Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI. Show all posts
Showing posts with label ABNS SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI. Show all posts

Manusia Indonesia Adalah Campuran Beragam Genetika

Penelitian genetika membuktikan tak ada pemilik gen murni di Nusantara. Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika yang awalnya berasal dari Afrika.

Rute pengembaraan Homo Sapiens dari Afrika Timur.

Aslinya dari mana? Begitu biasanya orang-orang memulai percakapan. Pertanyaan ini kadang sulit untuk dijawab. Itu baik hanya untuk sekadar basa-basi maupun benar-benar ingin tahu.

“Saya sendiri selalu mengaku sebagai orang Pare karena lahir di sana,” kata Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, mengawali pemaparannya dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII-2017 di Auditorium Museum Nasional, Jakarta.

Kepulauan Nusantara telah lama menjadi kediaman bagi ratusan populasi etnik dan budaya. Kini jumlahnya paling tidak sudah lebih dari 500 populasi. Penduduknya juga menuturkan lebih dari 700 bahasa yang berbeda. Kenyataan ini sering kali memunculkan pertanyaan: siapa sebenernya manusia Indonesia? Datang dari mana leluhurnya? Sejak kapan mereka mendiami kawasan ini?

Secara geografis, kata Herawati, Kepulauan Nusantara berperan penting sebagai penghubung daratan Asia dan Kepulauan Pasifik. Dua model telah digunakan untuk menerangkan migrasi yang kemudian membentuk populasi penghuni Asia Tenggara masa kini. Berdasarkan temuan arkeologi, Asia Tenggara mulai dihuni manusia modern sekira 50.000-70.000 tahun lalu.

Studi genetik yang dilakukan oleh konsorsium HUGO-Pan Asia memperlihatkan, semua populasi Asia Timur maupun Asia Tenggara berasal dari gelombang pertama migrasi Out of Africa. Migrasi ini menyusuri jalur selatan sekira 40.000-60.000 tahun lalu. Sementara itu, berdasarkan model Out of Taiwan, penyebaran penutur Bahasa Austronesia terjadi sekira 5.000-7.000 tahun lalu.

Dalam pembentukannya menjadi manusia Indonesia, kata Herawati, secara genetis terdapat empat gelombang migrasi yang berkontribusi. Gelombang awal, nenek moyang datang 50.000 tahun lalu melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda yang ketika itu masih menggabungkan Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaya.

Cikal bakalnya, dalam pengembarannya, manusia modern (Homo sapiens) dimulai dari Benua Afrika sekira 150.000 tahun lalu. Pada 30.000 tahun kemudian, sekelompok manusia melakukan perjalanan ke utara melalui Mesir dan Israel. Namun, jejak mereka hilang.

Kelompok lainnya, sekira 72.000 tahun lalu berpindah ke bagian selatan semenanjung Arab menuju India. “Manusia non-Afrika, termasuk kita, merupakan kelompok keturunan ini,” jelas Herawati.

Herawati melanjutkan, pada 40.000 tahun lalu ada dua kejadian migrasi. Ada kelompok yang pindah ke utara dari Pakistan melewati Sungai Indus dan bergerak ke Selat Bering. Inilah para penghuni Benua Amerika yang sebenarnya baru dihuni kurang lebih 15.000 tahun lalu. Jauh lebih muda dari penghuni Kepulauan Nusantara.

“Pada jalur lebih muda, memperlihatkan nenek moyang yang berasal dari Afrika Timur pergi ke utara menyebar melalui lembah Sungai Nil, Semenanjung Sinai atau melalui Laut Merah ke Saudi Arabia ke selatan, melewati Indonesia sampai ke Australia,” papar Herawati.

Gelombang kedua adalah kontribusi dari Asia daratan. Ini adalah kelompok yang menuturkan Bahasa Astroasiatik. Mereka berpindah ke selatan masuk ke Nusantara dari daratan Asia melewati Semenanjung Malaya. Saat itu, Semenanjung Malaya masih menyatu dengan Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Gelombang ketiga merupakan ekspansi dari utara. Pada periode sekira 4.000 tahun lalu mereka bermigrasi dari daerah Cina Selatan, menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi, dan Kalimantan. Mereka inilah yang membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini terjadi mulai dari Madagaskar hingga ke Pulau Paskah di dekat Amerika.

“Kalau lihat dari bahasanya, bahasa yang kebanyakan dipakai sekarang adalah Bahasa Austronesia. Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” jelasnya.

Gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah. Ini termasuk periode Indianisasi dan Islamisasi di Kepulauan Nusantara.

Empat gelombang migrasi yang melalui Kepulauan Nusantara itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya keragaman pada masa kini. Tapi seberapa jauh pembauran yang ada?

Herawati membuktikannya melalui studi genetika. Dia melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda DNA.

Berdasarkan sampel penanda DNA mitokondria yang hanya diturunkan melalui garis ibu, diketahui periode hunian awal di Kepulauan Nusantara berkisar antara 70.000-50.000 tahun lalu. Sementara analisis penanda kromosom Y yang hanya diturunkan dari garis ayah memperlihatkan adanya bukti pembauran beberapa leluhur genetik.

“Pembauran makin jelas dengan menggunakan penanda genetik yang ditemukan dalam inti sel, yaitu DNA autosom, yang diturunkan dari kedua orang tua,” jelas Herawati.

Penelitian tersebut menguak populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang terungkap dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya.

Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.

Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa Austronesia.

“Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya. Dengan gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri sendiri,” jelas Herawati.

Lalu bagimana menjelaskan adanya perbedaan fisik, seperti kulit misalnya? Dia menjelaskan, dalam pengembaraan para nenek moyang hingga ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering, pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA. “Pigmentasi itu ada kodenya oleh DNA,” ucapnya. Bagaimana kemudian kondisi itu bisa menciptakan warna kulit, bahkan perbedaan jenis rambut, penelitian mengenai itu hingga kini masih berlanjut.

Menurut Herawati, melalui penelitian genetika, kita mengetahui migrasi manusia sampai ke Nusantara yang menjadi nenek moyang orang Indonesia. Agaknya tak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Sebab, tak ada pemilik gen murni di Nusantara. “Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika, yang pada awalnya berasal dari Afrika,” tegas Herawati.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Operasi Bedah Jantung Koroner Kronis Termodern di RS Razavi


Operasi bedah arteri koroner kronis termodern dilaksanakan di rumah sakit subspesialis Razavi dengan dihadiri oleh Ketua Perhimpunan CTO Eropa.

Astan News melaporkan, CTO adalah salah satu metode ballooning dan stenting di jantung dan biasanya dilakukan terhadap seorang pasien yang mengalami penyumbatan arteri koroner kronis atau pernah menjalani operasi jantung, dan mengalami penyumbatan jantung kronis.

Ketua Perhimpunan CTO Eropa di sela pelaksanaan operasi yang dilakukan untuk meningkatkan level pengetahuan para dokter dan pakar Iran di rumah sakit Razavi, menuturkan, metode ini digunakan untuk membuka arteri koroner yang mengalami penyumbatan atau jantung koroner kronis dan operasi bedah non-invasif yang sangat sulit, karena biasanya pembuluh darah yang merupakan pembuluh darah vital di dalam jantung mengalami penyumbatan dan tidak bisa dibedah dengan metode-metode yang lain.

Profesor Alfredo Galassi, Ketua Perhimpunan CTO Eropa menambahkan, biasanya digunakan berbagai metode untuk mencapai pembuluh-pembuluh darah asli dan daerah yang terkena serangan dan terkadang operasi ini berlangsung selama 3-4 jam, oleh karena itu untuk melaksanakannya dibutuhkan peralatan yang sangat canggih.

Anggota Staf Guru Besar Universitas Catania, Italia ini menjelaskan, rumah sakit Razavi memiliki peralatan dan fasilitas yang cukup untuk melaksanakan operasi ini dan sejak dua tahun lalu hingga sekarang kerja sama lembaga kami dengan rumah sakit ini terus terjalin dengan baik.

Rumah sakit Razavi di bawah manajemen yang ideal, setiap tiga atau enam bulan, menyarankan para pasien yang tidak berhasil disembuhkan dengan metode-metode lain untuk membuka arteri koroner, untuk merujuk ke Perhimpunan CTO Eropa.

Ia melanjutkan, patut disyukuri hingga kini operasi-operasi yang sudah dilakukan untuk semua pasien termasuk empat pasien yang dioperasi di rumah sakit Razavi dalam acara ini, berakhir dengan sukses.

(Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pesawat Baru Buatan Anak Bangsa Terbang Perdana di Makassar

Pesawat N-219 (Foto: Liputan6)

Safri menjelaskan, pesawat N-219 Indonesia adalah salah satu karya terbaru buatan anak bangsa. Pesawat N-219 ini dibuat oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI).

Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) pada 8-11 Agustus 2017 yang di pusatkan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan juga akan menjadi momentum penerbangan perdana pesawat terbaru buatan Indonesia yakni N-219.

Kepala Deputi Bidang SDM, Iptek dan Budaya Kementerian Koordinator Kemaritiman, Safri Burhanuddin di Makassar, Selasa, mengatakan, peringatan Hakteknas 2017 yang dipusatkan di Makassar itu akan menjadi ajang eksplorasi semua potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

"Selama 72 tahun Indonesia merdeka, belum pernah kita melakukan kegiatan yang mengeksplorasi semua potensi yang dimiliki Indonesia dan nanti pada kegiatan Hakteknas itu kita akan perlihatkan apa-apa saja yang bisa dilakukan anak bangsa ini," jelasnya.

Safri menjelaskan, pesawat N-219 Indonesia adalah salah satu karya terbaru buatan anak bangsa. Pesawat N-219 ini dibuat oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI).

PTDI mengembangkan pesawat jenis turboprop (balik-baling) yang digunakan untuk penerbangan komersil jarak pendek. Pesawat ini dinamakan N-219.

"Pesawatnya sudah selesai dan saat ini pesawat itu sudah diperkenalkan keluar hanggar, namun beberapa komponennya masih dalam proses sertifikasi," katanya.

(Liputan-6/Islam-Times/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Pandur II 8×8, Kendaraan Tempur Lapis Baja Incaran TNI AD


APC Pandur II dikembangkan oleh Steyr-Daimler-Puch, Austria, anak perusahaan General Dynamics, Ceko. Selain sebagai kendaraan pengangkut pasukan, Pandur II dapat dijadikan kendaraan komando peleton, kendaraan komando bataliyon, kendaraan lapis baja amphibi, kendaraan dengan senjata anti tank, ambulans, dan kendaraan latihan. wikipedia.org

Pandur II 8×8 yang bakal didatangkan ke Indonesia adalah produksi Excalibur Army (Czechoslovak Group). Jika ingin diperjelas, Excalibur Army merupakan pemegang lisensi dari General Dynamics European Land Combat Systems untuk memproduksi Pandur II untuk dipasarkan di wilayan tertentu, termasuk Indonesia. Sebagai informasi, Excalibur Army sebelumnya juga menjadi pemasok RM70 Vampire, MLRS (Multiple Launch Rocket System) yang digunakan Korps Marinir TNI AL.

Pengadaan alutsista ini ternyata juga telah melibatkan BUMN PT Pindad dalam ToT (Transfer of Technology). Pandur II 8×8 dengan spesifikasi TNI AD telah masuk dalam proyek pengembangan bersama antara PT Pindad dan Excalibur Army sejak tahun 2015. Mau tahu seperti apa spesifikasi Pandur II untuk kebutuhan TNI AD? Selain jumlah angkut personel sampai 12 pasukan, akan ada peningkatan kapasitas amfibi di laut, dan penyesuaian tropical kit, seperti pemasangan AC, anti korosi, antu humiditas, karet-karet khusus tropis, serta perubahan air cooling menjadi water cooling.


Bentuk kerjasama dengan PT Pindad menggunakan skeman CBU (Completely Built Up), CKD (Completely Knock Down) dan manufaktur. Yang menarik disebut-sebut penelitian dan pengembangan tentang manufaktur sudah berjalan, dan nantinya proses produksi dimulai pada pertengahan tahun 2018. Excalibur bahkan telah memberikan lisensi penuh pada PT Pindad untuk memproduksi Pandur di Bandung. Dan besar kemungkinan nantinya nama Pandur produksi Pindad namanya akan mengacu pada nama hewan di Tanah Air, seperti halnya sudah diterapkan pada ranpur Anoa, Badak, atau Sanca. Jika tak ada aral melintang, Pandur II 8×8 nantinya akan ikut memeriahkan defile pada HUT TNI 5 Oktober mendatang.

(Mahdi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Seminar Ilmiah “Ikhtisar Temuan-temuan Baru Neonatologi” di RS Razavi


Seminar ilmiah “Ikhtisar temuan-temuan baru di bidang neonatologi” diselenggarakan oleh rumah sakit­ subspesialis Razavi dengan kerja sama Universitas Imam Ridha as.

Astan News melaporkan, tingkat kematian bayi di dunia berdasarkan data resmi PBB dari 126 bayi di tahun 1960 menurun menjadi 57 bayi pada tahun 2001 dan pada tahun 2006 menurun kembali sampai 49 bayi setiap harinya.

Meski tingkat kematian bayi secara umum mengalami penurunan cukup signifikan di dunia, namun hingga kini target yang sudah ditetapkan atau yang dikenal dengan “Tujuan Millenium” terkait dengan tingkat kematian balita di tahun 2015 harus berkurang sepertiga dari tahun 1990, masih belum terwujud.

Selain itu, kemajuan ini dicapai secara tidak seimbang dan di negara-negara seperti Somalia dan Siera Leone, tingkat kematian bayi sekitar 50 bayi perhari dan tingkat kematian balita, 185 anak setiap harinya, sementara di negara seperti Jepang dan Finlandia serta Singapura, hanya satu bayi dari setiap 1000 bayi, yang meninggal setiap harinya di tahun 2013.

Di Iran, kematian bayi terjadi sekitar sembilan bayi perhari dari 1000 kelahiran dan patut disyukuri dalam beberapa dekade terakhir, telah dicapai sejumlah kemajuan signifikan dalam bidang neonatologi.

Dalam rangka meningkatkan kesadaran pakar dan perawat dalam masalah ini, rumah sakit Razavi menggelar seminar sehari yang dihadiri oleh sejumlah pakar kedokteran dan para perawat bagian NICU dari beberapa rumah sakit yang ada di kota Mashhad.

Dalam seminar ilmiah ini dikaji kasus-kasus seperti oksigen pengobatan, pengobatan dengan surfaktan, prinsip-prinsip menjaga keluarga, masalah-masalah pertumbuhan bayi prematur, penyakit pernafasan pada bayi prematur, menjaga bayi prematur dan dengan berat badan tidak ideal,Ensefalopati hipoksik iskemik, temuan-temuan baru deteksi dan pengobatan iskemik, cara kerja baru ventilator mekanik pada bayi, temuan-temuan baru identifikasi dan pengobatan sindrom gangguan pernafasan pada bayi dan penjagaan bayi di ruang pengawasan khusus bayi.

Dalam acara penutupan seminar, para pakar pengobatan bayi di Khorasan Razavi, sejumlah perawat dan peneliti di bidang ini, menerima penghargaan.

(Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kerja Sama Pembuatan Jet Tempur, Indonesia-Korsel Tunggu Lisensi AS

Abdurahman Muhammad Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri RI.

Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan melakukan kerja sama pembuatan jet tempur KF-X/IF-X. Namun, menurut Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir, kerja sama ini harus menunggu persetujuan lisensi dari Amerika Serikat.

"Joint development untuk pesawat ini ada beberapa pending, terutama soal lisensi dari AS. Bukan penundaan kerja sama tetapi kami minta AS sebagai negara yang memiliki lisensi, dia harus memberikan izin dulu," ujar Wamenlu Fachir di Jakarta, Senin (6/2).

Pernyataan tersebut disampaikan Wamenlu RI usai pertemuan pertama Dialog Strategis Kerja sama Tingkat Tinggi (HWLSD) Indonesia-Korsel di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI.

KF-X / IF-X adalah program Korea Selatan dan Indonesia untuk mengembangkan pesawat tempur multiperan canggih untuk angkatan udara kedua negara.

Namun, Fachir menyebutkan kerja sama pembuatan pesawat tempur KF-X/IF-X itu masih terhambat masalah izin lisensi dari Amerika Serikat.

"Untuk persetujuan lisensi dari AS, tahun kemarin delegasi dari Kementerian Pertahanan RI sudah ke AS. Ada baiknya kali ini kami, Indonesia dan Korsel, sama-sama. Ini kan untuk keberlangsungan proyek ini," ujar dia.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa Indonesia akan mengandalkan pertahanan udara kepada pesawat tempur KF-X/IF-X buatan bersama dengan Korea Selatan pada lima tahun mendatang.

Indonesia dan Korea Selatan pada Januari 2016 menandatangani perjanjian senilai 1,3 miliar dolar AS untuk pengembangan jet tempur baru.

Berdasarkan atas perjanjian itu, yang ditandatangani dengan Korea Aerospace Industries (KAI), Kementerian Pertahanan Indonesia akan menanam sekitar 1,6 triliun won (sekitar Rp13 triliun) dalam program Korea - Indonesia Fighter Experimental.

(Kompas/Islam-Times/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

7 Faktor Pemicu Kemajuan Sains dan Teknologi Peradaban Islam


Salah satu unsur kejayaan peradaban Islam adalah sains dan teknologi. Bidang ini mengalami beberapa fase, mulai dari kemunculannya, penyebaran, kemajuan, hingga kemunduran. Untuk menunjukkan kemajuan sains dan teknologi Islam pada masa keemasannya, cukuplah kiranya menyebut nama-nama, seperti Jabir bin Hayyan, al-Kindi, al-Khawarizmi, ar-Razi, al-Farabi, at-Tabari, al-Biruni, Ibnu Sina, dan Umar Khayyam. Tak seorang pun, baik di Timur ataupun di Barat, yang meragukan kualitas keilmuan mereka.

Lantas, apa faktor-faktor yang menunjang kemajuan sains dan teknologi Islam pada masa lalu itu? Dalam pendahuluan buku Teknologi dalam Sejarah Islam, Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill mengutarakan tujuh faktor kemajuan sains dan teknologi Islam. Ketujuh faktor itu adalah agama Islam, pemerintah yang berpihak pada ilmu pengetahuan, bahasa Arab, pendidikan, penghormatan kepada ilmuwan, maraknya penelitian, dan perdagangan internasional.

Pertama adalah agama Islam. Menurut Al-Hassan dan Hill, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini memberikan dorongan yang sangat kuat kepada umatnya untuk melakukan pencapaian-pencapaian di bidang sains dan teknologi.

Alquran memerintahkan umat Islam agar menggunakan akalnya dalam mengamati hakikat alam semesta. Perintah semacam itu di antaranya termaktub dalam surah Arrum [30] ayat 22; Albaqarah [2] ayat 164; Ali Imran [3] ayat 190-191; Yunus [10] ayat 5; dan al-An'am [6] ayat 97. Firman Allah SWT juga sering disertai pertanyaan afala ta'qilun dan afala tatafakkarun (tidakkah kamu sekalian berpikir).

Di samping itu, Islam telah menyatukan seluruh umatnya yang menyebar dari Cina hingga Samudra Atlantik di bawah pengaruh satu bahasa dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, semua orang bebas mengembara ke berbagai kota pusat ilmu pengetahuan, seperti Baghdad, Kairo, Cordoba, dan lain-lain, untuk belajar.

Kedua, pemerintah yang berpihak pada ilmu pengetahuan. Howard R Turner dalam Sains Islam yang Mengagumkan mengatakan bahwa pencapaian di bidang sains dan teknologi sudah menjadi ciri-ciri umum semua dinasti Islam, baik itu dinasti kecil maupun besar. Hampir di setiap kota Islam, ketika itu, terdapat gerakan Arabisasi dan penerjemahan. Di samping itu, juga didirikan akademi-akademi, observatorium, dan perpustakaan.

Ketiga, bahasa Arab. Sejak awal pemerintahan Dinasti Umayyah, ilmu pengetahuan dari Yunani dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Menurut Al-Hassan dan Hill, para sultan ketika itu sepenuhnya menyadari bahwa tidak mungkin ilmu pengetahuan berkembang di dunia Islam jika ilmu-ilmu tersebut tertulis dalam bahasa non-Arab.

Melalui aktivitas terjemahan itu, ilmu pengetahuan menyebar tidak hanya di kalangan penguasa dan intelektual, tetapi juga di masyarakat awam. Melalui penerjemahan itu pula, muncul banyak istilah sains dan teknologi yang baru dari bahasa Arab. Bahkan, bahasa ini dapat dipakai untuk mengekspresikan istilah-istilah ilmu pengetahuan yang paling rumit sekalipun.

Keempat, pendidikan. Untuk memacu laju perkembangan ilmu pengetahuan itu, para khalifah mendirikan sekolah-sekolah, lembaga pendidikan tinggi, observatorium, dan perpustakaan. Perpustakaan yang sangat terkenal pada masa Dinasti Abbasiyah bernama Bayt Al-Hikmah (Rumah Kearifan).

Perpustakaan ini, seperti dicatat banyak sejarawan Islam, memberikan sumbangan yang penting dalam penerjemahan karya-karya ilmuwan dari Yunani dan India ke dalam bahasa Arab. Salah seorang penerjemah buku-buku matematika dari Yunani adalah Tsabit bin Qurrah (836-901).

Kelima, penghormatan kepada ilmuwan. Al-Hassan dan Hill mencatat bahwa para ilmuwan pada era keemasan Islam mendapatkan perhatian yang besar dari kerajaan. Para ilmuwan masa itu dipenuhi kebutuhan finansialnya, bahkan diberi uang pensiun. Kebijakan ini diambil supaya mereka bisa mencurahkan waktu sepenuhnya untuk kegiatan mengajar, membimbing murid, menulis, dan meneliti.

Keenam, maraknya penelitian. Kerajaan mendorong para ilmuwan untuk melakukan penelitian di berbagai bidang. Salah satu contohnya adalah riset ilmu matematika oleh al-Khawarizmi. Sang ilmuwan telah menghasilkan konsep-konsep matematika yang begitu populer dan masih tetap digunakan hingga sekarang. Angka nol yang ada saat ini kita kenal merupakan hasil penemuannya. Angka ini dibawa ke Eropa oleh Leonardo Fibonanci dalam karyanya Liber Abaci.

Ketujuh, perdagangan internasional. Perdagangan internasional menjadi sarana komunikasi yang efektif antarperadaban dan mempercepat proses kemajuan teknologi. Misalnya, karena maraknya kegiatan dagang antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain di dunia, ditemukanlah teknologi navigasi.

Demikian gambaran sekilas perkembangan sains dan teknologi Islam. Al-Hassan dan Hill menggarisbawahi bahwa kemajuan sains dan teknologi umat Islam pada masa itu ditentukan oleh stabilitas politik dan ekonomi.

Tak mengherankan bila dengan ketujuh faktor itu, dunia Islam menjadi magnet bagi Barat untuk menggali berbagai ilmu pengetahuan dalam Islam. Mulai dari pertanian, perkebunan, kedokteran, perbintangan, kesehatan, kedokteran, matematika, fisika, dan lain sebagainya.

Sayangnya, kemajuan ilmu pengetahuan Islam itu tak berlanjut hingga kini. Sebab, dunia Barat yang mulai menguasai ilmu pengetahuan Islam mengambil celah, bahkan mengancam kekhalifahan Islam yang mulai bermasalah karena persoalan internal.

Serangan bangsa Barbar dari Asia Tengah menjadi salah satu tanda kemerosotan sains dan teknologi Islam. Hal ini disebabkan lemahnya politik dan ekonomi umat Islam di Irak.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Metode Pembayaran Nazar di Haram Suci Razavi


Hari ini pembayaran nazar bagi para peziarah Imam Ridha as sudah menjadi hal yang begitu mudah. Sekarang mereka dapat melakukannya dengan berbagai cara dan sama sekali tidak ada kekhawatiran dalam hal ini.

Untuk membayar nazar ada berbagai metode yang bisa para peziarah gunakan sesuai kondisi mereka.

Datang langsung ke loket pembayaran
a. Pembayaran uang nazar secara tunai: para peziarah yang terhormat bisa mendatangi loket-loket pembayaran nazar yang biasanya terdapat di serambi dan beranda-beranda Haram Suci Imam Ridha as dan dengan memilih salah satu cara di bawah ini, para peziarah bisa melakukan pembayaran nazar mereka secara tunai:
- Membayar secara tunai dan menerima tanda terima, jika memiliki nazar khusus, orang yang membayar nazar akan menerima hasil print petugas yang berisi nama pembayar nazar dan peruntukan nazar.
- Membayar dengan mata uang asing. Perlu diingat pembayaran nazar juga dilakukan dengan mata uang asing di loket-loket pembayaran nazar tunai.
- Membayar nazar dengan koin emas, emas batangan, perhiasan atau perak.
b. Pembayaran nazar bukan dalam bentuk uang tunai bisa dilakukan dengan membayarnya dalam bentuk bahan makanan seperti kurma, safron, gandum, kacang-kacangan dan yang lainnya, pakaian, kursi roda, permadani dan karpet, lampu dan barang-barang antik berharga. Para pembayar nazar bisa mendatangani loket-loket pembayaran nazar bukan tunai yang terletak di gerbang masuk Haram Suci Razavi,melakukan pembayaran dan mengambil tanda terima.
c. Membayar nazar dengan hewan ternak seperti unta, sapi, domba dan kambing hutan, serta berbagai jenis unggas dapat dilakukan di loket pembayaran nazar hewan ternak hidup dan unggas selama 24 jam oleh para peziarah dan warga sekitar Haram Suci Razavi. Perlu diingat, para pembayar nazar dengan seluruh metode pembayaran baik tunai atau pembayaran nazar bukan tunai di loket-loket nazar yang sudah disediakan (kecuali sejumlah uang atau emas, perhiasan dan barang berharga oleh para peziarah di kotak-kota nazar yang disediakan) akan mendapat tanda terima.

Pembayaran Online
a. Para peziarah bisa membayar nazar secara online melalui internet atau dengan memanfaatkan informasi di situs nazar Haram Suci Razavi dari seluruh penjuru Iran dan dunia, lalu mentransfer pembayaran mereka (dalam bentuk riyal Iran atau mata uang asing) ke rekening BadanNazar Pusat Haram Suci Razavi.
b. Dengan mendatangani bank Melli, Mellat dan Saderat Iran. Para pembayar nazar bisa mendapat informasi terkait nomor rekening BadanNazar Pusat Haram Suci Razavi di bawah ini:
1- Rekening bersama Bank Melli Iran dengan nomor 0158775877000 (Kode cabang 8501)
2- Rekening Bank Mellat dengan nomor 24/58888888 (Kode cabang 1/4941)
3- Rekening Sepehr, Bank Saderat dengan nomor0100850085001 (Kode cabang 15)
4- Rekening valuta asing Bank Saderat dengan nomor 15/100/100 dan 020628440010
5- Nomor rekening 16 digit, 6104-3377-7003-3866 Bank Mellat
Seluruh nomor rekening tersebut atas nama Badan Nazar Pusat Haram Suci Razavi yang siap menerima nazar secara tunai (riyal Iran atau valas) dari semua orang yang bernazar.

c. Nazar khusus baik berupa kambing untuk restoran Imam Ridha as, permadani, kursi roda maupun bantuan renovasi dan pemeliharaan bangunan Haram Suci Razavi, terlebih dahulu harus diinformasikan lewat telepon atau fax kepada petugas bersangkutan. Jika tidak, nazar tersebut akan digunakan untuk Haram Suci Imam Ridha as dan berdasarkan kebijakan Perwalian Haram Suci Razavi, akan digunakan untuk amal baik.
d. Selain itu nazar bukan tunai bisa diserahkan dengan mendatangani langsung loket-loket penerimaan nazar di Haram Suci Razavi yang tersebar di sebagian besarprovinsi Iran atau bahkan bisa dikirim lewat paket atau kantor pos oleh para pembayar nazar dari dalam maupun luar negeri dengan alamat Haram Suci Imam Ridha as, Badan Nazar Pusat Haram Suci Razavi. Untuk yang tidak bisa mendatangi langsung loket-loket nazar, mereka bisa memberikan alamatnya dan kemudian akan dikirim tanda terima nazar. Jika menyertakan nomor telepon rumah atau ponsel, tanda terima dan permintaan pemberi nazar serta alamat akan dikirim ke alamat tersebut.

(Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Burung Besi Pertama Buatan Hindia Belanda

Lahir dari kebutuhan bisnis, pesawat buatan Bandung ini menarik perhatian kalangan penerbangan dunia.

Pesawat Walraven-2 pesanan Khouw Ke Hien; dibuat oleh Laurents Walraven, MP Pattist, dan Achmad bin Talim. (Foto: Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute).

Sebagai pewaris NV Merbaboe, perusahaan pemotongan sapi, Khouw Ke Hien ingin mengembangkan usahanya. Dia merasa transportasi darat dan laut kurang efisien. Di sisi lain, dia butuh mengunjungi dan mengawasi cabang-cabang perusahaan di sejumlah kota dalam waktu singkat.

Setelah putar otak, dia memutuskan harus punya pesawat sendiri. Pada Maret 1934, dia menghubungi Achmad bin Talim, teknisi pesawat dari Luchtvaart Afdelling, unit Militaire Luchtvaart Dients. Dia pesan pesawat. Kriterianya lumayan berat. Pesawat itu harus mampu terbang jarak jauh dengan kargo seberat 130 kilogram plus dua penumpang. Ia juga mesti bermesin ganda sehingga bisa tetap terbang bila satu mesin mati.

Talim mendiskusikan pesanan tersebut dengan kawan-kawannya. Termasuk dengan Laurents Walraven, desainer teknik di Militaire Luchtvaart-Koninklijke Nederlandsch Indische Leger, yang juga punya design workshop sendiri. Keputusannya: mereka terima pesanan itu. Walraven dan Kapten MP Pattist membuat cetak-biru dan desainnya, sementara Talim dan kawan-kawan lainnya yang mengerjakannya.

Walraven mendesain pesawat itu dengan performa apik, yang dia namakan Walraven-2. Dua mesin Pobjoy (ada yang menulis Pobyo) Niagara 7 silinder berkekuatan masing-masing 90 tenaga kuda terpasang di kedua sayap. Menurut artikel “Built in the Dutch East Indies” dalam majalah Flight, 28 Februari 1935, dengan mesin itu “pesawat didesain untuk penerbangan jarak jauh –berkisar 1.100 mil di udara.”

Aerodinamika mendapat perhatian penting. Walraven-2 berbeda dari kebanyakan pesawat kala itu yang desainnya belum compact dan rendah nilai estetis. Selain bodi ramping, Walraven-2 bersayap tunggal dan rendah –kala itu umumnya pesawat yang ada bersayap ganda dan letak sayapnya tinggi; mesinnya kebanyakan tunggal. Walraven-2 juga dilengkapi cowl (penutup) mesin dan roda dengan bentuk aerodinamis.

