Kuliah Pertama : PENDAHULUAN
CARA MEMBUAT DEFENISI
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul tersebut.
Karena manusia itu memiliki dua jenis ilmu pengetahuan (ma’lûm), yaitu tashawwuri (gambaran) dan tashdiqi (penegasan), maka kebodohan juga terbagi menjadi dua : majhul tashawwuri (kebodohan pada gambaran) dan majhul tashdiqi (kebodohan dalam penegasan). Untuk dapat mengetahui hal-hal yang majhul tashawwuri, maka kita membutuhkan ma’lûm tashaswwuri. Pencarian majhul tashawwur tersebut dinamakan “had” (batasan) atau “ta’rif” (defenisi).
Had/ta’rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan “apa?”. Karenanya defenisi hanya berlaku pada esensi (mahiyah) tidak pada eksistensi (wujud). Artinya, Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya “apa itu?”. Pertanyaan itu membawa kita pada persoalan esensi dan hakikat sesuatu. Jawaban dan keterangan yang diberikan atas pertanyaan itulah yang disebut adalah had atau ta’rif (definisi).
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar tentang sesuatu, bukan mendefenisikan sesuatu.
Dengan demikian, ketika seseorang menanyakan tentang pengertian suatu istilah (defenisi), maka ada beberapa hal yang terkait, yaitu arti kata secara leksikal (etimologi); arti kata menurut penggunaanya (terminology); dan hakikat dari sesuatu yang disebut dengan kata itu.
Untuk menjawab pertanyaan arti kata secara leksikal kita bisa merujuk kamus dan pada tahap ini kita akan menemukan berbagai arti kata yang semuanya bisa saja benar. Bagitu pula pada makna terminologis, di mana kita dapat melihat pada contoh-contoh penggunaannya dalam konteks-konteks atau konsep-konsep tertentu, misalnya dalam pembahasan ahli bahasa, ahli fikih, ahli logika, dan lainnya. Jawaban yang dihasilkan disebut dengan ‘pengertian verbal.’ Adapun untuk merujuk pada hakikat sesuatu, maka akan berhubungan dengan kajian mantiq (logika) dan esensi sesuatu (filsafat). Pada tahap ini, kebergandaan makna kata dihilangkan.
Untuk itu, dalam mancari makna dari sesuatu hendaklah didahului dengan mencari makna verbalnya, kemudian makna dalam penggunaanya barulah mengkaji pengertian nyata dari rujukan kata tersebut. Kesimpulannya, menurut para ahli mantiq pada dasarnya defenisi itu ada tiga jenis, yakni:
1. Defenisi lafzhi (kata) yaitu defenisi yang hanya merupakan kata yang sama atau senyawa dengan yang didefenisikan (sinonim).
2. Defenisi had yaitu defenisi yang memberikan batasan bagi yang didefenisikan karena menggunakan hakikat esensi yang didefenisikan.
3. Defenisi Rasm yaitu defenisi yang menggambarkan sifat (aksiden) dari yang didefenisikan.
Perlu diketahui bahwa setiap definisi bergantung pada kulli (universalia) yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri yang biasa disebut “kulliyat al–khamsah” (lima yang universal),[1] yaitu sebagai berikut :
1. Nau’ (spesies) yaitu kulli yang mencakup keseluruhan ekstensinya (mishdaq).[2] Artinya spesies adalah sesuatu yang menjadi keterangan dari sejumlah individu yang masuk di dalamnya. Contohnya : Spesies ‘manusia’ yang ekstensinya seperti ‘Candiki’, ‘Rusdi’, ‘Udin’, dan individu-individu lain yang tak terhingga.
2. Jins (genus, jenis) yaitu kulli yang hanya menerangkan sebagian hakikat ekstensi. Dalam filsafat, genus menunjukkan sebuah kategori mengenai objek-objek yang mempunyai cirri esensial yang sama dan berbeda dalam cirri yang bersifat aksidental. Aristoteles mendefenisikan genus sebagai ‘sesuatu yang dikatakan menurut esensi dari banyak hal yang berbeda secara speifik’. Menurut scolastik genus adalah ‘kelompok yang dapat dibagi atas subkelompok-subkelompok’ atau ‘kelompok yang dapat dibagi atas spesies-spesies’. Misalnya, genus ‘binatang’ yang teridiri atas banyak spesies seperti ‘manusia’, ‘kambing’, ‘kuda’, dan lainnya.
3. Fashl (diferentia, pembeda) yaitu kulli yang merupakan bagian hakikat, namun sekaligus merupakan garis pemisah bagi ekstensinya sehingga terbedakan dari ekstensi lain. Keterangan pembeda ini jika dikombinasikan dengan genus akan menghasilkan defenisi. Misalnya, ‘berpikir’ yang merupakan fashl (pembeda) manusia dari selainnya.
4. ‘Aradh ‘aam (common accidens, sifat umum) yaitu kulli yang tidak merupakan bagian hakikat ekstensinya, tetapi hanya merupakan sifat (aksiden)[3] yang bahkan tidak khusus bagi masing-masing ekstensinya; memiliki ekstensi yang banyak di luar akal. Misalnya, ‘berjalan tegak’ yang menjadi sifat manusia, tetapi ada juga pada selain manusia.
5. ‘Aradh khas (proper accidens, sifat khusus) yaitu kulli yang walaupun tidak termasuk hakikat bagi ekstensinya, namun hanya dapat diterapkan pada ekstensi itu saja. Misalnya, ‘tertawa’ yang khas manusia meskpun bukan hakikat manusia, dan tidak ada pada selain manusia.
Melalui kulliyat al-khamsah di atas maka ada empat cara membuat defenisi, yaitu :
1. Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah “Hewan yang berpikir”. “Hewan” adalah jins manusia, dan “berpikir” adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
2. Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja atau fashl saja. Misal: “Manusia adalah hewan” atau “Manusia adalah yang berpikir”. Hewan adalah jins dan berpikir yang merupakan fashl.
3. Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan ‘ardh khas. Misal: “Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa”. “Maujud yang berjalan”, “tegak lurus” dan “tertawa” bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden, namun hanya manusia yang berjalan tegak lurus dan tertawa.
4. Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan ‘ardh ‘âm, misalnya, “Manusia adalah wujud yang berjalan”.
Dari keempat model defenisi di atas yang paling sempurna adalah defenisi dengan had tam. Hanya saja untuk mendapatkannya perlu kecermatan dan ketelitian dalam masalah-masalah filsafat untuk mendapatkan salah satu dari kulliyat al-khamsah yang menjadi acuannya secara keseluruhan.
Membuat defenisi adalah bukan suatu hal mudah, karenanya untuk membuat defenisi yang benar diperlukan syarat atau aturan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Harus Muththorid[4]-mun’akies (jami’-mani’).
2. Perkataan yang digunakan harus lebih jelas.
3. Harus ada persenyawaan atau persamaan antara yang mendefenisikan dan yang didefenisikan.
4. Tidak menggunakan kata-kata majaz (kiasan) tanpa qarinah (ciri/tanda).
5. Tidak menggunakan kata yang musytarak (ambigu) yang memiliki arti lebih dari satu
6. Tidak menggunakan kata yang sama dengan yang didefenisikan.
PENGERTIAN FILSAFAT
Menurut tuturannya filsafat berasal dari kata Philosophia yang digunakan oleh bangsa Yunani untuk arti cinta pada kebijaksanaan. Ini karena, kata philosophia itu terdiri dari dua kata pula yakni ‘philo’ yang artinya cinta dan ‘shopia’ yang berarti kebijaksanaan. Di Barat dalam tradisi bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Philosophy yang bermakna love of wisdom.
Adapun dalam tradisi Islam yang menggunakan bahasa Arab, maka kata philosophia mengalami arabisasi yang diterjemahkan menjadi falsafah dalam bentuk mashdar (kata benda-kerja) untuk menunjukkan usaha kajian yang dilakukan para filosof. Asal penggunaan kata filsafat ini, umumnya dirujukkan pada penentangan Socrates atas sekelompok orang yang mengaku sebagai sophos (bijaksana; cendekiawan), tetapi sering melakukan ‘penyesatan’ melalui kesimpulan pemikiran yang ‘akal-akalan’. Dari kata ini pula, kita mengenal istilah sophistry (cara berpikir yang menyesatkan), yang dalam bahasa Arab disebut dengan safsathah.[5] Karena fenomena ini, Socrates tidak ingin menyebut dirinya sebagai sophos, maka sebagai identitasnya, ia menyebut dirinya filosof (pecinta kebijaksanaan).
Adapun secara teknis penggunaannya, pemaknaan terhadap filsafat telah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pada awalnya ia berarti meliputi segala pengetahuan hakiki manusia sehingga mendapat gelar sebagai induk dari semua ilmu (mother of the science). Plato (427-347) misalnya mendefenisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala yang ada. Sedangkan Aristoteles memaknai sebagai pengetahuan akan sebab dan dasar segala benda. Begitu pula dalam Tradisi Islam filsafat didefenisikan sebagai pengetahuan manusia tentang wujud (yang ada) seperti yang dinyatakan al-Kindi, al-Farabi dan juga Ibnu Sina. Namun, perlu diperhatikan, filosof Muslim juga memberikan padanan kata filsafat dengan hikmah (kebijaksanaan) yang lebih bersifat islami.[6]
Tidak jauh berbeda, pada Abad pertengahan, filsafat juga mencakup segala ilmu pengetahuan termasuk ilmu-ilmu konvensional seperti bahasa dan retorika. Akan tetapi, memasuki masa renaissance dan abad modern, pemaknaan filsafat mulai bergeser pada hal-hal yang dianggap tidak empiris (inderawi). Artinya, pada saat itu telah dipisahkan antara ilmu (science) dan filsafat (philosophy), ilmu bersifat ilmiah dan berhubungan dengan hal-hal yang terindera (empiris), sedangkan filsafat berkaitan dengan hal-hal yang tidak terindera (non-empiris). Pada tahap ini filsafat memiliki embel-embel tambahan seperti filsafat ilmiah, filsafat politik, filsafat moral, filsafat hukum, dan lainnya, bahkan ada pula kajian filsafat ilmu. [7]
Jadi, di masa klasik filsafat itu memiliki dua makna. Pertama, pengertian umum dari pengetahuan rasional sebagaimana adanya, meliputi semua ilmu pengetahuan kecuali yang diperoleh melalui jalan wahyu. Kedua, pengertian khusus yang menyangkut teologi atau filsafat pertama.[8]
Namun jika diselediki dengan cermat, maka filsafat pada dasarnya membahas tentang wujud dari sisi wujudnya (maujud bi ma huwa maujud). Sedangkan secara umum dapat didefenisikan sebagai usaha intelektual manusia dengan menggunakan rasio untuk membahas keberadaan (maujud) sesuai keberadaan (maujud) tersebut; Membahas keadaan-keadaan maujud mutlak; dan memaparkan hukum-hukum umum kemaujudan.[9]
Dengan defenisi di atas, berarti filsafat kembali pada makna awalnya yang meliputi segala pengetahuan manusia baik tentang hal-hal yang terindera maupun yang tidak terindera, yang mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti logika, epistemologi, ontologi atau metafisika, teologi, psikologi teoritis, estetika, etika, dan juga politik.[10]
BEBERAPA KRITIK TERHADAP PEMAKNAAN FILSAFAT
Sesuai dengan perkembanagn pemikiran di atas, maka filsafat juga mengalami pelbagai pemaknaan. Tetapi, beberapa pemaknaan yang diberikan tidaklah sesuai dengan kriteria pendefenisian dan pembahasan filsafat itu sendiri. Di bawah ini kta akan mengkritisi beberapa pemaknaan filsafat yang kurang sesuai, diantaranya sebagai berikut :
1. Filsafat tidaklah bisa disamakan maknanya dengan metafisika[11] dalam arti transphysical (sesuatu yang berada di luar alam fisik) sebab filsafat berhubungan dengan yang terindera dan yang tidak terindera, dengan alam dan dengan yang di luar alam. Yang dapat diterima adalah bahwa metafisika bagian dari kajian filsafat.
2. Memaknai filsafat sebagai lawan dari ilmu empiris juga tidak dapat dibenarkan sebab hal ini merendahkan filsafat dan akal. Label ‘ilmiah’ pada filsafat (filsafat ilmiah) juga tidak memberikan keunggulan apapun. Klaim bahwa prinsip-prinsip filsafat seperti materialisme dialektika berasal dari hukum-hukum empiris adalah keliru, lantaran tiada hukum-hukum suatu ilmu empiris yang dapat digeneralisasikan pada ilmu lain, apalagi pada seluruh eksistensi.
OBJEK KAJIAN FILSAFAT
Umumnya kita cenderung pada hal-hal yang terindera untuk mengakui keberadaan sesuatu. Padahal, banyak pertanyaan yang muncul di dalam benak yang berurusan dengan hal-hal tak terindera, dan tidak mungkin untuk dijawab dengan menggunakan ilmu-ilmu empiris. Misalnya, masalah kehidupan setelah kematian; hakikat kehidupan (ruh); kebebasan dan tanggungjawab; atau masalah keberadaan Tuhan.
Fakta ini mengindikasikan adanya metode selain empiris (inderawi) yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Itulah metode rasional yang memiliki nilai lebih daripada ilmu-ilmu empiris, karena disamping mampu membahas hal-hal yang terindera, ia juga mampu menuntaskan hal-hal yang tidak terindera (non-empiris). Dari sini muncul persoalan yang lebih universal menyangkut keberadaan (eksistensi; wujud), yakni Apakah keberadaan hanya bersifat material, atau juga bersifat non-material? Ilmu-ilmu empiris tidak dapat memberikan jawaban yang positif maupun negatif terhadap persoalan ini. Karenanya, kita membutuhkan nalar akal untuk memberikan jawaban yang tepat, yang hal itu terumuskan dalam disiplin pengetahuan manusia yang disebut filsafat.
Dalam analisa Aristoteles, filsafat merupakan refleksi atas semua yang ada, seluruh realitas. Kekhususan filsafat dalam menganalisa seluruh realitas ialah mencari sebab-sebab yang terdalam. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu mengenai prinsip-prinsip dasar. Karenanya objek material filsafat ialah seluruh realitas, sedangkan objek formalnya ialah sebab-sebab yang terdalam dari seluruh realitas.[12] Pandangan ini didukung oleh Cicero, Hegel, dan juga Whitehead. Bagi Cicero, filsafat merupakan studi tentang sebab-sebab insani dan ilahi dari semua hal. Sedangkan Hegel, filsafat sebagai usaha memahami Yang Mutlak. Adapun Whitehead menekankan tugas filsafat sebagai usaha menyiapkan sebuah uraian organik atas alam semesta (universe).[13] Martin Heidegger juga menegaskan bahwa ‘keberadaan’ bersifat universal, aktual dan bereksistensi. Karenanya, sebagai objek kajian filsafat (metafisika), ia menyangkut semua realitas dalam semua bentuk dan menifestasinya, tidak dipersoalkan apakah bersifat inderawi atau non-inderawi.[14] Hal ini juga dibenarkan oleh Louis Kattsoff yang menyatakan bahwa objek kajian filsafat meliputi segala pengetahuan manusia tentang apa pun yang ada.
Dengan demikian, objek/subjek kajian filsafat (disebut objek material) adalah hal yang paling universal yang berlaku bagi segala sesuatu, yaitu ‘yang ada mutlak’ (maujud mutlak; ens). Karena objek kajiannya adalah ‘yang ada mutlak’ maka filsafat meliputi seluruh jenis ilmu pengetahuan manusia untuk membincangkan yang ada sebagaimana adanya, maujud qua maujud; ens in quantum ens (disebut objek formal).[15]
Akan tetapi untuk mempermudah pengajaran, umumnya persoalan filsafat diklassifikasikan menjadi tiga masalah, yakni :
1. Epistemologi meliputi makna ilmu, pembagian ilmu, klassifikasi ilmu, sumber ilmu, nilai kebenaran ilmu, dll. Hal ini karena filsafat berhubungan dengan argumentasi rasional, maka perlu ada standarisasi yang gamblang untuk menilai argumentasi, menyelidiki kemampuan persepsi akal dan nilai kebenarannya.
2. Ontologi meliputi Eksistensi (wujud) dan Esensi (mahiyah) serta hukum-hukumnya. Ini merupakan persoalan utama filsafat karena berhubungan langsung dengan kajian wujud. Pengkajian yang akurat pada persoalan ontologi melandasi semua pengetahuan manusia dan objek-objek kajiannya.
3. Aksiologi meliputi pemanfaatan ilmu. Hal ini karena filsafat secara umum dibagi dua yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Jika yang teoritis berhubungan dengan pengetahuan yang benar, maka yang praktis menyangku tindakan yang benar. Namun perlu diperhatikan, bukan tindakan itu yang disebut filsafat teoritis, melainkan masalah tentang apa yang semestinya dilakukan.
PEMBAGIAN FILSAFAT
Secara umum filsafat terbagi dua, yakni :
1. Filsafat Teoritis (al-falsafah al-nazhariyah) yang mengkaji sesuatu sebagaimana adanya. Filsafat teoritis ini terdiri atas tiga bagian yaitu metafisika/teologi (terdiri dari dua bagian: metafisika umum dan teologi), matematika (terdiri dari empat bagian: aritmatika, geometri, astronomi, musik), dan ilmu-ilmu kealaman (al-ilm al-thabi’i).
2. Filsafat Praktis (al-falsafah al-amaliyah) yang membahas tentang berbuat sesuatu sebagaimana mestinya yang terdiri atas etika (ilmu akhlak), ekonomi domestik, dan kewarganegaraan (politik; al-madaniyah).
TUJUAN FILSAFAT
Tujuan Mempelajari filsafat adalah mengetahui wujud dan membedakannya dari yang tidak wujud secara sebenarnya. Begitu pula untuk mengetahui sebab-sebab keberadaan, khususnya sebabnya para sebab, dan mengenal asma-asma-Nya yang husna (indah) serta sifat-sifat-Nya yang tinggi, yaitu Allah.
Dapat disimpulkan sebagai mana disebutkan oleh al-Kindi, bahwa filsafat membawa manusia untuk menemukan kebenaran sejauh ilmu dan bertindak yang benar sejauh amal (fi ilmihi ishabat al-haq, wa fi amalihi al-amal al-haq).[16]
MANFAAT FILSAFAT
Wajib al-wujud melarang kita berbuat sia-sia, termasuk berpikir yang sia-sia. Orang seperti ini direndahkan derajatnya oleh Tuhan setingkat dengan binatang bahkan lebih sesat lagi (bal hum adhal). Karena itu, seorang filosof yang bertujuan mencari dan mengamalkan kebenaran, jelas tidak ingin tindakannya bernilai sia-sia. Untuk itu, beberapa manfaat bisa disebutkan di bawah ini :
1. Memberikan ketelitian manusia dalam berpikir. Berpikir merupakan aktivitas utama manusia yang membedakannya dari binatang. Karena diri manusia mengandung tidak saja akal, tetapi banyak unsur lainnya seperti ruh, nafsu, dan hati, maka dalam proses berpikir terkadang manusia mengalami kesulitan dan terjebak dalam kesalahan-kesalahan, untuk itu filsafat membantu manusia dalam analisis berpikir. Descartes menekankan bahwa filsafat mengajar kita untuk berpikir atau bernalar dengan baik.
2. Memperkuat keyakinan dan keberagamaan. Sebuah kemajuan agama dan ilmu tidak akan tercapai tanpa filsafat. Sebab wawasan kemandirian dalam suatu penyelidikan sulit dibentuk, karena tanpa berpikir filosofis keyakinan dan rasa percaya diri akan sulit diwujudkan. Filsafat adalah sebuah model berpikir yang membahas berbagai hal untuk melahirkan temuan-temuan matang dan rumus-rumus tentang realitas yang sangat berguna untuk membangun keyakinan dan keberagamaan manusia. Keberagamaan kita cenderung keberagamaan yang tidak filososofis. Memang harus diakui, nasehat yang baik akan lebih mudah diterima dan dipahami dari pada argumentasi yang benar. Inilah proyek “menghidupkan kembali pemikiran filosofis” (ihya ulum al- falasifah).
3. Membangun paradigma dan ideologi. Sebab paradigma adalah asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban seperti misalnya sains dan teknologi. Dalam sains, paradigma berarti asumsi-asumsi filosofis yang diyakini ilmuan secara umum dalam usaha mengkaji sesuatu. Karena dikatakan sebagi asumsi-asumsi filosofis maka ia mengandung asumsi metafisis, ontologis, epistemologis, aksiologis, visi, bahkan sistem nilai. Dengan filsafat, paradigma dan ideologi akan terbentuk dengan kokoh sehingga menjadi acuan dan benteng bagi keyakinan-keyakinan yang benar.
4. Memperluas cakrawala pandang bagi pemuasan kebutuhan dan rasa ingin tahu. Cuorisity (rasa ingn tahu) merupakan bagian integral dari diri manusia, yang mana manusia tidak pernah puas dengan jawaban-jawaban dangkal. Untuk itu filsafat mengisi kekosongan itu sehingga nalar manusia mendapatkan “gizi” yang memadai.
5. Menyiapkan landasan bagi kesempurnaan manusia. Filsafat memberikan manusia landasan dalam berpikir dan bertindak menyangkut semua realitas, khususnya Relitas Tertinggi (ultimate realitry) yakni Tuhan. Dengan mengetahui karakteristik Tuhan dan keharusan praktis manusia, maka filsafat akan membimbing manusia menempuh jalan spiritual menggapai cakrawala kesempurnaan insani.
CIRI KHAS PEMIKIRAN FILSAFAT
Berfilsafat itu murni kerja akal, karenanya ciri khas pemikiran filsafat juga dapat dilihat dari kekhususan kerja akal dan hasilnya. Diantara ciri khas filsafat adalah :
1. Argumentasi dan pemecahan masalahnya melalui jalan rasional (logis). Ini berarti konsep-konsep filsafat sama sekali tidak diperoleh melalui panca indera.
2. Penyimpulannya bersifat universal. Filsafat menangani penegasan (assertion) prinsip-prinsip pelbagai ilmu, karenanya semua ilmu membutuhkan filsafat.
3. Membahas sampai kehakikat permasalahan (wujud). Filsafat merupakan patokan manusia untuk memisahkan hal-ihwal yang benar-benar nyata dan hakiki dari hal-hal yang bersifat waham dan dugaan (ilusi).
HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN SAINS
Pada saat ini, ilmu telah terbagi-bagi dalam berbagai cabang dan diklassifikasikan secara sistematis berdasarkan pada berbagai standar dan tolok ukurnya seperti berdasarkan metode dan prosedur penelitian, berdasarkan tujuannya atau berdasarkan objek kajian dan pokok masalahnya.
Karena filsafat tidak terbatasi pada satu kajian dan sesuai universalitas objeknya, sedangkan sains berkaitan dengan hal-hal yang partikular, maka filsafat pada dasarnya menjadi payung yang menaungi berbagai cabang pengetahuan manusia. Karenanya hubungan antara filsafat dan sains bersifat universal-partikular, artinya filsafat memberikan landasan bagi seluruh persoalan sains dan sains membuktikan secara partikular dan individual apa-apa yang dicapai dalam filsafat.
Secara umum hubungan filsafat dengan sains dapat dikategorikan pada dua hal yaitu
a). Menjadi landasan bagi sains dengan menjelaskan prinsip-prinsip asertif (penegasan) sains atau
b). Mengisbatkan (eksistensi) subjek-subjek non-swabukti dan prinsip-prinsip positif mereka yang paling umum. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Sebagai penetapan (eksistensi) subjek ilmu. Hal ini karena semua ilmu berporos pada suatu subjek yang meliputi sekian pokok masalah ilmu tersebut. Maka apabila subjek ilmu tersebut tidak swabukti (aksiomatis; badihi), maka ia harus diisbatkan (dibuktikan) terlebih dahulu melalui premis-premis universal dan metafisis. Isbat subjek ilmu tidak termasuk dalam lingkup masalah-masalah ilmu itu sendiri. Pasalnya, masalah-masalah ilmu terbatas pada proposisi-proposisi yang memaparkan pelbagai keadaan dan aksiden subjeknya, dan bukan eksistensi subjeknya. Bahkan, pada sebagian besar kasus, penetapan (eksistensi) suatu objek melalui metode penelitian yang dimiliki ilmu itu tidaklah mungkin adanya.Misalnya, metode ilmu-ilmu alam bersifat empiris, sementara eksistensi sejati subjek ilmu-ilmu tersebut mau tidak mau mesti dibuktikan secara rasional. Pada kasus seperti ini, hanya filsafat pertama yang bisa membantu ilmu-ilmu itu dan mengisbatkan subjek-subjek mereka dengan bukti rasional.
Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa sains dapat memberikan pengisbatan beberapa bukti ilmu kefilsafatan secara tidak langsung. Artinya, sebenarnya filsafat murni bisa saja melakukan pengisbatan tersebut melalui premis-premis swabukti primer dan berdasarkan pada kesadaran (pengetahuan presentasional). Misalnya, pembuktian tentang ruh, pembuktian tentang gerak, atau pun pembuktian tentang Tuhan, bisa dilakukan melalui sains seperti biologi, fisika, kimia, atau kosmologi. Akan tetapi juga dapat pula dibuktikan langsung melalui nalar filsafat.
2. Pengisbatan prinsip-prinsip positif, artinya filsafat pertama mengisbatkan prinsip-prinsip paling umum yang dibutuhkan semua ilmu hakiki. Paling penting diantaranya adalah prinsip sebab-akibat (kausalitas) dan hukum-hukum cabangnya. Hal ini karena, semua upaya ilmiah berkisar pada penemuan hubungan-hubungan kausal antara berbagai hal dan gejala. Para ilmuan seperti ahli kimia, fisika, atau ahli kedokteran, menghabiskan waktunya meneliti semesta hanya untuk menemukan hubungan sebab-akibat pada fenomena-fenomena yang terjadi. Namun, perlu diketahui, prinsip sebab-akibat itu tidak mungkin dibuktikan dalam sains karena prinsip sebab akibat berpijak pada rasionalitas, karenanya prinsip tersebut harus diisbatkan melalui nalar filsafat.
Akan tetapi sains juga dapat memperluas medan analisis filsafat dan menghasilkan serta menjabarkan perkara-perkara atau hukum-hukum tertentu yang mengemuka dalam cakrawala baru. Fenomena ini memperkaya kajian filosofis dan merangsang para filosof untuk melakukan komparasi dan menghasilkan prinsip atau rumusan-rumusan baru yang lebih bersifat universal.[17]
Merujuk pada penjelasan di atas, maka kekeliruan terbesar dari Barat adalah terpisahnya sains dari filsafat. Hal ini terjadi akibat, perubahan linguistic yang menyangkut konvensi penggunaan kata telah disalahartikan sebagai perubahan makna yang berkaitan dengan keadaan yang sebenarnya. Padahal, pada masa klasik, filsafat dimaknai sebagai pengetahuan rasional murni yang meliputi semua ide intelektual. Ini berarti, filsafat merupakan kata generik, bukan kata benda, dan bukan sebuah nama. Namun, pada abad modern, perubahan makna dalam nama-nama seperti metafisika, teologi, ilmu alam, dan sebagainya, telah menimbulkan anggapan bahwa filsafat hanya merupakan sejenis ilmu.[18] Padahal perubahan makna dalam nama ini tidak ada kaitannya dengan perpisahan sains dari filsafat. Sains tidak pernah merupakan bagian dari filsafat sehingga tidak mungkin sains bisa terpisah dari filsafat[19].
Dari uraian di atas terlihat bahwa filsafat lebih mendasar dari sains, bahkan lebih istimewa dari sains. Keistimewaan filsafat dibandingkan dengan sains diantaranya adalah :
1. Filsafat bersifat universal dan umum sedangkan sains bersifat parsial.
2. Filsafat menggunakan deduksi (silogisme rasional) atau demontrasi (burhan) yang pasti sedangkan sains menggunakan analisis empiris melalui induksi yang bersifat dugaan.
3. Filsafat merupakan induk dari segala ilmu (sains), sebab semua sains bergantung padanya, sebaliknya filsafat tidak mempunyai ketergantungan semacam itu pada sains.
4. Filsafat menggunakan proposisi-proposisi primer sedangkan ilmu empiris bermuara pada proposisi sekunder. Meskipun begitu tidak semua metode empiris bertentangan dengan metode deduktif.
5. Sains dengan metode empirisya membutuhkan dan berdasarkan pada deduktif yang merupakan metode filsafat.
KESIMPULAN
1. Filsafat merupakan usaha intelektual manusia dengan menggunakan rasio untuk membahas keberadaan (maujud) sesuai keberadaan (maujud) tersebut; membahas keadaan-keadaan maujud mutlak; dan memaparkan hukum-hukum umum kemaujudan. Sesuai dengan defenisi ini, maka objek kajian filsafat adalah wujud (eksistensi) sebagaimana ia wujud.
2. Dikarenakan universalitas objeknya, filsafat menduduki posisi sebagai induk pengetahuan (mother of the science) yang bercirikan rasional, radikal, dan universal. Hubungan antara filsafat dan sains bersifat universal-partikular, artinya filsafat memberikan landasan bagi seluruh persoalan sains dan sains membuktikan secara partikular dan individual apa-apa yang dicapai dalam filsafat.
3. Filsafat dibagi pada dua macam. Pertama, filsafat teoritis yang terdiri dari metafisika, matematika, dan ilmu alam. Kedua, filsafat praktis yang terdiri dari ilmu akhlak, ilmu ekonomi domestik, dan ilmu politik.
4. Secara umum hubungan filsafat dengan sains dapat dikategorikan pada dua hal yaitu
1). Menjadi landasan bagi sains dengan menjelaskan prinsip-prinsip asertif (penegasan) sains;
2). Mengisbatkan (eksistensi) subjek-subjek non-swabukti dan prinsip-prinsip positif mereka yang paling umum.
Catatan Kaki:
[1] Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pada bab esensi (mahiyah) dalam pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.
[2] Ekstensi (mishdaq) adalah sesuatu di luar pikiran yang mana gambaran kulli maupun juz’I yang ada dalam pikiran dapat diterapkan padanya.
[3] Aksidental (sifat) adalah suatu esensi yang di luar pikiran (eksternal) yang bukan merupakan kebutuhan mutlak hakikat sesuatu, atau bukan bagian darurat sebuah esensi.
[4] Muthorid (jami’) berarti dapat memasukkan semua satuan yang didefenisikan dan yang dikehendaki atau dibatasi. Sedangkan Mun’akies adalah dapat menolak semua hal selain yang didefenisikan tersebut (dikehendaki).
[5] Lihat Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah (Bandung: Mizan, 22002), h. 45-46.
[6] Dari sinilah maka aliran-aliran dalam filsafat Islam disebut dengan hikmah, seperti hikmah masya’iyyah (parepatetik), hikmah al-isyraq (illuminatif), atau hikmah muta’aliyah (teosofi transenden).
[7] Lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Buku Daras Filsafat Islam. (Bandung : Mizan, 2003), h. 3-23.
[8] Lihat Murtadha Muthahhari. Filsafat, h. 43-56.
[9] Misbah Yazdi. Buku, h. 43-44.
[10] Misbah Yazdi. Buku, h. 28; Murtadha Muthahhari. Filsafat, 48-50.
[11] Arti dasar metafisika adalah ‘yang mengikuti fisika’ atau ‘yang datang setelah fisika’ (ta meta ta physica). Nama ini didasarkan pada pembagian karya Aristoteles yang dibuat oleh Andronikos dari Rodi (Abad ke-I SM). Metafisika biasanya disebut sebagai filsafat pertama (falsafah al-ula)
[12] Lorens Bagus. Metafisika. (jakarta: Gramedia, 1991), h. 8; lihat juga Pudjawiyatna. Pembimbing Kearah Alam Filsafat. (Jakarta: PT Pembangunan), h. 8-9.
[13] Lorens Bagus. Metafisika, h. 8.
[14] Lorens Bagus. Metafisika, h. 24.
[15] Lihat Misbah Yazdi. Buku Daras, h. 45-47; Lorens Bagus. Metafisika, h. 24.
[16] Al-Kindi. Rasail al-Kindi Jilid I, h. 97.
[17] Lihat Misbah Yazdi. Buku Daras, h. 60-65.
[18] Misalnya seperti kata ‘tubuh’ yang bermakna seluruh jasad manusia yang kemudian diartikan ‘tubuh’ hanya menjadi badan manusia yang terpisah dari kepala, tangan, kaki, dan lainnya.
[19] Lihat Murtadha Muthahhari. Filsafat, h. 55-56.
(Abu-Thalib/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email