Dikisahkan dua orang di masa Nabi Muhammad saling cekcok padahal keduanya hidup bertetangga. Salah satu dari mereka, sebutlah Fulan, punya beberapa pohon kurma yang tumbuh tersebar. Dia rajin mengurusi pohon-pohon kurmanya. Kebetulan, sebatang kecil pohon kurma tumbuh tepat di pekarangan rumah tetangganya. Saban mengurusi pohon itu, Fulan harus melewati rumah sang tetangga. Tapi dia tak pernah minta izin lebih dulu. Tak ayal, tetangganya sering merasa terganggu dan kesal.
Suatu hari, sang tetangga datang menemui Fulan. “Kau selalu mengganggu kami. Kau merusak ketenangan kami karena kau selalu melewati rumah kami saat menengok pohon kurmamu. Memang benar pohon kurmamu itu tumbuh di depan rumah kami, tapi tolonglah beri pemberitahuan dulu sebelum masuk. Minta izin dulu, supaya anggota keluarga kami bisa berhati-hati,” pinta sang tetangga. Bak air menetes di atas pasir, permintaan sang tetangga diacuhkan Fulan. “Tidak..tidak! aku tak perlu minta izin untuk mengurusi pohon kurmaku,” jawabnya ketus.
Hari terus berlalu. Fulan tetap rajin menengok pohon kurmanya, tanpa minta izin. Rasa kesal sang tetangga memuncak sampai ke ubun-ubun. Dia lalu pergi menemui Nabi saw, berharap kearifan dan kharisma ‘Sang Penutup Kenabian’ itu bisa melunakkan hati Fulan. Dia ceritakan semua.
Nabi lalu memanggil Fulan. Lepas klarifikasi masalah, Nabi berkata, “Mulai sekarang, kalau ingin menengok pohon kurmamu, mintalah izin mereka lebih dulu.”
Tapi celaka, Fulan tak cukup lapang dada untuk menerima nasehat Nabi. Dia malah berang. “Apa? Masa untuk menengok pohon kurma milikku sendiri, aku harus minta izin?!”
Melihat respon Fulan, Nabi berusaha melunakkannya dengan cara lain. Beliau lalu menawar pohon kurma Fulan dengan beberapa dirham. Fulan menolak. Nabi lalu menaikkan harga tawaran. Fulan masih bersikeras, terus mempertahankan pohon.
Nabi menarik nafas panjang. Mencoba jalan lain, Nabi bertanya, “Demi ketenangan saudaramu sesama Muslim, bersediakah engkau menukar pohon kurma itu dengan pohon kurma saya yang ada di daerah lain?”
“Tak mau.”
“Saya tukar dengan tiga pohon kurma. Bagaimana?”
“Tak mau.”
Nabi terus menambah jumlah hingga mencapai 10 pohon. Tapi Fulan tetap menolak.
Tak putus asa, Nabi mencoba pintu lain lagi. Kali ini dari medan maknawi. “Jika engkau merelakan pohon itu demi keridhaan Allah, saya jamin Allah swt akan memberimu balasan yang lebih baik di akhirat kelak.”
“Saya tak perlu balasan seperti itu!!”
“Saya tak perlu balasan seperti itu!?!” seru Fulan dengan wajah merah bak kepiting rebus.
“Berarti engkau ini suka mengganggu orang lain,” simpul Nabi. Beliau lalu menoleh pada sang tetangga, “Cabut pohon kurma itu dan beri padanya. Agama Islam melarang Muslim mengganggu saudara seiman.” Kedua orang itu kemudian undur diri dari hadapan Nabi.[Diadaptasi dari Kisah-Kisah Langit/Anisa]
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email