Pesan Rahbar

Home » » Perjuangan Imam Husain Membangun Moralitas dan Keadilan

Perjuangan Imam Husain Membangun Moralitas dan Keadilan

Written By Unknown on Thursday, 12 October 2017 | 20:54:00


Orang yang bermurah hati akan menjadi manusia yang terhormat. Orang yang kikir, ia akan menjadi manusia terkutuk. (Imam Husain as)

Ketika Imam Husain berada di Mekkah, beliau memimpin kota tersebut untuk berperang melawan Yazid bin Mu’awiyah melalui tiga strategi.” Pertama, Imam Husain menarik perhatian dan mengarahkan opini publik agar mengikuti langkah-langkahnya. Kedua, Imam Husain mengarahkan dan menganalisis situasi politik di atas landasan prinsip-prinsip Islam yang terkait dengan administrasi pemerintahan. Ketiga, Imam Husain memimpin masyarakat menentang rezim Yazid untuk membentuk Negara Islam di bawah kepemimpinannya. Alasan kunci dari perlawanan ini adalah bahwa Yazid telah nyata-nyata menghancurkan norma-norma ajaran Islam.

Imam Husain mewarisi moralitas Nabi Muhammad Saw. Umat Muslim menghargainya karena beliau beserta keluarganya senantiasa menolong orang lain yang sangat membutuhkan. Kita pun dapat menelusuri pandangan moral Imam Husain dari beberapa pernyataan beliau, sebagai berikut:

1. Sadarlah, kebutuhan umat manusia padamu adalah kehormatan yang Allah anugerahkan kepadamu. Janganlah kau merasa bosan dengan kehormatan ini; jika tidak, maka ia akan menjadi kutukan bagimu.

2. Sadarlah, kebajikan (ma’ruf) membawamu pada penghargaan dan anugerah. Andaikan kita dapat menyaksikan kebajikan (ma’ruf) tersebut, ia akan terlihat bagaikan wanita cantik yang memikat siapa pun mata memandang. Sebaliknya, jika wujud kekikiran dapat kita, ia akan tampak seperti makhluk jahanam yang membosankan.

3. Orang yang bermurah hati akan menjadi manusia yang terhormat. Orang yang kikir, ia akan menjadi manusia terkutuk. Siapa yang bersegera melakukan kebaikan bagi saudaranya, ia akan diberi kemudahan ketika saatnya ia berjumpa Tuhan.

4. Suatu hari, salah seorang anak Imam Husain wafat, tetapi orang. orang justru malah mencerca Husain. Walau begitu, beliau justru berkata, “Kami adalah keluarga Nabi Muhammad; kami berdoa kepada Allah, dan Dia akan mengabulkannya. Jika Dia mengambil seseorang yang kami cintai, kami berserah pada-Nya.”

5. Sekali waktu, beliau memohon kepada Allah di salah satu pojok Ka’bah, “Ya Allah, Kau telah memberkahiku, tetapi Kau tahu bahwa aku bukanlah orang yang bersyukur dan bersabar di hadapanmu. Tidak sedikit pun Kau cabut berkah ini, (meski) aku tidak mensyukurinya. Dan, tidak pula Kau membiarkanku dalam penderitaan yang panjang, (meski) aku bukanlah seorang yang penyabar. Tuhanku, tidak ada sesuatu pun yang datang dari Diri-Mu, Wahai Yang Maha Pemurah, selain kemurahan-Mu yang mengalir padaku.”

Imam Husain menjadikan langkah-langkah Nabi Muhammad Saw. sebagai model bagi langkah-langkah politiknya. Karena berpatokan pada langkah-langkah tersebutlah, dia tidak dapat akur dengan pandangan negatif bahwa “tujuan menghalalkan cara.” Sebaliknya, Imam Husain melaksanakan praktik-praktik politiknya dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip etis dan religius.

Misalnya, setelah Dinasti Umayyah membunuh kakaknya, Imam Hasan, masyarakat Irak meminta Imam Husain untuk membalas dendam dan memimpin perlawanan terhadap Mu’awiyah. Meskipun orang-orang Irak tersebut begitu loyal kepada Nabi Muhammad Saw., beliau menolak tawaran mereka dan tetap mematuhi perjanjian yang ia buat dengan Mu’awiyah.


Kesepakatan tersebut berisi tujuh butir, diantaranya sebagai berikut:

Pertama, hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah dengan syarat Mu’awiyah harus memimpin di atas pijakan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, serta khalifah-khalifah yang lurus. Mu’awiyah dilarang menunjuk siapa pun sebagai khilafah.”

Kedua, Hasan-lah yang akan mengangkat khalifah setelah Mu’awiyah.

Ketiga, jika terdapat sesuatu yang menimpa Hasan, Husain yang akan mengambil alih kepemimpinan.

Keempat, Mu’awiyah tidak diizinkan menuntut apa pun dari masyarakat Madinah, Hijaz, dan Irak selama ayah Imam Husain masih memimpin dan berpengaruh di kalangan umat Muslim.

Kelima, para gubernur di berbagai provinsi, yang diangkat Mu’awiyah, tidak dipcrkenankan mencela Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib di atas podium juga tidak diperkenankan mengutuk Imam Ali dalam gunut (doa di tengah salat subuh) dan dalam doa selama waktu salat lima waktu.

Keenam, terjaminnya keselamatan dan keamanan setiap orang di mana pun ia berada. Ketuju, Mu’awiyah tidak memiliki hak untuk berurusan dengan bayt al-mdl (dewan keuangan) di Kufah. Bayt al-mdl akan dibina oleh Imam Hasan. Mu’awiyah, Imam Hasan, Imam Husain, dan para pengikutnya, baik laki-laki maupun perempuan, tidak seharusnya melakukan hal buruk serta mengumpulkan kekayaan demi kepentingan-kepentingan pribadi. Imam Husain konsisten mempertahankan kebenaran (kesepakatan tersebut) dan bersungguh-sungguh dalam mematuhinya.


Revolusi Imam Husain tidak begitu saja terjadi. Ia telah seutuhnya ditentukan sebelum pewahyuan Tuhan kepada Nabi Muhammad. Beliau berkata kepada Abdullah bin Ja’far, “Saya bermimpi berjumpa dengan Rasulullah Saw. dan beliau meminta saya untuk mengerjakan sesuatu dan mati demi dia.” Di Aqabah, Imam Husain mengatakan pada para sahabatnya, “Aku merasa aku akan terbunuh. Aku melihat dalam mimpi anjing-anjing menyelakaiku, dan yang paling nyaring menyalakiku adalah anjing yang belang.

Suatu saat, Amr bin Ludzan menyarankan agar Imam Husain menangguhkan keberangkatannya ke Kufah sampai mendapat kabar dari Kufah. Namun, Imam Husain mengatakan hal yang sebaliknya, “[Aku berangkat] bukan berarti aku tidak tahu, melainkan karena aku berserah diri kepada keputusan Allah.

Mereka mengundangku datang agar dapat merenggut jantungku dari badan ini.” Di Mekkah, ketika hendak pergi ke Irak, Imam Husain berkata, “Tanganku seakan terpisah berserak di antara Nainawa (Nawawis) dan Karbala, kemudian keluargaku yang kelaparan dan kehausan hidup setelahnya; namun demikian, tidak satu tempat pun untuk lari dari hari yang telah Tuhan tentukan tersebut.”

Ketika kesepakatan berjalan, Imam Husain tidak memberontak pada Mu’awiyah. Beliau memberontak pada masa Yazid. Pada masa kepemimpinan Mu’awiyah, Imam Husain mengikuti kakaknya, Imam Hasan, yang mematuhi kesepakatan dengan Mu’awiyah. Salah satu butir kesepakatan tersebut sampai pada tingkat membahas pengangkatan Imam Husain sebagai khalifah masa depan, setelah Mu’awiyah putra Hindun.

Imam Husain memahami anjuran para sahabatnya di Irak untuk melawan Mu’awiyah dengan strategi militer sang ayah, ‘Ali; jika beliau kalah, sahabatnya akan memandangnya sebagai seseorang yang teraniaya oleh sang musuh, tetapi dia tetap akan dikenang sebagai sosok terhormat sebagaimana ayahnya, ‘Ali, dikenang.

Saran tersebut dikemukakan masyarakat Irak karena mereka telah terzalimi oleh Mu’awiyah dan hidup dalam kemiskinan. Nyatanya, Imam Husain tidak mengikuti kesepakatan tersebut seolah-olah dia memilih Yazid sebagai khalifah selanjutnya. Dengan demikian, dalam melakukan taktik-taktik politiknya, tindakan Mu’awiyah bersifat eksklusif. Sebaliknya, tindakan Yazid berkarakter neurotis (dipengaruhi gangguan kejiwaan), ekstrovert dan terburu-buru.

Oleh karena itu, Yazid bersifat kejam dan langsung, mudah dipengaruhi oleh opini baru. Terkait hal ini, Sigmund Freud, menerangkan bahwa karakter neurotis dapat diterapkan untuk melihat orang-orang pintar; mereka mencela gangguan kejiwaan mereka (neuroticism), tetapi juga mengeksploitasinya demi memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.

Yazid cenderung glamor; dia senang berburu, minum alkohol, main perempuan, memelihara anjing, dan mengenakan emas serta pakaian dari wol, serta menyediakan satu orang pengurus bagi setiap anjingnya. Dia melaksanakan kekhalifahannya dengan politik berbasis nafsu. (Amsal Bakhtiar)


Referensi:

Makalah Amsal Bakhtiar dalam tulisannya berjudul “Semangat dan pesan inti ajaran Al-Qur’an terkait kesyahidan Imam Husain” di buku “Revolusi Imam Husain as”

(Syiah-Menjawab/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: