Presiden ketiga RI BJ Habibie menjelaskan mengenai awal kehadiran Islam di nusantara. Menurut dia, Islam datang ke Indonesia dan diperkenalkan pertama kali lewaat bangsa Cina, melalui laksamana Cheng Ho.
"Hadiah terbesar bangsa Cina ke Indonesia adalah agama Islam," kata Habibie ketika memberikan ceramahnya di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta, Jumat (29/8).
Habibie menjelaskan, Islam lahir 14 Abad silam. Saat itu, Islam memang belum sampai ke jazirah Tiongkok. Baru ketika jalur perdagangan dibuka 700 tahun kemudian Islam sampai di Cina. Kemudian, Laksamana Cheng Ho datang ke Nusantara membawa misi damai dan Islam pun dikenal masyarakat Indonesia ketika itu.
"Ini yang sering saya katakan ketika saya bertemu siapa pun, termasuk tokoh dunia. Ketika saya ke Cina, saya diberitahu, umat Islam yang saya temui ini lah orang-orang yang memperkenalkan Islam ke negara Anda," kata dia.
"Saya bilang ke pimpinan Beijing, saya bilang ke pimpinan Jerman, agama Islam datang ke Indonesia damai bukan peperangan," kata dia.
*****
BJ Habibi: Hadiah Terbesar Cina adalah Islam, Laksamana Ceng Ho, Gusdur dan Walisongo
Bj Habibi (sumber Tempo.com)
Sebagian besar masyarakat Indonesia hanya mengetahui bahwa Islam datang ke Indonesia melalui orang-orang gujarat (India), Hadramaut (Yaman), dan Persia (Iran). kenyataannya, selain dari tiga negara tersebut, islam datang pula dari negara Cina.
Pada masa Nabi Muhammad, hubungan dagang negara Cina dan Arab telah terjalin demikian erat, bahkan Muhammad Saw juga menjadi perantara dalam perdagangan mereka. Orang orang Cina itu kemudian mempelajari islam dan menyebarkan islam ke negara mereka terutama di Provinsi Guang Dong (Guang Zhou) dan Fujian.
Pada abad ke 15 orang-orang Cina dari Guang Dong dan Fujian datang ke Indonesia, mereka melakukan perdagang, pertanian, dan pertukangan. Orang-orang China (Tionghoa) muslim menyebarkan ajaran agama Islam, beberapa daerah tujuan mereka adalah Sambas, Lasem, Palembang, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya.
Pada tahun 1405-1433, rombongan Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam beberapa kali singgah di Indonesia, terutama Sumatera dan Jawa, mereka menyebarkan agama Islam di bumi pertiwi.
ceng ho (ilustrasi divapres.com)
*****
Sejarah penyebaran Islam di indonesia melalui orang-orang Cina diakui oleh mantan Presiden BJ Habibie, dalam penjelasannya, habibi menyatakan bahwa islam pertamakali datang melalui laksamana Cheng Ho yang dikenal sebagai petualang laut yang mempunyai misi damai diseluruh dunia,
"Ini yang sering saya katakan ketika saya bertemu siapa pun, termasuk tokoh dunia. Ketika saya datang ke negara Cina, saya diberitahu bahwa umat Islam yang saya temui ini-lah orang-orang yang memperkenalkan Islam ke negara saya, Saya bilang ke pimpinan Beijing, saya bilang ke pimpinan Jerman, agama Islam datang ke Indonesia dengan damai bukan peperangan,"
(Bj Habibi)
Bahkan mantan presiden Gusdur mengaku bahwa ia sebenarnya adalah keturunan Putri Campa yang lahir di Tiongkok, kemudian menjadi selir Raja Majapahit Brawijaya V, dari pernikahan tersebut lahirlah dua anak bernama Tan Eng Hian (Laki-laki) dan Tan A Lok (Perempuan), Tan Eng Hian kemudian mendirikan kerajaan Demak yang kemudian lebih dikenal sebagai Raden Fatah (kakek buyut Gusdur).
Sedangkan Tan A Lok, menikah dengan seorang ulama muslim keturunan Tionghoa bernama Tan Kim Han, salah satu tokoh yang menggulingkan Kerajaan Majapahit dan ikut mengantarkan pendirian Kerajaan Islam Demak. Tan Kim Han juga dikenal sebagai tokoh Muslim Tionghoa pada abad ke-15 dan 16 yang diutus oleh iparnya Jin Bun (dalam kitab Pararaton) atau Tan Eng Hian (versi Gus Dur) atau Raden Patah, yakni Raja Demak pertama bersama Maulana Ishak (Sunan Giri) dan Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus) untuk mengadakan revolusi politik pada Majapahit.
raden fatah atau jinbun atau kakek buyut Gusdur khalifah pertama kerajaan islam demak I (ilustrasi sejarahwali.com)
Tan Kim Han lahir pada tahun 1383 pada masa pemerintahan Hongwu. Dia menikah tanpa anak dan mengajar di salah satu sekolah di Leizhou, setelah lulus dalam ujian tahun 1405. dalam catatan Chizai Fang Jiapu pada 1907, Tan Kim Han kemudian ikut bersama Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Lambri-Aceh dan menyebarkan islam di Indonesia.
Jadi jelas bahwa China, Laksamana Cheng Ho dan Walisongo mempunyai andil besar dalam penyebaran agama islam di indonesia, bila ada orang yang menuduh bahwa Cina adalah kaum minoritas di Indonesia itu salah besar, sebab orang-orang keturunan Cina sudah berbaur demikian erat dengan orang-orang pribumi sehingga wajah mereka sudah tidak lagi terlihat Cina-nya, bila ada yang rasis terhadap orang-orang Cina di Indonesia, kemungkinan besar ia kurang piknik, tidak tau sejarah atau tidak mengerti bahwa sesungguhnya islam yang dia anut bisa jadi berasal dari negara Cina.
*****
Baca Sejarah dibawah ini:
Islam di Masa Kedinastian Cina
Proses penyebaran dan perkembangan Islam di Cina selama ribuan warsa masa kedinastian.
TULISAN-tulisan terdahulu Prof. Djamal al-Din Bai Shouyi (1909-2000), sejarawan muslim Hui terkemuka, yang terangkum dalam buku Zhongguo Yisilan Shi Cun Gao (Naskah Sejarah Islam di Cina, 1983), menyuguhkan sejarah penyebaran dan perkembangan Islam di Cina masa kedinastian dengan runut serta mudah dicerna.
Menurut Bai, hubungan Cina dengan Arab sudah terjalin, setidaknya, 500 tahun sebelum Islam terbentuk. Kala itu, kabar tentang adanya suatu negeri bernama Tiaozhi telah didengar Zhang Qian, duta Kaisar Wu (141-87 SM) Dinasti Han, saat menjalankan misi diplomatiknya ke Wilayah Barat (Xiyu). Namun, Tiaozhi baru berhasil dikunjungi Gan Ying, utusan Kaisar He (89-105) Dinasti Han pada tahun 97. Belakangan, Tiaozhi diketahui sebagai pelafalan Mandarin dari kota tua Antiochia di Mesopotamia.
Selepas Dinasti Jin (266-420) mempersatukan Cina yang terpecah menjadi tiga negara yang saling bermusuhan (Samkok) pasca-runtuhnya Dinasti Han (220), kapal-kapal dagang Cina mulai berlayar ke Jazirah Arab melalui Teluk Persia. Pun sebaliknya, dengan dibukanya jalur perniagaan tersebut, orang Persia dan atau orang Arab yang berlayar dari Teluk Persia mulai banyak yang bertandang ke Cina.
Sepanjang Dinasti Sui (581-618) sampai berdirinya Dinasti Tang (618-907) dan Song (960-1127), arus kedatangan pedagang dari (Teluk) Persia lewat laut kian santer. Mereka, atas izin pemerintah, tinggal di daerah tepi pantai seperti Guangzhou, Yangzhou, Hangzhou, dan Quanzhou. Jumlahnya, Bai secara tak langsung memprediksi, “ketika pada tahun 760 meletus Kerusuhan Tianshengong di Yangzhou, ribuan saudagar Persia menjadi korban. Juga, sejumlah 120 ribu penganut Islam, Kristen, dan Yahudi dibunuh ketika terjadi Pemberontakan Huangchao di Guangzhou.”
Masyarakat Cina menyebut pendatang asal (Teluk) Persia itu sebagai orang dari negeri Dashi –untuk melafalkan apa yang disebut sebagai Tazi dalam bahasa Persia kuno. Agama Islam, karenanya, dikenal sebagai Dashi Fa, Ajaran Dashi. Sayang, Bai tidak menyuguhkan angka pasti kapan Islam masuk ke Cina pertama kali. Namun, dengan menulis bahwa “Islam dibawa ke Cina oleh saudagar Dashi”, secara eksplisit dia mengajukan tesis: karena hubungan Dashi dengan Cina erat sejak pra-Islam, Islam kemungkinan masuk ke Cina sejak baru lahir, melalui para pedagang muslim dari Dashi.
Berbeda, Bai justru sangat yakin, “orang Cina pertama yang mencatat tentang Islam adalah Du Huan dalam buku Jingxingji (Catatan Perjalanan).” Du memang pernah menjadi tawanan perang di Dashi selama 12 tahun setelah pasukan Dinasti Tang kalah dalam pertempuran dengan tentara Dashi di Sungai Talas (sekarang bagian dari Kyrgyzstan) pada tahun 751-752 untuk memperebutkan kekuasaan di Syr Darya, Asia Tengah.
Di catatan perjalanannya yang kini sudah tak utuh, Du menerangkan bagaimana seorang muslim harus melakukan ibadah lima kali sehari, ihwal makanan dan minuman yang menjadi pantangan penganut Islam, juga tentang rumah ibadah besar yang selalu penuh dengan orang-orang sepanjang waktu. Bai memperkirakan yang dimaksud Du adalah Masjid al-Haram di Mekkah. Bagi Bai, dari Dinasti Tang sampai Dinasti Song, tak ada tulisan mengenai Islam yang sebanding dengan tulisan Du. Apa agama Du? Tak ada yang tahu.
Menariknya, tanpa mengelaborasi sebabnya, “perang Talas tidak membawa pengaruh buruk pada relasi Cina dengan Dashi,” tulis Bai. Buktinya, dia merinci, “selama 100 tahun sebelum Perang Talas, kunjungan utusan Dashi ke Dinasti Tang sebanyak 19 kali. Lalu, selama 47 tahun setelah Perang Talas, utusan Dashi berkunjung ke Dinasti Tang 17 kali. Pada tahun ke-2 hingga ke-8 setelah Perang Talas, Dashi selalu mengirim utusan ke Dinasti Tang setiap tahunnya. Sepanjang tahun 753, Dashi bahkan mengirim utusan ke Dinasti Tang 4 kali.”
Masjid turut banyak dibangun seiring dengan semakin banyaknya orang Dashi yang menetap di pesisir Cina selama Dinasti Tang dan Dinasti Song. Huai Sheng, masjid yang diyakini merupakan garapan Sa’ad ibn Abi Waqqas di Guangzhou itu, misalnya, dibangun pada periode ini. Termasuk juga Masjid Qingjing di Quanzhou yang letaknya tak jauh dari kuburan yang dipercaya sebagai makam dua utusan Nabi Muhammad di Gunung Lingshan itu.
Memasuki periode pemerintahan suku Mongol Dinasti Yuan (1206-1368), derajat muslim menanjak seketika. Dalam strata sosial Dinasti Yuan, kedudukan orang-orang Islam tidak kalah tinggi dengan suku Mongol, baik di ranah politik, ekonomi, maupun militer. Bai menghitung, di istana, ada 16 muslim yang memangku jabatan strategis. Sebagai amsal, perdana menteri dipegang oleh seorang muslim bernama Hasan. Wakil perdana menteri dijabat oleh Badr al-Din, Zahr al-Din, dan Daula Sh?h. Sementara di tingkat daerah, ada 32 muslim yang menduduki posisi penting. Yang masyhur adalah gubernur pertama Provinsi Yunnan Sayyid Ajjal Shams al-Din Omar (1211-1279) kemudian dilanjutkan Nasr al-Din, anaknya, sampai tahun 1292.
Populasi muslim juga terus meninggi sehingga muncul istilah “yuan shi huihui biantianxia” (era Dinasti Yuan, Huihui bertebaran di mana-mana) sebagaimana dinyatakan buku Ming Shi, Sejarah Dinasti Ming. “Huihui” dipakai masyarakat Cina pada masa Dinasti Yuan untuk menyebut kaum muslim, menggantikan istilah “Dashi ren” (orang Dashi) yang digunakan dinasti sebelumnya.
Jika sebelum Dinasti Yuan penganut Islam didominasi –bila tidak semuanya– orang Dashi, maka pada masa Dinasti Yuan sudah mulai terjadi kawin-mawin antara orang Dashi dengan orang lokal sehingga penganut Islam tidak lagi terbatas pada pendatang saja, melainkan meluas pada orang Cina dan para keturunan orang Dashi. Inilah cikal-bakal Hui, suku penganut Islam terbesar dan terluas perseberannya di Cina saat ini.
Walakin, kegemilangan Islam ikut memudar setelah Yuan diruntuhkan Dinasti Ming (1368-1644). Aturan-aturan yang diskriminatif mulai ditimpakan kepada muslim pada masa ini. Di antaranya, orang-orang Islam harus mengganti nama mereka menjadi nama Han. Hui dilarang menikah dengan sesama Hui. Mirip sekali dengan pemaksaan asimilasi etnis Cina Indonesia di masa Orde Baru.
Pada masa Dinasti Qing (1616-1911) lebih parah lagi. Bai mengungkap, kerapnya pemberontakan berdarah yang dilakukan muslim ketika Dinasti Qing berkuasa disebabkan oleh perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap mereka. Tapi, di waktu yang sama, penguasa Dinasti Qing juga mengeluh karena orang-orang Islam sulit diurus, “huihui nan zhi”.
Meski demikian, perlakuan diskriminatif penguasa justru menumbuhkan ide cendekiawan muslim Cina untuk menyelamatkan dan mengembangkan Islam dengan pendidikan. Hu Dengzhou (1522-1597) dari Xi’an, Provinsi Shaanxi, mulai memanfaatkan bilik masjid sebagai sarana membuka madrasah diniyah (jingtang jiaoyu) untuk, salah satunya, mengajar membaca al-Qur’an dengan memakai aksara Cina menggantikan huruf Arab supaya mudah dibaca. “Assalamu”, contohnya, tidak dipaksakan dilafalkan sesuai orang Arab mengartikulasikannya, melainkan dibolehkan diucapkan sebagai “aisailiamu” karena orang Cina sulit membaca “as” sesuai makhraj Arab. Ma Dexin (1794-1874) dan Ma Lianyuan (1841-1903) menerjemahkan literatur-literatur Islam, termasuk al-Qur’an dan Hadist, ke dalam bahasa Cina. Di samping itu, Wang Daiyu (1570-1660) dan Liu Zhi (1660-1739) memprakarsai usaha memadukan ajaran Islam dengan pemikiran Konfusius (Huiru) laiknya Wali Songo meleburkan falsafah Islam dengan keyakinan Jawa.
Terbukti, hanya dengan pendidikan dan kemauan untuk beradaptasi dengan perubahan, Islam di Cina mampu bertahan sampai sekarang. Kini, populasi muslim di Cina lebih dari 30 juta jiwa. Dari 56 suku yang ada di sana, 10 di antaranya mayoritas menganut Islam. Khusus di Provinsi Xinjiang saja, menukil data di Xinjiang de Zongjiao Ziyou Zhuangkuang Baipishu (Buku Putih Kebebasan Beragama di Xinjiang, 2016), jumlah masjidnya mencapai 24.400 gedung. Mau meneriakkan Takbir? Silahkan. Asal jangan sambil angkat pentungan.
Penulis adalah visiting scholar di China-ASEAN Research Institute, Guangxi University, Tiongkok.
Islam Arab atau Islam Cina?
Teori klasik menyebutkan pedagang keturunan Arab yang membawa Islam ke Nusantara. Versi lain menyebut justru pedagang Tionghoa yang menyebarkan Islam.
BEBERAPA teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para pakar sejarah. Ada dua teori klasik yang utama ihwal penyebaran Islam di Nusantara. Pertama, dikemukakan oleh Niemann dan de Holander yang menyebutkan kalau Islam dibawa oleh pedagang Timur Tengah. Kedua, adalah teori pedagang Gujarat yang diusung oleh Pijnapel dan kemudian diteliti lanjut oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan Schrieke.
Agaknya teori-teori klasik itu menyandarkan validitasnya pada lapoan perjalanan yang ditulis Marcopolo yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi′i. Adapun peninggalan tertua kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satunya adalah makam Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis tahun 475 H/1082 M, yaitu zaman Singasari. Diperkirakan makam ini bukan penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
M.C. Ricklefs memiliki serangkaian intepretasi yang meragukan kesahihan teori klasik itu. Semisal dalam kasus batu nisan di Gresik ia menyebut tentang kemungkinan batu nisan itu hanya pemberat kapal atau mungkin batu nisan yang dipindahkan setelah muslimah itu meninggal. Dan batu itu tidak memberikan kejelasan apa-apa mengenai mapannya agama Islam di tengah-tengah penduduk Indonesia.
Sampai dengan awal abad ke-14 M, Islamisasi secara besar-besaran belum terjadi di Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.
Kekuatan politik itu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.
Menarik juga mengamati kisah-kisah pengislaman Nusantara yang dapat ditemui dalam historiografi tradisional. Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bagaimana Islam masuk ke Samudra dan juga tentang batu nisan Malik as-Salih bertarikh 1297 M. Dalam hikayat ini diceritakan tentang Khalifah Mekah yang mendengar adanya Samudra dan memutuskan mengirimkan sebuah kapal ke sana memenuhi ramalan Nabi Muhammad bahwa suatu saat akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Hikayat itu dipenuhi cerita tentang proses penganutan Islam oleh raja Samudra: Marah Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri padanya dan sekonyong meludah ke dalam mulutnya untuk mengalihkan pengetahuan Islam serta sekaligus menggelarinya Sultan Malik as-Salih.
Cerita yang kurang lebih sama juga ditemui dalam Sejarah Melayu. Historiografi ini mengisahkan tentang pengislaman Raja Malaka. Sebagaimana Malik as-Salih yang bertemu Nabi di dalam mimpinya, demikian pula dengan Raja Malaka. Dalam pada itu, Nabi mengajarkan kepadanya cara mengucapkan dua kalimat syahadat.
Hal yang unik justru terjadi pada kitab Babad Tanah Jawi. Jika dalam dua naskah Melayu di atas Islamisasi selalu ditandai dengan adanya simbol-simbol formal dari perubahan agama seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan penggunaan nama Arab maka cerita pengislaman Jawa yang dituturkan melalui Babad Tanah Jawi memberikan kesan suatu proses asimilasi yang sedang berlangsung di Jawa.
Naskah Babad Tanah Jawi menuturkan tentang Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh sembilan wali (wali sanga). Di sini pengislaman secara formal tak tampak, namun garis genealogis yang mengacu pada Arab (baca: Timur Tengah) tetap menjadi alur utama kisah di dalamnya.
Dari keseluruhan historiografi tradisional ada satu benang merah yang saling menghubungkan perihal penyebaran agama Islam di Nusantara: berasal dari Arab. Besar kemungkinan hal ini dilakukan agar ada semacam legitimasi ideologis bagi agama Islam untuk masuk ke Nusantara. Di lain pihak, hal ini juga menimbulkan bias bahwa seakan-akan Islam akan lebih sahih jika dibawa dari Arab, bukan dari wilayah lainnya.
Kembali kepada persoalan diskursus teori klasik kedatangan Islam, amat dimungkinkan jika teoritisi sejarah Islam juga melihat kenyataan yang dicatat di dalam naskah-naskah kuno itu sebagai dasar menjadikan pedagang Timur Tengah sebagai pembawa Islam ke Nusantara.
Juga perlu dicatat kiranya tentang dua dokumen lain yang bisa menghantarkan pada substansi Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Kedua naskah itu berisi tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Salah satu naskah yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan terhadap hal-hal yang diperdebatkan, kemudian naskah dinisbahkan oleh G.W.J. Drewes kepada seorang ulama yang bernama Syekh Bari.
Naskah kedua berisi tentang primbon yang berisi tuntunan menjalankan agama Islam yang dibuat beberapa murid ulama terkenal. Kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistik, sekaligus mencerminkan mistisisme Islam dan tasawuf yang berkembang saat itu. Dan kelak Islam di Indonesia dipenuhi bid’ah dan khurafat yang pada masa selanjutnya mendorong munculnya gerakan pembaharuan sepanjang abad XIX dan XX.
Dalam historiografi Indonesia, teori klasik penyebaran Islam menjadi satu monoversi yang sulit dibantah. Hal itu bercampur aduk dengan bias politik kekuasaan Orde Baru yang mengintervensi penulisan sejarah. Semisal, kasus pelarangan buku Slamet Muljana yang pernah mengajukan versi bahwa Tionghoa adalah penyebar Islam. Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah Islam “murni” dari Arab, melainkan Islam campuran yang memiliki banyak varian. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana.
Pelarangan versi Slamet Muljana oleh pemerintah Orde Baru didasari pengkaitan Cina dalam peristiwa Gestok 1965. Semua hal yang berbau Tionghoa dilarang saat itu, sehingga “haram” hukumnya mengaitkan Tionghoa ke dalam sejarah Islam Nusantara. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa juga menggugat teori klasik penyebaran Islam. Sumanto menemukan fakta bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah Islam merupakan transliterasi dari nama Cina ke nama Jawa. Semisal dalam nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun. Tentu buku yang ditulis Sumanto tidak dilarang, karena buku ini terbit setelah Orde Baru tumbang. Namun sejauh mana masyarakat menerima versi ini, belum kelihatan secara jelas.
Nusantara dalam Kitab Tiongkok
Liang Liji menelusuri hubungan Tiongkok-Nusantara berdasarkan kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.
SEJARAH kuno Indonesia tak bisa dilepaskan dari sumber-sumber Tiongkok. Selama ini, sejarah ditulis berdasarkan sumber Tiongkok yang dihimpun oleh W.P. Groeneveldt dalam Notes on Two Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Resources (1880), yang baru-baru ini diterjemahkan menjadi Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Berdasarkan buku ini pula disusunlah buku babon Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (1975 dan 1984). Dibanding karya Groeneveldt, buku karya Prof Liang Liji ini, menggunakan sumber-sumber primer yang lebih kaya, yaitu kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.
Liang Liji lahir di Bandung pada 1927. Dia dibesarkan dalam dua etos kebudayaan, Tionghoa dan Indonesia. Dia mengalami masa pendudukan Belanda, Jepang, revolusi, dan awal kemerdekaan. Lulus dari jurusan bahasa Indonesia Fakultas Bahasa Timur Universitas Peking pada 1954, dia lalu mengabdi di universitas tersebut selama setengah abad lebih. Dia juga pernah menjadi anggota tim penerjemah Presiden Sukarno saat melawat ke Tiongkok pada 1956.
Menurut Liji, sumber-sumber sejarah yang kaya dan otentik dari kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno masih belum digali dan dikenal di Indonesia dalam pengkajian sejarah hubungan kedua negara. Padahal Tiongkok memiliki keunggulan dalam tradisi penulisan sejarah. Bahkan sejak zaman Xia (2140-1711 SM), Tiongkok sudah memiliki suatu sistem penulisan sejarah, yang kemudian terus mengalami penyempurnaan.
Sejak dua ribu tahun lalu, di masa Dinasti Han (206 SM-220 M), sejumlah kitab mencatat hubungan resmi antara Tiongkok dan Nusantara. Liji mengawali pembahasan buku ini dengan membahas kitab-kitab tersebut, yakni Han Shu Di Li Zhi (Kepustakaan Dinasti Han-Catatan Geografi) dan Hou Han Shu (Kepustakaan Dinasti Han Lanjutan).
Dalam kitab Hou Han Shu disebutkan, Ye Diao adalah negara di Asia Tenggara yang mengirim utusan dan mempersembahkan upeti kepada Wu Di, Kaisar Dinasti Han. Ye Diao adalah tiruan bunyi dari kata Sanskrit, Javadvipa, untuk menyebut Jawa atau Sumatra. Ada ahli yang menganggap bahwa Ye Diao adalah kerajaan yang didirikan di Banten pada 65 SM. Nama rajanya, yang disebut dengan nama Diao Bian, juga salinan bunyi dari kata Sanskrit, Devavarman.
Selain kitab-kitab sejarah yang ditulis pejabat istana, juga bermunculan buku catatan perjalanan dari utusan kaisar dan pendeta Budha Tiongkok yang pernah berkunjung ke Nusantara. Ini dimulai pada zaman Samkok atau Tiga Kerajaan (220-280) –akibat perpecahan Dinasti Han. Di antaranya Zhu Ying dan Kang Tai yang untuk kali pertama memperkenalkan keadaan sosial-budaya dan adat istiadat Nusantara.
Hubungan Tiongkok-Nusantara mencapai puncaknya pada masa Dinasti Ming dengan tujuh kali muhibah Laksamana Cheng Ho. Para cendekiawan Tiongkok yang mendampingi Cheng Ho membuat catatan perjalanan; umumnya menggambarkan keadaan sosial-budaya di Nusantara. Tak heran jika di masa inilah terdapat bahan sejarah paling kaya dan lengkap mengenai hubungan kedua bangsa. Di antaranya Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) dan Ming Shu Lu (Catatan Kejadian Aktual Dinasti Ming) yang merupakan koleksi terbesar dengan 2.965 jilid dan 16 juta karakter Tionghoa. Yang menarik, Dinasti Ming sampai membuat kamus bahasa Melayu-Tionghoa yang disebut Man La Jia Yi Yu (Kumpulan Kata-kata Negeri Malaka).
Berdasarkan pembacaan Liji atas kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno, Tiongkok menganggap wilayahnya sebagai “negara suzerin” atau “negara atasan”, sedangkan daerah-daerah lain di sekitarnya termasuk Nusantara sebagai “negara vasal” atau “negara bawahan” yang harus memberikan upeti kepada negara suzerin. Upeti tersebut bisa diartikan sebagai tanda pengakuan, kesetaraan, hubungan diplomatik, atau pembukaan hubungan dagang.
Buku Liji ini juga menjangkau periode sejarah modern, yang ditandai dengan masuknya kolonialisme dan berimbas pada porakporandanya hubungan Tiongkok-Nusantara. Untunglah hubungan ekonomi dan kebudayan tak ikut terputus karena adanya perantau Tionghoa yang menetap di Nusantara. Mereka mulai melepaskan pandangan tradisionalnya “daun gugur kembali ke akarnya” menjadi pandangan baru yang lebih realistis: “bibit jatuh berakar di buminya”. Pandangan inilah yang mendorong mereka ikut dalam arus gerakan kemerdekaan.
Liji menyebut beberapa etnis Tionghoa yang terlibat dalam pergerakan nasional Indonesia. Ada Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjian Hok, dan Tjio Djien Kwie yang ikut dalam Sumpah Pemuda. Ada Liem Koen Hian, pendiri Partij Tionghoa Indonesia pada 1932. Ada juga Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Tan Eng Hoa, dan Liem Koen Hian yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Setelah kemerdekaan, hubungan Tiongkok-Indonesia mengalami pasang-surut. Sejumlah peristiwa sempat meretakkan hubungan kedua negara itu: dari masalah dwikewarganegaraan, PP 10 tahun 1959 yang mengakibatkan puluhan ribu etnis Tionghoa terusir dari daerah-daerah pedalaman, hingga pembekuan hubungan pada 30 Oktober 1967.
Sejak rezim orde baru tumbang, dan Indonesia memasuki era reformasi dan demokrasi, Indonesia dan Tiongkok menjalin kemitraan strategis.
(Republika/Kompasiana/Merdeka/Tribun-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email