Alih-alih merupakan sesuatu yang stagnan dan statis, istilah “kematian manusia” ini justru mengacu pada proses yang terus berlangsung. Karena itu, gejala “kematian manusia” ini adalah problem manusia masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
Problem seperti ini kita sebut sebagai problem filosofis-eksistensial yang tak kenal batasan ruang dan waktu. Namun demikian, dalam paparan singkat rubrik serial kajian kali ini, akan diberikan bingkai historis tentang sebab-musabab dan dampak-luas kematian manusia ini.
Pemberhalaan benda (materialisme), manusia, (humanisme), kekuasaan (kolonialisme), modal (kapitalisme), kenikmatan (hedonisme), dan sebagainya merupakan landasan filosofis dan intelektul bagi munculnya kebudayaan modern. Di sisi lain, revolusi industri yang berdampak pada pola konsumsi dan distribusi adalah landasan historis bagi perkembangan dan pertumbuhan kebudayaan ini pada masa-masa selanjutnya.
Untuk membuktikan hipotesis tersebut, beberapa episode sejarah barat sejak era Renaisans akan dipaparkan sekadarnya pada kajian kali ini. Karikatur ini kemudian akan dipakai sebagai acuan untuk memahami korelasi modernisme dan kematian manusia.
Akan tetapi, karena “kematian” itu bukan statis, melainkan proses yang terus berlangsung, maka dimungkinkan adanya tingkatan dan derajat kematian, sehingga ia membentuk sebuah kematian spiral.
Tidak sulit untuk membuktikan bahwa materialisme adalah ruh kebudayaan (massa) modern. Sebagai ide, materialisme menolak dan mengingkari Kehadiran Ilahi.1 Dan lanataran Kehadiran Ilahi merupakan dasar ontologis bagi spiritualitas dan moralitas, maka pengingkaran ini berimplikasi pada peniadaan aspek spiritual dan moral manusia.2
Humanisme yang berpanjikan “manusia adalah Tuhan bagi dirinya sendiri” ini tidak bisa dilepaskan dari rangkaian tragedi sepanjang paruh kedua milenium kedua sejarah manusia. Dengan mengingkari Realitas Ilahi, humanisme Renaisans melempangkan jalan hawa nafsu untuk mengendalikan hidup manusia.3
Kapitalisme, industrialisme, rasisme, dan kolonialisme – yang muncul pada moment historis yang beruntun – adalah akibat alamiah dari pengingkaran tersebut. Manakala semua potensi dipakai untuk memburu kenikmatan yang “disodorkan”, pelaku (subjek) kebudayaan akan kehilangan rasionya.
Realitas tak lagi dapat dirajut menjadi gubahan yang bermakna. Gelombang kebingungan, skeptisisme, sinisisme, dan relativisme pun akan silih berganti menerpa sukma. Dalam keadaan demikian, identitas-diri perlahan-lahan akan meleleh.
Tak ada “nama” yang bisa menandai (signify) eksistensi mereka. Dalam ngarai anonimitas yang menakutkan itu, mereka karam dan lenyap.
Meminjam ungkapan Martin Heidegger, keberadaan the”I” mereka lenyap dalam kebisingan the”They”. Di saat itulah, jiwa manusia mengalmi apa yang disebut dengan alienasi (keterasingan-diri).4
Alienasi membuat jiwa mudah terbabit dalam lingkaran setan krisis mental. Konstruksi kepribadian pun remuk-redam tak beraturan. Kekalutan yang luar biasa menyerbu.
Fenomena alam makin lama makin tampak acak dan kontradiktif. Di dalam jiwa orang seperti ini, alam raya tampil bak cermin-retak yang absurd dan fatalistic.
Penderita kemudian mengalami ketakmampuan mengaggit pelbagai peristiwa secara rasional dan utuh (holistic). Kekusutan, kegalauan, dan kesumpekan menghunjam ke relung-relung sukma. Jiwa yang makin tak berdaya itu pun lantas menghabisi eksistensinya sendiri.
Sebagai pusat hasrat (driving force) yang sangat agrresif dan ofensif, tidak susah bagi hawa nafsu untuk menguasai keseluruhan jiwa yang sudah noneksis itu. Dalam kendali hawa nafsu, berbagai daya (faculty) akan diperalat untuk merealisasikan hasrat-hasrat yang ada.
Dan karena hawa nafsu adalah potensi hasrat yang tidak terbatas, terutama bila daya khayal (imagination) juga menunjangnya, maka semua menjadi “bisa diatur”. Realitas sebagaimana adanya bisa sengaja ditabrak untuk mewujudkan realitas sebagaimana diinginkan.
Dalam kendali hawa nafsu, akal (ratio) bertindak sebagai pembenar semua hasrat dan upaya pelampiasannya. Imajinasi, di sisi lain, akan bertindak mencari strategi, taktik, dan perangkat-perangkat “kreatif” lain yang ada dalam kapasitasnya untuk mensugesti jiwa bahwa semua hasrat – baik yang langsung berasal dari hawa nafsu maupun yang terangkai dari hawa nafsu, sensasi dan imajinasi – dapat diwujudkan.
Karakter paling menonjol dari kepribadian macam ini ialah obsesinya untuk mengubah semua “yang ada” menjadi fasilitator hasrat dan angan-angannya. Bisa dibayangkan betapa kepribadian seperti ini akan mati-matian menguasai segala sesuatu untuk memuaskan dahaga nafsunya.
Keadaan ini pastilah berujung kepada kehancuran daya analitis dan kritis penderita. Membangunkan dan menginsafkannya menjadi nyaris mustahil. Diri hakikinya berubah menjadi diri palsu yang raison d’etre-nya tak lain ialah mengikuti desakan hawa nafsu dan bujukan imajinasi.6
Renaisans
Menurut Jostein Gaarder, Renaisans menyuguhkan pandangan baru ihwal manusia: humanisme. Berbeda dengan humanisme Abad Pertengahan yang memberi tekanan pada hakikat manusia sebagai pendosa, humanisme Renaisans menganggap manusia sebagai makluk yang sangat unggul dan berharga.
Humanisme Renaisans menitikberatkan kesadaran individual: manusia bukan hanya homosocial; melainkan juga individu-individu yang unik. Gagasan ini lantas memompa pemujaan yang tak terkendali pada keunggulan ‘tak terbatas’ individu manusia.8
Tak pelak lagi, ini mendorong manusia untuk meneguhkan hasrat-hasratnya. Manusia ada bukan semata-mata demi, dengan , dan beserta Tuhan. Manusia bukan budak Tuhan.
Manusia harus disadarkan agar ia bisa menjadi Ubermensch; manusia mesti bertindak demi keuntungan duniawinya sendiri-sendiri.9 Dan karena tuhan sebagai suatu batasan “telah mati”, maka kinilah saatnya pengumbaran dan pemanjaan diri.10 Moralitas?
Hanyalah mitos yang direkayasa untuk membendung fantasi dan mengurung manusia dalam suatu penjara yang sempit.11 Para humanis ini bertindak seakan-akan seluruh dunia telah dibangunkan dari mimpi-buruk yang amat panjang.
Itulah yang mendorong mereka membuat istilah Dark Ages (Abad-abad Kegelapan) untuk menyebut abad-abad antara zaman Yunani kuno dan zaman mereka sendiri.Timbul perkembangan yang tiada tara dalam kehidupan material dan jasmani. Ilmu pengetahuan pragmatis-praktis-teknis berkembang secara pesat.
Selain tentang manusia, humanisme Renaisans juga menyodorkan pandangan baru mengenai alam dan kehidupan di dalamnya. Kehidupan ini bukanlah persiapan untuk kehidupan setelahnya. Karena toh “tidak diperhitungkan”, maka alam boleh dan harus diekploitasi untuk memuaskan syahwat manusia.12
Francis Bacon (1561-1626) menandaskan, untuk mendapatkan segenap manfaat alam, nilai pragmatis dan teknis dari ilmu pengetahuan harus ditonjolkan. Sesuatu yang mulanya suci dan luhur ini pun lantas berbalik menjadi pendukung kekuasaan dan kejayaan kelompok tertentu.
Bacon menyebut pandangan ini dengan instrumen baru, Novum Organum (1620). Dan instrumen baru inilah yang secara formal-logis melambari tendensi yang mewabah pada waktu itu. Seluruh perkembangan teknis (teknologis) yang terjadi kemudian mensyaratkan kehadiran sains dalam konteks ini. Dan ini semakin memisahkan manusia dari tradisi.13
Metode yang memang sejalan dengan zeitgeist ini, mendorong para ilmuwan untuk lebih bertumpu pada matematika dan pengukuran. Posisi sakral yang sebelumnya diduduki oleh kebijaksanaan, kini diberikan kepada matematika.14 Semua data dan pengalaman harus bisa dijabarkan dalam rumusan matematis yang rigorous.
“Ukurlah apa yang dapat diukur dan buatlah agar dapat diukur sesuatu yang tidak dapat diukur,” kata Galileo Galilei.
Galileo juga mengatakan bahwa buku alam ditulis dengan bahasa matematika. Metode matematika kuantitatif ini menggiring orang kepada Revolusi Industrial, manakala pertimbangan kuantitatif (banyak-sedikit, besar-kecil, untung-rugi) menggusur pertimbangan kualitatif (benar-salah, baik-buruk, indah-jelek).
Bersamaan ditemukannya pelbagai terobosan teknis, posisi tak tergugat dari metode empiris semakin mantap. Namun demikian, karena alam pada dasarnya tidak kuantitatif, maka sejak masa itu pula manusia bergerak di jalan yang menyimpang dari tao alam. Dan, makin cepat perjalanan ditempuh, makin menyimpang pula manusia dari realitas alam yang sesunggguhnya.15
Pendekatan kuantitatif terhadap alam menafikan sisi kualitatif kehidupan, sehingga ajaran benar-salah dan baik-buruk digantikan mencekik semua orang yang tinggal dipusat-pusat perkotaan adalah akibat langsung dari pemahaman ini. Akibat selanjutnya ialah semaraknya industrialisasi dan kolonialisasi di seantero dunia. Demikian René Guénon dalam The Reign of Quantity and the Signs of Times.16
Akibat terlalu mengabaikan sisi kualitatif kehidupan, maka revolusi industrial sejak zaman Renaisans ¾ selalu saja terantuk persimpangan jalan: mendorong kemajuan teknis, tapi juga menelantarkan buruh; menemukan obat-obatan, tapi juga menebar penyakit; meningkatkan efisiensi, tapi juga merusak lingkungan; membuat peralatan praktis, tapi juga meningkatkan polusi dan limbah.
Berdasarkan pada pendekatan di atas, sains modern melahirkan fisika. Tokoh-tokoh “Revolusi keilmuan” seperti Galileo, Copernicus, Descartes, Kepler, Newton, dan lainnya memberikan asumsi filosofis bagi matematisasi alam (mathematization of nature) yang dilakukan olehLiebnitz, John Napier, Bernoulllis, Pierrre de Fermat, pascal, Joseph Lagrange, dan lain sebagainya.
Dengan semangat tersebut, fisika modern mengemukan sebagai induk sains. Pada beberapa dekade terakhir, semua ilmu kemanusiaan berlomba-lomba dengan fisika dalam menekankan sisi kuantitatif kehidupan.
Persis seperti yang disarankan oleh fisikawan Frank Oppenheimer: “Jika seseorang menemukan cara baru dalam berpikir, mengapa tidak menerapkannya di segala bidang? Tentunya menarik jika kita memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk berbuat demikian, siapa tahu itupun akan membawa kita kepda pandangan baru yang lebih dalam.”18
Margareth J. Wheatley, pakar bidang manajemen dan organisasi, mengungkapkan dampak pandangan kuantitatif ini pada bidang manajemen dan organisasi: “Selama tiga abad, kita menyusun rencana, meramal, menganalisis dunia. Kita mempercayai mentah-mentah hukum Sebab-Akibat, menempatkan rencana pada posisi tertinggi dan menerima angka-angka sebagai kemutlakkan.”19
Sejarah sains modern selanjutnya menyaksikan lahirnya teori evolusi dari tangan Charles Darwin. Evolusi ini sendiri tidak pernah digerakkan oleh Sebab yang Lebih Tinggi, melainkan oleh hukum konflik antara berbagai spesies dan yang “terkuatlah yang menang dan layak hidup.”
Dengan evolusi, kesadaran akan Kehadiran Ilahi sebagai Sang Pencipta dan Pemelihara kehdiupan tercabut dari semua sudut lebensraum. Darwinisme menyebar dengan cepat ke bidang-bidang sains yang lain, bahkan ke bidang-bidang non-sains sekalipun.
Hampir setiap manusia modern dirangsang habis-habisan untuk menjadi yang “terkuat”, mengikuti hukum evolusi. Karena posisisinya yang vital, Darwinisme tidak lagi diajarkan sebagai teori, melainkan sebagai fakta keilmuan. Menentang atau mempertanyakan keabsahannya akan langsung dituding sebagai “Agamawan” penentang kemajuan.
Kombinasi Darwinisme dan pendekatan kuantitatif melahirkan reduksionisme: ruh (spirit) disusutkan menjadi jiwa (psyche); jiwa menjadi kegiatan kimiawi; kehidupan menjadi DNA dan partikel-partikel kuantitatif atau gumpalan energi yang terkurung dalam penjara molekular-molekular yang memilukan.
Tahap selanjutnya adalah saintisme: renjana menelanjangi segala sesuatu secara empiris. Sebagai dasar epistemik modernisme, saintisme mengelembung menjadi ideologi yang diterapkan untuk semua realitas.
Saintisme membuat pandangan-dunia religius tidak relevan secara ilmiah. Agama tak lebih dari keyakinan orang-seorang yang berwatak subjektif, emosional, dan tidak ilmiah. Maka, apa yang disebut dengan Sunatullah pun lantas tersapu bersih dari realitas alam semesta.20
Menyusul selanjutnya, fungsi-fungsi kependetaan beralih ke bahu para ilmuwan. Diakui atau tidak, orang modern menganggap ilmuwan mempunyai jawaban untuk semua persoalan.
Bukan hanya yang menyangkut keilmuwan murni, tetapi juga persoalan-persoalan di luar wilayah sains. Itulah sebabnya mengapa anggapan para ilmuwan tentang Tuhan atau keabadian, betapapun naifnya, tetap saja diterima sebagai aksioma. Sungguh penting untuk memahami fungsi kaum ilmuwan dalam dunia modern sebagai penguasa tertinggi yang mesti senantiasa dijunjung.
Sejak abad ke-17, berbagai pemerintahan di belahan dunia Barat terus mendukung hegemoni saintisme tersebut. Saat ini, hampir semua pemerintahan dunia menempatkan sains sebagai instrumen untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Teknologi menurunkan rumus aplikatif untuk bisa langsung memproduksi kekuatan dan keuntungan. Dukungan terhadap pengembangan sains dan teknologi bukan datang dari rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, tapi dari rasa cinta terhadap kekuasaan dan kekayaan
Salah satu karakteristik sains modern yang membedakanya dari sains Abad Pertengahan ataupuan sains tradisional ialah pretensinya untuk menyasar kekuasaan dan dominasi.21 Kohesi sains dan kekuasaan telah menoreh nestapa yang dahsyat.
Berbagai temuan sains telah memungkinkan para penguasa untuk merancang senjata-senjata penghancur massal. Keseimbangan alam yang mendasari kehidupan bumi juga sudah sangat terganggu.
Tetapi, ironisnya, sampai saat ini para ilmuwan modern masih saja percaya bahwa peran mereka adalah memanfaatkan sains dalam konteks yang sama.22 Apa yang terjadi ini tidak lain merupakan titik-balik dari proses-panjang perceraian sains, agama dan etika.
Begitu besar dan melembaganya proyek sains dalam konteks di atas, sehingga membalikkan keadaan bukanlah tugas yang mudah. Mustahil rasanya kita bisa menghentikan perputaran “tong setan” ini tanpa melakukan revolusi di tingkat pandangan-dunia secara utuh.23[]
Catatan kaki:
* Karikatur adalah gambar, deskripsi, atau semacamnya yang melebih-lebihkan keganjilan dan kekurangan sesuatu.
1. Dalam Ushul-e Falsafe wa Mazhab-e Realism (Dasar-dasar Filsafat dan Mazhab Realisme) dan Dawafi’ Nahwal Maddiyyah (Faktor-faktor Penyokong Materialisme), Murtadha Muthahhari menganggap bahwa materialisme lebih sebagai tendensi ketimbang pandangan filosofis yang sistemik.
Dalam kenyataannya, tokoh-tokoh materialisme modern memang lebih suka menggunakan agitasi dan memanfaatkan kedangkalan berpikir orang awam mengenai realitas ketimbang memberikan penjelasan-penjelasan filosofis yang mendalam. (Contoh menarik berkaitan dengan ini ialah kandungan Madilog-nya Tan Malaka).
Karenanya, lagi-lagi menurut Muthahhari, materialisme tidak pernah berhasil tampil sebagai sebuah tesis yang utuh dalam sejarah manusia. Sebaliknya, ia lebih sebagai tren dan tendensi yang mengemuka karena berbagai kondisi circumstantial yang melingkupi Abad Pertengahan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Baqir al-Shadr dalam Our Philosophy, Iran, Ansarian Publications 1989, Khususnya hlm. 9-14.
2. Untuk perenungan yang provokatif seputar masalah ini, lihat: Fyodor Dostoyevski, The Brotherd Karamazov, terjemahan constance Garnett, Penguin Books, London, 1974. Edisi digital dapat di-download dari www.cce.org.
3. Sepanjang tulisan ini, hawa nafsu tidak merujuk kepada makna berahi seksualnya semata, melainkan kepada semua dorongan dan hasrat yang menyembul dari dalam diri manusia. Apakah itu yang bersifat seksual-biologis, maupun mental-psikis.
Sebagai pusat driving force, hawa nafsu terutama disokong oleh pengalaman sensasional-sensorik dan pergumulan ragawi (corporated intimacy). Pada tahap yang lebih subtil, imajinasi berperan menambah daya hawa nafsu dengan membiaskan berbagai angan-angan (expectations) dan ambisi.
Akan sangat menarik bila kita mengaitkan pengertian hawa nafsu di atas dengan berbagai firman Allah tentang sifat dunia yang penuh dengan kealpaan, permainan (impresi), perhiasan (ekspresi), dan gengsi (lahw, la’ib, zinah, tafakhur).
4. Martin Heidegger, Time and Being, New York, Harper and Row, 1962.
5. Untuk bacaan menarik seputar ini, rujuk: Jean-Paul Sartre, Nausea, London: Penguin Books, 1965.
6. Untuk kajian filosofis-etis yang menarik ihwal diri-hakiki dan diri-palsu, lihart: Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak, Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 189-206.
7. Jostein Gaarder, Shopie’s World, merujuk pada terjemahan Indonesiannya ‘Dunia Sophie’, Mizan, 1996.
8. Ajaran Freidreich Wilhelm Nietzsche mengenai Ubermensch adalah contoh ekspresif dari humanisme Renaisans. Lebih lanjut, lihat: F. W. Nietzsche, Maka Berbicaralah Zarathustra, terjemahan Damin Toda, Nusa Indah, 2000, hlm. 30-38.
9. Ibid. hlm. 146. Di akhir buku kesatu, Nietzsche menulis begini: “Matilah semua Allah: kita inginkan kini, agar hiduplah Sang Purna Manusia (Ubermensch)!”
10. F. W. Nietzsche, Senjakala, Yayasan Bentang Budaya, 2000, hlm. 74 Teks aslinya berbunyi begini: “Sampai saat ini konsep ‘Tuhan’ telah menjadi keberatan terbesar terhadap eksistensi … Kita tolak Tuhan; dalam menolak Tuhan kita menolak pertanggungjawaban: hanya dengan melakukan itu kita peroleh kembali dunia.”
11. Nietzsche menyatakan bahwa fakta-fakta moral dan religius adalah nonsense, lihat: Senjakala, hlm. 63-75-76.
12. S.H. Nasr, The Encounter of Man and nature, Cambridge, Massachusetts, 1968, hlm. 97.
13. Pengertian tradisi di sini tentunya tidak terbatas pada adat-istiadat, melainkan juga mencakup semua ajaran kearifan dalam konteks profetik. Untuk kajian menarik mengenai makna tradisi ini, lihat: Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan, 1996, hlm. 22-24. Ihwal kosmologi Islam, lihat: S. H. Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrines: Conceptions of Nature and methods Used for its Study by the Ikhwan al-Shafa, al-Biruni, and Ibn Sina, Thames & Hudson, London, 1978.
14. Matematika di sini berarti model berpikir kuantiatif-analitis yang mencakup aritemetika, aljabar, geometri, trigonometri, kalkulus, probabilitas, statistika, dan teori dan logika himpunan.
15. Dalam The Tao of Islam (Mizan 1996), Sachiko Murata menjelaskan pandangan Islam tentang alam secara amat mengesankan. Tulisnya: “Dalam pandangan Muslim, tidak dapat menjadi Muslim dan sekaligus melihat kosmos “secara obyektif” dan “secara ilmiah”, sebab itu akan mengisyaratkan adanya jarak dan ketidakpedulian, seakan-akan alam raya itu bisu, tanpa membawa pesan moral atau spiritual sama sekali.” hlm. 169.
16. Terjemahan Lord Northbourne, London, 1953.
17. Untuk bacaan informative-eikstensf, rujuk: Z. Sardar, The Revenge of Athena: Science, Exploitation, and The Third World, London, 1988. Juga: Z. Sardar, The Touch of Midas: Science Values, and Environment in Islam and the West, Manchester, 1984.
18. K.C. Cole, Sympathetic Vibrations: Reflections On Physics as a Way of life, New York, Bantam Books, 1985, hlm. 2.
19. Margaret J. Wheatley, Kepemimpinan dalam Dunia Baru, Abdi Tandur. 1997, hlm. 19.
20. Lebih jauh, lihat: Martin Lings, The Eleventh Hour: The Spiritual Crisis of Modern World ihni Light of Tradition and Prophecy, Quinta Essentia, 1987.
21. Lebihlanjut, lihat: S. H. Nasr, Op cit, 1968.
22. Untuk studi ekstensif berkaitan dengan pelbagai factor perusak lingkungan dan dampak negatifnya terhadap planet kita, lihat: Will Steger 7 Jon Bowermaster, Saving The Earh: A Citizen’s Guide to Environmental Action, Knopf, 1990. Juga: Jonathan Weiner, The nest One hundred Years: Shaping the Fate of Our Living Earth, Bantam, 1990.
23. Lebih lanjut, lihat: S.H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, London, 1975.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email