Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS SEJARAH. Show all posts
Showing posts with label ABNS SEJARAH. Show all posts

Ini Kata Habibie: Hadiah Terbesar Bangsa Cina ke Indonesia Adalah Islam. Simak, Begini Fakta Sebenarnya Menurut Bj Habibie Dalam Sejarahnya! Islam Arab atau Islam Cina?


Presiden ketiga RI BJ Habibie menjelaskan mengenai awal kehadiran Islam di nusantara. Menurut dia, Islam datang ke Indonesia dan diperkenalkan pertama kali lewaat bangsa Cina, melalui laksamana Cheng Ho.

"Hadiah terbesar bangsa Cina ke Indonesia adalah agama Islam," kata Habibie ketika memberikan ceramahnya di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta, Jumat (29/8).

Habibie menjelaskan, Islam lahir 14 Abad silam. Saat itu, Islam memang belum sampai ke jazirah Tiongkok. Baru ketika jalur perdagangan dibuka 700 tahun kemudian Islam sampai di Cina. Kemudian, Laksamana Cheng Ho datang ke Nusantara membawa misi damai dan Islam pun dikenal masyarakat Indonesia ketika itu.

"Ini yang sering saya katakan ketika saya bertemu siapa pun, termasuk tokoh dunia. Ketika saya ke Cina, saya diberitahu, umat Islam yang saya temui ini lah orang-orang yang memperkenalkan Islam ke negara Anda," kata dia.

"Saya bilang ke pimpinan Beijing, saya bilang ke pimpinan Jerman, agama Islam datang ke Indonesia damai bukan peperangan," kata dia.
*****

BJ Habibi: Hadiah Terbesar Cina adalah Islam, Laksamana Ceng Ho, Gusdur dan Walisongo

Bj Habibi (sumber Tempo.com)

Sebagian besar masyarakat Indonesia hanya mengetahui bahwa Islam datang ke Indonesia melalui orang-orang gujarat (India), Hadramaut (Yaman), dan Persia (Iran). kenyataannya, selain dari tiga negara tersebut, islam datang pula dari negara Cina.

Pada masa Nabi Muhammad, hubungan dagang negara Cina dan Arab telah terjalin demikian erat, bahkan Muhammad Saw juga menjadi perantara dalam perdagangan mereka. Orang orang Cina itu kemudian mempelajari islam dan menyebarkan islam ke negara mereka terutama di Provinsi Guang Dong (Guang Zhou) dan Fujian.

Pada abad ke 15 orang-orang Cina dari Guang Dong dan Fujian datang ke Indonesia, mereka melakukan perdagang, pertanian, dan pertukangan. Orang-orang China (Tionghoa) muslim menyebarkan ajaran agama Islam, beberapa daerah tujuan mereka adalah Sambas, Lasem, Palembang, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya.

Pada tahun 1405-1433, rombongan Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam beberapa kali singgah di Indonesia, terutama Sumatera dan Jawa, mereka menyebarkan agama Islam di bumi pertiwi.

ceng ho (ilustrasi divapres.com)

*****

Sejarah penyebaran Islam di indonesia melalui orang-orang Cina diakui oleh mantan Presiden BJ Habibie, dalam penjelasannya, habibi menyatakan bahwa islam pertamakali datang melalui laksamana Cheng Ho yang dikenal sebagai petualang laut yang mempunyai misi damai diseluruh dunia,

"Ini yang sering saya katakan ketika saya bertemu siapa pun, termasuk tokoh dunia. Ketika saya datang ke negara Cina, saya diberitahu bahwa umat Islam yang saya temui ini-lah orang-orang yang memperkenalkan Islam ke negara saya, Saya bilang ke pimpinan Beijing, saya bilang ke pimpinan Jerman, agama Islam datang ke Indonesia dengan damai bukan peperangan,"

(Bj Habibi)
 

Bahkan mantan presiden Gusdur mengaku bahwa ia sebenarnya adalah keturunan Putri Campa yang lahir di Tiongkok, kemudian menjadi selir Raja Majapahit Brawijaya V, dari pernikahan tersebut lahirlah dua anak bernama Tan Eng Hian (Laki-laki) dan Tan A Lok (Perempuan), Tan Eng Hian kemudian mendirikan kerajaan Demak yang kemudian lebih dikenal sebagai Raden Fatah (kakek buyut Gusdur).

Sedangkan Tan A Lok, menikah dengan seorang ulama muslim keturunan Tionghoa bernama Tan Kim Han, salah satu tokoh yang menggulingkan Kerajaan Majapahit dan ikut mengantarkan pendirian Kerajaan Islam Demak. Tan Kim Han juga dikenal sebagai tokoh Muslim Tionghoa pada abad ke-15 dan 16 yang diutus oleh iparnya Jin Bun (dalam kitab Pararaton) atau Tan Eng Hian (versi Gus Dur) atau Raden Patah, yakni Raja Demak pertama bersama Maulana Ishak (Sunan Giri) dan Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus) untuk mengadakan revolusi politik pada Majapahit.

raden fatah atau jinbun atau kakek buyut Gusdur khalifah pertama kerajaan islam demak I (ilustrasi sejarahwali.com)

Tan Kim Han lahir pada tahun 1383 pada masa pemerintahan Hongwu. Dia menikah tanpa anak dan mengajar di salah satu sekolah di Leizhou, setelah lulus dalam ujian tahun 1405. dalam catatan Chizai Fang Jiapu pada 1907, Tan Kim Han kemudian ikut bersama Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Lambri-Aceh dan menyebarkan islam di Indonesia.

Jadi jelas bahwa China, Laksamana Cheng Ho dan Walisongo mempunyai andil besar dalam penyebaran agama islam di indonesia, bila ada orang yang menuduh bahwa Cina adalah kaum minoritas di Indonesia itu salah besar, sebab orang-orang keturunan Cina sudah berbaur demikian erat dengan orang-orang pribumi sehingga wajah mereka sudah tidak lagi terlihat Cina-nya, bila ada yang rasis terhadap orang-orang Cina di Indonesia, kemungkinan besar ia kurang piknik, tidak tau sejarah atau tidak mengerti bahwa sesungguhnya islam yang dia anut bisa jadi berasal dari negara Cina.
*****

Baca Sejarah dibawah ini:

Islam di Masa Kedinastian Cina

Proses penyebaran dan perkembangan Islam di Cina selama ribuan warsa masa kedinastian.

TULISAN-tulisan terdahulu Prof. Djamal al-Din Bai Shouyi (1909-2000), sejarawan muslim Hui terkemuka, yang terangkum dalam buku Zhongguo Yisilan Shi Cun Gao (Naskah Sejarah Islam di Cina, 1983), menyuguhkan sejarah penyebaran dan perkembangan Islam di Cina masa kedinastian dengan runut serta mudah dicerna.

Menurut Bai, hubungan Cina dengan Arab sudah terjalin, setidaknya, 500 tahun sebelum Islam terbentuk. Kala itu, kabar tentang adanya suatu negeri bernama Tiaozhi telah didengar Zhang Qian, duta Kaisar Wu (141-87 SM) Dinasti Han, saat menjalankan misi diplomatiknya ke Wilayah Barat (Xiyu). Namun, Tiaozhi baru berhasil dikunjungi Gan Ying, utusan Kaisar He (89-105) Dinasti Han pada tahun 97. Belakangan, Tiaozhi diketahui sebagai pelafalan Mandarin dari kota tua Antiochia di Mesopotamia.

Selepas Dinasti Jin (266-420) mempersatukan Cina yang terpecah menjadi tiga negara yang saling bermusuhan (Samkok) pasca-runtuhnya Dinasti Han (220), kapal-kapal dagang Cina mulai berlayar ke Jazirah Arab melalui Teluk Persia. Pun sebaliknya, dengan dibukanya jalur perniagaan tersebut, orang Persia dan atau orang Arab yang berlayar dari Teluk Persia mulai banyak yang bertandang ke Cina.

Sepanjang Dinasti Sui (581-618) sampai berdirinya Dinasti Tang (618-907) dan Song (960-1127), arus kedatangan pedagang dari (Teluk) Persia lewat laut kian santer. Mereka, atas izin pemerintah, tinggal di daerah tepi pantai seperti Guangzhou, Yangzhou, Hangzhou, dan Quanzhou. Jumlahnya, Bai secara tak langsung memprediksi, “ketika pada tahun 760 meletus Kerusuhan Tianshengong di Yangzhou, ribuan saudagar Persia menjadi korban. Juga, sejumlah 120 ribu penganut Islam, Kristen, dan Yahudi dibunuh ketika terjadi Pemberontakan Huangchao di Guangzhou.”

Masyarakat Cina menyebut pendatang asal (Teluk) Persia itu sebagai orang dari negeri Dashi –untuk melafalkan apa yang disebut sebagai Tazi dalam bahasa Persia kuno. Agama Islam, karenanya, dikenal sebagai Dashi Fa, Ajaran Dashi. Sayang, Bai tidak menyuguhkan angka pasti kapan Islam masuk ke Cina pertama kali. Namun, dengan menulis bahwa “Islam dibawa ke Cina oleh saudagar Dashi”, secara eksplisit dia mengajukan tesis: karena hubungan Dashi dengan Cina erat sejak pra-Islam, Islam kemungkinan masuk ke Cina sejak baru lahir, melalui para pedagang muslim dari Dashi.

Berbeda, Bai justru sangat yakin, “orang Cina pertama yang mencatat tentang Islam adalah Du Huan dalam buku Jingxingji (Catatan Perjalanan).” Du memang pernah menjadi tawanan perang di Dashi selama 12 tahun setelah pasukan Dinasti Tang kalah dalam pertempuran dengan tentara Dashi di Sungai Talas (sekarang bagian dari Kyrgyzstan) pada tahun 751-752 untuk memperebutkan kekuasaan di Syr Darya, Asia Tengah.

Di catatan perjalanannya yang kini sudah tak utuh, Du menerangkan bagaimana seorang muslim harus melakukan ibadah lima kali sehari, ihwal makanan dan minuman yang menjadi pantangan penganut Islam, juga tentang rumah ibadah besar yang selalu penuh dengan orang-orang sepanjang waktu. Bai memperkirakan yang dimaksud Du adalah Masjid al-Haram di Mekkah. Bagi Bai, dari Dinasti Tang sampai Dinasti Song, tak ada tulisan mengenai Islam yang sebanding dengan tulisan Du. Apa agama Du? Tak ada yang tahu.

Menariknya, tanpa mengelaborasi sebabnya, “perang Talas tidak membawa pengaruh buruk pada relasi Cina dengan Dashi,” tulis Bai. Buktinya, dia merinci, “selama 100 tahun sebelum Perang Talas, kunjungan utusan Dashi ke Dinasti Tang sebanyak 19 kali. Lalu, selama 47 tahun setelah Perang Talas, utusan Dashi berkunjung ke Dinasti Tang 17 kali. Pada tahun ke-2 hingga ke-8 setelah Perang Talas, Dashi selalu mengirim utusan ke Dinasti Tang setiap tahunnya. Sepanjang tahun 753, Dashi bahkan mengirim utusan ke Dinasti Tang 4 kali.”

Masjid turut banyak dibangun seiring dengan semakin banyaknya orang Dashi yang menetap di pesisir Cina selama Dinasti Tang dan Dinasti Song. Huai Sheng, masjid yang diyakini merupakan garapan Sa’ad ibn Abi Waqqas di Guangzhou itu, misalnya, dibangun pada periode ini. Termasuk juga Masjid Qingjing di Quanzhou yang letaknya tak jauh dari kuburan yang dipercaya sebagai makam dua utusan Nabi Muhammad di Gunung Lingshan itu.

Memasuki periode pemerintahan suku Mongol Dinasti Yuan (1206-1368), derajat muslim menanjak seketika. Dalam strata sosial Dinasti Yuan, kedudukan orang-orang Islam tidak kalah tinggi dengan suku Mongol, baik di ranah politik, ekonomi, maupun militer. Bai menghitung, di istana, ada 16 muslim yang memangku jabatan strategis. Sebagai amsal, perdana menteri dipegang oleh seorang muslim bernama Hasan. Wakil perdana menteri dijabat oleh Badr al-Din, Zahr al-Din, dan Daula Sh?h. Sementara di tingkat daerah, ada 32 muslim yang menduduki posisi penting. Yang masyhur adalah gubernur pertama Provinsi Yunnan Sayyid Ajjal Shams al-Din Omar (1211-1279) kemudian dilanjutkan Nasr al-Din, anaknya, sampai tahun 1292.

Populasi muslim juga terus meninggi sehingga muncul istilah “yuan shi huihui biantianxia” (era Dinasti Yuan, Huihui bertebaran di mana-mana) sebagaimana dinyatakan buku Ming Shi, Sejarah Dinasti Ming. “Huihui” dipakai masyarakat Cina pada masa Dinasti Yuan untuk menyebut kaum muslim, menggantikan istilah “Dashi ren” (orang Dashi) yang digunakan dinasti sebelumnya.

Jika sebelum Dinasti Yuan penganut Islam didominasi –bila tidak semuanya– orang Dashi, maka pada masa Dinasti Yuan sudah mulai terjadi kawin-mawin antara orang Dashi dengan orang lokal sehingga penganut Islam tidak lagi terbatas pada pendatang saja, melainkan meluas pada orang Cina dan para keturunan orang Dashi. Inilah cikal-bakal Hui, suku penganut Islam terbesar dan terluas perseberannya di Cina saat ini.

Walakin, kegemilangan Islam ikut memudar setelah Yuan diruntuhkan Dinasti Ming (1368-1644). Aturan-aturan yang diskriminatif mulai ditimpakan kepada muslim pada masa ini. Di antaranya, orang-orang Islam harus mengganti nama mereka menjadi nama Han. Hui dilarang menikah dengan sesama Hui. Mirip sekali dengan pemaksaan asimilasi etnis Cina Indonesia di masa Orde Baru.

Pada masa Dinasti Qing (1616-1911) lebih parah lagi. Bai mengungkap, kerapnya pemberontakan berdarah yang dilakukan muslim ketika Dinasti Qing berkuasa disebabkan oleh perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap mereka. Tapi, di waktu yang sama, penguasa Dinasti Qing juga mengeluh karena orang-orang Islam sulit diurus, “huihui nan zhi”.

Meski demikian, perlakuan diskriminatif penguasa justru menumbuhkan ide cendekiawan muslim Cina untuk menyelamatkan dan mengembangkan Islam dengan pendidikan. Hu Dengzhou (1522-1597) dari Xi’an, Provinsi Shaanxi, mulai memanfaatkan bilik masjid sebagai sarana membuka madrasah diniyah (jingtang jiaoyu) untuk, salah satunya, mengajar membaca al-Qur’an dengan memakai aksara Cina menggantikan huruf Arab supaya mudah dibaca. “Assalamu”, contohnya, tidak dipaksakan dilafalkan sesuai orang Arab mengartikulasikannya, melainkan dibolehkan diucapkan sebagai “aisailiamu” karena orang Cina sulit membaca “as” sesuai makhraj Arab. Ma Dexin (1794-1874) dan Ma Lianyuan (1841-1903) menerjemahkan literatur-literatur Islam, termasuk al-Qur’an dan Hadist, ke dalam bahasa Cina. Di samping itu, Wang Daiyu (1570-1660) dan Liu Zhi (1660-1739) memprakarsai usaha memadukan ajaran Islam dengan pemikiran Konfusius (Huiru) laiknya Wali Songo meleburkan falsafah Islam dengan keyakinan Jawa.

Terbukti, hanya dengan pendidikan dan kemauan untuk beradaptasi dengan perubahan, Islam di Cina mampu bertahan sampai sekarang. Kini, populasi muslim di Cina lebih dari 30 juta jiwa. Dari 56 suku yang ada di sana, 10 di antaranya mayoritas menganut Islam. Khusus di Provinsi Xinjiang saja, menukil data di Xinjiang de Zongjiao Ziyou Zhuangkuang Baipishu (Buku Putih Kebebasan Beragama di Xinjiang, 2016), jumlah masjidnya mencapai 24.400 gedung. Mau meneriakkan Takbir? Silahkan. Asal jangan sambil angkat pentungan.

Penulis adalah visiting scholar di China-ASEAN Research Institute, Guangxi University, Tiongkok.


Islam Arab atau Islam Cina? 

Teori klasik menyebutkan pedagang keturunan Arab yang membawa Islam ke Nusantara. Versi lain menyebut justru pedagang Tionghoa yang menyebarkan Islam.

BEBERAPA teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para pakar sejarah. Ada dua teori klasik yang utama ihwal penyebaran Islam di Nusantara. Pertama, dikemukakan oleh Niemann dan de Holander yang menyebutkan kalau Islam dibawa oleh pedagang Timur Tengah. Kedua, adalah teori pedagang Gujarat yang diusung oleh Pijnapel dan kemudian diteliti lanjut oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan Schrieke.

Agaknya teori-teori klasik itu menyandarkan validitasnya pada lapoan perjalanan yang ditulis Marcopolo yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi′i. Adapun peninggalan tertua kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satunya adalah makam Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis tahun 475 H/1082 M, yaitu zaman Singasari. Diperkirakan makam ini bukan penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

M.C. Ricklefs memiliki serangkaian intepretasi yang meragukan kesahihan teori klasik itu. Semisal dalam kasus batu nisan di Gresik ia menyebut tentang kemungkinan batu nisan itu hanya pemberat kapal atau mungkin batu nisan yang dipindahkan setelah muslimah itu meninggal. Dan batu itu tidak memberikan kejelasan apa-apa mengenai mapannya agama Islam di tengah-tengah penduduk Indonesia.

Sampai dengan awal abad ke-14 M, Islamisasi secara besar-besaran belum terjadi di Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.

Kekuatan politik itu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.

Menarik juga mengamati kisah-kisah pengislaman Nusantara yang dapat ditemui dalam historiografi tradisional. Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bagaimana Islam masuk ke Samudra dan juga tentang batu nisan Malik as-Salih bertarikh 1297 M. Dalam hikayat ini diceritakan tentang Khalifah Mekah yang mendengar adanya Samudra dan memutuskan mengirimkan sebuah kapal ke sana memenuhi ramalan Nabi Muhammad bahwa suatu saat akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Hikayat itu dipenuhi cerita tentang proses penganutan Islam oleh raja Samudra: Marah Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri padanya dan sekonyong meludah ke dalam mulutnya untuk mengalihkan pengetahuan Islam serta sekaligus menggelarinya Sultan Malik as-Salih.

Cerita yang kurang lebih sama juga ditemui dalam Sejarah Melayu. Historiografi ini mengisahkan tentang pengislaman Raja Malaka. Sebagaimana Malik as-Salih yang bertemu Nabi di dalam mimpinya, demikian pula dengan Raja Malaka. Dalam pada itu, Nabi mengajarkan kepadanya cara mengucapkan dua kalimat syahadat.

Hal yang unik justru terjadi pada kitab Babad Tanah Jawi. Jika dalam dua naskah Melayu di atas Islamisasi selalu ditandai dengan adanya simbol-simbol formal dari perubahan agama seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan penggunaan nama Arab maka cerita pengislaman Jawa yang dituturkan melalui Babad Tanah Jawi memberikan kesan suatu proses asimilasi yang sedang berlangsung di Jawa.

Naskah Babad Tanah Jawi menuturkan tentang Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh sembilan wali (wali sanga). Di sini pengislaman secara formal tak tampak, namun garis genealogis yang mengacu pada Arab (baca: Timur Tengah) tetap menjadi alur utama kisah di dalamnya.

Dari keseluruhan historiografi tradisional ada satu benang merah yang saling menghubungkan perihal penyebaran agama Islam di Nusantara: berasal dari Arab. Besar kemungkinan hal ini dilakukan agar ada semacam legitimasi ideologis bagi agama Islam untuk masuk ke Nusantara. Di lain pihak, hal ini juga menimbulkan bias bahwa seakan-akan Islam akan lebih sahih jika dibawa dari Arab, bukan dari wilayah lainnya.

Kembali kepada persoalan diskursus teori klasik kedatangan Islam, amat dimungkinkan jika teoritisi sejarah Islam juga melihat kenyataan yang dicatat di dalam naskah-naskah kuno itu sebagai dasar menjadikan pedagang Timur Tengah sebagai pembawa Islam ke Nusantara.

Juga perlu dicatat kiranya tentang dua dokumen lain yang bisa menghantarkan pada substansi Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Kedua naskah itu berisi tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Salah satu naskah yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan terhadap hal-hal yang diperdebatkan, kemudian naskah dinisbahkan oleh G.W.J. Drewes kepada seorang ulama yang bernama Syekh Bari.

Naskah kedua berisi tentang primbon yang berisi tuntunan menjalankan agama Islam yang dibuat beberapa murid ulama terkenal. Kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistik, sekaligus mencerminkan mistisisme Islam dan tasawuf yang berkembang saat itu. Dan kelak Islam di Indonesia dipenuhi bid’ah dan khurafat yang pada masa selanjutnya mendorong munculnya gerakan pembaharuan sepanjang abad XIX dan XX.

Dalam historiografi Indonesia, teori klasik penyebaran Islam menjadi satu monoversi yang sulit dibantah. Hal itu bercampur aduk dengan bias politik kekuasaan Orde Baru yang mengintervensi penulisan sejarah. Semisal, kasus pelarangan buku Slamet Muljana yang pernah mengajukan versi bahwa Tionghoa adalah penyebar Islam. Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah Islam “murni” dari Arab, melainkan Islam campuran yang memiliki banyak varian. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana.

Pelarangan versi Slamet Muljana oleh pemerintah Orde Baru didasari pengkaitan Cina dalam peristiwa Gestok 1965. Semua hal yang berbau Tionghoa dilarang saat itu, sehingga “haram” hukumnya mengaitkan Tionghoa ke dalam sejarah Islam Nusantara. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa juga menggugat teori klasik penyebaran Islam. Sumanto menemukan fakta bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah Islam merupakan transliterasi dari nama Cina ke nama Jawa. Semisal dalam nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun. Tentu buku yang ditulis Sumanto tidak dilarang, karena buku ini terbit setelah Orde Baru tumbang. Namun sejauh mana masyarakat menerima versi ini, belum kelihatan secara jelas.


Nusantara dalam Kitab Tiongkok 

Liang Liji menelusuri hubungan Tiongkok-Nusantara berdasarkan kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.

SEJARAH kuno Indonesia tak bisa dilepaskan dari sumber-sumber Tiongkok. Selama ini, sejarah ditulis berdasarkan sumber Tiongkok yang dihimpun oleh W.P. Groeneveldt dalam Notes on Two Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Resources (1880), yang baru-baru ini diterjemahkan menjadi Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Berdasarkan buku ini pula disusunlah buku babon Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (1975 dan 1984). Dibanding karya Groeneveldt, buku karya Prof Liang Liji ini, menggunakan sumber-sumber primer yang lebih kaya, yaitu kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.

Liang Liji lahir di Bandung pada 1927. Dia dibesarkan dalam dua etos kebudayaan, Tionghoa dan Indonesia. Dia mengalami masa pendudukan Belanda, Jepang, revolusi, dan awal kemerdekaan. Lulus dari jurusan bahasa Indonesia Fakultas Bahasa Timur Universitas Peking pada 1954, dia lalu mengabdi di universitas tersebut selama setengah abad lebih. Dia juga pernah menjadi anggota tim penerjemah Presiden Sukarno saat melawat ke Tiongkok pada 1956.

Menurut Liji, sumber-sumber sejarah yang kaya dan otentik dari kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno masih belum digali dan dikenal di Indonesia dalam pengkajian sejarah hubungan kedua negara. Padahal Tiongkok memiliki keunggulan dalam tradisi penulisan sejarah. Bahkan sejak zaman Xia (2140-1711 SM), Tiongkok sudah memiliki suatu sistem penulisan sejarah, yang kemudian terus mengalami penyempurnaan.

Sejak dua ribu tahun lalu, di masa Dinasti Han (206 SM-220 M), sejumlah kitab mencatat hubungan resmi antara Tiongkok dan Nusantara. Liji mengawali pembahasan buku ini dengan membahas kitab-kitab tersebut, yakni Han Shu Di Li Zhi (Kepustakaan Dinasti Han-Catatan Geografi) dan Hou Han Shu (Kepustakaan Dinasti Han Lanjutan).

Dalam kitab Hou Han Shu disebutkan, Ye Diao adalah negara di Asia Tenggara yang mengirim utusan dan mempersembahkan upeti kepada Wu Di, Kaisar Dinasti Han. Ye Diao adalah tiruan bunyi dari kata Sanskrit, Javadvipa, untuk menyebut Jawa atau Sumatra. Ada ahli yang menganggap bahwa Ye Diao adalah kerajaan yang didirikan di Banten pada 65 SM. Nama rajanya, yang disebut dengan nama Diao Bian, juga salinan bunyi dari kata Sanskrit, Devavarman.

Selain kitab-kitab sejarah yang ditulis pejabat istana, juga bermunculan buku catatan perjalanan dari utusan kaisar dan pendeta Budha Tiongkok yang pernah berkunjung ke Nusantara. Ini dimulai pada zaman Samkok atau Tiga Kerajaan (220-280) –akibat perpecahan Dinasti Han. Di antaranya Zhu Ying dan Kang Tai yang untuk kali pertama memperkenalkan keadaan sosial-budaya dan adat istiadat Nusantara.

Hubungan Tiongkok-Nusantara mencapai puncaknya pada masa Dinasti Ming dengan tujuh kali muhibah Laksamana Cheng Ho. Para cendekiawan Tiongkok yang mendampingi Cheng Ho membuat catatan perjalanan; umumnya menggambarkan keadaan sosial-budaya di Nusantara. Tak heran jika di masa inilah terdapat bahan sejarah paling kaya dan lengkap mengenai hubungan kedua bangsa. Di antaranya Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) dan Ming Shu Lu (Catatan Kejadian Aktual Dinasti Ming) yang merupakan koleksi terbesar dengan 2.965 jilid dan 16 juta karakter Tionghoa. Yang menarik, Dinasti Ming sampai membuat kamus bahasa Melayu-Tionghoa yang disebut Man La Jia Yi Yu (Kumpulan Kata-kata Negeri Malaka).

Berdasarkan pembacaan Liji atas kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno, Tiongkok menganggap wilayahnya sebagai “negara suzerin” atau “negara atasan”, sedangkan daerah-daerah lain di sekitarnya termasuk Nusantara sebagai “negara vasal” atau “negara bawahan” yang harus memberikan upeti kepada negara suzerin. Upeti tersebut bisa diartikan sebagai tanda pengakuan, kesetaraan, hubungan diplomatik, atau pembukaan hubungan dagang.

Buku Liji ini juga menjangkau periode sejarah modern, yang ditandai dengan masuknya kolonialisme dan berimbas pada porakporandanya hubungan Tiongkok-Nusantara. Untunglah hubungan ekonomi dan kebudayan tak ikut terputus karena adanya perantau Tionghoa yang menetap di Nusantara. Mereka mulai melepaskan pandangan tradisionalnya “daun gugur kembali ke akarnya” menjadi pandangan baru yang lebih realistis: “bibit jatuh berakar di buminya”. Pandangan inilah yang mendorong mereka ikut dalam arus gerakan kemerdekaan.

Liji menyebut beberapa etnis Tionghoa yang terlibat dalam pergerakan nasional Indonesia. Ada Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjian Hok, dan Tjio Djien Kwie yang ikut dalam Sumpah Pemuda. Ada Liem Koen Hian, pendiri Partij Tionghoa Indonesia pada 1932. Ada juga Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Tan Eng Hoa, dan Liem Koen Hian yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Setelah kemerdekaan, hubungan Tiongkok-Indonesia mengalami pasang-surut. Sejumlah peristiwa sempat meretakkan hubungan kedua negara itu: dari masalah dwikewarganegaraan, PP 10 tahun 1959 yang mengakibatkan puluhan ribu etnis Tionghoa terusir dari daerah-daerah pedalaman, hingga pembekuan hubungan pada 30 Oktober 1967.

Sejak rezim orde baru tumbang, dan Indonesia memasuki era reformasi dan demokrasi, Indonesia dan Tiongkok menjalin kemitraan strategis.

(Republika/Kompasiana/Merdeka/Tribun-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Wanita Bukan Boneka Kaum Pria

Islamic Revolution Chador 1979

Dari sejak permulaan kemenangan Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini ra menetapkan supaya hijab menjadi program utama program kebudayaan di seluruh instansi pemerintah dan di tingkat masyarakat luas. Ia tidak pernah main toleransi dalam masalah ini, ia meyakini bahwa pelepasan hijab adalah salah satu konspirasi musuh dan negara-negara imperialis guna merusak generasi.\r\nOleh karena itu, dari sejak permulaan kemenangan Revolusi Islam, guna mencegah pelepasan hijab, Imam Khomeini ra memperingatkan, "Saya mengungkapkan masalah ini supaya didengarkan juga oleh pihak pemerintah.

Seperti laporan yang sampai kepada saya, seluruh kementerian kita masih memiliki kebiasaan seperti di masa tagut. Kementerian Islami tidak boleh menjadi sarang maksiat. Kaum wanita tak berhijab tidak boleh mendatangi kementerian-kementerian Islami. Kaum wanita bisa mendatangi kementerian manapun, asalkan dengan hijab ...." (Sahifeh-e Nur, jld. 6, hlm. 329)

Imam Khomeini ra meyakini bahwa "chadur" (kain yang menutupi badan secara langsung, seperti yang digunakan oleh Muslimah Iran) merupakan bentuk hijab yang paling ideal. Kita dapat memahami masalah ini ketika mendengar kisah salah seorang wanita yang pernah berjuang bersama Imam Khomeini ra di Prancis. Ia bercerita, "Setelah pulang kembali dari Prancis, saya masih mengenakan manto, celana panjang, dan kerudung. Ketika saya berada di daerah Mehran, kakiku terkulai. Dengan disangga tongkat dan mengenakan manto serta celana yang sama, saya menjumpai Imam Khomeini ra untuk mengajukan laporan.

Melihat saya berpakaian seperti itu, Imam Khomeini ra berkata,N'Jika kamu tidak memiliki chadur, biar saya akan suruh Ahmad membeli chadur untukmu.'

Tidak demikian wahai Imam! Saya terpaksa harus mendaki gunung sembari memanggul senjata. Tali pinggan peluru dan tempat minum air juga harus saya ikatkan di pinggang. Kadang-kadang saya juga harus memanggul tripod granat. Untuk itu, sangat sulit bila saya harus mengenakan chadur," jawab wanita itu membela diri.

"Chadur masih tetap lebih baik buat wanita," jawab Imam Khomeini pendek.
"Dari sejak saat itu, saya selalu mengenakan chadur," jawab wanita itu mengakui. (Sumber: Wawancara Situs Sajid dengan Tahereh Hadidehchi)


Inilah Kultur Kami

Ketika diwawancarai oleh Oriana Falanci tentang hijab, jawaban-jawaban logis dan tegar Imam Khomeini ra membuat koresponden jurnal berbahasa Prancis yang pernah melakukan banyak wawancara dengan para tokoh politik dunia ini marah dan murka. Tapi wawancara ini berhasil membongkar sebuah rahasia yang telah berhail memenangkan Revolusi Islam Iran. Keberlanjutan revolusi ini juga bergantung kepada bagaimana kita memelihara dan menjaga bendera ini.

Mari kita simak sekelumit wawancara tersebut berikut ini:

Falanci: Pada kesempatan ini, saya ingin mengajukan banyak pertanyaan kepadamu. Seperti masalah chadur yang dipakaikan kepada saya dengan paksa supaya saya dapat berjumpa denganmu. Kamu juga memaksa kaum wanita untuk mengenakannya. Coba kamu jelaskan mengapa kamu memaksakan kaum wanita menyembunyikan diri mereka di bawah pakaian yang sangat sulit dikenakan dan juga tidak bermanfaat ini? Dengan pakaian seperti ini, mereka jelas tidak bisa bergerak bebas. Padahal kaum wanita ini tidak berbeda dengan kaum pria. Mereka telah berjuang, merasakan penjara, disiska, dan seperti kaum pria mengobarkan revolusi?

Imam Khomeini: Kaum wanita yang telah melakukan revolusi ini adalah mereka yang mengenakan pakaian Islami, bukan wanita-wanita berpakaian sok mewah dan berias seperti kalian yang berlenggak-lenggok ke sana ke sini dengan tujuan untuk mencari perhatian kaum pria. Boneka-boneka yang bertata rias di tengah jalan dan sengaja mempertunjukkan lekuk-lekuk tubuh mereka tidak pernah bangkit untuk melawan Ridha Syah. Mereka ini tidak pernah melakukan satu hal pun yang bermanfaat. Mereka ini juga tidak tahu bagaimana bertindak supaya bisa bermanfaat, tidak dalam kancah sosial, tidak dalam ranah politik, dan tidak pula dalam bidang spesialisasi yang mereka miliki. Alasanya, karena mereka mempertontonkan diri mereka untuk kaum pria. Mereka hanya bisa menghilangkan fokus, dan mereka pun tidak merasa terganggu lantaran masalah ini. Di samping itu, mereka juga dapat mengacaukan fokus dan mengganggu wanita yang lain.

Falanci: Ini tidak benar, wahai Imam. Maksudku bukan hanya bentuk pakaian, tapi segala sesuatu yang dapat membuat kaum wanita terbelakang. Kaum wanita ini tidak bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi bersama kaum pria. Mereka juga tidak bisa bekerja bersama kaum pria. Malah mereka tidak bisa berenang bersama kaum pria dan tidak pula bisa melompat di kolam renang dengan mengenakan chadur ini. Bagaimana mungkin wanita bisa berenang dengan mengenakan chadur ini?

Imam Khomeini: Seluruh masalah ini tidak ada hubungannya dengan kalian. Kultur dan budaya kami tidak ada hubungannya dengan kalian. Jika kalian tidak menghendaki pakaian Islami, kalian tidak dipaksa untuk mengenakannya, karena pakaian Islami hanya diperuntukkan kepada wanita dan pemuda yang memiliki bobot diri.

Falanci: Terima kasih. Karena kamu mengizinkan, maka saya akan secepat mungkin melepas chadur ini. Tapi tolong kamu nilai, apakah wanita seperti saya yang selalu hidup di tengah kaum pria adalah seorang wanita yang tidak beretika dan tidak memiliki bobot diri?

Imam Khomeini: Hal ini hanya diketahui oleh naluri kalian sendiri. Saya tidak menilai masalah-masalah yang bersifat pribadi. Saya tidak bisa tahu apakah kehidupan kalian akhlaki atau tidak. Saya juga tidak tahu bagaimana kalian hidup bersama para tentara itu. Seluruh apa yang telah kukatakan ini bersumber dari pengalaman panjang selama ini. Jika wanita tidak menjaga pakaian Islami, mereka tidak akan bisa bekerja secara sehat. Lebih dari itu, undang-undang kita juga tidak akan menjadi undang-undang yang bernilai.


Wanita Bukan Alat Permainan Kaum Pria

Sekalipun Imam Khomeini ra menilai bahwa chadur adalah sebuah hijab yang sempurna, tapi ia masih memberikan peluang bagi pakaian-pakaian lain yang sejenis chadur, seperti manto yang tidak menimbulkan kerusakan.

Dalam prinsip Imam Khomeini ra, jika bentuk pakaian wanita tertentu dapat menimbulkan kerusakan dan bertentangan dengan akhlak, maka jenis pakaian semacam ini harus dilarang di masyarakat.

Ketika masih berada di Paris, Imam Khomeini ra pernah ditanya oleh para wartawan tentang batas-batas hijab Islami. Ketika menjawab pertanyaan ini, ia menjawab, "Iya, dalam Islam, seorang wanita harus mengenakan hijab. Tapi hijab ini tidak harus berbentuk chadur. Ia dapat memilih setiap bentuk dan model pakaian yang dapat berfungsi sebagai hijab. Kita dan Islam tidak menginginkan wanita menjadi barang komersial dan boneka di tangan kaum pria. Islam menginginkan menjaga kemuliaan wanita dan menciptakannya menjadi sebuah insan yang serius dan fungsional. Kita tidak mengizinkan wanita hanya menjadi alat pemuas nafsu bagi kaum pria." (Sahefeh-ye Nur, jld. 5, hlm. 294).

Dalam sebuah kesempatan yang lain, Imam Khomeini ra juga pernah berkata, "Hijab bangsa Iran dan hijab Islami memang sudah seukuran seperti ini. Islam tidak pernah mengenal batas. Tetapi, kadang-kadang ada sebagian tangan asing yang memainkan pengaruh sehingga terjadi kerusakan dan dekadensi etika. Kita harus mencegah semua ini." (Sahefeh-ye Nur, jld. 3, hlm. 499).

Dalam sebuah penegasan, Rahbar pernah menyatakan bahwa Imam Khomeini ra adalah satu-satunya figur yang telah berhasil mengembalikan hijab setelah peristiwa pelarangan hijab di Iran.

"Imam Khomeini ra adalah seorang pemberani dan tak tertandingi yang telah berhasil mengembalikan hijab kepara negara ini. Tak ada orang lain selain Imam yang dapat melakukan hal ini. Ini adalah salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Imam. Tak seorang pun dari para ulama besar kala itu yang berani menegaskan bahwa kaum wanita harus keluar ke jalanan dengan mengenakan hijab. Dari sejak permulaan kemenangan Revolusi Islam, Imam Khomeini sudah menegaskan supaya masyarakat keluar dengan mengenakan hijab," ungkap Ayatullah Khamenei. (Pidato di hadapan para komandan Sepah Pasdaran, tanggal 5-3-1998).

Imam Khomeini ra tidak pernah kenal kompromi dalam masalah ini. Ia senantiasa mengajak seluruh lapisan masyarakat supaya selalu menjaga pakaian lahiriah Islami negara.

Ketika memperoleh informasi bahwa di daerah pantai masih banyak pria dan wanita yang campur, serta sering terjadi tindakan-tindakan amoral, Imam Khomeini ra sangat geram.

Ia pernah menengaskan, "Guna mencegah pengumbaran syahwat, Islam tidak mengizinkan mereka pergi ke laut dan berenang dengan bercampur. Islam akan mengazab mereka ini. Sebelum kemenangan Revolusi Islam kita, setelah kaum wanita itu pergi ke laut dengan pakaian seperti itu, mereka juga datang ke kota dengan pakaian yang serupa. Masyarakat kita juga tidak berani untuk memprotes.

Sekarang, jika kejadian serupa masih terulang, maka kita akan memperjelas posisi mereka. Pemerintah juga akan mempertegas posisi mereka. Dan pemerintah, seperti pernah dilaporkan oleh Menteri Negara, telah berhasil mencegah tindakan-tindakan tak senonoh tersebut. Sekalipun pemerintah tidak mau mencegah, niscaya rakyat pasti akan mencegah. Mana mungkin rakyat Mazandaran dan Rasyt mengizinkan pantai mereka masih kotor seperti seperti kala itu? Memangnya rakyat Bandar Anzali sudah mati sehingga mereka mengizinkan pria dan wanita pergi bersama ke laut untuk berfoya-foya?"

"Peradaban mereka memang seperti ini. Kebebasan yang mereka inginkan tidak lebih dari semua ini. Mereka hanya ingin bebas berjudi dan bebas berfoya-foya bersama."
"Kebebasan harus dalam ruang lingkup undang-undang. Islam mencegah setiap bentuk kerusakan dan menganugerahkan seluruh kebebasan yang tidak tercampuri oleh kerusakan. Selama kita masih hidup, kita tidak akan mengizinkan semampu kita kebebasan yang mereka inginkan itu terwujud." (Sahifeh-ye Nur, jld. 8, hlm. 339).

Boneka Ridha Khani, Permainan Musuh Revolusi

Sekalipun demikian, Imam Khomeini ra masih menekankan supaya menangani masalah penyingkapan hijab ini diserahkan kepada kepolisian. Oleh karena itu, pada peristiwa pemukulan wanita dan pemudi-pemudi berhijab buruk di jalanan umum yang dilakukan oleh sebagian orang yang berhasil menyusup ke dalam tubuh Revolusi Islam atau orang yang tak tahu menahu masalah, ia mengeluarkan pesan tertulis berikut ini:
"Dengan nama Allah Yang Mahas Pengasih lagi Maha Penyayang
Pemukulan terhadap wanita di jalan umum dan pasar-pasar mungkin dilakukan oleh mereka yang menyeleweng dan menentang Revolusi Islam. Untuk itu, tak seorang pun berhak main hakim sendiri. Ikut campur tangan dalam masalah ini untuk seluruh muslimin adalah haram. Kepolisian dan komite-komiter tertentu harus mencegah kejadian ini supaya tidak terulang lagi.

21 Sya'ban 1400


Ruhullah Musawi Khomeini"

Imam Khomeini ra menilai, pelarangan hijab dan pembentukan golongan minoritas yang terbentuk dari wanita dan pemudi-pemudi jalanan merupakan sebuah pengkhianatan yang pernah dilakukan oleh rezim tagut. Menurutnya, ini adalah salah satu pengkhianatan besar Reza Syah. Dalam sistem negara Islam, semua ini harus dilawan.

Imam Khomeini ra pernah berkata, "Penguasa bejat (Reza Syah) itu telah melakukan sebuah pengkhianatan; yaitu pelarangan hijab. Ia bukannya mengaktifkan setengah penduduk yang hidup di negara ini. Sebaliknya, ia malah menonaktifkan separuh lainnya yang setengahnya didominasi oleh kaum pria. Mereka (para penguasa) telah menciptakan boneka-boneka seperti ini. Para boneka ini ditempatkan di instansi-instansi pemerintah dan ada pula yang dilepas di jalanan. Boneka-boneka yang ada di instansi-instansi pemerintah telah mencegah para pegawai lain untuk melaksanakan tugas mereka dengan baik. Sementara itu, boneka-boneka yang bebas berkeliaran di jalan-jalan telah menjerumuskan para pemuda kita ke dalam jurang kerusakan dan berhasil merebut aktifitas para pemuda kita." (Sahifeh-ye Nur, jld. 17, hlm. 59).

Kesimpulannya, guna menjaga nilai kewanitan kaum wanita dan supaya kepribadian mereka tidak diinjak-injak di tengah masyarakat, Imam Khomeini ra sangat menekankan masalah hijab. Dalam sebuah kesempatan, ia menekankan, "Kalian harus sadari, hijab yang telah ditetapkan oleh Islam bertujuan memelihara nilai-nilai yang dimiliki oleh kalian. Seluruh perintah Allah, baik untuk kaum wanita maupun kaum pria, bertujuan supaya nilai-nilai hakiki yang mereka miliki dan mungkin diinjak-injak lantaran godaan setan, tangan-tangan kaum imperialis, dan kaki tangan mereka hidup kembali." (Sahifeh-ye Nur, jld. 19, hlm. 185).

Kita sekarang sedang menyaksikan penginjak-injakan nilai-nilai kaum wanita dan pria di dunia Barat dan negara-negara yang telah terbarat-baratkan dengan bingkisan menarik bernama "kebebasan", "demokrasi", dan "persamaan hak kaum pria dan wanita". Tapi Imam Khomeini ra sebagai poros utama penegakan keamanan sosial, etika, dan spiritual masyarakat senantiasa menekankan masalah hijab. Usaha ini berlanjut sehingga mayoritas masyarakat menerima prinsip ini dan malah menjadi motor pendorongnya. Usaha ini juga sampai pada sebuah titik sehingga tamu-tamu asing yang ingin menginjakkan kaki di tanah Republik Islam Iran sudah tahu harus mengenakan minimal hijab Islami.

Guna meneruskan cita-cita suci Imam Khomeini ra ini, para aparatur negara harus lebih mencincingkan lengan baju, karena mereka yang telah kalah dipermalukan pada peristiwa Kudeta 1388 dua tahun lalu itu telah menurunkan pasukan pejalan kaki mereka. Pasukan ini yang sudah tidak segan-segan lagi menghina Imam Khomeini ra dan kesucian bulan Muharam telah berbaris siaga untuk merusak hijab dan memasyarakatkan budaya telanjang.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Poltik Iran, Tidak Timur dan Tidak Barat


Kebijakan politik luar negeri yang telah dibangun oleh Imam Khomeini ra adalah keyakinan terhadap Allah sebagai Pencipta Tunggal. Slogan "Tidak Timur, Tidak Barat" adalah sebuah kebijakan politik baru yang juga telah dibangun oleh pendiri Revolusi Islam Iran ini dan bertumpu pada prinsip Wilayatul Faqih.

Hari ini telah diselenggarakan sebuah konferensi internasional dengan tajuk "Pemikiran Imam Khomeini dan Kebijakan Politik Luar Negeri" yang ke-5. Ala'uddin Burujerdi Ketua Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Politik Luar Negeri Majelis Syura Islami hadir sebagai pembicara utama dalam seminar ini.

"Kala itu, Soviet memegang satu kutuk kekuatan dan Amerika juga memegang kutub kekuatan yang lain. Pada kondisi seperti ini, Imam Khomeini ra berhasil membangun sebuah kebijakan politik yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu 'Tidak Timur, Tidak Barat, tapi Hanya Republik Islam," ungkapnya dalam pembukaan orasinya.

Menurut Burujerdi, slogan "Tidak Timur, Tidak Barat, tapi Hanya Republik Islam" adalah sebuah gebrakan yang sangat sesuai dengan ajaran Islam. Memang, slogan ini telah menuntut biaya besar yang telah dibayar dengan darah. "Sekarang kita telah berhasil membangun pondasi sebuah bangunan yang sangat kokoh, dan sebuah pohon tersirami subur. Kita sekarang sedang menyaksikan buah-buahan pohon ini sedang dipetik dan dinikmati," ungkapnya.

Menurut penuturan Burujerdi, ketika Revolusi Islam Iran masih baru tumbuh, kedua adi daya itu bersepakat untuk memusnahkan Iran. Mereka mengambil keputusan untuk memadamkan cahaya Ilahi. Amerika memulai aksi dari kudeta Nouje hingga serangan militer langsung pada peristiwa Thabas. Mereka juga mengancam Iran dengan perang hidup dan mati dalam peristiwa perang Iran dan Irak yang dipaksakan.

“Dalam perang yang dipaksakan ini, dunia kafir dengan seluruh jati diri berdiri di hadapan Islam. Tapi, kita telah berhasil keluar dari lingkaran ujian berat ini dengan penuh kejayaan. Sekarang Komunisme dan Uni Soviet sudah musnah dari geografi perpolitikan. Nasib Saddam juga telah pasti,” ujar Burujerdi.

Slogan “Tidak Timur, Tidak Barat” telah berhasil melahirkan sebuah sistem politik baru yang berlandaskan pada konsep Wilayatul Faqih. “Slogan ini adalah strategi Imam Khomeini ra dalam ranah kebijakan luar negeri yang memiliki pengaruh sangat penting dalam kancah percaturan internasional. Setelah menghadapi kekalahan pahit, para adi daya ingin menampilkan sistem Republik Islam sebagai sebuah sistem yang tidak kompeten. Tapi, dalam upaya ini, mereka juga menghadapi kekalahan telak,” tandas Burujerdi.

Masalah energi nuklir adalah poin kemenangan Republik Islam Iran yang lain. Iran telah mampu mengeluarkan uranium dan mengolahnya menjadi bahan bakar dengan tujuan damai. Kemampuan ini membuktikan kompetensi sistem Republik Islam dan menjadikan Iran sebagai figur bagi seluruh bangsa dunia.

Poin penting lain dalam kebijakan luar negeri Imam Khomeini ra adalah monotheisme dan bahwa Allah adalah tolok ukur segala sesuatu. Poin ini sangat jelas bisa kita saksikan dalam surat yang pernah ia tulis kepada Gurbachov. Dengan sebuah ungkapan, Imam Khomeini ra memprediksikan bahwa masa depan Uni Soviet hanya dapat disaksikan di museum-museum sejarah.

Dalam surat ini, berkenaan dengan Komunisme, kita bisa membaca, “Problem kalian adalah ketidakyakinan terhadap Allah. Inilah problem yang telah menyeret bangsa Barat ke dalam jurang keasusilaan.”

Ketegaran dalam memegang kebijakan politik adalah kriteria kebijakan-kebijakan strategis Imam Khomeini ra yang lain. Salah satu contoh penting dalam masalah ini adalah perjuangan melawan rezim Zionisme.

Jika kita melukis garis diagram perjuangan rezim ini, niscaya kita menyaksikan gerak menurun perjuangan rezim ini. Gerak menurun ini, pada akhirnya, akan sampai pada batas titik kehinaan. Tapi, sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, garis ini menanjak lurus dan tidak pernah berubah.

Imam Khomeini ra adalah pembangun Hari Internasional Quds. Ia telah berhasil memperluas arena perjuangan melawan Israel dari Dunia Arab ke seluruh umat Islam. Kepercayaan diri di kalbu masyarakat Islam dan kaum tertindas tersimpulkan dalam ucapannya yang terkenal, "Kita pasti bisa".

Untuk itu, Dunia Islam yakin bahwa mereka tidak memiliki kekurangan suatu apapun dibandingkan bangsa Barat dan negara-negara maju. Ungkapan yang sangat pendek itu membuktikan seluruh perkembangan dan penaklukan ilmiah yang berhasil diraih oleh Iran sekarang ini.

Hari ini, di setiap atap rumah penduduk Bahrain, berdentang suara Allahu Akbar. Semua ini merupakan salah satu bukti dan pengaruh gerakan Imam Khomeini ra.

Burujerdi menilai, salah satu kriteria utama figur-figur Ilahi adalah prediksi dan memandang masa depan. Imam Khomeini ra selalu memandang ke depan melebihi masa yang ia hidup. Setelah beberapa masa, prediksinya selalu terjadi.

Sehubungan dengan masalah ini, Imam Khomeini ra pernah memperingatkan Duta Besar Uni Soviet supaya jangan melakukan serangan militer ke Afghanistan. Tidak mengacuhkan peringatan ini, selang beberapa waktu, prediksi Imam Khomeini menjadi nyata. Kekalahan Uni Soviet yang memalukan pun disaksikan oleh dunia.

Dalam setiap bentuk penilaian yang insaf dan analisa yang jujur, mereka yang bergerak di atas jalan pemikiran Imam Khomeini ra seperti Hizbullah dan Hamas pasti akan menggapai kemenangan, sekalipun mereka tidak pernah meyakini sama sekali. Contoh nyata untuk masalah ini adalah kemerdekaan daerah selatan Lebanon yang pernah dikuasai oleh rezim Zionis. Lantaran kemenangan ini, dunia meyakini bahwa kita bisa meneriakkan slogan "mampus Amerika" dan tidak perlu lagi takut terhadap adi daya ini.

Kala itu, ketika Revolusi Islam Iran baru saja menang, Imam Khomeini ra menandaskan, "Amerika tidak akan bisa berbuat apa-apa." Selama selang beberapa waktu lalu, Amerika betul-betul tidak mampu berkutik.

Prinsip seperti akhirnya berpindah ke dalam hati seluruh masyarakat dunia. Hasilnya adalah perlawanan penduduk Gaza yang layak dibanggakan dan persatuan antara Fatah dan Hamas. "Kami sebagai Republik Islam Iran mendukung persatuan ini. Persatuan ini adalah persatuan yang selalu didukung oleh Imam Khomeini ra," ujar Burujerdi.

Perang melawan konspirasi Inggris yang selalu ingin memunculkan perbedaan antara Ahli Sunah dan Syiah memperoleh tekanan khusus Imam Khomeini ra. Ia selalu mengajak seluruh umat Islam untuk senantiasa bersatu padu.

"Kami adalah penyeru persatuan Islam. Lembaga Pendekatan antar Mazhab dibangun di negara kita," ungkap Burujerdi.

Di penutup uraian, Burujerdi menghimbau supaya gerakan Renaisance Islami harus terwujud. Dengan gerakan ini, dunia akan meyakini bahwa umat Islam yang telah mampu membangun sebuah negara Islam juga mampu untuk memanajemennya.

(Shabestan/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Imam Khomeini Dihina, Parlemen Irak Beraksi


Seorang anggota Parlemen Irak telah menghina Imam Khomeini ra. Hal ini telah memicu kemarahan para wakil Parlemen Irak.

Beberapa hari yang lalu dalam sebuah perbincangan tentang perang Iran-Iraq, Haidar Mullah, juru bicara fraksi Al-Iraqiyah telah menghina Imam Khomeini ra pendiri Republik Islam Iran.

Menyusul penghinaan ini, 50 orang wakil Parlemen Irak, di antaranya Abdulhusain Abthan, wakil Parlemen Irak dari Partai Persatuan Nasional, mendesaknya untuk meminta maaf karena tindakannya ini.

Para wakil parlemen mengumpulkan tanda tangan dan mendesak Haidar Mullah untuk menghormati marjaiyyah dan tidak mencampuradukkan masalah politik dengan agama.

Abdulhusain Abthan, selain mengutuk penghinaan ini juga mengatakan, “Penghinaan kepada marja’ taklid merupakan garis merah bagi kami, dan tindakan seperti ini tidak bisa diterima dari siapa pun.”

Harakatul Jihad Irak juga mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengecam penghinaan kepada Imam Khomeini. Dalam pernyataan ini dikatakan, “Setelah bertahun-tahun berada dalam kesulitan dan kezaliman, Irak berusaha untuk mendukung kemuliaan dan keagungan insani, dan tindakan para Ba’ath ini telah melewati garis merah.”

Dalam pernyataan ini juga dikatakan, “Imam Khomeini merupakan salah satu symbol agama yang paling menonjol, bukan hanya untuk Syiah, bahkan untuk seluruh umat Islam. Beliau adalah simbol kebebasan untuk dunia. Untuk itulah penghina marja’ agung ini harus meminta maaf.”

Menurut laporan jaringan berita As-Sumariyah, ketua Parlemen Irak juga mengumumkan penentangannya terhadap penghinaan marja’ agama, dan ia mendesak Haidar Mullah untuk meminta maaf.

Sebagian marja’ Najaf Asyraf juga mengecam penghinaan yang dilakukan oleh juru bicara fraksi Al-Iraqiyah ini dan menuntutnya untuk segera menyatakan permintaan maafnya.

(As-Sumariyah/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Revolusi Islam Iran, Kekuatan Yang Diperhitungkan


Kemenangan kebangkitan rakyat Iran Islami pada tahun 1979 terjadi pada saat sebuah Super Power telah menamcapkan kekuasaan di negara selama 2500 tahun. Meskipun telah berkuasa lama, tetapi pondasi-pondasinya sangat rapuh. Ketika Revolusi Islam di bawah pimpinan Imam Khomeini ra terbit, Super Power ini runtuh sedemikian rupa sehingga seakan-akan tidak pernah ada sebelum ini.

Kemauan yang dimiliki oleh rakyat Iran untuk menyingkirkan segala bentuk Super Power ini diperoleh dari sebuah rasa kesadaran diri yang ditakuti oleh para diktator selama berabad-abad. Rakyat Iran memahami bahwa dalam bergerak menuju kesempurnaan diperlukan sebuah persatuan dan kseseragaman langkah. Mereka memahami dengan baik bahwa untuk mengenyahkan kezaliman dan kesewenang-wenangan seorang penguasa zalim, diperlukan sebuah tenaga penggerak bernama “kesatuan persepsi”.

Pada hakikatnya, persatuan dan keseragaman langkah rakyat Iranlah yang telah mampu mengenyahkan monopoli kekuasaan di dunia. Persatuan dan keseragaman langkah ini pulalah yang telah mampu mengangkat nama Iran di dunia sebagai sebuah kekuatan yang layak diperhitungkan; sebuah kekuatan sekalipun terbilang baru, tapi berakar menjulang dalam. Dengan dukungan “kekuatan rakyat”, Iran telah memiliki sebuah kekuatan tak tertandingi.

Dalam sebuah statemen, Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Spiritual Iran, pernah menegaskan, “Jika kekuatan Imperialisme dunia yang dikepalai oleh Amerika pada tahun-tahun pasca kemenangan Revolusi Islam mampu menemukan celah keberhasilan untuk mengenyahkan Iran, niscaya mereka tidak akan pernah menyia-nyiakannya.”

Hari ini, anti Imperialisme dan mendeklarasikan bebas diri dari imperialisme dunia merupakan salah satu dari slogan-slogan demonstrasi yang digelar di Iran. Ini merupakan sebuah prestasi yang sekarang dapat kita saksikan sedang meluas di seluruh kawasan negara-negara Islam dunia.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sejarah Berdirinya Negara Israel


Dimont, sejarawan Yahudi, dalam bukunya Jews, God, and History, menulis, “Ketika akhirnya, pada abad XII SM, bangsa Yahudi menetap di sebuah negara yang dapat mereka sebut sebagai milik mereka sendiri, mereka memilih sejalur wilayah yang merupakan koridor bagi tentara imperium-imperium yang sedang berperang. Bangsa Yahudi harus membayar pilihan ini, terbantai di medan pertempuran, dijual sebagai budak, atau dideportasi ke negeri-negeri asing. Tapi mereka terus datang ke tempat tua tersebut, membangun jalur pemukiman kecil baru yang secara berganti-ganti disebut sebagai Kan’an, Palestina, Israel, Judah, Judea dan sekarang Israel lagi”.


Perjalanan Sejarah Bangsa Israel

Sebagai seorang ilmuwan Yahudi dan juga mayoritas kaum Yahudi lainnya, Max I. Damon meyakini secara aqidah bahwa Palestina adalah milik bangsa Yahudi, karena nenek moyang mereka pernah mendirikan sebuah negara di sana.

Kawasan itu merupakan kawasan strategis yang menghubungkan antara Asia, Afrika dengan Eropa. Dan dengan doktrin aqidah yang demikian kental, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, bangsa Yahudi tidak mengenal putus asa untuk kembali ke Palestina.

Kaum Yahudi sekarang, secara umum, terdiri dari dua kategori besar. Pertama, disebut bangsa Sam (Semitic), mengaku sebagai keturunan Nabi Ibrahim as, lazim juga disebut bangsa Kan’an. Yang kedua adalah yang bukan Sam, seperti yang berkulit hitam dan sebagainya, bukanlah keturunan langsung dengan Nabi Ibrahim as.

Nabi Ibrahim as berasal dari Ur, Irak selatan, kemudian hijrah ke Kan’an Palestina sekitar tahun 2000 SM dan di situlah lahir Nabi Ishaq as, kemudian berputera Nabi Ya’qub as, kemudian berputera Nabi Yusuf as. Kan’an ketika itu terhitung sebuah desa, Al Qur’an menyebutnya Baduwi (QS 12:100).

Setelah Nabi Yusuf as menjadi pembesar di Mesir, Nabi Yaqub as beserta seluruh keluarganya hijrah ke Mesir. Di Mesir mereka mengalami kemajuan dan perkembangan, baik dari segi jumlah orang, maupun kekayaan dan kedudukan. Setelah Nabi Yusuf as meninggal dunia, kondisi sosial mereka yang semula terhormat mulai bergeser, karena mereka meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta jauh dari syariat Nabi Yusuf as. Kerajaan Mesir yang tadinya mereka kuasai, diambil alih kembali oleh penduduk asli Mesir dengan menghidupkan kembali Pharaoisme. Sejak itulah bangsa Yahudi mengalami nestapa, mereka diperbudak berabad-abad lamanya oleh bangsa Hykhos, nama suku dari Asia dan kemudian oleh bangsa Mesir sendiri.

Sesuai dengan kehendak Allah swt, kemudian Nabi Musa as lahir, dia keturunan bani Israel dari suku Levi, beliau diselamatkan Allah swt dari petaka Fir’aun, bahkan menjadi putra angkat sampai menginjak dewasa. Karena membunuh seorang bangsa Mesir untuk membela orang Yahudi, Nabi Musa as melarikan diri ke Madyan dan menikah dengan seorang puteri Nabi Syu’aib as. Setelah selama sepuluh tahun bersama keluarga besar Nabi Syu’aib as, Allah swt memerintahkannya kembali ke Mesir, sebagai seorang rasul yang diutus kepada bani Israel. Nabi Musa as pun berdakwah menyebarkan risalahnya, sampai beliau bersama sejumlah pengikutnya harus hijrah kembali ke Palestina, karena Fir’aun berkehendak membersihkan mereka dari bumi Mesir. Di dalam al Qur’an 5:21-26, perintah menuju Palestina memang datang dari Allah swt, tapi mereka enggan masuk ke Palestina meskipun dijamin kemenangan oleh Allah swt, bahkan berani berkata tidak sopan kepada Nabi Musa as, maka Allah swt mengharamkan bumi Palestina selama empat puluh tahun dan mereka terlunta-lunta di padang Tiih.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa hampir dua ratus tahun bangsa Yahudi terpontang-panting di kawasan tidak bertuan (padang Tiih) dan sekitarnya, sampai Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as berhasil mendirikan kerajaan di Palestina, tahun 1040-970 SM.

Kerajaan Nabi Daud as yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Sulaiman as itu hanya utuh selama beliau masih hidup, setelah Nabi Sulaiman as wafat, kerajaan itu pecah menjadi dua, Kerajaan Yahuda dan Kerajaan Israel. Pada tahun 721 SM, kerajaan Israel ditaklukkan oleh Tiglath-Pileser III, raja Assyyira. Pada tahun 586 SM, raja Nebuchadnezzar menaklukkan kerajaan Yahuda. Seluruh bangsa Yahudi digiring ke Babylonia untuk menjadi budak. Di Babylonia itulah para pemuka Yahudi menanamkan doktrin ‘janji kembali ke kampung halaman’ kepada para pengikutnya.

Kemudian pada tahun 550 SM, hampir seluruh kawasan Palestina diintegrasikan kedalam kekuasaan Persia. Ketika Alexander The Great menguasai Palestina pada tahun 334 SM, Alexander membawa bangsa Yahudi ke Yunani, dari sini mereka kemudian menyebar ke berbagai kawasan di Eropa. Kemudian sejak tahun 160 SM diintegrasikan kedalam kekaisaran Romawi.

Pengungsian besar-besaran bangsa Yahudi terjadi lagi pada tahun 66 M sampai tahun 70 M, setelah pemberontakan mereka terhadap penguasa Romawi gagal dan Gubernur Romawi pada waktu itu, Titus membantai puluhan ribu orang Yahudi untuk memadamkan pemberontakan. Demikianlah seterusnya sampai kedatangan Islam pertama kali dipimpin oleh Umar bin Khattab pada tahun 637 M, mengikuti kemenangan Islam terhadap Romawi Binzantium di Damascus pada tahun 635 M.

Pada tahun 1099 M tentara salib (crusaders) berhasil menguasai Palestina dan kota Yerusalem, dengan membantai 70.000 penduduknya, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Pada tahun 1187 M, Shalahuddin mengembalikannya kembali dalam pangkuan Islam dan tetap mempertahankannya, meskipun selama lima tahun sampai 1192 M, harus berperang dengan seluruh raja-raja besar Eropa seperti Richard (Inggris),F rederick (Jerman), Leopold (Austria), Louis (Perancis), raja Sisilia, yang berusaha merebut Yerusalem kembali, tetapi mereka tidak berhasil. Dalam naungan Islam, negeri Palestina dan kehidupan antar bangsa Yahudi, Filistin dan Arab mengalami perdamaian sampai negeri ini lepas dari naungan Islam pada tahun 1917 setelah Inggris mengalahkan bani Ustmaniyyah dalam Perang Dunia I, mandat Inggris ini dikokohkan dalam konferensi San Remo tahun 1920, dan pembela Palestina yang utama hilang bersamaan dengan runtuhnya bani Ustmaniyyah pada tahun 1924.


Beberapa Karakter Yahudi Di Dalam Al-Qur’an

Bila kita membuka Al Quran, maka pertama kali kita temukan adalah surah Al Fatihah yang kita baca setiap kali shalat. Surah pertama itu sudah mulai berbicara mengenai hakikat Yahudi, yakni mereka adalah orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhubi-‘alaihim). Demikian pula surah AlBaqarah , kita akan menemukan di dalamnya 83 ayat berturut-turut berbicara tentang Yahudi,dimulai dari ayat 40 sampai ayat 123. Kemudian disusul dengan puluhan ayat lainnya yang kesemuanya menyoroti tingkah laku kaum Yahudi dalam beragam kondisi dan masalah. Yang lebih menarik ialah, ayat-ayat tersebut mampu memberikan gambaran sebagian besar sejarah bangsa Yahudi yang penuh kenistaan serta memberikan kata kunci yang menjelaskan watak asli mereka. Kata kunci itu terdapat dalam ayat 120 surah Al Baqarah yang artinya, secara psikologis dan historis, mereka tidak pernah dan tidak akan ridha terhadap umat Islam. Meskipun pada waktu tertentu mereka memperlihatkan sikap manis dan tutur kata yang halus, mereka tetap melihat umat Islam dengan penuh curiga dan dendam dan menganggap umat Islam merupakan ancaman utama bagi eksistensi Yahudi. Catatan sejarah mengenai hal ihwal Yahudi ini kita temukan secara lengkap dalam Al Quran di pelbagai surah. Bahkan bani Israil adalah umat yang paling banyak disoroti Al Quran daripada umat lain sebab Yahudi adalah tipikal manusia unik. Perjalanan hidup mereka perlu dijadikan pelajaran agar tingkah laku, pola pikir dan sikap pembangkangan mereka terhadap kebenaran yang dibawa para rasul, serta kecenderungan mereka melakukan kerusakan di muka bumi tidak terulang kembali pada umat Nabi Muhammad. Juga agar kelicikan dan pengkhianatan mereka terhadap apa saja bentuk perjanjian dan dengan siapa saja, dapat kita waspadai dan diantisipasi secara baik sedari awal.


Latar Belakang Berdirinya Negara Israel

Bangsa Yahudi yang tinggal di perantauan, terutama di Eropa banyak dibutuhkan untuk menjadi kuli bangunan dan memajukan perekonomian, yang kesempatan itu menyebabkan mereka menjadi kelas menengah di Eropa, tetapi mereka tetap menjadi orang asing di Eropa, tahun 500 M. Mereka diintimidasi di Spanyol, tahun 1300 M diusir dari Inggris, tahun 1400 M diusir dari Perancis dan tahun 1500 M diusir dari Spanyol. Pada abad inilah Yahudi memperluas petualangannya sampai ke Eropa Timur, Rusia dan Amerika Selatan. Selama satu abad, 1600 M sampai 1700 M, kaum Yahudi berhasil menguasai pasar dan perekonomian Eropa, dan bahkan mereka melibatkan diri dalam pendalaman ilmu pengetahuan modern.Akhirnya mereka mulai melihat titik terang yang akan menyinari jalan ketika mereka hendak melangkah untuk kembali ke Palestina. Para ilmuwan mereka mulai berfikir merumuskan teori revolusi yang akan menghancurkan kehidupan manusia, dengan tujuan untuk mengacau dunias ehingga mempermudah jalan menuju Palestina.

Pada tanggal 1 mei 1776, tokoh Yahudi Nathan Bernbaum, mendirikan Zionisme Internasional, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika dideklarasikan. Yahuda Kalai (1798 – 1878), tokoh yang lain mempertegas perlunya negara Yahudi di Palestina. Izvi Hirsch (1795 – 1874), membuat studi agar diaspora Yahudi bisa mendirikan negara di Palestina. Moses Hess tokoh Yahudi membuat buku Roma dan Yerusalem. Theodore Herzl (1860 – 1904) membuat buku Der Yudentaat (Negara Yahudi) pada tahun 1896. Untuk dunia Islam mereka tiupkan revolusi nasionalisme, melalui Lawrence Of Arabia, mereka berhasil memecah belah negeri Arab untuk melepaskan diri dari khilafah Utsmaniyyah. Meskipun Eropa dan Rusia sudah berhasil dikacaukan, penghalang utama cita-cita bangsa Yahudi adalah khilafah Ustmaniyah, yang menjadi penjaga setia tanah Palestina.


Berdirinya Negara Israel

Berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding khilafah Utsmaniyyah, agar mereka dapat memasuki Palestina. Pertama, pada tahun 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab sultan dengan ucapan “Pemerintah Ustmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diijinkan menetap di Palestina”. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.

Kedua, Theodor Hertzl, penulis Der Judenstaat (Negara Yahudi), founder negara Israel sekarang, pada tahun 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid sambil meminta izin mendirikan gedung di al Quds. Permohonan itu dijawab sultan “Sesungguhnya imperium Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”. Melihat keteguhan sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan khilafah Ustmaniyyah Karena gencarnya aktivitas Yahudi Zionis akhirnya Sultan pada tahun 1900 mengeluarkan keputusan pelarangan atas jamaah peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada tahun 1901 sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Pada tahun 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap sultan Abdul Hamid untuk melakukan risywah. Diantara risywah yang disodorkan Hertzl kepada sultan adalah :
1. 150 juta poundsterling Inggris khusus untuk sultan.
2. Membayar semua hutang pemerintah Ustmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling Inggris.
3. Membangun kapal induk untuk menjaga pemerintah dengan biaya 120 juta Frank.
4. Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga.
5. Membangun Universitas Ustmaniyyah di Palestina.

Semuanya ditolak sultan, bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan “Nasehati Mr. Hertzl agar dia tidak terlalu serius menanggapi masalah ini. Sesungguhnya saya tidak sanggup melepaskan kendati hanya satu jengkal tanah itu, Palestina, sebab bukan milik pribadiku. Tapi milik rakyat, rakyatku yang sudah berjuang memperolehnya sehingga mereka siram dengan darah. Silahkan Yahudi itu menyimpan kekayaan mereka yang milyaran itu. Bila pemerintahanku sudah tercabik-cabik, saat itu mereka baru bisa menduduki Palestina dengan gratis. Adapun jika saya masih hidup, maka tubuhku terpotong-potong adalah lebih ringan ketimbang Palestina terlepas dari pemerintahanku. Kasus ini tidak boleh terjadi. Karena saya tidak kuasa melihat tubuhku diotopsi sedang nadiku masih berdenyut”.

Berbagai cara kotor dilancarkan Yahudi untuk menghancurkan dunia Islam. Mereka mulai dengan menghancurkan Khilafah Utsmaniyah agar dapat menduduki Palestina. Mereka melakukan lobi dengan Inggris, Perancis, Rusia dan Amerika.

Pada 1907, meningkatnya aktivitas Freemasonry untuk menjatuhkan Sultan Abdul Hamid dari kursi khilafah. Di 1917, perjanjian Balfour untuk memberikan Palestina sebagai tanah air bagi Yahudi. Di 1927, meningkatnya pembangunan rumah dan gedung milik Yahudi di Palestina atas bantuan Inggris. Di 1937, Yahudi di Palestina mulai membangun kekuatan terorisme bersenjata. Kemudian mereka mendapat bantuan senjata dan latihan militer dari sekutu ketika terlibat dalam PD II. Di Nopember 1947, dikeluarkanlah resolusi PBB tentang pembagian tanah Palestina antara penduduk Palestina dengan Yahudi pendatang itu. Kemudian menyusul pembubaran Ikhwanul Muslimin dan pembunuhan terhadap Hasan al Banna yang banyak berperan membela Palestina. Di 1956, Sinai dan Jalur Gaza dikuasai Israel setelah gerakan Islam di kawasan Arab dipukul. Di 1967, semua kawasan Palestina jatuh ke tangan Yahudi, demikian juga dataran Tinggi Golan dan Sinai. Terjadi setelah penggempuran terhadap Gerakan Islam dan hukuman gantung terhadap Sayyid Quthb. Di 1977, serangan terhadap Libanon dan perjanjian Camp David yang disponsori Anwar Sadat hingga tahun 1988, tahun di mana Yasser Arafat mengirimkan surat rahasia untuk mengakui eksistensi Israel, berjanji hidup damai dengan Yahudi dan akan menumpas segala aktivitas rakyat Palestina yang melawan Israel.

Beberapa tokoh penting di balik berdirinya negara Israel adalah :
1. Theodore Hertzl
2. Arthur J Balfour
3. David ben Gurion
4. Golda Meir
5. Gamal Abdel Nasser
6. Moshe Dayan
7. Yasser Arafat
8. Anwar Sadat
9. Jimmy Carter
10. Menachem Begin
11. Yitzhak Rabin
12. Bill Clinton
13. Benjamin Netanyahu
14. Ariel Sharon
15. dan lain-lain

Berbagai kejahatan dilakukan Yahudi terhadap dunia terutama Islam melalui ideologi Nasionalisme, Kapitalisme, Marxisme, Komusnisme dan lainnya. Menurut Dr Jusuf Qordhowi, di masa yang akan datang tantangan kejahatan besar Yahudi terhadap Islam adalah kejahatan Zionisme, kejahatan Naturalisasi dan kejahatan Globalisasi.

“Israel akan berdiri dan akan tetap berdiri sampai Islam menghancurkannya sebagaimana telah dihancurkan sebelum ini.” (Imam Syahid Hasan Al Banna)

Perangkum : Memed Sosiawan.
Maraji’/Kepustakaan:
1. Abu Ridha, Palestina, Nasibmu Kini. Yayasan SIDIK, Jakarta, 1994.
2. Ja’far, Fathuddin MA, Dunia Islam Versus Tata Dunia Baru. LPPD Khairu Ummah, Jakarta,1994.
3. Abu Ridha, Rencana Zionis Melumpuhkan Shahwah Islamiyah. Yayasan SIDIK, Jakarta, 1995 Suleiman


KAWAN-KAWAN ISRAEL

http://www.iiacf.org

Berdirinya International Israel Allies Caucus Foundation (IIACF) Dirintis oleh MK Rabbi Binyamin Elon, International Israel Allies Caucus Foundation (IIACF) didedikasikan untuk tujuan mempromosikan komunikasi dan berbagi informasi antar parlemen dan legislator di dunia yang mana mereka bersama-sama meyakini bahwa Negara Israel berhak berdiri dalam damai dengan memiliki batas-batas negara yang aman.

Di tahun 2004, sekelompok anggota Israeli Knesset berkumpul untuk mmbentuk Knesset Christian Allies Caucus. Anggota-anggota Knesset ini berasal dari berbagai partai politik di Israel. Mereka berkumpul untuk membangun dukungan dan kekuatan bagi Negara Israel dari berbagai politisi dan pemimpin dunia. Kaukus tersebut dibentuk untuk mempererat jalinan anggota-angota Knesset dengan pemimpim pro-Israel di dunia.