“Memang baru pertama kali itulah saya membuat penutup mesin bulat begitu,” kenang Talim, sebagaimana ditulis Cartono Soejatman dan Duni Sudibyo, “Made In Bandung Menggegerkan Eropa”, dimuat dalam Kisah Hebat di Udara I.

Talim dan kawan-kawannya mengerjakan pembangunan Walraven-2 di bengkelnya, Jalan Pasir Kaliki (Bandung) saban sore sepulang kerja lantaran pesawat tersebut merupakan proyek sampingan. Setelah selesai, giliran Walraven dan Pattist melengkapi pesawat itu dengan komponen-komponen seperti roda pendarat, pipa besi, kabel, dan sebagainya. “Akhirnya pesawat dapat diselesaikan dan kemudian dilakukan uji terbang oleh pilot Belanda, Kapten C Terluin,” tulis majalah milik TNI AU, Suara Angkasa, Januari 2012.

Walraven-2 rampung pada akhir 1934 dan menjalani uji terbang perdana pada 4 Januari 1935. Letnan Cornelis Terluin, yang dipercaya mempiloti, mengatakan dalam evaluasinya bahwa hasil uji baik semua. Di pengujung bulan, Walraven-2 mendapatkan registrasi penerbangan PK-KKH.

Hien, yang menyukai dunia penerbangan, senang bukan kepalang. “Dia peranakan pertama yang mendapat diploma pilot dari Depertemen Penerbangan Hindia Belanda,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.

Rencana gila langsung dibuat Hien: terbang ke Eropa (Amsterdam dan London). Banyak orang tak percaya. Walraven-2 belum pernah uji terbang jarak jauh. Tapi Hien bergeming. Pada September 1935, Walraven-2 lepas landas dari Bandara Andir –sekarang Husein Sastranegara. Hien dan Terluin yang memilotinya.

Sekira 20 hari kemudian, Walraven-2 mendarat mulus di Bandara Schipol, Amsterdam. Direktur Maskapai Penerbangan Belanda (KLM) Plesman dan Laurents Walraven, yang sudah terbang lebih dulu, ikut menyambut. Plesman sangat tertarik untuk mengoperasikan Walraven-2 ke dalam armada KLM. Dia meminta Walraven memproduksinya dalam jumlah banyak –dengan penambahan kapasitas angkut dan beberapa modifikasi– untuk dijadikan taksi udara.

“Pesawat ini adalah mesin yang sangat menarik, dan, jika diproduksi banyak, akan cocok bukan hanya untuk kepentingan pribadi tapi juga untuk tujuan bisnis,” tulis majalah Flight.

Namun, rencana produksi massal –yang rencananya akan dibuat perusahaan patungan antara Hien dan Walraven– tak pernah terlaksana akibat kematian Hien dalam kecelakaan pesawat pada 1938.

NV Merbaboe kemudian diteruskan adiknya, Khouw Keng Nio, yang juga mengantongi izin pilot.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Indonesia Bikin Bom Atom, Amerika Kelabakan

Amerika Serikat dan Tiongkok bantu Indonesia mengembangkan nuklir. Rencana ujicoba bom atom malah membuat dunia kalangkabut.

Ledakan bom atom di atas Nagasaki, Jepang, 9 Agustus 1945. (Foto: Nagasaki Atomic Bomb/EPA).

Pada tanggal 15 November 1964, Direktur Pengadaan Senjata Angkatan Darat Brigjen Hartono mengumumkan Indonesia akan mengujicoba bom atom pada 1969. Dia mengatakan sekira 200 ilmuwan sedang bekerja memproduksi bom atom tersebut.

Menyusul kemudian pada 24 Juli 1965 Presiden Sukarno mengumumkan, “Sudah kehendak Tuhan, Indonesia akan segera memproduksi bom atomnya sendiri,” ujarnya sebagaimana dikutip Robert M. Cornejo dalam “When Sukarno Sought the Bomb: Indonesian Nuclear Aspirations in the Mid-1960s,” The Nonproliferation Review Vol. 7 tahun 2000. Bagi Sukarno, bom atom ditujukan untuk “menjaga kedaulatan dan menjaga tanah air.”

Publik internasional terhenyak. Negara-negara Barat dan sekutunya khawatir dan protes. Menteri Pertahanan Australia Shane Paltridge mengatakan, pernyataan Hartono tak boleh disepelekan. Wakil PM Malaysia Tun Abdul Razak, yang merasa sangat terancam, memerintahkan penyelidikan serius upaya Indonesia itu. AS gerah dengan ulah Indonesia itu, dan diplomat-diplomatnya di Jakarta mulai menyelidiki.

AS mendapat kesimpulan, kemampuan nuklir Indonesia belum mencukupi untuk memproduksi bom. Oleh karena itu, tulis Matthew Fuhrmann dalam Atomic Assistance: How ‘Atom for Peace’ Programs Cause Nuclear Insecurity, “meski ada keinginan (Indonesia membuat bom, red.) tersebut, AS tetap melanjutkan bantuannya kepada program nuklir Indonesia.” Pada September 1965, AS dan Indonesia kembali menandatangani perjanjian kerjasama nuklirnya.

Sebuah revisi atas perjanjian tahun 1960, di mana Indonesia harus mengizinkan reaktor nuklirnya diinspeksi IAEA, dimasukkan dalam perjanjian baru itu. Hal tersebut bertujuan untuk mengendalikan Indonesia yang dikhawatirkan tak mengembalikan uranium suplai dari AS dan menggunakannya untuk membuat bom.

Namun, prahara 1965 mengubah semuanya. Kekuasaan Sukarno terus melemah dan akhirnya jatuh. Pemerintahan Soeharto sama sekali tak tertarik mengembangkan bom nuklir. Perjanjian nuklir dengan AS yang dimiliki Indonesia sepenuhnya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pertanian, dan pembangunan perekonomian.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Merekam Sejarah Penerbangan

Indonesia satu-satunya negara di Asia yang membangun kedirgantaraan nya sedari awal, sejak zaman kemerdekaan.

Nurtanio dan pesawat buatannya, Si Kumbang. (Foto: Public domain).

Kendati lebih dikenal sebagai negara maritim, kedirgantaraan Indonesia mengurai kisah panjang. Tak banyak diketahui, industri penerbangan negeri ini telah dirintis sejak 1946 oleh Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara (TRI AU). Dengan nama Biro Rencana dan Konstruksi di bawah pimpinan Opsir Udara III Wiweko Supono, industri penerbangan Indonesia bermula.

Prestasi pertama biro tersebut adalah inovasi pesawat layang jenis Glider Zogling. Selanjutnya, pesawat ini dikenal dengan NWG-1, diambil dari nama pembuatnya: Opsir Muda Udara II Nurtanio yang disupervisi oleh Wiweko.

"Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang membangun kedirgantaraannya sedari awal, sejak zaman kemerdekaan," ujar Hisar Manongam Pasaribu, pakar teknik dan penerbangan ITB pada gelaran "Ekspose Daftar Arsip PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN) 1950-1988" yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di hotel Amaroosa, Bandung, 19-20 Oktober 2016.

Pada dekade 1950, kegiatan kedirgantaraan Indonesia terwadahi dalam Seksi Percobaan yang dilanjutkan dengan Depot Penyelidikan, Percobaan dan Pembuatan Pesawat Terbang. Dikepalai Nurtanio, seksi ini dikenal karena eksperimen pesawat dengan nama unik khas Indonesia. Beberapa di antaranya: Si Kumbang (berkapasitas satu orang), Si Belalang 85, Belalang 89, dan Si Kunang 25. Selain jenis pesawat terbang, dua jenis helikopter juga diproduksi: Si Manyang dan Kolentang.

Keseriusan pemerintahan Sukarno dalam kedirgantaraan dibuktikan dengan pembentukan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) tahun 1960. LAPIP bekerja sama dengan negara-negara Eropa Timur seperti Cekoslovakia dan Polandia untuk memajukan teknologi penerbangannya.

LAPIP berhasil memproduksi pesawat ringan serbaguna: Gelatik sebanyak 44 unit; delapan unit pesawat latih AU jenis Belalang 90; tiga unit pesawat olahraga jenis Kunang 25. Gelatik paling populer karena multifungsi sebagai pesawat pertanian pemberantas hama, transportasi udara untuk daerah terpencil, hingga pesawat ambulans.

Pada 1966, LAPIP diubah menjadi Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (LIPNUR) sebagai penghargaan atas kepeloporan Nurtanio dalam industri penerbangan. Nahas, dia menjadi korban kecelakaan tatkala uji terbang pesawat Super Aero-45 buatan Yugoslavia pada 21 Maret 1966.

Di era Orde Baru, industri penerbangan Indonesia mulai dipersiapkan menuju komersialisasi. Pada 1976 LAPIP berubah menjadi PT Industri Pesawat Terbang (IPT) Nurtanio. Helikopter menjadi produk unggulan IPT Nurtanio seperti BO-105, Puma, dan Super Puma. Beberapa pesawat penumpang sipil yang diproduksi antara lain C-212 Aviocar dan CN-235.

Pada 1985, IPT Nurtanio disempurnakan menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). BJ Habibie, yang ditunjuk sebagai direktur utama IPTN, menjadi tokoh penting dibalik menggeliatnya industri penerbangan Indonesia.

Menurut Hisar, di masa inilah sekira medio 1990-an, industri penerbangan Indonesia mencapai tonggak kejayaannya. IPTN berhasil memproduksi pesawat N-250 rancangan BJ Habibie. Pesawat itu menjadi kebangaan Indonesia bahkan diminati negara lain seperti Thailand.

"Pesawat N-250 adalah pesawat pertama dengan teknologi turboprop untuk penerbangan sipil. Saat itu, Indonesia juga sudah mulai memasuki program pesawat jet," ujar Hisar.

Namun, masa gemilang itu, lanjut Hisar, hanya berlangsung hingga tahun 1997. Krisis moneter yang melanda memutus pembiayaan untuk pengembangan IPTN. Dampaknya, industri penerbangan Indonesia terpuruk dan baru bangkit belakangan ini dengan nama PT Dirgantara Indonesia (DI).

Menurut Eko Daryono, direktur SDM PT DI, arsip-arsip IPTN sangat kaya akan data-data yang merekam sejarah industri penerbangan tanah air. "Satu pesawat yang berhasil diproduksi itu bisa menghasilkan dokumen sebanyak dua lemari arsip," katanya mencontohkan. "Dokumen pesawat harus disimpan dan dijaga selama pesawatnya masih ada."

Pada 23 Agustus 1997, IPTN menyerahkan arsip tekstual periode 1950-1988 kepada ANRI. Arsip-arsip IPTN sebanyak 50 boks berukuran 20 cm ini dapat diakses publik pada akhir tahun ini bersamaan dengan arsip perusahaan negara lainnya: Perusahaan Film Negara dan Bank Indonesia.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

FALSAFATUNA, Bab 9: Pengetahuan


Persoalan filsafat yang paling besar tentang pengetahuan adalah menempatkan pengetahuan dalam bentuk filosofis yang mengungkapkan realitas dan esensinya, dan yang menjelaskan apakah itu adalah fenomena material yang ada di dalam materi ketika materi mencapai tahapan tertentu dari perkembangan dan penyempurnaan – seperti diduga materialisme – atau merupakan fenomena yang bebas dari materi dan, bersama dengan manifestasi-manifestasinya, ditopang oleh keberadaan tertentu, sebagaimana dipahami secara filosofis dalam metafisika.

Marxisme, sebagai aliran materialisme, tentu saja menekankan paham materialisme mengenai pikiran dan pengetahuan, seperti tampak nyata pada teks-teks berikut dari Marx, Engels, George Politzer dan Roger Garaudy.

Berkata Marx: “Pikiran tak terpisahkan dari materi berpikir. Materi tersebut adalah substansi setiap perubahan.” [253]

Berkata Engels: “Kesadaran dan pikiran kita, betapapun keduanya tampak tinggi, tidak lain adalah produk organik material atau jasadi, yaitu otak.” [254] “Setiap hal yang mendorong manusia, niscaya melewati otak mereka. Bahkan begitu pula makan dan minum yang bermula dari rasa lapar atau haus. Rasa ini juga terasa oleh otak. Pengaruh-pengaruh alam eksternal kepada manusia terungkap di dalam otak manusia, dan tecermin dalam bentuk rasa, gagasan, dorongan, dan kehendak.” [255]

Berkata George Politzer: “Ilmu-ilmu alam menerangkan bahwa kekurangan perkembangan otak seorang individu adalah penghalang terbesar bagi perkembangan kesadaran dan pikirannya. Ini menyebabkan kebodohan. Pikiran adalah produk historis perkembangan alam dalam derajat tinggi kesempurnaan yang terjelma dalam organ-organ inderawi dan sistem syaraf spesies hidup, terutama pada bagian pusat tertinggi yang menguasai segenap entitas organik, yaitu otak.” [256]

Berkata Roger Garaudy: “Formasi material pikiran mengemukakan kepada kita, seperti akan kita lihat, argumen-argumen yang pantas dipercayai dan diterima.” [257]

Paham filosofis mengenai pengetahuan bukanlah satu-satunya paham tentang pengetahuan yang patut diteliti dan ditelaah. Karena pengetahuan adalah titik temu banyak penelitian dan penelaahan. Setiap disiplin ilmiah memiliki pahamnya sendiri yang membahas salah satu problem pengetahuan, dan satu sisi dari rahasia-rahasia kehidupan intelektual yang kemisteriusan dan kerumitannya membuatnya menarik. Dibalik semua paham ilmiah tersebut adalah paham filsafat yang di dalamnya terjadi konflik antara materialisme dan metafisika, seperti sudah disebutkan. Jadi, masalah kita adalah subjek berbagai pembahasan filosofis dan ilmiah.

Banyak penulis dan peneliti berbuat kesalahan karena tidak membedakan antara segi-segi yang seyogianya harus diteliti dan dianalisis secara memadai, dan segi-segi yang di dalamnya pertimbangan filosofis berperan. Karena kesalahan itulah, lahir klaim materialisme yang mengatakan bahwa pengetahuan dalam paham filosofis metafisika bertentangan dengan pengetahuan dalam paham-paham ilmiah. Kita telah melihat bagaimana George Politzer berupaya membuktikan materialitas pengetahuan dari segi filosofis dengan dalil-dalil ilmu-ilmu alam. Demikian juga dilakukan oleh selain Politzer.

Karena itu, kami rasa perlu umtuk menentukan posisi filsafat dalam masalah tersebut, agar dapat menghalangi usaha-usaha untuk mengacaukan bidang filsafat dan bidang ilmiah, dan untuk menyatakan bahwa penafsiran metafisis atas pengetahuan bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan bahwa ia menolak kebenaran-kebenaran dan ketetapan-ketetapan ilmu pengetahuan.

Dengan itu, kami akan memisahkan posisi umum (kami) terhadap pengetahuan, dan menerangkan berbagai riset ilmiah yang akan menentukan titik-titik perbedaan kita dengan materialisme secara umum dan dengan Marxisme secara khusus, sebagaimana ia akan menentukan segi-segi yang dapat dibahas dan dijelajahi oleh studi-studi ilmiah; sehingga hal ini akan menjelaskan bahwa studi-studi tersebut tidak dapat dianggap sebagai menopang materialisme dalam pertempuran intelektual yang dilancarkannya terhadap metafisika untuk menegakkan paham filosofis yang paling sempurna tentang pengetahuan.

Kami telah menyinggung bahwa segi-segi pengetahuan yang ditelaah studi-studi ilmiah itu banyak jumlahnya, (bukan) karena hubungan ilmu pengetahuan dengan berbagai segi pengetahuan, tetapi karena fakta bahwa ilmu pengetahuan memiliki berbagai macam aliran ilmiah, yang masing-masing menelaah pengetahuan dengan kaca mata khususnya. Riset-riset fisikawi dan kimiawi misalnya, mempelajari segi-segi tertentu pengetahuan. Fisiologi juga ambil bagian di dalamnya. Begitu pula psikologi dengan berbagai alirannya, seperti aliran introspeksionisme (al-istibthaniyyah), [258] behaviorisme, fungsionalisme (al-wazhifiyyah) [259] dan lain sebagainya; semuanya mempelajari berbagai segi pengetahuan. Setelah itu, tibalah peranan psikologi filosofis untuk membicarakan pengetahuan dari perspektifnya sendirio Ia menelaah apakah pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan material dari sistem saraf, atau ia adalah keadaan spiritual murni.
Berikut ini kami akan menjelaskan berbagai segi itu selama diperlukan, sekadar untuk menerangi jalan pembahasan kita, dan menjelaskan posisi kita berkenaan dengan materialisme dan Marxisme.


Pengetahuan dalam Peringkat Fisika dan Kimia

Pada peringkat penelitian-penelitiannya sendiri, fisika dan kimia berusaha mendiagnosis peristiwa-peristiwa fisikawi-kimiawi yang sering mengikuti tindak kognisi. Peristiwa-peristiwa ini tampak pada refleksi sinar-sinar cahaya dari benda-benda visible, pengaruh vibrasi elektromagnetik pada mata sehat, perubahan kimiawi yang terjadi oleh karenanya, pantulan gelombang-gelombang suara dari benda-benda audible, partikel-partikel kimiawi yang keluar dari sesuatu yang berbau dan memiliki rasa, maupun rangsangan rangsangan fisikawi dan perubahan-perubahan kimiawi yang serupa lainnya. Semua peristiwa tersebut berada di wilayah aplikasi ilmiah fisika dan kimia.


Pengetahuan dalam Peringkat Fisiologi 

Berdasarkan eksperimen-eksperimen fisiologik, ditemukan sejumlah peristiwa-peristiwa dan proses yang terjadi pada organ-organ indera dan sistem safar, termasuk otak. Meskipun peristiwa-peristiwa seperti itu memiliki watak fisikawi dan kimiawi, seperti proses-proses terdahulu, namun peristiwa-peristiwa itu berbeda dengan proses-proses tersebut, oleh karena peristiwa-peristiwa itu terjadi pada benda hidup. Peristiwa-peristiwa itu memiliki hubungan tertentu dengan watak benda-benda hidup.

Fisiologi, dengan penemuan-penemuan semacam itu, dapat menentukan fungsi-fungsi vital sistem saraf dan peranan yang dimainkan berbagai bagiannya dalam tindak kognisi (mengetahui). Menurut fisiologi, otak, misalnya, terbagi menjadi empat lobe (cuping): lobe frontal, lobe parietal, lobe temporal, dan lobe ocipital. Masing-masing lobe itu mempunyai fungsi fisiologik khasnya. Pusat-pusat motor berada di lobe frontal. Pusat-pusat indera, yang menerima pesan-pesan dari tubuh, berada di lobe parietal. Demikian pula indera raba dan tekan. Sedangkan pusat-pusat tertentu seperti rasa, penciuman dan pendengaran berada di lobe temporal; dan pusat-pusat penglihatan berada di lobe ocipital. Masih ada rincian-rincian lebih lanjut (tentang otak).

Biasanya, salah satu dari dua prosedur fisiologik utama, ablasi (al-isti’shal, agen atau sebab) dan stimuli (al-tanbih) digunakan untuk memperoleh informasi-informasi fisiologik tentang sistem saraf. Dalam prosedur pertama, bagian-bagian yang berbeda-beda dari sistem saraf itu diablasi. Kemudian perubahan-perubahan tingkah laku yang ditimbulkan oleh ablasi itu dipelajari. Pada prosedur kedua, pusat tertentu dalam kulit otak dirangsang dengan sarana listrik, dan kemudian perubahan-perubahan indera atau motor yang timbul darinya direkam.

Adalah jelas sekali bahwa fisika, kimia dan fisiologi, dengan sarana-sarana ilmiah dan metode-metode eksperimental mereka, tidak dapat mengungkapkan apa pun kecuali peristiwa-peristiwa dan kandungan-kandungan sistem saraf, termasuk proses-proses dan perubahan-perubahan yang dialaminya. Sedangkan penafsiran filosofis tentang realitas dan esensi pengetahuan bukanlah hak istimewa ilmu-ilmu tersebut. Karena ilmu-ilmu itu tidak dapat membuktikan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu tersebut adalah seperti yang kita ketahui sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman kita sendiri. Kebenaran yang tak dapat di ragukan dan tak dapat diperdebatkan adalah bahwa peristiwa-peristiwa dan proses-proses fisikawi, kimiawi dan fisiologik itu memiliki hubungan dengan pengetahuan dan dengan kehidupan psikologik manusia. Mereka memainkan peranan penting dalam lapangan ini. Tetapi, ini tidak mengindikasikan kebenaran klaim materialisme yang menyatakan materialnya pengetahuan. Satu perbedaan yang jelas tampak antara pengetahuan sebagai sesuatu yang didahului atau dibarengi oleh proses-proses pendahuluan pada tingkat material, dan pengetahuan sebagai sesuatu yang pada esensinya adalah suatu fenomena material atau produk materi pada tahap tertentu pertumbuhan dan perkembangan, sebagaimana dinyatakan oleh aliran materialistik.

Jadi, studi ilmu-ilmu alam tidak menjangkau lapangan filsafat – lapangan pembahasan pengetahuan dalam realitas dan esensinya. Bahkan mereka bersikap negatif dalam segi ini, meskipun aliran behaviorisme dalam ilmu jiwa berupaya menerangkan pengetahuan dan pikiran berdasarkan penemuan-penemuan fisiologik, terutama perbuatan refleksif terkondisikan yang aplikasinya pada kehidupan psikologik mendatangkan pandangan mekanik murni terhadap manusia. Hal ini akan dibahas nanti.


Pengetahuan dalam Penelitian Psikologis 

Penelitian-penelitian psikologis yang memecahkan problem-problem jiwa dan permasalahannya terbagi menjadi dua. Pertama, penelitian- penelitian ilmiah yang membentuk psikologi eksperimental. Kedua, penelitian filosofis yang atasnya psikologi filosofis atau filsafat psikologi bertanggung jawab. Psikologi dan filsafat masing-masing memiliki metode-metode dan prosedur-prosedurnya sendiri untuk penelitian dan eksplorasi.

Psikologi memulai ketika fisiologi berhenti. Ia membahas kehidupan mental dan proses-proses kejiwaannya. Dalam studi-studi praktisnya, psikologi memakai dua prosedur pokok. Yang pertama adalah introspeksi, yang dipakai banyak psikolog. Prosedur ini terutama merupakan tanda pembeda antara aliran introspeksionisme psikologis yang mengambil pengalaman subjektif sebagai sarana bagi penelitian ilmiahnya, dan yang menyerukan perasaan sebagai subjek psikologi. Yang kedua adalah pengalaman objektif. Prosedur ini pada akhirnya menduduki posisi terpenting dalam psikologi eksperimental. Nilai pentingnya terutama ditekankan oleh behaviorisme yang menganggap pengalaman objektif sebagai tiang pokok ilmu pengetahuan. Karena itu, behaviorisme mengklaim bahwa subjek psikologi adalah tingkah laku eksternal, sebab, itulah satu-satunya hal yang padanya pengalaman eksternal dan observasi objektif dapat diterapkan. Fakta-fakta yang dikemukakan psikologi adalah fakta-fakta yang dapat diungkapkan dengan introspeksi atau pengalaman lahiriah. Sedangkan fakta-fakta yang ada di luar batas-batas pengalaman tidaklah dapat menjadi pokok masalah psikologi eksperimental. Hal ini adalah untuk mengatakan bahwa aliran psikologi ini merentang sejauh mental berhenti, sebagaimana psikologi memulai langkah-langkah ilmiahnya ketika fisiologi berhenti.

Fungsi paling mendasar filsafat psikologi adalah berusaha mengungkapkan fakta-fakta yang ada di luar lapangan ilmiah dan eksperimental itu. Filsafat menuntut (tujuan) ini dengan menerima postulat-postulat psikologis yang diberikan oleh ilmu eksperimental, dan mempelajari berdasarkan hukum-hukum filosofis umum. Dan atas petunjuk hukum- hukum tersebut, filsafat memberikan kepada hasil-hasil ilmiah itu suatu penafsiran filosofis, dan membuat penjelasan yang lebih mendalam tentang kehidupan mental.

Jadi, hubungan antara psikologi dan filsafat psikologi adalah seperti hubungan antara ilmu-ilmu alam eksperimental dan filsafat ilmu-ilmu alam eksperimental. Ilmu-ilmu alam mempelajari berbagai fenomena arus dan medan listrik, kelambatan dan kecepatan listrik, dan hukum-hukum fisikawi lain berkaitan dengan listrik. Ia juga mempelajari fenomena berbeda dari materi dan energi. Sedangkan watak listrik dan materi atau energi menjadi perhatian riset filosofis. Demikian pula kehidupan mental. Penelitian ilmiah menangani fenomena-fenomena kejiwaan yang berada dalam kerangka pengalaman subjektif atau objektif. Pembicaraan tentang alam (watak) pengetahlian dan realitas kandungan internal proses-proses mental dipercayakan kepada filsafat psikologi atau psikologi filosofis.

Berdasarkan hal itu, kita selalu dapat membedakan antara sisi ilmiah dan sisi filosofis persoalan tersebut. Berikut adalah dua contoh hal tersebut,yang diambil dari subjek-subjek riset psikologi.

Yang pertama adalah disposisi (pembawaan) mental, yang mengenainya kedua sisi filosofis dan psikologis bertemu. Sisi filosofis tecermin dalam teori disposisi yang menyatakan bahwa akal manusia dibagi menjadi daya-daya dan banyak disposisi untuk berbagai aktivitas, seperti perhatian, imajinasi, ingatan, kognisi, kehendak dan seterusnya. Gagasan ini berada dalam ruang lingkup filsafat psikologi. Itu bukan suatu gagasan ilmiah, dalam arti bahwa ia itu “ilmiah secara pengalaman”. Karena, apakah pengalaman itu subjektif, seperti introspeksi, maupun objektif, seperti observasi ilmiah atas tingkah laku eksternal orang lain, ia tidak dapat secara ilmiah mengungkapkan multiplisitas atau unitas disposisi-disposisi; karena multiplisitas daya mental atau unitas daya mental tak dapat atasnya dilakukan eksperimen, bagaimanapun bentuknya.

Sedangkan sisi ilmiah persoalan disposisi menunjuk ke teori pelatihan formal dalam pendidikan. Teori ini menyatakan bahwa disposisi mental dapat dikembangkan secara keseluruhan, tanpa pengecualian, dengan melatih dalam satu materi subjek dan dalam satu jenis fakta-fakta. Teori ini telah diterima oleh sejumlah pakar psikologi pendidikan yang menerima teori disposisi yang menguasai pemikiran psikologi sampai abad ke-19. Mereka berasumsi bahwa jika suatu disposisi itu kuat atau lemah pada individu tertentu maka ia juga kuat atau lemah pada segala wilayah pada individu itu) adalah jelas bahwa teori ini berada dalam ruang lingkup psikologi eksperimental. Ia adalah teori ilmiah, karena ia tunduk kepada kriteria-kriteria ilmiah. Jadi, adalah mungkin untuk mencoba mengetahui terpengaruhnya ingatan secara umum oleh suatu pelatihan untuk mengingat suatu materi subjek tertentu. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat memberikan penilaiannya berdasarkan, eksperimen-eksperimen semacam ini. Lalu hasil ilmiah eksperimen tersebut diajukan kepada filsafat psikologi, agar filsafat ini dapat mempelajari makna filosofis hasil ini dan apa yang dimaksudkannya dengan multiplisitas atau unitas disposisi, berdasarkan hukum-hukum filsafat. Contoh kedua kita ambil dari inti topik yang kita coba pecahkan, yaitu tindak pencerapan penglihatan. Ia adalah salah satu topik pokok baik dalam lapangan ilmiah maupun lapangan filsafat.

Dalam riset ilmiah, terjadi perdebatan seru sekitar tafsir tindak pencerapan (persepsi) antara kaum asosiasionis (al-irtibathiyyin) [260] di satu pihak, dan para pendukung doktrin bentuk (Gestalt) [261] di pihak lain. Kaum asosiasionis adalah mereka yang menganggap pengalaman inderawi sebagai satu-satunya asas pengetahuan. Sebagaimana para pakar kimia menganalisis (mengurai) senyawa-senyawa kimiawi ke dalam unsur-unsur primitif mereka, maka kaum asosiasionis menganalisis berbagai :

pengalaman mental ke dalam sensasi-sensasi primer yang dihubungkan dan disusun melalui proses instrumental dan mekanik, sesuai hukum-hukum asosiasi. Di dalam teori asosiasi ini ada dua segi. Yang pertama adalah bahwa sumber komposisi pengalaman mental adalah sensasi-sensasi primer, atau gagasan-gagasan sederhana yang dicerap indera. Yang kedua adalah bahwa komposisi ini maujud secara mekanik dan sesuai dengan hukum-hukum asosiasi. Segi yang pertama telah kita pelajari dalam bab “Teori Pengetahuan” ketika membicarakan sumber-primer konsepsi manusia dan teori empirikal John Locke yang dianggap sebagai pendiri aliran asosiasionisme. Dan kita telah berkesimpulan bahwa sumber beberapa unit konsepsi dan pikiran rasional bukanlah indera. Tetapi, unit-unit seperti itu dihasilkan oleh aktivitas positif dan efisien dari jiwa. Sedangkan segi kedua dikemukakan oleh aliran Gestalt yang menolak pendekatan analitis terhadap studi atas keadaan-keadaan sadar. Ia menanggapi penafsiran asosiasionistis dan mekanik terhadap tindak-tindak mengetahui dengan menekankan keniscayaan untuk mempelajari seperti pengalaman secara keseluruhan da bahwa kemenyeluruhan bukanlah semata-mata pelelehan atau komposisi pengalaman-pengalaman inderawi. Tetapi, ia memiliki watak suatu tatanan rasional dinamis yang sesuai dengan hukum-hukum tertentu.

Mari kita lihat sekarang, setelah menjelaskan dua tendensi di atas, tentang penafsiran ilmiah mereka berkaitan dengan tindak pencerapan penglihatan. Berdasarkan tendensi asosiasionistis, dikatakan bahwa imaji tentang sebuah rumah, misalnya, yang terbentuk pada retina, dikirimkan ke otak bagian demi bagian. Nah, pada bagian tertentu otak, imaji terjumpai yang serupa dengan imaji yang terjadi pada retina tersebut. Akal lantas teraktifkan dan memberikan kepada imaji otak gagasan-gagasan dari pengalaman-pengalaman terdahulu di dalam benak yang secara mental berasosiasi dengan rumah. Ini tercapai sesuai dengan hukum-hukum mekanik asosiasi. Hasil dari hal ini adalah pengetahuan rasional imaji tentang rumah. Berdasarkan tendensi bentuk, sebaliknya, pengetahuan sejak awalnya bergantung pada hal-hal sebagai keseluruhan-keseluruhan dan pada bentuk-bentuk umum mereka, karena ada bentuk-bentuk primer di alam luar yang sesuai dengan bentuk-bentuk dalam benak. Maka, dapatlah kita menafsirkan tatanan kehidupan mental dengan tatanan hukum-hukum alam luar itu sendiri, bukan dengan komposisi dan asosiasi. Jadi, suatu bagian dalam suatu bentuk atau suatu keseluruhan hanya dapat diketahui sesuai dengan keseluruhan itu, dan berubah mengikuti perubahan bentuk tersebut.

Penafsiran tentang persepsi penglihatan semacam itu kami sebut dengan nama “penafsiran ilmiah”, karena ia termasuk dalam bidang eksperimen, atau observasi yang terorganisasikan. Karena itu, pengetahuan tentang bentuk dan perubahan suatu bagian yang mengikuti perubahan bentuk itu bersifat empiris. Itulah sebabnya aliran Gestalt membuktikan teorinya dengan eksperimen yang menjelaskan bahwa manusia tidak hanya mencerap bagian-bagian saja, tetapi mencerap sesuatu yang lain seperti bentuk atau nada. Karena itu, terkadang semua bagian datang bersama tanpa dicerapnya bentuk atau nada itu. Jadi, bentuk mengungkapkan semua bagian. Dan kami tidak hendak memperluas penjelasan dan telaah ilmiah tentang tindak pencerapan penglihatan. Tetapi, paparan di atas dimaksudkan untuk membantu kita menentukan posisi penafsiran filosofis yang kita upayakan untuk diberikan kepada tindakan semacam itu.

Sehubungan dengan ini, kami katakan bahwa setelah studi-studi ilmiah tersebut, timbul pertanyaan bagi kaum Gestalt dan asosiasionis. Yaitu pertanyaan tentang imaji yang dipersepsi benak dan yang terbentuk sesuai dengan hukum-hukum mekanik asosiasi, atau sesuai dengan hukum-hukum bentuk: “Apakah esensi imaji seperti itu? Apakah ia itu imaji material atau imaterial?” Pertanyaan mendasar ini membentuk problem filosofis yang harus ditelaah dan dipecahkan oleh psikologi filosofis. Materialisme dan metafisika menjawab pertanyaan ini dengan dua jawaban yang kontradiktif.

Kini tampak sangat jelas bahwa psikologi ilmah (psikologi eksperimental) tidak dapat menekankan penafsiran materialistis terhadap pengetahuan dalam bidang ini, dan tidak dapat mengingkari wujud sesuatu di dalam kehidupan mental yang ada di luar materi, sebagaimana yang dilakukan filsafat materialistis. Karena, eksperimen-eksperimen psikologis, baik yang subjektif maupun yang objektif, tidak menjangkau bidang mental tersebut.


Pengetahuan dalam Arti Filosofis

Sekarang, mari kita mulai studi kita tentang pengetahuan, setelah kita menjelaskan arti dan hubungannya dengan berbagai studi praktis, sesuai dengan metode filosofis studi-studi psikologis. Metode ini dapat dirangkum, seperti telah kita singgung, dalam pengambilan kebenaran-kebenaran ilmiah dan postulat-postulat eksperimental, dan dalam pembahasan atas kebenaran-kebenaran dan postulat-postulat ini berdasarkan hukum-hukum dan dasar-dasar yang diterima di dalam filsafat, sehingga dapat disimpulkan suatu kebenaran baru di balik kebenaran-kebenaran yang diungkapkan eksperimen-eksperimen.

Mari kita ambil persepsi mental suatu imaji visual sebagai contoh hidup kehidupan mental umum yang penafsirannya menjadi pokok perselisihan antara metafisika dan materialisme. Paham filosofis kita tentang pengetahuan didasarkan pada: pertama, sifat-sifat geometris imaji yang tercerap, kedua, fenomena-fenomena kestabilan dalam tindak-tindak persepsi penglihatan.


Sifat-Sifat Geometris Imaji yang Tercerap

Kita mulai dari kebenaran intuitif yang kita ambil dari kehidupan sehari-hari dan berbagai pengalaman keseharian kita. Yaitu kebenaran bahwa imaji yang diberikan kepada kita oleh operasi mental persepsi penglihatan itu mengandung sifat-sifat geometris seperti panjang, lebar dan dalam, dan tampak dalam berbagai bentuk dan volume. Mari kita andaikan bahwa kita mengunjungi suatu kebun yang memanjang beribu-ribu meter, dan kita berikan sekilas pandang saja kepadanya. Dalam pandangan yang sekilas itu, kita dapat mencerap (mempersepsi) kebun tersebut sebagai satu keseluruhan yang solid yang di dalamnya terhimpun pohon kurma, pepohonan lain, kolam air yang besar, dan bunga-bunga beserta dedaunan yang memancarkan berbagai bentuk kehidupan, dan kursi-kursi yang diletakkan dengan rapi di sekitar kolarn air, dan burung-burung yang berkicau di atas ranting-ranting pepohonan. Pertanyaan yang kemudian timbul sekitar imaji yang indah ini yang sepenuhnya kita persepsikan dalam satu kali pandangan itu adalah: Apakah imaji yang kita persepsikan itu? Apakah ia sama dengan kebun dan realitas objektifnya itu sendiri, atau suatu imaji material yang ada pada suatu organ material tertentu dari sistem saraf .kita, .atau bukan itu dan bukan ini, tetapi suat imaji imaterial yang menyerupai realitas objektif dan yang berbicara tentangya?

Sebuah teori kuno tentang melihat [262] menyatakan bahwa kebun dengan realitas eksternalnya adalah imaji yang tecermin dalam persepsi mental kita. Teori ini berasumsi bahwa manusia mempersepsi realitas objektif sesuatu itu sendiri karena keluarnya sinar tertentu dari mata yang menimpa objek yang dapat dilihat. Tetapi, teori ini tumbang dari perhitungan filsafat. Karena, ilusi indera yang membuat kita mempersepsi imaji-imaji tertentu dalam bentuk-bentuk tidak real tertentu membuktikan bahwa imaji yang terpersepsikan tersebut tidak sama dengan realitas objektif. Kalau tidak, maka apakah realitas objektif yang dipersepsikan dalam persepsi inderawi ilusif itu? Lalu teori ini dicampakkan dari ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan membuktikan bahwa sinar terpantul dari benda-benda yang dapat dilihat kepada mata, bukan sebaliknya; dan bahwa kita tidak memiliki apa pun dari sesuatu yang terlihat kecuali sinar-sinar yang terpantul pada retina. Bahkan ilmu pengetahuan membuktikan bahwa penglihatan kita akan sesuatu dapat terjadi bertahun-tahun setelah tidak adanya sesuatu itu. Misalnya, kita tidak melihat bintang Sirius di langit, kecuali ketika gelombang-gelombang cahaya yang keluar dari bintang itu sampai ke bumi beberapa tahun setelah berangkatnya gelombang-gelombang tersebut dari sumberya. Gelombang-gelombang cahaya itu menimpa retina mata. Lantas kita berkata bahwa kita melihat bintang Sirius. Namun gelombang-gelombang cahaya yang membuat kita melihat bintang Sirius itu memberitakan kepada kita informasi tentang Sirius sebagaimana ia ada beberapa tahun sebelumnya. Mungkin bintang itu telah lenyap dari langit jauh sepelum kita melihat- nya. Ini adalah bukti ilmiah bahwa imaji yang kita inderai sekarang itu bukanlah bintang Sirius di langit, yakni sebagai realitas objektif bintang tersebut.

Tinggal bagi kita sekarang untuk mempertimbangkan dua asumsi terakhir. Asumsi kedua, yang menyatakan bahwa imaji yang dipersepsikan itu adalah produk material pada organ persepsi dari sistem saraf, adalah asumsi yang menentukan doktrin filosofis materialisme. Asumsi ketiga, sebaliknya yang merryatakan bahwa imaji yang dipersepsikan atau kandungan mental tindak pencerapan itu tidak mungkin material, tetapi ia adalah suatu bentuk dari maujud metafisis di luar alam materi, adalah asumsi yang mewakili doktrin filosofis metafisika.

Dalam pembahasan ini kita dapat menganggap asumsi materialistis sebagai sepenuhnya mustahil. Hal itu karena imaji yang terpersepsi dengan volume, sifat-sifat geometris, dan panjang serta lebarnya, tak mungkin ada di dalam organ material kecil dari sistem saraf. Meskipun kita yakin bahwa sinar cahaya terpantul kepada retina dalam bentuk tertentu, kemudian dikirimkan oleh saraf-saraf indera ke otak, di mana suatu imaji yang menyerupai apa yang terjadi pada retina dihasilkan pada wilayah tertentu otak, tetapi imaji material tersebut bukanlah imaji mental. Karena, yang terakhir ini tidak memiliki sifat-sifat geoetris yang dimiliki oleh imaji yang terpersepsi itu. Jadi, sebagaimana kita tidak dapat menurunkan pada secarik kecil dan tipis kertas potret kebun yang kita persepsi dalam sekilas pandang yang sama dengan kebun itu dalam keluasan, bentuk dan panjangnya, demikian pula kita tidak mungkin menurunkan pada seporsi kecil otak suatu gambar mental atau persepsional kebun ini yang menyerupai kebun itu baik dalam luas, bentuk maupun sifat-sifat geometrisnya. Karena, peneraan sesuatu yang besar pada sesuatu yang kecil adalah mustahil.
Jadi, niscaya kita mengambil asumsi berikut. Yaitu bahwa imaji yang dipersepsikan, yang adalah kandungan real operasi mental, merupakan suatu bentuk metafisis yang maujud secara imaterial. Inilah yang dimaksudkan oleh paham filosofis dan metafisis tentang pengetahuan.

Di sini, terlintas pada sementara benak orang bahwa persoalan mempersepsi suatu imaji dengan bentuk, volume, dimensi dan jaraknya, telah dijawab oleh ilmu pengetahuan, dan juga telah dipecahkan oleh riset psikologi, yang menjelaskan bahwa ada beberapa fakto penglihatan dan otot yang membantu kita mencerap sifat-sifat geometris tersebut. Indera lihat tidak mencerap apa pun selain cahaya dan warna. Sedangkan mencerap sifat-sifat geometris segala sesuatu itu bergantung pada asosiasi indera raba dengan gerak-gerak dan sensasi-sensasi tertentu. Kalau kita memisahkan sensasi penglihatan dari setiap sensasi lain, tentu yang akan kita lihat hanyalah cahaya dan warna saja, dan kita tidak dapat mencerap bentuk dan volume, bahkan kita tidak mampu membedakan anara bola dan kubus. Hal itu karena bentuk-bentuk dan kualitas-kualias primer merupakan objek-objek indera raba. Dengan mengulang-ulang eksperi- men rabaan, terjadilah kebersamaan antara kualitas-kualitas teraba tersebut dan beberapa sensasi penglihatan, seperti perbedaan-perbedaan tertentu dalam cahaya dan warna-warna kasat mata, dan beberapa gerak otot seperti gerak adaptasi mata untuk melihat sesuatu yang dekat dan yang jauh. Setelah kebersamaan itu terjadi, kita dapat tidak membutuhkan sensasi-sensasi raba dalam mencerap volume-volume dan bentuk-bentuk, berkat sensasi-sensasi dan gerak-gerak otot yang berasosiasi dengan mereka. Kalau kita melihat bola, setelah ini, dapatlah kita mengenali bentuk dan volumenya tanpa merabanya. Kita melakukan ini dengan bergantung pada sensasi-sensasi dan gerak-gerak otot yang berasosiasi dengan objek-objek yang teraba. Demikianlah, akhirnya kita mempersepsi sesuatu dengan sifat-sifat geometrisnya: yakni bukan dengan sensasi lihat saja, tetapi dengan penglihatanyang disertai gerak-gerak inderawi lain yang memiliki arti geometris karena berasosiasi dengan objek-objek raba. Hanya saja, kebiasaan mencegah kita dari memperhatikan hal tersebut.

Kami tidak hendak menelaah teori faktor-faktor otot dan penglihatan dari segi ilmiah karena keoentingan pembahasan filosofis. Maka, mari kita mengambilnya sebagai postulat ilmiah, dan mari kita asumsikan bahwa ia adalah benar. Asumsi ini tidak mengubah posisi filosofis kita sedikit pun. Hal itu tentu tampak jelas berdasarkan gambaran penelaahan filosofis dalam riset psikologis. Teori tersebut sama dengan pernyataan bahwa imaji yang dipersepsikan secara mental – dengan sifat-sifat geometris, panjang, lebar dan dalamnya – tidak maujud karena sensasi penglihatan sederhana saja, tetapi melalui kerja sama dengan sensasi-sensasi lain penglihatan dan gerak-gerak otot yang mendapatkan arti geometris melalui hubungan mereka dengan indera raba dan kebersamaan mereka dengannya dalam pengalaman-pengalaman yang berulang-ulang. Dan kita akan menghadapi, setelah mempercayai hal itu, pertanyaan filosofis pertama itu sendiri, yaitu pertanyaan tentang imaji mental yang dibentuk sensasi penglihatan dan sensasi-sensasi dan gerak-gerak lain: “Di mana imaji ini maujud? Apakah ia itu imaji material yang berada di dalam organ material, atau ia itu imaji metafisis yang terlepas dari materi?” Sekali lagi, kita harus mengambil cara-pandang metafisis. Karena, imaji tersebut, dengan sifat-sifat dan panjangnya yang beribu-ribu meter, tidak mungkin maujud di dalam organ materi yang kecil, sebagaimana ia tidak mungkin berada di atas kertas kecil. Nah, dengan demikian, ia tentu merupakan imaji imaterial. Hal ini berhubungan dengan fenomena sifat-sifat geometrik dari imaji mental yang dipersepsi.


Stabilitas Tindak-Tindak Persepsi 

Penglihatan Adapun fenomena kedua yang menjadi tumpuan paham filsafat kita adalah fenomena stabilitas. Yang kita maksudkan dengan fenomena ini adalah bahwa imaji mental yang dipersepsi itu cenderung stabil dan tidak berubah mengikuti perubahan-perubahan imaji yang tecermin pada sistem safar. Sebatang pena, ketika kita letakkan pada jarak sejauh satu meter dari kita, tecermin darinya imaji cahaya tertentu. Dan jika kita lipat gandakan jarak yang memisahkan kita darinya dan kita melihatnya pada jarak sejauh dua meter, maka imaji yang dipantulkan pena itu akan semakin berkurang sampai separuh dari keadaan pertamanya. Padahal, perubahan persepsi kita terhadap volume pena tersebut kecil. Dapat dikatakan bahwa imaji mental kita tentang pena itu tetap stabil, meskipun imaji material yang tecermin itu berubah. Ini dengan jelas membuktikan bahwa benak dan pengetahuannya bukanlah material, dari bahwa imaji yang dipersepsi itu adalah metafisis. Adalah jelas bahwa penafsiran filosofis terhadap fenomena kestabilan ini tidak berlawanan dengan penafsiran ilmiah apa pun tentangnya yang dapat diajukan dalam hat ini. Karena itu, Anda dapat menafsirkan fenomena tersebut berdasarkan bahwa kestabilan objek-objek yang dipersepsi dalam manifestasi-manifestasinya yang bermacam-macam itu disebabkan pengalaman dan pengetahuan. Begitu pula, Anda dapat, kalau mau, berkata berdasarkan eksperimen-eksperimen ilmiah bahwa ada hubungan-hubungan antara stabilitas dalam berbagai manifestasinya dan tatanan ruang dari objek-objek luar yang kita persepsi. Namun, ini tidak memecahkan problem itu dari segi filsafat. Karena, imaji yang dipersepsi, yang tidak berubah mengikuti imaji material, tetapi tetap stabil sebagai hasil dari pengalaman terdahulu atau karena tatanan ruang tertentu tidak mungkin merupakan imaji yang tecermin dari realitas objektif pada materi sistem Safar. Karena imaji yang tecermin tersebut berubah mengikuti bertambahnya jarak antara mata dan realitas, sedang imaji yang terlihat itu tetap.

Kesimpulan filosofis yang kita tarik dari pembahasan ini adalah bahwa pengetahuan bukanlah material, seperti diklaim oleh materialisme. Karena, materialitas suatu objek adalah salah satu dari dua hal: objek itu pada esensinya adalah materi, atau ia adalah fenomena yang ada pada materi. Pengetahuan pada esensinya bukanlah materi, dan bukan pula fenomena yang ada pada, atau tecermin pada, organ material seperti otak. Karena, pengetahuan tunduk kepada hukum-hukum yang berbeda dengan hukum-hukum yang kepada hukum-hukum ini imaji material yang tecermin pada organ material tunduk. Pengetahuan, pertama-tama, memiliki sifat-sifat geometris, dan, kedua, memiliki stabilitas – sesuatu yang tidak dimiliki oleh imaji material yang tecennin pada otak. Berdasarkan itu, metafisika menyatakan bahwa kehidupan mental, dengan pengetahuan dan imaji-imajinya, adalah bentuk kehidupan yang paling kaya dan paling tinggi. Karena, ia berada di atas materi dan kualitas-kualitasnya.

Tetapi, persoalan filosofis lain yang muncul dari persoalan terdahulu adalah bahwa jika pengetahuan dan imaji-imaji yang membentuk kehidupan mental kita bukan berada pada organ material, maka di manakah ia berada? Pertanyaan ini menuntut ditemukannya kebenaran filosofis baru: yaitu bahwa imaji-imaji dan pengetahuan tersebut datang bersama atau bergerak beriring-iringan pada satu tingkat yang sama – yaitu tingkat manusia yang berpikir. Manusia itu sama sekali bukanlah sebentuk material, seperti otak. Tetapi, ia adalah suatu tingkat tertentu keberadaan imaterial yang dicapai ntitas hidup melalui perkembangan dan penyempurnaannya. Jadi, yang mengetahui atau yang berpikir adalah manusia nonmaterial tersebut.

Agar bukti mengenai hal ini menjadi jelas sejelas-jelasnya, kita harus tahu bahwa kita menghadapi tiga posisi. Yang pertama adalah bahwa pengetahuan kita tentang kebun tersebut atau bintang itu adalah imaji material yang ada pada sistem saraf kita. Kita menolak posisi ini dan telah memberikan alasan-alasannya. Yang kedua adalah bahwa pengetahuan kita bukanlah imaji material tetapi imaterial yang maujud secara mandiri di luar keberadaan kita. Ini adalah asumsi yang tidak masuk akal juga. Karena, jika imaji ini terlepas dari kita, maka apa hubungan kita dengannya? Bagaimana ia menjadi pengetahuan kita? Kalau kita menolak kedua pendangan di atas maka satu satunya yang masih tersisa adalah penafsiran ketiga. Yaitu bahwa keberadaan pengetahuan dan imaji mental tak terlepas dari manusia, sebagaimana keduanya bukan keadaan atau pantulan yang mandiri pada organ material. Tetapi, keduanya adalah fenomena-fenomena imaterial yang berada pada sisi imaterial dari manusia. Manusia yang imaterial atau spiritual tersebutlah yang mengetahui dan berpikir, bukan organ material, meskipun organ material itu menyiapkan kondisi-kondisi kognitif bagi hubungan yang kuat antara sisi spiritual dan sisi material manusia.


Sisi Spiritual Manusia

Di sini, kita sampai pada suatu kesimpulan penting: Manusia memiliki dua sisi. Yang pertama adalah sisi material yang terjelma dalam komposisi organiknya. Yang kedua adalah sisi spiritual atau nonmaterial yang merupakan pentas aktivitas pemikiran dan mental. Jadi, manusia bukan semata-mata suatu materi yang kompleks, tetapi personalitasnya adalah dualitas elemen material dan nonmaterial.

Dualitas tersebut membuat kita sulit mengetahui hubungan antara dua sisi material dan spiritual manusia. Pertama-tama kita tahu bahwa hubungan antara kedua sisi itu erat, sampai-sampai yang satu mempengaruhi yang lain secara terus-menerus. jadi, apabila seseorang membayangkan bahwa ia melihat hantu dalam kegelapan, maka gemetarlah ia; dan apabila ia diharuskan berpidato dalam pertemuan umum, keluarlah keringatnya; dan apabila salah seorang dari kita berpikir, terjadilah aktivitas tertentu dalam sistem sarafnya. Ini adalah pengaruh jiwa atas tubuh, sebagaimana tubuh juga mempengaruhi jiwa. Apabila ketuaan telah merayapi tubuh, lemahlah aktivitas mental, dan jika seorang pemabuk sedang tenggelam dalam minum-minum, ia akan melihat satu benda sebagai dua benda. Nah, bagaimana tubuh dan jiwa itu dapat saling mempengaruhi satu sama lain, jika keduanya itu berbeda, tidak memiliki satu kualitas bersama? Jadi, tubuh adalah sepotong materi yang memiliki kualitas-kualitas seperti berat, massa, bentuk dan volume. Ia tunduk kepada hukum-hukum fisika, sedangkan jiwa atau ruh, sebaliknya, adalah maujud nonmaterial yang bertalian dengan alam di batik alam materi.

Memikirkan jurang ini, yang memahkan kedua sisi itu, membuatnya sulit untuk menerangkan saling pengaruh antara keduanya. Dua potong batu dapat berbenturan dan berinteraksi, dan ini perlu dijelaskan. Mungkin sekali (kesulitan memberikan penjelasan seperti itu) menghalangi para pemikir Eropa modern dari mengambil paham dualisme, setelah menolak penjelasan Platonik klasik mengenai hubungan antara ruh dan badan sebagai hubungan antara kusir dan delman yang dikemudikannya.[263] Plato beranggapan bahwa ruh adalah substansi tua yang terlepas dari materi, yang maujud di alam supernatural. Kemudian ia turun ke tubuh untuk mengaturnya, seperti seorang kusir keluar dari rumahnya dan masuk ke delam untuk mengaur jalan nya. Adalah jelas bahwa dualisme yang murniatau jurang pemisah antara ruh dan tubuh, dalam penjelasan Plato, tidak dapat menerangkan hubungan yang erat antara keduanya, yang membuat setiap orang merasa bahwa ia adalah satu, bukan dua maujud yang datang dari dua alam yang berbeda yang kemudian berpadu.

Penjelasan Plato ini tetap tidak mampu memecahkan problem, meskipun telah direvisi oleh Aristoteles dengan memasukkan gagasan bentuk dan materi, dan oleh Descartes dengan memasukkan teori paralelisme (nazhariyyah al-muwazanah) antara jiwa dan tubuh, yang mengatakan bahwa jiwa dan tubuh (ruh dan materi) keduanya berjalan di sepanjang garis-garis yang paralel, dan setiap peristiwa yang terjadi pada salah satu dari keduanya selalu diiringi peristiwa yang paralel yang terjadi pada yang lain. Pengiringan niscaya antara peristiwa-peristiwa mental dan badaniah itu tidak berarti bahwa yang satu adalah sebab dari yang lain. Tidak ada artinya saling pengaruh antara sesuatu yang material dan nonmaterial. Tetapi, keseiringan niscaya antara dua jenis peristiwa tersebut disebabkan oleh Allah yang menghendaki agar rasa lapar selamanya disertai penggerakan tangan untuk mendapatkan makanan – tanpa rasa itu merupakan sebab bagi gerak ini. Adalah jelas bahwa teori paralelisme tersebut adalah ungkapan baru dualisme Plato dan jurang yang memisahkan antara jiwa dan raga.

Problem-problem yang muncul akibat penjelasan tentang manusia berdasarkan persatuan jiwa dan raga itu telah mendatangkan kristalisasi kecenderungan barn dalam pemikiran Eropa untuk menjelaskan manusia berdasarkan satu unsur. Lantas materialisme dalam psikologi filosofis mengatakan bahwa manusia adalah materi semata-mata, dan muncul pula tendensi idealistis yang cenderung memberikan penjelasan spiritual atas segenap wujud manusiawi.

Akhirnya, penjelasan tentang manusia berdasarkan dua unsur spiritual dan material, mendapatkan formulasinya yang sangat baik di tangan filosof Islam, Shadr Al-Muta’allihin Asy-Syirazi. Filosof besar ini telah menemukan gerak substansial dalam jantung alam. Gerak ini adalah sumber paling primer dari setiap gerak yang kasat inderawi yang terjadi di alam. Adalah jembatan yang ditemukan Asy-Syirazi di antara materi dan ruh. Materi dalam gerak substansialnya itu menyempurnakan wujudnya dan terus menyempurnakannya sampai ia terlepas dari materialitasnya di bawah syarat-syarat tertentu dan menjadi maujud yang bukan material, yakni maujud spiritual. Jadi, antara yang material dan spiritual tidak ada garis pemisah. Tetapi, keduanya adalah dua tingkat keberadaan. Meskipun ia non-material, ia memiliki hubungan material, karena ia adalah tahap tertinggi menyempumanya materi dalam gerak substansialnya.

Berdasarkan hal tersebut, kita dapat memahami hubungan antara ruh dan badan tampak jelaslah bahwa-jiwa dan badan (ruh dan materi) itu saling mempengaruhi, karena jiwa tidak terpisah dari materi dengan jurang yang lebar, sebagaimana dibayangkan oleh Descartes ketika ia me rasa harus mengingkari saling pengaruh antara keduanya dan menyatakan paralelisme keduanya semata-mata. Bahkan jiwa itu sendiri tidak lain hanyalah imaji material yang menjadi tinggi karena gerak substansial. Perbedaan antara materialitas dan spiritualitas adalah perbedaan derajat saja, seperti perbedaan panas yang tinggi dan panas yang rendah. Tapi, ini tak berarti bahwa jiwa adalah produk materi dan salah satu efeknya. Tetapi, ia adalah produk gerak substansial yang bukan berasal dari materi itu sendiri. Karena, setiap gerak adalah munculnya sesuatu dari potensialitas ke aktualitas secara berangsur-angsur, seperti telah kita ketahui dalam pembahasan kita tentang perkembangan menurut dialektika. Potensialitas tidak dapat menciptakan aktualitas, dan kemungkinan tidak dapat menciptakan keberadaan. Jadi, gerak substansial memiliki sebab di luar materi yang bergerak. Ruh yang merupakan sisi nonmaterial manusia adalah produk gerak tersebut. Adapun gerak ini sendiri, ia adalah jembatan antara materialitas dan spiritualitas.


Reflek dan Pengetahuan yang Terkondisikan

Perbedaan kita dengan Marxisme bukan terbatas pada paham materialistisnya tentang pengetahuan saja, karena meskipun paham filosofis tentang kehidupan mental adalah titik pokok perbedaan antara kita, kita berbeda juga dengannya mengenai hubungan pengetahuan dan kesadaran dengan lingkungan sosial dan kondisi-kondisi material eksternal. Marxisme mempercayai bahwa kehidupan sosial manusia adalah yang menentukan kesadaran-kesadaran dan pikiran-pikirannya, dan bahwa pikiran-pikiran itu berkembang mengikuti lingkungan sosial dan material. Tetapi karena lingkungan ini berkembang mengikuti faktor ekonomis, maka faktor ekonomis itu merupakan faktor primer di balik perkembangan pemikiran.

George Politzer telah berusaha membangun teori Marxis tersebut di atas kaidah ilmiah. Ia mendirikannya di atas asas aksi refleksif terkondisikan. Agar kita dapat memahami hal itu dengan baik, kita harus membicarakan aksi refleksif terkondisikan itu. Aksi ini ditemukan oleh Pavlov ketika ia berusaha mengumpulkan air aur anjing. Untuk itu, ia siapkan suatu perangkat. Ia memberikan makanan kepada hewan tersebut untuk membangkitkan air liurnya. Ia perhatikan bahwa air liur tersebut mulai mengalir dari anjing yang telah terlatih itu sebelum makanan itu benar-benar dimasukkan ke mulutnya, hanya karena anjing itu melihat tempat makanan itu, atau karena merasakan mendekatnya sang pelayan yang biasa membawa tempat makanannya. Adalah jelas bahwa datangnya seseorang atau langkah-langkahnya tidak mungkin di- anggap sebagai perangsang alami respon tersebut, seperti meletakkan makanan di mulut tetapi hal-hal itu tentu berhubungan dengan respon alamik selama perjalanan eksperimen sehingga digunakan sebagai tanda awal dari stimulus aktual.

Menurut hal itu, yaitu keluarnya air liur ketika meletakkan makanan di mulut, merupakan aksi refleksi alami yang dibangkitkan oleh stimulus alami. Sedangkan keluarnya air liur ketika pelayan mendekat atau terlihat, hal itu merupakan aksi Tefleksi terkondisikan yang dibangkitkan oleh stimulus terkondisikan yang digtmakan sebagai tanda stimulus alami. Kalau saja bukan karena terkondisikannya ia oleh stimulus alami, tentu ia tidak akan menyebabkan respon.

Karena operasi-operasi pengkondisian seperti itu, maka makhluk hidup memperoleh sistem tanda pertamanya. Di dalam sistem ini, stimulus yang dikondisikan berperan menunjukkan stimulus alami, dan mengeluarkan respon untuk stimulus alami. Setelah itu, maujudlah sistem tanda kedua. Di dalam sistem ini stimulus terkondisikan dari sistem yang pertama diganti dengan tanda-tanda sekunder mereka sendiri yang telah mereka kondisikan dalam pengalaman yang berulang-ulang. Dengan demikian menjadi mungkin untuk mengeluarkan respon atau aksi refleksif dengan tanda-tanda sekunder, karena fakta bahwa tanda ini sudah dikondisikan oleh tanda primer, sebagaimana sistem tandaprimer dapat mengeluarkan respon yang sama melalui tanda primer, karena fakta bahwa tanda ini sudah dikondisikan oleh stimulus alami. Dan bahasa dianggap sebagai tanda sekunder dalam sistem tanda-tanda sekunder.

Inilah teori pakar fisiologi, Pavlov. Behaviorisme memanfaatkan teori tersebut. Ia mengklaim bahwa kehidupan mental tidak lebih hanya merupakan aksi-aksi refleksif belaka. Jadi, berpikir itu tersusun dari respon-respon kebahasaan internal yang dibangkitkan oleh stimulus eksternal. Demikianlah, behaviorisme menerangkan pikiran, sebagaimana ia menerangkan aksi anjing mengeluarkan air liurnya ketika mendengar langkah-langkah pelayan. Jadi, kalau berliur adalah reaksi fisiologis terhadap stimulus terkondisikan, yaitu langkah pelayan, maka demikian pula pikiran, ia adalah reaksi fisiologis terhadap stimulus terkondisikan, seperti bahasa, misalnya, yang dikondisikan oleh stimulus alami.

Tetapi adalah jelas bahwa eksperimen-eksperimen fisiologis terhadap aksi refleksif terkondisikan tidak mungkin membuktikan bahwa aksi refleksif adalah esensi pengetahuan dan kandungan real aksi (mengetahui) itu, karena mungkin bahwa pengetahuan itu memiliki realitas di batik batas-batas eksperimen.
Tambahan pula bahwa behaviorisme, dalam berpegang Pada pendapat. bahwa pikiran-pikiran adalah respon-respon terkondisikan, meniadakan dirinya sendiri dan kemampuan mengungkapkan realitas dan nilai objektif, bukan hanya dari semua pikiran, tetapi juga dari behaviorisme itu sendiri, karena ia adalah suatu paham yang tunduk kepada penjelasan behavioristis. Karena, penjelasan behavioristis terhadap pikiran manusia mempunyai pengaruh yang berarti Pada teori pengetahuan determinasi pengetahuan, nilai, dan kemampuan pengetahuan untuk mengungkapkan realitas. Jadi, menurut penjelasan behavioristis, pengetahuan tidak lebih dari respon niscaya terhadap stimulus terkondisikan, seperti mengalirnya air liur dari mulut anjing dalam eksperimen-eksperimen Pavlov. Pengetahuan, lantas, bukan hasil dari bukti dan pembuktian, dan pada gilirannya, setiap pengetahuan menjadi ungkapan tentang adanya stimulus terkondisikan darinya, bukan tentang adanya kandungannya di dalam realitas eksternal. Tetapi paham behaviorisme itu sendiri tidak terlepas dari kaidah umum tersebut dan tidak berbeda dengan semua gagasan lain dalam hal dipengaruhi oleh penjelasan behavioristis, reduksi dalam nilainya, serta tidak adanya kemungkinan untuk dipertanyakan dalam corak apa pun.

Faktanya adalah kebalikan dari apa yang dimaksud oleh behaviorisme. Pengetahuan dan pikiran bukanlah, sebagaimana diklaim kaum behavioris, aksi fisiologis yang memantulkan stimulus terkondisikan, seperti keluarnya air liur. Tetapi, keluarnya air liur itu sendiri menunjukkan sesuatu yang bukan semata-mata reaksi refleksif, ia menunjukkan pengetahuan. Pengetahuan adalah penyebab stimulus terkondisikan yang membangkitkan respon refleksif itu. Jadi, pengetahuan adalah realitas di batik reaksi-reaksi terhadap stimulus terkondisikan, dan bukan bentuk dari reaksi-reaksi tersebut. Yang kami maksudkan dengan hal ini adalah bahwa keluarnya air liur anjing ketika terjadi stimulus terkondisikan bukan semata-mata aksi mekanik murni, seperti diyakini behaviorisme. Tetapi, itu adalah akibat anjing mengetahui arti stimulus terkondisikan. Langkah-langkah pelayan, yang diiringi datangnya makanan dalam eksperimen-eksperimen yang berulang-ulang, mulai menunjukkan kedatangan makanan. Dengan demikian anjing menjadi menyadari datangnya makanan ketika mendengar langkah-langkah pelayan. Anjing itu lantas mengeluarkan air liurnya sebagai persiapan untuk situasi yang pendekat- annya ditunjukkan oleh stimulus terkondisikan. Demikian pula, seorang bayi tampak lega pada waktu ibu bersiap-siap untuk menyusuinya. Hal yang sama terjadi pada saat dikabarkan kepadanya tentang kedatangan ibunya, jika ia memahami bahasa. Kelegaan tersebut bukan semata-mata aksi fisiologis yang ditimbulkan oleh sesuatu eksternal yang berhubungan dengan sebab alami. Tetapi, ia timbul karena sang bayi mengetahui arti stimulus terkondisikan, karenanya ia lalu bersiap-siap untuk disusui, dan merasa 1ega. Karena itu kita mendapatkan perbedaan dalam derajat kelegaan antara kelegaan yang disebabkan oleh stimulus alami itu sendiri dan kelegaan yang disebabkan oleh stimulus terkondisikan. Ini karena yang pertama adalah kelegaan otentik dan yang kedua adalah kelegaan karena ada harapan.
Secara ilmiah kita dapat membuktikan tidak memadainya penjelasan behavioristis tentang pemikiran melalui eksperimen-eksperimen yang menjadi landasan doktrin Gestalt dalam psikologi. Eksperimen-eksperimen terse but membuktikan bahwa adalah mustahil bagi kita untuk menjelaskan esensi pepgetahuan atas dasar behavioristis murni dan sebagai semata-mata respon terhadap stimulus material yang pesan pesannya diterima oleh otak dalam bentuk sejumlah stimulus saraf yang terpisah. Tetapi, agar kita dapat menjelaskan secara lengkap esensi pengetahuan, kita harus mempercayai benak dan peranan positif aktifnya di balik reaksi-reaksi dan respon syaraf yang dibangkitkan oleh stimulus. Ambillah persepsi inderawi sebagai contoh. Eksperimen-eksperimen Gestalt membuktikan bahwa penglihatan kita akan warna-warna dan karakteristik-karakteristik segala sesuatu sangat bergantung pada latar (scene) penglihatan umum yang kita jumpai dan latar belakang yang mengitari hal-hal tersebut. Maka kita dapat melihat dua garis sebagai paralel atau sama dalam sekumpulan garis yang kita jumpai sebagai suatu situasi dan keseluruhan yang bagian-bagiannya berpadu. Kemudian kita melihatnya dalam kumpulan lain sebagai tidak paralel atau tidak sama, karena situasi umum yang dijumpai persepsi penglihatan kita di sini berbeda dengan situasi terdahulu. Ini menunjukkan bahwa persepsi kita pertama-tama terpusat pada keseluruhan. Secara visual kita mencerap bagian-bagian ketika kita mempersepsi keseluruhan. Karena itu, persepsi inderawi kita terhadap bagian berbeda-beda sesuai dengan keseluruhan atau kelompok yang mencakupnya. Jadi, ada tatanan hubungan-hubungan di antara segala sesuatu yang memisahkan segala sesuatu ke dalam kelompok-kelompok, menentukan posisi segala sesuatu dalam hubungannya dengan kelompok tertentunya, dan mengembangkan pandangan kita akan sesuatu sesuai dengan kelompoknya sesuatu itu. Pengetahuan kita akan segala sesuatu dalam tatanan ini tidak dapat dijelaskan secara behavioristis, dan tidak dapat dikatakan bahwa ia adalah respon material atau keadaan jasmani yang muncul akibat stimulus tertentu. Jika ia adalah keadaan jasmani atau fenomena material yang dihasilkan oleh otak, tentu kita tidak akan dapat mempersepsi segala sesuatu secara visual sebagai keseluruhan yang terorganisasikan yang bagian-bagiannya berhubungan secara khusus, sehingga persepsi kita terhadap bagian-bagian itu akan berbeda jika kita melihatnya dalam hubungan-hubungan lain. Karena, semua yang sampai pada otak dalam pengetahuan itu terdiri atas sekumpulan pesan yang terbagi ke dalam sejumlah stimulus saraf yang datang ke otak dari berbagai organ tubuh. Nah, bagaimana kita dapat mengetahui tatanan hubungan-hubungan di antara segala sesuatu, dan bagaimana mungkin pengetahuan dapat dipusatkan pada, pertama-tama, keseluruhan, sehingga kita tidak mengetahui segala sesuatu kecuali di dalam suatu keseluruhan yang terajut kuat, sebagai ganti dari mengetahui segala sesuatu secara terpisah-pisah, sebagaimana mereka datang ke otak? Bagaimana semua hal tersebut mungkin, jika tidak ada peran positif-aktif benak di balik reaksi-reaksi dan situasi-situasi jasmani yang terbagi-bagi? Dengan kata lain, sesuatu yang eksternal itu dapat mengirimkan pesan-pesan kepada benak. Menurut behaviorisme, pesan-pesan ini adalah respon-respon kita terhadap stimulus eksternal. Behaviorisme kiranya ingin mengatakan bahwa respon-respon atau pesan-pesan material tersebut yang berjalan melewati saraf-saraf ke otak adalah kandungan hakiki pengetahuan kita. Tetapi, apa yang hendak dikatakan behaviorisme tentang pengetahuan kita akan tatanan hubungan-hubungan di antara segala sesuatu, yang membuat kita menginderai, pertama-tama, keseluruhan'sebagai menyatu sesuai dengan hubungan-hubungan tersebut, padahal tatanan hubungan-hubungan ini bukan sesuatu yang material yang dapat membangkitkan reaksi material dalam tubuh orang yang berpikir, atau respon atau keadaan jasmani tertentu? Maka kita tidak dapat menjelaskan pengetahuan kita akan tatanan tersebut, clan pada gilirannya pengetahuan kita akan segala sesuatu di dalam tatanan ini atas dasar behavioristis murni.

Sedangkan Marxisme telah mengambil teori Pavlov dan menyimpulkan dari teori itu sebagai berikut: Pertama, kesadaran itu berkembang sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal. Hal ini karena ia adalah hasil dari aksi-aksi relfeksif terkondisikan yang dibangkitkan oleh stimulus eksternal. Berkata George Politzer: “Dengan metode ini, Pavlov membuktikan bahwa apa yang secara primer menentukan kesadaran manusia bukanlah sistem organik. Tetapi, sebaliknya, yang menentukan adalah masyarakat yang di dalamnya manusia itu hidup, dan pengetahuan yang didapat dari masyarakat tersebut. Jadi, kondisi-kondisi sosial dalam kehidupan adalah pengorganisasi-pengorganisasi real kehidupan organik mental.”[264]

Kedua, lahirnya bahasa adalah peristiwa mendasar yang membawa manusia ke tahap pikiran. Karena, berpikir tentang sesuatu di dalam benak hanya muncul akibat stimulus eksternal terkondisikan. Jadi, tidak akan mungkin bagi manusia untuk berpikir tentang sesuatu kalau bukan karena fakta bahwa sarana seperti bahasa melaksanakan reran stimulus terkondisikan. Berkata Stalin: “Dikatakan bahwa pikiran-pikiran datang di dalam jiwa manusia sebelum terekspresikan dalam bahasa, dan bahwa pikiran-pikiran lahir tanpa sarana bahasa. Tetapi ini sama sekali salah. Bagaimanapun juga, pikiran-pikiran yang muncul dalam jiwa manusia itu tidak mungkin lahir atau diarahkan kecuali berdasarkan sarana-sarana bahasa. Jadi, bahasa adalah realitas langsung pikiran.”[265]

Kita berbeda dengan Marxisme dalam kedua hal tersebut di atas. Kita tidak mengakui instrumentalitas dalam pengetahuan manusia. Karena itu, pikiran-pikiran dan pengetahuan bukan semata-mata reaksi refleksif yang dihasilkan oleh lingkungan eksternal, seperti diklaim behaviorisme. Mereka juga bukan produk reaksi-reaksi tersebut yang! ditentukan oleh lingkungan eksternal dan yang berkembang sesuai dengan lingkungan ini, seperti diyakini Marxisme. Mari kita jelaskan dalam contoh berikut. Zayd dan ‘Amr bertemu pada hari Sabtu, lantas bercakap-cakap untuk beberapa saat, kemudian keduanya berusaha berpisah, dan Zayd berkata kepada ‘Amr: Tunggulah aku Jumat pagi besok di rumahmu keduanya lalu berpisah masing-maing kembali kepada kehidupan sehari-harinya. Hari-hari pun berlalu sampai tibalah saat janji untuk berkunjung. Dan masing-masing ingat janjinya dan mengetahui posisinya secara berbeda satu dengan lainnya. ‘Amr tetap tinggal di rumahnya, menanti, sementara Zayd keluar dari rumahnya bermaksud mengunjungi ‘Amr. Nah, apakah stimulus terkondisikan eksternal yang menyebabkan dua persepsi yang berbeda-beda pada Zayd dan ‘Amr, setelah berlalunya beberapa hari sejak pertemuan itu, dan pada saat ini sendiri? Kalau percakapan tempo hari itu cukup untuk stimulasi ini, maka mengapa sekarang keduanya tidak ingat semua percakapan yang terjadi antara keduanya? Dan mengapa percakapan-percakapan tersebut tidak melakukan peran sebagai stimuli dan sebab?

Contoh lain: Anda keluar dari rumah setelah meletakkan sepucuk surat di dalam tas Anda dengan maksud untuk memasukkannya ke dalam kotak pos (bis surat). Dan ketika sedang menuju ke sekolah, Anda melihat bis surat, Anda pun segera tahu bahwa surat tersebut harus dimasukkan ke dalamnya. Setelah itu, Anda menjumpai beberapa bis surat yang sama sekali tidak menarik perhatian Anda. Nah, stimulus apakah yang menyebabkan, Anda sadar ketika melihat bis surat yang pertama? Anda mungkin mengatakan bahwa sebab tersebut adalah melihat bis surat itu sendiri, dalam arti bahwa Anda telah mengkondisikannya dengan stimulus alami. Jadi, ia adalah stimulus terkondisikan. Tetapi, bagaimana kita dapat menjelaskan ketidaksadaran kita akan bis-bis surat yang lain? Mengapa pengkondisian itu tiba-tiba hilang ketika terpenuhinya kebutuhan kita?
Berdasarkan contoh-contoh tersebut, Anda tahu bahwa pikiran adalah suatu aktivitas positif lagi efisien dari jiwa, dan bukan sesuatu yang terpasrah kepada reaksi-reaksi fisiologis, sebagaimana ia bukanlah realitas langsung sebab, seperti diklaim Marxisme. Tetapi, bahasa adalah sarana untuk saling bertukar pikiran. Ia sendiri bukanlah yang membentuk pikiran. Karena itu, kita terkadang memikirkan sesuatu, dan lama mencari kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Dan kita terkadang berpikir tentang sesuatu masalah selagi kita sedang berbicara tentang sesuatu masalah lain.

Dalam studi kami yang terinci tentang materialisme-historis di dalam buku Iqtishaduna, kami telah melontarkan kritik yang ekstensif terhadap teori-teori Marxisme tentang pengetahuan manusia, (khususnya) hubungan pengetahuan dengan kondisi-kondisi sosial dan material, dan penjelasan pengetahuan berdasarkan kondisi-kondisi ekonomi. Kami juga membicarakan secara terinci pendapat Marx yang menyatakan bahwa pikiran dihasilkan oleh bahasa dan bergantung pada bahasa. Karena itu, kini kami anggap apa yang ada di dalam cetakan pertama buku ini cukup sebagai ringkasan telaah terinci kami dalam seri kedua, Iqtishaduna.
Jadi, kehidupan kemasyarakatan dan kondisi-kondisi material tidak secara mekanik menentukan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan sadar manusia. melalui stimulus-stimulus eksternal. Benar bahwa manusia terkadang bebas membentuk pikiran-pikirannya menurut lingkungan dan komunitasnya, seperti yang diserukan aliran fungsionalisme di dalam psikologi, karena terpengaruh oleh teori evolusinya Lamark [266] dalam biologi. Jadi, sebagaimana entitas hidup beradaptasi secara organik dengan lingkungannya, demikian pula ia secara ideasional beradaptasi dengan cara yang sama. Namun, kita harus tahu bahwa: Pertama, adaptasi tersebut adalah suatu bagian dari pikiran praktis yang fungsinya adalah mengorganisasikan kehidupan eksternal. Dan tidak mungkin ia adalah suatu bagian dari pikiran-pikiran reflektif yang fungsinya adalah mengungkapkan realitas. Jadi, prinsip-prinsip logika dan matematik, dan juga pikiran.pikiran reflektif lain, bersumber dari benak, dan tidak dibentuk menurut tuntutan-tuntutan komunitas sosial. Kalau tidak tentu setiap kebenaran pasti akan menjadi keraguan filosofis mutlak. Karena, jika semua pikiran reflektif dibentuk oleh faktor-faktor tertentu lingkungan, dan jika berubah mengikuti faktor-faktor itu, maka tak ada pikiran atau kebenaran yang tak berubah atau diganti. Kedua, adaptasi pikiran-pikiran praktis dengan tuntutan-tuntutan komunitas dan kondisi- kondisinya bukanlah mekanik. Tetapi, ia dipilih dengan bebas. Ia timbul dari kehendak bebas manusia yang membuat manusia menciptakan suatu sistem yang selaras dengan komunitas dan lingkungannya. Dengan demikian, hilanglah sama sekali pertentangan antara aliran fungsionalisme dan instrumentalisme dalam psikologi.

Dalam buku Mujtama’una (Masyarakat Kita), kami akan menelaah watak adaptasi tersebut dan batas-batasnya berdasarkan konsep-konsep Islam tentang masyarakat dan negara, karena ini tennasuk persoalan-persoalan mendasar yang menjadi perhatian telaah dan analisis atas masyarakat-masyarakat. Dalam telaah tersebut, kami akan mcmbahas secara terinci segala hal yang kami ikhtisarkan dalam pembahasan ini tentang pengetahuan.

Dan akhirul kalam, Alhamdulillahi Rabbil-‘Alamin.


INDEKS

agnotisisme, 88, 90
alam : ilmu pengetahuan, 93; substrata, 233
Anti-Duhring, 120, 186
archetypes-nya Plato, 27 (catatan kaki [c] )
Aristoteles, 63, 66, 101, 102, 177, 224(c) , 230, 271; aliran-, 155
Ami, Dr. Taqi, 170(c)
asosiasi: 44; teori-, 264
asosiasionis, kaum, 263
asosiasionisme, 263(c)
assent, 37
atom, 230
atomisme, teori, 169,230
Ayer, 59, 60

Al-Bayan Al-Suyu’i, 191(c)
behaviorisme, 255, 259, 262, 273, 274, 276
Bergson, 125 (125(c)
Berkeley, 30, 32, 73(c), 73-82, 90, 93, 117
Boyle, hukum, 132, 132(c), 133
Broglie, Louis de, 214, 214(c)
Burns, Emile, 199, 199(c), 200

The Capitalism, 195
Chiang, 136
Chrysippus, Maltese, 184
Cornforth , Morris, 135

Dalton, 88, 88(c), 244; hokum tekan- an parsial, 88(c)
Darwin, 202(c), 202-206, 253
das ding an sich, 115 (lihat juga “se- suatu dalam dirinya sendiri”)
Democritus, 83, 83(c), 88(c), 101 (c), 230, 241, 242, 245
Descartes, 29, 30, 32, 67-72, 271, 272
Destoches, John Louis, 216
Dewey, 126, 126(c)
Dhid Duharnak Al-Falsafah, 133,159, 179(c), 187(c), 193(c), 196(c)
dialektik, hukum gerak, 186, 187
dialektika, 238, 239; esensi, 172; – modern, 149, 150
Dialogues, 73(c)
diam, prinaip, 152
Diogenes, 184 (c)
disposesi 36

Eddington, 84, 94(c)
Einstein, 102, 102(c), 169, 170, teori relativitas, 233
Elea, 154(c)
Empedocles, 266(c)
empirikal, teori, 34
Engels, 110, 120, 132-134,151,159, 178-180, 186, 187, 190, 191, 202, 258
Epicurus, 102
Eropa, 271
esensial, prinsip defisiensi, 237
Essay on Human Understanding, 32
evolusi dan progresi, teori, 253
ex nihilo nihil fit, 68

Al-Falsafah Al-Tarbiyyah, 131(c)
fascisme, 200
Feuerbach, Ludwig, 111(c), 203(c), 258(c)
filsafat gerak, 247
fisika atomik, 213
fisika skolastik, 213
fitrah, 29
fitri, konsep, 30, 69
Freud, 100, 1001(c), 103-106
fungsionalisme, 259, 259(c), 278
Galileo, 224(c), 224, 225
Garaudy, Roger, 61(c), 113, 114, 205, 258
gerak, 155-163, 225, 226, 247, 248; ilmu tentang hukum-, 201; – substansial, 157, 158, 158(c); 271
Gestalt, 263, 263(c), 264, 275
Gorgias, 66, 66(c)
grativasi: hukum, 237; teori-umum, 168, 170

Hadzihi Hiya Al-Dialaktikiyyah, 151(c), 186(c), 192(c), 214(c)
Hawl Al-Tanaqud, 172(c), 178(c), 181(c)
Hawl Al-Tathbiq, 33(c)
Hegel, 115, 129, 149-153, 195; hukum “tiga serangkai”-nya, 153
Heisenberg, 213(c), 213, 214
hukum: kemungkinan, 214; kenisca-yaan, 209, 211, 213; keterbatasan, 226; limitasi esensial, 157(c); “lom-patan-lompatan perkembangan”, 190; luminositas massa, 84(c)
Hume, David, 30, 32-35, 44-46, 64, 90, 91
huwiyyah, 131

ide, alam, 27
idealisme, 64, 72, 73, 79, 85, 88, 90, 97, 114, 115, 117, 140, 141, 208
identitas, prinsip, 131, 152, 173, 174
The Inquiry concerning Human Under-standing, 35
inteleksi, 78 (lihat juga intellection)
intellection, 72
al-intiqa’iyyah, 122
al-intiza’, 36
introspeksionisme, 259, 259(c)
intuisi, 92
intuitif, pengetahuan, 37
invisible hand, 141
Iqtishaduna, 105, 188(c), 189(c), 222, 223, 278
al-irtibathiyyah, 263
al-isti’shal, 261

Jabr wa Ikhtiyar, 217(c)
Ja’far, Dr. Nuri, 131(c)
James, William, 125, 125(c), 127
jiwa, keazalian, 27
judgement, 37

Kant, Immanuel, 29, 64, 65, 92-99
111, 115; “dua belas kategori”, 29(c)
Karl Marx (buku), 178(c), 179(c), 186(c)
Kausalitas, prinsip, 35, 44-47, 53-54, 82, 91, 107; 207-218, 221, 222, 225, 227
Al-Kawn wa Al-Fasad, 177(c)
Kedrov, 122-124, 122(c), 167, 172, 183
keselarasan, prinsip, 47, 209-211
Koffka, Kurt, 263(c)
Kohler, Wolfgang, 263(c)
konsepsi, 26, 29, 36, 107
kontradiksi: hukum, 113; prinsip non-, 39, 47-50, 53, 82, 107, 148, 150-153, 159, 172, 174, 176-185
kontradiktif, hukum gerak, 186, 187
kritisisme, doktrin, 97

Lafebvre, Georges, 178, 178(c), 179
Lamark, 278, 278(c)
Leibniz, 102(c)
Lenin, 61, 68, 87, 114, 115, 120, 122, 123, 136, 150, 161, 167, 172, 183, 191, 201
Lenin, Marx, Engels, and Marxism, 61
Leunwenhoek, Anton van, 251, 251(c)
Locke, John, 30, 32, 71, 72, 263(c)
logika formal, 177

Ma Hiyya Al-Madda, 62(c), 73(c), 86(c), 113(c), 118(c), 121(c), 162(c), 201(c), 258(c)
al-ma’rifah al-ta’ammuliyyah, 71
al-ma’rifah al-wijdaniyyah, 71
Al-Madda Al-Dialaktikiyyah, 64(c)
Al-Maddiyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyah Al-Tarikhiyyah, 33(c), 52(c), 115(c), 136(c), 150(c), 151(c), 171(c), 189(c), 191(c), 197(c), 358(c), 276(c)
al-mahiyyah, 110, 152
Mahmud, Dr. Zaki Najib, 48(c)
Makkah, 157(c)
Al-Manthiq Al-Syakliy wa Al-Manthiq Al-Dialaktikiy, 122(c), 162(c), 167(c), 172(c), 183(c)
Al-Manthiq Al-Wadh’iy, 48(c)
Mao Tse Tung, 33, 52, 171, 178, 182
Marhaba, Dr. Muhammad Abdurrah-man, 228(c)
Marx, Engels wa Al-Marksiyyah, 161(c), 201(c)

Marx, Karl, 102, 110, 111(c), 129, 149, 150, 186, 190, 195-197, 223, 258, 278
Marxisme, 51-53, 61-64, 120, 122, 124, 127-131, 135, 136, 147, 148, 159, 160, 164-167, 170, 192-201, 221, 222, 271, 276, 278
Al-Mas’alah Al-Falsafiyyah, 185(c), 288(c)
Masyarakat Kita, 188
matematika, 93
matematis primer, prinsip, 107
materi, 240, 242, teori-tak rapat, 230
materialis dialektik, 110
Materialisme Diyalaktik, 170(c)
materialisme, 117, 118, 120, 140-148, 166, 229, 251, 252, 256, 269; dialektika, 92, 145, 157-159, 171, 176, 187; – filosofis, 120; – me- kanik,117, 212; – positivis, 56-
metafisika, 171, 269, logika, 175-177, 184
metafisis: filsafat, 130; pemikiran, 128, 134
mikrofisika, 213-216
Mill, John Stuart, 26(c), 44
mind, 75
Mujtama’una, 105, 279
Mulla Shadra, 157(c)
mushadara, 114

al-nazhariyyah al-infishaliyyah, 230
al-nazhariyyah al-intiza’, 36
al-nazhariyyah al-ittishaliyyah, 230
al-nazhariyyah al-muwazanah, 271
Neptunus, planet, 168
Newton, 102, 102(c), 168-170, 181, 224, 237

Obern, 252
Oswald, 84, 84(c)

paraielisme, teori, 271
Parmenides, 154(c)
Pasteur, Louis, 166, 166(c), 251; teori-, 168
Pavlov, 105; 273, 274, 276
Pearson, Karl, 84, 84(c)
Peirce, Charles, 125(c)
penciptaan, daur, 36
pengetahuan primer, 39, 40, 42
pengetahuan, sebab pertama, 39
petitio principii,114
Plato, 66, 72, 271; teori pengingatan- kembali, 27
Platonik, teori bentuk-bentuk, 72
Politzer, George, 32, 32(c), 115, 117, 192(c), 258, 273, 276
positivisme, 59, 60
pragmatisme, 125-127
psikoanalisis, 104, 105
psikologi, 265
purisme, 122
pyrrho, 66, 66(c), 89

qanun al-nihayyah, 226
qanun naqdh al-naqdh, 113
Qishash Al-Insan, 252(c)
qunun al-qushur al-dzatiy, 157(c)

rasional: pengetahuan, 27; teori-, 31
rasionalis, kaum, 29, 31
Ar-Razi, Fakhruddin 169, 160(c)
realisme, 85, 86, 89, 115, 124, 125, 127, 140, 208
realistis-materialistis, konsep, 139
Regnault, 132, 132(c), 133
realistis-teologis, konsep, 139
Regnault, 132, 132(c), 133
relativisme, 91, 92, 98, 99, 122; – subjektif, 125,135; teori, 170
Renaisans, 140
reproduksi-diri, teori, 250, 251
Ricardo, David, 102, 102(c)
Al-Ruh Al-Hizbiyyah fi AlI-Falsafah wo Al-‘Ulum, 136(c), 205(c)
Rutherford, Ernest, 232, 232(c), 233

Santayana, George, 127, 127(c)
Schiller, 126, 126(c)
“sebab pertama”, 58
sebab, tentang, 229, 230, 235-237
“sesuatu dalam dirinya sendiri”, 115
Sina, Ibn, 70, 70(c), 166
Sirius, bintang, 266, 267
skeptisisme, 89-100
Socratcs, 66
sofisme, 66, 90, 121, 122, 126
spiritualisme, 140-142
stabilitas, fenomena, 268
Stalin, 146, 146(c), 151, 171, 189, 197, 277
substansi materiai, 74
Asy-Syirazi, Sadruddin, 157, 157(c), 158(c), 158, 219, 271

al-tanbih, 261

al-tashawwur, 26(c), 107
al-tashdiq, 26, 107
tashdiqi, pengetahuan, 37, 79, 81, 82, 109
teologi, 140-146, 229, 237
Ath-Thusi, Nasiruddin, 160(c)

Usus Al-Lininiyyah, 191(c)

al-waqi’iyyah, 115
Werthemer, Marx, 263(c)

Yunani, sejarah, 154
Zeno, 154, 154(c), 155


Referensi:

253. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h.19.
254. Ludwig Feuerbadl, h. 57.
255. Ibid., h. 64.
256. Al-Maddiyyah wa Al-Mitsaliyyah li AI-Falsalah, h. 74-5.
257. Ma Hiya Al-Madda, h. 32.
258. Introspeksionisme adalah suatu aliran yang menyerukan pemikiran tentang, atau pengamatan subjektif atas, proses dan keadaan mental. Behaviorismenya Watson menolak intropeksi. Ia memandang keadaan sadar hanya sebagai data teramati.
259. Fungsionalisme adalah suatu tendensi dalam psikologi yang menyatakan bahwa pikiran, proses mental, persepsi inderawi dan emosi adalah adaptasi-adaptasi organise biologis. Di antara pendukung tendensi ini adalah W. James, C.T. Ladd, C.S Hall, J. Dewey dan J.R. Angell.
260. Asosiasionisme adalah suatu tendensi yang menyatakan bahwa segenap keadaan mental dapat dianalisis ke dalam elemen-elemen sederhana. Locke adalah pelopor asosiasionisme dalam psikologi.
261. Dalam bahasa Jerman, Gestalt adalah “bentuk”. Aliran Gestalt dalam psikologi didirikan di Jerman sekitar 1912 oleh Max Wertheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Ia menafsirkan pengalaman orang sebagai keseluruhan-keseluruhan terorganisasikan. Melalui keseluruhanlah bagian itu maujud dan memiliki karakter. Tanpa keseluruhan, bagian tidak maujud. Ini jelas menolak tendensi analitis atau atomisme kaum asosiasionis.
262. Teori kuno tentang melihat ini dianut oleh Empedocles.
263. Plato, Phaedrus, 246 abff.
264. Al-Maddiyyah wa Al-Mitsaliyyah fi Al-Falsafah, h. 78-9.
265. Ibid., h. 77.
266. Jean Bapwte Lamark, naturalis Prancis (1744-1829). Pendiri Zoologi invertebrata modern. Pencipta kata “vertebrata” dan “invertebrata”. Terkenal dengan teorinya tentang evolusi. Meskipun bukan yang pertama mengemukakan perkembangan evolusioner spesies hidup, ia adalah yang pertama berbicara eecara berani dan terbuka tentang pandangan bahwa spesies itu berubah. Makhluk hidup menggunakan bagian-bagian tertentu tubuhnya sangat sedikit, sementara menggunakan bagian-bagian tertentu lainnya sangat sering. Bagian-bagian yang sering digunakan akal, berkembang, sedang yang jarang digunakan akan melenyap. Berkembang atau melenyap yang dialami suatu bagian ditransmisikan ke keturunannya. Dengan demikian, sifat-sifat yang didapat itu terwariskan. Karya-karya terpentingnya adalah Natural History of the Invertebrates dan Zoological Philosophy.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: