Pesan Rahbar

Home » » Gagasan Ibn Miskawaih Tentang Pendidikan Islam

Gagasan Ibn Miskawaih Tentang Pendidikan Islam

Written By Unknown on Friday 7 July 2017 | 01:15:00


Oleh: Ja’far Umar, MA

Biografi Dan Karya Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih, seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih. lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M. Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi di Baghdad(320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah.

Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak daripada sebagai cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran, ketuhanan, maupun agama. Dia adalah orang yang paling berjasa dalam mengkaji akhlak secara ilmiah.


Dari segi latar belakang pendidikan, tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filasafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Tayyib. Dalam bidang pekerjaan Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Sina. Selain itu Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310 H./ 923 M.) selanjutnya juga ia dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.

Ibnu Miskawaih seorang yang tekun dalam melakukan percobaan-percoabaan unuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik anak-anak penjebat pemerintah, hal ini tentu menunjukkan bahwa ibnu maskawaih dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.

Ibnu Miskawaih juga digelari Guru ketiga ( al-Mualimin al-Tsalits ) setelah al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualimin al-Tsani) sedangkan yang dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal ) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filasafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Ibnu Maskawaih adalah seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq artinya ia telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti bahwa Ibnu Maskawaih tidak berakhlaq, hanya saja persoalannya ditinjau dari segi pengetahuan semata-mata.


Karya Karya Ibnu Miskawaih

Ibn Miskawaih selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai penulis produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin Zar disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut:
1. Al Fauz al Akbar
2. Al Fauz al Asghar
3. Tajarib al Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/979 M)
4. Uns al Farid (Koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
5. Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan politik)
6. Al Mustaufa (tentang syair-syair pilihan)
7. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
8. Al Jami`
9. Al Siyab
10. Kitab al Ashribah
11. Tahzib al Aklaq
12. Risalat fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs
13. Ajwibat wa As`ilat fi al Nafs wa al `Alaq
14. Thaharat al Nafs dan lain-lain.

Demikian sekilas artikel mengenai biografi dan karya Ibnu Miskawaih, semoga bermanfaat.

Catatan : disarikan dari berbagai sumber


PENDAHULUAN

Ketika dinasti Abbasiyah (750-1258 M) menguasai dunia Islam secara menyeluruh, kebudayaan dan peradaban Islam pun semakin maju. Meskipun benih-benihnya telah mulai disemai pada era dinasti Umayyah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan dan peradaban Islam baru mencapai puncaknya ketika dinasti Abbasyiah berkuasa atas dunia Islam. Kebudayaan dan peradaban Islam itu lahir karena umat Islam di bawah komando Kekhalifahan Abbasyiah telah menggali dua macam sumber ilmu pengetahuan, yakni sumber dalam dan sumber luar. Sumber dalam ini tidak lain adalah al-Quran dan hadits. Penggalian atas sumber dalam ini melahirkan pelbagai macam ilmu-ilmu agama. Sementara sumber luar itu merupakan setiap ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh umat manusia sebelum Islam lahir. Sumber luar ini berasal dari pusat-pusat peradaban dunia pra Islam, seperti Yunani, Iskandariyah, Jundisyapur, India, dan lainnya. Sumber-sumber luar ini dapat berbentuk filsafat, sains, dan teknologi. Demikianlah, karena umat Islam berhasil menggali kedua macam sumber ilmu tersebut, mereka pun akhirnya dapat mengkonstruksi kebudayaan dan peradaban Islam yang khas.

Sebagaimana diuraikan di atas, selain karena umat Islam menggali sumber dalam, kebudayaan dan peradaban Islam muncul dilatari oleh adalah aktifitas penerjemahan atas kitab-kitab ilmu pengetahuan sebagai buah kebudayaan dan peradaban manusia pra-Islam yang merupakan sumber luar. Kegiatan seperti ini sebenarnya telah dilakukan pada masa kekhalifahan Umayyah (660-750 M) di Damaskus, namun kegiatannya masih terbatas kepada penerjemahan kitab-kitab tertentu. Maksudnya, para penerjemah hanya menerjemahkah kitab-kitab yang diduga dapat bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, seperti kitab-kitab tentang kedokteran, astronomi, kimia, dan matematika.[1] Sementara kitab-kitab lain masih belum dilirik sama sekali. Barulah ketika dinasti Abbasyiah berkuasa, seluruh kitab ilmu pengetahuan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab seperti kitab-kitab filsafat, sains, dan teknologi. Para penerjemah menerjemahkan kitab-kitab orisinil karya Phytagoras, Plato, Aristoteles, Plotinus, Galen, Nicomachus, Euclide, Ptolemaeus, Hippocrate,[2] dan lainnya. Pada akhirnya, kegiatan penerjemahan ini memacu lahirnya the Golden Age of Islam sepanjang abad 8 sampai abad 12 M.[3]

Pada masa keemasan Islam tersebut, banyak pemikir Islam muncul ke permukaan. Secara pasti, mereka menguasai dan memahami hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan. Selain banyak memberikan syarah atas kitab-kitab asing, mereka pun menuliskan buah fikir nya di berbagai cabang ilmu pengetahuan.[4] Tak dapat dipungkiri, keberadaan para pemikir Islam tersebut menjadi penopang utama pilar kebudayaan dan peradaban Islam di zaman Klasik. Para pemikir dimaksud antara lain adalah al-Kindi, al-Farabi, al-Razi, Ibn Miskawaih, al-Amiri, al-Sijistani, at-Tauhidi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd,[5] dan ratusan lainnya. Meskipun memiliki ciri khas tersendiri, namun tidak dapat disangkal bahwa pemikiran mereka memiliki rantai sanad hingga ke pemikiran para filsuf pra-Islam semacam Phytagoras, Plato, Aristoteles, Plotinus, Phorphyrius, dan lainnya. Kebesaran nama dan pemikiran mereka telah membuat banyak ahli meneliti biografi dan pemikiran para filsuf Islam tersebut.

Selain para pemikir Islam era Klasik di atas, para sarjana Modern banyak meneliti tentang Ibn Miskawaih (w. 1030 M). Penelitian itu dilakukan selain karena Ibn Miskawaih menjadi salah satu pilar kebudayaan dan peradaban Islam era Klasik, juga karena tokoh di bidang filsafat akhlaq ini memiliki pokok-pokok fikiran yang khas. Pemikiran-pemikiran Ibn Miskawaih pun dipandang memiliki nilai guna bagi dunia Modern, selain sebagai wadah inspirasi bagi filsuf dan ilmuan Modern.

Tulisan ini mencoba memaparkan pemikiran Ibn Miskawaih tentang pendidikan akhlaq. Secara khusus, tulisan ini akan memfokuskan pembahasan hanya kepada sejumlah pemikirannya, yakni hakikat jiwa sebagai dasar utama pembahasan akhlaq, prinsip-prinsip akhlaq, pendidikan akhlaq, dan pendidikan jiwa. Sebagai sebuah makalah sederhana, makalah ini tidak berpretensi untuk menguraikan secara mendalam seluruh pemikiran akhlaqnya. Karena keterbatasan waktu, maka makalah ini hanya menyajikan sejumlah pemikiran pendidikan akhlaq Ibn Miskawaih secara umum.


MENGENAL IBN MISKAWAIH; SEBUAH SKETSA BIOGRAFIS

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’kub bin Maskawaih. Ia lebih dikenal dengan nama Ibn Miskawaih.[6] Beliau dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H/932 M[7]. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Ibn Miskawaih mempelajari kitab Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (w. 350 H/960 M). Selain belajar sejarah, beliau pun mempelajari filsafat kepada Ibn al-Khammar, salah seorang komentator Aristoteles[8] dan al-Hasan bin Siwar, seorang ‘ulama pengkaji filsafat, kedokteran dan logika.[9] Tidak hanya sebatas itu, beliau pun mempelajari ilmu bahasa, ilmu kedokteran, ilmu fiqh, hadits, matematika, musik, ilmu militer,[10] dan lainnya. Karena beliau memiliki tingkat kecerdasan yang sangat tinggi, maka beliau pun dapat melahap habis semua pelajaran yang diberikan kepadanya. Walhasil, beliau pun menjadi salah seorang filsuf Islam terkemuka di zamannya.

Sebagai seorang pemikir besar, Ibn Miskawaih telah melahap seluruh kitab-kitab filsafat dari warisan peradaban pra-Islam. Pada masanya, beliau banyak membaca dan menelaah kitab-kitab pemikir dari berbagai peradaban seperti Yunani, Persia, Romawi, dan lainnya. Karena itu pula, pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh dari berbagai peradaban itu memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi Ibn Miskawaih. Hal ini terlihat jelas, ketika Ibn Miskawaih merumuskan pandangannya, beliau pun mengkombinasikan pemikiran-pemikiran dari Plato, Aristoteles, Galen dan ajaran Islam.[11]

Ibn Miskawaih hidup pada masa dinasti Buwaihi. Ketika masih muda, ia mengabdi kepada Abu Muhammad al-Hasan al-Muhallabi, wazir pangeran Buwaihi, Mu’iz ad-Daulah di Baghdad.[12] Setelah Al-Muhallabi itu wafat pada tahun 352 H/963 M), Ibn Miskawaih pun mendekati Ibn al-‘Amid di Ray, wazir dari Rukn al-Daulah. Rukn al-Daulah ini tidak lain adalah saudara Mu’iz al-Daulah. Ibn al-‘Amid bukan orang sembarangan, sebab ia seorang tokoh sastra terkenal. Tidak hanya itu, Ibn al-‘Amid bekerja sebagai pustakawan. Karena Ibn al-‘Amid menjadi wazir dari Rukn al-Daulah, maka beliau pun mendapat kedudukan terhormat di ibukota pemerintahan dinasti Buwaihi tersebut.[13] Pada tahun 360 H/970 M, al-‘Amid wafat, sehingga kedududkannya digantikan oleh anaknya, yakni Abu al-Fath. Ibn Miskawaih pun mengabdi kepada anak al-‘Amid ini. Pada tahun 366 H/976 M, Abu al-Fath wafat, sehingga jabatan wazir direbut oleh musuhnya yang bernama al-Shahib ibn ‘Abbad. Karena musuh Abu al-Fath merebut kekuasaan, maka sebagai pendukung Abu al-Fath, Ibn Miskawaih pun meninggalkan kota Ray. Kemudian, Ibn Miskawaih berangkat menuju Baghdad. Di kota ini, Ibn Miskawaih mengabdikan diri kepada penguasa Dinasti Buwaihi, yakni ‘Adhud al-Daulah. Pada masa ini, Ibn Miskawaih diangkat sebagai bendahara penguasa dinasti Buwaihi. Setelah ‘Adhud al-Daulah wafat, Ibn Miskawaih tetap mengabdi kepada para pengganti pangeran dinasti Buwaihi ini, yakni Shamsham al-Daulah (388 H/998 M) dan Baha’ al-Daulah (403 H/1012 M).[14]

Ibn Miskawaih hidup sebagai seorang Syi’ah. Para penulis biografi pun memasukkan nya ke dalam daftar ulama dan filosof Syi’ah karena beberapa pandangannya menegaskan keharusan kemaksuman para imam. Sebagai seorang filsuf, Ibn Miskawaih banyak berdebat dengan para filsuf sezamannya, seperi Ibn Sina.[15]

Meskipun beliau menduduki jabatan strategis di pemerintahan Dinasti Buwaihi, namun hal itu tidak membuatnya malas menulis. Hal ini terbukti karena beliau banyak menulis kitab-kitab yang bermutu tinggi, antara lain al-Fauz al-Akbar; al-Fauz al-Ashghar; Tajarib al-Umam; Uns al-Farid; Tartib al-Sa’adah; al-Mustaufa; Jawidan Khirad; al-Jami’; al-Siya; On the Simple Drugs; On the Compositions of the Bajats; Kitab al-Asyribah; Tahdzib al-Akhlaq; Risalah fi al-Lazzah wa al-Alam fi jauhar al-Nafs; Ajwibah wa As’ilah fi al Nafs wa al-‘Aql; al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalas; Risalah fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqah al-‘Aql; dan Thaharah al-Nafs.[16]

Ibn Miskawaih wafat di Isfahan (Iran) pada 9 Shafar 421 H[17]/1030 M.[18]


HAKIKAT JIWA MANUSIA

Menurut Ibn Miskawaih, manusia memiliki kemiripan dengan alam semesta. Karena itu, jika alam semesta disebut sebagai makrokosmos, maka manusia disebut sebagai mikrokosmos. Di samping memiliki panca indra, manusia memiliki indra bersama. Indra bersama ini berperan sebagai pengikat sesama indra. Indra bersama ini memiliki ciri. Ciri-ciri indra bersama ini adalah bahwa indra bersama dapat menerima citra-citra indrawi secara serentak, tanpa zaman, tempat, dan pembagian. Kemudian, citra-citra itu tidak saling bercampur dan saling mendesak. Daya indra bersama ini beralih ke tingkat daya khayal, sebuah daya yang berada di bagian depan otak. Dari daya khayal ini beralih ke daya fikir. Daya berfikir ini dapat berhubungan dengan Akal Aktif guna mengetahui hal-hal Ilahi.[19]

Menurut Ibn Miskawaih, pada diri manusia terdapat tubuh dan jiwa. Jiwa tidak dapat menjadi sebuah fungsi dari materi. Hal ini karena dua hal. Pertama. Suatu benda yang berbeda-beda bentuk dan keadaannya, dengan sendirinya tidak bisa menjadi salah satu dari bentuk-bentuk dan keadaan-keadaan itu. Suatu benda yang warnanya bermacam-macam tentu, dalam pembawaannya sendiri, tidak berwarna. Jiwa, dalam mempersepsi obyek-obyek eksternal, mengasumsi, seolah-olah, berbagai bentuk dan keadaan; karena itu, jiwa tidak dapat dianggap sebagai salah satu dari bentuk-bentuk itu. Kedua. Atribut-atribut itu terus menerus berubah; tentu ada, di luar lingkup perubahan, substratum permanen tertentu yang menjadi fondasi identitas personal.[20]

Karena jiwa tidak dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari materi, maka Ibn Miskawaih mencoba membuktikan bahwa jiwa bukan materi. Alasan-alasannya sebagai berikut:
1. Indra, setelah mempersepsi suatu rangsangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi.
2. Jika kita renungkan suatu subyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek di sekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktifitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktifitasnya tak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
3. Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indra. Di sisi lain, intelek berkembang menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum.
4. Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
5. Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan data indrawi. Indra misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersama.
6. Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa dihadapannya melalui saluran indrawi, dan yang menimbulkan evidensi (bukti) masing-masing indra, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.[21]

Menurutnya, jiwa bukan bagian dari tubuh dan bukan aksiden tubuh. Pada wujudnya, jiwa tidak butuh kekuatan tubuh. Jiwa merupakan substansi sederhana dan tidak dapat dapat ditangkap oleh panca indra. Antara jiwa dan hidup itu tidak sama. Jiwa itu suatu esensi yang hidup dan kekal, serta bisa mencapai kesempurnaan hidup di dunia. Selanjutnya, menurutnya, perbedaan antara jiwa manusia dari jiwa binatang adalah potensi akal. Jiwa manusia memiliki potensi akal. Potensi akan adalah potensi untuk memiliki pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis.[22]

Secara lengkap, Ibn Miskawaih menuliskan pemikirannya tentang jiwa di dalam bukunya yang berjudul Tahzib al-Akhlaq. Dalam buku ini, ibn Miskawaih menulis bahwa manusia terdiri atas dua unsur yakni tubuh dan jiwa. Tubuh manusia itu materi (jauhar) dan berbentuk (‘Aradh). Tubuh manusia dan fakultas-fakultasnya mengetahui ilmu melalui indra. Tubuh sangat butuh terhadap indranya. Tubuh pun sangat berhasrat terhadap hal-hal indrawi semacam kenikmatan jasadi, keinginan balas dendam, dan ego untuk menang. Melalui hal ini, kekuatan tubuh akan bertambah dan tubuh akan terus mengalami kesempurnaan. Kesempurnaan eksistensi tubuh manusia terkait erat dengan hal-hal seperti itu. Sementara itu, jiwa itu bukan tubuh, bukan bagian dari tubuh, serta bukan pula materi. Jiwa manusia ini tidak cocok dengan hal-hal jasadi. Ketika jiwa dapat menjauhi hal-hal jasadi, maka jiwa akan semakin sempurna. Jiwa memiliki kecenderungan kepada selain hal-hal jasadi. Jiwa ingin mengetahui realitas Ilahiah. Jiwa pun sangat mendambakan sesuatu hal yang lebih mulia dari hal-hal jasmaniah. Jiwa ingin menjauhkan diri dari kenikmatan jasmani, dan berharap mendapatkan kenikmatan akal. Dari aspek ini, jelas jiwa lebih mulia dari pada benda-benda jasadi.[23]

Menurut Ibn Miskawaih, jiwa mendapat banyak prinsip ilmu pengetahuan melalui indra. Namun begitu, jiwa ini sendiri memiliki prinsip lain serta tingkah laku yang lain pula. Tidak seperti indra karena indra hanya mengetahui obyek indrawi, maka jiwa mampu mengetahui sebab-sebab harmonis dan bertolak belakang dari segala hal yang dapat diindra tadi. Di samping itu, jiwa dapat mengetahui kesalahan dan keabsahan indra, namun pengetahuan jiwa ini bukan dari indra, namun dari hasil kesimpulan jiwa itu sendiri. Selain itu, jiwa itu pun dapat mengetahui dirinya sendiri. Jika jiwa mengetahui bahwa dirinya (jiwa) memahami ma’qulat-nya sendiri, maka jiwa mengetahuinya bukan dari sumber lain, melainkan dari dirinya sendiri. Hal ini lumrah, karena jiwa itu mengetahui segala hal baik dirinya maupun selainnya, dari esensi dan substansinya sendiri yakni akal. Dengan begitu, jiwa tidak membutuhkan sesuatu guna mengetahui sesuatu kecuali dirinya sendiri. Berdasarkan hal ini, maka akal, yang berfikir, dan objek yang dipikirkan itu satu kesatuan. Secara agak mendalam dapat disimpulkan bahwa prilaku jiwa itu sendiri bisa dikatakan ilmu pengetahuan.[24]

Ibn Miskawaih menjelaskan tentang kebajikan jiwa. Menurutnya, keutamaan atau kebajikan jiwa terletak pada kecenderungan jiwa kepada dirinya sendiri, yakni ilmu pengetahuan, sembari tidak cenderung kepada tingkah laku tubuh. Kebajikan jiwa diukur dari sejauh mana jiwa mengupayakan kebajikan dan mendambakannya. Keutamaan ini akan terus meningkat ketika jiwa memperhatikan dirinya sendiri serta berusaha keras menyingkirkan segala rintangan bagi pencapaian tingkat keutamaan seperti ini. Namun demikian, Ibn Miskawaih menyadari bahwa pencapaian tingkat keutamaan ini memiliki kendala. Kendala ini tidak lain segala hal bersifat badani, indrawi, serta segala hal yang berhubungan dengan keduanya. Ketika kendala ini berhasil dihadapi oleh jiwa, dan jiwa itu suci dari segala perbuatan keji (nafsu badani dan nasfu hewani), maka keutamaan-keutamaan itu akan tercapai. Dengan kata lain, keutamaan jiwa lahir ketika jiwa suci dari nafsu badani dan nafsu hewani.[25]

Secara umum, Ibn Miskawaih membagi kekuatan jiwa menjadi tiga macam, yakni al-Quwwah al-Natiqah, al-Quwwah Syahwiyyah, dan al-Quwwah al-Ghadabiyyah. Adalah al-Quwwah al-Natiqah sebuah fakultas yang berkaitan dengan berfikir, melihat, dan mempertimbangkan segala sesuatu. Fakultas ini disebut fakultas raja. Fakultas ini menggunakan organ tubuh otak. Sementara al-Quwwah Syahwiyyah sebuah fakultas yang berkaitan dengan marah, berani, berani menghadapi bahaya, ingin berkuasa, menghargai diri, dan menginginkan bermacam-macam kehormatan. Fakultas ini disebut sebagai fakultas binatang. Organ tubuh yang digunakannya adalah hati. Terakhir, al-Quwwah al-Ghadabiyyah sebagai sebuah fakultas yang berkenaan dengan nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan, minuman, senggama, dan kenikmatan indrawi lainnya. Ketigas fakultas ini berbeda antara satu dengan lainnya. Fakultas ini disebut fakultas binatang buas. Fakultas ini menggunakan organ jantung.[26]


PRINSIP-PRINSIP AKHLAK

Pada pembahasan terdahulu telah dikemukakan tentang tiga daya jiwa. Ketiga daya ini melahirkan sifat kebajikan. Jumlah keutamaan (kebajikan) sama dengan jumlah fakultas-fakultas dan kebalikan dari keutamaan-keutamaan ini. Menurut Ibn Miskawaih, ketika aktifitas jiwa kebinatangan dikendalikan oleh jiwa berfikir, dan jiwa itu tidak tenggelam dalam memenuhi keinginannya sendiri, maka jiwa ini akan mencapai kebajikan sikap sederhana (iffah) yang diiringi kebajikan dermawan. Sementara itu, ketika jiwa amarah memadai dan mematuhi segala aturan yang ditetapkan oleh jiwa berfikir serta tidak bangkit pada waktu yang tidak tepat, maka jiwa ini akan mencapai kebajikan sikap sabar yang diiringi kebajikan sikap berani. Setelah itu, dari ketiga kebajikan itu satu kebajikan lain sebagai kelengkapan dan kesempurnaan tiga kebajikan itu, yakni kebajikan sifat adil. Kebajikan sikap adil ini berhubungan dengan tepat antara kebajikan satu dengan kebajikan lainnya. Jadi, keutamaan (kebajikan) manusia itu terdiri atas empat hal yakni arif, sederhana, berani, dan adil.[27]

Sementara itu, keempat keutamaan (kebajikan) ini memiliki lawan. Kebalikan dari keempat keutamaan ini terbagi atas empat pula, yakni bodoh, rakus, pengecut dan lalim. Keempat sifat ini dapat dikatakan sebagai penyakit jiwa dan menimbulkan banyak kepedihan seperti perasaan takut, sedih, marah, berjenis-jenis cinta dan keinginan, dan karakter buruk lainnya.[28]

Menurut Ibn Miskawaih, keutamaan adalah kebaikan. Sementara ketidakutamaan sebagai lawan dari keutamaan adalah kejahatan. Menurut tokoh ini, kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan dengan berupaya dan dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sementara keburukan atau kejahatan adalah hal yang menjadi penghambat manusia mencapai kebaikan, baik berupa kemauan dan upayanya atau berupa kemalasan dan keengganannya mencari kebaikan.[29]

Ibn Miskawaih telah memberikan definisi keempat keutamaan (kebajikan) tersebut dan macam-macam dari keempat keutamaan itu. Menurutnya, kearifan adalah keutamaan dari jiwa berfikir dan mengetahui. Kearifan ini memiliki bagian-bagian seperti pintar, ingat, berfikir, cepat memahami dan benar pemahamannya, jerni pikiran, serta mampu belajar dengan mudah. Sederhana adalah keutamaan dari bagian hawa nafsu. Keberanian adalah keutamaan jiwa amarah. Keberanian ini dibagi menjadi beberapa bagian pula yakni besar jiwa, ulet, tegar, tabah, menguasai diri, perkasa serta ulet dalam bekerja. Sederhana ini memiliki bagian-bagian yakni rasa malu, tenang, dermawan, integritas, puas, loyal, berdisiplin diri, optimis, kelembutan, anggun berwibawa, dan wara’. Sementara keadilan adalah kebajikan jiwa yang timbul akibat menyatunya tiga kebajikan tersebut. Keadilan ini dibagi atas beberapa bagian, yakni bersahabat, bersemangat, sosial, silaturahmi, memberi imbalan, bersikap baik dalam kerjasama, jeli dalam memutuskan masalah, cinta kasih, beribadah, jauh dari rasa dengki, memberi imbalan terbaik meski sedang ditimpa keburukan, berpenampilan lembut, berwibawa di segala bidang, menjauhkan diri dari bermusuhan, tidak menceritakan hal yang tidak layak, mengikuti orang-orang yang berkata dengan benar, tidak bicara tentang sesama Muslim bila tidak ada kebaikannya, menjauhi diri dari kata-kata buruk, tidak betah berucap kalau cuma akan menjatuhkan seseorang, tidak peduli pada perkataan orang pelit waktu berbicara di depan umum, mendalami masalah seseorang yang perlu dibantu, dan mengulang pertanyaan bila belum jelas. Ibn Miskawaih menuliskan bahwa dermawan termasuk pada sifat kebajikan. Dermawan adalah kecenderungan untuk berada di tengah dalam soal memberi. Dermawan ini memiliki bagian-bagian yakni murah hati, mementingkan orang lain, rela, berbakti, dan tangan terbuka.[30]

Menurut Ibn Miskawaih, kebajikan merupakan titik tengah antara dua ujung. Ujung-ujung itu merupakan keburukan-keburukan. Dengan demikian, kebajikan-kebajikan di atas pun berada pada titik tengah antara dua keburukan. Karena itu, kearifan adalah titik tengah yang letaknya ada di antara bodoh dan dungu. Pandai antara titik tengah yang terletak pada posisi antara kebusukan mental dan ketololan. Ingat adalah titik tengah yang terletak antara posisi antara dua lupa, yakni melalaikan segala yang mesti diingat dan memperhatikan apa yang harus diingat. Kecemerlangan adalah titik tengah antara memikirkan sesuatu yang tidak semestinya dipikirkan dan kurang memikirkan sesuatu yang semestinya dipikirkan. Sederhana merupakan titik tengah antara memperturutkan hawa nafsu dan mengabaikan hawa nafsu. Keberanian merupakan titik tengah antara pengecut dan sembrono. Keadilan merupakan titik tengah antara berbuat lalim dan dilalimi. Begitu pula kebajikan-kebajikan lainnya merupakan titik tengah antara dua keburukan dan kehinaan.[31]

Bagi Ibn Miskawaih, kebajikan hanya dapat dicapai seseorang, jika orang tersebut bergaul dengan masyarakat. Menurutnya, manusia tidak akan pernah dapat mencapai kesempurnaan dengan hidup menyendiri. Manusia memerlukan orang lain pada komunitas tertentu agar kebahagiaan insaninya tercapai. Manusia niscaya memerlukan manusia lain selain dirinya. Seorang manusia harus bersahabat dengan manusia lain dan harus menyayanginya secara tulus. Sebab, mereka melengkapi eksistensinya sekaligus menyempurnakan kemanusiaannya dengan hal ini. Hal ini karena manusia sebagai makhluq sosial. Tanpa bergaul dengan masyarakat, maka manusia itu tidak akan dapat menggapai kebajikan.[32]

Di samping masalah kebajikan (keutamaan), menurut Ibn Miskawaih bahwa masalah pokok kajian akhlaq adalah kebaikan dan kebahagiaan. Pembahasan ini memiliki kaitan erat dengan pembahasan akhlaq. Menurut Ibn Miskawaih, kebaikan diartikan sebagai tujuan setiap sesuatu. Jadi, kebaikan berarti tujuan terakhir. Sementara kebahagiaan diartikan sebagai kebaikan dalam kaitannya dengan pemiliknya dan kesempurnaan bagi pemiliknya. Dengan kata lain, kebahagian itu bagian dari kebaikan. Secara agak mendalam, maka kebahagiaan dapat diartikan sebagai kesempurnaan dan akhir dari kebaikan. Kebahagiaan merupakan kebaikan paling utama di antara seluruh kebaikan lainnya.[33]

Menurut Ibn Miskawaih, karena manusia terdiri atas dua unsur yakni tubuh dan jiwa, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat, pertama kebahagiaan jasmani dan kedua kebahagiaan jiwa. Bagi Ibn Miskawaih, kebahagiaan seseorang berada pada salah satu dari dua tingkatan, yakni: Pertama. Ketika manusia itu berada pada tingkatan hal-hal jasmani menyatu dengan keadaan-keadaan rendah mereka dan berbahagian di dalamnya. Keadaan-keadaan rendah ini diartikan sebagai segala hal yang dapat dijangkau oleh indra. Kedua, bersamaan dengan itu pula, ketika manusia itu mencari hal-hal mulia, berupaya mendapatkan hal-hal mulia, menyukainya, dan merasa puas dengannya. Bisa dikatakan pula ketika manusia itu berada pada tingkatan ruhani, lekat dengan hal-hal tinggi, dan berbahagian di dalamnya. Bersamaan dengan ini, manusia itu mengamati dan menelaah hal-hal rendah, mengambil pelajaran darinya, merenungkan tanda-tanda kebesaran Ilahi dan bukti-bukti kearifan sempurna, mengikuti contoh-contohnya, mengaturnya, melimpahkan bermacam-macam kebaikan padanya, dan memandunya memperoleh kebaikan demi kebaikan sebatas kesanggupannya. Dengan kata lain, seseorang dikatakan bahagia ketika orang tersebut berada pada salah satu dari dua tingkatan di atas.[34]

Di samping masalah kebajikan; serta kebaikan dan kebahagiaan, Ibn Miskawaih pun membicarakan masalah cinta. Menurut Ibn Miskawaih bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia. Jika manusia tidak memiliki cinta, maka suatu komunitas masyarakat tidak akan dapat ditegakkan. Bahkan manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali manusia itu memelihara jenisnya dan menunjukkan pengertiannya terhadap sesama jenisnya. Menurutnya, cinta tidak akan berbekas kecuali jika manusia berada di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, jika seorang manusia mengasingkan diri dari masyarakat, maka manusia itu belum dapat dinilai sebagai seorang pemilik sifat terpuji atau tercela. Penilaian itu dapat diberikan ketika manusia itu telah berkecimpung di dalam komunitasnya. Tidak hanya itu, suatu masyarakat buruk tidak akan dapat berubah jika orang-orang terbaik di dalamnya mengasingkan diri tanpa ingin memberikan pertolongan bagi perbaikan masyarakat itu.[35]


HAKIKAT AKHLAK

Menurut Ibn Miskawaih, akhlaq adalah suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Ibn Miskawaih membagi asal keadaan jiwa ini menjadi dua jenis. Pertama alamiah dan bertolak dari watak. Kedua tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Baginya akhlaq itu alami sifatnya namun akhlaq pun dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasihat-nasihat yang mulia. Pada mulanya, keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus menerus akan menjadi akhlaq.[36]

Kedua pandangan Ibn Miskawaih ini dapat dirujuk kepada pemikiran-pemikiran filsuf pra-Islam seperti Galen dan Aristoteles. Berkenaan dengan akhlaq sebagai sesuatu berasal dari alamiah dan bertolak dari watak, pandangan ini diambil Ibn Miskawaih dari pemikiran kaum Stoik, sekelompok pemikir pra-Stoik, dan Galen. Bagi kaum Stoik, manusia secara alami baik. Bagi pemikir pra-Stoik, manusia itu secara alami buruk. Sementara bagi Galen, sebagian manusia secara alami bermoral baik. Jumlah manusia seperti ini sedikit. Mereka pun tidak akan berubah menjadi manusia bermoral buruk. Sebagian manusia lain secara alami bermoral buruk. Jumlah manusia seperti ini sangat banyak. Mereka tidak akan pernah berubah menjadi manusia bermoral baik. Terakhir, sebagian manusia berada pada posisi tengah-tengah, yakni mereka bisa berubah menjadi baik akibat bergaul dengan orang-orang yang baik dan mengikuti ajakan mereka. Mereka pun bisa berubah menjadi buruk akibat bergaul dengan orang-orang jahat, dan mereka mau mengikutinya. Berkenaan dengan akhlaq sebagai hal yang berasal dari proses latihan dan kebiasaan, pemikiran ini berasal dari Aristoteles. Bagi Aristoteles, orang yang buruk bisa berubah menjadi baik melalui pendidikan. Melalui nasehat yang berulang-ulang dan disiplin, serta bimbingan yang baik, akan melahirkan hasil-hasil yang berbeda-beda pada berbagai orang. Sebagian mereka tanggap dan menerimanya, sementara sebagian lain tidak menerimanya.[37]


PENDIDIKAN AKHLAK

Sebagai filsuf akhlaq, Ibn Miskawaih memberikan perhatian serius terhadap pendidikan akhlaq anak-anak. Menurut Ibn Miskawaih, jiwa seorang anak itu diibaratkan sebagai mata rantai antara jiwa binatang dan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-anak ini, jiwa binatang berakhir sementara jiwa manusia mulai muncul. Menurutnya, anak-anak harus dididik mulai dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yakni daya keinginan, daya marah, dan daya berfikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, berpakaian, dan lainnya. Sementara daya berani diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berfikir dilatih dengan menalar, sehingga akan dapat menguasai segala tingkah laku.[38]

Kehidupan utama anak-anak memerlukan dua syarat, yakni syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat pertama tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta kepada kebaikan. Hal ini dapat dilakukan dengan muda pada anak yang berbakat baik. Bagi anak-anak tidak berbakat, maka hal ini bisa dilakukan dengan cata latihan membiasakan diri agar cenderung kepada kebaikan. Syarat kedua dapat dicapai dengan cara memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan anak dari pergaulan dengan teman-temannya yang berakhlaq buruk, menumbuhkan rasa percaya diri pada dirinya, dan menjauhkan anak-anak dari lingkungan keluarganya pada saat-saat tertentu, serta memasukkan mereka ke tempat kondusif.

Selanjutnya Ibn Miskawaih menyatakan bahwa banyak tingkatan manusia dalam menerima akhlaq. Dalam konteks anak-anak, Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa akhlaq atau karakter mereka muncul sejak awal pertumbuhan mereka. Anak-anak tidak menutup-nutupi dengan sengaja dan sadar, sebagaimana dilakukan orang dewasa. Seorang anak terkadang merasa enggan untuk memperbaiki karakternya. Karakter mereka itu mulai dari karakter yang keras sampai kepada karakter yang malu-malu. Terkadang karakter anak-anak itu baik, terkadang pula buruk seperti kikir, keras kepala, dengki, dan seterusnya. Keberadaan pelbagai karakter anak ini menjadi bukti bahwa anak-anak tidak memiliki tingkatan karakter yang sama. Tak hanya itu, sebagian mereka tanggap dan sebagian lain tidak tanggap, sebagian mereka lembut dan sebagian lagi keras, sebagian mereka baik dan sebagian lain buruk. Namun sebagian mereka berada pada posisi tengah di antara kedua kubu ini. Sebagai pendidik, maka orang tua harus mendisiplinkan karakter mereka. Jika tabiat-tabiat ini diabaikan, tidak didisiplinkan, dan di koreksi, maka mereka akan tumbuh berkembang mengukuti tabiatnya. Selama hidupnya, kondisinya tidak akan berubah. Mereka akan memuaskan diri sesuai dengan apa yang dianggapnya cocok menurut selera alamiahnya, dan seterusnya.[39]

Tidak sebatas itu, Ibn Miskawaih memandang syari’at agama dapat menjadi faktor guna meluruskan karakter remaja. Syari’at agama menjadi penting karena dapat membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan yang baik. Syari’at agama pun dapat mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui berfikir dan penalaran yang akurat. Dalam konteks ini, sebagai pendidik, maka orang tua wajib mendidik mereka agar menaati syari’at ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat dilakukan melalui nasehat, pemberian ganjaran dan hukuman. Jika mereka telah membiasakan diri dengan prilaku ini, dan kondisi ini terus berlangsung lama, maka mereka akan melihat hasil dari prilaku mereka itu. Mereka pun akan mengetahui jalan kebajikan dan sampailah mereka pada tujuan mereka dengan cara yang baik.[40]

Menurut Ibn Miskawaih, tujuan pendidikan akhlaq ini adalah mencetak tingkah laku manusia yang baik, sehingga manusia itu dapat berprilaku terpuji dan sempurna sesuai dengan substansinya sebagai manusia, serta bertujuan mengangkat manusia dari derajat yang paling tercela sebagai derajat yang dikutuk oleh Allah SWT. Secara tegas dapat dikatakan bahwa menurut Ibn Miskawaih bahwa pendidikan akhlaq ini bertujuan agar manusia menjadi manusia sempurna.[41]

Menurut Ibn Miskawaih, kesempurnaan manusia memiliki tingkatan dan substansi. Baginya kesempurnaan manusia ada dua maca, yakni kesempurnaan kognitif dan kesempurnaan praktis. Kesempurnaan kognitif terwujud jika manusia mendapatkan pengetahuan sedemikian rupa sehingga persepsinya, wawasannya, dan kerangka berfikirnya menjadi akurat. Sementara kesempurnaan praktis ialah kesempurnaan karakter. Menurut Ibn Miskawaih, kesempurnaan teoritis (kognitif) berkenaan dengan kesempurnaan praktis. Kesempurnaan teoritis tidak lengkap tanpa kesempurnaan praktis, begitu pula sebaliknya. Hal ini karena pengetahuan adalah permulaannya dan perbuatan itu akhirnya. Kesempurnaan sejati tercapai jika keduanya berjalin berkelindan. Di pihak lain, bagi Ibn Miskawaih bahwa kesempurnaan manusia itu terletak pada kenikmatan spiritual, bukan kenikmatan jasmani.[42]

Ibn Miskawaih menuliskan tentang metode agar seorang manusia dapat mencapai kesempurnaan itu. Yakni seorang manusia harus mengetahui kekurangan-kekurangan tubuh dan jiwa dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan kekurangan-kekurangan itu serta memperbaikinya. Dalam konteks tubuh, maka seorang manusia harus mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan kekurangan-kekurangan itu serta memperbaikinya. Kebutuhan jasmani adalah makanan, pakaian, senggama, dan lainnya. Karena itu, seorang manusia harus mengambilkan hanya bila diperlukan untuk menghilangkan ketidaksempurnaannya dan demi kelangsungan hidupnya. Kemudian, manusia itu pun tidak boleh melampaui batas dalam memenuhi kebutuhan tubuhnya. Dalam konteks jiwa, maka seorang manusia harus mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan kekurangan-kekurangan itu serta memperbaikinya. kebutuhan jiwa adalah pengetahuan, mendapatkan objek-objek fikiran, membuktikan kebenaran pendapat, menerima kebenaran, dan seterusnya. Seorang manusia harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa ini, serta mengetahui kekurangan dan melenyapkan kekurangan tersebut.[43]

Ibn Miskawaih memberikan perhatian besar terhadap pendidikan akhlaq bagi anak-anak. Hal ini bertujuan agar anak dapat memiliki akhlaq sempurna dan segara menggapai kesempurnaannya. Pendidikan akhlaq ini dapat dicapai dengan melakukan hal-hal sebagai berikut[44]:

1. Seorang pendidik hendaknya mendidik manusia sejak kecil untuk mengikuti syari’at agama agar terbiasa mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, membaca buku-buku akhlaq agar akhlaqk dan kualitas terpuji merasuk dalam dirinya melalui dalil-dalil rasional, dan mempalajari matematika sehingga terbiasa dengan perkataan dan argumentasi yang benar dan tepat. Jika semua hal ini dilakukan, maka seseorang dapat mencapai tingkat manusia sempurna, sebagaimana dijelaskan di atas.

2. Jika seorang anak dididik dengan kesenangan dan kenikmatan jasmani, sehingga jiwa dan raganya telah terbiasa dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah itu, maka hendaknya orang tua atau pendidik lain mengajari anak itu agar anak itu memandang semua kesenangan dan kenikmatan jasmani tersebut sebagai kesengsaraan dan kerugian, bukan sebagai kebahagiaan dan keberuntungan. Hendak pula anak itu diajari agar anak itu menjauhkan dirinya dari kenikmatan seperti itu secara perlahan.
3. Orang tua harus memahami jiwa anak-anak secara umum. Secara umum dikatakan bahwa seorang anak kecil itu malu-malu. Dia akan menundukkan kepalanya ke bawah. Dia pun takut dan tidak berani menatap wajah orang dewasa. Hal ini mengindikasikan bahwa anak tersebut telah mulai mampu membedakan baik dan buruk. Rasa malunya itu merupakan pengekangan diri yang terjadi karena anak itu khawatir jika ada keburukan yang muncul dari dirinya. Jiwa seperti ini siap menerima pendidikan dan cocok untuk dipupuk.

4. Orang tua harus memilihkan teman bergaul yang berakhlaq mulia untuk anaknya. Seorang anak tidak boleh dibiarkan bergaul dengan orang-orang yang berakhlaq buruk, karena orang-orang seperti itu akan merusak jiwanya. Sebab jiwa anak kecil masih sederhana dan belum menerima gambar apa pun serta belum mempunyai pendapat yang akan mengubahkan dari satu keadaan ke keadaan lain. Jika jiwa anak itu telah menerima gambar tertentu, maka anak ini akan tumbuh sesuai dengan jiwa seperti gambar yang diterimanya. Oleh sebab itu, jiwa seorang anak harus diupayakan agar mencintai kebaikan dan membenci keburukan.

5. Orang tua harus mengajari anak agar berpakaian baik. Anak harus diajari agar berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya, memakai pakaian putih, dan lainnya.
6. Orang tua harus membiasakan anak untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.
7. Orang tua harus memuji seorang anak ketika anak tersebut melakukan kebaikan dan akhlaq mulia.
8. Orang tua hendaknya memerintahkan seorang anak agar menghafal tradisi-tradisi yang baik, syair-syair yang dapat membuatnya terbiasa melakukan moral terpuji.
9. Orang tua hendaknya mengajari anaknya tentang tata cara makan yang baik. Orang tua harus mengajari anaknya bahwa tujuan makan bukan demi kenikmatan semata, melainkan demi kesehatan. Makan tidak boleh berlebihan dan melampaui batas. Orang tua pun harus memberi banyak makan di malam hari, sebab jika orang tua memberi makan di siang hari, maka anak menjadi malas, mengantuk, dan otaknya menjadi lamban.
10. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak tidak boleh menyembunyikan sesuatu. Sebab tidak mungkin dia berbuat begitu, kecuali dipastikan bahwa perbuatanmua buruk.
11. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak itu tidak tidur terlalu lama, karena akibatnya membuat otak anak menjadi bebal dan mematikan pikirannya. Jangan sampai dia terbiasa tidur siang. Jangan biarkan dia tidur ditempat empuk dan mewah agar dia terbiasa hidup sederhana.
12. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak itu sering berjalan, bergerak, berkuda, dan olah raga. Anak diajari agar tidak boleh jalan tergesa-gesa, bersikap angkuh, tetapi supaya anak itu sering mensedekapkan tangannya ke dada.
13. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak itu tidak boleh memanjangkan rambut (jika laki-laki), tidak boleh memakai pakaian yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, tidak boleh memakai cincin, tidak boleh membanggakan kedua orang tuanya, tidak boleh sombong dan keras hati.
14. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak tidak boleh meludah, menguap, dan membuang ingus ketika sedang bersama orang lain. Tidak boleh bertopang dagu dan menyandarkan kepala pada kedua tangannya, sebab hal itu menunjukkan bahwa dia malas. Biasakan anak tidak berbohong dan tidak boleh bersumpah.
15. Orang tua harus mengajari anaknya agar anaknya membiasakan tidak banyak bicara dan hanya menjawab pertanyaan. Hendaknya anak itu mendengarkan kata-kata orang tua dan diam dihadapan orang dewasa. Anak diajari agar tidak berkata kotor, hina, sumpah serapah, menuduh, dan tidak bicara senonoh. Biasakan dia dengan kata-kata anggun, bermuka manis kepada orang lain, tidak mengatakan kata-kata buruk di depan orang lain. Ajari anak hendaknya anak belajar melayani diri sendiri.
16. Orang tua harus mengajari anaknya agar ketika anak dipukul oleh gurunya, maka dia tidak boleh mengadu dan tidak boleh meminta perlindungan orang lain, karena tindakan itu hanya pantas dilakukan para budak.
17. Orang tua hendaknya tidak menakut-nakuti anak kecil. Berilah anak semangat, memberikan hadiah kepadanya jika mereka berbuat baik, agar anak tidak meminta-minta kepada orang lain. Upayakan mereka agar mereka benci kepada perhiasan dan agar mereka lebih takut pada keduanya ketimbang takut pada hewan buas.
18. Orang tua harus membiasakan agar anak taat kepada kedua orang tua, dan pendidiknya. Biarkan dia bermain dengan permainan baik.

Menurut Ibn Miskawaih, semua hal yang disebutkan di atas sangat bermanfaat, tidak hanya bagi anak kecil, tetapi juga untuk anak-anak. Hal ini bermanfaat karena sikap-sikap seperti itu mendidik anak untuk cinta kepada kebajikan dan kemuliaan, serta untuk tumbuh berkembang dengan kebajikan dan kemuliaan tersebut. Akibatnya, dia akan mudah menjauhi kehinaan dan keburukan, dan mudah mengikuti ajaran filsafat. Dia akan terbiasa mengekang diri dari hawa nafsu yang senantiasa menggodanya, serta bisa menjaga diri agar tidak hanyut oleh kenikmatan jasmaniah. Sikap baik itu akan membawanya kepada martabat yang yang tinggi.[45]


PENDIDIKAN JIWA MANUSIA

Menurut Ibn Miskawaih, pendidikan jiwa itu seperti halnya pendidikan jasmani yakni menjaga kesehatannya selagi sehat dan memilihkannya jika sakit. Di dalam karyanya, Ibn Miskawaih menuliskan sejumlah metode guna mendidik jiwa agar tetap sehat, yakni:[46]
1. Tidak bergaul dengan orang-orang yang jiwanya tidak baik dan tidak bajik. Seseorang jika ingin mendidik jiwanya harus menjauhi orang-orang keji yang suka pada kenikmatan-kenikmatan buruk, suka berbuat dosa, bangga, dan tenggelam dalam dosa. Bergaul dengan orang-orang seperti mereka akan membuat jiwa kotor sehingga tidak dapat dibersihkan kecuali melalui waktu yang sangat lama. Manusia harus bergaul dengan pemilik jiwa yang baik dan bajik, jiwa yang suka mencari kebajikan dan ingin memilikinya, jiwa yang rindu pada ilmu-ilmu hakiki serta pengetahuan yang sahih.
2. Khusuk melaksanakan tugas yang berkenaan dengan pengetahuan dan praktik, suatu tugas yang tak boleh diabaikan, sehingga kedua hal itu dapat melayani jiwa. Karena itu, seseorang harus melatih diri dengan berfikir dan mempelajari ilmu-ilmu matematika. Selain itu, olah raga diperlukan untuk menjaga kesehatan tubuh.
3. Senantiasa melakukan hal-hal di atas. Karena dengan berbuat demikian, seseungguhnya seseorang sedang menjaga nikmat tiada tara yang mulia sebagai anugrah bagi jiwanya.
4. Seseorang harus merasa cukup jika telah memperoleh kebahagiaan eksternal dan tidak hidup secara berlebihan. Sebab kebahagiaan eksternal tidak ada batasnya. Jika seseorang masih berupaya memperoleh kebahagiaan eksternal yang lebih banyak lagi, maka orang tersebut akan mengalami bahaya yang tak ada habisnya.
5. Seseorang dianjurkan untuk tidak menggelorakan fakultas hawa nafsu dan amarah-nya dengan cara mengingatkan dirinya akan apa yang didapatnya dari masing-masing fakultas tadi.
6. Seseorang harus memperhatikan seluruh tindakan dan rencananya, serta organ-organ tubuh dan jiwa yang akan digunakannya untuk melaksanakan rencananya itu, agar dia tidak menggunakannya menurut kebiasaan yang menyimpang dari pikirannya.
7. Seseorang harus senantiasa introspeksi diri. Dia harus tahu cela apa yang terdapat dalam dirinya.
8. Seseorang harus mampu menjauhkan diri dari penyakit-penyakit jiwa dan bahkan harus mampu mengidentifikasi pelbagai penyakit jiwa serta cara penyembuhannya. Orang tersebut harus mengetahui penyebab, akibat dan cara menyembuhkan penyakit-penyakit jiwa tersebut. Menurut Ibn Miskawaih, penyakit-penyakit jiwa itu tidak lain adalah kebalikan atau lawan dari kebajikan-kebajikan sebagaimana disebut di atas. Penyakit-penyakit jiwa itu adalah seperti bodoh, rakus, pengecut, dan lalim. Namun Ibn Miskawaih membagi lagi kejahatan dan kehinaan menjadi delapan bagian. Jumlah ini dua kali jumlah kebajikan yang empat. Kedelapan bagian itu adalah sembrono dan pengecut sebagai dua ujung dari satu titik tengah yang berupa berani. Kemudian memperturutkan hawa nafsu dan mengabaikan hawa nafsu sebagai dua ujung dari satu titik tengah yang berupa sederhana. Kemudian bodoh dan tolol sebagai dua ujung dari satu titik tengah yang berupa ‘arif. Dan lalim dan watak budak sebagai dua ujung dari satu titik tengah yang berupa adil. Kedelapan jenis penyakit jiwa ini bertolak belakang dengan empat kebajikan yang merupakan tanda kesehatan jiwa. Sebenarnya, di bawah penyakit-penyakit jiwa ini memiliki jenis-jenis penyakit lain yang tak terbatas. Perinciannya dapat dilihat beberapa contoh di bawah ini:


Marah

Menurut Ibn Miskawaih, marah juga merupakan salah satu bentuk penyakit jiwa. Penyebab marah ini adalah sombong, cekcok, meminta dengan sangat, bercanda, berolok-olok, mengejek, khianat, berbuat salah dan mencari hal-hal yang membawa kemasyhuran dan yang membuat manusia saling bersaing diri. Sifat marah ini menimbulkan hal-hal buruk seperti menyesal, mengharap dihukum cepat atau lambat, perubahan tempramen serta kepedihan. Sifat marah ini dapat disembuhkan dengan cara menyingkirkan sebab-sebab marah, melemahkan daya marah, menyabut substansi marah dan melindungi diri dari akibat-akibatnya. Selain itu, sifat marah dapat disembuhkan melalui cara menghentikan sikap melampaui batas.


Takut

Sebagai salah satu penyakit jiwa, sifat takut disebabkan oleh sejumlah hal, yakni merasa bakal terjadi sesuatu yang buruk, takut pada kejadian-kejadian yang bakan terjadi. Sebenarnya kejadian ini baru sebatas kemungkinan saja sehingga bisa terjadi dan bisa tidak terjadi. Karena itu jangan ditetapkan di dalam hati bahwa hal itu pasti terjadi, karena hal ini membuat kita takut. Inilah cara pengobatannya. Selain itu sifat takut disebabkan oleh pilihan buruk dan dosa sendiri. Hal ini dapat disembuhkan dengan jalan mengekang diri untuk tidak mengulangi perbuatan itu, tidak melakukan perbuatan bahaya, dan meninggalkan semua perbuatan keji yang kita cemaskan segala akibatnya. Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa terkadang manusia itu takut tua dan takut mati. Untuk kasus takut tua, maka seseorang harus menyadari bahwa jika manusia menghendaki umur panjang, berarti dia pasti akan berusia tua dan mengantisipasinya bahwa hal itu akan terjadi. Untuk kasus takut mati, bahwa penyebab takut mati adalah orang tersebut tidak mengetahui hakikat jiwa, tidak tahu hakikat mati, menduga bahwa jiwa akan hancur bersama jasad, menduga ada penderitaan menyakitkan setelah kematian, dan adanya keyakinan ada siksa setelah mati. Penyembuhannya dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang hakikat jiwa dan hakikat mati.



Sedih

Sebagai salah satu penyakit jiwa, sifat sedih hati disebabkan hilangnya sesuatu yang dicintai dan gagal mendapatkan apa yang dicari. Hal ini karena seseorang serakah pada harta benda, haus pad nafsu badani, dan merasa rugi ketika salah satu dari itu semua hilang atau gagal diperoleh. Penyembuhannya dapat dilakukan melalui memberikan pemahaman tentang hakikat dirinya dan menjelaskan bahwa seluruh alam semesta akan hancur karena tidak kekal. Jika hal ini telah dilakukan, maka seseorang yang terkena penyakit sedih hati tidak akan sedih lagi. Jika sudah demikian, maka orang tersebut akan mengarahkan tujuannya bukan kepada hal-hal jasmaniah lagi, melainkan ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja.


PENUTUP

Pada bagian terdahulu, Penulis telah menjelaskan pokok-pokok pemikiran Ibn Miskawaih tentang hakikat jiwa, prinsip-prinsip Akhlaq, hakikat Akhlaq, Pendidikan akhlaq, dan pendidikan jiwa. Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa Ibn Miskawaih benar-benar seorang filosof akhlaq yang handal. Uraian-uraiannya cukup filosofis dan mendalam. Karena itu sebagai sebuah apresiasi, generasi sekarang wajib memberikan penghargaan kepada filsuf yang satu ini. Penghargaan itu dapat berupa menjaga dan mengembangkan warisan pemikiran Ibn Miskawaih itu. Yang lebih penting lagi, sebesar-besar sebuah penghargaan adalah tidak mengadopsi pemikiran Klasik secara membabi buta tanpa diiringi sikap analitis-kritis, seraya mengajukan solusi kreatif dan alternatif. Wallahu A’lam bi al-Shawab


DAFTAR BACAAN

1. Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, terjemahan Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
2. Ali, Yusnaril, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
3. Amin, Ahmad, Zuhr al-Islam, Juz II, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1969.
4. Badawi, Abdurrahman, “Miskawaih”, dalam, M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. 1, Wiesbaden: Otto Harrosowitz, 1963.
5. Boer, T.J. De, The History of Philosophy in Islam, New York: Dover Publication, tt.
6. Dahlan, Abdul Azis, “Filsafat”, dalam, Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
7. Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
8. ______(ed.), Segi-segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
9. Hitti, Philip K, History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present, New York: Macmillan Press, 2002.
10. Iqbal, Muhammad, Metafisika Persia; Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat, terjemahan Joebar Ayoeb, Bandung: Mizan, 1990.
11. Jalaluddin, dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
12. Jum’ah, M. Luthfi, Tarikh Falsafah al-Islam, Mesir: tp, 1927.
13. Kamal, Zainun, “Sebuah Pengantar”, dalam, Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, terjemahan Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1997).
14. Ibn Al-Khatib, “Sebuah Pengantar”, dalam, Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, terjemahan Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1997.
15. Labib, Muhsin, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, Jakarta: Al Huda, 2005.
16. Leamen, Oliver, “Ibn Miskawaih”, dalam, Syed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terjemahan Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003.
17. Madjid, Nurcholis, (ed.), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
18. Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, terjemahan Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1997.
19. Musa, Muhammad Yusuf, Bain al-Din wa al-Falsafah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971.
20. Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
21. Sharif, M. M, Alam Fikiran Islam; Peranan Ummat Islam Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan, terjemahan Fuad Moh. Fachruddin, Bandung: CV Diponogoro, 1979.
22. _____, (ed.), Para Filosof Muslim, terjemahan Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1999.
23. Souyb, Joesoef, Pemikiran Islam Merobah Dunia, Medan: Madju, 1984.
24. Zurayk, C. K, “Sebuah Pengantar”, dalam, Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, terjemahan Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1997.


Catatan Kaki:

[1] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 41.
[2] Ibid, hlm. 44-62.
[3] Baca: Philip K. Hitti, History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present, (New York: Macmillan Press, 2002), hlm. 350-570.
[4] Baca: M. M Sharif, Alam Fikiran Islam; Peranan Ummat Islam Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Terj. Fuad Moh. Fachruddin, (Bandung: CV Diponogoro, 1979).
[5] Sekedar melihat biografi dan pemikiran para filosof Muslim ini, lihat: Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta: Al Huda, 2005); M.M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1999); Ahmad Daudy (ed.), Segi-segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984); Nurcholis Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
[6] M. Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafah al-Islam, (Mesir: tp, 1927), hlm. 304.
[7] Para penulis biografi berbeda pandangan dalam hal penentuan tahun lahirnya. Jalaluddin dan Usman Said menyatakan bahwa tokoh ini lahir pada tahun 330 H/940 M. Sementara Yusnaril Ali menuliskan bahwa tokoh ini lahir tahun 330 H/932 M. Ahmad Daudy hanya menyebut tahun hijriahnya yakni 330 H. Zainun Kamal menyebut tahun 330-921 H/421-1030 M. Sementara C.K. Zurayk menuliskan tahunnya 320 H/932 M. Sedangkan Ibn al-Khatib hanya menuliskan tahun wafatnya yakni 421 H/1030 M. Lihat, Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 135; Yusnaril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 53; Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 61; Zainun Kamal, “Sebuah Pengantar”, dalam Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 13-14; C. K. Zurayk, “Sebuah Pengantar”, dalam Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 18; dan Ibn Al-Khatib, “Sebuah Pengantar”, dalam Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 26.
[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 56.
[9] Labib, Para Filosof, hlm. 110.
[10] Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Juz II, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1969), hlm. 66.
[11] T.J. D Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication, tt.), hlm. 128.
[12] Joesoef Souyb, Pemikiran Islam Merobah Dunia, (Medan: Madju, 1984), hlm. 120.
[13] Oliver Leamen, “Ibn Miskawaih”, dalam Syed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 310.
[14] Lihat: C.K. Zurayk, “Sebuah Pengantar”, hlm. 18-19.
[15] Labib, Para Filosof, hlm. 110-111.
[16] Abdurrahman Badawi, “Miskawaih”, dalam M.M. Sharif (ed), A History of Muslim Philosophy, vol. 1, (Wiesbaden: Otto Harrosowitz, 1963), hlm. 469-470.
[17] Labib, Para Filosof, hlm. 111.
[18] Muhammad Iqbal, Metafisika Persia; Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat, terj. Joebar Ayoeb, (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 50.
[19] Hasyimsyah, Filsafat Islam, hlm. 62.
[20] Iqbal, Metafisika Persia, hlm. 55.
[21] Iqbal, Metafisika Persia, hlm. 56.
[22] Abdul Azis Dahlan, “Filsafat”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 196-197; Souyb, Pemikiran Islam, hlm. 122.
[23] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 35-37.
[24] Ibid, hlm. 37, 39.
[25] Ibid, hlm. 39.
[26] Ibid, hlm. 43-44.
[27] Ibid, hlm. 44.
[28] Ibid, hlm. 45.
[29] Ibid, hlm. 41.
[30] Ibid, hlm. 45-50.
[31] Ibid, hlm. 51-52.
[32] Ibid, hlm. 54.
[33] Ibid, hlm. 89-91.
[34] Ibid, hlm. 95-97.
[35] bid, hlm. 133-161.
[36] Ibid, hlm. 56.
[37] Ibid, hlm. 56-58.
[38] Ibid, hlm. 60.
[39] Ibid, hlm. 50.
[40] Ibid, hlm. 59-60.
[41] Ibid, hlm. 60-63.
[42] Ibid, hlm. 64-65.
[43] Ibid, hlm. 669-70
[44] Ibid, hlm. 70-81.
[45] Ibid, hlm. 80.
[46] Ibid, hlm. 162-195.

(Abu Thalib/Al-Badar/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: