrah dalam maf’ûl). Atau, dikarenakan jumlah tahapan dan berulangnya nuzûl (sejenis katsrah dalam bentuk kata kerja). Karena, sebagaimana yang telah diindikasikan sebelumnya, sejak tahapan hakiki Al-Quran (fase Ilmu Tuhan) hingga tahapan verbal dan pemahaman, terbentang jarak dan hirarki yang sangat banyak. Dengan demikian, penggunaan kata tanzîl sekaitan dengan turunnya satu ayat atau tema memang benar adanya. Bahkan, penggunaannya sekaitan dengan diwahyukannya sekumpulan [ayat] Al-Quran–sekalipun sebagai suatu kesatuan persepsional atau hakiki–juga benar adanya.

Dengan mengasumsikan bahwa pendapat ini tidak dapat diterima, maka dapat dikatakan bahwa inzâl dan tanzîl merupakan bentuk muta’addi dari nuzûl. Keduanya tergolong kosakata yang sinonim (memiliki arti yang sama) sehingga penggunaan yang satu di tempat yang lain dapat dibenarkan. Dengan alasan inilah adakalanya suatu topik dalam satu surah diungkapkan dengan istilah tanzîl sementara di surah lainnya diungkapkan dengan istilah inzâl. Ini sebagaimana pada ayat-ayat mulia berikut:

{ وَ قالُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ رَبِّهِ }

“Dan mereka (orang-orang musyrik Mekah) berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu ayat dan mukjizat dari Tuhannya?””[7]

{ وَ يَقُولُونَ لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ رَبِّهِ }

“Dan mereka berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu keterangan (mukjizat) dari Tuhannya?””[8]

Pada kedua ayat di atas, dikemukakan soal skeptisisme kaum musyrik ihwal mengapa Tuhan tidak menurunkan suatu ayat untuk Nabi.[9]


2. Majî’

Dalam serangkaian ayat yang mulia, untuk memahami pewahyuan Al-Quran, digunakan lebih dari 35 derivat kata-kata dasar berikut: jâ-a (telah datang), jâ-uka (telah datang kepadamu), ji’nâka (telah Kami datangkan kepadamu), dan sebagainya.

Sebagian ayat ini menunjukkan prinsip kedatangan Al-Quran sebagai suatu tema yang hak dan benar, tanpa mengenalkan siapa pembawa Al-Quran atau sosok yang didatangi Al-Quran. Ini seperti yang maktub dalam surah Al-Isra’ [17]: 81:

{ وَ قُلْ جاءَ الْحَقُّ وَ زَهَقَ الْباطِلُ إِنَّ الْباطِلَ كانَ زَهُوقاً }

“Dan katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap””

Demikian pula pada surah Saba: 49:

{ قُلْ جاءَ الْحَقُّ وَما يُبْدِئُ الْباطِلُ وَما يُعيدُ }

“Katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan dapat memulai dan tidak (pula) akan dapat memperbaharui (sesuatu)””

Bagian lain dari rangkaian ayat ini menunjukkan nuzûl Al-Quran terhadap Rasulullah saw., seperti firman-Nya dalam surah Al-Maidah [5]: 48:

{ وَلا تَتَّبِعْ أَهْواءَهُمْ عَمَّا جاءَكَ مِنَ الْحَقِّ }

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”

Surah Yunus [10]: 94 dan surah Hud [11]: 120 juga termasuk kelompok ayat di atas.

Sebagian lainnya menjelaskan soal diwahyukannya Al-Quran dari sisi Tuhan kepada manusia. Ini sebagaimana maktub dalam surah Al-Najm [53]: 23. Allah swt. berfirman:

{ وَ لَقَدْ جاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدى }

“…sedang sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka”[10]

Yang termasuk dalam kelompok ayat ini adalah surah Yunus [10]: 75 & 108 , Al-Nisa’ [4]: 174, Al-A’raf [7]: 52, serta Al-Zukhruf [43]: 87.

Ayat-ayat lainnya hanya membahas tentang kedatangan Al-Quran dari sisi Tuhan tanpa menjelaskan siapa pembawanya. Ini seperti yang maktub dalam surah Al-Zukhruf [43]: 30, “Dan tatkala kebenaran (Al-Quran) itu datang kepada mereka, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya.’” Juga surah Al-Zumar [39]: 32 dan Al-Ankabut [29]: 68, “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?”

Akhirnya, di sebagian lain ayat ini, dijelaskan bahwa Rasulullah saw. yang membawakan Al-Quran ini untuk manusia. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah swt. berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhan-mu”[11]

Demikian pula maktub dalam surah Al-Mukmin [40]: 70, surah Al-Shaff [61]: 37, dan Al-Shaff [61]: 6.[12]

Penyampaian suatu pembahasan dalam bentuknya yang beragam bersandar pada sejumlah prasyarat khusus yang memuat terjadinya peristiwa pewahyuan ayat-ayat. Dan masing-masing pembahasan ini mampu menunjukkan sejumlah poin sebagaimana telah dipaparkan dalam kitab-kitab ma’ânî bayân (buku-buku yang membahas ihwal keindahan bahasa) pada bab yang mengulas masalah fâ‘il, maf’ûl, dan muta’allaq, berikut segenap keistimewaan dan penghilangannya.


3. Ityân dan Îtâ’

Pewahyuan Al-Quran di sekitar sepuluh lokasi, telah dijelaskan dengan menggunakan derivat kedua kata ini. Seperti pada surah Al-Hijr [15]:87:

{ وَ لَقَدْ آتَيْناكَ سَبْعاً مِنَ الْمَثاني‏ وَ الْقُرْآنَ الْعَظيمَ }

“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (surah al-Fatihah) dan Al-Quran yang agung”

Juga pada surah Al-Mukminun [23]: 71:

{ بَلْ أَتَيْناهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ }

“Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka Al-Quran yang dapat menjadi (sumber) peringatan (dan kemuliaan) bagi mereka, tetapi mereka berpaling dari (sumber) peringatan (dan kemuliaan) itu”

Demikian pula pada surah Thaha [20]: 99 & 133 yang juga mengemukakan persoalan ini.
4. Wahyu dan Îhâ’

Kosakata ini berikut derivasinya (awhâ, yûhâ, …) dapat ditemukan di sekitar 40 lokasi dalam Al-Quran. Keseluruhannya menjelaskan soal diturunkannya Al-Quran. Seperti pada surah Al-Syura [42]: 7:

{ وَ كَذٰلِكَ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ قُرْآناً عَرَبِيًّا }

“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Quran dalam bahasa Arab”

Juga pada surah Al-Isra’ [17]: 39:

{ ذلِكَ مِمَّا أَوْحى‏ إِلَيْكَ }

“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu”

Sebagian ayat ini, sebagaimana ayat pertama, menitik-beratkan perhatiannya pada pewahyuan Al-Quran secara keseluruhan. Sementara sebagian lainnya, seperti pada surah Hud [11]: 49, “Itu adalah di antara berita-berita gaib yang penting yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad),” mengarahkan pandangan pada pewahyuan sebagian isi Al-Quran. Sedangkan sebagiannya lagi dapat digolongkan sebagai wahyu-wahyu-wahyu non-Qurani, seperti: “Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu”[13] Dalam hal ini, hadis-hadis yang telah diwahyukan kepada Rasulullah saw. pun berada dalam cakupannya. Penjelasan makna wahyu dan penggunaannya secara Qurani telah kami kemukakan sebelumnya pada sub-bab nama-nama independen (mandiri) bagian wahyu. Sedangkan penjelasan seputar kekhususan wahyu untuk para nabi berikut jenis-jenisnya, akan kami dedah kemudian pada ulasan mengenai metode dan pengenalan pembimbing.


5. Qirâ’ah dan Tilâwah

Dalam menjelaskan pewahyuan Al-Quran, juga digunakan derivat kata qirâ’ah, sebanyak empat kali, yaitu pada ayat-ayat berikut:

{ إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ }

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu karena tergesa-gesa ingin (membaca) Al-Quran. Karena mengumpulkan dan membacanya adalah tanggungan Kami”[14]

{ سَنُقْرِئُكَ فَلا تَنْسى }

“Kami akan membacakan (Al-Quran) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa”[15]

Derivat kata tilâwah juga terdapat di enam lokasi sekaitan dengan diwahyukannya Al-Quran:

{ تِلْكَ آيَاتُ اللهِ نَتْلُوْهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ }

“Itu semua adalah tanda-tanda (kebesaran) Allah. Kami membacakannya kepadamu dengan hak (benar)”[16]

Hal yang sama juga maktub dalam surah Al Imran [3]: 58 & 108, Al-Jatsiyah [45]: 6, Al-Qashash [28]: 3, serta Al-Shaff [61]: 3.

Sedangkan mengenai penjelasan makna qirâ’ah, telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan kata-kata Al-Quran. Dan iqrâ mempunyai makna, membacakan tulisan untuk orang lain dengan maksud memberikan penegasan terhadap suatu topik atau mengoreksi kesalahan. Sedangkan yang dimaksud dalam kesempatan ini adalah bahwa “Wahai Nabi! Tuhan atau malaikat wahyu membacakan (iqrâ) Al-Quran untukmu dengan suatu cara yang tidak akan pernah kamu lupakan.” Penjelasan lebih mendetail soal topik ini akan kami kemukakan pada pembahasan berikutnya seputar bagaimana Rasulullah saw. menerima wahyu. Kosakata iqrâ merupakan salah satu ungkapan yang memuat pernyataan berikut; bahwa sebelum Al-Quran diwahyukan secara bertahap, Rasulullah saw. telah memahami seluruh hakikat Al-Quran. Lalu, untuk menegaskan hal tersebut, Al-Quran kembali dibacakan sekali lagi untuknya.

Kosakata tilâwah bermakna qirâ’ah atau membaca. Hanya saja, tilawah dikhususkan untuk pembacaan kitab-kitab suci; sedangkan makna qira’ah lebih luas dari itu.


6. Tartîl

Kosakata ini hanya dapat ditemukan dalam satu ayat, dan digunakan untuk menjelaskan turunnya Al-Quran. Yaitu, pada surah Al-Furqan [25]: [25]: 32. Allah swt. berfirman:

{ وَ رَتَّلْناهُ تَرْتيلاً }

“Kami membacakannya (kepadamu) setahap demi setahap”

Tartîl bermakna membaca dengan perhatian, perlahan, dan bersinambung, sedemikian sehingga tema yang maktub di dalamnya dapat dicerap dengan baik dan memberikan pengaruh tertentu. Dalam sebuah hadis, membaca Al-Quran dengan tartîl ditafsirkan sebagai berikut, “Tartîl adalah membaca Al-Quran dengan perlahan, dengan suara indah, dan janganlah memisahkan kata-kata dan ayat-ayatnya seperti menyebarkan pasir-pasir kecil, dan jangan pula membacanya seperti membaca sebuah syair. Akan tetapi bacalah ia, sehingga dengannya, kalbu-kalbu yang telah membatu dapat meleleh dan menjadi tenang.”[17]


7. Ilqa’ dan Talaqqi

Pada rangkaian ayat berikut, Allah swt. menisbatkan ilqâ’ dan talaqqî terhadap Al-Quran. Pada surah Al-Naml [27]: 6, Allah swt. berfirman:

{ وَ إِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِنْ لَدُنْ حَكيمٍ عَليمٍ }

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al-Quran dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui”

Pada surah Al-Muzammil [73]: 5, Dia berfirman:

{ إِنَّا سَنُلْقي‏ عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقيلاً }

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu firman yang berat”

Demikian pula pada surah Al-Mursalat [77]: 6, Allah swt. befirman:

{ فَالْمُلْقِياتِ ذِكْراً }

“…dan malaikat-malaikat yang menyampaikan wahyu”

Sementara pada surah Al-Qamar [54]: 25, dikutipkan perkataan kalangan pengingkar, lewat firman-Nya:

{ أَأُلْقِيَ الذِّكْرُ عَلَيْهِ مِنْ بَيْنِنا بَلْ هُوَ كَذَّابٌ أَشِرٌ }

“Apakah di antara kita hanya dia yang diberi wahyu? Sebenarnya dia adalah seorang yang amat pendusta lagi sombong”

Juga pada surah Al-Qashash [28]: 86 yang ditujukan kepada Rasulullah saw., Allah swt. berfirman:

{ وَما كُنْتَ تَرْجُوا أَنْ يُلْقى‏ إِلَيْكَ الْكِتابُ إِلاَّ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ }

“Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu”

Ilqâ’ bermakna “sangat dekat”, sedangkan talaqqi bermakna “menyambut sesuatu”. Yang dimaksud ilqâ’ pada rangkaian ayat ini adalah “diletakkan dalam kewenangan Rasulullah saw.”. Sedangkan talaqqi adalah “dicerapnya makrifat-makrifat spiritual”.


8. Ta’lîm

Derivat kosakata ta’lîm digunakan di empat lokasi sekaitan dengan nuzûl-nya Al-Quran:

{ الرَّحْمٰنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ }

“(Tuhan) Yang Maha Pemurah telah mengajarkan Al-Quran”[18]

Demikian pula maktub dalam surah Al-Nisa’ [4]: 3, Yasin [36]: 69, dan Al-Najm [53]: 5.

Nuzûl Al-Quran disebut ta’lîm karena Tuhan memberikan dan mengajarkan ilmu dan aturan-Nya dengan menurunkan ayat-ayat-Nya kepada Rasulullah saw.
9. Qashsha

Pada berbagai kasus, penyampaian peristiwa turunnya ayat-ayat yang mengandung cerita-cerita umumnya menggunakan derivat kata ini. Sebagaimana maktub dalam surah Al-Rahman [55]: 3:

{ نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِما أَوْحَيْنا إِلَيْكَ هذَا الْقُرْآنَ }

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu”

Hal yang sama juga maktub dalam surah Hud [11]: 100 & 120, Al-An’am [6]: 57, Al-Nahl [16]: 118, Al-Nisa’ [4]: 164, Ghafir [40]: 78, Al-A’raf [7]: 101, Al-Kahfi [18]: 13, dan Thaha [20]: 99.

Makna awal qashsha adalah mengurus (mengurus kejahatan yang telah dilakukan, yang berasal dari akar katanya), selain pula bermakna “menjelaskan atau menukilkan suatu topik” (yang di antaranya digunakan untuk menuturkan kisah).
10. Faradha

{ إِنَّ الَّذي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرادُّكَ إِلى‏ مَعادٍ }

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke-tempat kembali (tempat kelahiranmu)”[19]

Kosakata faradha bermakna wajib, mewajibkan, dan membuat wajib. Istilah ini digunakan pula untuk shalat lima waktu, dan dikatakan sebagai shalat wajib farîdhah. Demikian pula hukum-hukum wujubi diungkapkan dengan kata farâ’idh. Sedangkan maksud furadha Al-Quran adalah kewajiban tilawat (membaca) dan tabligh (menyiarkan) sebagai tanggung jawab Rasulullah saw. Sebagian kalangan mengatakan bahwa maksud ayat ini tidak meliputi seluruh ayat Al-Quran melainkan hanya meliputi hukum-hukum wujubinya. Itulah, sehingga digunakan ungkapan faradha–namun asumsi pertama agakanya lebih sesuai dengan teks ayat.

Sebagaimana terlihat, selain menjelaskan penisbatan Al-Quran kepada Allah swt., ayat-ayat ini juga menunjukkan sebagian keistimewaan turunnya Al-Quran. Seperti temponya yang perlahan, bersinambung, tersembunyi, tidak terindera, dan tidak diiringi pendidikan maupun pengajaran.

Selain ungkapan-ungkapan di atas, sebagian sifat Al-Quran seperti âyâtullah, kalâmullah, dan sejenisnya–sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya–juga menunjukkan kedatangan dan asal-usul Al-Quran dari sisi Allah swt.

Terdapat pula ayat-ayat lain yang tidak termasuk dua kategori sebelumnya. Namun kelompok ayat ini menjelaskan secara tegas soal asal-usulnya dari sisi Allah swt. Salah satunya maktub dalam surah Yunus [10]: 37, lewat firman-Nya:

{ وَما كانَ هذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرى‏ مِنْ دُونِ اللهِ وَ لكِنْ تَصْديقَ الَّذي بَيْنَ يَدَيْهِ وَ تَفْصيلَ الْكِتابِ لا رَيْبَ فيهِ مِنْ رَبِّ الْعالَمينَ }

“Tidaklah mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al-Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam”

Setelah melakukan pembahasan mengenai ungkapan-ungkapan terpenting yang digunakan sekaitan dengan nuzûl Al-Quran, kita akan beranjak ke pembahasan seputar sejumlah poin yang erat berkaitan dengan turunnya kitab mulia ini.
Yang Menurunkan Al-Quran

Dalam pandangan ini, ragam dan kumpulan ayat-ayat mulia Al-Quran yang mengungkap soal pewahyuan atau turunnya Al-Quran, dapat diklasifikasi dalam tiga kategori:
Rangkaian ayat yang tidak menyebutkan soal siapa yang menurunkan Al-Quran dan juga tidak memuat ungkapan tentangnya. Ini sebagaimana maktub dalam surah Al-Baqarah [2]: 185: “(Beberapa hari yang telah ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia.”

Juga dalam surah Al-Hadid [57]: 16, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan mereka tidak seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan kitab samawi kepada mereka, kemudian masa yang panjang berlalu atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik?”[20]

Surah Al-An’am [6]: 19 juga termasuk kategori ini: “Katakanlah, “Allah, Dialah yang menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang Al-Quran ini sampai kepadanya.”

Kategori ayat yang mengenalkan Allah swt. sebagai subjek dan pelaku yang menurunkan Al-Quran. Seperti pada ayat yang berbunyi: “Allah telah menurunkan firman yang paling baik, (yaitu) sebuah kitab (Al-Quran) yang serupa (dalam mutu dan kandungan ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Tubuh orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka akan gemetar karenanya, kemudian lahir dan batin mereka akan menjadi tenang di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang mampu memberikan petunjuk baginya”[21]

Deretan ayat mulia yang berbicara tentang peran sekelompok malaikat dalam peristiwa turunnya Al-Quran, terutama malaikat Jibrail. Ini sebagaimana tertuang dalam surah Al-Syu’ara’ [26]: 193 & 194: “Al-Ruh Al-Amin (Jibrail) telah menurunkannya.”

Juga dalam surah Al-Nahl [16]: 102: “Katakanlah, “Ruhul Qudus (Jibrail) menurunkan Al-Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”

Demikian pula dalam surah Al-Takwir [81]: 19 s/d 21, “Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibrail) yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di dunia malaikat) lagi dipercaya.”

Dan surah Al-Baqarah [2]: 97, “Katakanlah, “Barangsiapa yang menjadi musuh Jibrail, maka Jibrail itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke-dalam hatimu dengan izin Allah; membenarkan kitab-kitab (samawi yang telah diturunkan) sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”

Sementara dalam surah ‘Abasa [80]: 13-16, Allah swt. berfirman, “Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, melalui tangan para utusan (malaikat), yang mulia lagi berbakti.”

Dan di tempat lain, kembali Dia berfirman, “(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka Dia menetapkan para penjaga (malaikat) di hadapan dan di belakangnya.”[22]

Berkenaan dengan kategori ini, terdapat sejumlah poin yang layak diperhatikan:
1. Para malaikat wahyu memiliki berbagai kewajiban yang harus dipikul, yang di ataranya adalah menurunkan, memegang lembaran-lembaran wahyu, dan menjaganya. Persoalan ini kelak akan kami ulas pada modus turunnya Al-Quran.
2. Kepemimpinan kelompok malaikat wahyu ini digenggam malaikat Jibrail as. Ini dapat disimpulkan dari kata مطاع , dari spesifikasi nama dan sifat-sifat istimewanya, juga dari penisbatan nuzûl kepadanya sebagaimana dapat dijumpai dalam sejumlah ayat.
3. Ruhul Amin, ruhul muqaddas, dan rasul karim merupakan beberapa atribut yang disandang malaikat Jibrail as. Atribut-atribut ini diberikan kepadanya dikarenakan amanat, kesucian, dan kemuliaan yang dimilikinya di sisi Tuhan; bukan merupakan nama ‘alam (nama diri yang khusus dan jelas) nya. Oleh karena itu, tidak masalah jika kata-kata yang maktub dalam ayat[23] atau hadis menunjuk pada malaikat lainnya.[24]
Sejumlah ayat yang termasuk dalam dua kelompok terakhir menyebutkan adanya dua pihak yang menurunkan Al-Quran (yaitu Allah swt. dan para malaikat wahyu). Hubungan yang secara tekstual terlihat dari kedua kelompok itu bersifat hakiki, dan tidak memuat makna metaforis untuk salah satu fihak dan makna hakiki untuk pihak lainnya.

Di sisi lain, penisbatan hakiki suatu fi‘l (kata kerja) dengan dua fâ‘il (pelaku) dalam level horisontal–khususnya dalam konteks ini–tidaklah memiliki makna apa pun.[25] Karena, tidak terdapat satu keberadaan pun yang posisinya sejajar dengan Allah.[26] Oleh karena itu, satu-satunya bentuk yang valid hanyalah dengan mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah penisbatan hakiki terhadap dua pelaku (fâ‘il) pada level vertikal (bukan horisontal).

Dengan demikian, para malaikat wahyu merupakan para pewahyu Al-Quran dengan seizin Allah swt. Dan Dia berada di atas mereka dalam posisi vertikal sebagai pelaku hakiki yang menurunkan Al-Quran. Bentuk ini dengan jelas dapat disimpulkan dari ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya, serta ungkapan-ungkapan sejenis: “Maka sebenarnya ia (Jibrail) telah menurunkannya (Al-Quran) ke-dalam hatimu dengan izin Allah”[27] “Ruhul Qudus (Jibrail) menurunkan Al-Quran itu dari Tuhanmu”[28] Semua itu menunjukkan bahwa kedua penisbatan ini berada pada level vertikal dengan malaikat wahyu menurunkan Al-Quran berkat izin dan perintah Allah swt. Kesimpulan lain yang dapat diperoleh dari pembahasan sebelumnya adalah bahwa dengan memperhatikan bentuk plural ini, tidak lagi terdapat kekaburan bahwa malaikat Jibrail as. menurunkan sesuatu dari dirinya sendiri kepada Rasulullah saw.[29]


Penerima Al-Quran

Apa yang telah dikemukakan dalam wacana di atas ihwal siapa yang menurunkan Al-Quran, dikemukakan pula dalam wacana seputar siapa “penerima Al-Quran”. Dalam sebagian ayat yang menjelaskan turunnya Al-Quran, tidak terdapat pembicaraan mengenai siapa penerima Al-Quran. Seperti pada ayat berikut: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”[30] Juga ayat lainnya, “Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (Al-Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh”[31]

Berkenaan dengan siapa “penerima Al-Quran”, pada banyak ayatnya, Al-Quran mengenalkan Rasulullah saw. sebagai pihak yang menerima Al-Quran. Dalam salah satu ayat suci, Allah swt. berfirman, “Serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka”[32]. Demikian pula dengan ayat-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Quran) dengan (membawa) kebenaran”[33]

Kelompok ketiga dari rangkaian ayat yang menunjukkan pewahyuan Al-Quran kepada manusia adalah, seperti: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang”[34]. “Dan ingatlah nikmat Allah padamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Quran) dan hikmah. Allah memberi pelajaran kepadamu dengan apa yang telah diturunkan-Nya itu”[35].

Sebagaimana telah kita saksikan, turunnya Al-Quran dengan huruf ta’addi “ilâ” dan “’alâ”, selain kepada Rasulullah saw., juga dinisbatkan pada manusia. Tak diragukan lagi bahwa Al-Quran secara langsung telah diturunkan kepada Rasulullah saw., dan hanya beliaulah media nuzûl, gudang ilmu, dan rahasia Tuhan. Dengan mediasi Rasulullah saw., membaca, mendengarkan, dan memahami ayat-ayat Al-Quran, manusia dapat mencerap manfaat pengenalan dan makrifat Al-Quran. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan diwahyukannya Al-Quran kepada manusia adalah dikarenakan Al-Quran diwahyukan sedemikian hingga dalam bentuk kata-kata dan ungkapan-ungkapan verbal yang dapat dipahami manusia. Pasalnya, saat diturunkan kepada Rasulullah saw.—sebagai nuzûl atau pewahyuan intuisional, Al-Quran tidak diekspresikan dalam formasi kata-kata dan ungkapan-ungkapan material. Kalau pun terdapat kata-kata [verbal]—sebagaimana terlihat pada teks ayat–sebenarnya itu bersifat non-material. Hanya saja, manusia membutuhkan Al-Quran diwahyukan dalam formasi kata-kata dan ungkapan-ungkapan material. Maksud lainnya, Al-Quran diturunkan ke ranah pemahaman manusia agar dapat dicerna dan dipraktikkan. Maka, darinya, dapat diklaim bahwa Al-Quran diturunkan atas dan untuk manusia; yaitu, diturunkan lewat mediasi Rasulullah saw. untuk manusia. Pada surah Al-Nahl [16]: 44, Allah swt. berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka merenungkan.”

Pada ayat lainnya, Dia berfirman, “Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan al-Kitab (Al-Quran) kepadamu sedang kitab itu dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”[36]


Metode Penerimaan Al-Quran

Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, dalam surah ‘Abasa [80]: 13 s/d 15, Allah swt. berfirman, “Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan, lagi disucikan melalui tangan para utusan (malaikat),” dan Al-Bayyinah [98]: 2, di mana Dia berfirman, “(yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Quran),”[37] dapat dipahami bahwa ayat-ayat ini menunjukkan wahyu berasal dari tipe “yang dapat dilihat.” Di sisi lain, pada Al-Takwir [81]: 19, Dia berfirman, “Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibrail).” Juga pada Al-Qiyamah [75]: 18, “Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” Kedua ayat ini menunjukkan bahwa ayat-ayat yang telah diwahyukan berasal dari kelompok “yang dapat didengar”, seraya menyatakan bahwa Al-Quran merupakan ucapan malaikat wahyu. Rasulullah saw. berkewajiban untuk membaca ayat-ayat tersebut setelah malaikat wahyu atau Allah swt. selesai membacanya. Ini sebagaimana maktub dalam ayat-ayat berikut: “Katakanlah, ‘Barangsiapa yang menjadi musuh Jibrail, maka Jibrail itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke dalam hatimu dengan izin Allah”[38]; “Al-Ruh Al-Amin (Jibrail) telah menurunkannya ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”[39]

Ayat-ayat terakhir mengklarifikasi hakikat bahwa yang diturunkan kepada Rasulullah saw. bukanlah suara fisikal atau lembaran-lembaran yang dapat diindera secara jasmaniah. Melainkan suara yang dicerap via mata hati dan telinga jiwa. Karena, teks dari rangkaian ayat sebelumnya berbicara tentang suatu hakikat. Dalam keadaan ini, jika yang digunakan adalah suara atau lembaran fisikal, maka diwahyukannya Al-Quran ke kalbu Rasul saw. tidak lagi bermakna.[40]

Selain itu—sebagaimana akan dibahas dalam bab ini—proses diwahyukannya Al-Quran bukanlah berbentuk fisikal dan persepsional. Melainkan bersifat spiritual. Proses semacam ini tentunya tidak selaras dengan lembaran dan suara fisikal. Berdasarkan alasan inilah, saat ayat-ayat suci diwahyukan, tak seorang pun yang mendengar suaranya ataupun melihat lembaran-lembarannya.[41] Kondisi setengah pingsan dan berhentinya aktivitas indera fisikal Rasulullah saw. manakala menerima wahyu—sebagaimana acap dikemukakan dalam sejarah–boleh jadi pula menegaskan hal ini.

Dalam salah satu ayat suci, Allah swt. berfirman, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu seorang ruh dengan perintah Kami (sebagaimana Kami juga telah mengutus seorang ruh kepada para nabi sebelummu)”[42]

Dari rangkaian pembahasan sebelumnya, persoalan yang terkait dengan metode Rasulullah saw. menerima wahyu, kiranya menjadi jelas. Ayat-ayat mulia menunjukkan bahwa wahyu menghentikan seluruh fungsi inteligensi dan potensi pemahaman eksternal Rasulullah saw. Dengan kata lain, beliau mencerap wahyu dengan totalitas wujudnya. Penerimaan ini bukan bersumber dari ilmu husuli (ilmu representasi) melainkan berada di level hudhuri (ilmu intuisional, mukasyafah, atau musyahadah); atau, malah, lebih agung dari ilmu huduri. Berdasarkan itu, jelas sudah kekeliruan anggapan bahwa Rasulullah saw., untuk membedakan wahyu langit dari selainnya–juga pengetahuannya, bahwa yang dicerapnya merupakan firman Tuhan–membutuhkan dalil dan argumen selain wahyu yang dicerapnya. Demikian pula, jelas sudah patahnya kutipan sejarah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. adakalanya meragukan status wahyu yang beliau dengar dari malaikat wahyu; atau menyalahpahami suara setan sebagai suara malaikat. Di sisi lain, terdapat pula anggapan yang mengatakan bahwa pencerapan wahyu yang dilakukan dalam bentuk diam-diam ini merupakan sejenis pengajaran dan (dalam pewahyuannya secara bertahap juga merupakan) penegasan terhadap apa yang sebelumnya telah diterima Rasulullah saw. (dalam bentuk pewahyuan secara menyeluruh); sedemikian, hingga itu diterima dengan baik dan sama sekali tidak bakal dilupakan.

Pada bab ini, terdapat sebuah pertanyaan lama yang menarik perhatian para pakar tafsir dan kalangan cendekiawan ilmu-ilmu Al-Quran tentang; apakah wahyu Al-Quran yang diterima Rasul saw. hanya berupsa makna dan makrifatnya kemudian beliau sendiri yang menyusunnya dalam bentuk kata-kata dan ungkapan? Jika demikian halnya, berarti kata-kata dan ungkapan yang ada tak lain dari buatan dan hasil karya Rasulullah saw., ataukah beliau hanya menerima kata-katanya saja dan—sebagaimana lainnya—dari metode inilah beliau mentransfer dan memahaminya berikut makna dan makrifatnya? Ataukah kedua-duanya; baik kata-kata maupun maknanya berasal dari Allah swt. dan Rasulullah saw. hanya menerima keduanya dari-Nya?[43]


Penurunan Al-Quran secara Verbal

Begitu banyak ayat yang menunjukkan bahwa kata-kata dan ungkapan yang maktub dalam Al-Quran diturunkan dari sisi Allah swt. kepada Rasulullah saw. Kelompok ayat-ayat tersebut secara ringkas adalah berikut:
1. Kelompok ayat tahaddi (yang menantang). Tidak diragukan lagi, yang termasuk tantangan Al-Quran adalah tuntutannya untuk membuat yang serupa dengannya dalam hal kefasihan dan keindahan. Sedangkan kefasihan dan keindahan menitik-beratkan ungkapan-ungkapan yang digunakan pembicara untuk menyatakan maksudnya. Oleh karena itu, yang maktub dalam ayat-ayat tahaddi adalah “jika kalian ragu pewahyuan kata-kata dan bentuk-bentuk yang meliputi makna-makna ini berasal dari sisi Tuhan, maka untuk membuktikan sanggahan tersebut, susunlah kata-kata dan ungkapan-ungkapan lain yang serupa dengan kata-kata dan ungkapan-ungkapan ini”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kata-kata dan ungkapan-ungkapan itu pun diwahyukan dari sisi Allah swt., bukan buatan dan hasil olah pikir manusia siapa pun, termasuk Rasulullah saw.

2. Kelompok ayat yang memuat ungkapan-ungkapan, semisal qirâ’ah (membaca). Ini sebagaimana maktub dalam Al-Qiyamah [75]: 18:

{ فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ }

“Apabila Kami telah selesai membacakannya”

Juga, kosakata tilâwah. Ini sebagaimana maktub dalam surah Al-Baqarah [2]: 252:

{ نَتْلُوْهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ }

“Kami membacakannya kepadamu dengan hak (benar)”

Serta, kata tartîl yang maktub dalam surah Al-Furqan [25]: 32:

{ وَ رَتَّلْناهُ تَرْتيلاً }

“(Untuk itu) Kami membacakannya (kepadamu) setahap demi setahap”

Ini di atas ini digunakan dalam posisi menjelaskan turunnya Al-Quran. Semua itu menunjukkan bahwa turunnya kata-kata dan ungkapan-ungkapan Al-Quran berasal dari sisi Tuhan. Dan teks ini tidak dapat disingkirkan begitu saja kecuali terdapat konteks dan argumen yang jelas-jelas berlawanan dengannya. Sedangkan konteks dan argumen semacam ini tidak ada. Yang juga termasuk ungkapan-ungkapan ini adalah ayat-ayat yang menyatakan bahwa manakala menerima wahyu Al-Quran, Rasulullah saw. akan menerima Al-Quran (untuk dibaca), kitab (untuk ditulis), dan suhuf (lembaran-lembaran)nya; atau akan membaca lembaran-lembaran yang memuat tulisan-tulisan berharga. Dalam kaitan dengannya, Allah swt. berfirman, “(yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Quran) yang di dalamnya terdapat tulisan-tulisan yang berharga”[44]

3. Kelompok ayat yang memuat sebagian sifat Al-Quran, seperti kalâmullah dan kalimâtullah. Ini sesuai dengan penegasan bahwa Al-Quran diturunkan dalam bentuk kata-kata dan ungkapan. Demikian pula digunakannya kata lisân sekaitan dengan Al-Quran, seperti dalam ayat berikut:

{ وَ هٰذا كِتابٌ مُصَدِّقٌ لِساناً عَرَبِيًّا لِيُنْذِرَ الَّذينَ ظَلَمُوا وَ بُشْرى‏ لِلْمُحْسِنينَ }

“Dan (Al-Quran) ini (sesuai dengan tanda-tanda tersebut dan) membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”[45]

Ayat ini juga menunjukkan bahwa kata-kata Al-Quran berasal dari Tuhan. Karena, penggunaan ungkapan verbal dalam kaitannya dengan pemahaman dan kandungan kata-kata bukanlah ihwal biasa. Ini sebagaimana kosakata ‘arabî sebagai sifat lisân tidak mempunyai kesesuaian dengan kandungannya; baik kata tersebut digunakan dalam konteks bahasa Arab maupun dalam konteks bahasa yang fasih dan benar.


Bahasa Arab dan Al-Quran

Ayat-ayat terakhir yang membahas soal pewahyuan Al-Quran dalam bahasa Arab memunculkan tiga pembahasan lain dalam konteks pengenalan Al-Quran:
1. Apa maksud diwahyukannya Al-Quran dalam bahasa Arab?
2. Apakah diwahyukannya Al-Quran dalam bahasa Arab bermakna seluruh kata-kata yang digunakan asli bahasa Arab, ataukah itu tidak bertentangan dengan adanya unsure-unsur serapan yang maktub di dalamnya?
3. Apa rahasia di balik diwahyukannya Al-Quran dengan bahasa Arab; dan apakah pewahyuannya dalam bahasa ini merupakan peristiwa alamiah, ataukah terdapat penekanan tertentu?

Sekarang, kita akan menganalisis ketiga masalah tersebut secara ringkas seraya tetap memperhatikan ayat-ayat Al-Quran.


Maksud Penggunaan Bahasa Arab

Ayat-ayat yang digunakan sebagai argument untuk menganalisis maksud diwahyukannya Al-Quran dalam bahasa Arab memiliki tiga struktur yang berbeda. Dalam berbagai ayat suci, Allah swt. menegaskan pewahyuan Al-Quran sebagai “tulisan-tulisan dalam bahasa Arab”, “sebuah kitab dalam bentuk bahasa Arab yang dapat dibaca”, dan “hukum-hukum Arab”. Ini sebagaimana ditegaskan salah satu firman-Nya, “Dan (Al-Quran) ini (sesuai dengan tanda-tanda tersebut dan) membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”[46]. Atau yang maktub dalam firman-Nya, “(Inilah sebuah kitab yang) diturunkan dari Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang; sebuah kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya (dan menjelaskan setiap masalah sesuai dengan situasi yang ada), sedang kitab itu adalah sebuah kitab yang fasih dalam bahasa Arab dan mudah dicerna, untuk kaum yang mengetahui”[47]. Juga firman-Nya, “Dan sebagaimana (Kami telah menurunkan kitab kepada para nabi sebelum kamu), Kami (juga) telah menurunkan Al-Quran itu (kepadamu) sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak memiliki pelindung dan penolak pun dari (siksa) Allah”[48]

Demikian pula dalam surah Yusuf [12]: 2, Thaha [20]: 13, Al-Zumar [39]: 28, Al-Syura [42]: 7, dan Al-Syu’ara’ [26]: 195.

Dalam serangkaian ayat lain, diketengahkan soal ketidak-a’jam-an Al-Quran dan hikmah tidak diturunkannya Al-Quran pada individu yang berbahasa a’jam (non-Arab). Seperti firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).’ Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘ajam, sedang Al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang”[49] Juga firman-Nya, “Dan jika Kami jadikan Al-Quran itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab, tentulah mereka mengatakan, ‘Mengapa jelas ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Al-Quran) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?”[50] Dan ayat, “Dan kalau Al-Quran itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab”[51]

Terdapat pula ayat-ayat yang serupa dengannya, yaitu surah Al-Zukhruf [43]: 3 dan Al-Syura [42]: 7.

Kelompok ketiga terdiri dari ayat-ayat yang membicarakan soal diutusnya setiap nabi dengan bahasa kaumnya. Serta dimudahkannya Al-Quran dengan bahasa Rasulullah saw., seperti ayat-Nya, “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”[52] Juga ayat, “Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran itu dengan bahasamu, agar dengannya kamu dapat memberi kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang membangkang”[53] Dan ayat, “Sesungguhnya Kami mudahkan Al-Quran itu dengan bahasamu supaya mereka ingat.”[54] [55]

Surah Al-A’la 18 serta surah Al-Qamar [54]: 17, 22, 33 & 40 termasuk pula dalam kelompok ayat ini.

Terdapat dua perspektif berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan ‘Arab dan A’jam (non-Arab). perspektif pertama menyatakan bahwa kata ‘arabî bermakna “ucapan dalam bahasa Arab” atau “orang-orang berbahasa Arab”. Dan kata a’jami bermakna ucapan dalam bahasa non-Arab atau orang-orang yang berbahasa selain bahasa Arab. Sedangkan perspektif kedua mengatakan bahwa yang dimaksud ‘arabî adalah manusia atau ucapan yang fasih dan benar, vis-à-vis a’jamî, yaitu manusia atau ucapan tidak fasih. Dengan mencermati cara penyampaian dan konteks ayat, mayoritas berpendapat bahwa yang dimaksud ‘arabî dan a’jamî pada ayat-ayat ini berhubungan dengan makna pertama; hanya pada surah Fushshilat [41]: 44 dan Al-Nahl [16]: 103 saja terkandung asumsi penggunaan makna kedua–kendati asumsi tersebut tidak terlampau kokoh.

Bagaimana pun, selain menunjukkan status Arab Al-Quran dalam kandungan, kata-kata, dan ungkapannya, ayat-ayat ini juga menunjukkan bahwa Al-Quran diwahyukan kepada Rasulullah saw. dari sisi Allah swt.


Unsur Serapan dalam Al-Quran

Kalangan cendekiawan ilmu-ilmu Al-Quran mengklasifikasi pembahasan seputar keberadaan kata-kata serapan (non-Arab) dalam Al-Quran ke dalam dua kategori.

Pertama, membahas apakah dalam Al-Quran terdapat unsur serapan. Bila diasumsikan bahwa unsur berupa kosakata seperti itu memang ada, lantas di manakah lokus penggunaannya dan apa rahasia pemanfaatannya?

Kedua, bagaimana keberadaan unsur serapan itu dapat disesuaikan dan disinkronisasi dengan status Arab [bahasa] Al-Quran yang ditegaskan dalam banyak ayatnya?

Walaupun sebagian kalangan beranggapan bahwa berdasarkan konteks ayat-ayat Al-Quran, tidak satu pun unsur serapan yang maktub dalam Al-Quran, dan sebagian kalangan lainnya menyatakan adanya banyak unsur serapan dalam Al-Quran, namun dapat dikatakan bahwa keberadaan kata-kata yang sama antara bahasa Arab dan bahasa non-Arab–seperti sebagian tanda, juga unsur serapan, yang telah diarabisasi dan resmi digunakan dalam bahasa Arab saat turunnya Al-Quran–sama sekali tidak bertolak belakang dengan status Arab [bahasa] Al-Quran. Analisis dan kajian ayat-ayat Al-Quran menyimpulkan adanya kasus-kasus semacam ini. Namun, penetapan secara umum kata-kata seperti ini dan penelitian terhadap keberadaan atau ketiadaaan kata-kata non-Arab dalam Al-Quran membutuhkan observasi yang sangat luas dan mendalam–namun penulis tidak menganggap terlalu penting persoalan ini.[56]


Referensi:

[1] Permasalahan di atas dapat dianalisis dari perspektif yang berbeda. Seperti perspektif Al-Quran, hadis, juga sejarah dan logika. Boleh jadi darinya akan diperoleh konklusi berbeda, yang adakalanya satu sama lain tidak terdapat relevansi. Ini sendiri dapat menyulut masalah atau persoalan lainnya. Dan tentang bagaimana metode-metode untuk menyelesaikan irelevansi ini, terdapat metode yang beragam.

[2] QS. Al-Hijr [15]: 9.

[3] QS. Al-Nisa’ [4]: 140.

[4] Dalam sebagian karya tafsir, maktub pula hal lain yang tidak dapat dijelaskan dengan perspektif ini. Sebagai contoh, silahkan merujuk Zainuddin Muhammad Razi, Ashâlat al-Qurân Al-Majîd wa Ajwibatuha, jld. 2, Mathba’ah Mehr, 1390 H, hlm. 26; Syahabuddin Mahmud Alusy, Rûh Al-Ma’âni fî Tafsîr Al-Qur’ân Al-’Azdîm wa Al-Sab’ Al-Matsani, cet. pertama, jld. 1, hlm. 193, Darul Fikr, Beirut, 1408 H.

[5] Muhammad Husain’Alamah Thabathaba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, cet. pertama, Jama’ah al-Mudarrisin, Qom, tanpa tahun, jld. 2, hlm. 15, dan jil. 3, hlm. 7.

[6] Mas’ud Taftazani, Syarh Al-Tashrîf, cet. 1, Teheran, Jâmi’ al-Muqadimât, Kitab Furusyi ‘Ilmiye-ye Islamiyah, hlm. 73.

[7] QS. Al-An’am [6]: 37.

[8] QS. Yunus [10]: 20.

[9] Dengan alasan inilah sebagian penyanggah mengatakan bahwa jika fi’il lâzim berubah menjadi fi’il muta’addi ketika memasuki pola taf’îl, berarti tidak menunjukkan pada katsrah (banyak). Katsrah hanya digunakan manakala fi’il tidak dapat menjadi muta’addi, atau telah menjadi muta’addi sebelum terbentuk dalam pola taf’îl. Dalam kalam Arab tidak pernah ditemukan adanya fi’il lazim yang menjadi muta’addi ketika memasuki pola taf’il dapat menunjukkan makna katsrah. Lih., Fakhruddin Muhammad Razi, Mafâtîh Al-Ghayb (Al-Tafsîr Al-Kabîr), cet. ketiga, Daru Ahyâ at-Tirats, Beirut, tanpa tahun, dan Syahabuddin Mahmud Alusi, Rûh Al-Ma’ânî fî Tafsîr Al-Qur’ân al-’Azdîm wa Al-Sab’ Al-Matsani, cet. pertama, Darul Fikr, Beirut, 1408 H.

[10] QS. Al-Najm [53]: 23.

[11] QS. Al-Nisa’ [4]: 170.

[12] Pada ayat-ayat ini terdapat beberapa asumsi, dimana jika yang dimaksud kosakata haq (realitas eksternal) adalah Al-Quran, maka ini akan berkaitan dengan pembahasan ini, dan jika tidak, maka tidak relevan dengan pembahasan ini.

[13] QS. Al-Ahzab [33]: 2.

[14] QS. Al-Qiyamah [75]: [75]: 16 & 17.

[15] QS. Al-A’la [87]: 6.

[16] QS. Al-Baqarah [2]: 252.

[17] Muhammad Hur Amili, Wasâ’il Al-Syî’ah; jil. 1, Teheran: Maktabah al-Islamiyyah, 1377 H, jld. 4, hlm. 856.

[18] QS. Al-Rahman [55]: 1 & 2.

[19] QS. Al-Qashash [28]: 85.

[20] QS. Al-Hadid [57]:16. Ayat ini baru dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini (pertama) ketika min dalam kalimat “mâ nazala min Al-Haqq” merupakan bayâniyyah atau tab’îdhiyyah, dan jika merupakan nasywiyah, maka tidak dapat dimasukkan dalam klasifikasi pertama, melainkan klasifikasi kedua.

[21] QS. Al-Zumar [39]: 23.

[22] QS. Al-Jinn [72]: 26-27. Sebagian pihak mengatakan bahwa maksud “rasul” pada Al-Haqqah [69]: 40 adalah malaikat pembawa wahyu. Namun tampaknya yang dimaksud adalah Rasulullah saw. Bagaimanapun, dua kondisi di atas menunjukkan peran mediasi sekelompok malaikat dan penjagaan yang mereka lakukan terhadap wahyu saat diturunkan; kendati kondisi pertama lebih sesuai dengan pembahasan. Yang termasuk ayat-ayat semisal ini adalah Al-Najm [53]: 5 & 6. Allah swt. berfirman, “Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibrail) yang sangat kuat yang mempunyai kekuatan yang maha dasyat, lalu ia (Jibrail) bersemayam.” Makna harfiah ayat ini adalah pengajaran Al-Quran kepada Nabi Aaw melalui malaikat wahyu, meskipun terdapat asumsi pengajaran Allah swt. kepada beliau.

[23] Sebagaimana maktub dalam surah Al-Baqarah [2]: 87 & 253 dan Al-Maidah [5]: 110 yang memperkenalkan ruhul quddus sebagai malaikat yang membenarkan Nabi Isa as.

[24] Juga terdapat asumsi bahwa selain berperan dalam momen pewahyuan, malaikat Jibrail as. juga berperan dalam hal-hal seperti member legitimasi dan afirmasi pada para nabi as. Boleh jadi yang dimaksud ruhul muqaddas, di mana sebagian tugas ini dinisbatkan kepadanya, tak lain dari malaikat Jibrail as.

[25] Yaitu, selain kaidah fisafat “mustahil terdapat dua penyebab hakiki untuk satu akibat hakiki” juga berlaku pada masalah ini. Keistimewaan yang bersangkutan pun memiliki peran penting, karena dengan mengenyampingkan kaidah di atas, berdasarkan perspektif Al-Quran, tidak terdapat sebuah eksitensi pun yang sejajar dengan Allah, baik dalam iliyyat (kausalitas sebab) maupun fâ’iliyyat (status pelaku) dan semua adalah makhluk-Nya.

[26] Bentuk jamak yang mengatakan bahwa yang menurunkan sebagian ayat adalah Allah swt. dan yang menurunkan sebagian lainnya adalah para malaikat (meskipun dengan seizin-Nya) juga bertentangan dengan makna harfiah ayat dan tidak dapat dibenarkan.

[27] QS. Al-Baqarah [2]: 97.

[28] QS. Al-Nahl [16]: 102.

[29] Pada dua ayat mulia berikut: “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) ruh (Ilahi) dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya,” (QS. An-Nahl: 2) dan: “Pada malam itu, para malaikat dan ruh (malaikat Jibrail) turun dengan izin Tuhan mereka untuk menentukan segala urusan,” (QS. Al-Qadr: 4), kendati diasumsikan bahwa yang dimaksud ruh adalah malaikat Jibrail as., namun selaras dengan penjelasan hadis dan argumen-argumen yang diketengahkan sekaitan dengannya, yang dimaksud ruh adalah malaikat yang lebih agung dari malaikat Jibrail as. Untuk informasi lebih detail dan terperinci ihwal hadis ini, lih., Abd ‘Ali Huwaizi, Tafsîr Nûr ats-Tsaqalain; jil. 2, Qom, al-Mathba’ah al-Ilmiyyah, 1358; jil. 3, hlm. 39 dan 215, serta jil. 5, hal 638.

[30] QS. Al-Hijr [15]: 9.

[31] QS. Al-A’raf [7]: 196.

[32] QS. Muhammad [47]: 2.

[33] QS. Al-Zumar [39]: 2.

[34] QS. Al-Nisa’ [4]: 174.

[35] QS. Al-Baqarah [2]: 231.

[36] QS. Al-Ankabut [29]: 51.

[37] Topik ini tidak bertentangan dengan status ummi dan tidak belajarnya Rasulallah saw.–yang akan kami bahas pada pembahasan seputar mukjizat Al-Quran. Karena, pertama, lembaran-lembaran ini tidaklah bersifat material dan fisikal; sedangkan pembahasan soal status ummi berkaitan dengan bacaan dan tulisan yang ada secara umum dan bersifat fisikal dan material. Alasan kedua, status ummi di sini muncul dari tiadanya kemampuan untuk membaca lewat metode biasa dan umum. Sementara membaca yang dimaksud dalam ayat ini adalah dalam bentuk yang luar biasa.

[38] QS. Al-Baqarah [2]: 97.

[39] QS. Al-Syu’ara’ [26]: 193-194.

[40] Pendapat yang mengatakan bahwa penjelasan-penjelasan yang diungkapkan Al-Quran dalam kaitannya dengan hal ini menitik-beratkan bagian-bagian yang berbeda dari Al-Quran, dengan arti, sebagian isi Al-Quran telah diturunkan ke kalbu Rasulullah saw. dalam bentuk suara dan sebagian lainnya dalam bentuk lembaran, bertentangan dengan makna harfiah ayat-ayat maupun kesesuaian posisinya. Konteks ayat-ayat ini memberikan kesaksian yang kontradiktif dengannya.

[41] Apa yang tercantum pada khutbah ke-192 Nahj Al-Balâghah, dimana Rasulullah saw. bersabda kepada Imam Ali as., “Wahai Ali, engkau mendengar apa yang kudengar dan melihat apa yang kulihat, hanya saja engkau bukan nabi,” tidaklah bertentangan dengan pernyataan ini. Karena, Imam Ali as. merupakan jiwa Rasulullah saw. dan berada dalam tingkatan kesempurnaan yang tinggi, yang memampukannya melihat malaikat wahyu, lembaran wahyu, atau mendengar suaranya.

[42] QS. Al-Syura [42]: 52.

[43] Terdapat pula pandangan lainnya yang mengatakan bahwa baik kata-kata maupun kandungan Al-Quran, sama-sama berasal dari Rasulullah saw. Sedangkan penyandaran ayat-ayat Al-Quran kepada Allah sebagaimana kebanyakan perbuatan-perbuatan dan persoalan-persoalan manusia yang dinisbatkan kepada-Nya. Ini karena Allah menyiapkan media kemunculan ujaran dan kandungan seperti ini dalam diri Rasulullah saw. Pandangan ini sama artinya dengan menafikan mukjizat Al-Quran, dan tidak sesuai dengan makna harfiah, bahkan dengan yang tegas-tegas maktub dalam ayat-ayat Al-Quran, terutama yang berkaitan dengan Al-Quran dan nuzûlnya. Ini tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan. Terdapat pula pendapat keempat yang menganggap makna berasal dari Allah swt. sedangkan kata-katanya berasal dari malaikat Jibrail as. Silahkan merujuk Muhammad Husain Thabathaba’i, Al-Mizân fî Tafsîr Al-Qur’ân, cet. pertama, Jama’ah al-Mudarrisin, Qom, tanpa tahun, jld. 15, hlm. 317; Badruddin Muhammad Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, cet. pertama, Darul Fikr, Beirut, jld. 1, hlm. 291; dan Jalaluddin Abdurrahman Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qurân, jld. 1, Damsyik, Beirut, Dar Ibnu Katsîr, 1407 H, jld. 1, hlm. 139.

[44] QS. Al-Bayyinah [98]: 2-3.

[45] QS. Al-Ahqaf [46]: 12.

[46] QS. Al-Ahqaf [46]: 12.

[47] QS. Fushshilat [41]: 2-3.

[48] QS. Al-Ra’d [13]: 37.

[49] QS. Al-Nahl [16]: 103.

[50] QS. Fushshilat [41]: 44.

[51] QS. Al-Syu’ara’ [26]: 197.

[52] QS. Ibrahim [14]: 4.

[53] QS. Maryam [19]: 97.

[54] QS. Al-Dukhan [44]: 58.

[55] Sebagian pihak, menggunakan ayat-ayat mulia ini, bermaksud mengatakan bahwa Al-Quran tidak hanya diturunkan dalam bahasa Arab, melainkan juga diturunkan dengan logat kaum Qurays yang merupakan kaum Rasulullah saw. Namun pernyataan ini merupakan kesimpulan yang keliru. Karena, kosakata “kaum” dalam Al-Quran digunakan pula pada orang-orang yang tidak berasal dari suku bangsa (Nabi) yang bersangkutan. Misalnya, umat Nabi Luth as. yang maktub dalam 70 surah Hud: “Sesungguhnya kami adalah (malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.” Kendati bukan berasal dari suku Nabi Luth as., ayat itu tetap menggunakan frasa “kaum Luth”. Penunjukan ketiga kelompok ayat ini atas status arab Al-Quran tidaklah sama. Penunjukan kelompok terakhir terlihat tidak terlalu kuat jika dibandingkan dua kelompok lainnya. Sementara penunjukkan kelompok pertama terlihat lebih jelas dibanding dua kelompok lainnya.

[56] Selain kitab-kitab tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran yang kadangkala mengetengahkan contoh-contoh unsur serapan yang terdapat dalam Al-Quran, sebagian ulama menulis kitab yang khusus membahas soal kata-kata serapan ini. Sebagai contoh, Jalaluddin Suyuthi yang menulis buku berjudul Al-Muhadzdzâb fî mâ Waqa’a fî Al-Qurân min Al-Mu’arrab. Dalam kitab ini, dia mengkaji 125 kosakata serapan yang terdapat dalam Al-Quran. Artur Jufri juga memiliki satu kitab yang bertemakan kata-kata serapan dalam Al-Quran. Selain membahas ihwal tanda-tanda, dia juga menyebutkan dan membahas sejumlah 275 kosakata serapan dalam Al-Quran.

(Info-Hauzah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: