Ayatullah
Muhammad Taqi Behjat ra tak berbeda dengan para ulama besar yang lain
telah menjadi pelita cemerlang bagi jalan kehidupan seluruh masyarakat
luas. Untuk itu, pernyataan dan sikap-sikapnya bisa menjadi petunjuk
jalan kita.
Salah satu model pertanyaan yang pernah
diajukan kepada Ayatullah Behjat adalah pertanyaan berkaitan dengan isu
akhir zaman. Mari kita simak bersama:
Tanya: Jika iman memiliki 10 derajat, maka Salman Farisi memiliki seluruh derajat keimanan ini. Apakah kita juga bisa menggapai seluruh derajat iman di akhir zaman ini?
Jawab: Memang semua orang bisa seperti Salman dan Abu Dzar yang mampu sabar menghadapi seluruh jenis petaka dan musibah? Atau seperti Ammar yang telah rela dibunuh? Seluruh pintu maqam yang telah berhasil mereka gapai telah tertutup. Seluruh dunia dan segala isinya tidak memiliki nilai sebesar salat Salman dalam semalam.
Tetapi, dari beberapa hadis seperti “ibadah pada masa kegaiban adalah lebih baik daripada ibadah pada masa kehadiran imam maksum” dapat dipahami bahwa maqam yang lebih tinggi masih bisa kita gapai. Kita semua sering menyaksikan keramat dan tindakan-tindakan aneh yang dilakukan oleh para ulama. Kita merasa heran mereka orang lain mampu melihat dan mereka tidak menyebutkan namanya.
Tanya: Apakah tugas kita pada masa kegaiban ini?
Jawab: Sepertinya para imam maksum as telah menyempurnakan hujah untuk kita tentang masalah ini. Mereka berkata, “Banyaklah berdoa demi kemunculan Imam Mahdi.” (Al-Ghaibah, Syaikh Thusi, hlm. 290) Tetapi tentu bukan hanya dengan sekadar komat-kamit mulut. Mereka juga berkata, “Bertindaklah sesuai dengan perintah yang sedang kalian lakukan sehingga masalah menjadi jelas bagi kalian.” (Bihar al-Anwar, jld. 52, hlm.133) Yakni dalam menghadapi masalah-masalah baru, bertindaklah sebagaimana kalian selama ini bertindak.
Para imam maksum as mengajarkan kepada kita supaya bertindak sesuai dengan keyakinan yang kita miliki. Selama belum ada keyakinan, maka kita harus berhenti dan bertindak hati-hati.
Tanya: Bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menyongsong kemunculan Imam Mahdi as?
Jawab: Salah satu jalan adalah kita bertobat. Tobat ini akan menyebabkan seluruh petaka yang sekarang sedang menimpa dan akan menimpa Syiah akan tersingkirkan.
Tanya: Jika iman memiliki 10 derajat, maka Salman Farisi memiliki seluruh derajat keimanan ini. Apakah kita juga bisa menggapai seluruh derajat iman di akhir zaman ini?
Jawab: Memang semua orang bisa seperti Salman dan Abu Dzar yang mampu sabar menghadapi seluruh jenis petaka dan musibah? Atau seperti Ammar yang telah rela dibunuh? Seluruh pintu maqam yang telah berhasil mereka gapai telah tertutup. Seluruh dunia dan segala isinya tidak memiliki nilai sebesar salat Salman dalam semalam.
Tetapi, dari beberapa hadis seperti “ibadah pada masa kegaiban adalah lebih baik daripada ibadah pada masa kehadiran imam maksum” dapat dipahami bahwa maqam yang lebih tinggi masih bisa kita gapai. Kita semua sering menyaksikan keramat dan tindakan-tindakan aneh yang dilakukan oleh para ulama. Kita merasa heran mereka orang lain mampu melihat dan mereka tidak menyebutkan namanya.
Tanya: Apakah tugas kita pada masa kegaiban ini?
Jawab: Sepertinya para imam maksum as telah menyempurnakan hujah untuk kita tentang masalah ini. Mereka berkata, “Banyaklah berdoa demi kemunculan Imam Mahdi.” (Al-Ghaibah, Syaikh Thusi, hlm. 290) Tetapi tentu bukan hanya dengan sekadar komat-kamit mulut. Mereka juga berkata, “Bertindaklah sesuai dengan perintah yang sedang kalian lakukan sehingga masalah menjadi jelas bagi kalian.” (Bihar al-Anwar, jld. 52, hlm.133) Yakni dalam menghadapi masalah-masalah baru, bertindaklah sebagaimana kalian selama ini bertindak.
Para imam maksum as mengajarkan kepada kita supaya bertindak sesuai dengan keyakinan yang kita miliki. Selama belum ada keyakinan, maka kita harus berhenti dan bertindak hati-hati.
Tanya: Bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menyongsong kemunculan Imam Mahdi as?
Jawab: Salah satu jalan adalah kita bertobat. Tobat ini akan menyebabkan seluruh petaka yang sekarang sedang menimpa dan akan menimpa Syiah akan tersingkirkan.
Ayatullah Al-Udzma Syeikh Mohammad Taqi Bahjat.
Menyusul wafatnya Ayatullah Al-Udzma
Syeikh Mohammad Taqi Bahjat, selain mengucapkan bela sungkawa atas
kehilangan besar ini, akan lebih baik menelusuri kehidupan beliau untuk
lebih banyak mengenalnya.
“Kepala
beliau selalu tertunduk jarang sekali menatap langsung orang yang
menemuinya,sikap zuhud dan tawadhu mengiringgi setiap langkah beliau”
Kelahiran
Ayatullah
Al-Udzma Syeikh Mohammat Taqi Bahjat Fumani lahir di penghujung tahun
1334 HQ di sebuah keluarga agamis di kota Fuman, Provinsi Gilan. Di usia
16 bulan ia harus kehilangan ibu tercintanya dan menjadi anak yatim.
Sekaitan
dengan nama Ayatullah Bahjat, ada kenangan manis yang dinukilkan oleh
seorang famili beliau yang patut untuk direnungkan. Ceritanya demikian:
“Ayah
Ayatullah Bahjat di umur 16 atau 17 tahun terkena penyakit kolera dan
kondisinya sangat buruk, sehingga tidak ada harapan ia bakal sembuh. Ia
mengatakan, pada saat itu saya mendengar suara yang mengatakan, “Biarkan
dia! Karena dia adalah ayah dari Mohammad Taqi.”
Dalam
kondisi yang demikian ia kemudian tertidur. Ibunya yang berada di
sisinya menyangkanya telah meninggal, namun setelah beberapa saat ayah
Ayatullah Bahjat bangun dari tidurnya dan keadaannya lebih baik dan
setelah itu sembuh total. Beberapa tahun kemudian setelah kejadian itu
ayah Ayatullah Bahjat memutuskan untuk menikah dan ucapan yang terdengar
saat ia sakit dahulu sudah terlupakan sama sekali.
Setelah ia
menikah dan mendapat anak, anak pertamanya diberinama Mahdi dan anak
keduanya perempuan. Kemudian lahir anak ketiga dan diberi nama Mohammad
Hossein. Ketika Allah memberikan anak keempat, ayah Ayatullah Bahjat
lalu teringat suara saat ia sakit dahulu dan anak keempatnya diberi nama
Mohammad Taqi. Namun anak keempat ini semasa kecil terjatuh dalam kolam
air dan meninggal dunia. Akhirnya ia diberi anak yang kelima dan diberi
nama Mohammad Taqi. Dengan demikian nama Ayatullah Bahjat adalah
Mohammad Taqi.”
Karbalai
Mahmoud Bahjat, ayah Ayatullah Bahjat adalah orang yang dipercaya di
kota Fuman. Selain bekerja untuk menghidupi keluarganya, ia juga
terlibat langsung menyelesaikan urusan masyarakat. Ia seorang sastrawan
dan sering membacakan kidung puji-pujian Ahul Bait dan syair duka,
khususnya kepada Imam Husein as. Syair duka yang masih dilantunkan oleh
para penyair di sana.
Ayatullah
Bahjat sejak kecil dididik oleh ayahnya yang begitu mencintai Ahlul
Bait, khususnya Imam Husein as dan dengan mengikuti acara-acara duka
Ayatullah Bahjat banyak mendapat siraman rohani. Sejak kecil Ayatullah
Bahjat sudah tidak bermain seperti anak-anak kecil lainnya dan sejak itu
pula telah tampak kejeniusan dan kecemerlangannya serta kecintaan luar
biasa dalam menuntut ilmu.
Pendidikan
Ayatullah
Bahjat merampungkan pendidikan dasarnya di kota Fuman dan setelah itu
mulai belajar ilmu-ilmu agama di sana. Setelah menyelesaikan pendidikan
dasar agama di kotanya, beliau tidak sabar untuk melanjutkan
pendidikannya dan pada tahun 1348 HQ menuju Irak dan setelah itu tinggal
di Karbala. Ketika melanjutkan pendidikannya di Irak, Ayatullah Bahjat
baru berusia 14 tahun.
Sesuai
dengan ucapan seorang murid terdekat beliau, Ayatullah Bahjat dalam
sebuah acara mengatakan, “Saya memasuki tahun taklif setahun setelah
tinggal di Karbala.”
Benar,
didikan Allah swt senantiasa membarengi hamba-hamba-Nya yang layak sejak
masa kanak-kanak hingga remaja, sehingga saat dewasa menjadi pelita
petunjuk jalan kepada Allah. Dengan demikian, Ayatullah Bahjat tinggal
selama 4 tahun di Karbala dan mendapat pancaran cahaya Sayyid Al-Syuhada
Imam Husein as serta selama itu pula beliau melakukan tazkiyah nafs
(mensucikan diri). Selama 4 tahun beliau telah mempelajari bagian
terpenting dari buku-buku fiqih dan ushul fiqih di bawah bimbingan
guru-guru besar.
Pada tahun
1352 HQ, Ayatullah Bahjat melanjutkan pendidikannya ke kota Najaf
Al-Asyraf dan bagian-bagian terakhir dari pelajaran tingkat suthuh
(tinggi) dipelajarinya bersaama sejumlah Ayatullah seperti Al-Marhum
Ayatullah Syeikh Murtadha Thalaqani. Sekalipun demikian, Ayatullah tidak
hanya menghabiskan umurnya dengan belajar agama, tapi kecintaannya akan
kesempurnaan sebagai manusia membuatnya tidak pernah tenang dan
senantiasa menariknya untuk mencari pribadi-pribadi ilahi dan wali-wali
Allah untuk meningkatkan spiritualnya.
Seorang
murid Ayatullah Bahjat mengatakan, “Bertahun-tahun saya mengikuti
pelajaran beliau dan tidak pernah saya mendengar beliau menceritakan
mengenai pribadinya, kecuali sangat sedikit. Pernah beliau menyampaikan
tentang dirinya saat berbicara dan memuji maqam spiritual gurunya
Ayatullah Na’ini. Beliau berkatan, “Ketika saya masih remaja sering ikut
dalam shalat jamaah bersama Ayatullah Na’ini dan saya dapat merasakan
sebagian dari kondi-kondisi spiritual beliau.”
Guru-Guru Fiqih dan Ushul Fiqih
Ayatullah
Bahjat setelah menyelesaikan tingkat suthuh dan belajar pada guru-guru
besar seperti Ayatullah Sayyid Abul Hasan Isfahani, Dhiya’ Al-Iraqi,
Mirza Na’ini, beliau kemudian memasuki hawzah dan pelajaran penuh
kandaungan Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Gharawi Isfahani yang lebih
dikenal dengan nama Ayatullah Gharawi. Bersama Ayatullah Gharawi,
Ayatullah Bahjat menyempurnakan pelbagai teori fiqih dan ushul fiqihnya.
Potensi dan kemampuannya cemerlang dan bantuan ilahi yang dimilikinya
Ayatullah Bahjat juga belajar dari Ayatullah Isfahani yang dikenal
dengan almarhum Kompani yang punya pemikiran mendalam, detil dan
memiliki kecerdasan luar biasa.
Ayatullah
Mohammad Taqi Misbah Yazdi mengenai bagaimana Ayatullah Bahjat belajar
dan memanfaatkan ilmu-ilmu sejumlah gurunya itu mengatakan, “Di bidang
fiqih Ayatullah Bahjat banyak belajar dari Ayatullah Muhammad Kazhim
Syirazi, murid Mirza Muhammad Taqi Syirazi, sementara untuk ilmu ushul
fiqih beliau belajar pada Ayatullah Mirza Na’ini dan setelah itu banyak
belajar pada Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Gharawi Isfahani dan
sempat juga belajar pada almarhum Isfahani (Kompani) dan juga belajar
masalah lainnya dari beliau.”
Syair, Suluk dan Irfan
Ayatullah
Bahjat selain menuntut ilmu sebelum mencapai usia baligh juga telah
melakukan pensucian diri dan menyempurnakan aspek spiritualnya. Saat di
Karbala, beliau serius mencari seorang guru dan pendidik akhlak yang
pada akhirnya ia menyadari keberadaan Ayatullah Qadhi Thaba’thaba’i di
kota Najaf Al-Asyraf. Setelah tiba di kota Najaf, beliau belajar akhlak
juga dari guru besarnya Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Isfahani
(Gharawi).
Sekaitan
dengan masalah ini, Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan, “Mudah dipahami
betapa Ayatullah Bahjat banyak dipengaruhi Ayatullah Syeikh Muhammad
Husein Isfahani dalam perilaku. Karena sering beliau mengutip satu
masalah dari beliau dengan keanehan tersendiri dan setelah itu kami bisa
menyaksikan contoh perilaku tersebut dalam diri beliau. Jelas betapa
guru beliau ini sangat berpengaruh dalam pembentukan spiritualnya.”
Begitu juga
Ayatullah Bahjat mengikuti kuliah akhlak Ayatullah Sayyid Abdulghaffar
di Najaf dan benar-benar memanfaatkan dan mengamalkannya, hingga
akhirnya menjadi murid Ayatullah Sayyid Ali Qadhi. Beliau menuntut
ilmu-ilmu makrifat dari Ayatullah Qadhi dan ketika menginjak usia 18
tahun beliau resmi menjadi murid arif kamil ayatullah Sayyid Ali Qadhi
dan mendapat perhatian khusus guru agungnya ini. Masih di awal-awal masa
mudanya beliau telah menyelesaikan pelbagai tahanap irfan yang sangat
diharapkan dapat diraih oleh orang lain.
Ayatullah
Misbah Yazdi mengatakan, “Beliau langsung belajar pada Ayatullah Ali
Qadhi di bidang akhlak dan spiritual dan bertahun-tahun beliau menjadi
muridnya. Ayatullah Qadhi termasuk pribadi khusus mendidik
pribadi-pribadi dalam bidang spiritual dan irfan. Allamah Thaba’thaba’i,
Ayatullah Syeikh Muhammad Taqi Amoli, Ayatullah Syeikh Ali Muhammad
Boroujerdi dan banyak ulama, bahkan para marji yang belajar masalah
akhlak dan irfan dari Ayatullah Qadhii. Nah, Ayatullah Bahjat terkadang
mengutip masalah-masalah akhlak dan irfan dari ulama lain seperti
Ayatullah Murtadha Taleqani dan lain-lain.”
Ayatullah
Bahjat sendiri pernah mengatakan, “Di waktu itu ada seseorang yang ingin
melihat siapa saja yang di waktu sahur bulan Ramadhan di makam suci
Imam Ali melakukan shalat witir dan membaca doa Abu Hamzah Al-Tsumali di
waktu qunut. Seingat saya, semoga tidak salah, mereka yang istiqimah
melakukan amalan ini setiap malamnya di makam suci Imam ali as lebih
dari 70 orang.
Bagaimana
pun juga, banyak tokoh ulama yang istiqamah melaksanakan satu amalan
ibadah dan spiritual. Sangat disayangkan di masa kita ini jarang
disaksikan pribadi-pribadi seperti ini. Tentu saja kita tidak memiliki
ilmu gaib, karena mungkin saja mereka yang dahulunya banyak melakukan
ibadah-ibadah semacam ini di makam-makam suci, kini melakukannya di
rumah-rumah mereka. Namun dapat dipastikan bahwa istiqomah melaksanakan
amalan-amalan seperti ini semakin menurun dan ini sangat patut
disesali.”
Hujjatul Islam Wal Muslimin Agha Tehrani menceritakan kejadian di atas seperti demikian:
“Waktu itu
ada seorang yang mendengar bahwa di masa lalu ada 70 orang di makam suci
Imam Ali as yang yang membaca doa Abu Hamzah Al-Tsumali saat qunut.
Orang tersebut lalu memutuskan untuk mengajak beberapa orang untuk
melakukan amalan tersebut. Ketika ia menghitung mereka yang melakukan
amalan itu didapatinya jumlahnya lebih sedikit sekitar 50 orang.
Demikian yang saya ingat bahwa di makam suci Imam Ali as mereka membaca
doa Abu Hamzah Al-Tsumali saat berdoa dalam shalat witir.”
Filsafat
Ayatullah
Bahjat belajar Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, karya Ibnu Sina dan Al-Asfar
Al-Arba’ah, karya Mulla Shadra kepada Ayatullah Sayid Hassan Badkubeh-i.
Marjaiyat
Sekalipun
Ayatullah Bahjat adalah seorang faqih terkenal dan lebih dari 30 tahun
memberikan kuliah-kuliah kharij fiqih dan ushul fiqih, namun beliau
selalu menolak untuk menerima sebagai marji.
Sekaitan
dengan masalah keengganan beliau menerima sebagai marji dan juga
mengenai tidak berubahnya kondisi Ayatullah Bahjat setelah menerima
sebagai marji, Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan:
“Setelah
resmi menjadi marji, rumah Ayatullah Bahjat tidak mengalami perubahan
apapun. Tidak mungkin bagi beliau untuk menerima tamu di rumahnya. Oleh
karenanya, saat memperingati acara duka maupun suka, beliau
melaksanakannya di masjid Fathimiah. Pada prinsipnya, saya melihat sikap
beliau menerima sebagai marji sebagai bentuk keramatnya. Yakni, kondisi
kehidupan beliau, itu pun di usia 80 tahun tidak tepat bagi beliau
menerima tanggung jawab yang seperti ini. Mereka yang mengenal beliau
tidak pernah membayangkan beliau akan memanggul tanggung jawab sebagai
marji. Tak pelak apa yang dilakukan beliau tidak lain hanya muncul dari
rasa tanggung jawabnya. Bahkan kita harus mengatakan bahwa beliau di
masa kini, itu pun dengan filosofi dan kesalehannya menjadi bukti bagi
semua bahwa bisa seorang menjadi marji dan juga hidup dalam
kesederhanaan. Setelah menjadi marji beliau tetap sederhana tanpa ada
perubahan dalam cara berpakaian, makanan, rumah dan kondisi kehidupan
lainnya.”
Setelah
wafatnya Ayatullah Sayyid Ahmad Khansari, Ayatullah Bahjat mentashih
jilid pertama dan kedua buku Dzakhiratul Ibad (kumpulan buku fatwa,
seperti taudhihul masail saat ini), karyanya sendiri dan hanya
membolehkan orang-orang khusus yang memanfaatkannya dan sebelum wafatnya
Ayatullah Al-Udzma Araki, beliau tidak pernah memberikan izin
mempublikasikan buku fatwanya itu. Namun semua berubah ketika Jami’atul
Mudarrisn (Asosiasi Pendidik Hawzah) merilis pernyataan dan
memperkenalkan tujuh marji, termasuk Ayatullah Bahjat dan sejumlah ulama
seperti Ayatullah Meshkini, Ayatullah Javadi Amoli dan lain-lainnya
mengumumkan marjaiyat beliau serta pelbagai permintaan, akhirnya
Ayatullah Bahjat membolehkan buku fatwanya dicetak dalam oplah besar.
Namun pun demikian, beliau tetap menolak namanya dicetak di cover buku
tersebut.
Masih
terkait dengan masalah ini, Ayatullah Misbah Yazdi menyebutkan,
“Ayatullah Bahjat sebelum wafatnya Ayatullah Al-Udzma Araki tahu bahwa
Jami’atul Mudarrisin memperkenalkan beliau sebagai seorang marji,
langsung mengirimkan pesan dan menyatakan ketidakrelaannya melihat
namanya disebutkan di sana.”
Setelah
wafatnya Ayatullah Araki dan pesannya kepada Jami’atul Mudarrisn, beliau
mengatakan, “Fatwa-fatwa saya tidak boleh diberikan kepada siapa pun.”
Ketika Jami’atul Mudarrisin meminta informasi mengenai hal ini beliau
menjawab, “Bersabarlah dan publikasikan semua buku fatwa yang kalian
miliki. Bila ada orang yang masih tertinggal dan tidak bertaklid kepada
orang lain dan hanya menginginkan bertaklid kepada kami, pada saat
itulah kalian cetak buku fatwa saya.” Beberapa bulan setelah kejadian
ini buku fatwa dan risalah amaliyah beliau dicetak di Lebanon.
Hijrah
Setelah
menyelesaikan pendidikannya, tahun 1364 HQ Ayatullah Bahjat kembali ke
Iran dan tinggal selama beberapa bulan di kotanya Fuman. Saat tengah
mempersiapkan diri untuk kembali ke hawzah Najaf, beliau terlebih dahulu
berziarah ke makam suci Sayyidah Fathimah Ma’sumah as dan setelah
mendapat informasi mengenai kondisi hawzah Qom dan selama beberapa bulan
di sana, beliau diberitahukan mengenai wafatnya guru-guru besar Najaf.
Mendengar kabar itu beliau memutuskan untuk tetap tinggal dan menetap di
Qom.
Di kota Qom,
Ayatullah Bahjat belajar kepada Ayatullah Al-Udzma Hojjat Kouh
Kamareh-i dan menjadi satu dari murid terbaiknya. Saat Ayatullah Bahjat
tiba di Qom, beberapa bulan sebelumnya Ayatullah Al-Udzma Boroujerdi
datang di Qom, begitu juga sejumlah ulama besar termasuk Imam Khomeini,
Ayatullah Golpaigani dan lain-lain. Mereka semua ikut menghadiri
kuliah-kuliah yang disampaikan Ayatullah Boroujerdi.
Sekaitan dengan masalah ini, Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan:
“Sejak
Ayatullah Boroujerdi mulai memberikan kuliahnya di Qom, Ayatullah Bahjat
telah menjadi murid cemerlangnya dan termasuk murid yang dikenal suka
mengajukan pertanyaan. Biasanya guru yang mengajarkan bahts kharij,
biasanya memiliki dua atau tiga orang dari sekian murid-muridnya yang
lebih baik dalam menjaga mencatat semua mata kuliah dan terkadang muncul
pertanyaan di kepala mereka yang kemudian ditanyakan dan meminta agar
gurunya menjelaskan lebih jauh masalah tersebut, sehingga masalah
tersebut benar-benar terselesaikan. Murid-murid yang seperti ini sangat
detil, pertanyaan mereka lebih ilmiah dan memerlukan pembahasan dan
penjelasan lebih banyak. Ayatullah Bahjat di masa itu termasuk murid
yang punya posisi seperti ini dalam kuliah yang disampaikan Ayatullah
Boroujerdi.”
Mengajar
Ayatullah
Bahjat sejak masih belajar pada Ayatullah Isfahani, Gharawi dan Syirazi
di Najaf, selain belajar dan mensucikan diri, beliau juga mulai mengajar
tingkat suthuh di Najaf. Setelah hijrah ke Qom beliau juga tetap
melanjutkan kebiasaannya ini. Sekaitan dengan mengajar jenjang atas
(bahts kharij) fikih dan ushul, dapat dikatakan secara keseluruhan
beliau telah mengajar selama lebih dari 40 tahun dan karena tidak
mencari popularitas, beliau mengajar di rumahnya dan banyak ulama yang
bertahun-tahun belajar kepada beliau.
Metode Mengajar
Untuk mengetahui metode pengajaran Ayatullah Bahjat perlu untuk mendengarkan penjelasan Ayatullah Misbah Yazdi. Ia mengatakan:
“Ayatullah
Bahjat dalam menjelaskan satu masalah, pertama beliau selalu berusaha
untuk mengetengahkannya dari buku Syeikh Anshari dan ketika sampai pada
pembahasan yang patut mendapat perhatian beliau mengutip pandangan ulama
lain, khususnya dari buku Jawahir Al-Kalam(karya Allamah Syeikh
Muhammad Hasan Najafi), almarhum Haj Agha Ridha Hamadani dan yang
lain-lain. Setelah itu beliau menyampaikan pendapat pribadinya dan
dijelaskan secara terperinci. Metode yang dipakai beliau dari satu sisi
membuat murid yang hadir menjadi tahu pandangan ulama lainnya, sekaligus
menghemat waktu. Guru-guru besar lain punya cara tersendiri yang
tampaknya cocok bagi mereka yang masih baru belajar di mana guru
memberikan pandangan terpisah, namun membuat waktu yang dibutuhkan lebih
banyak dan biasanya terjadi pengulangan.
Selain
mengajar ada poin penting yang kami manfaatkan dari beliau dan sudah
barang tentu sebagian dari poin-poin yang disampaikan beliau berasal
dari guru-guru beliau yang didapatkannya secara lisan. Poin-poin ini
sangat bernilai, dalam dan memiliki kecermatan luar biasa.”
Ayatullah Masoudi yang bertahun-tahun belajar kepada Ayatullah Bahjat mengenai ciri khas dalam mengajar beliau mengatakan:
“Metode
pengajaran beliau sangat khas. Biasanya para marji lain dalam kuliah
kharij mereka saat menyampaikan satu masalah menyebutkan satu persatu
pendapat ulama sebelumnya setelah itu mengkritik satu dan menerima
lainnya dan di akhir pembahasan satu dari pandangan itu yang diterima,
sekaligus menjelaskan proses argumentasinya. Berbeda dengan yang
lainnya, Ayatullah Bahjat tidak sekedar mengutip pendapat ulama, tapi
biasanya di awal pembahasan beliau menjelaskan masalah dan proses
argumentasinya. Bila sebagian murid mempelajari pandangan ulama dan
mengetahui bahwa pandangan siapa yang disampaikan beliau. Ketika
bertanya, dia mengetahui terlebih dahulu pendapat siapa ini dan bila
menerima juga dengan pengetahuan pendapat siapa yang diterimanaya. Oleh
karenanya, siapa yang ingin ikut dalam kuliah Ayatullah Bahjat harus
mengetahui terlebih dahulu dasar dan pandangan ulama lainnya.”
Ayatullah Mohammad Hussein Ahmadi Faqih Yazdi menjelaskan metode pengajaran Ayatullah Bahjat seperti ini:
“Biasanya
beliau menyampaikan sejumlah masalah asli dan cabangnya setelah
memperhatikan kehalusan dan detil hadis atau ayat yang punya hubungan
dengan masalah setelah melakukan perbandingan antara tema yang tengah
dibahas dengan sejumlah bahasan lain yang punya hubungan. Beliau
kemudian menyoroti masalah tersebut dengan ketelitian khusus dalam
menjaga keseimbangan dua masalah tersebut dan setelah itu mengambil
kesimpulan yang harus diakui kesimpulan itu biasanya baru dan sangat
ilmiah. Benar-benar beliau saat menjelaskan satu masalah berangkat dari
keagungan beliau yang diwarisinya dari para imam as dan ijtihad yang
benar harus dianalisa secara detil seperti ini.”
Wejangan Saat Mengajar
Hujjatul
Islam Walmuslimin Qods yang bertahun-tahun menghadiri kuliah-kuliah
Ayatullah Bahjat mengatakan, “Kebiasaan Ayatullah Bahjat sebelum memulai
kuliahnya adalah memberikan wejangan sekitar 10 menit, tapi tidak
secara khusus menyebutnya sebagai wejangan melainkan cerita mengenai
ulama besar sebelumnya.”
Dapat
ditebak sejak awal apa maksud utama Ayatullah Misbah Yazdi yang sekitar
15 tahun mengikuti kuliah kharij fiqih yang selain belajar juga
memanfaatkan semangat dan jiwa malakuti beliau.
Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan:
“Terkadang
Ayatullah Bahjat menyampaikan cerita sambil mengutip satu hadis yang
membuat kami terheran-heran. Mengapa beliau begitu bersikeras
menyampaikan masalah yang sudah jelas dan gamblang bagi kami seperti
masalah keimamahan Imam Ali as yang sering diingatkan beliau sebelum
memulai kuliah. Kami benar-benar heran dan bertanya-tanya apakah kami
meragukan keimamahan Imam Ali as sehingga beliau begitu bersikeras
menyampaikan pelbagai argumen keimamahan Imam ali as kepada kami. Kami
sedikit tidak puas dengan apa yang beliau lakukan. Karena kami
berpikiran, mengapa beliau tidak menjelaskan akhlak dan spiritual yang
benar-benar kami butuhkan. Namun ketika kami menginjak usia 50 atau 60
tahun barulah kami pahami sejumlah poin yang beliau sampaikan sekitar 40
tahun lalu mengenai keimamahan Imam Ali as dan hal ini sangat membantu
kami. Seakan-akan pada waktu itu akan ada masalah yang bakal terjadi di
masa depan yang bakal dilalaikan atau diragukan orang.
Seandainya
beliau tidak memperhatikan masalah ini, kami tidak punya motifasi untuk
mempelajarinya, bahkan poin-poin yang disampaikan oleh beliau sekitar 40
tahun lalu dalam catatan yang saya miliki mengenai masalah akidah atau
lainnya masih sering saya manfaatkan.”
Posisi Keilmuan
Banyak ulama
yang sezaman dengan beliau dan murid-murid terkenal yang akan
disebutkan nanti mengakui ketelitian dan kejeniusan Ayatullah Bahjat
sebagai berikut:
“Suatu hari
dalam mata kuliah ushul fiqih yang menggunakan buku standar Kifayah
Al-Ushul, seorang murid Akhound Khorasani memprotes cara penjelasan
penulis buku tersebut yang disampaikan oleh sang guru. Menariknya, murid
ini termasuk yang paling muda dari mereka yang hadir dalam kuliah
beliau. Keesokan harinya sebelum kedatangan sang guru untuk memberikan
kuliah, murid-murid yang lain memprotes dan mengkritik sikap murid
tersebut. Saat tengah mengingatkan murid muda itu, tiba-tiba sang guru
memasuki ruangan dan memperhatikan protes mereka kepada murid muda
tersebut. Kepada mereka sang guru mengatakan, “Biarkan Bahjat dan jangan
ganggu dia! Semua langsung terdiam lalu sang guru melanjutkan, “Semalam
ketika saya membaca kembali catatan-catatan mengenai pelajaran Akhound
Khorasani, saya baru sadar bahwa ia benar.” Setelah menyampaikan masalah
ini sang guru kemudian memuji kejeniusan dan keseriusan Ayatullah
Bahjat.”
Seorang
ulama Najaf mengatakan, “Ayatullah Bahjat dalam kuliah Ayatullah Gharawi
tidak pernah memberikan kesempatan gurunya. Setiap kali ada bahasan
baru selalu dikritik oleh beliau.”
Almarhum
Ayatullah Sheikh Morteza Hairi mengatakan, “Ayatullah Bahjat mampu
menarik perhatian gurunya dengan pandangannya yang teliti dan
pertanyaan-pertanyaan penting, sehingga biasanya kuliah keluar dari
kondisi kharij fiqih atau ushul. Pertanyaan beliau juga ternyata sangat
bermanfaat bagi kami, namun agar tidak dikenal orang, beliau tidak
mengkritik. Karena bila beliau melanjutkan kritikannya bakal ketahuan
beliau lebih dibanding yang lain atau setidaknya tidak dibawah yang
lain.”
Allamah
Mohammad Taqi Jakfari mengatakan, “Ketika kami belajar buku Makasib
(buku fiqih karya Sheikh Anshari) dengan Syeikh Kazhim Syirazi,
Ayatullah Bahjat yang kini tinggal di Qom juga ikut mata kuliah ini.
Saya masih ingat dengan baik ketika beliau menyampaikan pertanyaannya,
Syeikh Kazhim dengan penuh keseriusan mendengarkannya. Yakni pertanyaan
yang diajukan Ayatullah Bahjat sangat detil dan dalam. Sementara pada
saat yang sama beliau di Najaf dikenal dengan keutamaan dan irfan.”
Ayatullah Sayyid Mohammad Hossein Tehrani dalam buku Anwar Al-Malakut menulis:
“Ayatullah
Hajj Sheikh Abbas Qouchani, wakil Ayatullah Sayyid Ali Qadhi mengatakan,
“Ayatullah Al-Udzma Sheikh Mohammad Taqi Bahjat mengikuti kuliah fiqih
dan ushul Ayatullah Al-Udzma Sheikh Mohammad Hussein Gharawi Isfahani.
Biasanya sekembalinya dari kuliah beliau langsung menuju kamarnya.
Sebagian murid yang masih punya pertanyaan dan tidak sempat
melontarkannya di ruang kuliah mendatangani kamar beliau dan
menanyakannya kepada Ayatullah Bahjat dan beliau menjawabnya. Sering
kali beliau di kamarnya dalam keadaan tidur dan mereka tidak mengetahui
kemudian menanyainya. Dalam kondisi yang demikian seperti orang yang
terbangun beliau menjawab semua pertanyaan mereka dengan tuntas. Ketika
beliau terbangun dari tidunya, beliau sama sekali tidak mengetahui
mengenai apa yang ditanyakan oleh mereka dan bila ditanya beliau
menjawab, “Saya tidak mengetahui masalah itu dan apa yang kalian katakan
tidak ada dalam ingatan saya.”
Ayatullah
Meshkini mengatakan, “Ayatullah Bahjat dari sisi keilmuan (baik dalam
bidang fiqih dan ushul fiqih) berada dalam posisi yang tinggi di antara
fuqaha Syiah.”
Hujjatul
Islam Walmuslimin Amjad mengatakan, “Beliau dalam tingkat keilmuan
berada dalam posisi yang sangat tinggi. Seorang faqih yang sangat besar
dan saya percaya semestinya para mujtahid mengikuti kuliah beliau agar
memahami sejumlah masalah dan memahaminya. Memang benar demikian adanya
bahwa pelajaran kharij harus disampaikan seperti yang dilakukan oleh
Ayatullah Bahjat tidak seperti mereka yang hanya pandai mengutip
pendapat ulama dan merasa cukup dengan itu.”
Ulama: Ikuti Kuliah Ayatullah Bahjat
Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan:
“Hal pertama
yang membuat kami tertarik kepada Ayatullah Bahjat adalah daya tarik
spiritualnya. Namun perlahan-lahan kami mengeri bahwa beliau dari sudut
keilmuan dan kefaqihan berada dalam posisi yang sangat tinggi. Oleh
karenanya kami selalu berusaha untuk dapat hadir dalam kuliah-kuliah
beliau agar dapat memanfaatkan pengetahuannya, sekaligus satu alasan
untuk bisa setiap hari bertemu dengan beliau dan memanfaatkan
kesempurnaan jiwa dan spiritualnya. Kami mulai membaca buku Thaharah
bersama beliau. Pada mulanya kami dan beberapa orang belajar bersama
beliau di sebuah ruangan di Sekolah Tinggi Feiziah, Qom. Setelah setahun
lewat kami juga belajar bersama beliau sekitar setahun atau dua tahun
di sebuah ruangan di Madrasah Khan (madrasah Ayatullah Boroujerdi) dan
setelah itu beliau mulai kelihatan lemah dan menyampaikan kuliahnya di
rumah. Di rumah beliau sekali lagi kami belajar bersama beliau dan
menamatkan buku Thaharah dan setelah itu buku Makasib dan Khiyarat
selama 15 tahun. Kami sangat memanfaatkan kkuliah yang beliau berikan
yang tidak didapatkan di kuliah-kuliah lainnya.”
Syahid
Murtadha Muthahhari juga punya perhatian khusus dalam kuliah yang
disampaikan oleh beliau. Sekaitan dengan masalah ini, Ayatullah Mohammad
Hossein Ahmadi Yazdi mengatakan, “Syahid Muthahhari berulang kali
menasihati kepada kami agar mengikuti kuliah Ayatullah Bahjat dan ia
berkata, “Pastikan bahwa kalian mengikuti kuliahnya, khususnya kuliah
ushul fiqih. Karena Ayatullah Bahjat dahulunya belajar pada Syeikh
Muhammad Husein Isfahani, kalian harus mengikuti kuliah ushul beliau.”
Ayatullah Khosrou Shahi mengatakan:
“Saya
mengikuti kuliah kharij fiqih bab Khiyarat Ayatullah Al-Udzma Syeikh
Murtadha Hairi. Di akhir-akhir umurnya beliau sering sakit sehingga
kuliah beliau diliburkan. Suatu hari ketika Ayatullah Hairi keluar dari
makam suci Imam Ali as, saya mendekati beliau dan setelah mengucapkan
salam saya berkata, “Insya Allah pelajaran akan segera Anda mulai?
Ayatullah Hairi menjawab, “Tidak.” Kemudian beliau melanjutkan
ucapannya, “Kalian masih muda dan untuk itu saya berikan satu kaidah
kepada kalian. Ikutilah kuliah yang disampaikan oleh seorang guru yang
tidak hanya pandai mengutip pendapat ulama, tapi pendapat itu dikaji dan
menjelaskan poin-poinnya dalam memberikan kuliah. Karena dengan cara
ini sangat membantu dalam mengaktualkan potensi ijtihad. Kuliah bagi
kalian akan sangat bermanfaat di mana mampu mengaktualkan kemampuan
berijtihad dan jangan merasa cukup hanya dengan menukli pandangan
ulaman.”
Di situ juga
langsung saya tanya, “Apakah Anda sudi memberikan nama guru yang
dimaksud kepada kami? Beliau menjawab, “Perkenankan agar saya tidak
menyebut nama.” Kemudian kepada beliau saya berkata, “Saya mengikuti
kuliah Ayatullah Al-Udzma Bahjat.” Mendengar pernyataan saya beliau
menyatakan kepuasannya sambil tersenyum lalu berkata, “Kuliah yang
beliau sampaikan dari sisi ketelitian dan kandungan sama dengan kaidah
yang baru saja saya katakan. Baguslah bila kalian mengikuti kuliahnya.
Kuliah beliau dari segala sisi sangat membangun, baik dari sisi keilmuan
dan akhlak. Lanjutkan belajar kalian.”
Karya
Ayatullah
Bahjat memiliki sejumlah karya di bidang fiqih dan ushul fiqih, namun
beliau sendiri tidak memutuskan untuk mencetaknya sebagian besar
karyanya. Bahkan terkadang beliau tidak mengizinkan mereka yang ingin
mencetaknya, sekalipun dengan dana pribadi. Beliau mengatakan, “Sampai
saat ini masih banyak buku-buku ulama yang bertahun-tahun masih berwujud
tulisan tangan. Buku-buku itu terlebih dahulu kalian cetak, karena
untuk mencetak buku-buku saya masih belum terlambat.”
List sebagian besar karya beliau sebagai berikut:
1. Karya-Karya yang Telah Dicetak
1. Risalah Taudhihul Masail (berbahasa Persia)
2.Manasik Haji.
Dua buku di
atas ditulis oleh sebagian murid beliau berdasarkan fatwa Ayatullah
Bahjat yang dicetak setelah dikonfirmasi dan disahkan oleh beliau.
3.Wasilah An-Najah.
Buku ini
memuat pandangan fiqih beliau di sebagian besar tema-tema fiqih yang
ditulis beliau di samping teks Wasilah An-Najah karya Ayatullah al-Udzma
Sayyid Abul Hasan Isfahani dan akhirnya satu jilid dari buku ini
dicetak dengan konfirmasi dan pengesahan beliau.
4.Jami’ul Masail.
Buku ini
merupakan catatan pinggi beliau atas buku Dzakhirah Al-‘Ibad karya guru
beliau Ayatullah Al-Udzma Muhammad Hussein Gharawi Isfahani dan tambahan
buku ini sampai akhir masalah fiqih yang beberapa bagian awalnya diberi
nama Dzakhirah Al-‘Ibad dengan penataan yang tidak terlalu bagus dan
hanya beberapa naskah yang diberikan kepada murid dan orang-orang
tertentu. Di kemudian hari jilid pertama dari buku ini yang rencananya
akan dicetak dalam lima jilid, akibat banyaknya cabang fiqih yang
ditambahkan kepada asal buku ini oleh Ayatullah Bahjat dan namanya
diubah menjadi Jamiul Masail dan buku ini akhirnya berhasil dicetak oleh
sebagian murid-murid beliau.
2. Karya yang Siap Dicetak
1.Jilid Pertama Kitab Al-Shalah.
Ayatullah
Bahjat dalam buku ini dengan caranya sendiri meringkas tema-tema
pembahasan buku Jawahir Al-Kalam secara tertib dengan menambahkan
penjelasan pandangan terbaru beliau.
2.Jilid Pertama Ushul Fiqih.
Metode
penulisan buku ini hampir sama dengan buku Kifayah Al-Ushul dan beliau
sendiri berkali-kali meneliti dan merevisinya. Buku ini mengandung
pandangan terbaru beliau dalam berbagai pembahasan ushul fiqih.
3.Ta’liq (Kometner) ‘Ala Manasik Syeikh Anshari.
Buku ini memuat pandangan beliau dalam masalah manasik haji.
3. Karya yang Belum Dicetak
1.Jilid selanjutnya Ushul Fiqih.
2.Catatan pinggir terhadap buku Makasib Syeikh Anshari.
Buku ini
ditulis berdasarkan buku Makasib Syeikh Anshari dari awal hingga akhir
dan setelah selesai pembahasan dalam buku Makasib, lanjutan pembahasan
yang tidak dibahas dalam buku tersebut ditulis oleh beliau berdasarkan
teks buku Syara’iul Islam. Dalam buku ini beliau menjelaskan pelbagai
pembahasan fiqih dengan pandangan terbarunya.
3.Buku Thaharah.
Ayatullah
Bahjat menulis buku ini sama dengan gara penulisan beliau untuk buku
Kitab Al-Shalah sesuai dengan urutan pembahasan buku Jawahir Al-Kalam
dalam bentuk yang lebih ringkas dan memuat pandangan-pandangan
terbarunya.
4.Jilid lain Kitab Al-Shalah.
Begitu juga
Ayatullah Bahjat bekerjasama dengan Syeikh Abbas Qommi dalam menulis
buku Safinah Al-Bihar dan sebagian besar tulisan tangan buku ini ditulis
oleh beliau.
Murid
Sekalipun
kehidupan Ayatullah Bahjat selalu jauh dari popularitas, namun banyak
yang menimbu ilmu dari beliau. Sebagian dari mereka bahkan mujtahid dan
memiliki buku risalah fatwa. Berikut ini nama sebagian dari mereka:
- Mohammad Taqi Misbah Yazdi.
- Abdul Majid Rashid Pour.
- Sayyid Mahdi Rouhani.
- Ali Pahlavani Tehrani.
- Mokhtar Aminiyan.
- Mohammadi Hadi Feqhi.
- Hadi Qods.
- Mahmoud amjad.
- Mohammadi Imani.
- Mohammad Hassan Ahmadi Faqihi Yazdi.
- Masoudi Khomeini.
- Sayyid Reza Khosrou Shahi.
- Ismail Abidi.
- Hassan Lahouty.
- Aziz Aliyari.
- Sayyid Mohammad Momeni.
- Hossein Mofidi.
- Mohammad Karim Parsa.
- Javad Mohammad Zadeh Tehrani.
- Sayyid Saber Mazandarani.
- Syahid Namaz Shirazi.
- Mahdi Hadawi.
1. Buku Beh Suy-e Mahboub
2. Buku Bargi Aza Daftar-e Aftab