Oleh: Sulaiman Djaya (Radar Banten, 23 November 2012)
“Sebagian orang memiliki kemahiran dalam mengurai kata-kata singkat, sementara sebagian lagi mahir dalam menyampaikan khutbah-khutbah panjang. Dalam kedua hal itu, tak ada yang menandingi Ali as, sebagaimana halnya tak ada yang dapat mengungguli Ali KW dalam semua keutamaan.” Demikianlah ujar Ali al Jundi, yang tak lain seorang intelektual dan pengamat kesusastraan dari al Azhar, Mesir. Pujian itu sendiri, sebenarnya, hanya menegaskan sejarah panjang tradisi kesusastraan dalam bangsa dan masyarakat Arab, bahkan jauh sebelum Islam hadir di tengah-tengah mereka.
Dapat dikatakan, sebagai sebuah bangsa dan masyarakat, suku-suku di jazirah Arab telah lama mengenal puisi, jauh sebelum Islam hadir, dan mereka seringkali mendeklamasikan puisi-puisi mereka, semisal epik tentang kepahlawanan, cerita seorang tokoh, atau puisi-puisi deklamatis tentang cinta dan keindahan, ketika mereka berada di kemah atau saat tengah berkumpul di sekitar api unggun. Seorang deklamator biasanya berdiri di hadapan para anggota yang menyaksikan dan menyimak deklamasi tersebut. Tradisi berpuisi dalam bangsa dan masyarakat Arab itu kemudian tetap berlangsung, bahkan mengalami perkembangan, ketika Islam hadir, meski kemudian merubah lanskap dan tema-tema perpuisian bangsa Arab. Di jaman pra-Islam itu, penyair Arab yang masyhur adalah Walid Ibn Mughira.
Sementara itu, di masa atau era Islam, tokoh dan figur yang dikenal memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam pengetahuan dan kesusastraan adalah Ali Bin Abi Thalib, dengan karyanya yang kini dikenal sebagai Nahjul Balaghah. Namun, berbeda dengan kebiasaan para penyair Arab sebelumnya, Nahjul Balaghah ini sebenarnya berbentuk prosa. Meskipun demikian, bangsa Arab memandang-nya sebagai puisi dalam bentuknya yang berbeda. Pandangan bangsa Arab tersebut salah-satunya disebabkan karena prosa di mata bangsa Arab lebih rendah ketimbang puisi.
Pandangan bahwa puisi lebih tinggi ketimbang prosa itu bertahan sampai pada masa kekhalifahan Islam di era Dinasti Umayyah. Pada masa atau era Dinasti Umayyah ini, kesusastraan puisi dianggap sebagai ukuran kecerdasan dan intelektualitas yang lebih murni ketimbang prosa. Akan tetapi pandangan dan keadaan di masa Dinasti Umayyah tersebut segera berubah ketika kekhalifahan Islam memasuki era Dinasti Abbasiyah. Berbeda dengan di masa Dinasti Umayyah, kesusastraan prosa mulai berkembang dan diterima di lingkungan masyarakat dan intelektual Islam di jazirah Arab dan di wilayah-wilayah lainnya di masa Abbasiyah ini.
Pada masa Dinasti Abbasiyah inilah, dunia penulisan dan intelektual kesusastraan mulai melibatkan orang-orang non-Arab (Ajami). Di masa atau era Dinasti Abbasiyah inilah banyak buku-buku kesusastraan prosa ditulis dan dipublikasikan, semisal al-Qishas (kisah), al-Maqamat, dan al-Tawq’at. Sebagai contoh, al-Qishas adalah genre sastra yang belum pernah dikenal dalam tradisi Arab pra-Islam, meskipun mereka mempunyai cerita-cerita yang disampaikan secara lisan. Baik secara langsung atau pun tak langsung, al-Qur’an sangat memberi inspirasi dan mempengaruhi karya al Qishas ini. Terbukti dengan kisah-kisah yang tercantum di dalamnya yakni, Qisah al-Anbiya, atau kisah para Nabi, ada pula cerita berbingkai seperti Kalilah Wa Dimnah, dll.
Nahjul Balaghah Sebagai Pustaka Susastra
Sebagai sebuah buku dan pustaka, Nahjul Balaghah (yang merupakan sebuah kitab susunan Sayid Syarif Radhi yang adalah ulama terkemuka di bidang Sastra Arab dan Fiqih di abad ke-4 Hijriah, yang berisi kumpulan khotbah, surat dan ucapan Ali bin Abi Thalib ), sebenarnya tidak memaksudkan dirinya sebagai karya kesusastraan. Meskipun demikian, banyak kritikus dan pembaca tidak dapat menafikan khasanah bentuk dan isi kesusastraan-nya dari segi estetik dan intelektual. Buku sastra yang memadukan keindahan puitis dan prosais ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam dunia kesusastraan dan intelektual Islam.
Kitab (atau buku pustaka) yang merupakan pustaka-ensiklopedis ucapan-ucapan, khutbah-khutbah, dan kearifan-pengetahuan Ali Bin Abi Thalib ini pun mengangkat banyak topik dan tema, utamanya tentang kezuhudan dan kebijaksanaan itu sendiri. Ia berbicara tentang masalah-masalah keimanan, metafisika (dan persoalan filsafat lainnya), jurisprudensi, teologi (kalam), tafsir, hadits, kepemimpinan (politik), profetologi, sejarah, kemasyarakatan (sosiologi), hak dan kewajiban warga-masyarakat dalam konteks politik dan kemasyarakatan, puisi, sains, retorika (modus linguistic), dan kesusastraan itu sendiri.
Sementara itu, penilaian para kritikus dan pembaca, pada aspek estetik dan kesuastraannya, tak lain karena Nahjul Balaghah menyiratkan dan menunjukkan bentuk-bentuk pengungkapan prosa-puitis tuturan dan kebahasaan yang menggunakan alegori, kiasan, dan retorika, hingga mampu menghadirkan dirinya sebagai keindahan susastra, sembari tetap memiliki kesahajaan dan makna yang penuh nilai perenungan, pemikiran, dan kandungan intelektual lainnya, semisal ucapan Ali Bin Abi Thalib dalam kitab (pustaka) tersebut yang berbunyi: “Dalam masa kekacauan sosial, jadilah seperti unta remaja, yang tak berpunggung cukup kuat untuk ditunggangi dan tidak pula bersusu untuk diperah.”
Sebagai sebuah buku dan pustaka, Nahjul Balaghah telah menunjukkan khasanah kesusastraan puisi dan prosa pada saat bersamaan, seperti yang diungkapkan Ali al Jundi di awal tulisan ini. Pustaka ini juga merupakan warisan sangat penting dalam sejarah Islam pada umumnya, dan pencapaian intelektual bangsa Arab secara khusus. Hingga wajar jika Nabi Muhammad sendiri pernah berkata (sebuah kiasan untuk menunjukkan kealiman dan kezuhudan Ali Bin Abi Thalib): “Aku adalah kota ilmu, dan Ali Bin Abi Thalib adalah pintu masuknya.”
(Kafe-Malam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email