Kemudian, di tahun 2006, U.S. House of Representatives membentuk kaukus yang bersifat resiprokal (timbal balik) atas Knesset Caucus. Semenjak itu, berbagai kaukus serupa terbentuk di Uruguay, Brazil, Afrika Selatan, Finland, Inggris, Jepang, Philipina, Korea Selatan, Kanada, Malawi, and daftarnya terus bertambah.

International Israel Allies Caucus Foundation (IIACF) dibentuk untuk menjadi payung atas berbagai aktivitas yang terkoordinasi antar kaukus di berbagai Negara.

Bersama-sama, mereka bekerja untuk menyampaikan satu suara terkait isi-isu Negara Israel di seluruh dunia.


DEKLARASI IIACF

Deklarasi Tujuan Dan Solidaritas Untuk Rakyat Dan Negara Israel untuk International Israel Allies Caucus Foundation.
1. Dipresentasikan Kepada Knesset Christian Allies Caucus, February 19, 2008
2. Diratifikasi oleh The International Israel Allies Caucus Chairmen, May 22, 2008

Panggilan untuk persatuan orang-orang yang memiliki niat baik untuk mendeklarasikan kepada mereka yang berdiri bersama kebebasan, demokrasi dan keadilan harus berdiri bersama Israel di masa-masa berat ini.

Dimana anggota-anggota Yahudi, Kristen dan kepercayaan lainnya mengakui sejarah dan pentingnya spiritualitas tanah Israel dan kota Jerusalem bagi orang-orang Yahudi;

Dimana pria dan perempuan yang memiliki nurani mengutuk penganiayaan dan penderitaan orang-orang Yahudi sepanjang zaman dan memutuskan bahwa holocaust atas orang-orang Yahudi tidak boleh terjadi lagi;

Dimana Israel telah menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang Yahudi dari berbagai belahan dunia yang mencari keselamatan dari penganiayaan dan melindungi hak-hak minoritas dalam batas-batas Negara Israel;

Dimana lebih dari 22,000 serdadu Israel telah mengorbankan nyawa mereka sejak kemerdekaan di tahun 1948.

Dimana Negara Israel adalah satu-satunya Negara percontohan demokrasi pluralisme di Timur Tengah, dan walaupun tengah berperang dengan teroris Palestina, Israel tetap menjangkau wara-warga sipil Palestina yang tidak berdosa melalui bantuan obat dan kemanusiaan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan;

Dimana International Israel Allies Caucus Foundation didirikan untuk memberikan penjelasan yang jelas atas ikatan moral dan etika yang mengikat Yahudi, Kristen dan manusia dengan keyakinan di seluruh dunia; Dimana, Ten Commandments and Injil Hebrew, atau Taurat, telah menjadi fondasi peradaban barat selama tiga ribu tahun dan kini menjadi fondasi moral bagi berbagai lingkungan di dunia;

Maka diputuskan dan dipastikan oleh suara bulat anggota-anggota International Israel Allies Caucus Foundation (IIACF) dan organisasi-organisasi terkait, bahwa :
(1) Rakyat Israel berhak secara mutlak hidup dengan damai dan aman di tanah air mereka yang bersejarah.
(2) Sebagai Negara yang berdaulat yang diakui PBB, Israel berhak menjalankan kebijakan imigrasi dan naturalisasi dan mendorong serta menerima orang-orang Yahudi dari berbagai belahan dunia yang ingin kembali ke Israel.
(3) Jerusalem adalah dan seharusnya berupa ibukota Israel dan orang-orang Yahudi yang tidak terbagi dan karenanya seluruh Negara di dunia mendirikan kantor perwakilannya di Jerusalem. (4) Walau kita semua menginginkan perdamaian, namun kita memperlakukan komunitas internasional yang menekan Israel untuk bernegosiasi dan membuat perjanjian dengan orang-orang yang ingin menghancurkan Israel, sebagai musuh.
(5) Rezim Iran yang sedang mengembangkan senjata pemusnah massal dengan tujuan untuk memusnahkan Israel jelas menunjukkan ancamannya kepada eksistensi Negara Israel dan harus dilawan.
(6) Akti militer Israel yang melindui rakyatnya adalah sah sesuai hokum internasional dan sejaaln dengan Piagam PBB Artikel 51, yang menyebutkan hak setiap Negara untuk bertindak membela rakyatnya.
(7) Kami mendukung Pemerintah Israel untuk bertindak sesuai hak dan kewajibannya kepada penduduknya di saat harus membela wilayahnya yang sah dan bertindak dahulu sebelum diserang jika diperlukan, untuk memastikan perlindungan bagi penduduknya dan keberlangsungan eksistensi Negara Israel.
(8) Keadilan sosial mengharuskan besarnya kompensasi untuk pengungsi Yahudi dari tanah Arab setara dengan besarnya kompensasi bagi pengungsi Arab sejak tahun 1948.

Misi IIACF International Israel Allies Caucus Foundation (IIACF) berdiri untuk secara jelas memperkuat dukungan internasional atas Israel di berbagai pemerintah dan parlemen di seluruh dunia. Ini dicapai melalui pembentukan kaukus-kaukus resmi parlemen untuk mendukung Israel dan pengembangan berbagai aktivitas dan kebijakan untuk mendukung Israel. IIACF bertujuan untuk memperkuat, memfasilitasi dan menyatukan koalisi anggota-anggota parlemen yang sudah mendukung Israel dengan cara memberikan pembelajaran terkait isu-isu Israel danmenyediakan informasi yang relevan bagi mereka dan sumber daya dan alat untuk memformulasikan pembentukan kebijakan dan aksi legislatif. Hal yang unik dari IIACF adalah jaringan global anggota-anggota parlemen, yang mana menciptakan pengaruh yang lebih efektif (untuk mendukung Israel) dari dalam parlemen masing-masing negara dan melalui strategi yang terkoordinasi antar sekelompok negara.

Isu Yang Diusung IIACF IIACF memiliki kesempatan yang unik yaitu bisa mengkoordinasikan anggota-anggota parlemen dari berbagai pemerintahan di dunia untuk membahas isu-isu Israel. isu-isu tersebut meliputi kerja sama industri, keamanan hingga memunculkan ide-ide untuk mendamaikan Timur Tengah. IIACF menitikberatkan pada penyatuan suara kaukus-kaukus pembela Israel untuk isu-isu Israel di pemerintahan masing-masing dan di dunia.


Kantor-Kantor IIACF

1. USA
1901 Pennsylvania Ave.
Suite 901
Washington, DC 20006
USA

Phone: 202-280-1178
Fax: 202-204-6263
Email: usa@iiacf.org

2. Israel

12 Derech Shechem
Jerusalem 97200
Israel

Phone: +972 77 300 8762
Email: israel@iiacf.org

3. Latin America

Caixa Postal 02385
EQN 204/404 – Asa Norte
Brasilia – D.F.
CEP: 70.842-970
Brasil

Phone: +55 61 3302 1336
Email: Lamerica@iiacf.org


Negara-Negara Anggota IIACF

1. Brazil
Caucus Chair: Deputada Fatima Pelaes

2. Canada
Caucus Chair: MP James Lunney


European Union

1. Finland
Caucus Chair: MP Hannu Takkula

2. Germany
Caucus Chair: MP Klaus Braehmig

3. Hungary
Caucus Chair: MP Peter Kiss

4. Israel
Caucus Chair: MK David Rotem

5. Italy
Caucus Chair: Senator Lucio Malan

6. Japan

7. Malawi
Caucus Chair: Minister Joyce Banda

8. Paraguay
Caucus Chair: Deputy Juan Artemio Barrios

9. The Philippines
Caucus Chair: Senator Alan Cayetano

10. South Africa
Caucus Chair: MP Kenneth Meshoe

11. South Korea
Caucus Chair: Congresswoman Cho Bae Sook

12. Switzerland
Caucus Chair: MP Theophil Pfister

13. United Kingdom
Caucus Chair: MP David Burrows

14. United States.
Caucus Chair: Rep Eliot Engel, Rep. Doug Lamborn, Rep. Shelley Berkley & Rep. Trent Franks

15. Uruguay.
Caucus Chair: Senator Ruperto Long


Dukungan Atas Negara Israel Dan IIACF

“Kita harus membela Israel bukan hanya dari serangan terroris, tapi juga melalui diplomasi dan tindakan di arena internasional. Kurangnya kebenaran (atas Negara Israel) di pasar internasional lebih buruk daripada kurangnya uang” - Senator Lucio Malan, Chairman of the Italy Israel Allies Caucus

“Israel yang telah berdampingan dengan teguh bersama USA selama enam abad kini sangat membutuhkan dukungan kita. Saya menginginkan kaukus ini menjadi forum di mana keadaan Israel yang sedang merana menjadi pertimbangan dan membentuk berbagai kebijakan untuk mengatasinya.” - Rep. Trent Franks, Congressional Israel Allies Caucus Co-Chair "Melalui hasil kerja IIACF, kaukus-kaukus pro-Israel secara kolektif bekerja untuk memastikan masa depan yang aman bagi Israel. Saya menghimbau kamu untuk bergabung dengan kami dan membuat perbedaan sekarang juga demi sekutu terkuat dan teman terloyal kami, Negara Israel.” - Rep. Doug Lamborn, Congressional Israel Allies Caucus Co-Chair

"Komunitas evangelis dapat menjadi faktor penting dalam hubungan Israel dengan dunia. Israel harus memandang mereka sebagai rekan sejati di arena internasional.” - MK Yoel Hasson, Knesset Christian Allies Caucus Member

"Saya bersemangat untuk mendengar pekerjaan penting yang dicapai oleh yayasan ini (IIACF), bukan hanya oleh orang Israel sendiri tapi juga seluruh dunia. Seperti yang kita ketahui, IsraeI kini hidup di bawah bayang-bayang yang menyeramkan, tetangga yang mengancam… namun dunia harus mengetahui bahwa Amerika berdiri bersama Israel.” - Rep. Mike Pence, Congressional Israel Allies Caucus


IIACF Chairman’s Conference 2012

Tahun ini, konferensi tahunan IIACF akan diselenggarakan di Jerusalem, 2-4 Oktober 2012.

Dikutip Dari Buku Sejarah berdirinya Negara Zionis

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mesir Pasca Mubarak


Nilai strategis Mesir telah melegenda sejak dulu hingga era modern. Ditakdirkan Tuhan menjadi salah satu cradle of civilization yang tertua di dunia dengan lembah sungai Nil yang subur dan monumen-monumen megah seperti Pyramid dan Sphinx, Mesir juga adalah saksi bagi kejayaan Alexander The Great dan Ratu Cleopatra. Dalam sejarah misi profetik Tuhan, Mesir juga saksi pembebasan Nabi Musa terhadap umat Yahudi dari perbudakan Fir’aun, tempat eksodusnya Maryam dan Nabi Isa dari penindasan Herodus dari Roma, dan daerah asal Maria Qibtiya, budak perempuan hadiah dari Muqauqis Kepala Gereja Koptik abad 6 M yang diperistri Nabi Muhammad.

Di era modern, pasca Perang Dunia II, sejak diproklamirkan Negara Israel tahun 1948 hingga kini, Mesir sebagai tulang punggung kekuatan Arab telah menggelar perang dengan Negara Zionis itu empat kali pada tahun 1948, 1956, 1967, dan 1973. AS sebagai adi daya baru pengganti Inggris pasca PD II amat sadar dengan kekuatan geopolitik Mesir di kawasan Timteng sebagai pusat stabilitas politik.

Segera saja Jimmy Carter, Presiden AS ke-39, yang resmi menjabat per 20 Januari 1977, intensif mendekati Presiden Mesir Anwar Sadat agar bersedia berdamai dengan Israel, musuh bebuyutannya sepanjang 29 tahun.

Upaya Carter sukses dengan penandatanganan Camp David Accords antara Menachem Begin PM Israel dan Anwar Sadat pada tanggal 26 Maret 1979. Kesepakatan damai ini ditentang keras rakyat Mesir dan Negara-negara Arab. Sejak itu Mesir dikucilkan dari Liga Arab, dan puncaknya adalah tragedi pembunuhan Anwar Sadat saat parade militer pada 6 Oktober 1981 oleh perwira tentara ekstrimis.


Status Quo Timur Tengah

Pilihan Sadat diteruskan oleh Mubarak hingga kini. Sejak itulah peta politik Timteng beralih total dari status quo perang menjadi status quo damai antara Arab-Israel. Dengan Camp David Accords 1979, Israel tidak lagi dihantuiresiko perang dengan Mesir dalam masa 3 dekade sebelumnya. Keuntungan politik itu berangkat dari kesadaran bahwa ‘tak akan ada perang dan damai di Timteng tanpa keterlibatan Mesir’. Dalam hal ini, Mesir memerankan jembatan Israel satu-satunya untuk berdialog dengan dunia Arab.

Meski hanya Cairo dan Amman yang bersedia membuka hubungan diplomatik penuh dengan Israel, namun perlu dicatat sepanjang 3 dekade telah dibuka beberapa kantor perwakilan dagang di Negara-negara Arab dan Teluk, akibat pengaruh langsung dari Mesir.Selain itu, Mesir di bawah rezim Mubarak adalah kompas keamanan asasi dalam hal

menjaga keamanan dan kelangsungan Israel, pemimpin proyek normalisasi Arab dengan Israel, dan pemerang setiap jenis ekstrimis politik Islam di Timteng.

Peran terbaru Mesir dalam pergolakan internal Palestina sejak kemenangan Hamas dalam pemilu Palestina tahun 2006 yang ditolak oleh Barat dan Israel, adalah menjadi mediator perundingan Israel dan Palestina, serta dialog rekonsiliasi faksi-faksi politik Palestina dengan membatasi ruang gerak Hamas yang radikal.

Dengan segala ‘prestasi’ Mesir tadi untuk kepentingan AS dan Israel, maka terancamnya posisi Mubarak dan instabilitas politik di Mesir dalam aksi Revolusi Nil lebih dari 2 pekan di seantero Mesir, sangat merisaukan AS dan Israel terkait status quo damai. Dengan asumsi tumbangnya rezim Mesir yang pro Barat dan situasi arah politik yang lepas dari kendali AS, tentu akan mengubah seluruh perimbangan kekuatan geopolitik di Timteng.

Di antaranya membuka peluang bagi bangkitnya kelompok-kelompok anti-Israel dan AS di Mesir dan dunia Arab. Resiko yang paling mengerikan dan tak diharapkan oleh Barat adalah jika terusan Suez sebagai urat nadi perekonomian dunia ditutup oleh pemerintah baru yang anti Barat. Belum lagi resiko guncangan ekonomi dunia yang dipicu oleh kenaikan harga minyak akibat ketegangan dan perubahan peta politik di Timteng pasca Mubarak ini.

Sehingga amat beralasan jika Gedung Putih sangat sibuk memainkanstrategi dan rapat lembur untuk mengatur sebuah proses transisi politik yang tertib dan damai (orderly transition) di Mesir. Secara khusus Presiden Obama telah mengutus Frank Wisner untuk berdialog dengan Mubarak dan ‘mengatur’ bagaimana seharusnya transisi politik di Mesir agar tak terjadi turbulensi politik yang membahayakan kepentingan AS di kawasan.

Sebab AS tak ingin mengulangi kesalahan fatal Presiden Carter pada 1979, saat AS kehilangan sekutu utamanya Syah Iran yang digusur oleh Revolusi "Islam" pimpinan Ayatollah Khomeini. Bagi Gedung Putih tidak lah penting siapa figur pengganti Mubarak lebih dari mengamankan kepentingan jangka panjangnya sendiri.


Tiga Skenario

Dalam pengamatan saya setidaknya tersedia 3 kemungkinan skenario orientasi politik Mesir pasca Mubarak. Pertama, orientasi politik yang sepenuhnya persis Iran ala rezim Mullah dengan doktrin Revolusi Islam-nya yang menekankan ‘perlawanan’ terhadap hegemoni AS. Meski ada imbauan dari Ali Khamenei agar rakyat Mesir meniru Revolusi "Islam" Iran ’79, namun skenario ini paling kecil kemungkinannya. Selain akan ditentang keras AS, internal Mesir sendiri, seperti ditegaskan Jubir kelompok oposisi utama Ikhwan Muslimun menolaknya dan meyakinkan bahwa ini adalah revolusi rakyat bukan replika dari revolusi "Islam" di Iran (Kompas, 6 Februari 2011)

Kedua, muncul juga kemungkinan bahwa orientasi politik Mesir tetap status quo pro-Barat dengan simbol Omar Sulaiman yang digadang AS akan meneruskan kebijakan Mubarak.

Menjadi sekutu kuat Israel secara politik dan menganut sistem pasar liberal dalam ekonomi. Skenario ini meski terbuka lebar, namun tidak realistis karena dua hal. Obama yang berasal dari Partai Demokrat ingin melihat Mesir sepenuhnya demokratis, dan tentu saja bakal melibatkan peran kelompok oposisi berhaluan Islam sepopulerIkhwan Muslimun di ruang pengambilan keputusan. Konsekuensinya jelas bahwa kebijakan-kebijakan AS dan agenda Israel di kawasan tak akan sepenuhnya diterima ‘yes man’, meski IM juga bisa akomodatif dan pragmatis dalam hal yang bukan prinsip.

Ketiga, Mesir yang demokratis pasca Mubarak akan memilih orientasi politik yang independen dan seimbang dalam menjaga jarak dengan semua kekuatan dunia yang berkepentingan di Timteng. Persis seperti yang telah diperankan oleh Turki di bawah kendali Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Tidak terkooptasi AS dan Israel, bisa bekerja sama dengan Iran, namun juga tidak memusuhi Barat secara umum. Pilihan orientasi politik yang moderat dan independen inilah kiranya yang paling mungkin diwujudkan di Mesir.

Selain pengalaman Turki bisa berulang di Mesir dengan naiknya kelompok Islam ke panggung kekuasaan, secara psikologis juga amat memungkinkan. Mengingat rakyat Arab pada umumnya dan Mesir khususnya telah muak selama 30 tahun dengan status quo pro-Barat, namun juga tak mungkin mengcopy paste Revolusi "Islam" Iran yang anti-Barat sebab perbedaan doktrin Sunni dan Syiah. Maka prospek orientasi ketiga ini hemat saya amat menjanjikan. Demi kelangsungan perdamaian dunia yang berangkat dari independensi sikap politik pilar stabilitas Timteng sestrategis Mesir.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Pribumi Dalam Sejarah; Kisah Pinah, Babu Bumiputra Yang Bikin Belanda Gempar

Kisah bumiputra asal Indonesia yang dipekerjakan sebagai babu di negeri Belanda. Menderita di bawah penindasan.

Babu dalam "Pameran Perempuan 1813-1913". (Foto: repro buku "Di Negeri Penjajah" karya Harry A. Poeze).

Pinah hanya bisa pasrah. Tak bisa baca tulis, tak punya uang, dan tak punya kenalan, famili, atau teman di negeri Belanda membuatnya tak punya pilihan selain tetap tinggal bersama majikannya yang “buas.” Sebagai babu (pembantu rumah tangga) yang didatangkan langsung dari Jawa, gadis berusia sepuluh tahun itu harus siap sedia 24 jam. Majikannya memperlakukannya dengan kasar. Dia hanya mendapat roti kering dan air dingin meski musim dingin. Sandangan pun hanya kebaya dan sarung yang dibawa dari kampung halaman.

Berita Pinah yang malang sampai ke banyak telinga. Beberapa orang bersimpati meminta izin untuk merawatnya, namun majikannya malah marah. Alasannya, dia mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan Pinah. Oleh karena itu, Pinah harus merasakan dirinya sebagai budak.

Pinah salah satu dari ratusan bumiputra yang menjadi babu di negeri Belanda. Banyak dari mereka dibawa oleh majikan yang pulang atau sekadar liburan. Keintiman dan kepercayaan di antara keluarga majikan dan babunya yang membuat para majikan lebih memilih membawa babu mereka ketimbang mencari babu baru yang belum mereka kenal. “Di mata anak-anak Eropa, pengabdian baboe untuk mereka adalah tak terbatas,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas.

Namun, tak sedikit pula babu yang didatangkan ke Belanda. Tak punya kekuatan hukum, status mereka tak ubahnya budak. “Dalam banyak hal orang-orang pribumi itu diperlakukan dengan cara yang mengingatkan orang pada Zaman Pertengahan di Eropa, ketika tuan budak dapat melakukan apa saja terhadap para budaknya,” tulis A. Muhlenfeld, seorang amtenar Hindia Belanda, dalam artikelnya sebagaimana disitir Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah.

Alpanya perhatian pemerintah salah satunya karena tak adanya catatan sipil para babu itu. Para majikan atau agen tak mendaftarkan mereka ke dinas sipil lantaran mereka biasanya tinggal hanya untuk sementara. Kantor-kantor pemerintah pun membiarkan dan enggan mencatat karena hampir semua babu itu tak tahu tanggal kelahiran dan tak punya nama keluarga. Akibatnya, selain jumlah para babu tak diketahui pasti, status plus hak mereka pun tak jelas. Hal itu menimbulkan celah bagi para majikan untuk memperlakukan mereka sewenang-wenang.

Seorang yang bersimpati kepada Pinah lalu berkirim surat kepada Muhlenfeld, pegawai pemerintah Hindia Belanda yang punya perhatian pada nasib bumiputra yang kebetulan pada Maret 1916 sedang cuti ke Belanda. Dia langsung mendatangi C. Th. van Deventer, penggagas Politik Etis, untuk meminta masukan. Van Deventar tak memberinya solusi, justru memintanya mencari pemecahan masalah yang sudah sering didengarnya itu.

Selain mengirimkan sepucuk nota yang menerangkan keadaan pilu para babu di Belanda kepada Kementerian Penjajahan, Muhlenfeld juga membawa persoalan tersebut ke publik. Artikelnya di majalah Koloniale Studien, “Nasib Para Babu Pribumi yang Tinggal di Nederland”, bukan hanya membuat majikan Pinah kena “tembak”, tapi mata para birokrat juga terbelalak. Selama ini para birokrat membiarkan kasus yang mereka ketahui itu sehingga Pinah dan ratusan babu lain harus menjalani hari-hari yang berat.

Dalam artikelnya, Muhlenfeld mengusulkan beberapa langkah perlindungan para babu. Di antaranya pendirian penampungan sementara para babu yang menganggur dan sedang mencari pekerjaan. Dengan begitu, mereka tak mesti susah payah cari tumpangan sebelum mendapat tempat menetap atau pulang ke kampung halaman. Jauh sebelumnya, pada 1898 usul itu pernah berhasil untuk menampung para pelaut Jawa yang bekerja di maskapai pelayaran Belanda.

Usul Muhlenfeld menarik dukungan kaum etis. G.J. Oudemans, utusan pemerintah yang menangani urusan pribumi di Belanda, mendukung penuh usulan tersebut. Pada Mei 1916, dia mulai menjalankan usahanya yang dia sebut tempat perawatan orang Hindia yang sementara tinggal di Belanda. Selain mendorong pendataan pribumi dan Tionghoa oleh pemerintah Belanda, Oudemans juga mengadvokasi pasangan suami-istri Soekantadisastra-Itji asal Sunda.

Pasangan itu menjadi pesakitan lantaran tak mendapatkan hak penginapan dan pakaian sesuai yang tertera dalam kontrak. Namun advokasi itu tak berhasil meski sudah ada gugatan ke pengadilan. Seusai Soekantadisastra keluar rumah sakit akibat TBC, mereka pulang ke Hindia pada Februari 1920. Seminggu setelah tiba, Soekantadisastra meninggal. Istrinya lalu kerja menjadi babu pada sebuah keluarga Belanda di Nice, Prancis.

Perhimpunan Oost en West pun terpantik mewujudkan cita-citanya yang sudah lama diimpikan. Dengan bantuan pemerintah, pada 1919 lembaga itu mendirikan persinggahan untuk menampung dan menolong para babu di Belanda.

Nasib Pinah mulai berubah setelah masalah babu muncul ke publik. Majikannya menitipkan dia ke rumah sanak-famili di luar negeri, di mana dia mendapatkan perlakuan baik. Ketika dia kembali ke majikannya dan mendapat perlakuan tak manusiawi, kejaksaan Amsterdam tak lagi tinggal diam. Melalui Dewan Perwalian Amsterdam II, Pinah lalu dipindahkan ke Lembaga KR Santo Joseph-Nazareth di Venlo. Meski tak bisa mendapatkan kesempatan pulang ke Hindia, di sana Pinah mendapatkan perlakuan manusiawi dan mendapat pendidikan singkat untuk dipersiapkan sebagai tenaga babu atau pelayan toko.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: