Pesan Rahbar

Home » » Multi Peradaban Asia Janji dan Bahayanya

Multi Peradaban Asia Janji dan Bahayanya

Written By Unknown on Friday 7 July 2017 | 02:08:00


Oleh: Chandra Muzaffar
Sistem global dan proses globalisasi adalah sebuah proses yang tumbuh dari epos kolonial. Kekuatan Barat secara individual mendominasi dan mengontrol masyarakat Asia sehingga melumpuhkan perkembangan potensi dalam lingkup pertukaran antar-negara dan antar-kebudayaan Pusat-pusat kekuasaan yang baru dan elit-elit yang baru ini tidak hanya terkait dengan negara bangsa tetapi juga terkait dengan institusi-institusi internasional. Dengan gap ini, mustahil tercipta perdamaian di dunia. Satu- satunya tindakan yang dapat diambil adalah sebuah dialog di antara berbagai kebudayaan dan peradaban.

ESEI ini dibagi ke dalam lima bagian. Kita mulai dengan merefleksikan dialog antar-peradaban pada epos pertama, epos kepribumian, sebelum kita masuk ke dalam epos yang kedua, epos kolonial. Epos ketiga, yang mendapatkan perhatian paling banyak adalah epos kontemporer, dengan fokus kepada globalisasi dan dialog antar-peradaban. Hal itu kemudian akan diikuti oleh pembahasan mengenai reaksi terhadap pola kekuasaan dan dominasi tertentu yang terkait dengan globalisasi pada epos kontemporer. Bagian kelima dan terakhir dari esei ini akan mengeksplorasi alternatif yang tersedia ― yang bermakna alternatif dari tanggapan komunal terhadap krisis identitas dalam peradaban kontemporer.


Epos Kepribumian Epos kepribumian adalah epos kerajaan dan kekaisaran pribumi yang independen, yang ada selama berabad-abad dalam sejarah Asia. Selama periode ini, terdapat baik elemen positif maupun negatif dalam interaksi antar berbagai peradaban di benua Asia. Ilmuwan-ilmuwan Cina pergi mengunjungi India untuk mempelajari Budhisme, sama seperti para pujangga Jepang, Korea dan Vietnam yang pergi ke Cina untuk menyerap etika Kong Hu Cu. Para penguasa Muslim berdialog dengan orang-orang Kristen dan Yahudi yang terkemuka di berbagai wilayah Asia Barat pada abad kedelapan dan kesembilan, sementara kaum terpelajar Muslim seperti Ibn-a-Nadim dan al-Syahrastani, pada abad kesepuluh dan kesebelas, menulis dengan banyak kehangatan tentang kualitas-kualitas teladan dari kaum Budha, yang hidup pada zaman mereka di beberapa daerah yang sekarang adalah Iran dan Afghanistan.[1]

Contoh ilmuwan Islam yang lebih terkenal menggapai ke "yang lain" (the other) adalah Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni (973- 1051). Ia tidak hanya mempelajari Hinduisme, Kristen dan Yahudi tetapi juga mengembangkan dasar-dasar analisa komparatif terhadap agama. Upayanya untuk seobjektif mungkin dan tidak bias dalam mempelajari berbagai ajaran dan praktik agama lain, yang berbeda dari agamanya, adalah luar biasa. Kitab al-Hind karya al-Biruni yang menyelidiki Hinduisme dan masyarakat Hindu adalah sebuah bukti cemerlang dari hal tersebut. Dengan mempelajari agama dan peradaban Hindu, al-Biruni berharap bahwa akan lebih mudah bagi umat Muslim untuk berdialog dengan mereka. Seperti yang ia katakan, "Sekarang kami merasa bahwa apa yang dibahas dalam buku ini (Kitab al-Hind) akan cukup bagi siapa saja yang mau bercakap-cakap dengan umat Hindu, dan berdiskusi dengan mereka mengenai permasalahan agama, ilmu pengetahuan atau sastra, atas dasar peradaban mereka sendiri."[2]

Melalui kajian ilmiah terhadap berbagai agama dan peradaban lain, al-Biruni, dalam beberapa hal, membuka jalan untuk dialog antar-peradaban. Pada saat di mana dunia mulai mengakui betapa pentingnya dialog antar-peradaban ― seperti yang tercermin dalam pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa tahun 2001 adalah tahun dialog antar-peradaban ― maka penting bagi kita untuk mengingat peran pelopor dari teman bicara yang terkenal, al-Biruni.

Arus gagasan agama dan budaya yang melintasi batas-batas peradaban adalah bidang dan bagian dari sebuah arus yang lebih besar, yang melibatkan gagasan tentang ilmu pengetahuan, teknologi, arsitektur dan seni. Di antara Cina dan dunia Arab, dunia Arab dan India, serta India dan Asia Tenggara, terdapat pertukaran aktif ilmu pengetahuan dan informasi, yang meskipun terbatas hanya pada sekelompok kecil elit, tetapi tetap signifikan. Melalui interaksi kreatif seperti itulah, peradaban Islam yang menyerap gagasan-gagasan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dari setiap sumber yang ada, menjadi gudang pengetahuan untuk seluruh umat manusia selama abad kedelapan sampai abad ketigabelas.[3]

Dalam penyebaran dan sintesis gagasan ini, perdagangan antar berbagai negara den kerajaan yang berbeda di Asia memainkan peran yang utama. Sebagai contoh, jalur sutra yang terkenal tidak hanya memfasilitasi pertukaran barang tetapi juga memungkinkan kota-kota terkenal tumbuh dengan subur di apa yang sekarang merupakan Asia tengah ― kota-kota seperti Samarkand dan Bukhara yang menjadi tempat bagi museum dan perpustakaan yang terkemuka. Demikian juga, perdagangan di antara Cina den Asia Tenggara membawa gagasan tentang administrasi publik, perencanaan kota, arsitektur dan estetika dari yang pertama ke yang terakhir.[4]

Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa sementara terdapat pertukaran intelektual dan kebudayaan di antara sekelompok orang yang sangat kecil di puncak berbagai peradaban yang berbeda, mayoritas rakyat hidup dalam ruang geografis dan sosial mereka sendiri, tidak berinteraksi dengan elemen-elemen luar. Tidak perlu dikatakan, bahwa masyarakat zaman dahulu kala yang diikat oleh ikatan keluarga dan hubungan suku, lebih homogen secara budaya dan tersekat secara fisik daripada sekarang ini. "Agama dan kebudayaan yang lain" tidak ada dalam benak mereka. Dengan kata lain, masyarakat kuno benar-benar lupa terhadap kebudayaan dan peradaban lain. Hal ini dapat dimengerti, mengingat sifat-dasar organisasi politik, jenis kegiatan ekonomi dan cara komunikasi yang terdapat dalam masyarakat yang sebagian besar bersifat agraris itu.

Bahkan ketika komunikasi dan kebudayaan berhubungan satu sama lain, maka hal itu tidak selalu terjadi dengan damai. Sejarah Asia dikotori oleh dongeng tentang perang dan konflik, kadang antar penganut keyakinan dan sekte yang berbeda. Sebab-sebab mendasar dari lautan api ini mungkin tidak terkait dengan doktrin agama atau praktik keagamaan, tetapi kedua hal itu jelas memperburuk hubungan antar-masyarakat.[5] Yang menang akan dijadikan panutan suku sama seperti yang kalah akan menjadi korban dari prasangka komunal. Tentu saja, dalam beberapa contoh, setelah satu atau dua generasi, sentimen bermusuhan terhadap "yang lain" akan hilang secara bertahap. Hal ini telah terjadi di sejumlah masyarakat Muslim, di mana identitas Muslim yang lebih mencakup semua tampak berhasil setidaknya di dalam meminimalisir kesadaran komunal. Bahkan dalam perlakuan mereka terhadap komunitas non-Muslim, negara Muslim sering menjamin perlindungan terhadap hak-hak budaya dan agarna mereka, dan bahwa mereka memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi dari masyarakat yang lebih luas, di mana kaum minoritas ini berdomisili.[6]

Epos Kolonial Berbeda dengan epos kepribumian, maka epos kedua dicirikan oleh dominasi kolonial Barat atas Asia, menyebabkan lebih banyak ketegangan dan tekanan terhadap hubungan antar-masyarakat dan antar-kebudayaan. Tidak perlu diulang apakah Inggris atau Belanda atau Perancis, kebijakan kolonial tanpa kecuali berupaya untuk "memecah-belah dan menguasai" penduduk lokal. Jadi, umat Hindu diadu dengan umat Muslim di India yang dijajah Inggris, orang Jawa dengan orang Sumatra di Indonesia yang dijajah Belanda, orang Khmer dengan orang Vietnam di Indo-Cina yang dijajah Perancis. Kebijakan khusus dalam kaitannya dengan tanah, pertanian, pekerjaan, layanan publik dan pendidikan ditujukan untuk memperlebar jurang di antara berbagai masyarakat.

Terdapat pula dimensi lain dari kebijakan kolonial yang juga menciptakan akibat-akibat negatif terhadap ikatan etnis. Di Sri Lanka, Malaysia dan Fiji, di antara negara-negara lainnya, Inggris membawa tenaga kerja imigran untuk bekerja di sektor-sektor ekonomi tertentu dan dengan demikian menciptakan kantong-kantong suku yang terpisah dan berbeda dari masyarakat pribumi. Karena dikotomi ekonomi dan politik yang membagi imigran dan masyarakat pribumi begitu parah, maka permasalahan komunal yang terkait dengan kedua kelompok ini sering terabadikan sampai dengan masa pasca-kolonial.[7]

Tetapi lebih parah dari kebijakan pecah-belah dan kuasai, kerugian terbesar yang diakibatkan oleh kolonialisme dalam hubungan antar-masyarakat, antar-kebudayaan dan antara-peradaban di Asia adalah mengarahkan kembali wajah setiap negara Asia untuk berpaling dari tetangganya dan menghadap ke arah kekuatan metropolitan di Barat. Dari ekonomi sampai pendidikan, dari administrasi sampai hiburan, negara yang dijajah, dipengaruhi dan menyembah kepada maharaja di London, Hague, Paris dan Washington. Hal ini tidak hanya merupakan permasalahan ketergantungan yang ditimbulkan oleh eksploitasi kolonial atas sumberdaya pribumi atau ikatan ekonomi yang diciptakan oleh hegernoni kolonial. Melalui kekerasan dan bujukan, penjajah menjadi teladan par excellence bagi yang dijajah. Hukum, institusi pemerintahan, mekanisme pasar, kurikulum sekolah, sistem kesehatan, transportasi publik dan sungguh setiap segi kehidupan mendapatkan bimbingan dan inspirasi dari model kolonial.[8]

Sebagai hasilnya, yang dijajah mengembangkan banyak bahan pengetahuan dan informasi mengenai si penjajah ― tanah dan sejarahnya, kebudayaan dan biografinya, politik dan adat-istiadat sosialnya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa di Malaysia yang pernah dijajah, akan lebih banyak tahu mengenai puisi dan sejarah Inggris daripada mengenai musik Thai atau geografi Indonesia. Demikiam juga, sangat mungkin seorang Filipina yang hidup di bawah pengayoman kekuasaan Amerika akan lebih siap berempatik dengan sastra Amerika daripada dengan sastra Vietnam, meskipun yang terakhir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Untuk memperluas argumen ini lebih jauh, seorang Hindu yang terdidik secara Inggris di India yang pemah dijajah Inggris akan memiliki hubungan lebih erat dengan Kristen ― karena hal itu dianggap sebagai Barat ― daripada dengan Islam yang memiliki jutaan penganut di anak benua India selama puncak kekuasaan kolonial (dibandingkan dengan hanya ribuan umat Kristen).

Dengan mengubah hubungan antar kebudayaan dan agama di lingkungan Asia, kolonialisme menciptakan rintangan yang kuat bagi dialog antar-peradaban. Ia melenyapkan kondisi objektif ― persyaratan-persyaratan ekonomi, politik dan sosial ― yang membuat dialog menjadi sebuah kebutuhan. Karena tidak terdapat hubungan yang nyata dengan tetangga, maka tidak terdapat kebutuhan yang memaksa suatu negara untuk berhubungan dan berinteraksi dengan tetangganya.
Di samping itu, kolonialisme mengembangkan gagasan bahwa peradaban, agama, masyarakat dan kebudayaan Asia hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap kemajuan umat manusia.[9] Gagasan itu menjadi berurat-akar dalam jiwa banyak orang Asia, sebagian disebabkan oleh karena kekuasaan yang sangat besar dari dominasi kolonial. Orang-orang Asia mulai percaya ― seperti yang diinginkan oleh tuan penjajah mereka ― bahwa kebudayaan dan peradaban mereka telah menjadi lembam dan statis. Kebudayaan dan peradaban Asia kurang memiliki daya dorong dan dinamika. Sungguh, kebudayaan dan peradaban mereka, begitu dikatakan kepada mereka, hanya membuat rakyat terbelenggu. Orang-orang Asia harus dibebaskan dan perbudakan mereka oleh peradaban Barat.

Hal ini berarti bahwa pengalaman kolonial menciptakan sebuah perasaan inferioritas kultural yang mendalam di banyak orang Asia.[10] Perasaan rendah-diri ini menjadi halangan bagi dialog antar-peradaban dan kebudayaan. Karena apabila suatu kebudayaan kehilangan kebesarannya, maka bagaimana seseorang bisa merasa bangga memilikinya? Apa tujuan berbicara dengan pihak lain mengenai suatu peradaban apabila peradaban tersebut tidak memiliki nilai-nilai yang mulia dan pencapaian yang terkemuka? Apabila dialog adalah pertukaran gagasan, maka bagaimana peradaban yang miskin secara intelektual bisa terlibat dalam dialog?

Adalah suatu kenyataan penting bahwa sementara orang-orang Asia diserang oleh keragu-raguan terhadap kebudayaan dan peradaban mereka. pada epos kolonial, mereka nampak sedikit lebih yakin terhadap kekuataan dan daya tahan agama mereka. Inilah salah satu alasan mengapa, terlepas dari kekuatan dan potensi kekuasaan kolonial di Asia, hanya sedikit, yang secara relatif, menganut Kristen ― Kristen yang datang bersama dengan dominasi Barat. Selain Filipina, tidak ada negara Asia lainnya yang mengadopsi Kristen dalam skala nasional pada periode kolonial. Hanya beberapa persen dari orang Cina, India, Indonesia, Vietnam, Thai dan orang-orang Asia lainnya yang menjadi Kristen. Mayoritas orang memilih untuk tetap menjadi Hindu atau Buda atau Muslim. Pada kenyataannya, hanya sedikit sekali kaum Muslim secara khusus yang berganti keyakinan menjadi Kristen di Asia.
Adalah sebuah fakta sejarah yang sama hebatnya bahwa ketika orang-orang Asia mulai mengorganisir dan memobilisasi massa untuk melepaskan diri dari penindasan kolonial, banyak dari mereka yang beralih ke agama untuk memperoleh inspirasi dan dorongan bagi perjuangan nasionalis mereka. Beberapa contohnya adalah Arya Samaj dan Brahmo Samaj di India, Syarikat Islam di Indonesia dan Asosiasi Kaum Muda Budha di Burma. Dengan kata lain, agama, untuk banyak orang Asia, adalah saluran yang paling bermakna untuk mengartikulasikan pencaharian kebebasan, keadilan, identitas dan martabat.

Apakah hal ini menunjukkan bahwa agama memiliki peran khusus dalam peradaban Asia? Dalam dialog antar-peradaban, akankah dimensi agama muncul sebagai faktor yang paling signifikan di sebuah benua yang ciri khususnya adalah bahwa ia menjadi tempat lahir dari semua agama di dunia? Hal itu merupakan beberapa pertanyaan yang akan kami coba jawab di bagian terakhir dari esei ini. Sekarang, kita akan beralih ke epos yang ketiga.


Epos Kontemporer 

Epos ketiga atau epos kontemporer, dimulai dengan berakhirnya kekuasaan formal kolonial di tahun 1946. Ini merupakan tahun di mana Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dari Belanda. Untuk kurang lebih empat dasawarsa terakhir, kebanyakan negara Asia sudah merdeka, dalam arti legal dan konstitusional. Apakah kemerdekaan menghasilkan dialog antar-kebudayaan dan antar-peradaban di antara berbagai agama dan masyarakat Asia? Apakah terdapat lebih banyak minat, dan komitmen untuk membangun saling pemahaman yang lebih baik di antara banyak sekali peradaban Asia?

Tentu terdapat lebih banyak interaksi di antara pemerintah Asia sekarang ini dibandingkan dengan pada epos kolonial atau kepribumian. Terdapat sebuah kesadaran yang sedang tumbuh di antara berbagai elit politik di benua Asia bahwa nasib bangsa mereka sangat terkait satu sama lain dan bahwa mereka harus berupaya untuk menciptakan hubungan ketetanggaan yang baik, seberapapun besar rintangannya. Kemampuan bertahan dari kelompok multi-peradaban tingkat regional seperti Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) adalah hasil dari kesadaran tersebut.[11] Kelompok itu terdiri dari semua negara Asia Tenggara yang berjumlah 10 ― Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam dan Burma. ASEAN, setidak-tidaknya dalam latarbelakangnya, mencakup 5 peradaban agama ― Budha, Kristen, Kong Hu Cu, Hindu dan Muslim. Juga terdapat Asosiasi Asia Selatan untuk Kerjasama Regional (SAARC) yang terdiri dari India, Pakistan. Bangladesh, Sri Lanka, Nepal, Bhutan, dan Maldives serta, dalam beberapa hal, mencerminkan keberagaman agama di wilayah tersebut, dengan penduduk Hindu, Muslim, Budha, Kristen dan Sikh. Yang pertama jauh lebih aktif sebagai sebuah organisasi regional daripada yang terakhir.

Apabila ikatan pemerintahan telah berkembang dalam wilayah dan antar wilayah di benua Asia, maka hal itu terjadi terutama karena perdagangan dan ekonomi. Sebagai contoh, terdapat lebih banyak perdagangan antar-ASEAN sekarang ini daripada 10 tahun yang lalu. Dengan ikatan bisnis yang semakin banyak, maka terjadi pertukaran di bidang teknologi dan pendidikan, dan bahkan di arena kebudayaan. Yang mandiri dari pertukaran ini adalah interaksi berkelanjutan antar negara-negara Asia di bidang olahraga dan, dalam tingkat yang jauh lebih kecil, di sektor hiburan.
Terlepas dari ikatan antar-negara Asia yang cenderung semakin meningkat, memang benar bahwa terdapat hanya sedikit upaya oleh pemerintah atau pengusaha atau universitas atau elit kebudayaan Asia untuk secara sadar memfokuskan perhatian kepada pemahaman antar-peradaban. Sebagai contoh, hanya terdapat sedikit universitas di negara-negara ASEAN yang menawarkan kuliah yang terkait dengan isu-isu antar-peradaban atau bahkan antar-kebudayaan dan antar-agama.[12]

Organisasi Non-Pemerintah (NGO) di bidang kebudayaan dan agama mungkin akan mendukung tujuan-tujuan yang terkait dengan sebuah komunitas kebudayaan atau agama tertentu, tetapi jarang terlibat serius di dalam dialog antar-kebudayaan atau antar-agama. Pemerintah, bahkan ketika memimpin masyarakat yang heterogen, mungkin akan menyediakan dukungan kepada kegiatan agama dan kebudayaan dari kelompok tertentu tetapi belum terlihat menjadi patron dialog antar-peradaban yang aktif dan antusias ― dengan satu dua pengecualian yang akan kita bahas nanti.
Mengapa terjadi hal seperti itu? Mungkin penyebab terpenting dari hal itu adalah sistem global yang berlaku sekarang ini, dan proses yang sama dengannya, yaitu globalisasi. Globalisasi, dalam beberapa hal, adalah sebuah proses yang tumbuh dari epos kolonial. Seperti yang telah kita lihat, apabila di bawah kolonialisme. kekuatan Barat secara individual mendominasi dan mengontrol masyarakat Asia, sehingga melumpuhkan perkembangan potensi mereka dan membatasi lingkup pertukaran antar-negara, antar-kebudayaan, maka sekarang, terdapat pusat-pusat kekuasaan global dan elit-elit global, terutama terletak di Barat, yang memiliki pengaruh besar terhadap arah ekonomi global, politik global dan kebudayaan global.[13] Sekali lagi, kekuasaan mereka yang besar telah mencekik dan melumpuhkan kapasitas peradaban Asia untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan berbagai gagasan serta nilai yang berasal dari warisan mereka sendiri, dan untuk mengajukannya sebagai basis dari dialog dan saling-pemahaman. Tidak seperti penjajahan di masa lalu, pusat-pusat kekuasaan yang baru dan elit-elit yang baru ini tidak hanya terkait dengan negara bangsa seperti Amerika Serikat ― satu-satunya negara adi kuasa di dunia ― tetapi juga terkait dengan institusi-institusi internasional seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Dana Moneter lntemasional (IMF) dan juga perusahaan transnasional (TNC) serra pasar uang.[14]

Adalah TNC dan pasar uang yang mengatur suasana serta arah ekonomi global dan juga kebanyakan ekonomi domestik. Sebagai contoh, 500 perusahaan membentuk 70 persen perdagangan dunia. Banyak ekonomi kecil dan menengah di Selatan sangat tergantung kepada investasi, teknologi, keahlian, dan terutama jangkauan pasar TNC. Apabila WTO berhasil mendorong agenda investasinya, maka TNC bisa memiliki kontrol yang lebih besar atas ekonomi nasional, karena tidak akan ada pembatasan apapun terhadap hak mereka untuk mengembangkan operasi di suatu negara atau untuk mengirimkan keuntungan ke daerah asal.[15] Demikian pula. perdagangan mata uang sekarang ini mendominasi transaksi keuangan global. Hanya 2 sampai 3 persen transaksi yang terkait langsung dengan industri dan perdangan yang riil. Di sisi lain. perdagangan mata uang, yang tidak dapat dibedakan dari spekulasi belaka. berjumlah sekitar 1,5 trilyun dolar sehari. Hal ini hampir sama dengan output total ekonomi Jerman dalam setahun atau empat kali lebih besar dari pengeluaran total dunia untuk minyak mentah.[16] Jumlah dan nilai modal spekulatif telah menjadi begitu besar sehingga sekarang ini tidak ada ekonomi yang dapat mengisolir dirinya dari pasar uang beserta operasi mereka.

Hal ini berarti bahwa terdapat sangat sedikit ruang untuk inisiatif ekonomi yang mandiri. Dan juga keleluasan dari organisasi dan tindakan yang otonom, yang penting bagi globalisasi ekonomi, membawa berbagai praktik, sikap dan nilai yang benar-benar bertentangan dengan beberapa prinsip utama dan ajaran yang terkandung dalam kebanyakan filosofi agama. Dorongan tanpa henti untuk memproduksi dan mengembangkan produksi, yang seringkali didorong oleh rangsangan inderawi yang terus-menerus melalui iklan-iklan yang menggairahkan ― sebuah ciri operasi TNC ― bertentangan dengan etika Budha dan Muslim untuk mengekang dan mengendalikan-diri. Begitu pula, budaya konsumen, yang merupakan bagian penting dari kapitalisme kontemporer, tidak akan berdamai dengan Hinduisme atau Kristen atau agama lain apapun, yang menekankan pembatasan terhadap hasrat dan keinginan kita. Agama juga tidak akan setuju dengan arah materialistik yang nyata dari globalisasi ekonomi. Karena globalisasi ekonomi berupaya untuk menderegulasi, meliberalisasi dan memprivatisasi untuk memungkinkan pergerakan modal yang bebas dan akumulasi kekayaan yang tak terkendali, maka ia akan bertentangan dengan berbagai ajaran moral dari semua keyakinan yang besar, yang selalu mengingatkan orang yang terobsesi dengan kepemilikan kekayaan. Di Islam, sama seperti di Yahudi, yang dianggap sebagai tindakan kesalehan adalah distribusi kekayaan yang merata dan pengurangan kemiskinan. Globalisasi ekonomi, sebaliknya, telah mengakibatkan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang dan memperluas kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.[17]

Masih terdapat ciri lain dari globalisasi ekonomi yang bertentangan dengan agama. Kekuatan modal spekulatif yang sangat besar di bidang ekonomi sekarang ini ― yang telah mendorong para ahli ekonomi untuk menggambarkan rase kontemporer dari kapitalisme sebagai kapitalisme kasino[18] ― akan dikutuk oleh Islam dan Kristen, di satu sisi, dan oleh Hinduisme serra Budhisme, di sisi lain. Sebagai contoh, dalam Islam, uang adalah alar pertukaran, dan bukan komoditas yang dapat dijadikan obyek spekulasi atau judi.[19]

Dengan menunjukkan bagaimana globalisasi ekonomi melanggar beberapa nilai moral dan spiritual kita yang paling mendasar, bukan berarti menolak kenyataan bahwa beberapa negara tertentu yang secara luas mempraktikkan ritual-ritual Budhisme dan Kong Hu Cu juga cenderung mengedepankan dan menyebarluaskan kapitalisme kuno. Lagipula, negara, negara Asia Timur dan Asia Tenggara seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura diakui sebagai titik penting dalam ekonomi global. Dan benar bahwa berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah lain di Asia juga telah memperoleh manfaat dari globalisasi ekonomi. Tetapi hal ini terjadi hanya karena mereka telah menyesuaikan diri dengan tuntutan dan dikte dari globalisasi tanpa mempertimbangkan beberapa nilai dan prinsip dalam filosofi agama dan kebudayaan mereka yang berlawanan dengan globalisasi.

Bagaimana globalisasi politik berurusan dengan nilai-nilai spiritual dan moral yang terdapat dalam agama? Penyebaran yang cepat dari bentuk pemerintahan demokratis, dengan penekanan pada, hak asasi manusia, khususnya kebebasan politik dan sipil, pemilihan umum yang berkala, kompetisi multi-partai serta perubahan yang tertib dan damai telah menjadi salah satu perkembangan paling hebat di masa kita. Secara umum, kemenangan demokrasi sebagai sebuah fenomena global, segera sesudah perang dingin, telah menjadi anugerah bagi umat manusia, termasuk rakyat Asia.

Meskipun demikian, demokrasi yang ditafsirkan oleh kekuatan globalisasi juga telah meminggirkan beberapa ide dan gagasan tertentu tentang pemerintahan yang terkait dengan tradisi spiritual Asia. Sudahkah kesibukan dengan kebebasan politik dan sipil membawa serta hak-hak kebudayaan, sosial dan ekonomi?[20] Bukankah sebuah visi yang lebih holistik mengenai hak akan lebih masuk akal, baik dilihat dari sudut pandang konsep manusia dalam beberapa filsafat kita maupun dari perspektif tentang kenyataan yang ada dalam masyarakat Asia, di mana hak ekonomi seperti hak atas makanan, hak sosial seperti hak atas pendidikan dan hak kebudayaan seperti hak untuk mempelajari bahasa ibu adalah sama dasarnya dengan kebebasan berpendapat dan berkumpul? Yang sama pentingnya, bukankah benar bahwa di hampir semua filsafat Asia, apakah itu Kong Hu Cu atau Hinduisme, hak tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab?[21] Apakah tanggung jawab diberi perhatian di dalam demokrasi versi globalisasi? Begitu pula, dengan membuat individu dan kebebasan individu sebagai dasar dari sebuah masyarakat yang adil dan fair, bukankah globalisasi politik telah meminggirkan dimensi komunitarian yang terlihat begitu menonjol dalam sistem nilai berbagai masyarakat Asia? Bukankah kompetisi antar-partai dan makna yang terdapat dalam politik partai melanggar prinsip kesatuan dalam Islam dan agama-agama lain, karena kesatuan dalam masyarakat berakar dari konsep Kesatuan Tuhan?

Inti permasalahannya adalah sebagai berikut: apabila bukan karena globalisasi dan desakannya untuk pemilihan umum dan politik partai, maka apakah masyarakat Asia akan mengembangkan bentuk-bentuk pemerintahan alternatif? Apakah berbagai institusi yang muncul akan lebih mewakili nilai-nilai seperti perundingan dan konsensus, harmoni dan integrasi? Karena nilai-nilai ini dan yang lainnya ada dalam sejumlah kebudayaan ― untuk menyebutkan beberapa: Thai, Jawa dan Melayu ― apakah akan menyediakan dasar bagi dialog antar-peradaban di sebuah dunia yang tidak perlu menghadapi tantangan globalisasi? Tentu saja terdapat isu lain yang dikedepankan oleh globalisasi politik, yang mungkin lebih penting dan tidak tercakup dalam bidang pembahasan esei ini. Sebagai contoh, bagaimana para pendukung demokrasi dapat menyokong berbagai tujuan hak asasi manusia dan kebebasan politik dalam wilayah politik dalam negeri, tetapi mengabaikan strtuktur global yang jelas tidak demokratis dan tidak adil, yang menolak representasi dan partisipasi dari mayoritas umat manusia, termasuk penduduk Asia?[22]

Dari globalisasi politik kita beralih ke globalisasi budaya. Dalam beberapa hal, dampak globalisasi budaya jauh lebih tajam dan mendalam dibandingkan dengan globalisasi politik atau globalisasi ekonomi. Khususnya selama tiga atau empat dasawarsa terakhir, program-program televisi, film, video, komik-komik dan kartun, terlepas dari musik, drama dan bentuk tarian yang terutama berasal dari Amerika Serikat telah menemukan telinga dan mata yang memiliki hasrat di ujung dunia yang paling jauh. Kepribadian paling baik versi Hollywood dan CNN yang terkenal secara intemasional adalah bukti bagaimana kebudayaan Amerika merembes ke mana-mana. Ditambah dengan Coca-cola dan McDonald serta kaos dan sepatu Nike, maka seseorang akan mengerti bagaimana Amerika telah menguasai dunia.[23]

Meskipun demikian perlu ditekankan bahwa keunggulan kebudayaan Amerika belum mengakibatkan pembasmian atau bahkan marjinalisasi terhadap kebudayan-kebudayaan lain. Sebagai contoh, film-film India, seperti teman-imbangannya dari Hongkong, masih populer seperti dulu. Makanan Jepang, Cina dan India disukai oleh selera Amerika dan Inggris. Perempuan di ibukota Indonesia, Malaysia dan Vietnam masih memakai pakaian tradisional mereka. Dengan kata lain, fast food dan film-film Amerika mungkin sudah memiliki jangkauan global, tetapi mereka bukan satu-satunya makanan di kota.

Pokok permasalahannya bukanlah apakah segi-segi kebudayaan lain akan bertahan hidup di tengah-tengah globalisasi yang didorong oleh Amerika. Permasalahan nyatanya adalah apakah berbagai nilai dan norma dasar yang ada mulai berubah akibat dampak yang berkelanjutan dan kumulatif dari media serta televisi Amerika secara khusus, dan proyeksi populer dari sebuah gaya hidup Amerika secara umum. Sebagai contoh, apakah individualisme Amerika yang sebenarnya, mulai mengakar di berbagai wilayah perkotaan Asia? Apakah hubungan keluarga mulai berubah, di mana kaum muda di beberapa kota di Asia mulai meniru perilaku kasar anak-anak Amerika terhadap orangtua dan kaum tua mereka di televisi? Apakah peningkatan kesibukan dengan kenikmatan inderawi di berbagai segmen kelas menengah perkotaan di Asia disebabkan oleh pengaruh media Amerika, terutama televisi? Atau, apakah perubahan-perubahan yang ada merupakan akibat tak terhindarkan dari transformasi struktur sosial dan ekonomi yang lebih mendasar di berbagai negara Asia, dan bukan merupakan akibat dari globalisasi budaya per se?

Apapun schab nyatanya, terlihat cukup jelas bahwa nilai-nilai tahan-uji yang terkait dengan individu, keluarga dan masyarakat dalam agama dan kebuclayaan Asia sedang ditantang pada epos sekarang ini. Karena nilai-nilai seperti keutamaan yang sesuai dengan hubungan keluarga sangat penting bagi Kong Hu Cu, Hinduisme dan Islam, di antara berbagai agama lainnya, maka seseorang ingin tahu apakah berbagai perubahan yang terjadi akan memerosotkan lagi prinsip kehidupan yang lain, yang dapat menyediakan dasar bagi komunikasi antar-peradaban.

Dimensi ekonomi, politik dan kebudayaan dari globalisasi yang telah kita analisis, dan aspek,aspek lain dari proses itu yang belum kita bahas, semuanya mewakili sebuah sistem yang luar biasa kuatnya. Mengulang kembali pernyataan di atas, hal itu merupakan sebuah sistem yang muncul dari dominasi kolonial Barat tetapi memiliki dampak, pengaruh dan otoritas yang jauh lebih hebat daripada kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan kolonial individual. Teknologi komunikasi modern jelas memainkan peran penting dalam memfasilitasi hal ini. Adalah sebuah kebenaran bahwa tanpa televisi, komputer dan internet, globalisasi tidak akan menjadi fenomena yang begitu kuat. Karena revolusi komputer merupakan hasil dari kemajuan teknologt dan ilmu pengetahuan yang terkait dengan Amerika Serikat, seseorang dapat memahami mengapa negara itu berada digaris terdepan dari globalisasi.

Tetapi hanya teknologi saja tidak dapat menjelaskan kekuatan globalisasi. Gagasan dan instrumen globalisasi ― apakah itu kebebasan individu atau internet ― memiliki daya tariknya sendiri. Lagipula, seperti yang telah kita nyatakan, globalisasi adalah sebuah proses yang telah membawa beberapa manfaat bagi berbagai kelompok umat manusia.

Itulah kenapa globalisasi, berbeda dengan kolonialisme, tidak dilihat sebagai dominasi dan penindasan di beberapa tempat. Pusat kekuasaan dan elit di Barat telah berhasil membuatnya tampak seperti sesuatu yang integral dengan pembangunan dan kemajuan. Tetapi tidak semua orang berhasil diyakinkan. Banyak orang di Asia dan tempat lain mengetahui bahwa globalisasi tidak hanya memarjinalisasi kaum miskin dan lemah tetapi, seperti yang telah kami tunjukkan, juga telah menundukkan kebudayaan non-Barat, berbagai gagasan dan ideal mereka, nilai-nilai dan visi mereka.[24] Hal ini telah menimbulkan reaksi di sejumlah masyarakat Asia.


Reaksi 

Kami tertarik dengan sebuah aspek khusus dan reaksi terhadap globalisasi-yaitu, persepsi yang menyatakan bahwa globalisasi adalah sebuah ancaman terhadap integritas dan identitas peradaban. Dan jenis reaksi khusus inilah yang akan kita jadikan fokus pembahasan.

Sementara terdapat berbagai reaksi terhadap tantangan kepada identitas peradaban, maka adalah mereka yang telah memilih untuk menyatakan kembali identitas mereka secara eksklusif, yang akan menjadi subyek analisis kita. Pernyaataan kembali identitas secara eksklusif ini terjadi di sejumlah negara. Di India, hal itu mengambil bentuk revivalisme Hinduj di Pakistan, Indonesia dan Malaysia, terdapat revivalisme Islam; dan di Sri Lanka, terdapat revivalisme Buda.

Mari kita jelaskan sejak awal bahwa revivalisme di semua negara ini tidak hanya disebabkan oleh karena globalisasi atau bahkan dominasi kolonial Barat. Kegagalan dari apa yang disebut sebagai elit sekular dan ideologi sekular untuk mengatasi tantangan kemiskinan dan kemelaratan yang dialami massa; korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di puncak masyarakat; represi politik dan otoritarianisme; serta anatagonisme laten atau manifest terhadap "yang lain" di suatu lingkungan, semuanya telah menyebabkan munculnya revivalisme agama.[25] Globalisasi adalah faktor penyebab revivalisme agama sejauh kekuatan dominannya―yang mencerminkan hegemoni Barat―dilihat sebagai halangan yang kuat bagi keinginan kaum revivalis untuk mendirikan sebuah kebudayaan dan peradaban alternatif yang otentik, yang berakar pada tradisi dan warisan sendiri.[26]

Hal ini menjelaskan mengapa di India, kaum revivalis Hindu (bersama-sama dengan kelompok lain) memerangi beberapa simbol globalisasi-perusahaan Ayam Goreng Kentucky dan McDonalds, perusahaan Coca-cola dan firma cereal Kellog. Mereka juga berupaya untuk melindungi kepentingan India di hadapan rezim hak milik intelektual WTO. Bahkan partisipasi para perempuan Hindu dalam kontes kecantikan, yang dipandang merendahkan agama, menjadi bukti dari sisi negatif globalisasi. Di sisi lain, bagi kaum revivalis Islam di Malaysia, pornografi di internet dan penyebarluasan "kebudayaan kuning" adalah beberapa di antara akibat-akibat yang merugikan dari globalisasi, yang harus ditolak dan dilawan. Mereka juga bersikap kritis terhadap aturan-aturan investasi WTO yang merugikan kepentingan bangsa-bangsa yang sedang membangun.

Meskipun demikian, bukanlah isu-isu yang terkait dengan dimensi ekonomi dan kebudayaan dari globalisasi yang dianggap sebagai suatu masalah oleh kaum revivalis. Yang membuat para revivalis berjalan terhuyung adalah pemahaman dan pendekatan mereka terhadap tradisi mereka sendiri, dan bagaimana seharusnya mereka berhubungan dengan "yang lain". Misalnya, kaum revivalis Hindu menekankan ritual dan simbol-simbol yang terkait dengan agama mereka. Membangun kuil, menghidupkan kembali upacara, upacara kuno atau menjamin bahwa sebuah ritual tertentu diamati dengan cermat, merupakan esensi iman bagi kaum revivalis. Pada saat yang sama, mereka dipaksa untuk menulis kembali sejarah India dengan tujuan untuk memberikan sebuah tempat yang sah bagi Hinduisme. Hal itu merupakan bagian dari upaya untuk memperbaiki kesalahan yang diduga dilakukan oleh umat Muslim, umat Kristen dan musuh-musuh agama yang lain terhadap umat Hindu. Karena arus utama dari koalisi penguasa di India adalah sebuah partai revivalis Hindu, Partai Bharatiya Janata, maka kaum revivalis berada dalam posisi untuk menerapkan setidak-tidaknya sebagian dari agenda mereka.

Sudah pasti, aktivitas BJP dan kaum revivalis menimbulkan beberapa keprihatinan di antara umat Muslim yang jumlahnya banyak dan minoritas kecil Kristen. Penghancuran masjid tertua di India, masjid Babri, di Delhi pada tahun 1992 adalah salah satu contoh kefanatikan yang dilakukan oleh kaum revivalis.[27] Kerusuhan agama yang menyusul setelah insiden Babri, pertama-tama di Delhi lalu di Bombay, yang meminta ribuan nyawa, memperlihatkan dalam semua keburukannya ancaman fanatisme agama terhadap masyarakat India. Ketakutan umat Muslim terhadap komunalisme Hindu juga dirasakan sampai tingkat tertentu oleh umat Kristen. Beberapa pembunuhan pengecut terhadap orang Kristen yang diduga dilakukan oleh orang Hindu hanya memperburuk rasa ketidakamanan mereka.

Revivalisme agama semacam ini dengan antipatinya yang nyata terhadap "yang lain," jelas tidak membantu dialog antar-keyakinan atau antar, peradaban. Hal itu hanya memperlebar jurang pemisah antar masyarakat. Sialnya, hal inilah yang juga terjadi di Pakistan, di mana elemen-elemen fanatik dari mayoritas Muslim sangat tidak berperasaan di dalam sikap mereka terhadap minoritas Kristen dan Hindu, dan di Sri Lanka, di mana sekelompok kecil biksu Buda berada di garis terdepan dari gerakan chauvinistik untuk mengurangi lebih jauh hak-hak minoritas Tamil.

Di Malaysia, situasinya agak berbeda. Secara keseluruhan, kaum revivalis Islam lebih akomodatif dalam pendekatan mereka terhadap minoritas non-Muslim, dibandingkan dengan kebanyakan negara lain di wilayah yang sama. Tetapi kaum minoritas membentuk hampir 40 persen dari keseluruhan penduduk. Kaum revivalis menyatakan minatnya untuk berdialog dengan mereka, meskipun dari pertemuan-pertemuan yang telah dilakukan, kaum revivalis nampaknya hanya tertarik untuk menyebarluaskan negara Islam versi mereka ke orang-orang non-Muslim. Mereka masih harus menghargai fakta sederhana bahwa inti dan dialog adalah mendengarkan dan belajar[28] ― mendengarkan cerita dan yang lain dan belajar dan pengalaman mereka.

Catatan perjalanan kaum revivalis di berbagai latar belakang Asia yang berbeda menunjukkan bahwa ketika berbagai kelompok kembali ke agama dan menyatakan kembali identitas mereka, maka ia tidak harus mengarah kepada hubungan antar-komunikasi yang lebih damai. Sebaliknya, ia bahkan dapat membuat situasi lebih buruk, terutama apabila terdapat kondisi-kondisi lain yang dapat menyebabkan konflik.


Alternatif yang Tersedia

Sementara terdapat kelompok-kelompok agama yang eksklusif dan komunal, juga terdapat kelompok lain, yang telah kita singgung, yang benar, benar memiliki komitmen kepada dialog antar-keyakinan dan antar-peradaban. Kelompok-kelompok tersebut mungkin memang sedikit tapi karena pandangan mereka bersifat inklusif dan universal, maka mereka memegang kunci kepada empati dan saling pengertian antar-peradaban di masa depan.

Terdapat dua ciri penting dari kelompok ini dan para individu yang terkait dengannya. Terlepas dan sikap inklusif mereka, mereka juga berupaya untuk memfokuskan diri pada dimensi substantif, yang berlawanan dengan dimensi simbolik, dari agama. Bagi mereka, keadilan dan kebebasan, cinta dan kasih sayang, persamaan dan integritas, kesederhanaan dan kerendah-hatian, pengendalian-diri dan disiplin, serta upaya untuk menerjemahkan nilai-nilai fundamental ini ke dalam hukum, kebijakan dan institusi, adalah esensi dari iman.[29] Ini bukan berarti bahwa mereka tidak mengapresiasi peran dari bentuk dan simbol, ritual dan praktik dalam agama. Mereka mengapresiasinya, tetapi mereka sadar bahwa makna dan pesan di balik simbol atau ritual itulah yang memberikannya kekuatan serta vitalitas.

Karena pendekatan mereka bersifat inklusif dan nilai-nilai yang mereka dukung tidak hanya bersifat universal, tetapi juga dapat dikenal oleh komunitas agama lainnya, berbagai kelompok dan individu ini akan benar-benar tenang dengan dialog antar-peradaban. Di hampir semua negara di Asia, terdapat berbagai kelompok seperti ini, meskipun pengaruh mereka terbatas. Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari universalisme agama ― yang berlawanan dengan revivalisme agama ― di Asia sekarang ini adalah Swami Agnivesh dari India, Ariyaratne dari Sri Lanka, Nurcholis Madjid dari Indonesia dan Uskup Labayan dari Filipina. Meskipun keempat individu ini berasal dari latar belakang agama yang berbeda, tetapi mereka berbicara dengan bahasa global yang sama ― tentang Tuhan yang merupakan Tuhan dari segalanya; tentang manusia yang menjadi wakil Tuhan dengan tanggung jawab suci untuk membela yang benar dan melarang yang salah; tentang nilai-nilai universal dan perenial sebagai dasar dan sebuah masyarakat etis; dan tentang hak-hak, tanggung jawab, peran serta hubungan yang diwarnai oleh nilai-nilai itu, yang memberikan harmoni dan keseimbangan kepada kehidupan manusia.

Visi alternati[30] para individu ini dan yang lainnya sesuai dengan pandangan beberapa pemimpin politik Asia yang menyadari pentingnya dialog antar-peradaban. Sebagai contoh, bekas Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, memulai dialog antara Islam dengan Kong Hu Cu pada tahun 1995. Sebelumnya, belum pernah ada pemimpin pemerintahan tingkat tinggi di Malaysia yang melakukan tugas seperti itu.[31] Anwar menyatakan dengan mengesankan bahwa:
Motif utama dari dialog antar-peradaban haruslah sebuah kehidupan bersama di tingkat global, sebuah pengalaman kehidupan bersama yang harmonis dan saling memperkaya antar masyarakat yang berbeda agama dan kebudayaan. Untuk memasuki sebuah tahap pertemuan yang lebih bermakna antara Asia dengan Barat, maka pertemuan itu haruslah di antara dua pihak yang setara, di antara berbagai ideal dan nilai yang dihargai, yang akan menjadi tantangan bagi harga diri dan prasangka kita.[32]

Pemimpin Asia lain yang juga berada di garis terdepan dari dialog antar-peradaban tentu Baja adalah Presiden Iran, Mohammed Khatami. Adalah dia yang mengusulkan agar PBB menyatakan tahun 2001 sebagai tahun dialog antar-peradaban. Dengan menunjukkan pengetahuan yang mendalam tentang isu-isu yang terdapat dalam dialog antar-peradaban, ia menyatakan di dalam kuliahnya kepada Organisasi Kebudayaan dan Pendidikan Ilmiah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tahun 1997:
Dengan jurang yang mengerikan antara yang kaya dan yang rniskin di berbagai masyarakat, bagaimana mungkin kita dengan naif dapat menyerukan perdamaian dan saling pemahaman? Bagaimana mungkin kita bisa menyerukan dialog apabila ketidaksetaraan ini masih tetap bertahan dan tidak ada langkah-langkah mendasar yang diambil untuk menolong orang-orang yang tertindas di dunia? ... Di ambang pintu milenium ketiga, takdir dunia kita akan sama untuk semua. Agar takdir ini bisa menjadi takdir yang adil dan menyenangkan, maka satu-satunya tindakan yang dapat diambil adalah sebuah dialog di antara berbagai kebudayaan dan peradaban. Kita harus ingat bahwa walaupun pada abad keduapuluh pedang masih berayun, dan beberapa orang menang sementara yang lainnya kalah dengan tiap ayunan dari pedang tersebut, abad berikutnya haruslah berkisar di sekitar dialog. Atau pedang ini akan muncul sebagai senjata bermata dua yang tidak akan memberikan ampun kepada siapapun juga, dan mungkin saja para penghasut perang yang kuat akan menjadi salah satu korban pertamanya.[33]

Pada permulaan milenium ketiga, dan di tahun dialog antar- peradaban, tampak terdapat pemerintah, Ornop dan individu yang benar- benar memiliki komitmen kepada tujuan mulia untuk menyatukan orang- orang dari berbagai agama, kebudayaan dan peradaban yang berbeda, atas dasar nilai-nilai moral dan spiritual yang universal dan dimiliki bersama. Tetapi terdapat berbagai rintangan. Sistem global yang berlaku sekarang ini adalah salah satunya. Selain itu, sikap komunal serta eksklusif dalam suatu masyarakat agama dan budaya juga merupakan rintangan.[34] Meskipun demikian, kenyataan yang menantang kita semua―semakin banyak masyarakat yang menjadi heterogen secara budaya; bangsa-bangsa menjadi semakin saling tergantung―tidak memberikan kita pilihan apapun. Apakah kita akan saling berdialog atau mati bersama. Itulah janji dan bahayanya.


AL-HUDA, Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam; Vollume II, Nomor 6, 2002.
*. Diterjemahkan oleh Zaki Muhammad Hussein dari Multi-Civilisational Asia.


Catatan Kaki:

1. Untuk pemikiran Syahrastani, lihat Bruce Lawrence, Shahrastani on the Indian Religions (Moulton, Moulton & Co., 1976).
2. Dikutip dalam Kamar Oniah Kamaruzaman, "Early Muslim Scholarship in Religionswissenschaft: A case study of the Works and Contributions of Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad Al-Biruni," Disertasi untuk gelar Doktor Filsafat (Kuala Lumpur: Instiitut Peradaban dan Pemikiran Islam Internasional (ISTAC) 1996), hlm. 58.
3. Lihat Martine Kramer, "Islam's Sober Millennium" Commentary (Petaling Jaya: Gerakan Interna.sional untuk sebuah Dunia yang Adil) No. 43, Seri Baru, Desember 2000.
4. Untuk analisis terhadap perdagangan di antara Cina dan Asia Tenggara lihat Wang Gungwu, Community and Nation: Essays on Southeast Asia and the Chinese (Kuala Lumpur/Hong Kong: Heinemann Educational Books (Asia) Ltd) terutama bab tentang "Early Ming Relations with Southeast Asia", "China and Southeast Asia 1402-1424" dan "Tne Opening of Relations between China and Malacca 1403-1405".
5. Lihat karya saya "Religious Conflict in Asia" dalam Rights, Religion & Reform (London: Curzon 2001) akan terbit.
6. Dasar filosofis dan ideologis dari universalisme dan pluralisme dalam Islam dibahas di Farid Esack, Quran Liberation and Pluralism (Oxford: One World 1997) dan Muddathir "Abd a-Rahim "Islam and Non-Muslim Minorities" Monograf (Penang: Just World Trust, 1997)
7. Beberapa aspek permasalahan komunal dalam masyarakatpasca-kolonial dibahas dibanyak tulisan K.M. De Silva. Sebagai contoh lihat karyanya Reaping the Whirlwing (India: Penguin Books, 1998).
8. Untuk sebuah kajian terhadap dampak dominasi kolonial Barat atas Asia lihat K.M. Panikkat; Asia and Western Dominance (Kuala Lumpur: The Other Press, 1993).
9. Marjinalisasi kebudayaan non-Barat pada epos kolonial dianalisa dalam Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books 1979).
10. Lihat karya saya "Cultures Under Attack" Fokus ISIS (Kuala Lumpur: Institut Kajian Intemasional dan Strategi, 1997) Edisi no. 144 7/1999.
11. Daya tahan ASEAN dibahas dalam ASEAN Towards 2020 Strategic Goals and Future Directions, Stephen Leong (editor) (Kuala Lumpur: ISIS Malaysia, 1998).
12. Pusat Dialog Antar-Peradaban di Universitas Malaya adalah salah satu dari mereka. Didirikan pada bulan Maret 1977, Pusat menawarkan program pra-sarjana dan pasca-sarjana yang bertujuan untuk memperkuat pemahaman tentang isu-isu utama dalam dialog antar-peradaban pada zaman globalisasi.
13. Sisi gelap dari globalisasi dikedepankan oleh Richard Falk, Predatory Globalisation A Critique (AS: Polity Press, 1999).
14. Lihat Titus Alexander, Unravelling Global Apartheid (Inggris: Polity Press, 1996).
15. Lihat David C. Korten, When Corporations Rule the World (AS: Kumarian Press, 1995).
16. Lihat Hans-Peter Martin dan Harald Schumann, The Global Trap: Globalisation and the Assault on Prosperity and Democracy (London: Zed Books, 1997).
17. Lihat karya saya "Globalisation and Religion: Some Reflections" dalam Globalisation: the Perspectives and Experiences of the Religious Traditions of Asia Pacific, Joseph A. Camilleri & Chandra Muzaffar (editor) (Petaling Jaya: Gerakan Intemasional untuk sebuah Dunia yang Adil, 1998). Lihat juga karya saya "The Global Rich and the Global Poor: Seeking the Middle Path", Commentary (Petaling Jaya: Gerakan Intemasional untuk sebuah Dunia yang Adil) No. 40 (Seri Baru) September 2000.
18. Ini merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Susan Strange, Casino Capitalism (Manchester: University Press 1997).
19. Hal ini dibahas dalam karya saya "The Economic Crisis", Rights, Religion and Reform (London: Curzon 2001), akan terbit.
20. Perspektif Asia tentang hak asasi manusia dikedepankan dalam Debating Human Rights Critical Essays from the United States and Asia, Peter Van Ness (Editor) (London: Routledge, 1999).
21. Pokok permasalahan ini dengan jelas diartikulasikan oleh Mahatma Gandhi beberapa dasawarsa yang lalu. Lihat komentarnya dalam UNESCO, Human Rights: Comments and Interpretations (London: Allan Wingate, 1949).
22. Lihat Richard Falk, Human Rights Horizons (New York/London: Routledge, 2000).
23. Terdapat beberapa pembahasan tentang kecenderungan ini dalam Cess J. Hamelink, Trends in World Communication (Penang: Southbound/Third World Network, 1994).
24. Richard Falk, Predatory Globalisation, op. cit.
25. Revivalisme agama dalam konteks Islam di Malaysia adalah topik dari buku saya, Islamic Resurgence in Malaysia (Petaling Jaya: Fajar Bakti, 1987).
26. Permasalahan identitas dalam masyarakat kontemporer dibahas dalam Ziauddin Sardar, Postmodernism and the Other (London/Chicago/Illinois: Pluto Press, 1998).
27. Lihat beberapa artikel di "Communique" (Hong Kong: ARENA 1993) No. 19 & 20, November 1993, untuk sebuah kajian terhadap politik komunal yang muncul dari insiden Babri.
28. Ini merupakan sebuah pandangan yang dengan baik diungkapkan oleh Leonard Swindler,"The Age of Global Dialogue", Prajna Vihara (Bangkok: Universitas Asumsi) The Journal of Philosophy and Religion, Vol. no. 2 Juli-Desember 2001.
29. Lihat karya saya "Religion in Asia Pacific Region: the Challenge Without"; the Change Within Religion and Culture in Asia Pacific:: Violence or Healing? Joseph A. Camilleri (Editor) (Melbourne: Vista Publications, 2001).
30. Sebuah analisis yang tajam terhadap visi spiritual alternatif semacam ini dapat dilihat dalam Fred Dallmayr, Alternative Visions: Paths in the Global Village (Lanhan/Boulder/New York/Oxford: Rowman and Littlefield Publishers, Inc. 1998).
31. Meskipun Anwar memulai dialog, tetapi pemerintah tidak meneruskannya. Ini merupakan salah satu akibat dari pemenjaraannya sejak September 1998. Ia dihukum karena dua tuntutan yang terpisah, yaitu tuntutan sodomi dan intervensi di pengadilan dalam kaitannya dengan dugaan kejahatan seksual, serta sekarang menjalani hukuman penjara 15 tahun. Pemenjaraannya, baik di dalam negeri maupun secara internasional, dianggap sebagai tindakan politis, bertujuan untuk menganiaya seorang pemimpin politik yang melakukan dosa besar menantang ketuanya, yaitu Perdana Menteri Malaysia yang sudah lama menjabat, Dr, Mahathir Mohamad.
32. Anwar Ibrahim, The Asian Renaissance (Singapura/Kuala Lumpur: Times Books International, 1996), hlm. 45.
33. Lihat Mohammad Khatami, Islam, Dialogue and Civil Society (Canberra: Pusat Kajian Islam dan Arab, Universitas Nasional Australia, 2000), hlm. 34.
34. Permasalahan agama dan globalisasi dibahas secara komprehensif dalam Richard Falk, Religion and Humane Global Governance (New York: Palgrave, 2001).

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: