Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS HIKMAH. Show all posts
Showing posts with label ABNS HIKMAH. Show all posts

Terjemahan Naskah Janji Rasulullah Muhammad SAW Dengan Penganut Agama Kristen


Oleh: M. Quraish Shihab

Dalam suasana tahun baru dan perayaan natal, Penulis mengajak kita semua untuk merenungkan janji Nabi Muhamamad saw. yang beliau nyatakan kepada umat Kristiani dari Najran (satu wilayah Saudi Arabia yang berbatasan dengan Yaman). Kendati janji ini disampaikan kepada kaum Nasrani Najran tapi ia tidak terbatas buat mereka namun buat semua kaum Nasrani di seluruh persada bumi dan sepanjang masa. Naskah Janji Nabi itu sebagai berikut :

Najran dan kelompoknya serta semua penganut agama Nasrani di seluruh dunia berada dalam perlindungan Allah dan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut harta benda, jiwa dan agama mereka, baik yang hadir (dalam pertemuan ini) maupun yang gaib. Termasuk juga keluarga mereka, tempat-tempat ibadah mereka dan segala sesuatu yang berada dalam wewenang mereka, sedikit atau banyak.

Saya berjanji melindungi pihak mereka, dan membela mereka, gereja dan tempat-tempat ibadah mereka serta tempat-tempat pemukiman para rahib dan pendeta-pendeta mereka demikian juga tempat-tempat suci yang mereka kunjungi. Saya juga berjanji memelihara agama mereka dan cara hidup mereka – di mana pun mereka berada- sebagaimana pembelaaan saya kepada diri dan keluarga dekat saya serta orang-orang Islam yang seagama dengan saya. Karena saya telah menyerahkan kepada mereka perjanjian yang dikukuhkan Allah bahwa mereka memiliki hak serupa dengan hak kaum muslimin, dan kewajiban serupa dengan kewajiban mereka. Kaum muslimin pun berkewajiban seperti kewajiban mereka berdasar kewajiban memberi perlindungan dan pembelaan kehormatan sehingga kaum muslimin berkewajiban melindungi mereka dari segala macam keburukan dan dengan demikian mereka menjadi sekutu dengan kaum muslimin menyangkut hak dan kewajiban.

Tidak boleh uskup dari keuskupan mereka diubah, tidak juga kekuasaan mereka, atau apa yang selama ini mereka miliki. Tidak boleh juga dituntut seseorang atas kesalahan orang lain, sebagaimana tidak boleh memasukkan bangunan mereka ke bangunan mesjid, atau perumahan kaum muslimin. Tidak boleh juga mereka dibebani kezaliman menyangkut pernikahan yang mereka tidak setujui. Keluarga wanita masyarakat Nasrani tidak boleh dipaksa mengawinkan anak perempuannya kepada pria kaum muslimin. Mereka tidak boleh disentuh oleh kemudharatan kalau mereka menolak lamaran atau enggan mengawinkan karena perkawinan tidak boleh terjadi kecuali dengan kerelaan hati. Apabila seorang wanita Nasrani menjadi isteri seorang muslim maka sang suami harus menerima baik keinginan isterinya untuk menetap dalam agamanya dan mengikuti pemimpin agamanya serta melaksanaka tuntunan kepercayaannya. Tidak boleh hal ini dilanggar. Siapa yang melanggar dan memaksa isterinya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan urusan agamanya, maka dia telah melanggar perjanjian (yang dikukuhkan) Allah dan mendurhakai janji Rasul-Nya dan dia tercatat disisi Allah sebagai salah seorang Pembohong.

Buat para penganut agama Nasrani, bila mereka memerlukan sesuatu untuk perbaikan tempat ibadah mereka, atau satu kepentingan mereka dan agama mereka, bila mereka membutuhkan bantuan dari kaum muslimin maka hendaklah mereka dibantu dan bantuan itu bukan merupakan hutang yang dibebankan kepada mereka tetapi dukungan buat mereka demi kemaslahatan agama mereka serta pemenuhan janji Rasul (Muhammad saw.) kepada mereka dan anugerah dari Allah dan Rasul-Nya buat mereka. Tidak boleh seorang Nasrani dipaksa untuk memeluk agama Islam “Janganlah mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berselisih pendapat denganmu kecuali dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang yang melampaui batas dan katakan, “Kami percaya dengan apa yang diturunkan Allah kepada kami, (Al-Qur’ân), juga dengan apa yang diturunkan kepada kalian (Tawrât dan Injîl). Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu. Dan kami hanya tunduk kepada-Nya semata.” (Q.S. al-‘Ankabut 46). Mereka hendaknya diberi perlindungan berdasar kasih sayang dan dicegah segala yang buruk yang dapat menimpa mereka kapan dan dimanapun. Demikian janji Rasulullah Muhammmad saw. (diriwayatkan antara antara lain oleh Abu Daud, dan dikutip dengan berbagai riwayat oleh Abi Yusuf dalam bukunya Al-Kharaj, Ibnu Al-Qayyim dalam Zad al-Ma’ad dan lain-lain dan dapat diunduh di Google. []

(Quraish-Shihab/Islamic-Sources/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Imam Ali bin Abi Abi Thalib as; Kesan dan Pengaruh Kepribadian Imam Ali bin Abi Thalib as


Ali bin Abi Thalib adalah amir mukminin, pemimpin para washi (orang yang mendapat wasiat), khalifah Rasulullah yang pertama. Penetapan ini berdasar perintah Allah dan Rasulnya. Al-Quran dengan gamblang menjelaskan keismahannya, keterjagaan dan kesucian dari segala salah dan dosa. Nabi Muhammad saw melakukan mubahalah (sumpah setelah berdebat) disertai Imam Ali bin Abi Thalib, Fathimah dan kedua anaknya. Mereka berempat disebut Al-Qurba (keluarga). Wajib hukumnya mencintai mereka. Berkali-kali disebutkan bahwa keluarga Nabi adalah padanannya Al-Quran. Siapa yang berpegangan pada keduanya akan selamat, sementara yang meninggalkan keduanya akan tersesat.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. Tumbuh dan besar lewat asuhan Rasulullah saw. Sejak kecil ia disuap oleh Nabi. Ia adalah seorang murid yang senantiasa setia terhadap gurunya. Imam Ali bin Abi Thalib memerankan seorang saudara tanpa tendensi apapun berhadapan dengan Nabi. Ali bin Abi Thalib AS. orang pertama yang memeluk Islam, orang pertama yang salat bersama Nabi dan orang pertama yang lebur di jalan Allah. Ia mengorbankan dirinya demi kemenangan risalah Allah pada kondisi yang paling sulit sekalipun ketika berhadap-hadapan dengan masyarakat Arab jahiliah. Pengorbanannya dilakukan pada kedua periode perkembangan Islam, Mekkah dan Madinah. Pengorbanannya tidak hanya dilakukan semasa Nabi masih hidup namun hal itu berlangsung hingga ajal menjemput Rasul Allah dan setelah sepeninggal Nabi. Ali bin Abi Thalib luruh dalam prinsip dan risalah Allah sebagaimana ia adalah personifikasi kebenaran. Ia tidak pernah berpaling dari kebenaran walau seujung rambut.

Dhirar bin Dhamrah Al-Kannaani memerikan sifat-sifat mulai Ali bin Abi Thalib kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Mendengar sifat-sifat yang disandang Ali, ia langsung menangis. Mereka yang mendengarkan penyifatan itu juga ikut menangis. Kemudian ia memohon kepada Allah untuk memberikan kemurahan kepadanya dengan ucapannya:

‘Demi Allah! Ali adalah orang yang memiliki pandangan yang jauh ke depan dan sangat kuat. Ucapannya menyelesaikan setiap masalah, hukuman yang dijatuhkan mencerminkan keadilan. Ilmu memancar dari dirinya, hikmah selalu menghiasinya. Ia menjauhkan dirinya dari dunia dan gemerlapnya, meraih malam dan keheningannya menjadi teman. Dari Ali banyak pelajaran yang dapat diambil dan ia adalah orang yang berpikir panjang. Ia senantiasa membalikkan tangannya (untuk berdoa) dan sering berbicara kepada dirinya sendiri. Ia menyukai pakaian yang sederhana dan makanan secukupnya. Bila ia berada di tengah-tengah kerumunan orang tidak terlihat berbeda dengan orang lain. Bila seseorang hendak mendekatinya ia lebih dahulu menghampiri ke arah orang tersebut. Ia pasti menjawab bila ditanya. Bila diundang pasti datang. Ia senantiasa memberikan kabar bila kami menanyakan sesuatu. Demi Allah! Walaupun ia senantiasa mendekatkan dirinya kepada para sahabat atau ia berada dekat-dekat dengan mereka para sahabat segan berbicara dengannya. Keseganan itu muncul dari wibawa yang dimilikinya. Ia tersenyum bak mutiara yang tersusun. Ia senantiasa menghormati orang-orang alim dan dekat dengan kalangan mustadh’afin. Orang kaya tidak akan memanfaatkannya dalam kebatilan sebagaimana orang lemah tidak pernah berputus asa akan keadilannya.[1]

Imam Ali bin Abi Thalib membantu Rasulullah saw semenjak permulaan dakwah. Ia berjuang bersama Rasulullah. Perjuangannya dalam sejarah dakwah Nabi tidak dapat dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Perjuangan yang dilakukannya berakhir pada suatu titik di mana malam tidak dapat membohongi pagi dan kebenaran muncul dalam dimensinya yang murni. Ia berbicara sebagai pemimpin agama. Ia membungkam asa para setan setelah terlebih dahulu membenamkan harapan serigala-serigala Arab dan keinginan-keinginan ahli kitab.[2]

Setelah Rasulullah saw menetapkan langkah-langkah dakwahnya untuk mengubah masyarakat jahiliah dalam masa yang singkat, jalan semakin terbuka untuk mencapai tujuan besar Islam. Di sisi lain, terbukanya jalan memiliki arti semakin sulit dan panjangnya perjalanan dakwah Islam. Kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi membutuhkan rancangan yang sempurna dan pemimpin yang sadar akan masalah ini. Pribadi pemimpin sepeninggal Nabi harus seorang yang tidak berbeda jauh kepribadiannya dengan Nabi sendiri baik dari sisi iman, kesempurnaan, keikhlasan, kematangan intelektual dan memiliki pengalaman yang cukup. Tentunya, secara alami, risalah penutup (baca: Islam) sebagai inti sari dakwah para nabi dan pewaris usaha yang telah dilakukan sebelumnya dan sebagai ajaran ilahi, hendaknya memiliki blue print yang jelas tentang masa depannya. Dengan alasan di atas, Nabi, dengan perintah Allah, memilih seorang pribadi yang lebur dan menyatu wujudnya dengan eksistensi dakwah Islam. Pribadi tersebut harus fana’ dan lebur dalam tujuan Islam dan tidak boleh terkotori oleh konsep-konsep jahiliah. Ia harus memiliki keutamaan-keutamaan seperti kesadaran penuh akan tanggung jawab yang diemban, keimanan, keikhlasan dan siap berkorban di jalan Allah.

Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya sahabat yang dipersiapkan oleh Rasulullah untuk mengemban tugas ini. Ali bin Abi Thalib adalah tokoh puncak pemikiran dan politik sepeninggal Nabi yang mampu menyambungkan proses perubahan panjang yang telah digariskan Nabi. Hal itu akan dilakukan dengan bersandarkan pada kaedah-kaedah yang jelas dan sadar yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah untuk membimbing kaum Muhajirin dan Anshar.

Konsep hidup jahiliah yang telah melekat erat dalam kehidupan sosial waktu itu tidak hancur hanya dengan perang Badr, Hunain dan di sela-sela sebuah perjanjian terkait dengan penghancuran dan pemusnahan. Jelas, secara alamiah, ia akan muncul kembali dengan mengambil baju Islam agar dapat leluasa tampil di panggung masyarakat baru setelah puluhan tahun. Secara alamiah sikap dan ide-ide jahiliah perlahan-lahan akan merambah posisi-posisi kepemimpinan baik secara langsung maupun tidak. Dari sini, kembali kepada ide-ide dan kebiasaan jahiliah -menggabungkannya dengan kepemimpinan yang mendapat legalitas syariat di tengah masyarakat Islam memiliki dampak yang sangat berbahaya dari setiap dimensi permasalahannya. Sementara di sisi lain, prinsip-prinsip kepemimpinan Islam sendiri belum sempurna secara sadar- menjadi sebuah keniscayaan bahkan dinanti oleh setiap pemimpin yang memiliki kesadaran politik dan sosial yang sangat rendah sekalipun. Bila ini dapat dibayangkan bagaimana apakah Rasulullah tidak pernah memikirkan kondisi dan kemungkinan yang seperti ini?

Bila diandaikan bahwa risalah Islam bertujuan untuk mengubah realitas sebuah masyarakat jahiliah maka seyogianya untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh kenyataan ini dari setiap usaha untuk mengaburkan masalah yang sebenarnya. Setelah itu menyiapkan langkah-langkah perubahan baik untuk rencana jangka pendek maupun jangka panjang. Risalah Islam sendiri telah memiliki rancangan tersebut yang merupakan keharusan logis sebuah syariat. Rancangan Islam terimplementasikan pada ajaran-ajaran bagaimana dan kepada siapa seorang muslim harus merujuk masalah-masalah keagamaan dan politik. Islam memerintahkan umatnya untuk merujuk kepada para Imam yang terjaga dari perbuatan dosa. Itu pun setelah Nabi mengangkat Ali pada peristiwa Ghadir Khum (telaga Khum) sebagai pemimpin kaum mukminin dan meminta para sahabat waktu itu untuk melakukan baiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib AS.

Rancangan Nabi berbenturan dengan realita yang dinanti oleh Nabi. Berbenturan juga dengan arus lemah yang kembali menunjukkan kurangnya kesadaran umat yang semestinya dapat membentuk lingkaran yang aman untuk melindungi kepemimpinan. Mayoritas kaum muslimin belum memahami secara mendalam bahwa konsep jahiliah bekerja sama di belakang layar untuk menggulingkan revolusi Islam. Problem yang dihadapi tidak hanya sekedar mengganti seorang pemimpin dengan pemimpin yang lain. Masalah yang dihadapi adalah penggantian rancangan Islam yang revolusioner dengan rancangan jahiliah yang berselimutkan Islam.

Peristiwa Saqifah (peristiwa pemilihan khalifah sepeninggal Nabi di tempat bernama Saqifah bani Saidah) menggugurkan rancangan kepemimpinan yang disiapkan oleh Nabi sang pemimpin. Lebih-lebih setelah pada kejadian tersebut Nabi telah tiada. Kejadian Saqifah membenarkan ramalan Al-Quran, ‘Muhammad hanyalah seorang utusan Allah. Sebelumnya telah diutus beberapa utusan. Apakah bila Muhammad mati atau terbunuh kalian akan kembali pada kondisi kalian sebelumnya?’[3]

Nabi telah menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai pelindung risalah, umat dan negaranya. Ia telah mewajibkan kepada Ali untuk menjaga risalah dan syariat sebagaimana ia juga telah diwajibkan untuk mendidik umat dan menjaga negara yang baru berdiri dan masih rentan terhadap goyangan.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. telah melakukan usaha untuk mengembalikan permasalahan-permasalahan yang ada pada tempat yang seharusnya. Ia mengingkari proses Saqifah dan hasil kejadiannya dengan bertahan tidak melakukan baiat dan tidak mau bersikap kooperatif dengan penguasa terpilih dari peristiwa Saqifah. Usaha yang telah dilakukan tidak banyak manfaatnya bahkan kondisi yang ada sedemikian rupa sehingga beliau harus memilih antara tersungkurnya pemerintahan yang ada baik secara politis dan teritorial dan melindungi negara dengan menerima mereka yang tidak layak menjadi pemimpinnya.

Pada awalnya Imam Ali bin Abi Thalib AS. mengambil sikap pertama sebagaimana dicatat oleh sejarah ketika beliau berkata, ‘Aku berdiam diri ketika melihat kebanyakan orang telah berpaling dari Islam. Mereka berdoa untuk yang membenarkan agama Muhammad saw kondisi ini membuat aku khawatir, bila tidak membantu Islam dan pengikutnya, aku sedang melihat keretakan dan kehancuran. Kehancuran ini bagiku sangat berat sekali untuk ditanggung dari pada hilangnya kepemimpinan yang menjadi hakku. Kepemimpinanku yang kuanggap hanya sesuatu yang sangat tidak berarti. Ia akan lenyap bagaikan hilangnya fatamorgana atau sebagaimana awan yang lenyap’.[4]

Sikap yang diambil oleh Imam Ali bin Abi Thalib AS. dapat dilihat dari ujian yang dihadapinya selama 25 tahun. Semua kepahitan yang dirasakannya dihadapinya dengan penuh kesabaran dengan harapan ia dapat membantu terwujudnya persatuan di kalangan umat Islam dan dengan tidak adanya bentrokan negara muda yang telah dirintis pendiriannya oleh Nabi Muhammad saw . Itu semua dilakukan dengan membiarkan haknya terambil untuk sementara. Ia menjadi konsultan bagi para khalifah sekaligus menjadi penasihat mereka. Di samping itu, beliau tidak lupa untuk melakukan hal-hal lain yang lebih penting seperti mengumpulkan Al-Quran sekaligus menafsirkannya. Memberikan pencerahan kepada umat dengan menjelaskan makna-makna Al-Quran dan hakikatnya. Semua itu dilakukan tanpa melupakan menyingkap konspirasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dari kaum muslimin. Beliau juga sering meluruskan pemahaman-pemahaman yang salah tentang Islam dan juga praktek-praktek yang mengatasnamakan Islam. Pada saat yang sama beliau juga mengkader sejumlah sahabat yang masih beriman dan meyakini rancangan Nabi tentang kepemimpinan Islam dan berusaha agar ini dapat menyebar dan tidak lupa mengingatkan untuk berkorban demi terwujudnya rancangan Nabi.

Setelah bersabar selama dua puluh lima tahun akhirnya Imam Ali bin Abi Thalib AS. mulai memetik hasil dari usahanya. Tersingkaplah hakikat yang selama ini terpendam. Semuanya tampak di depan generasi yang mulai sadar. Mereka tahu bahwa Ali bin Abi Thalib AS. adalah yang paling layak untuk menjadi khalifah sepeninggal Nabi. Hanya Ali bin Abi Thalib satu-satunya yang mampu untuk memperbaharui apa yang telah rusak selama ini. Sebuah kondisi yang sangat sulit dan kompleks sementara keberpisahan mereka dari kebenaran telah semakin jauh. Mengenai masalah ini Imam Ali bin Abi Thalib AS. berkata, ‘Demi Allah! Aku tidak memiliki sedikit pun perasaan untuk menjadi khalifah, kalianlah yang meminta dan memaksaku untuk menjadi khalifah’.[5]

Setelah menjadi khalifah kaum muslimin beliau menyampaikan garis besar politiknya, ‘Ketahuilah! Aku telah menerima permintaan kalian untuk menjadi khalifah namun aku akan berbuat sesuai dengan pengetahuanku. Aku tidak akan memerintah dengan mengikuti ucapan atau peringatan orang lain (sesuai dengan khalifah terdahulu)’.[6]

Pada kesempatan lain beliau mengucapkan, ‘Wahai Allah! Engkau mengetahui bahwa tidak satu pun dari kami (Ahli Bayt) yang ingin berebut kekhalifahan dan mengais runtuhan puing-puing. Yang menjadi perhatian kami adalah mengembalikan ajaran-ajaran agama Mu sekaligus melakukan perubahan di negeri-Mu sehingga hamba-hamba-Mu yang dizalimi merasa aman karena hak-haknya dilindungi dan batasan-batasan agama yang selama ini dilalaikan dapat ditegakkan kembali’.[7]

Imam Ali bin Abi Thalib AS. sendiri melakukan usaha sebisa mungkin untuk merealisasikan keadilan sosial dan politik di tengah-tengah masyarakat. Keamanan, kebebasan, kesejahteraan, dan menjaga stabilitas negara dengan menjaga persatuan umat dengan berusaha mendidik, mengajari dan memberikan umat hak-haknya secara sempurna. Tidak lupa ia memberhentikan pejabat-pejabat korup dan menggantikannya dengan orang-orang saleh yang dapat dipercaya tanpa meninggalkan pengawasan yang ketat. Usaha terakhir ini dilakukan untuk menjauhkan lingkaran pemerintahan dari orang-orang yang tamak dan rakus akan kekuasaan. Imam Ali bin Abi Thalib AS. konsekuensi dengan sikapnya; terbuka dan selalu bersikap benar di setiap dimensi masalah. Ia tidak akan memerintah dengan perbuatan yang memalukan seperti menipu dan mencurangi. Beliau berjalan searah dengan rancangan yang telah disiapkan oleh saudara dan anak pamannya Muhammad Rasulullah saw.

Usaha Imam Ali bin Abi Thalib AS. mendapat penentangan keras dari seluruh kekuatan tamak yang merasa posisinya dalam bahaya secara politik, sosial dan ekonomi. Semua kekuatan yang ada saling bahu membahu, mereka yang ikut dalam kasus pembunuhan Usman, menyuarakan slogan untuk meminta pertanggungjawaban atas kejadian itu kepada khalifah terpilih Imam Ali bin Abi Thalib AS. Ada yang kemudian muncul dalam peristiwa Nakitsin (pasukan Jamal yang kemudian dikenal dengan perang Jamal), Qasithin (pasukan Muawiyah yang kelak dikenal dengan perang Shiffin) dan Mariqin (kaum Khawarij). Imam Ali bin Abi Thalib AS. setelah melakukan perjuangan yang sulit ia sendiri menjadi martir dan tubuhnya disiram oleh darahnya yang suci. Kejadian itu terjadi di mihrab tempatnya melakukan salat di Masjid Kufah pada malam lailatul qadr tahun keempat puluh hijriah. Imam Ali bin Abi Thalib telah meraih kemenangannya dengan mereguk manisnya syahadah dan menang berada di jalur dan nilai-nilai risalah dan kebenaran demi menegakkan Islam. Ini sebuah kemenangan revolusi nilai ilahi atas nilai jahiliah.

Salam untuk mu wahai Amir Mukminin dan pemimpin orang-orang yang putih bercahaya karena bekas wudu di hari kelahiran mu, di hari engkau dibesarkan di ruang risalah, di hari engkau berusaha untuk meninggikan bendera Islam, di hari ketika engkau sabar dan memberi nasihat, di hari ketika engkau dibaiat dan memerintah, di hari ketika terbukanya kedok jahiliah yang senantiasa bersembunyi dibalik slogan Islam, di hari ketika engkau menjadi martir dan darahmu yang suci menyiram pohon Islam menjadi lebih lebat dan di hari ketika engkau dibangkitkan di mana engkau membawa tanda-tanda kemenangan di surga yang tinggi.


Referensi:

[1] . Al-Isti’ab (Al-Mathbu’ bi Hamisyi Al-Ishabah), jilid 3, hal 44, terbitan Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi, Beirut.

[2] . Bagian dari pidato Fathimah Az-Zahra AS. yang terkenal di hadapan Abu bakar, Umar bin Khatthab dan seluruh kaum muhajirin dan Anshar tidak lama setelah meninggalnya Nabi dan meminta untuk mengembalikan kekhalifahan kepada Ali.

[3] . QS. 3:144.

[4] . Allamah Majlisi, Bihar Al-Anwar, jilid 33, hal 596-597, Bab Al-Fitan Al-Haditsah bi Mishr, cetakan Wizarah At-Tsaqafah wa Al-Irsyad Al-Islami, 1368 HS.

[5] . Allamah Majlisi, Bihar Al-Anwar, jilid 32, hal 50, Bab Bai’ah Amir Al-Mu’minin.

[6] . Allamah Majlisi, Bihar Al-Anwar, jilid 32, hal 36. [7] . Allamah Majlisi, Bihar Al-Anwar, jilid 34, hal 111, Bab Al-Fitan Alati Waqa’at fi Zaman Ali AS.


Kesan dan pengaruh kepribadian Imam Ali bin Abi Thalib AS.

Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib AS. berbarengan dengan masa pergerakan wahyu hingga terputusnya wahyu sepeninggal Nabi. Ia memiliki posisi yang mulia di sisi Nabi. Posisi ini yang membuatnya berusaha untuk membantu dan melindungi Rasul Allah dan risalah selama dua puluh tiga tahun dengan perjuangan yang terus menerus. Pembelaannya terhadap batasan-batasan Islam yang suci. Kias balik posisi, perbuatan-perbuatan dan keutamaan yang dimilikinya dengan indah dilukiskan oleh ayat-ayat Al-Quran dan teks-teks hadis.

Ibnu Abbas berkata, ‘Ada 300 ayat yang turun berkenaan dengan Ali’.[1] Dan setiap turun ayat yang berbunyi Yaa ayyuhal ladzina aamanuu (wahai orang-orang yang beriman) Ali bin Abi Thalib pasti disebutkan di sana karena ia adalah pemimpin dan yang termulia dari orang-orang yang beriman.[2] Allah dalam sebagian ayat-Nya pernah memperingatkan para sahabat Nabi namun setiap kali menyebutkan tentang Ali pasti berkenaan dengan yang baik.[3]

Banyaknya jumlah ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib AS. oleh ulama mutaqaddimin (yang terdahulu) maupun muta’akhirin (yang terakhir) dikumpulkan dalam buku-buku mereka. Sebagian dari ayat-ayat yang memiliki sangkut paut dengan Imam Ali bin Abi Thalib akan disebutkan sesuai juga dengan penjelasan para ahli hadis:

Riwayat dari Ibnu Abbas: Pernah Ali bin Abi Thalib hanya memiliki uang empat dirham. Dengan empat dirham itu ia memberikan sedekah satu dirham pada malam hari dan satu dirham lagi di siang hari. Dua dirham terakhir juga disedekahkan; satu dirham secara sembunyi-sembunyi sementara dirham terakhirnya disedekahkan secara terang-terangan. Setelah melakukan hal tersebut turun ayat yang berbunyi, ‘Orang-orang yang menginfakkan hartanya di malam dan siang hari, secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Bagi mereka yang berbuat demikian pahalanya ada di sisi Tuhannya. Orang yang melakukan ini tidak memiliki rasa takut dan tidak pernah bersedih’.[4]

Dari Ibnu Abbas: Ali bin Abi Thalib bersedekah dengan cincinnya sementara ia dalam kondisi melakukan ruku’. Kemudian Nabi bertanya kepada pengemis, ‘Siapa yang memberimu cincin ini? Ia menunjuk sambil berkata, ‘Yang memberiku orang yang sedang melakukan ruku’ itu’. Setelah itu turun ayat, ‘Wali/pemimpin kalian hanyalah Allah dan Rasulnya dan orang-orang yang beriman, orang-orang yang menegakkan salat sembari memberikan sedekah dalam kondisi ruku’.[5]

Ayat Tathir[6] menunjukkan bahwa Ali termasuk Ahli Bayt wahyu yang disucikan dari segala noda dan dosa. Sementara ayat Mubahalah[7] mengatakan bahwa Ali adalah jiwa Nabi.
Surat Al-Insan menjadi bukti akan keikhlasan Ali dan keluarganya dan kekhusyu’an mereka kepada Allah. Bukti dan persaksian ilahi ini menjadi penjamin bahwa mereka adalah ahli surga.[8]

Para tokoh ahli hadis menyiapkan bab khusus dan bagian tersendiri berkenaan dengan keutamaan Ali terkait dengan riwayat-riwayat Rasulullah saw. Sejarah panjang kemanusiaan belum pernah mengenal manusia yang lebih utama dari Ali bin Abi Thalib setelah Rasul. Tidak pernah tercatat untuk orang lain keutamaan sebagaimana yang tertulis untuk Ali bin Abi Thalib sekalipun ia banyak menuai cercaan dan makian di atas mimbar salat Jumat sepanjang kekuasaan bani Umayyah dan orang-orang yang membencinya. Mereka yang membencinya senantiasa berusaha untuk mengurangi keutamaan Ali sampai tidak lagi ditemukan apa yang dapat dilakukan. Semua usaha menemui jalan buntu. Umar bin Al-Khatthab berkata bahwa Rasulullah sempat bersabda, ‘Tidak ada seorang pun yang dapat meraih keutamaan seperti keutamaan yang dimiliki Ali. Keutamaan ini selalu menunjukkan pemiliknya ke jalan hidayah dan mencegahnya dari kehancuran.[9]

Dikatakan kepada Ali bin Abi Thalib, ‘Bagaimana bisa engkau banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw lebih dari sahabat yang lain? Ia menjawab, ‘Bila aku bertanya niscaya Nabi memberi kabar kepadaku. Bila aku diam Nabi yang memulai memberitahukan kepadaku’.[10]

Dari Ibnu Umar, ‘Pada hari penetapan persaudaran yang dilakukan Nabi kepada para sahabat, Ali bin Abi Thalib tiba dengan air mata berlinang. Rasulullah saw bersabda, ‘Engkau adalah saudaraku di dunia dan di akherat’.[11]

Dari Abi Laila Al-Ghiffari berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sepeninggalku akan terjadi fitnah. Bila fitnah itu terjadi maka hendaklah kalian berpegangan dengan Ali bin Abi Thalib. Ia pertama kali orang yang beriman kepadaku. Orang pertama yang menyalamiku di hari kiamat. Ia adalah orang yang paling jujur (As-Shiddiq Al-Akbar). Ia adalah pemisah (Faruq) umat ini. Ia merupakan pemimpin (lebah jantan) kaum mukminin sementara harta adalah pemimpin kaum munafikin’.[12]

Seluruh khalifah mengatakan bahwa Ali adalah yang paling mengetahui dan paling tepat dalam mengadili, hakim. Lebih dari itu, mereka sepakat bahwa seandainya Ali tidak ada niscaya mereka pasti celaka. Ungkapan ini lebih dikenal dalam ucapan-ucapan Umar yang berbunyi, ‘Seandainya tidak ada Ali niscaya Umar telah celaka’.[13]

Dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari berkata, ‘Kami tidak pernah mengenal orang-orang munafik kecuali lewat kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib’.[14]

Ketika Muawiyah tiba di tempat terbunuhnya Ali bin Abi Thalib AS. ia berkata, ‘Pemahaman yang detil dan ilmu telah lenyap dengan meninggalnya ibnu Abi Thalib’.[15]

As-Sya’bi berkata, ‘Keberadaan Ali bin Abi Thalib di tengah-tengah umat Islam sebagaimana keberadaan Isa bin Maryam di tengah-tengah Bani Israil. Sebagian dari pengikutnya begitu mencintainya sehingga mereka sampai pada batasan kekafiran akibat kecintaan yang berlebihan. Sementara sebagian yang lain begitu membencinya sehingga mereka sampai pada batasan kekafiran akibat kebencian yang berlebihan’.[16]

Ali adalah paling dermawannya manusia. Ia senantiasa berakhlak sebagaimana yang diinginkan Allah; dermawan dan tangannya senantiasa terbuka. Ia tidak pernah berkata ‘tidak’ seumur hidupnya untuk peminta-minta.[17]

Sha’sha’ah bin Shuhan berkata kepada Ali bin Abi Thalib di hari ketika ia dibaiat, ‘Demi Allah! Wahai Amir Mukminin, engkau telah menghiasi khilafah sementara khilafah tidak pernah membuatmu terhiasi. Engkau telah meninggikan derajat khilafah sementara khilafah tidak pernah meninggikanmu. Kekhalifahan lebih membutuhkanmu dibanding kebutuhanmu terhadapnya.

Dari Abi Syibrimah, ‘Tidak pernah ada seorang pun yang berkata di atas mimbar ‘Saluni’ (tanyailah aku), selain Ali bin Abi Thalib’.[18]

Al-Qa’qa’ bin Zurarah berdiri di sisi kuburan Ali sambil berkata, ‘Semoga Allah rela denganmu. Demi Allah! Kehidupanmu selama ini adalah kunci kebaikan. Seandainya masyarakat sebelum ini menerimamu niscaya mereka akan mendapat makanan dari langit dan dari bawah kaki-kaki mereka. Sayangnya mereka menganggap remeh nikmat yang selama ini ada bersama mereka dan lebih mementingkan dunia’.[19]

George Jordaq seorang Masehi berkata dalam bukunya ‘Al-Imam Ali bin Abi Thalib Shaut Al-‘Adalah Al-Insaniyah’ (Ali suara keadilan manusia), berkata, ‘Ali bin Abi Thalib salah satu dari orang yang unik dan sulit ditemukan yang semisalnya. Bila engkau mengetahui hakikat mereka pasti engkau terjauhkan dari status taklid. Engkau akan memahami fokus keagungan mereka yang terwujud dalam keimanan mutlak akan kemuliaan manusia, kebenaran manusia yang kudus dalam kehidupan yang bebas dan mulia. Manusia yang semacam ini yang diinginkannya selamanya. Kejumudan, keterbelakangan dan senantiasa terhenti pada kondisi sebelumnya atau masa kini hanyalah sebuah kematian dan penunjuk pada kefanaan.[20]

Syibli Shcmeil berkata, ‘Imam Ali bin Abi Thalib paling agungnya orang yang teragung. Pribadi satu-satunya yang tidak akan pernah ada yang menyamainya, baik di barat maupun di timur, tidak juga sebelum dan sesudahnya’.[21]

Ali bin Abi Thalib tetap tinggal sebagai rumusan dan kepemimpinan praktis yang tidak dapat dipisahkan. Ia senantiasa konsekuensi bersama generasi sahabat-sahabat besar dengan pengertian pertama Islam sebagai petunjuk dan pengorbanan guna memperbaiki alam dan membentengi Islam menuju ke jalan kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, sesuai dengan pengertian Islam sebagai revolusi yang tetap dan berkelanjutan.

Muawiyah di sela-sela peperangannya dengan Imam Ali bin Abi Thalib menampakkan dirinya di hadapan generasi muda muslim sebagai orang yang berada di puncak kekuasaan dengan ekspansinya. Di sisi yang lain ia tidak ingin melepaskan ketamakannya atas kekayaan materi yang telah dikumpulkannya. Sikap permusuhan yang sangat dalam dan kelam ini sangat merusak dan memiliki daya hancur yang kuat. Hal ini memberikan kesempatan kepada Muawiyah untuk mengukuhkan rasa cinta keduniaan yang mengakar. Rasa ini mengoyak-ngoyak persatuan kaum muslimin. Kondisi ini memberikan sebuah lahan baru tentang hak-hak milik agama yang lebih mencakup kepada politik pemerintahan dalam menghadapi semangat risalah dan revolusi.[22]

Masih seputar masalah ini, profesor Hasyim Ma’ruf menulis:

“Imam Ali bin Abi Thalib adalah fenomena historikal yang tidak pernah dikenal oleh umat manusia dalam kehidupan mereka. Ketidaktahuan ini mulai dari kelahirannya. Tempat lahirnya merupakan tempat yang sangat fenomenal dalam sejarah. Belum pernah ada seorang pun yang pernah dilahirkan di sana (Ka’bah), tidak sebelumnya dan tidak sesudahnya. Sebagaimana ia dilahirkan di rumah Allah, saat menghadapi kematiannya oleh Allah ia dikeluarkan dari rumahnya.”

Ditambahkan olehnya:

‘Belum pernah terjadi dalam sejarah kemanusiaan seperti yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib. Orang-orang yang tidak memiliki keimanan seperti para pecintanya menganggapnya sebagai pemimpin yang terdepan dan salah satu manusia terjenius yang pernah dilahirkan zaman. Orang-orang yang obyektif mencintainya, memandangnya sebagai pendamping kenabian dan kerasulan. Sementara orang-orang yang berlebih-lebihan dalam mencintainya meletakkannya pada posisi ketuhanan.”[23]


Referensi:

[1] . Al-Futuhat Al-Islamiyah, jilid 2, hal 516.

[2] . Kasyf Al-Ghummah, hal 93.

[3] . Yanabi’ Al-Mawaddah, 126.

[4] . QS. 2:273. Lihat Yanabi’ Al-Mawaddah, hal 92.

[5] . QS. 5:55. Lihat Tafsir At-Thabari, jilid 6, hal 165, Tafsir Al-Baidhawi dan lain-lainnya.

[6] . QS. 33:33. Lihat Shahih Muslim, Bab Fadhail As-Shahabah.

[7] . QS. 3:61. Lihat Shahih At-Turmudzi, jilid 2, hal 300.

[8] . Lihat Al-Kassyaf milik Az-Zamakhsyari. At-Thabari di Ar-Riyadh An-Nadhirah, jilid 2, hal 207.

[9] . Ar-Riyadh An-Nadhirah, jilid 1, hal 166.

[10] . Thabaqat Ibnu Sa’ad, jilid 2, hal 338. Hilyah Al-Auliya’, jilid 1, hal 68.

[11] . Sunan At-Turmudzi, jilid 5, hal 595, hadis nomor 3720.

[12] . Ibnu Hajar, Al-Ishabah, jilid 4, hal 171, nomor 994. Majma Az-Zawaid, jilid 1, hal 102.

[13] . Syarh Nahjul Balaghah, jilid 1, hal 6. Tadzkirah Al-Khawash, hal 87.

[14] . Al-Isti’ab bi Hamisy Al-Ishabah, jilid 3, hal 45.

[15] . Idem.

[16] . Al-‘Aqd Al-Farid, jilid 2, hal 216.

[17] . Syarh Nahjul Balaghah, jilid 1, hal 7.

[18] . Aimmatuna, jilid 1, hal 94, dinukil dari ‘Ayan As-Syi’ah, jilid 3, bagian 1, hal 103.

[19] . Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 213.

[20] . Al-Imam Ali Shaut Al-‘Adalah Al-Insaniyah, jilid 1, hal 14.

[21] . Idem, hal 35.

[22]. Burhan Ghalyiun, Naqd As-Siyasah, Ad-Daulah wa Ad-Din, hal 78, cetakan kedua 1993, Al-Muassasah Al-‘Arabiyah lil Dirasah wa An-Nasyr. [23] . Sirah Al-A’immah Al-Itsna ‘Asyr.


(Islamic-Sources/Islam-Menjawab/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dunia Yang Dikutuk dan Dipuji


“Dunia” kadang-kadang dapat diartikan sebagai tingkat eksistensi paling rendah dan tempat perubahan, peralihan dan kemusnahan. “Akhirat” menunjukkan kembalinya seseorang dari alam eksistensi yang lebih rendah ke alam yang lebih tinggi, alam samawi, alam bathiniah, yang merupakan tempat yang tetap, tidak berubah dan abadi. Dua alam itu ada pada setiap individu.

Yang pertama ialah alam meteril, tempat perkembangan dan kemunculan, yang merupakan tempat eksistensi dunia yang lebih rendah. Yang kedua adalah tingkat eksistensi yang tersembunyi, bathin, dan samawi, yang merupakan alam keberadaan ukhrawi yang lebih tinggi.

Meskipun eksistensi duniawi adalah alam keberadaan yang lebih rendah dan tidak sempurna, selama ia menjadi ladang untuk latihan jiwa yang mulia dan sekolah untuk mencapai kedudukan ruhaniah yang lebih tinggi atau menjadi lahan untuk mengolah akhirat.

Dalam arti ini, dunia merupakan alam keberadaan yang paling agung dan alam yang paling menguntungkan bagi pencinta Tuhan dan para musafir di jalan akhirat. Dan, jika bukan karena alam materi duniawi ini, wilayah transformasi dan perubahan fisik dan ruhaniah, serta jika Allah Swt tidak menjadikannya sebagai alam peralihan dan kemusnahan, yang tidak sempurna tentu tidak akan dapat mencapai status ksempurnaan yang dijanjikan dan tidak dapat menjangkau alam yang permanen dan stabil. Sedangkan penjelmaan ketaksempurnaan tidak dapat memasuki kerjaan Allah.

Dengan demikian, yang disebut dalam Al-Qur’an dan hadist sebagai ‘dunia’ yang tercela sesungguhnya tidak berlaku bagi dunia itu sendiri, tetapi yang dimaksudkan adalah ketenggelaman, kecintaan, dan ketertarikan mansuai padanya. Ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai dua dunia: yang satu dikutuk, sementara yang lain diagungkan dan dipuji.

Dunia yang dipuji apabila pada tahap eksistensi duniawi, yang merupakan kampung pendidikan dan tempat perdagangan ini, seorang memperoleh pelbagai kedudukan ruhaniah yang tinggi, kesempurnaan, dan kebahagiaan abadi. Semua itu tidak mungkin dapat diperoleh tanpa memasuki dunia ini, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib dalam salah satu khotbahnya yang ia sampaikan ketika mendengar seorang menghina dunia.

“Sesungguhnya dunia ini adalah tempat kebenaran bagi mereka yang menyadari kebenarannya, tempat keselamatan bagi mereka yang memahaminya, tempat kekayaan bagi mereka yang mencari bekal darinya (untuk akhirat), dan tempat pelajaran bagi mereka yang mau mengambil pelajaran darinya. Ia adalah tempat sujud para kekasih Allah, tempat salat para malaikat Allah, tempat turunnya wahyu Allah, dan pasar orang-orang yang taat kepadaNya (untuk mengambil untung darinya). Di situ, mereka memperoleh rahmat-Nya dan di situ pula mereka memperoleh surga.”

Adapun dunia yang terkutuk ialah dunia (yang berada dalam hati) manusia sendiri, dalam arti ketenggelaman, keterikatan, dan kecintaan pada dunia. Dunia yang demikian ini merupakan sumber dari segala kejahatan dan dosa lahir maupun batin, sebagaimana dalam hadist, “Cinta dunia adalah sumber segala pelanggaran.”

Dalam riwayat lain dikatakan, “Luka yang disebabkan tikaman dua serigala buas, yang satu menyerang dari depan dan yang lain dari belakang, pada sekelompok kambing tanpa penggembala, tidak lebih cepat merusak dibandingkan dengan luka yang disebabkan oleh tikaman cinta dunia terhadap iman seorang Mukmin.”

Dengan demikian, ketertarikan hati dan kecintaan pada dunia adalah sama artinya dengan dunia yang dikutuk, dan makin besar ketertarikan itu, makin tebal pula tirai antara manusia dan alam keagungan, serta makin tebal juga tirai antara hati manusia dan Penciptanya.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ali dan Fathimah; Rumah Tangga Penuh Cinta


Salah satu faktor utama yang membuat langgengnya sebuah pernikahan adalah cinta dan kasih sayang antara suami dan istri. Contoh terbaik kehidupan seperti ini dapat disaksikan pada pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Pernikahan yang terjadi pada 1 Dzulhijjah 2 Hijriah Qamariah.

Pernikahan yang langgeng dan hakiki ketika dibangun di atas fondasi cinta dan kasih sayang. Allah Swt telah meletakkan hakikat tak ternilai bernama cinta dan kasih sayang ini dalam diri pria dan wanita.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[1]

Oleh karenanya, bila suami dan istri ingin sampai pada ketenangan, kehangatan rumah tangga dan pengokohannya, maka harus menyatakan dan menyampaikan rasa cinta dan kasih sayang, agar hubungan keduanya lebih akrab dari sebelumnya. Sebaliknya, pernyataan cinta dan kasih sayang ini bakal mencegah terjadinya gesekan dan munculnya kemarahan di antara keduanya.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ketika seorang hamba bertambah keimanannya, pada saat yang sama bertambah pula kecintaannya kepada istrinya.”[2]

Sekaitan dengan hal ini, Imam Ridha as berkata, “Ketahuilah bahwa wanita itu beragam dan dari mereka ada yang berupa raihan tak ternilai dan kompensasi. Wanita seperti ini sangat mengasihi suaminya dan mencintainya.”[3]

Dari penjelasan di atas, poin pentingnya adalah menyampaikan rasa cinta kepada istri. Sekalipun cinta itu urusan hati, tapi tidak boleh berhenti hanya pada rasa cinta yang terpendam dalam hati. Cinta yang ada di hati harus disampaikan baik lewat lisan atapun perilaku, sehingga hasil yang diinginkan dapat diraih.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ucapan suami kepada istrinya ‘Aku mencintaimu’ tidak akan pernah hilang dari hatinya.”[4]

Contoh paling tepat dari kehidupan penuh cinta dan kasih sayang dapat ditemukan dalam pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Sebuah pernikahan yang dibangun atas dasar kesederhanaan dan dilanjutkan dengan kasih sayang dan cinta.

Dalam merajut kehidupan rumah tangganya dengan Sayidah Fathimah, Imam Ali as berkata, “Kami berdua bak pasangan merpati di sarang.”[5]

Kasing sayang dan cinta suami dan istri ini sedemikian eratnya, sehingga Imam Ali as menyebut keberadaan Fathimah mampu menenangkan hatinya. Beliau berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah marah dan membencinya dikarenakan sesuatu, sehingga Allah mengambilnya dariku. Ia juga tidak pernah membuatku marah dan menentangku. Ketika aku melihatnya, maka tersingkap seluruh kegalauan dan kesedihanku.”[6]


Dalam riwayat disebutkan:
“Pada suatu pagi, Imam Ali as berkata kepada Fathimah as, ‘Apakah ada makanan?’

Sayidah Fathimah menjawab, ‘Tidak. Demi kebenaran Allah yang mengutus ayahku sebagai nabi dan engkau sebagai penggantinya! Tidak ada sesuatu di rumah. Sudah dua hari kami belum makan. Ada sedikit makanan di rumah yang kusisihkan untukmu dan anak-anak.’

Ali as berkata, ‘Wahai Fathimah! Mengapa engkau tidak memberitahuku agar aku menyiapkan makanan?’

Fathimah menjawab, ‘Wahai Abu al-Hasan! Aku malu di hadapan Allah meminta sesuatu darimu yang tidak dapat engkau lakukan.’[7]

Istri yang tidak menuntut, membantu urusan rumah, memanggil dengan penghormatan, berkorban dan lain-lain merupakan contoh lain dari cinta dan kasih sayang dari Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Demikianlah, sekalipun banyak masalah yang dihadapi rumah tangga keduanya, tapi dapat dihadapi dengan tenang. Karena rumah tangga itu dipenuhi dengan ketenangan dan keakraban yang berangkat dari cinta dan kasih sayang.


Referensi:

[1] . QS. Ar-Rum: 21.

[2] .

کُلَّمَا ازْدَادَ الْعَبْدُ إِیمَاناً ازْدَادَ حُبّاً لِلنِّسَاء. 

Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi, Bihar al-Anwar, jilid 100, hal 228, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, 1403 HQ.

[3] .

وَ اعْلَمْ أَنَّ النِّسَاءَ شَتَّی فَمِنْهُنَ‏ الْغَنِیمَةُ وَ الْغَرَامَةُ وَ هِیَ الْمُتَحَبِّبَةُ لِزَوْجِهَا وَ الْعَاشِقَةُ لَه. 

Nuri, Husein bin Muhammad Taqi, Mustadrak al-Wasail wa Mustanbath al-Masail, jilid 14, hal 161, Moasseseh Alu al-Bait, Qom, 1408 HQ.

[4] .

قَوْلُ‏ الرَّجُلِ‏ لِلْمَرْأَةِ إِنِّی‏ أُحِبُّکِ‏ لَا یَذْهَبُ مِنْ قَلْبِهَا أَبَداً. 

Kulaini, Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq, al-Kafi, jilid 5, hal 569, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1407 HQ.

[5] .

کُنَّا کَزَوْجِ‏ حَمَامَةٍ فِی أَیْکَة. 

Meibadi, Hossein bin Moeinuddin, Diwan Amir al-Mukminin as, hal 86, Dar Nida al-Islam Lin-Nasyr, Qom.

[6] .

فَوَاللَّهِ مَاأَغْضَبْتُهَا وَ لَاأَکْرَهْتُهَا عَلَی أَمْرٍ حَتَّی قَبَضَهَا اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ إِلَیْهِ وَ لَاأَغْضَبَتْنِی وَ لَاعَصَتْ لِی أَمْراً وَ لَقَدْ کُنْتُ أَنْظُرُ إِلَیْهَا فَتَنْکَشِفُ عَنِّی الْهُمُومُ وَ الْأَحْزَانُ. 

Arbali, Ali bin Isa, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-Aimmah, jilid 1, hal 363, Tabriz, 1381 HQ.

[7] .

یَا أَبَاالْحَسَنِ إِنِّی لَأَسْتَحْیِی مِنْ إِلَهِی أَنْ أُکَلِّفَ‏ نَفْسَکَ‏ مَا لَاتَقْدِرُ عَلَیْهِ. 

Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi, Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 330, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, 1403 HQ.

(Hajij/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Perjuangan Imam Husain Membangun Moralitas dan Keadilan


Orang yang bermurah hati akan menjadi manusia yang terhormat. Orang yang kikir, ia akan menjadi manusia terkutuk. (Imam Husain as)

Ketika Imam Husain berada di Mekkah, beliau memimpin kota tersebut untuk berperang melawan Yazid bin Mu’awiyah melalui tiga strategi.” Pertama, Imam Husain menarik perhatian dan mengarahkan opini publik agar mengikuti langkah-langkahnya. Kedua, Imam Husain mengarahkan dan menganalisis situasi politik di atas landasan prinsip-prinsip Islam yang terkait dengan administrasi pemerintahan. Ketiga, Imam Husain memimpin masyarakat menentang rezim Yazid untuk membentuk Negara Islam di bawah kepemimpinannya. Alasan kunci dari perlawanan ini adalah bahwa Yazid telah nyata-nyata menghancurkan norma-norma ajaran Islam.

Imam Husain mewarisi moralitas Nabi Muhammad Saw. Umat Muslim menghargainya karena beliau beserta keluarganya senantiasa menolong orang lain yang sangat membutuhkan. Kita pun dapat menelusuri pandangan moral Imam Husain dari beberapa pernyataan beliau, sebagai berikut:

1. Sadarlah, kebutuhan umat manusia padamu adalah kehormatan yang Allah anugerahkan kepadamu. Janganlah kau merasa bosan dengan kehormatan ini; jika tidak, maka ia akan menjadi kutukan bagimu.

2. Sadarlah, kebajikan (ma’ruf) membawamu pada penghargaan dan anugerah. Andaikan kita dapat menyaksikan kebajikan (ma’ruf) tersebut, ia akan terlihat bagaikan wanita cantik yang memikat siapa pun mata memandang. Sebaliknya, jika wujud kekikiran dapat kita, ia akan tampak seperti makhluk jahanam yang membosankan.

3. Orang yang bermurah hati akan menjadi manusia yang terhormat. Orang yang kikir, ia akan menjadi manusia terkutuk. Siapa yang bersegera melakukan kebaikan bagi saudaranya, ia akan diberi kemudahan ketika saatnya ia berjumpa Tuhan.

4. Suatu hari, salah seorang anak Imam Husain wafat, tetapi orang. orang justru malah mencerca Husain. Walau begitu, beliau justru berkata, “Kami adalah keluarga Nabi Muhammad; kami berdoa kepada Allah, dan Dia akan mengabulkannya. Jika Dia mengambil seseorang yang kami cintai, kami berserah pada-Nya.”

5. Sekali waktu, beliau memohon kepada Allah di salah satu pojok Ka’bah, “Ya Allah, Kau telah memberkahiku, tetapi Kau tahu bahwa aku bukanlah orang yang bersyukur dan bersabar di hadapanmu. Tidak sedikit pun Kau cabut berkah ini, (meski) aku tidak mensyukurinya. Dan, tidak pula Kau membiarkanku dalam penderitaan yang panjang, (meski) aku bukanlah seorang yang penyabar. Tuhanku, tidak ada sesuatu pun yang datang dari Diri-Mu, Wahai Yang Maha Pemurah, selain kemurahan-Mu yang mengalir padaku.”

Imam Husain menjadikan langkah-langkah Nabi Muhammad Saw. sebagai model bagi langkah-langkah politiknya. Karena berpatokan pada langkah-langkah tersebutlah, dia tidak dapat akur dengan pandangan negatif bahwa “tujuan menghalalkan cara.” Sebaliknya, Imam Husain melaksanakan praktik-praktik politiknya dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip etis dan religius.

Misalnya, setelah Dinasti Umayyah membunuh kakaknya, Imam Hasan, masyarakat Irak meminta Imam Husain untuk membalas dendam dan memimpin perlawanan terhadap Mu’awiyah. Meskipun orang-orang Irak tersebut begitu loyal kepada Nabi Muhammad Saw., beliau menolak tawaran mereka dan tetap mematuhi perjanjian yang ia buat dengan Mu’awiyah.


Kesepakatan tersebut berisi tujuh butir, diantaranya sebagai berikut:

Pertama, hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah dengan syarat Mu’awiyah harus memimpin di atas pijakan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, serta khalifah-khalifah yang lurus. Mu’awiyah dilarang menunjuk siapa pun sebagai khilafah.”

Kedua, Hasan-lah yang akan mengangkat khalifah setelah Mu’awiyah.

Ketiga, jika terdapat sesuatu yang menimpa Hasan, Husain yang akan mengambil alih kepemimpinan.

Keempat, Mu’awiyah tidak diizinkan menuntut apa pun dari masyarakat Madinah, Hijaz, dan Irak selama ayah Imam Husain masih memimpin dan berpengaruh di kalangan umat Muslim.

Kelima, para gubernur di berbagai provinsi, yang diangkat Mu’awiyah, tidak dipcrkenankan mencela Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib di atas podium juga tidak diperkenankan mengutuk Imam Ali dalam gunut (doa di tengah salat subuh) dan dalam doa selama waktu salat lima waktu.

Keenam, terjaminnya keselamatan dan keamanan setiap orang di mana pun ia berada. Ketuju, Mu’awiyah tidak memiliki hak untuk berurusan dengan bayt al-mdl (dewan keuangan) di Kufah. Bayt al-mdl akan dibina oleh Imam Hasan. Mu’awiyah, Imam Hasan, Imam Husain, dan para pengikutnya, baik laki-laki maupun perempuan, tidak seharusnya melakukan hal buruk serta mengumpulkan kekayaan demi kepentingan-kepentingan pribadi. Imam Husain konsisten mempertahankan kebenaran (kesepakatan tersebut) dan bersungguh-sungguh dalam mematuhinya.


Revolusi Imam Husain tidak begitu saja terjadi. Ia telah seutuhnya ditentukan sebelum pewahyuan Tuhan kepada Nabi Muhammad. Beliau berkata kepada Abdullah bin Ja’far, “Saya bermimpi berjumpa dengan Rasulullah Saw. dan beliau meminta saya untuk mengerjakan sesuatu dan mati demi dia.” Di Aqabah, Imam Husain mengatakan pada para sahabatnya, “Aku merasa aku akan terbunuh. Aku melihat dalam mimpi anjing-anjing menyelakaiku, dan yang paling nyaring menyalakiku adalah anjing yang belang.

Suatu saat, Amr bin Ludzan menyarankan agar Imam Husain menangguhkan keberangkatannya ke Kufah sampai mendapat kabar dari Kufah. Namun, Imam Husain mengatakan hal yang sebaliknya, “[Aku berangkat] bukan berarti aku tidak tahu, melainkan karena aku berserah diri kepada keputusan Allah.

Mereka mengundangku datang agar dapat merenggut jantungku dari badan ini.” Di Mekkah, ketika hendak pergi ke Irak, Imam Husain berkata, “Tanganku seakan terpisah berserak di antara Nainawa (Nawawis) dan Karbala, kemudian keluargaku yang kelaparan dan kehausan hidup setelahnya; namun demikian, tidak satu tempat pun untuk lari dari hari yang telah Tuhan tentukan tersebut.”

Ketika kesepakatan berjalan, Imam Husain tidak memberontak pada Mu’awiyah. Beliau memberontak pada masa Yazid. Pada masa kepemimpinan Mu’awiyah, Imam Husain mengikuti kakaknya, Imam Hasan, yang mematuhi kesepakatan dengan Mu’awiyah. Salah satu butir kesepakatan tersebut sampai pada tingkat membahas pengangkatan Imam Husain sebagai khalifah masa depan, setelah Mu’awiyah putra Hindun.

Imam Husain memahami anjuran para sahabatnya di Irak untuk melawan Mu’awiyah dengan strategi militer sang ayah, ‘Ali; jika beliau kalah, sahabatnya akan memandangnya sebagai seseorang yang teraniaya oleh sang musuh, tetapi dia tetap akan dikenang sebagai sosok terhormat sebagaimana ayahnya, ‘Ali, dikenang.

Saran tersebut dikemukakan masyarakat Irak karena mereka telah terzalimi oleh Mu’awiyah dan hidup dalam kemiskinan. Nyatanya, Imam Husain tidak mengikuti kesepakatan tersebut seolah-olah dia memilih Yazid sebagai khalifah selanjutnya. Dengan demikian, dalam melakukan taktik-taktik politiknya, tindakan Mu’awiyah bersifat eksklusif. Sebaliknya, tindakan Yazid berkarakter neurotis (dipengaruhi gangguan kejiwaan), ekstrovert dan terburu-buru.

Oleh karena itu, Yazid bersifat kejam dan langsung, mudah dipengaruhi oleh opini baru. Terkait hal ini, Sigmund Freud, menerangkan bahwa karakter neurotis dapat diterapkan untuk melihat orang-orang pintar; mereka mencela gangguan kejiwaan mereka (neuroticism), tetapi juga mengeksploitasinya demi memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.

Yazid cenderung glamor; dia senang berburu, minum alkohol, main perempuan, memelihara anjing, dan mengenakan emas serta pakaian dari wol, serta menyediakan satu orang pengurus bagi setiap anjingnya. Dia melaksanakan kekhalifahannya dengan politik berbasis nafsu. (Amsal Bakhtiar)


Referensi:

Makalah Amsal Bakhtiar dalam tulisannya berjudul “Semangat dan pesan inti ajaran Al-Qur’an terkait kesyahidan Imam Husain” di buku “Revolusi Imam Husain as”

(Syiah-Menjawab/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jangan Ceritakan Kepada Suamimu Kecantikan Wanita Lain


Oleh: Euis Daryati

Pada zaman Nabi Uzair as terdapat seorang Hakim Agung yang memiliki hubungan sangat erat dengan raja. Sayangnya, ia sangat mata keranjang. Ia telah mendengar dari istrinya bahwa istri salah satu saudaranya sangat cantik sehingga tersirat rasa penasaran untuk melihatnya. Namun Tuhan mempunyai rahasia dan hikmah dibalik setiap peristiwa.

Imam Baqir as berkata: “Pada zaman Nabi Uzair as (nama beliau terdapat dalam al-Qur’an, dalam surat al-Baqarah dan at-Taubah ayat 30) terdapat seorang Hakim Agung yang memiliki hubungan sangat erat dengan raja. Sayangnya, ia sangat mata keranjang. Ia telah mendengar dari istrinya bahwa istri salah satu saudaranya sangat cantik (makanya kenapa agama melarang kepada seorang istri untuk tidak menceritakan keadaan -yang berhubungan dengan penampilan fisik- kepada suaminya, karena mungkin saja hal tersebut dapat menjerumuskan suami berbuat dosa). Sewaktu mendengar bahwa istri salah satu saudaranya sangat cantik, tersirat rasa penasaran untuk melihatnya.

Ketika istri saudaranya mendengar bahwa Hakim Agung mata keranjang, maka ia berusaha sedapat mungkin untuk selalu menjauhinya. Sampai akhirnya pada suatu hari raja mengutarakan kepada Hakim Agung bahwa ia memerlukan seorang duta untuk ditugaskan di sebuah kota atau negeri, seraya berkata: “Wahai Hakim Agung, apakah engkau dapat memperkenalkan kepadaku seseorang untuk menjadi duta?”. Hakim menjawab: “Ya, ia adalah saudaraku, tidak ada yang lebih baik darinya”. Saudaranya telah mengetahui bahwa Hakim Agung mata keranjang, tetapi karena diiming-imingi bayaran yang berjumlah banyak akhirnya iapun menerima tawaran tersebut untuk menjadi duta.

Hari kedua dari kepergian saudaranya, Hakim Agung mendatangi rumah saudaranya, sesampai di rumahnya lalu ia mengetok pintu. Dan dari dalam rumah terdengar suara seorang perempuan bertanya: “Siapa?”. “Saya Hakim Agung”, jawabnya. Perempuan kembali bertanya: “Ada perlu apa?”. “Saya datang untuk menengok istri saudaraku”, jawab Hakim Agung. Perempuan kembali berkata: “Silahkan anda datang kemari ketika suamiku telah datang. Saya perempuan bukan mahram-mu sehingga tidak diizinkan untuk memasukkan anda ke dalam rumah. Dan Anda sebagai seorang Hakim Agung pasti tidak suka berbuat dosa”. Sewaktu Hakim Agung menyaksikan istri saudaranya sangat tegas, akhirnya ia pergi meninggalkan rumah tersebut.

Empat hari setelahnya, Hakim Agung kembali mendatangi rumah saudaranya dan berkata: “Saya datang untuk menengok istri saudaraku”. Perempuan berkata: “Istri saudaramu?, memangnya ada urusan apa dengan istri saudaramu? Saya tidak mengerti, apakah Anda suamiku?”. Hakim kembali bertanya: “Apakah engkau tidak ada perlu?”. Perempuan menjawab: “Apabila saya ada perlu, terdapat orang yang dapat menolongku. Saya tidak ingin merepotkan Anda”. Perempuan tersebut tidak membuka pintu dan berkata dari balik pintu.

Sewaktu Hakim tidak berhasil melakukan niat jahatnya, akhirnya ia mencari tipu muslihat lain dan kembali mendatangi rumah saudaranya sambil tergopoh-gopoh, kemudian ia mengetuk pintu dan berkata: “Tolong bukakan pintu, tolong bukakan pintu…!?”. Perempuan bertanya: “Ada apa?”. “Cepat, tolong bukakan pintu, cepat tolong bukakan pintu, saya ingin pergi ke WC…!?”, kata Hakim Agung. Kemudian perempuan membuka pintu dan mempersilahkannya masuk. Hakim pergi ke WC dan kembali seraya berkata: “Sebenarnya ada satu hal yang ingin saya utarakan kepadamu”. “Saya menginginkan Anda tidak mengatakan apa-apa. Anda telah kembali dari wc, pintupun terbuka, silahkan keluar!”, sahut perempuan muda itu dengan tegas. Hakim Agung kembali bertanya: “Tahukan Anda siapakah saya? Saya adalah Hakim Agung ”. “Siapapun diri Anda, apakah Anda datang kemari untuk menyalahgunakan kedudukan anda? Saya bukan orang yang bersalah sehingga harus takut pada Anda. Dan sayapun tidak mempunyai masalah, sehinggga Anda kujadikan perantara untuk menyelesaikan masalahku (nepotisme)”, ujar perempuan.

“Apabila engkau tidak melayaniku maka saya akan membuatmu celaka”, ancam Hakim. “Jika sedetik lagi Anda tinggal di sini, maka saya akan berteriak sehingga semua orang tahu siapa dirimu dan akhirnya harga dirimu akan jatuh di hadapan masyarakat”, jawab perempuan kembali mengancamnya. Hakim kembali berkata: “Anda telah mengusirku?”. “Ya, pergilah, pergilah dari sini”, sahut perempuan itu. Kemudian Hakim keluar dari rumah sambil menutup pintu dengan keras. Ia pergi menuju istana raja. Sewaktu raja melihatnya dalam keadaan murung, kemudian ia bertanya: “Apa yang telah terjadi? Kenapa Anda murung?”. “Tidak ada apa-apa, hanya sedikit masalah keluarga”, jawab Sang Hakim. Namun raja terus memaksanya untuk menjelaskan kepadanya. Akhirnya ia berujar: “Istri saudaraku telah menghianati kami. Ia telah menyeleweng dengan seorang laki-laki lain”. “Apa, ia telah berkhianat?”, tanya raja kaget. “Ya”, jawab Sang Hakim. “Harus diberi pelajaran dia”, ujar raja. “Ya, benar”, sahut Hakim bersemangat.

Keesokan harinya, raja memerintahkan untuk menangkap perempuan itu dan dibawa ke hadapannya. Perempuan muda itu bertanya: “Ada apa Tuan raja?”. “Engkau telah mengkhianati dutaku”, jawab raja. Dikala itu, perempuan melihat Hakim dari kejauhan yang sedang memandang kepadanya dengan penuh perasaan puas. Perempuan kembali berkata: “Siksalah diriku tuan!? Namum saya katakan lagi, bahwa saya tidak bersalah. Saya rela menyerahkan jiwa dan raga untuk disiksa. Tetapi saya tidak akan pernah menyerahkan kesucian dan kehormatanku”. Berdasarkan keputusan raja akhirnya perempuan diberi hukuman rajam (diletakan di sebuah lubang dan kemudian ditutup tanah dalam posisi berdiri hingga lehernya, dan orang-orang melemparinya dengan batu .red).

Pada sore hari, ketika kepala perempuan itu telah dipenuhi dengan batu, orang-orang mengira ia telah meninggal. Kemudian mereka meninggalkannya dan berencana akan menguburkannya pada keesokan harinya.

Imam Baqir as berkata: “Perempuan tersebut tidak mati. Pada tengah malam ia berusaha mengeluarkan diri dari lobang dan lari untuk menyelamatkan diri dengan tubuh yang dipenuhi luka. Ia berjalan sampai akhirnya tidak sadarkan diri. Ia telah diselamatkan oleh seorang rahib (orang yang selalu beribadah .red). Ketika sadar, ia sangat kaget seraya bertanya: “Dimanakah saya?”. “Ini tempat ibadah”, jawab rahib. “Engkau telah menyelamatkanku. Apa yang dapat saya lakukan untuk membalas kebaikan tuan?”, tanyanya kembali. “Saya sudah tua dan tidak berniat untuk menikah lagi, Akan tetapi saya memiliki anak-anak kecil sementara ibu mereka telah meninggal dunia. Jadilah engkau ibu bagi mereka. Selain itu aku mmepunyai pembantu yang akan membantumu pekerjaanmu”, kata rahib lanjutnya.

Imam Baqir as berkata: “Namun sayangnya ternyata pembantu laki-laki tersebut pun bermata keranjang. Pada suatu hari, ia mengajak perempuan muda nan cantik jelita itu untuk melakukan perbuatan mesum. Mendengar ajakannya, perempuan itupun tertawa. “Kenapa engkau tertawa?”, tanya sang pembantu. “Nasibku sampai di sini karena saya tidak ingin berbuat mesum”, katanya lirih. “Akan kulempar engkau dengan batu jika tidak mau melayaniku”, ancam pembantu. Perempuan kembali tertawa seraya berkata: “Saya telah dilempari beribu-ribu batu. Apakah saya harus takut hanya dengan satu batu saja”, tegasnya. Ternyata benar, pembantu itu melemparnya dengan batu. Namun batu itu mengenai anak rahib yang akhirnya menyebabkannya meninggal dunia karena lemparan batu tersewbut. Mendengar hal itu Rahib sangat marah sekali. Pembantu melemparkan perbuatannya itu kepada sang perempuan muda. Dan akhirnya rahib pun mengusirnya. Sebelum pergi, perempuan kembali berkata: “Sumpah demi Tuhan, saya tidak melakukannya tuan”. “Enyahlah engkau dari sini! Saya tidak ingin melihatmu lagi! Apakah saya harus mempercayai ucapanmu yang baru tinggal di sini dan tidak mempercayai ucapan pembantuku yang sudah bertahun-tahun tinggal di rumahku?!”, ujar sang rahib.

Akhirnya perempuan itu pergi meninggalkan rumah sang rahib dengan dibekali uang sejumlah 120 dinar. Ia berjalan hingga sampai di sebuah kota. Di kota tersebut ia menyaksikan seorang laki-laki yang digantung setengah badan sedang berteriak-teriak meminta tolong. Rasa penasaran membuat perempuan bertanya: “Kenapa ia diperlakukan seperti itu?”. “Pengadilan telah memberikan hukum seperti itu bagi yang tidak dapat membayar hutang, hingga ada orang yang merasa belas kasihan dan membayari hutangnya”, jelas orang-orang. “Berapa jumlah hutangnya?”, tanyanya lagi. “120 Dinar”, jawab orang-orang. Kemudian perempuan mengeluarkan uang yang dimilikinya untuk membayar hutang laki-laki tersebut. Setelah bebas, laki-laki itu berterima kasih kepada perempuan seraya bertanya: “Engkau dari mana?”. “Saya sendirian dan asing di kota ini”, jawab perempuan tersebut. Ketika laki-laki mengetahui perempuan itu asing dan sendirian, akhirnya ia memiliki pikiran jahat. Tanpa sepengetahuan perempuan muda tadi, ia telah menjual perempuan tersebut ke tempat jual-beli para budak.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba pembeli budak mengikat tangannya. “Lepaskan saya”, ujar perempuan itu. “Bukankah engkau seorang budak? Saya telah membelimu dari laki-laki itu”, tanya pembeli budak. Mendengar hal itu, kemudian perempuan menatap ke arah langit dan berguman: “Ya Tuhan, sungguh mengherankan orang-orang ini, diselamatkan malah seperti ini balasannya”.

Imam Baqir as berkata: Kala itu, di pelabuhan terdapat dua kapal. Satu kapal barang dan satunya lagi kapal penumpang. Pembeli budak menempatkan perempuan di kapal barang, karena kecantikannya sehingga ia takut perempuan itu diganggu oleh para penumpang. Perempuan itu menempati kapal barang. Tetapi di tengah perjalanan, kapal itu berhadapan dengan badai dan topan laut. Kapal oleng dan akhirnya perempuan dengan kapalnya terdampar di sebuah pulau, sementara penumpang lainnya tenggelam. Perempuan itu akhirnya tinggal di pulau tersebut. Bertahun-tahun lamanya ia beribadah kepada Kekasih Sejatinya (Allah SWT) di pulau tersebut”.

Imam Baqir as berkata: Tuhan mewahyukan kepada Nabi Uzair as bahwa, Ia akan menurunkan azab bagi kaumnya. Nabi Uzair as menyampaikan kabar tersebut kepada kaumnya. Kaumnya meminta kepadanya untuk memohonkan kepada Tuhan agar menangguhkan azab-Nya tadi. Tuhan mewahyukan kepada Nabi Uzair as bahwa azab itu tidak akan dapat ditangguhkan kecuali jika mereka dimaafkan oleh salah seorang hamba-Nya yang tinggal di sebuah pulau. Kemudian mereka berbondong-bondong pergi ke pulau tersebut hingga akhirnya mereka menemui seorang perempuan yang sangat bercahaya wajahnya dan memiliki kharisma yang terpancar darinya. Satu persatu dari mereka meminta maaf kepada perempuan tersebut. Namun tidak seorangpun mengetahui siapa perempuan tadi. Raja berkata: “Saya dulu telah merajam seorang perempuan muda yang tidak bersalah, karena saya tidak mengira Hakim Agungku seperti itu. Maka mohonkan kepada Tuhan agar Ia sudi memaafkanku”. Perempuan itu berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah dia!?”. Tiba giliran Hakim Agung berkata: “Aku bukanlah orang yang baik. Aku telah menuduh istri saudaraku yang baik dan taat itu. Maka mohonkan kepada Tuhan agar Ia memaafkanku”. “Ya Tuhanku, ampunilah ia”, doanya. Kemudian datanglah seorang rahib sambil berkata: “Aku tidak mengetahui jika pembantuku telah berpikiran busuk. Aku telah mengusir seorang perempuan yang tidak bersalah. Maka mohonkan dari Tuhan agar memaafkanku”. “Ya Tuhanku, ampunilah ia”, doanya. Kini giliran pembantu rahib datang sambil berkata: “Saya telah menuduh perempuan tidak bersalah dengan tuduhan membunuh. Mohonkan kepada Tuhan agar memaafkanku”. “Ya Tuhanku, ampunilah ia”, doanya”.

Akhirnya tiba giliran laki-laki yang telah dibayarkan semua hutangnya tadi. Ia datang seraya berkata: “Saya telah menjual perempuan asing dan sendirian itu, dan telah merusak kehormatannya sebagai seorang yang baik. Maka mohonkan kepada Tuhan agar sudi memaafkanku”. “Ya Tuhan, janganlah Engkau ampuni penjual kehormatan seorang perempuan ini!”, doa sang perempuan. Setelah itu, bumi pun terbelah dan laki-laki tersebut masuk ke dalamnya dan akhirnya binasa. Setelah menyaksikan kejadian itu, mereka yang datang ke pulau itu berkata: “Wahai tuan, silahkan datang ke kota kami, istana tersedia untuk tuan”. “Tidak usah repot-repot. Azab tidak jadi diturunkan kepada kalian. Silahkan pergi dari pulau ini!?”, jawab sang perempuan. Mereka kembali bertanya: “Tuan, siapakah Anda sebenarnya?”. “Aku adalah perempuan yang telah kalian zalimi itu. Aku telah mengatakan bahwa tidak bersalah, namun tipu daya syetan telah menguasai diri dan jiwa kalian. Sekarang pergilah kalian semua dari sini!”.


Referensi:

Karamat wa Hikayat Asyiqane- Khuda, Jibrail Haji Zadeh, jil 2, hal 218-228].

(Islamic-Souraces/Alhassanain/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jawaban Atas Pertanyaan Mengapa Malam Itu Gelap


Dalam Al-Quran, betapa banyak ayat tentang pergantian malam dan siang yang dinyatakan sebagai pertanda kekuasaan Allah.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah:164)

Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas). (QS. Ali Imran:27)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS.Ali Imran:190)

Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am:96)

Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Yunus:6)

Sebagai kejadian rutin yang kita anggap lumrah, seolah tak ada yang perlu dipertanyakan terkait pergantian malam dan siang. Misalnya, pertanyaan sederhana: Mengapa malam itu gelap? Yang ternyata memiliki penjelasan yang tak sederhana.

Bagaimana maksudnya? Berikut sekilas penjelasannya.

Malam gelap bukan hanya karena tak ada matahari. Sebab, meski matahari tak ada, bukankah ada bintang-bintang lain?

Astronom memperkirakan, jumlah bintang di alam semesta mencapai lebih dari 200 miliar. Jika semua bersinar, bukankah setidaknya bermandikan cahaya layaknya suasana pesta kembang api?

Pertanyaan mengapa malam gelap sudah diajukan sejak masa astrofisikawan Heinrich Wilhelm Olbers yang hidup antara tahun 1758 hingga 1840.

Pemikirannya dikenal dengan “Olbers Paradox”. Dahulu, astronom berpikir bahwa alam semesta itu statis dan tidak berbatas. Debu-debu antariksa akan menyerap energi dari bintang sehingga seharusnya membuat langit malam terang. Tetapi, nyatanya tidak.

Hingga kemudian pada abad 20, astronom mengetahui bahwa alam semesta itu berbatas.

Alam semesta memiliki awal, seperti kita semua. Jagat raya dimulai pada 13,8 miliar tahun lalu, saat terjadinya Big Bang. Dengan demikian, cahaya yang bisa dilihat manusia juga hanya yang berasal dari masa tersebut.

Astronom kemudian mengetahui fakta lain, yaitu bahwa alam semesta itu megembang. Jadi, cahaya yang ada di alam semesta mungkin berasal dari jarak yang lebih jauh dari 13,8 miliar tahun cahaya.

Jarak yang jauh berpadu dengan pengembangan alam semesta membuat gelombang cahaya bintang yang datang dari wilayah nun jauh di sana meregang, mendekati panjang gelombang cahaya merah. Alhasil, manusia tak bisa melihat semua cahaya yang mengarah ke bumi.

Jadilah kita menyaksikan malam itu gelap. Hanya beberapa bintang yang jaraknya tergolong dekat dalam skala astronomi saja yang bisa dilihat dengan mata telanjang manusia.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Islam Sebaik-baiknya Agama


Dalam buku al-Kafi, dinukil dari Zakaria bin Ibrahim bahwa dia berkata, “Saya dulu adalah seorang Kristen dan sekarang menjadi muslim. Kemudian saya memutuskan untuk menunaikan ibadah haji. Di Mekah saya bertemu dengan Imam Shadiq as dan saya berkata, “Saya dulu adalah seorang Kristen dan sekarang menjadi muslim.”

Imam Shadiq as berkata, “Apa yang engkau lihat dalam Islam?”

Saya katakan, “Ayat ini yang menyebabkan saya mendapatkan hidayah. “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Syura:52) Maksudnya adalah Allah-lah yang memberikan hidayah kepadaku.”

Imam Shadiq as berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepadamu.”

Kemudian beliau berkata tiga kali, “Ya Allah! Tunjukkanlah dia ke jalan keimanan!”

Selanjutnya beliau meminta kepada saya, agar menanyakan setiap persoalan yang saya miliki.

Saya katakan, “Ayah dan ibu serta keluargaku adalah Kristen. Ibuku buta. Apakah saya yang hidup bersama mereka ini, bisa makan menggunakan wadah mereka?”

Imam Shadiq as bertanya, “Apakah mereka makan daging babi?”

Saya katakan, “Tidak. Bahkan mereka tidak pernah menyentuhnya.”

Imam Shadiq as berkata, “Tidak masalah, makanlah bersama mereka.” Kemudian beliau memerintahkan, “Kasih sayangilah ibumu. Bila ibumu meninggal dunia, maka engkau sendiri yang harus menguburkannya. Jangan katakan kepada siapa-siapa bahwa engkau menemui aku dan insyaallah engkau akan melihatku di Mina.”

Di Mina saya menemui Imam Shadiq dan masyarakat sedang mengerubuti beliau seperti anak-anak sekolah dan menyampaikan pertanyaannya. Ketika saya balik ke Kufah saya benar-benar menyayangi ibuku, saya memberikan makan kepadanya. Sampai suatu hari ibuku bertanya, “Dulu ketika engkau seagama dengan kami, engkau tidak menyayangi aku seperti ini. Sekarang apa yang menjadikan engkau mengabdi kepadaku?”

Saya katakan, “Seorang lelaki dari keluarga Rasulullah Saw telah memerintahkan aku demikian.”

Ibuku berkata, “Apakah dia seorang nabi?”

Saya katakan, “Bukan, dia adalah putra nabi.”

Ibuku berkata, “Tidak. Dia adalah seorang nabi.” Karena perintah seperti ini merupakan perintah para nabi.”

Saya katakan, “Ibu! Setelah nabi kita, tidak akan ada nabi lagi. Dia adalah putranya nabi.”

Ibuku berkata, “Agamamu adalah sebaik-baiknya agama. Ajarkan juga kepadaku.”

Saya mengajarkan kepadanya, dua kalimat syahadat dan bagaimana caranya salat. Ibuku mengerjakan salat Zuhur, Asar, Maghrib dan Isya. Pada malam itu juga kondisinya berubah dan memanggil saya dan berkata bahwa dia melihat cahaya dan berkata, “Ulangilah apa yang engkau ajarkan kepadaku.”

Saya pun membacakan dua kalimat syahadat untuknya. Ibuku membaca dua kalimat syahadat dan saat itu juga meninggal dunia. Pada pagi hari orang-orang muslim memandikannya dan saya mensalatinya dan meletakkanya di dalam kubur.


Kesabaran Imam Shadiq as

Ibnu Abil’auja’ hidup di masa Imam Shadiq as. Dia adalah pengikut aliran atheisme dan sering duduk berbincang-bincang dengan Imam Shadiq as membicarakan beragam masalah.

Mufadhal bin Umar berkata, “Suatu hari pada waktu Asar saya duduk di masjid Nabi Saw di antara kubur dan mimbar. Ketika saya sedang memikirkan tentang keagungan pemimpin Islam, pada saat itu masuklah Ibun Abil’auja’ dan dia duduk di samping saya. Tidak lama kemudian, datanglah salah satu teman dia dan duduk di sampingnya. Ibnu Abil’auja’ membicarakan tentang keagungan dan kebesaran Rasululllah Saw. Kemudian temannya memahami inti kata-katanya dan menilai Rasulullah sebagai filosof yang mahir dan mumpuni yang membuat orang-orang yang berakal merasa takjub kepadanya. Lalu menerima dakwahnya dan akibatnya masyarakat juga beriman kepadanya dan menerima agamanya.

Ibu Abil’auja’ berkata, “Jangan membicarakan tentang Rasulullah. Akalku bingung tentang masalah ini. Kemudian dia membicarakan tentang materi dan berkata bahwa alam itu abadi dan selalu ada dan Tuhan tidak menciptakannya.”

Mufadhal tidak tahan mendengar ucapan ini dan marah. Oleh karena itu dia berkata agak keras, “Hai musuh Allah! Engkau menafikan agama Allah? Engkau mengingkari pencipta alam? Engkau mengingkari ayat-ayat-Nya yang penuh hikmah yang bahkan ada di dalam bangunanmu sendiri?”

Ibu Abil’auja’ berkata, “Bila engkau adalah pakar dialog, maka aku akan berbicara denganmu dan bila engkau membawakan dalil yang kuat tentang apa yang engkau klaim, maka aku akan menerimanya. Bila engkau bukan ahlinya dialog dan argumen, maka aku tidak akan berbicara denganmu. Bila engkau adalah sahabat Imam Jakfar bin Muhammad, dia tidak akan berbicara dengan kami demikian dan seperti kamu. Imam as lebih banyak tahu tentang apa yang aku katakan daripada engkau. Dia tidak pernah berkata buruk kepada kami. Dia tidak pernah keluar dari batas akhlak dan adab dalam menjawab pertanyaan kami. Dia adalah seorang lelaki yang sabar, wibawa, berakal dan sempurna.

Dalam berdialog, dia tidak kebingungan. Dia takut dan khawatir. Dia mendengarkan ucapan kami dengan baik dan tahu tentang dalil yang kami sampaikan. Ketika kami selesai berbicara, kami berpikir bahwa kami telah menyempurnakan hujjah kami dan telah menutup jalannya jawaban. Tapi dengan ucapan yang singkat dia telah mengecam dan membuat kami puas dan menutup jalannya alasan sehingga kami tidak bisa menolak jawaban dan membuka jalan untuk kami. Bila engkau adalah sahabat Imam Shadiq as, maka berbicaralah dengan kami seperti dia. (Emi Nur Hayati)

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ja’far Shadiq as

(Parstoday/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tawalli dan Tabarri (Disertai Doa)


Jadilah kamu seperti anak unta; tidak punya punggung yang bisa ditunggangi dan tidak punya air susu yang dapat diperah.
[Imam Ali bin Abi Thalib as]

Di mana pun kita berada harusnya seperti anak unta yang lincah yang tidak bisa ditunggangi dan tidak bisa dimanfaatkan orang lain untuk kepentingan politiknya; kita mesti lincah seperti halnya anak unta.

Dalam Islam ada tawalli yang maksudnya keberpihakkan kepada Allah, Rasul-Nya, para washi Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mengikuti Allah, Rasul-Nya dan para washinya. Dan tabarri adalah berlepas diri dari musuh-musuh mereka atau tidak berpihak kepada mereka.

Kemudian orang-orang yang termasuk kriteria sahabat yang kita berpihak kepada mereka ada tiga macam sahabat sebagaimana disebutkan dalam sebuah keterangan;
(1) sahabatmu,
(2) sahabat bagi sahabatmu, dan
(3) musuh bagi musuhmu.

Demikian pula yang menjadi musuh yang kita tidak boleh berpihak kepadanya ada tiga:
(1) musuhmu,
(2) sahabat musuhmu, dan
(3) musuh sahabatmu.


Manusia ada yang baik dan ada yang buruk dalam perilaku. Rasul, Ahlulbaitnya yang suci dan para pengikut mereka yang sesungguhnya adalah manusia-manusia yang baik. Jika kita ingin menjadi baik, maka harus berpihak kepada mereka, dan kalau kita tidak berpihak kepada mereka bahkan kita bersikap memusuhi mereka, maka kita akan menjadi manusia yang buruk.

Karena manusia terbagi dua golongan; baik dan buruk, maka jalan hidup yang ditempuh manusia juga ada yang baik dan ada yang buruk, dan tempat berakhirnya pun ada dua tempat; kasih Allah (surga) dan murka Allah (neraka)

Jalan hidup yang baik adalah jalan Allah, yakni Islam sebagaimana yang Dia firmankan (yang artinya), Sesungguhnya ajaran di sisi Allah itu Islam. [Sûrah Âli ‘Imrân 2/18] Dan firman-Nya, Dan barangsiapa yang mencari ajaran selain Islam, maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk dari golongan orang-orang yang merugi. [Sûrah Âli ‘Imrân 3/85]

Imam Ali bin Abî Thâlib as menegaskan tentang jalan hidup yang benar sebagai berikut, “Siapa yang mencari suatu ajaran selain Islam, nyatalah celakanya, terputuslah talinya, besarlah kejatuhannya, dan tempat kembalinya kepada kesedihan yang panjang dan siksaan yang besar.” [Nahjul Balâghah, lihat buletin nomor 4]

Pedoman hidup itu sangat jelas, yaitu Islam yang dituangkan dalam Kitab Suci dan diperjelas oleh sunnah-sunnah Rasulullah saw, namun sepeninggal Rasulullah dan para washinya, muncullah berbagai tafsiran dan interpretasi terhadap ajaran Islam itu sendiri sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan di kalangan kaum muslim sebagaimana para pendahulunya, yakni kaum yahudi dan nasrani, maka ummat Islam pecah menjadi berbagai mazhab, firqah dan golongan. Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan dalam Al-Quran sûrah Al-Rûm ayat 30-31.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ajaran (Allah) sebagai fitrah Allah yang Dia telah menjadikan manusia atasnya, tidak ada perubahan bagi ciptaan (fitrah) Allah itu, yang demikian itu ajaran yang lurus, tetapi kebanyakan orang tidak mengetahui. Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertaqwalah kamu kepada-Nya, dirikanlah shalat dan janganlah kamu menjadi di antara orang-orang yang menyekutukan Allah.Yaitu orang-orang yang memecah belah ajaran mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Sûrah Al-Rûm 30-32]


Kondisi Zaman Sekarang

Zaman Rasulullah saw adalah zaman persatuan; suku-suku yang ada di jazirah Arab bisa dipersatukan oleh beliau, dan zaman seperti itu akan terjadi lagi pada zaman khalifahnya yang terakhir Al-Imam Al-Mahdi as.

Zaman ketiadaan Rasulullah saw dan ketiadaan khalifah penggantinya adalah zaman kegelapan, kezaliman dan perpecahan hatta di kalangan orang-orang yang sepaham sekalipun. Jauh-jauh Rasulullah saw telah mengatakan satu saat nanti akan keluar seorang lelaki dari Ahlulbaitnya yang namanya sama dengan beliau yang akan memenuhi bumi ini dengan kebenaran dan keadilan (qisthan wa ‘adlan) sebagaimana bumi ini telah diliputi oleh kegelapan dan ketidakadilan (zhulman wa jauran). [Al-Hâkim dalam Al-Mustadrak]

Maka jalan yang terbaik pada zaman sekarang ini adalah saling menghormati, saling mempelajari dan saling menghargai perbedaan pendapat; tidak saling menghujat, tidak saling menyalahkan, tidak saling menyesatkan dan tidak saling mengkafirkan yang ujung-ujungnya akan saling bermusuhan hingga akan sangat mudah hal itu dimanfaatkan oleh pihak lain yang tidak suka kepada ajaran Allah sebagaimana yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Dan kalau pihak lain menunggangi punggung kita dan mengambil manfaat dari keadaan kita hingga mereka mengadu-ngadu kita, maka kita bukan lagi anak unta yang lincah; kita hanya menjadi sapi perahan bagi mereka.

Mengapa zaman sekarang adalah zaman perpecahan dan perbedaan paham, karena zaman sekarang ini adalah zaman ketiadaan marja’ yang mutlak yang memegang otoritas sebagai wakil Tuhan. Dan kita semua tidak ada yang seratus persen berpegang kepada Islam, kebanyakan kita hanya berpegang kepada Islam tafsiran para ulama (agama interpretasi) yang menurut para pengikutnya masing-masing adalah yang paling benar (kullu hizbin bimâ laihim farihûn).

Pada zaman sekarang ini kita harus menjadi juru damai (arbiter) dengan berusaha mendekatkan yang berjauhan, mendamaikan yang bertikai, menekan yang arogan yang suka mengkafir-kafirkan dan menyesat-nyesatkan orang lain yang tidak sepaham dengannya. Jika kita merasa punya paham yang paling benar, boleh saja kita mengajak orang lain ke paham kita, tetapi haruslah dengan cara-cara yang bijak (hikmah), dengan pengajaran yang baik (mau’izhah hasanah), dan bila diperlukan diskusi, maka berdiskusilah dengan niat dan tujuan mencari yang paling benar. Dan Apabila diskusi tidak menyelesaikan masalah, maka kita saling menghormati dan saling menghargai perbedaan yang ada, karena kita tidak bisa memaksakan pendapat kita atas orang lain yang tidak sepaham dengan kita.


Isti‘âdzah dari Tabarri kepada Wali Allah dan Tawalli kepada Musuh-Nya

Jika kita memusuhi wali atau kekasih Allah, maka kita akan menjadi musuh Allah, dan bila kita berpihak kepada musuh Allah, maka kita juga akan dimusuhi Allah, maka dengan segenap kehati-hatian, kita berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Ali bin Abi Thâlib as berikut ini.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُعَادِيَ لَكَ وَلِيًّا، أَوْ أُوَالِيَ لَكَ عَدُوًّا، أَوْ أَرْضَى لَكَ سَخَطًا أَبَدًا. اللَّهُمَّ مَنْ صَلَّيْتَ عَلَيْهِ فَصَلاَتُنَا عَلَيْهِ، وَ مَنْ لَعَنْتَهُ فَلَعْنَتُنَا عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ مَنْ كَانَ فِي مَوْتِهِ فَرَجٌ لَنَا وَ لِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ فَأَرِحْنَا مِنْهُ، وَ أَبْدِلْنَا بِهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ لَنَا مِنْهُ، حَتَّى تُرِيَنَا مِنْ عِلْمِ اْلإِجَابَةِ مَا نَعْرِفُ فِي أَدْيَانِنَا وَ مَعَايِشِنَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ.

Allâhumma innî a‘ûdzu bika an u‘âdiya laka waliyyâ, au uwâliya laka ‘aduwwâ, au ardhâ laka sakhathan abadâ. Allâhumma man shallaita ‘alaihi fashalâtunâ ‘alaih, wa man la‘antahu fala‘natunâ ‘alaih. Allâhumma man kâna fî mautihi farajun lanâ wa lijamî‘il muslimîna fa`arihna minh, wa abdilnâ bihi man huwa khairun lanâ minh, hattâ turiyanâ min ‘ilmil ijâbati ma na‘rifu fi adyâninâ wa ma‘âyisyinâ yâ arhamar râhimîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadinin nabiyyi wa ãlihi wa sallam.

Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memusuhi kekasih-Mu, mencintai musuh-Mu, atau aku rido dengan kemurkaan-Mu untuk selamanya. Ya Allah orang yang Engkau berikan shalawât kepadanya maka shalawât kami juga kepadanya, dan orang yang Engkau laknat atasnya maka laknat kami juga atasnya. Ya Allah orang yang dalam kematiannya merupakan kelapangan bagi kami dan bagi semua orang yang berserah diri kepada-Mu, maka rehatkanlah kami darinya, dan gantikanlah buat kami dengan orang yang lebih baik darinya, hingga Engkau perlihatkan kepada kami ilmu pengkabulan doa yang kami kenal dalam ajaran kami dan kehidupan kami, wahai yang maha pengasih dari semua yang mengasihi. Dan Allah mencurahkan shalawât dan salâm bagi sayyidinâ Muhammad sang Nabi dan keluarganya.[1]


Catatan Kaki:

[1]. Al-Shahîfah Al-‘Alawiyyah hal. 285.

(Abu-Zahra/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pemberian Allah atau Pemberian Manusia?


Dikisahkan, Nashruddin sangat menyayangi anak kecil; dia selalu berkumpul dan bermain bersama mereka. Apabila menemui kesulitan, mereka datang padanya dan mengutarakan masalahnya.

Suatu ketika, mereka berselisih dalam menerima manisan buah pala yang dibagikan Nashruddin. Karena itu, mereka datang padanya dan berkata, “Bagikanlah manisan pala itu kepada kami.” Nashruddin menjawab, “Kalian meminta bagian dari pemberian Allah atau bagian dari pemberian hamba?”

Dengan polos, mereka menjawab pertanyaan Nashruddin itu, “Ya, kami menginginkan bagian dari pemberian Allah.” Maka, Nashruddin pun membagikan manisan pala itu kepada mereka. Ada yang diberi dua telapak tangan penuh, ada yang satu telapak tangan, ada yang diberi beberapa biji, dan ada pula yang hanya diberi satu biji manisan pala, bahkan ada juga yang tidak diberi sama sekali. Mereka tidak mengetahui hikmah dibalik pembagian Nashruddin ini. Mereka lalu berkata, “Tidak adil … Pembagian macam apa ini?”

Nashruddin pun menjawab, “Wahai anak-anakku, kita tak perlu pergi jauh untuk menyelesaikan masalah ini, kita hanya perlu melihat contoh saja sekaitan dengan masalah yang terjadi di antara kita. Ayah Badi’ Affandy sangat kaya dan merupakan orang yang terpandang di negeri ini. Dia hidup sejahtera; semua keluarga dan anaknya hidup berkecukupan dan bahagia. Adapun Sananuddin, dia orang kecil dan sangat miskin, keluarganya hidup dalam kesusahan, bapak dan ibunya sakit, sehingga dia tidak dapat bekerja. Adapun keluarga Husammudin tidak demikian. Masing-masing kalian memiliki keadaan yang berbeda. Adapun keadaan kakekmu ini berbeda dengan mereka semua. Inilah, wahai anak-anakku, pembagian Allah Swt.”

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hidup Tenang dan Bahagia Berkat Dua Saku


Alkisah, ada seseorang yang sangat menikmati kebahagiaan dan ketenangan di dalam hidupnya. Orang tersebut mempunyai dua saku. Pada saku yang satu terdapat lubang di bawahnya, tapi pada saku yang lainnya tidak terdapat lubang.

Segala sesuatu yang menyakitkan yang pernah didengarnya seperti makian dan sindiran, ditulisnya di secarik kertas, digulung kecil, kemudian dimasukkannya ke dalam saku yang berlubang.

Tetapi semua yang indah, benar, dan bermanfaat, ditulisnya di selembar kertas kemudian dimasukkannya ke dalam saku yang tidak ada lubangnya.

Pada malam hari, ia mengeluarkan semua yang ada di dalam saku yang tidak berlubang, membacanya, dan menikmati hal-hal indah yang sudah diperolehnya sepanjang hari itu. Kemudian ia merogoh saku yang ada lubangnya, dan tentu saja ia tidak menemukan apa pun.

Maka ia pun tertawa dan tetap bersukacita karena tidak ada sesuatu yang dapat merusak hati dan jiwanya.

***

Itulah yang seharusnya kita lakukan dalam kehidupan yang kita jalani ini. Menyimpan semua yang baik di “Saku yang tidak berlubang”, sehingga tidak satupun yang baik akan hilang dari hidup kita.

Sebaliknya, simpanlah semua hal buruk yang terjadi pada kehidupan kita di “Saku yang berlubang”, maka kemudian hal yang buruk itu akan terjatuh dan tidak perlu kita ingat kembali.

Kendati demikan, masih banyak di antara kita yang melakukan hal tersebut berbalik-balik, kita menyimpan semua hal yang baik di “Saku yang berlubang”, dan yang tidak baik di “Saku yang tidak berlubang” (memelihara pikiran-pikiran jahat dan segala sesuatu yang menyakitkan hati). Maka ketahuilah, jiwa kita akan menjadi tertekan dan tidak ada gairah dalam menjalani hidup.

Maka dari itu, agar kita bisa menikmati kehidupan yang bahagia dan tenang: janganlah menyimpan apa yang tidak baik di dalam hidup kehidupan kita, biarkan dia sirna jauh dari tatapan mata kita, sehingga tidak satupun dari kita yang tidak merasakan ketenangan spiritual. Mari kita sama-sama menyimpan hal-hal yang baik agar dapat bermanfaat bagi kita dan sesama.

Semoga ada hikmah yang dapat kita petik dari kisah pendek ini.


(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Saat Ditimpa Ujian Berat, Jadikan Ayat-ayat Ini Sebagai Sahabat


Betapa banyak masalah berat dalam menjalani hidup kerap melemahkan daya juang dalam jiwa dan raga seseorang. Maklumlah, setiap manusia biasanya punya impian dan cita-cita tinggi yang untuk meraihnya memerlukan perjuangan dan rintangan. Sayangnya, tidak semua siap dan sanggup melewati berbagai macam rintangan tersebut sehingga pada akhirnya benar-benar gagal dan bertambah putus asa.

Mestinya hal semacam ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Artinya, jangan selalu berasumsi bahwa itu semua adalah “takdir buruk” semata. Karena seringkali, dalam setiap masalah berat yang muncul, justru terkandung pula hikmah terbaik yang pada akhirnya bisa dipetik.

Bukan hanya itu saja, bahkan di dalam ayat suci Al-Quran, Allah SWT dengan sangat jelas telah memberikan tuntunan terbaik, bagaimana seharusnya menghadapi masalah berat yang tengah terjadi.


1. Yakinlah, Anda Sanggup Menghadapinya

Semua permasalahan yang ada memang sudah diukur dan disesuaikan dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi permasalahan tersebut. Sehingga tanamkanlah dalam benak pikiran dan hati Anda agar selalu berpikir positif, dan yakin bahwa Anda bisa menghadapinya.

Bukankah dalam Surah. Al-Baqarah ayat 286 sudah dinyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya?

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Masalah memang datang dengan kadar ukuran yang berbeda bagi setiap manusia. Namun kita tak perlu cemas dan khawatir, karena semua permasalahan yang datang, memang sudah disesuaikan dengan kadar kemampuan yang kita miliki. Maka dari itu, saat berjuang menggapai impian, hendaknya selalu menyala pikiran positif meski itu berat bagi Anda. Tetaplah yakin dan optimis bahwa Anda bisa menghadapi ujian tersebut.


2. Sadari, Selalu Ada Kemudahan Bersama Kesulitan

Untuk menghadapi semua masalah yang ada, hilangkan rasa putus asa dalam menghadapinya. Karena dalam setiap masa sulit datang menimpa, bersamanya pasti ada solusi dan kemudahan asalkan Anda tak henti berusaha mengatasinya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan secara berulang dalam Surah Al-Insyirah ayat 5 dan 6, “Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”

Maka beranilah menghadapi semua permasalahan yang ada dengan pikiran positif, meski masalah itu terasa berat bagi Anda. Tetap yakinlah, selalu ada kemudahan bersama masa sulit tersebut.


3. Inilah Saatnya Anda Berubah Menjadikan Diri Lebih Baik

Tak selayaknya terus mengeluh tentang diri Anda yang tak bernasib sama seperti orang lain. Karena Anda bisa berubah untuk menjadi lebih baik selama Anda mau berusaha untuk berubah.

Bukankah Surah Ar-Rad ayat 11 sudah menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga mereka mengubah diri mereka sendiri”?

Terus tumbuhkanlah semangat dan kegigihan upaya dalam diri Anda, agar Anda mampu menemukan solusi yang tepat dalam menghadapinya. Inilah saatnya Anda bisa berusaha untuk melakukan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin, lebih dari yang sebelumnya.


4. Selalu Ada Hikmah di Balik Hal yang Tak Disukai

Dihadapkan pada sesuatu hal yang tak disukai, biasanya akan timbul sedih, benci, marah, kecewa, yang pada akhirnya berujung putus asa. Padahal jika diperhatikan, selalu ada hikmah dan kebaikan di balik suatu yang tidak disukai tersebut.

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-Baqarah ayat 216, “Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui.”

Maka janganlah mudah berputus asa. Berbaiksangkalah terhadap apapun yang Anda alami dan terus bersemangatlah menjadi yang terbaik.


5. Senantiasa Bertakwa dan Bertawakallah Kepada-Nya

Bertakwa dan bertawakal kepada Allah ketika menghadapi masalah berat, memang bisa menjadi penenang hati gundah dan penghilang rasa putus asa. Dengan kedua akhlak mulia ini, pupuklah rasa juang yang kuat untuk menghadapi semua permasalahan yang ada.

Yakin dan percayalah terhadap apa yang sudah dinyatakan dalam Surah Ath-Thalaq ayat 2 dan 3, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia (Allah) akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka cukuplah Allah baginya, Sesungguhnya Allah melaksanakan kehendak-Nya, Dia (Allah) telah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

Dengan modal takwa dan tawakal kepada Allah SWT saat kita menghadapi ujian yang berat dalam hidup, yakinlah bahwa Allah akan melapangkan jalan keluar dan datangnya rezeki yang tak disangka. Inilah solusi terbaik bagi kita, yang perlu selalu diterapkan dalam menjalani hidup sehari-hari.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: