Berikut Nashibi (Wahabi) Salil Sowarim Menyataka: Alquran dgn jelas menjelaskan bahwa Aisyah adalh ahlulbait tp ditolak oleh syiah,ini bukti bahwa syiah kufur :
Sumber: https://www.facebook.com/groups/ahlulbaitnabisaw/permalink/257949560995920/
Jawaban Syiah:
Dikemukakan bahwa Adi bin Hatim dan Zaid bin Al Muhalhal bertanya kepada Rasulullah SAW ”kami tukang berburu dengan anjing dan anjing suku bangsa dzarih pandai berburu sapi, keledai dan kijang, padahal Allah telah mengharamkan bangkai. Apa yang halal bagi kami dari hasil buruan itu? Maka turunlah Al Maidah ayat 4 yang menegaskan hukum hasil buruan.(riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Said bin Jubair).
Mengikut perkembangan zaman, kerana mereka tidak dapat mempertahankan hujah mereka, kini mereka datang membawa penafsiran baru, iaitu, Ayatul Tathir sebenarnya diturunkan untuk isteri Nabi, tetapi Rasulullah(sawa) memperluaskan maksudnya Ahlulbait(as) agar ia meliputi Imam Ali, Fatimah, Imam Hassan dan Imam Hussain(Solawat ke atas mereka semua).
Di dalam perbahasan ini, saya akan membuktikan bahawa hujah dan penafsiran mereka ini adalah keliru, dan kebenarannya adalah Ayatul Tathir hanya diturunkan kepada Ahlulbait(as) yang tidak termasuk isteri-isteri Nabi. Tentu sahaja, untuk membuktikan kebenaran ini, saya akan bawakan dalil dan hujah sahih dari sumber Sunni, untuk membuktikan kejahilan mereka.
Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah aku bersama mereka, Ya Nabi Allah?”. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. [Shahih Sunan Tirmidzi no 3205].
Hujjah mereka ini batal dengan alasan berikut Para Wahabi Nasibi berdalil bahawa hadis di atas adalah menunjukkan ayat itu tidak turun kepada Ahlul Kisa semata-mata, tetapi diturunkan khas untuk para isteri Nabi. Namun atas dasar kecintaannya kepada ahli keluarganya, maka Rasulullah memasukkan Ahlul Kisa ke dalam Ahlulbait(as). Sayangnya, berikut adalah kenyataan yang membatalkan dalil mereka:
Dari Hakim bin Sa’ad yang berkata “kami menyebut-nyebut Ali bin Abi Thalib RA di hadapan Ummu Salamah. Kemudian ia [Ummu Salamah] berkata “Untuknyalah ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun . Ummu Salamah berkata “Nabi SAW datang ke rumahku dan berkata “jangan izinkan seorangpun masuk”. Lalu datanglah Fathimah maka aku tidak dapat menghalanginya menemui ayahnya, kemudian datanglah Hasan dan aku tidak dapat melarangnya menemui datuknya dan Ibunya”. Kemudian datanglah Husain dan aku tidak dapat mencegahnya. Maka berkumpullah mereka di sekeliling Nabi SAW di atas hamparan kain. Lalu Nabi SAW menyelimuti mereka dengan kain tersebut kemudian bersabda “Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”. Lalu turunlah ayat tersebut ketika mereka berkumpul di atas kain. Ummu Salamah berkata “Wahai Rasulullah SAW dan aku?”. Demi Allah, beliau tidak mengiyakan. Beliau hanya berkata “sesungguhnya engkau dalam kebaikan”. [Tafsir At Thabari 22/12 no 21739].
Riwayat Hakim bin Sa’ad di atas dikuatkan oleh riwayat dengan matan yang lebih singkat dari Ummu Salamah iaitu:
Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata : Ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun ditujukan untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/227].
Riwayat Hakim bin Sa’ad ini sanadnya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat,
Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Rabi’ Az Zahrani yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad dari Sufyan Ats Tsawri dari Abi Jahhaf Daud bin Abi ‘Auf dari Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Said Al Khudri RA bahwa firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun untuk lima orang iaitu Rasulullah SAW ,Ali, Fathimah ,Hasan dan Husain radiallahuanhum [Mu’jam As Shaghir Thabrani 1/231 no 375].
Riwayat Abu Sa’id ini sanadnya hasan karena Athiyyah Al Aufy seorang yang hadisnya hasan dan Hasan Al Kirmani adalah seorang yang shaduq la ba’sa bihi.
Ummu Salamah sendiri tidak memahami kejadian itu seperti yang di fahami oleh Wahabi. Malah Ummu Salamah mengakui bahawa beliau bukanlah dari Ahlulbait(as), dan turut menguatkan kenyataan ini adalah sabda Nabi(sawa) kepada beliau: “kamu dalam kebaikan”.
Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Turun dirumahku ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait] kemudian Rasulullah SAW memanggil Ali Fathimah Hasan dan Husain radiallahuanhu ajma’in dan berkata “Ya Allah merekalah Ahlul BaitKu”. Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk Ahlul Bait?”. Rasul SAW menjawab “kamu keluargaku yang baik dan merekalah Ahlul BaitKu Ya Allah keluargaku yang haq”. [Al Mustadrak 2/451 no 3558 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi].
Telah menceritakan kepada kami Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Mukhawwal bin Mukhawwal bin Rasyd Al Hanath yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Jabar bin ‘Abbas Asy Syabami dari Ammar Ad Duhni dari Umarah binti Af’a dari Ummu Salamah yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] dan ketika itu ada tujuh penghuni rumah yaitu Jibril Mikail, Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Aku berada di dekat pintu lalu aku berkata “Ya Rasulullah, apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?” Rasulullah SAW berkata “kamu termasuk istri Nabi Alaihis Salam”. Beliau tidak mengatakan “sesungguhnya kamu termasuk Ahlul Bait”. [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/228].
Riwayat Ummu Salamah ini memiliki sanad yang shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat
Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Aku berkata “wahai Rasulullah apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?. Beliau SAW menjawab “kamu dalam kebaikan kamu termasuk istri Rasulullah SAW”. Aku berkata “Ahlul Bait adalah Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radiallahuanhum ajma’in”.[Al Arba’in Fi Manaqib Ummahatul Mukminin Ibnu Asakir hal 106].
Ibnu Asakir setelah meriwayatkan hadis ini, telah menyatakan bahawa hadis ini shahih. Hadis ini juga menjadi bukti bahawa Ummu Salamah sendiri mengakui bahwa Ahlul Bait yang dimaksudkan dalam Al Ahzab 33 firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.
Seperti yang kita ketahui, kenyataan Wahabi telah terbukti bathil dengan dalil-dalil sokongan yang telah diberikan. Tambahan pula, saya akan sertakan hadis, bahawa Ahlul Kisa sendiri mengakui bahawa merekalah Ahlulbait yang mana kepada mereka ayatul Tathir.
Wahai penduduk Iraq bertakwalah kepada Allah tentang kami, karena
kami adalah pemimpin kalian dan tamu kalian dan kami adalah Ahlul Bait
yang difirmankan oleh Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Beliau terus mengingatkan mereka sehingga tidak ada satu orangpun di dalam masjid yang tidak menangis [Tafsir Ibnu Katsir 3/495].
Riwayat Imam Hasan ini memiliki sanad yang shahih. Ibnu Katsir membawakan sanad berikut:
Ibnu Abi Hatim berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Hushain bin Abdurrahman dari Abi Jamilah bahwa Hasan bin Ali berkata [Tafsir Ibnu Katsir 3/495].
Ibnu Abi Hatim dan Abu Hatim telah terkenal sebagai ulama yang terpercaya dan hujjahm manakla perawi lainnya adalah perawi tsiqah
Pengakuan Ummu Salamah : Ahlul Bait Dalam Al Ahzab 33 Adalah Ahlul Kisa’.
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya soal Al Ahzab 33 atau ayat tathiir. Jika sebelumnya Ummu Salamah mengakui kalau dirinya sebagai istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan sebagai ahlul bait yang dimaksud maka kali ini Ummu Salamah mengakui kalau ahlul bait dalam Al Ahzab 33 ditujukan untuk Ahlul Kisa’ yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alihi wasallam], Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain.
Hadis ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Syahr bin Hausab, ia perawi yang hadisnya hasan dengan penguat dari yang lain. Disini ia telah dikuatkan oleh riwayat Atha’ dari Ummu Salamah dan riwayat Abu Laila Al Kindiy dari Ummu Salamah.
Riwayat ini sanadnya shahih hingga Syahr bin Hausab. Diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya.
Abul Qasim ‘Ali bin Ibrahim adalah Syaikh Al Imam muhaddis yang tsiqat dan terhormat. Ibnu Asakir berkata “tsiqat” [As Siyar 19/359 no 212]. Abu Husain Muhammad bin Abi Nashr An Nursiy adalah Syaikh Al Alim Al Muqri dimana Al Khatib berkata “tsiqat” [As Siyar 18/84 no 37]. Yusuf bin Qasim Al Qadhiy adalah Al Imam Al Hafizh Al Muhaddis, Abdul Aziz bin Ahmad Al Kattaniy menyatakan ia tsiqat [As Siyar 16/361 no 258]. ‘Ali bin Hasan bin Salim disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 3 no 14514]. Ahmad bin Yahya bin Zakaria Al Audiy Ash Shufiy adalah ahli ibadah yang tsiqat [At Taqrib 1/48]. Yusuf bin Ya’qub Ash Shaffar seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/348]. Ubaid bin Sa’di dan ‘Amru bin Qais telah disebutkan bahwa mereka tsiqat. Riwayat ini menjadi penguat bagi riwayat sebelumnya dan sangat jelas menyatakan kalau Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat tathiir adalah Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain.
Abu Bakar Asy Syafi’i adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Ibrahim seorang Imam muhaddis mutqin hujjah faqih musnad Irak. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit banyak meriwayatkan hadis”. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun” [As Siyar 16/40-42 no 27]. Ishaq bin Hasan bin Maimun Al Harbi seorang yang tsiqat. Ibrahim Al Harbi menyatakan “tsiqat”. Abdullah bin Ahmad berkata “tsiqat”. Daruquthni juga menyatakan tsiqat [Tarikh Baghdad 7/413 no 3369]. Malik bin Ismail Abu Ghassan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Abu Hatim dan Yaqub bin Syaibah menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad menyatakan ia shaduq. Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 2]. Fudhail bin Marzuq termasuk perawi Bukhari [dalam Juz Raf’ul Yadain], Muslim dan Ashabus Sunan. Ats Tsawriy menyatakan ia tsiqat. Ibnu Uyainah menyatakan ia tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim menyatakan ia shalih shaduq banyak melakukan kesalahan dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Tahdzib juz 8 no 546]. Pendapat yang rajih Fudhail seorang yang hadisnya hasan pembicaraan terhadapnya tidak menurunkan derajatnya dari derajat hasan. Ibnu Ady berkata “Fudhail hadisnya hasan kukira tidak ada masalah padanya” [Al Kamil Ibnu Adiy 6/19].
Athiyyah bin Sa’ad bin Junadah Al Aufiy adalah tabiin yang hadisnya hasan. Ibnu Sa’ad berkata ”seorang yang tsiqat, insya Allah memiliki hadis-hadis yang baik dan sebagian orang tidak menjadikannya sebagai hujjah” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/304]. Al Ijli berkata ”tsiqat dan tidak kuat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1255].
Ibnu Syahin memasukkannya sebagai perawi tsiqat dan mengutip Yahya bin Ma’in yang berkata ”tidak ada masalah padanya” [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1023]. At Tirmidzi telah menghasankan banyak hadis Athiyyah Al Aufiy dalam kitab Sunan-nya. Sebagian ulama mendhaifkannya seperti Sufyan, Ahmad dan Ibnu Hibban serta yang lainnya dengan alasan tadlis syuyukh. Telah kami buktikan kalau tuduhan ini tidaklah tsabit sehingga yang rajih adalah penta’dilan terhadap Athiyyah. Satu-satunya kelemahan pada Athiyah bukan terletak pada ‘adalah-nya tetapi pada dhabit-nya. Abu Zur’ah berkata “layyin”. Abu Hatim berkata “dhaif ditulis hadisnya dan Abu Nadhrah lebih aku sukai daripadanya” [At Tahdzib juz 7 no 414].
Riwayat Hakim bin Sa’ad ini diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat kecuali Ja’far bin ‘Abdurrahman Al Bajaliy, ia dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat.
Yang meriwayatkan dari Ummu Salamah adalah Abu Laila Al Kindiy, Syahr bin Hausab, Atha’ bin Abi Rabah, Hakim bin Sa’ad dan riwayat Athiyah dari Abu Sa’id dari Ummu Salamah. Walaupun terdapat kelemahan dalam sebagian riwayat tetapi kedudukan riwayat-riwayat tersebut saling menguatkan sehingga tidak diragukan lagi kalau riwayat Ummu Salamah tersebut shahih.
Konsisten Dalam Inkonsisten [Menjawab Hujjah Salafy]
Berikut hadis-hadis yang dijadikan hujjah salafy untuk mendistorsi makna ayat tathiir, dengan hadis itu mereka menginginkan untuk menurunkan keutamaan Ahlul Bait tetapi Alhamdulillah justru dengan hadis-hadis tersebut Allah SWT menunjukkan kelemahan pikiran mereka
Hadis Pertama Riwayat Syahr bin Hausab
Dengan hadis ini salafy menyatakan kalau Ummu Salamah selaku istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga ikut termasuk dalam Ayat tathiir [Al Ahzab 33]. Letak hujjah mereka adalah pada perkataan
Hadis ini tidak menjadi hujjah buat salafy. Jika dengan hadis ini salafy menginginkan kalau ayat tathiir [Al ahzab 33] turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], maka mereka benar-benar keliru. Alasannya:
Pada lafaz pertama doa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menggunakan lafaz “ahli” dan inilah sebenarnya yang ditanyakan Ummu Salamah. Ummu Salamah berharap bahwa dirinya yang juga ahlu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ikut masuk dalam doa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Apakah Ummu Salamah mendapatkannya?. Jawabannya terletak pada lafaz yang akhir
Jadi dengan hanya mengandalkan hadis Syahr bin Hausab di atas maka satu-satunya kesimpulan yang valid berkenaan dengan Ummu Salamah adalah beliau termasuk ahlu [keluarga] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ummu Salamah tidak termasuk dalam doa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Lalu apa sebenarnya kedudukan Ummu Salamah yang dimaksudkan oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Itu dijelaskan dalam hadis Syahr bin Hausab berikut
حدثنا علي بن عبد العزيز و أبو مسلم الكشي قالا ثنا حجاج بن المنهال ( ح )
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz dan Abu
Muslim Al Kasyi [keduanya] berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaj
bin Minhal. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Khalifah Al Fadhl
bin Hubab Al Jimahiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul
Walid Ath Thayalisi [keduanya Hajjaj dan Abu Walid] berkata telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul Hamid bin Bahrm Al Fazaariy yang berkata
telah menceritakan kepada kami Syahr bin Hausab yang berkata aku
mendengar Ummu Salamah mengatakan Fathimah datang suatu pagi sambil
membawa bubur yang dibawanya dengan sebuah talam kemudian ia
menghidangkannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Beliau
[shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “dimanakah anak pamanmu”.
[Fathimah berkata ] “ia di rumah”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
berkata “pergi panggillah ia dan bawalah kedua putranya”. Maka Fathimah
datang sambil menuntun kedua putranya dan Ali berada di belakang mereka.
Kemudian mereka masuk menemui Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dan Beliau mendudukan mereka [Hasan dan Husain] di pangkuannya dan Ali
di samping kanannya dan Fathimah di samping kirinya. [Ummu Salamah]
berkata “kemudian Beliau mengambil dariku kain yang menjadi hamparan
tempat tidur kami di rumah. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
berkata”panggillah suamimu dan kedua putramu hasan dan Husein”. Maka ia
memanggil mereka dan duduklah mereka semuanya memakan bubur dan aku
shalat di dalam kamar maka turunlah ayat “sesungguhnya Allah SWT
berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul bait dan
menyucikanmu sesuci-sucinya”. Beliau mengambil sisa kain dan menutupi
mereka dan mengeluarkan tangan kanan dari kain kearah langit dan berkata
“Ya Allah, mereka adalah ahlul baitku dan kekhususanku maka
hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”.
Ummu Salamah berkata “aku memasukkan kepalaku dan berkata wahai
Rasulullah apakah aku bersama mereka”. Beliau [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menjawab “engkau di atas kebaikan” Beliau mengucapkannya dua
kali [Mu’jam Ath Thabrani 3/53 no 2666].
Hadis Syahr bin Hausab riwayat Thabrani di atas menyebutkan asbabun nuzul al ahzab 33. Dalam hadis ini disebutkan kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain terlebih dahulu baru kemudian turunlah ayat tathiir [al ahzab 33]. Dalam hadis ini Ummu Salamah bertanya apakah ia bersama mereka? dan jawaban Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “engkau di atas kebaikan” adalah penolakan yang halus dari Beliau bahwa Ummu Salamah tidak termasuk dalam ahlul bait bersama mereka tetapi ia tetap dalam kebaikan.
Hadis Kedua Riwayat Atha’ bin Yasar.
Hadis ini dijadikan hujjah salafy untuk menyatakan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah ahlul bait dalam al ahzab 33. Letak hujjah mereka adalah pada lafaz
Perhatikan baik-baik lafaz jawaban Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah “tentu jika Allah SWT menghendaki”. Jawaban Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjukkan bahwa apakah Ummu Salamah adalah ahlul bait atau bukan itu kembali kepada kehendak Allah SWT, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak memastikan tetapi mengucapkan dengan lafal “insya Allah” yang artinya Jika Allah SWT menghendaki. Lafaz ini diucapkan untuk sesuatu yang belum terjadi bukan untuk menyatakan sesuatu yang telah terjadi.
Lafaz “insya Allah” selalu digunakan untuk menyatakan sesuatu yang akan [belum] terjadi atau belum diketahui ketetapan Allah atasnya karena semua yang akan terjadi adalah atas kehendak Allah SWT. Jika Allah SWT menghendaki maka sesuatu itu akan terjadi dan sebaliknya jika Allah SWT menghendaki maka sesuatu itu bisa saja tidak terjadi. Adalah hal yang aneh jika lafaz “insya Allah” dinyatakan untuk sesuatu yang telah terjadi atau sesuatu yang telah diketahui ketetapan Allah SWT atasnya.
Dalam kisah di atas Nabi Musa AS mengatakan bahwa insya Allah dia akan sabar dalam mengikuti Nabi Khidir AS dan kisah tersebut selanjutnya menyebutkan kalau Nabi Musa AS ternyata tidak bisa sabar ketika beliau mengikuti Nabi Khidir. Hal ini menunjukkan kalau lafaz “insya Allah” adalah lafaz yang diucapkan untuk menyatakan sesuatu yang belum dipastikan atau belum diketahui ketetapan Allah SWT atasnya.
Kembali ke hadis riwayat Atha’ bin Yasar di atas, lafaz Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “tentu jika Allah SWT menghendaki” yang diucapkan setelah turunnya ayat tathiir [al ahzab 33] justru menunjukkan bahwa pada hakikatnya ayat tersebut tidak turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ayat tathiir telah turun kepada Rasulullah dan telah diketahui oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] soal ketetapan Allah SWT untuk siapa ayat tersebut tersebut ditujukan atau untuk siapa ahlul bait yang tertuju dalam ayat tersebut. Seandainya Allah SWT menetapkan ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sudah pasti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak akan mengucapkan lafaz “insya Allah”. Logika sederhana saja jika anda menyaksikan suatu peristiwa dan itu baru saja terjadi sangat tidak mungkin ketika ditanya apakah peristiwa itu terjadi? anda mengucapkan “sudah insya Allah”. Mungkin salafy itu tidak bisa membedakan lafaz “tentu” dan “tentu insya Allah”. Baginya mungkin“insya Allah” itu tidak ada artinya hanya sekedar kata yang kebetulan ada di sana
Hadis riwayat Atha’ bin Yasar dari Ummu Salamah justru menunjukkan kedudukan yang sebenarnya Ummu Salamah adalah ahli [keluarga] Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang baik sedangkan yang termasuk ahlul bait dalam al ahzab 33 adalah mereka yang diselimuti oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.
Hadis Ketiga Riwayat Abdullah bin Wahb.
Hadis ketiga adalah hadis ‘Abdullah bin Wahb bin Zam’ah di atas. Agak aneh juga kalau hadis ini dijadikan dasar untuk menyatakan ahlul bait dalam al ahzab 33 adalah istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Pertama, sederhana saja tidak ada satupun keterangan turunnya ayat tathir al ahzab 33 dalam hadis di atas. Kedua, sebagaimana kami katakan sebelumnya lafaz ayat tathiir adalah “ahlul bait” bukannya “ahli”. Ketiga, pernyataan “engkau termasuk keluarga [ahli] ku” tidak berarti bahwa Ummu Salamah selaku istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah ahlul bait dalam al ahzab 33. Silakan lihat contoh riwayat Atha’ bin Yasar dengan lafaz “sesungguhnya kamu adalah ahli [keluargaku] yang baik dan mereka itu adalah ahlul baitKu”, lafaz ini menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ketika menyebutkan lafaz “ahli” bukan berarti sama dengan “ahlul bait”.
Kata “ahli” dan “ahlul bait” dalam hadis kisa’ ternyata tidak persis sama. Secara umum “ahli” dan “ahlul bait” bermakna keluarga tetapi kata “ahlul bait” lebih bermakna khusus dibanding kata “ahli”. Lafaz dalam ayat tathiir [al ahzab 33] adalah “ahlul bait” bukannya “ahli”. Jadi sangat tidak tepat menggunakan lafaz “ahli” sebagai hujjah masuknya istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagai ahlul bait dalam al ahzab 33. Ada hadis lain dengan lafaz “ahli” yang sering disalahgunakan oleh salafiyun
Ada Salafy yang picik pikirannya menyatakan kalau Watsilah bin Asqa’ juga termasuk Ahlul bait dalam ayat tathiir [al ahzab 33] bahkan dengan tidak tahu malu ia mengatakan kalau ayat tersebut berlaku umum untuk siapa saja yang mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Menurut mereka Watsilah bin Asqa’ yang bukan keluarga atau kerabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bisa masuk ke dalam ayat tersebut maka itu menjadi dalil bahwa ayat tersebut berlaku umum untuk semua umat islam asalkan menjadi pengikut Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Silakan para pembaca lihat, hasil akhirnya adalah hadis yang dari awalnya adalah keutamaan Ahlul Bait yang sangat besar dan dikhususkan untuk mereka akhirnya disulap menjadi keutamaan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Kesalahan salafy picik itu jelas terletak pada ketidakpahamannya terhadap lafaz “ahli” dan lafaz “ahlul baiti”. Lafaz “anta min ahli” tidak menunjukkan kalau Watsilah termasuk ke dalam ayat tathiir [al ahzab 33] karena lafaz dalam ayat tathiir adalah “ahlul bait” bukan “ahli”. Lafaz “ahli” lebih bersifat umum bahkan Watsilah bin Asqa’ yang bukan Ahlul Bait Nabi bukan kerabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan pula keturunan Beliau, tidak pula memiliki ikatan baik dari segi nasab maupun pernikahan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetap bisa masuk kedalam lingkup “ahli” Nabi. Watsilah bin Asqa’ hanyalah salah seorang sahabat ahlu shuffah yang ketika itu kebetulan berada di rumah Imam Ali.
Riwayat Watsilah bin Asqa’ ini menjadi bukti kalau ayat tersebut turun berulang-ulang. Selain turun di rumah Ummu Salamah, ayat tersebut ternyata turun juga di rumah Imam Ali seperti yang disebutkan di atas dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menutupi ahlul kisa’ dengan kain kemudian membaca ayat tathiir yang turun saat itu. Riwayat Bukhari dengan jelas menyebutkan lafaz perkataan Watsilah bin Asqa’ ada ayat yang turun, dan riwayat Bukhari adalah riwayat yang menyebutkan peristiwa yang sama [hanya lebih ringkas dari riwayat Ibnu Hibban] yaitu ketika Watsilah bin Asqa’ mengunjungi Imam Ali di rumahnya. Fakta ini membuktikan kalau ayat tersebut sebenarnya turun untuk Ali, Fathimah, Hasan dan Husain sehingga ketika ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah [pada riwayat Ummu Salamah], Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] langsung memanggil mereka untuk diselimuti dengan kain kemudian menyebutkan ayat yang turun kepada mereka.
Hadis Keempat Riwayat Ummu Habibah binti Kisaan.
Salafy berhujjah dengan hadis ini yaitu pada lafaz “engkau bersama kami”. Jawaban kami : hadis ini dhaif, di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi majhul [tidak dikenal] yaitu Qaasim bin Muslim Al Haasyimiy dan Ummu Habibah binti Kiisan. Selain itu matan hadis ini juga bertentangan dengan keyakinan salafy, salafy berkeyakinan bahwa ayat al ahzab 33 tidak turun untuk ahlul kisa’ [Ali, Fathimah, Hasan dan Husain] tetapi untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka hanyalah perluasan ayat seperti yang diinginkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis Ummu Habibah di atas justru menunjukkan bahwa ayat al ahzab 33 memang turun untuk ahlul kisa’, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil mereka kemudian setelah menutupi dengan kain baru turunlah ayat tersebut. Salafy tersebut hanya mengutip lafaz hadis bagian akhir karena ia mengetahui kalau lafaz sebelumnya bertentangan dengan keyakinannya. Ia berhujjah dengan sebagian tetapi menolak sebagian yang lain karena sebagian yang lain tersebut menentang dirinya. Sungguh cara berhujjah yang aneh.
Kemudian ada yang lucu dengan pernyataannya soal lafaz riwayat Ummu Salamah yang lain yaitu “engkau tetap di tempatmu dan engkau menuju kebaikan”. Lafaz ini menurutnya tidak bertentangan dengan lafaz “masuklah ke balik kain” karena perintah agar Ummu Salamah tidak masuk ke balik kain karena di situ ada mahram-nya yaitu Ali bin Abi Thalib setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selesai berdoa dan Ali keluar barulah ia masuk ke balik kain. Pernyataan ini mengada-ada karena di dalam riwayat lain justru disebutkan bagaimana Ummu Salamah langsung saja memasukkan kepalanya kebalik kain dan bertanya “apakah aku bersama mereka” padahal saat itu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedang menyelimuti mereka.
Jika memang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menginginkan untuk menyelimuti Ummu Salamah, Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bisa mengatur posisi dimana Ali berada di sisi yang lain dan Ummu Salamah berada di sisi yang tidak berdekatan dengan Ali misalnya lebih mendekat kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Alasan “mahram” ini hanyalah alasan yang diada-adakan saja. Lafaz yang tsabit dari Ummu Salamah [sebagaimana diriwayatkan oleh jama’ah] adalah lafaz “engkau menuju kebaikan” sedangkan lafaz “masuklah ke balik kain” hanya diriwayatkan dalam salah satu riwayat Syahr bin Hausab dan ternyata Ummu Salamah masuk ke balik kain setelah selesainya doa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menunjukkan bahwa ia bukanlah ahlul bait yang dimaksud.
Inkonsistensi Salafy
Berikutnya kami akan menunjukkan siapa sebenarnya yang tidak konsisten dalam pembahasan al ahzab 33 ini. Salafy berkeyakinan kalau ayat tersebut turun khusus untuk istri-istri Nabi sedangkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain hanyalah perluasan ayat sebagaimana yang dikehendaki oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Silakan perhatikan al ahzab dari ayat 32 sampai 34.
Jika ayat penyucian tidak turun terpisah dari bagian sebelum dan sesudahnya maka ia akan turun dengan lafaz seperti di atas dimana dalam ayat-ayat tersebut terdapat lafaz “hai istri-istri Nabi”. Ketika ayat ini turun di rumah Ummu Salamah mengapa Ummu Salamah tidak mengetahui ayat tersebut turun untuknya padahal ia menyaksikan ayat tersebut turun dan terdapat lafaz ‘hai istri-istri Nabi”. Apakah setelah mendengar lafaz ini Ummu Salamah perlu mengajukan pertanyaan atau keinginan agar dirinya ikut bersama ahlul kisa’?. Ini jelas absurd sekali.
Kemudian jika memang ayat tersebut turun dengan lafaz “hai istri-istri Nabi” maka mengapa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak memanggil istri-istri Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang lain, mengapa hal pertama yang dilakukan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain yang bukan orang yang dituju oleh ayat tersebut?. Apa mungkin Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lebih mementingkan kehendaknya untuk memperluas ayat daripada kewajiban menyampaikan ayat tersebut kepada orang yang seharusnya ditujukan oleh ayat tersebut. Inilah pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan benar oleh salafy.
Perhatikan kata-kata sebelum lafaz “innama” semuanya mengandung kata kerja dengan kata ganti khusus perempuan misalnnya pada kata “tetaplah di rumahmu” yang menggunakan kata “buyuutikunna”. Digunakan kata ganti khusus perempuan karena yang dituju disini adalah khusus istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Ayat ini adalah bagian awal al ahzab 33 dan perhatikanlah semua perintahnya menggunakan kata ganti khusus untuk perempuan kemudian selanjutnya bagian ini disambung dengan lafaz
Pada bagian ayat penyucian ini semua lafaz ayat kepada orang yang dituju [bahkan sebelum munculnya kata ahlul bait] menggunakan kata ganti “kum” dimana kata ganti ini tertuju bahwa orang yang dimaksud adalah semuanya laki-laki atau gabungan laki-laki dan perempuan. Jika ayat ini merupakan satu kesatuan dengan bagian awal al ahzab 33 maka kita patut bertanya pada salafy kata “kum” pada lafaz liyudzhiba ‘ankum itu kembali kepada siapa?. Siapa laki-laki pada kata “kum” tersebut.
Kita dapat menebak jawaban salafy yaitu ia akan berkata penggunaan kata “kum” karena Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagai Sayyidul bait juga ikut masuk dalam ayat tersebut. Pernyataan ini jelas inkonsisten, awalnya ia bilang ayat tersebut turun khusus untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sekarang ia berkata ayat tersebut juga turun untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Tetapi jika memang yang diajak bicara khusus untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengapa menggunakan kata “kum” bukannya “kunna”. Siapakah laki-laki yang ikut masuk dalam ayat tersebut? Darimana datangnya laki-laki tersebut?.
Salafy yang lain berapologi kalau “kum” itu ditujukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena penyucian terhadap istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah penyucian terhadap Nabi juga. Intinya ia mau mengatakan kalau “kum” disana tetap merujuk pada istri-istri Nabi tetapi karena penyucian itu untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka otomatis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga tersucikan, Nabi adalah sayyidul bait maka apa yang terjadi pada ahlul bait-nya juga berpengaruh pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Kami jawab : ini hujjah basa-basi seolah kelihatan bagus tetapi gak nyambung. Yang dipermasalahkan adalah penggunaan kata “kum” seandainya digunakan kata “kunna” masih bisa klop dengan perkataannya kalau penyucian terhadap istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga berarti penyucian terhadap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam bahasa arab kata “kum” ditujukan untuk orang yang diajak bicara jika yang diajak bicara itu laki-laki atau gabungan laki-laki dan perempuan bukannya khusus untuk perempuan. Kata “kum” tertuju kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk dibersihkan dosanya
Salafy berkeyakinan kalau yang dimaksud Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari ahlul bait adalah dengan adanya perintah-perintah di kalimat sebelumnya yaitu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya maka Allah SWT menginginkan ahlul bait terhindar dari dosa. Apakah “kum” disana tertuju kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan istri-istri Beliau?. Apakah Nabi juga dikehendaki Allah SWT dihilangkan dosanya dengan memerintahkan Beliau agar tetap di rumah atau agar mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya?. Aneh sekali.
Dan hujjah “untuk istri Nabi otomatis untuk Nabi” juga tertolak oleh lafaz ini. Apakah maksud lafaz “menghilangkan dosa dari kamu” itu berarti ketika dosa istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dihilangkan maka itu berarti dosa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga hilang?. Apakah ketika istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berdosa melanggar perintah Allah SWT dan Rasul-nya maka Nabi juga ikut berdosa?.
Pertanyaan yang sama bisa kita tujukan kepada salafy yaitu berkenaan dengan masuknya Ali, Hasan dan Husain yang dikatakannya atas inisiatif Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau perluasan ayat. Mengapa Ali, Hasan dan Husain diinginkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ikut dalam al ahzab 33 padahal ayatnya berbunyi
Kami ulangi jika ayat ini dipandang sebagai satu kesatuan maka kehendak Allah SWT menghilangkan dosa dari ahlul bait itu terikat dengan perintah yang Allah SWT kenakan kepada mereka yaitu : “tetaplah di rumahmu dan janganlah berhias”. Apakah masuk akal mengatakan kalau Ali, Hasan dan Husain diharuskan melaksanakan perintah ini juga agar mendapatkan penyucian oleh Allah SWT?. Dimana logikanya?
Semua kemusykilan yang tidak bisa dijawab salafy itu dengan benar akan terjawab dengan menyatakan kalau lafaz “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” turun terpisah dari bagian sebelum dan sesudahnya dan ayat ini khusus tertuju untuk ahlul kisa’ [Ali, Fathimah, Hasan dan Husain]. Penyucian yang dimaksud tidak terikat syariat tetapi berupa ketetapan yang Allah SWT berikan kepada mereka sehingga ketika anugerah penyucian ini diberikan kepada mereka, Ummu Salamah selaku istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga mengharapkannya.
Tentu saja ini hujjah yang jahil. Apakah ia tidak mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah Nabi yang maksum dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT?. Apakah ia tidak mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah dijamin oleh Allah SWT akan kedudukannya di surga?.
Kemudian mari kita tanyakan padanya, apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah berdoa memohon ampun kepada Allah SWT?. Jika ia menjawab Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetap berdoa kepada Allah SWT apakah itu menunjukkan kalau Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebelumnya tidak dijamin oleh Allah SWT.
Allah SWT telah bershalawat kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Allah SWT juga memerintahkan agar orang-orang beriman bershalawat kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan bagaimanakan shalawat yang diperintahkan itu.
Silakan perhatikan lafaz “Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad” itulah yang diajarkan padahal Allah SWT telah menurunkan ayat bahwa “Allah SWT telah bershalawat kepada Nabi”. Apakah adanya doa tersebut menunjukkan Allah SWT belum bershalawat kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Maka dapat kita katakan, ayat al ahzab 33 telah turun untuk ahlul bait [Ali, Fathimah, Hasan dan Husain] dan doa yang diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah penegasan kalau ayat tersebut memang untuk mereka dan merupakan keutamaan bagi mereka. Salam Damai
Sumber: https://www.facebook.com/groups/ahlulbaitnabisaw/permalink/257949560995920/
Jawaban Syiah:
Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Ahlul Bait (Ahlul Bait Dalam Ayat Tathir Bukan istri-istri Nabi SAW).
Ayat Tathir Surah Al Ahzab 33 Bukan Untuk Istri-istri Nabi SAW.
Telah dibuktikan dalam hadis-hadis shahih bahwa ayat Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33) adalah ayat yang turun sendiri terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya. Hal ini bisa dilihat dari
- Hadis Shahih Sunan Tirmidzi menyatakan Diriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah yang berkata, “ Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.(QS Al Ahzab 33). Ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah. Dari hadis tersebut diketahui ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa penyelimutan Ahlul Bait SAW yaitu Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.
- Hadis riwayat An Nasai dalam Khashaish Al Imam Ali hadis 51 dan dishahihkan oleh Abu Ishaq Al Huwaini Al Atsari. Diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqash Dan ketika ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.(QS Al Ahdzab 33)” turun Beliau SAW memanggil Ali,Fathimah,Hasan dan Husain lalu bersabda Ya Allah mereka adalah keluargaku”.
Hadis-hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ayat Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33)
turun sendiri terpisah dari ayat sebelum dan sesudahnya dan ditujukan
untuk Ahlul Kisa’ yaitu Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah as, Imam Ali
as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.
Hadis Shahih Sunan Tirmidzi itu juga menjelaskan bahwa Ayat Tathir jelas tidak ditujukan untuk Istri-istri Nabi SAW. Bukti hal ini adalah:
- Pertanyaan Ummu Salamah, jika Ayat yang dimaksud memang turun untuk istri-istri Nabi SAW maka seyogyanya Ummu Salamah tidak perlu bertanya Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW?. Bukankah jika ayat tersebut turun mengikuti ayat sebelum maupun sesudahnya maka adalah jelas bagi Ummu Salamah bahwa Beliau ra juga dituju dalam ayat tersebut dan Beliau ra tidak akan bertanya kepada Rasulullah SAW. Adanya pertanyaan dari Ummu Salamah ra menyiratkan bahwa ayat ini benar-benar terpisah dari ayat yang khusus untuk Istri-istri Nabi SAW.
- Penolakan Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah, Beliau SAW bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan”. Hal ini menunjukkan Ummu Salamah selaku salah satu Istri Nabi SAW tidaklah bersama mereka Ahlul Bait yang dituju oleh ayat ini. Beliau Ummu Salamah ra mempunyai kedudukan tersendiri.
Untuk meyakinkan mari kita lihat Asbabun Nuzul ayat sebelum Ayat Tathir yaitu Al Ahzab ayat 28 dan 29 “Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan
kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (28). Dan
jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasulnya-Nya serta di negeri
akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat
baik diantaramu pahala yang besar (29).
Dalam kitab Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul
As Suyuthi, Beliau membawakan riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i yang
berkenaan turunnya ayat ini, riwayat itu jelas berkaitan dengan
peristiwa lain(bukan penyelimutan) dan ditujukan kepada istri-istri Nabi
SAW.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa
Abu Bakar meminta izin berbicara kepada Rasulullah SAW akan tetapi
ditolaknya. Demikian juga Umar yang juga ditolaknya. Tak lama kemudian
keduanya diberi izin masuk di saat Rasulullah SAW duduk terdiam
dikelilingi istri-istrinya(yang menuntut nafkah dan perhiasan). Umar
bermaksud menggoda Rasulullah SAW agar bisa tertawa dengan berkata “ya
Rasulullah SAW sekiranya putri Zaid, istriku minta belanja akan
kupenggal lehernya”.
Maka tertawa lebarlah Rasulullah SAW dan bersabda “Mereka ini yang ada disekelilingku meminta nafkah kepadaku”. Maka berdirilah Abu Bakar menghampiri Aisyah untuk memukulnya dan demikian juga Umar menghampiri Hafsah sambil keduanya berkata “Engkau meminta sesuatu yang tidak ada pada Rasulullah SAW”. Maka Allah menurunkan ayat “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (28) sebagai petunjuk kepada Rasulullah SAW agar istr-istrinya menentukan sikap.
Maka tertawa lebarlah Rasulullah SAW dan bersabda “Mereka ini yang ada disekelilingku meminta nafkah kepadaku”. Maka berdirilah Abu Bakar menghampiri Aisyah untuk memukulnya dan demikian juga Umar menghampiri Hafsah sambil keduanya berkata “Engkau meminta sesuatu yang tidak ada pada Rasulullah SAW”. Maka Allah menurunkan ayat “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (28) sebagai petunjuk kepada Rasulullah SAW agar istr-istrinya menentukan sikap.
Beliau mulai bertanya kepada Aisyah
tentang pilihannya dan menyuruh bermusyawarah lebih dahulu dengan kedua
ibu bapaknya . Aisyah menjawab “Apa yang mesti kupilih?”. Rasulullah SAW
membacakan ayat Dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan
Rasulnya-Nya serta di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah
menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar
(29). Dan Aisyah menjawab “Apakah soal yang berhubungan dengan tuan
mesti kumusyawarahkan dengan Ibu Bapakku? Padahal aku sudah menetapkan
pilihanku yaitu Aku memilih Allah dan RasulNya”.(diriwayatkan oleh
Muslim, ahmad dan Nasa’i dari Abiz Zubair yang bersumber dari Jubir).
Oleh karena itu jelas sekali kekeliruan saudara Ja’far dalam tulisannya, dimana dia berkata:
“Lihatlah bahwasanya ayat-ayat sebelum (Q.S.Al-Ahzab 28-32) dan sesudah (Q.S.Al-Ahzab 34) dari ayat 33 bercerita tentang istri Nabi SAW, maka tidak mungkin secara logika ayat 33 tsb menyimpang topiknya (mengkhususkan tentang Ali, Fatimah, Hasan dan Husein) padahal ayat 33 tsb ada ditengah-tengah ayat-ayat yang bercerita tentang istri Nabi SAw. Juga salah jika dikatakan ayat 33 tsb hanya berlaku untuk istri nabi SAW padahal Ali, Fatimah, Hasan dan Husein juga termasuk didalamnya sebagaimana hadis shahih Muslim yang disebut diatas”.
Jawab saya :Berdasarkan hadis Asbabun
Nuzul yang shahih maka didapati bahwa Ayat Tathir turun berkaitan dengan
peristiwa lain yang tidak berhubungan dengan istri-istri Nabi SAW. Hal
ini berbeda dengan ayat sebelumnya yang memang ditujukan terhadap
istri-istri Nabi SAW.
Mari kita lihat Al Ahzab ayat 33 yang berbunyi ”dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (33)”.
Telah jelas berdasarkan hadis Shahih Sunan Tirmidzi bahwa ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya turun
khusus ditujukan untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah as, Imam Ali
as, Imam Hasan as dan Imam Husain as dan bukan untuk istri-istri Nabi
SAW. Jadi bisa disimpulkan kalau penggalan pertama Al Ahzab 33 memang
ditujukan untuk Istri-istri Nabi SAW sedangkan penggalan terakhir
berdasarkan dalil shahih turun sendiri dan ditujukan untuk
pribadi-pribadi yang lain. Hal ini bisa saja terjadi jika ada dalil
shahih yang berkata demikian.
Saudara Ja’far menolak hal ini dengan berkata:
Jelas sekali pangkal ayat 33 tsb mengacu pada para istri Nabi SAW. Atau kata-katanya maka tidak mungkin secara logika ayat 33 tsb menyimpang topiknya (mengkhususkan tentang Ali, Fatimah, Hasan dan Husein) padahal ayat 33 tsb ada ditengah-tengah ayat-ayat yang bercerita tentang istri Nabi SAW.
Mungkin Secara logika Penulis adalah
wajar jika satu ayat biasanya diturunkan secara keseluruhan. Hal ini
memang benar tetapi satu ayat Al Quran juga bisa diturunkan dengan
sepenggal-sepenggal dan berkaitan dengan peristiwa yang berlainan karena
memang ada dalil shahih yang menunjukkan demikian. Ayat Tathir di atas
jelas salah satunya. Mari kita lihat contoh lain yaitu Al Maidah ayat 3
dan 4.
Diharamkan bagimu memakan bangkai,
darah, daging babi yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan diharamkan
bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib
dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
mengalahkan agamamu sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepadaku. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu
agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhai Islam
itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(Al Maidah ayat 3).
Penggalan Al Maidah ayat 3 yaitu Pada
hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan
kepadamu nikmatKu dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu
berdasarkan dalil yang shahih turun di arafah dan ayat ini masyhur
sebagai ayat Al Quran yang terakhir kali turun. Saya akan mengutip hadis
yang sebelumnya pernah ditulis oleh saudara Ja’far.
Dari Thariq bin Syihab, ia berkata,
‘Orang Yahudi berkata kepada Umar, ‘Sesungguhnya kamu membaca ayat yang
jika berhubungan kepada kami, maka kami jadikan hari itu sebagai hari
besar’. Maka Umar berkata, ‘Sesungguhnya saya lebih mengetahui dimana
ayat tersebut turun dan dimanakah Rasulullah SAW ketika ayat tersebut
diturunkan kepadanya, yaitu diturunkan pada hari Arafah (9 Dzulhijjah)
dan Rasulullah SAW berada di Arafah. Sufyan berkata: “Saya ragu, apakah
hari tsb hari Jum’at atau bukan (dan ayat yang dimaksud tersebut) adalah
“Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu” (H.R.Muslim, kitab At-Tafsir).
Dalam kitab Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul As Suyuthi berkenaan dengan Al Maidah ayat 3 membawakan riwayat Ibnu Mandah dalam Kitabus Shahabah dari Abdullah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar dari bapaknya yang bersumber dari datuknya yaitu:
Dalam kitab Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul As Suyuthi berkenaan dengan Al Maidah ayat 3 membawakan riwayat Ibnu Mandah dalam Kitabus Shahabah dari Abdullah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar dari bapaknya yang bersumber dari datuknya yaitu:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa
ketika Hibban sedang menggodog daging bangkai, Rasulullah SAW ada
bersamanya. Maka turunlah Al Maidah ayat 3 yang mengharamkan bangkai.
Seketika itu juga isi panci itu dibuang. Riwayat ini jelas
berkaitan dengan peristiwa yang berbeda dengan peristiwa hari arafah
tetapi ayat yang dimaksud jelas sama-sama Al Maidah ayat 3. Dari sini
bisa disimpulkan bahwa Al Maidah ayat 3 turun sepenggal-sepenggal dan
penggalan “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu” turun di Arafah.
Mari kita lihat Al Maidah ayat 4, Mereka
menyakan kepadamu :Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah
dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh
binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu
mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka
makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah
atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah
sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya.(Al Maidah ayat 4).
Dalam kitab Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul,
As Suyuthi berkenaan dengan Al Maidah ayat 4 membawakan riwayat Ath
Thabrani, Al Hakim, Baihaqi dan lainnya bersumber dari Abu Rafi’,
riwayat Ibnu Jarir dan riwayat Ibnu Abi Hatim.
Dikemukakan bahwa Adi bin Hatim dan Zaid bin Al Muhalhal bertanya kepada Rasulullah SAW ”kami tukang berburu dengan anjing dan anjing suku bangsa dzarih pandai berburu sapi, keledai dan kijang, padahal Allah telah mengharamkan bangkai. Apa yang halal bagi kami dari hasil buruan itu? Maka turunlah Al Maidah ayat 4 yang menegaskan hukum hasil buruan.(riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Said bin Jubair).
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas Al
Maidah ayat 3 dan 4 diturunkan berkaitan dengan makanan yang halal dan
haram tetapi di tengah-tengah ayat tersebut terselip pembicaraan lain
yaitu “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agama bagimu”. Padahal telah jelas bahwa ayat ini diturunkan di arafah sebagai tanda bahwa agama Islam telah sempurna.
Lihat baik-baik Al Maidah ayat 4 turun setelah Al Maidah ayat 3 yang mengharamkan bangkai, ini dilihat dari kata-kata padahal Allah telah mengharamkan bangkai pada
hadis asbabun Nuzul Al Maidah ayat 4 riwayat Ibnu Abi Hatim di atas.
Oleh karena itu ketika Al Maidah ayat 3 turun mengharamkan bangkai,
penggalan “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu” belum turun karena Al Maidah ayat 4
turun setelah Al Maidah ayat 3 yang mengharamkan bangkai. Seandainya
penggalan ini turun bersamaan dengan pengharaman bangkai maka tidak akan
ada syariat lain lagi yang diturunkan karena agama Islam telah sempurna
tetapi kenyataannya setelah pengharaman bangkai Al Maidah ayat 3
diturunkan Al Maidah ayat 4 tentang apa yang dihalalkan.
Pernyataan Bahwa Ayat Tathir ini
dikhususkan untuk Ahlul Kisa’ saja yaitu Rasulullah SAW, Sayyidah
Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as dan bukan
untuk istri-istri Nabi SAW tidak hanya dinyatakan oleh Syiah saja.
Bahkan ada Ulama Sunni yang berpandangan demikian. Ulama Sunni yang
dimaksud yaitu
- Abu Ja’far Ath Thahawi (yang terkenal dengan karyanya Aqidah Ath Thahawiyah) juga menyatakan hal yang serupa dalam karyanya Musykil Al Atsar jilid I hal 332-339 dalam pembahasannya tentang hadis-hadis Ayat Tathir dimana dia berkata ”Karena maksud sebenarnya dari ayat suci ini hanyalah Rasulullah SAW sendiri, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan tidak ada lagi orang selain mereka”.
- Sayyid Alwi bin Thahir dalam kitab Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 292-293 mengutip pernyataan Sayyid Ali As Samhudi yang menyatakan bahwa Ayat Tathir khusus untuk Ahlul Kisa’ dan bukan istri-istri Nabi SAW.
Ayatul Tathir hanya diturunkan kepada Ahlulbait(as) yang tidak termasuk isteri-isteri Nabi. Tentu sahaja, untuk membuktikan kebenaran ini, saya akan bawakan dalil dan hujah sahih dari sumber Sunni, untuk membuktikan kejahilan mereka.
Hadis Yang Menjelaskan Siapa Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33
Di dalam Al Quran, terdapat sebuah ayat yang cukup fenomenal dan menjadi kontroversi di antara pengikut Wahabi dan Pengikut Syiah. Syiah meyakini bahawa Ayatul Tahthir, surah Al Ahzab, ayat 33, yang diturunkan kepada Ahlulbait(as) bukannya turun untuk ister-isteri Nabi, manakala para Wahabi pula memegang pendapat bahawa ayat ini adalah untuk isteri-ister Nabi.Mengikut perkembangan zaman, kerana mereka tidak dapat mempertahankan hujah mereka, kini mereka datang membawa penafsiran baru, iaitu, Ayatul Tathir sebenarnya diturunkan untuk isteri Nabi, tetapi Rasulullah(sawa) memperluaskan maksudnya Ahlulbait(as) agar ia meliputi Imam Ali, Fatimah, Imam Hassan dan Imam Hussain(Solawat ke atas mereka semua).
Di dalam perbahasan ini, saya akan membuktikan bahawa hujah dan penafsiran mereka ini adalah keliru, dan kebenarannya adalah Ayatul Tathir hanya diturunkan kepada Ahlulbait(as) yang tidak termasuk isteri-isteri Nabi. Tentu sahaja, untuk membuktikan kebenaran ini, saya akan bawakan dalil dan hujah sahih dari sumber Sunni, untuk membuktikan kejahilan mereka.
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
} في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره
فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا
قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير
Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah aku bersama mereka, Ya Nabi Allah?”. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. [Shahih Sunan Tirmidzi no 3205].
Hujjah mereka ini batal dengan alasan berikut Para Wahabi Nasibi berdalil bahawa hadis di atas adalah menunjukkan ayat itu tidak turun kepada Ahlul Kisa semata-mata, tetapi diturunkan khas untuk para isteri Nabi. Namun atas dasar kecintaannya kepada ahli keluarganya, maka Rasulullah memasukkan Ahlul Kisa ke dalam Ahlulbait(as). Sayangnya, berikut adalah kenyataan yang membatalkan dalil mereka:
- Hadis dari At Tarmizi di atas menunjukkan bahawa, ketika ayat ini turun, Rasulullah lantas memanggil Ahlul Kisa, dan bukanlah isteri-isteri baginda yang seterusnya. Jika benar ayat ini untuk ister-isteri Nabi, maka sudah tentu baginda akan memanggil isteri baginda yang selebihnya.
- Ummu Salamah sendiri tidak merasakan bahawa diri beliau adalah termasuk dengan Ahlulbait, ini terbukti dengan pertanyaan beliau: [“Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”] bahkan dalam riwayat lain Ummu Salamah bertanya [“Apakah Aku termasuk Ahlul Bait?”].
- Secara logiknya, jika ayat Quran itu diturunkan oleh Allah swt kepada para isteri Nabi, iaitu Ahlulbait(as) itu hanya khusus untuk isteri Nabi pada asalnya, maka apakah hak Rasulullah(sawa), atas dasar kecintaan peribadi beliau, dengan sengaja meluaskan Ahlulbait kepada ahlul Kisa, sedangkan sudah jelas, Ahlulbait di dalam surah itu untuk isteri Nabi?
- Di awal tadi, hujah Nasibi mengatakan bahawa ayat ini diturunkan untuk isteri Nabi, dan kemudiannya, Rasulullah meluaskan Ahlulbait(as) kepada Ahlul Kisa. Jika benar apa yang mereka ucapkan, maka sepatutnya Rasulullah(sawa) apabila turun sahaja ayat itu, perkara pertama yang dibuat baginda adalah semestinya memberitahukan hal itu kepada Ummu Salamah(tambahan pula ayat ini turun di rumah beliau, logik la sikit) dan seterusnya memanggil isteri-isteri baginda yang lain untuk menerangkan bahawa ayat itu turun kepada mereka. Dan seterusnya, oleh kerana baginda mahu memasukkan Ahlul Kisa ke dalam Ahlulbait(as), barulah baginda memanggil keseluruhan Ahlul Kisa ke rumahnya Ummu Salamah. Mustahil untuk Seorang Rasul, mendahulukan kemahuannya dari kemahuan Allah, iaitu menyatakan ayat tersebut kepada orang yang di tuju.
- Jika sekiranya benar seperti apa yang dikatakan oleh Wahabi, iaitu Ummu Salamah bertanya di dalam keadaan tidak mengetahui akan maksudnya Ahlulbait, lalu selepas beliau bertanya, Rasulullah memberi jawabannya. Maka apabila beliau meriwayatkan kepada tabi’in akan hadis ini, sudah pasti beliau sudah menjelaskan kepada tabi’in akan salah faham beliau berkaitan hal ini, iaitu tentang soalan yang beliau tanyakan, dan penjelasan Rasulullah(sawa). Atau, mungkin beliau akan terus menerangkan Ahlulbait(as) itu adalah para isteri Rasulullah(sawa). Tetapi malangnya, kita dapati tidak wujud riwayat tentang penjelasan Rasulullah atau dari Ummu Salamah berkaitan hal ini, membuktikan hujah Wahabi itu kosong dan dipaksakan.
عن حكيم بن سعد قال ذكرنا علي بن أبي طالب رضي الله عنه عند أم سلمة قالت فيه نزلت (إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا)
قالت أم سلمة جاء النبي صلى الله عليه وسلم إلى بيتي, فقال: “لا تأذني
لأحد”, فجاءت فاطمة, فلم أستطع أن أحجبها عن أبيها, ثم جاء الحسن, فلم
أستطع أن أمنعه أن يدخل على جده وأمه, وجاء الحسين, فلم أستطع أن أحجبه,
فاجتمعوا حول النبي صلى الله عليه وسلم على بساط, فجللهم نبي الله بكساء
كان عليه, ثم قال: “وهؤلاء أهل بيتي, فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا,
فنزلت هذه الآية حين اجتمعوا على البساط; قالت: فقلت: يا رسول الله: وأنا,
قالت: فوالله ما أنعم وقال: “إنك إلى خير”
Dari Hakim bin Sa’ad yang berkata “kami menyebut-nyebut Ali bin Abi Thalib RA di hadapan Ummu Salamah. Kemudian ia [Ummu Salamah] berkata “Untuknyalah ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun . Ummu Salamah berkata “Nabi SAW datang ke rumahku dan berkata “jangan izinkan seorangpun masuk”. Lalu datanglah Fathimah maka aku tidak dapat menghalanginya menemui ayahnya, kemudian datanglah Hasan dan aku tidak dapat melarangnya menemui datuknya dan Ibunya”. Kemudian datanglah Husain dan aku tidak dapat mencegahnya. Maka berkumpullah mereka di sekeliling Nabi SAW di atas hamparan kain. Lalu Nabi SAW menyelimuti mereka dengan kain tersebut kemudian bersabda “Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”. Lalu turunlah ayat tersebut ketika mereka berkumpul di atas kain. Ummu Salamah berkata “Wahai Rasulullah SAW dan aku?”. Demi Allah, beliau tidak mengiyakan. Beliau hanya berkata “sesungguhnya engkau dalam kebaikan”. [Tafsir At Thabari 22/12 no 21739].
Riwayat Hakim bin Sa’ad di atas dikuatkan oleh riwayat dengan matan yang lebih singkat dari Ummu Salamah iaitu:
حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد
الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة
قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata : Ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun ditujukan untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/227].
Riwayat Hakim bin Sa’ad ini sanadnya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat,
- Fahd, Beliau adalah Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang terpercaya (tsiqah) dan kuat (tsabit) sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi dan Ibnu Asakir [Tarikh Al Islam 20/416 dan Tarikh Ibnu Asakir 48/459 no 5635].
- Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq(jujur)” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 299].
- Jarir bin Abdul Hamid, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 2 no 116].
- Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386].
- Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Ta’jil Al Manfaah 1/ 387]. Imam Bukhari menyebutkan biografinya seraya mengutip bahawa dia seorang Syaikh Wasith tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174]. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy. [Ats Tsiqat juz 6 no 7050].
- Hakim bin Sa’ad, sebagaimana disebutkan bahwa beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun(yang berarti tsiqah). Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 787].
حدثنا الحسن بن أحمد بن حبيب الكرماني بطرسوس حدثنا
أبو الربيع الزهراني حدثنا عمار بن محمد عن سفيان الثوري عن أبي الجحاف
داود بن أبي عوف عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه في قوله
عز و جل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قال
نزلت في خمسة في رسول الله صلى الله عليه و سلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين
رضي الله عنهم
Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Rabi’ Az Zahrani yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad dari Sufyan Ats Tsawri dari Abi Jahhaf Daud bin Abi ‘Auf dari Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Said Al Khudri RA bahwa firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun untuk lima orang iaitu Rasulullah SAW ,Ali, Fathimah ,Hasan dan Husain radiallahuanhum [Mu’jam As Shaghir Thabrani 1/231 no 375].
Riwayat Abu Sa’id ini sanadnya hasan karena Athiyyah Al Aufy seorang yang hadisnya hasan dan Hasan Al Kirmani adalah seorang yang shaduq la ba’sa bihi.
- Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani dia seorang yang shaduq seperti yang disebutkan Adz Dzahabi [Al Kasyf no 1008]. Ibnu Hajar menyatakan ia la ba’sa bihi [tidak ada masalah] kecuali hadisnya dari Musaddad [At Taqrib 1/199].
- Abu Rabi’ Az Zahrani yaitu Sulaiman bin Daud seorang Al Hafizh [Al Kasyf no 2088] dan Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/385].
- Umar bin Muhammad Ats Tsawri seorang yang tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Ali bin Hujr, Abu Ma’mar Al Qathi’I, Ibnu Saad dan Ibnu Syahin. Disebutkan dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4832].
- Sufyan Ats Tsawri seorang Imam Al Hafizh yang dikenal tsiqah. Adz Dzahabi menyebutnya sebagai Al Imam [Al Kasyf no 1996] dan Ibnu Hajar menyatakan ia Al hafizh tsiqah faqih ahli ibadah dan hujjah [At Taqrib 1/371].
- Daud bin Abi Auf Abu Jahhaf, ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan An Nasa’i berkata “tidak ada masalah dengannya”. [At Tahdzib juz 3 no 375] dan Ibnu Syahin telah memasukkan Abul Jahhaf sebagai perawi tsiqah [Tarikh Asma’ Ats Tsiqat no 347].
Ummu Salamah sendiri tidak memahami kejadian itu seperti yang di fahami oleh Wahabi. Malah Ummu Salamah mengakui bahawa beliau bukanlah dari Ahlulbait(as), dan turut menguatkan kenyataan ini adalah sabda Nabi(sawa) kepada beliau: “kamu dalam kebaikan”.
عن أم سلمة رضي الله عنها أنها قالت : في بيتي نزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت
} قالت : فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى علي و فاطمة و الحسن و
الحسين رضوان الله عليهم أجمعين فقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي قالت أم سلمة :
يا رسول الله ما أنا من أهل البيت ؟ قال : إنك أهلي خير و هؤلاء أهل بيتي
اللهم أهلي أحق
Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Turun dirumahku ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait] kemudian Rasulullah SAW memanggil Ali Fathimah Hasan dan Husain radiallahuanhu ajma’in dan berkata “Ya Allah merekalah Ahlul BaitKu”. Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk Ahlul Bait?”. Rasul SAW menjawab “kamu keluargaku yang baik dan merekalah Ahlul BaitKu Ya Allah keluargaku yang haq”. [Al Mustadrak 2/451 no 3558 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi].
حدثنا الحسين بن الحكم الحبري الكوفي ، حدثنا مخول بن
مخول بن راشد الحناط ، حدثنا عبد الجبار بن عباس الشبامي ، عن عمار الدهني
، عن عمرة بنت أفعى ، عن أم سلمة قالت : نزلت هذه الآية في بيتي : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
، يعني في سبعة جبريل ، وميكائيل ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ،
وفاطمة ، والحسن ، والحسين عليهم السلام وأنا على باب البيت فقلت : يا
رسول الله ألست من أهل البيت ؟ قال إنك من أزواج النبي عليه السلام وما
قال : إنك من أهل البيت
Telah menceritakan kepada kami Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Mukhawwal bin Mukhawwal bin Rasyd Al Hanath yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Jabar bin ‘Abbas Asy Syabami dari Ammar Ad Duhni dari Umarah binti Af’a dari Ummu Salamah yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] dan ketika itu ada tujuh penghuni rumah yaitu Jibril Mikail, Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Aku berada di dekat pintu lalu aku berkata “Ya Rasulullah, apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?” Rasulullah SAW berkata “kamu termasuk istri Nabi Alaihis Salam”. Beliau tidak mengatakan “sesungguhnya kamu termasuk Ahlul Bait”. [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/228].
Riwayat Ummu Salamah ini memiliki sanad yang shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat
- Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi adalah seorang yang tsiqat [Su’alat Al Hakim no 90] telah meriwayatkan darinya para perawi tsiqat dan hafiz seperti Ali bin Abdurrahman bin Isa, Abu Ja’far Ath Thahawi dan Khaitsamah bin Sulaiman.
- Mukhawwal adalah Mukhawwal bin Ibrahim bin Mukhawwal bin Rasyd disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 19021]. Abu Hatim termasuk yang meriwayatkan darinya dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 8/399 no 1831].
- Abdul Jabbar bin Abbas disebutkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud dan Al Ajli bahwa tidak ada masalah padanya. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 209]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/552]. Adz Dzahabi menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [Al Kasyf no 3085].
- Ammar Ad Duhni yaitu Ammar bin Muawiyah Ad Duhni dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 7 no 662]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/708] tetapi ternyata pernyataan ini keliru dan telah dibetulkan dalam Tahrir At Taqrib bahawa Ammar Ad Duhni adalah seorang yang tsiqat [ Tahrir At Taqrib no 4833].
- Umarah binti Af’a termasuk dalam thabaqat tabiin wanita penduduk kufah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 5 no 4880]. Hanya saja Ibnu Hibban salah menuliskan nasabnya. Umarah juga dikenali dengan sebutan Umarah Al Hamdaniyah [seperti yang diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykil Al Atsar]. Al Ajli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqah no 2345].
عن أم سلمه رضي الله عنها قالت نزلت هذه الاية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت
يارسول الله ألست من أهل البيت قال إنك إلى خير إنك من أزواج رسول الله
صلى الله عليه وسلم قالت وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي
وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم أجمعين
Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Aku berkata “wahai Rasulullah apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?. Beliau SAW menjawab “kamu dalam kebaikan kamu termasuk istri Rasulullah SAW”. Aku berkata “Ahlul Bait adalah Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radiallahuanhum ajma’in”.[Al Arba’in Fi Manaqib Ummahatul Mukminin Ibnu Asakir hal 106].
Ibnu Asakir setelah meriwayatkan hadis ini, telah menyatakan bahawa hadis ini shahih. Hadis ini juga menjadi bukti bahawa Ummu Salamah sendiri mengakui bahwa Ahlul Bait yang dimaksudkan dalam Al Ahzab 33 firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.
Seperti yang kita ketahui, kenyataan Wahabi telah terbukti bathil dengan dalil-dalil sokongan yang telah diberikan. Tambahan pula, saya akan sertakan hadis, bahawa Ahlul Kisa sendiri mengakui bahawa merekalah Ahlulbait yang mana kepada mereka ayatul Tathir.
ياأهل العراق اتقوا الله فينا, فإِنا أمراؤكم وضيفانكم, ونحن أهل البيت الذي قال الله تعالى: {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيراً} قال فما زال يقولها حتى ما بقي أحد في المسجد إِلا وهو يحن بكاءً
Riwayat Imam Hasan ini memiliki sanad yang shahih. Ibnu Katsir membawakan sanad berikut:
قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي, حدثنا أبو الوليد, حدثنا أبو عوانة عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جميلة قال: إِن الحسن بن علي
Ibnu Abi Hatim berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Hushain bin Abdurrahman dari Abi Jamilah bahwa Hasan bin Ali berkata [Tafsir Ibnu Katsir 3/495].
Ibnu Abi Hatim dan Abu Hatim telah terkenal sebagai ulama yang terpercaya dan hujjahm manakla perawi lainnya adalah perawi tsiqah
- Abu Walid adalah Hisyam bin Abdul Malik seorang Hafizh Imam Hujjah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [2/267]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 5970].
- Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yaskuri. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 6049].
- Hushain bin Abdurrahman adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqah [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124]
- Abu Jamilah adalah Maisarah bin Yaqub seorang tabiin yang melihat Ali dan meriwayatkan dari Ali dan Hasan bin Ali. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 693]. Ibnu Hajar menyatakan ia maqbul [At Taqrib 2/233]. Pernyataan Ibnu Hajar keliru karena Abu Jamilah adalah seorang tabiin dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqah bahkan Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats Tsiqat maka dia adalah seorang yang shaduq hasanul hadis seperti yang dibetulkan dalam Tahrir At Taqrib [Tahrir At Taqrib no 7039].
Pengakuan Ummu Salamah : Ahlul Bait Dalam Al Ahzab 33 Adalah Ahlul Kisa’.
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya soal Al Ahzab 33 atau ayat tathiir. Jika sebelumnya Ummu Salamah mengakui kalau dirinya sebagai istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan sebagai ahlul bait yang dimaksud maka kali ini Ummu Salamah mengakui kalau ahlul bait dalam Al Ahzab 33 ditujukan untuk Ahlul Kisa’ yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alihi wasallam], Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain.
وأنبأنا أبو محمد عبد الله بن صالح البخاري قال حدثنا الحسن بن علي الحلواني قال حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا عبد الملك بن أبي سليمان عن عطاء عن أم سلمة وعن داود بن أبي عوف عن شهر بن حوشب عن أم سلمة وعن أبي ليلى الكندي عن أم سلمة رحمها الله بينما النبي صلى الله عليه وسلم في بيتي على منامة له عليها كساء خيبري إذ جاءته فاطمة رضي الله عنها ببرمة فيها خزيرة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم ادعي زوجك وابنيك قالت : فدعتهم فاجتمعوا على تلك البرمة يأكلون منها ، فنزلت الآية : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم فضل الكساء فغشاهم مهيمه إياه ، ثم أخرج يده فقال بها نحو السماء ، فقال اللهم هؤلاء أهل بيتي وحامتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت : فأدخلت رأسي في الثوب ، فقلت : رسول الله أنا معكم ؟ قال إنك إلى خير إنك إلى خير قالت : وهم خمسة : رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن والحسين رضي الله عنهم
Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al Bukhari yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Ali Al Hulwaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ dari Ummu Salamah dan dari Dawud bin Abi ‘Auf dari Syahr bin Hawsyaab dari Ummu Salamah dan dari Abu Laila Al Kindiy dari Ummu Salamah “sesungguhnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berada di rumahku di atas tempat tidur yang beralaskan kain buatan Khaibar. Kemudian datanglah Fathimah dengan membawa bubur, maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “panggillah suamimu dan kedua putramu”. [Ummu Salamah] berkata “kemudian ia memanggil mereka dan ketika mereka berkumpul makan bubur tersebut turunlah ayat Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengambil sisa kain tersebut dan menutupi mereka dengannya, kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengulurkan tangannya dan berkata sembari menghadap langit “ya Allah mereka adalah ahlul baitku dan kekhususanku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah sesuci-sucinya. [Ummu Salamah] berkata “aku memasukkan kepalaku kedalam kain dan berkata “Rasulullah, apakah aku bersama kalian?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kamu menuju kebaikan kamu menuju kebaikan. [Ummu Salamah] berkata “mereka adalah lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husein raidallahu ‘anhum” [Asy Syari’ah Al Ajjuri 4/383 no 1650].Hadis ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Syahr bin Hausab, ia perawi yang hadisnya hasan dengan penguat dari yang lain. Disini ia telah dikuatkan oleh riwayat Atha’ dari Ummu Salamah dan riwayat Abu Laila Al Kindiy dari Ummu Salamah.
- Abu Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al Bukhari adalah ulama Baghdad yang tsiqat. Abu Ali Al Hafizh berkata “tsiqat ma’mun”. Abu Bakar Al Ismailiy berkata “tsiqat tsabit” [Tarikh Baghdad 11/159 no 5064]. Adz Dzahabi berkata “Imam shaduq” [As Siyar 14/243 no 145].
- Hasan bin Ali Al Hulwaaniy adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah yang tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat tsabit”. Nasa’i berkata “tsiqat”. Al Khatib berkata “tsiqat hafizh”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 530]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh” [At Taqrib 1/207].
- Yazid bin Harun bin Waadiy adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Madini berkata “ia termasuk orang yang tsiqat” dan terkadang berkata “aku tidak pernah melihat orang lebih hafizh darinya”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Al Ijli berkata “tsiqat tsabit dalam hadis”. Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata “aku belum pernah bertemu orang yang klebih hafizh dan mutqin dari Yazid”. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat imam shaduq. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 11 no 612].
- Abdul Malik bin Abi Sulaiman adalah perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu Ammar, Yaqub bin Sufyan, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Tirmidzi menyatakan ia tsiqat. Al Ijli berkata ”tsabit dalam hadis”. Abu Zur’ah berkata ”tidak ada masalah padanya” [At Tahdzib juz 6 no 751]. Ibnu Hajar berkata ”shaduq lahu awham” [At Taqrib 1/616] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Abdul Malik bin Abi Sulaiman seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 4184].
- Atha’ bin Abi Rabah adalah perawi kutubus sittah tabiin yang dikenal tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “dia seorang yang tsiqat faqih alim dan banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 385]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat memiliki keutamaan dan banyak melakukan irsal” [At Taqrib 1/674]. Riwayat Atha’ dari Ummu Salamah dikatakan mursal tetapi hal ini tidak memudharatakan hadisnya karena ia dikuatkan oleh riwayat Syahr dan Abu laila Al Kindiy. Selain itu dalam riwayat lain disebutkan kalau Atha’ meriwayatkan hadis kisa’ dari Umar bin Abu Salamah.
- Dawud bin Abi ‘Auf adalah perawi Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Sufyan menyatakan ia tsiqat. Ahmad dan Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih al hadits”. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Adiy berkata ia berlebihan dalam tasyayyu’ kebanyakan hadisnya tentang ahlul bait di sisiku ia tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah [At Tahdzib juz 3 no 375] Ibnu Hajar berkata “shaduq syiah pernah salah” [At Taqrib 1/281].
- Syahr bin Hausab perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Ia seorang yang diperbincangkan sebagian melemahkannya dan sebagian menguatkannya. Musa bin Harun berkata “dhaif”. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ahmad berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat sebagian mencelanya”. As Saji berkata “dhaif tidak hafizh”.Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Adiy berkata “tidak kuat dalam hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Hibban berkata “ia sering meriwayatkan dari perawi tsiqat hadis-hadis mu’dhal dan sering meriwayatkan dari perawi tsabit hadis yang terbolak-balik. Al Baihaqi berkata “dhaif” [At Tahdzib juz 4 no 635]. Ibnu Hajar berkata “shaduq banyak melakukan irsal dan wahm” [At Taqrib 1/423]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 162.
- Abu Laila Al Kindiy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijli berkata tabiin kufah yang tsiqat [At Tahdzib juz 12 no 995]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 2/460]. Terdapat dua nukilan dari Ibnu Ma’in yaitu riwayat Ahmad bin Sa’d bin Abi Maryam dari Ibnu Ma’in bahwa ia tsiqat dan riwayat dari Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, yang rajih adalah riwayat Ibnu Abi Maryam karena ia seorang yang tsiqat sedangkan Ibnu Abi Syaibah diperbincangkan ia telah dilemahkan oleh sebagian ulama.
أَخْبَرَنَا أَبُو سَعْدٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَفْصٍ الْمَالِينِيُّ ، أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ رَشِيقٍ بِمِصْرَ ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ الرَّازِيُّ ، حَدَّثَنِي أَبُو أُمَيَّةَ عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأُمَوِيُّ ، حَدَّثَنَا عَمِّي عُبَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ ، عَنِ الثَّوْرِيِّ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، : أَنَّ رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” دَعَا عَلِيًّا ، وَفَاطِمَةَ ، وَحَسَنًا ، وَحُسَيْنًا ، فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ ، ثُمَّ تَلا : إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا قَالَ وَفِيهِمْ أُنْزِلَتْ
Telah mengabarkan kepada kami Abu Sa’d Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Hafsh Al Maaliiniy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Hasan bin Rasyiiq di Mesir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id bin Basyiir Ar Raaziy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Umayyah ‘Amru bin Yahya bin Sa’id Al Umawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku ‘Ubaid bin Sa’id dari Ats Tsawriy dari ‘Amru bin Qais dari Zubaid dari Syahr bin Hausab dari Ummu Salamah radiallahu ‘anha bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husein kemudian menyelimutinya dengan kain kemudian membaca “Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya” dan berkata “untuk merekalah turunnya ayat” [Muudhih Awham Jami’ Wal Tafriq Al Khatib Baghdad 2/281].Riwayat ini sanadnya shahih hingga Syahr bin Hausab. Diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya.
- Abu Sa’d Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Hafsh Al Maaliniy adalah seorang yang tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat shaduq mutqin baik dan shalih” [Tarikh Baghdad 6/24 no 2511].
- Abu Muhammad Hasan bin Rasyiiq adalah Imam Muhadis shaduq musnad Mesir sebagaimana yang disebutkan oleh Adz Dzahabi [As Siyar 16/280 no 197].
- Ali bin Sa’id bin Basyiir Ar Raziiy adalah seorang yang tsiqat pernah melakukan kesalahan dan dibicarakan dalam sirahnya [Irshad Al Qadiy no 679].
- ‘Amru bin Yahya bin Sa’id Al Umawiy dengan kuniyah Abu Umayah adalah seorang yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/749].
- Ubaid bin Sa’id Al Umawiy adalah seorang yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/644]
- Sufyan Ats Tsawriy adalah seorang yang disepakati tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh, faqih, ahli ibadah imam dan hujjah” [At Taqrib 1/371].
- ‘Amru bin Qais Al Mala’iy seorang yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat mutqin ahli ibadah” [At Taqrib 1/744].
- Zubaid bin Harits Al Yaamiy adalah seorang yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit ahli ibadah” [At Taqrib 1/308].
أخبرنا أبو القاسم علي بن إبراهيم أنا أبو الحسين محمد بن عبد الرحمن بن أبي نصر أنا يوسف بن القاسم نا علي بن الحسن بن سالم نا أحمد بن يحيى الصوفي نا يوسف بن يعقوب الصفار نا عبيد بن سعيد القرشي عن عمرو بن قيس عن زبيد عن شهر عن أم سلمة عن النبي (صلى الله عليه وسلم) في قول الله عز وجل ” إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا ” قال الحسن والحسين وفاطمة وعلي عليهم السلام فقالت أم سلمة يا رسول الله وأنا قال أنت إلى خير
Telah mengabarkan kepada kami Abu Qasim ‘Ali bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Nashr yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Qaasim yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hasan bin Saalim yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahya Ash Shufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Ya’qub Ash Shaffaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Sa’id Al Qurasiy dari ‘Amru bin Qais dari Zubaid dari Syahr bin Hausab dari Ummu Salamah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang firman Allah ‘azza wa jalla “Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya” Beliau berkata “Hasan, Husain, Fathimah dan Ali [‘alaihimus salam]”. Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah, dan aku?” Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “engkau menuju kebaikan” [Tarikh Ibnu Asakir 14/139].Abul Qasim ‘Ali bin Ibrahim adalah Syaikh Al Imam muhaddis yang tsiqat dan terhormat. Ibnu Asakir berkata “tsiqat” [As Siyar 19/359 no 212]. Abu Husain Muhammad bin Abi Nashr An Nursiy adalah Syaikh Al Alim Al Muqri dimana Al Khatib berkata “tsiqat” [As Siyar 18/84 no 37]. Yusuf bin Qasim Al Qadhiy adalah Al Imam Al Hafizh Al Muhaddis, Abdul Aziz bin Ahmad Al Kattaniy menyatakan ia tsiqat [As Siyar 16/361 no 258]. ‘Ali bin Hasan bin Salim disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 3 no 14514]. Ahmad bin Yahya bin Zakaria Al Audiy Ash Shufiy adalah ahli ibadah yang tsiqat [At Taqrib 1/48]. Yusuf bin Ya’qub Ash Shaffar seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/348]. Ubaid bin Sa’di dan ‘Amru bin Qais telah disebutkan bahwa mereka tsiqat. Riwayat ini menjadi penguat bagi riwayat sebelumnya dan sangat jelas menyatakan kalau Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat tathiir adalah Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain.
حدثني إسحاق بن الحسن بن ميمون الحربي ، ثنا أبو غسان ، ثنا فضيل ، عن عطية ، عن أبي سعيد الخدري عن أم سلمة ، قالت : نزلت هذه الآية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت : يا رسول الله ألست من أهل البيت ؟ قال : إنك إلى خير ، إنك من أزواج رسول الله قالت : وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين عليهم السلام
Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Hasan bin Maimun Al Harbiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ghasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Fudhail dari Athiyah dari Abu Sa’id Al Khudri dari Ummu Salamah yang berkata ayat ini turun di rumahku ““Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. [Ummu Salamah] berkata “wahai Rasulullah bukankah aku adalah ahlul baitmu?”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “kamu menuju kebaikan kamu termasuk istri Rasulullah” [Ummu Salamah] berkata “dan ahlul bait adalah Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain” [Al Ghailaniyat Abu Bakar Asy Syafi’i no 237].Abu Bakar Asy Syafi’i adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Ibrahim seorang Imam muhaddis mutqin hujjah faqih musnad Irak. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit banyak meriwayatkan hadis”. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun” [As Siyar 16/40-42 no 27]. Ishaq bin Hasan bin Maimun Al Harbi seorang yang tsiqat. Ibrahim Al Harbi menyatakan “tsiqat”. Abdullah bin Ahmad berkata “tsiqat”. Daruquthni juga menyatakan tsiqat [Tarikh Baghdad 7/413 no 3369]. Malik bin Ismail Abu Ghassan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Abu Hatim dan Yaqub bin Syaibah menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad menyatakan ia shaduq. Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 2]. Fudhail bin Marzuq termasuk perawi Bukhari [dalam Juz Raf’ul Yadain], Muslim dan Ashabus Sunan. Ats Tsawriy menyatakan ia tsiqat. Ibnu Uyainah menyatakan ia tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim menyatakan ia shalih shaduq banyak melakukan kesalahan dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Tahdzib juz 8 no 546]. Pendapat yang rajih Fudhail seorang yang hadisnya hasan pembicaraan terhadapnya tidak menurunkan derajatnya dari derajat hasan. Ibnu Ady berkata “Fudhail hadisnya hasan kukira tidak ada masalah padanya” [Al Kamil Ibnu Adiy 6/19].
Athiyyah bin Sa’ad bin Junadah Al Aufiy adalah tabiin yang hadisnya hasan. Ibnu Sa’ad berkata ”seorang yang tsiqat, insya Allah memiliki hadis-hadis yang baik dan sebagian orang tidak menjadikannya sebagai hujjah” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/304]. Al Ijli berkata ”tsiqat dan tidak kuat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1255].
Ibnu Syahin memasukkannya sebagai perawi tsiqat dan mengutip Yahya bin Ma’in yang berkata ”tidak ada masalah padanya” [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1023]. At Tirmidzi telah menghasankan banyak hadis Athiyyah Al Aufiy dalam kitab Sunan-nya. Sebagian ulama mendhaifkannya seperti Sufyan, Ahmad dan Ibnu Hibban serta yang lainnya dengan alasan tadlis syuyukh. Telah kami buktikan kalau tuduhan ini tidaklah tsabit sehingga yang rajih adalah penta’dilan terhadap Athiyyah. Satu-satunya kelemahan pada Athiyah bukan terletak pada ‘adalah-nya tetapi pada dhabit-nya. Abu Zur’ah berkata “layyin”. Abu Hatim berkata “dhaif ditulis hadisnya dan Abu Nadhrah lebih aku sukai daripadanya” [At Tahdzib juz 7 no 414].
حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata Ayat ini turun untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain yaitu Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/227].Riwayat Hakim bin Sa’ad ini diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat kecuali Ja’far bin ‘Abdurrahman Al Bajaliy, ia dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat.
- Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang tsiqat dan tsabit sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi dan Ibnu Asakir [Tarikh Al Islam 20/416 dan Tarikh Ibnu Asakir 48/459 no 5635].
- Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 299].
- Jarir bin Abdul Hamid, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 2 no 116].
- Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386].
- Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Ta’jil Al Manfaah 1/ 387]. Imam Bukhari menyebutkan biografinya seraya mengutip Al A’masy yang berkata “telah menceritakan kepada kami Ja’far bin ‘Abdurrahman Abu Abdurrahman Al Anshari Syaikh yang aku temui di Wasith” [Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174]. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy. Ibnu Hibban berkata “Syaikh” [Ats Tsiqat juz 6 no 7050]. Lafaz “Syaikh” dalam ilmu hadis adalah salah satu lafaz ta’dil walaupun merupakan lafaz ta’dil yang ringan.
- Hakim bin Sa’ad adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun [yang berarti tsiqah]. Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 787]
Yang meriwayatkan dari Ummu Salamah adalah Abu Laila Al Kindiy, Syahr bin Hausab, Atha’ bin Abi Rabah, Hakim bin Sa’ad dan riwayat Athiyah dari Abu Sa’id dari Ummu Salamah. Walaupun terdapat kelemahan dalam sebagian riwayat tetapi kedudukan riwayat-riwayat tersebut saling menguatkan sehingga tidak diragukan lagi kalau riwayat Ummu Salamah tersebut shahih.
Konsisten Dalam Inkonsisten [Menjawab Hujjah Salafy]
Berikut hadis-hadis yang dijadikan hujjah salafy untuk mendistorsi makna ayat tathiir, dengan hadis itu mereka menginginkan untuk menurunkan keutamaan Ahlul Bait tetapi Alhamdulillah justru dengan hadis-hadis tersebut Allah SWT menunjukkan kelemahan pikiran mereka
Hadis Pertama Riwayat Syahr bin Hausab
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ يَعْنِي ابْنَ بَهْرَامَ، قَالَ: حَدَّثَنِي شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ جَاءَ نَعْيُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ، لَعَنَتْ أَهْلَ الْعِرَاقِ، فَقَالَتْ: قَتَلُوهُ، قَتَلَهُمْ اللَّهُ، غَرُّوهُ وَذَلُّوهُ، لعنهم اللَّهُ، فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَتْهُ فَاطِمَةُ غَدِيَّةً بِبُرْمَةٍ، قَدْ صَنَعَتْ لَهُ فِيهَا عَصِيدَةً تَحْمِلُهُ فِي طَبَقٍ لَهَا، حَتَّى وَضَعَتْهَا بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ لَهَا: ” أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ ” قَالَتْ: هُوَ فِي الْبَيْتِ، قَالَ: ” فَاذْهَبِي، فَادْعِيهِ، وَائْتِنِي بِابْنَيْهِ “، قَالَتْ: فَجَاءَتْ تَقُودُ ابْنَيْهَا، كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدٍ، وَعَلِيٌّ يَمْشِي فِي إِثْرِهِمَا، حَتَّى دَخَلُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُمَا فِي حِجْرِهِ، وَجَلَسَ عَلِيٌّ عَنْ يَمِينِهِ، وَجَلَسَتْ فَاطِمَةُ عَنْ يَسَارِهِ، قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَاجْتَبَذَ مِنْ تَحْتِي كِسَاءً خَيْبَرِيًّا، كَانَ بِسَاطًا لَنَا عَلَى الْمَنَامَةِ فِي الْمَدِينَةِ، فَلَفَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ جَمِيعًا، فَأَخَذَ بِشِمَالِهِ طَرَفَيْ الْكِسَاءِ، وَأَلْوَى بِيَدِهِ الْيُمْنَى إِلَى رَبِّهِ تَعَالى قَالَ: ” اللَّهُمَّ أَهْلِي، أَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ، وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا، اللَّهُمَّ أَهْلُ بَيْتِي، أَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ، وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا، اللَّهُمَّ أَهْلُ بَيْتِي أَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا “، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَسْتُ مِنْ أَهْلِكَ ؟ قَالَ: ” بَلَى، فَادْخُلِي فِي الْكِسَاءِ “، قَالَتْ: فَدَخَلْتُ فِي الْكِسَاءِ بَعْدَمَا قَضَى دُعَاءَهُ لِابْنِ عَمِّهِ عَلِيٍّ وَابْنَيْهِ وَابْنَتِهِ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Abu An Nadlr Haasyim bin Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid yaitu Ibnul Bahraam ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Syahr bin Hausyab, ia berkata : Aku mendengar Ummu Salamah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika datang berita kematian Al-Husain bin ‘Aliy, ia mengutuk penduduk ‘Iraaq. Ummu Salamah berkata : “Mereka telah membunuhnya semoga Allah membinasakan mereka. Mereka menipu dan menghinakannya, semoga Allah melaknat mereka. Karena sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh Faathimah pada suatu pagi dengan membawa bubur yang ia bawa di sebuah talam. Lalu ia menghidangkannya di hadapan Nabi. Kemudian beliau berkata kepadanya : “Dimanakah anak pamanmu [Ali]?”. Faathimah menjawab : “Ia ada di rumah”. Nabi berkata : “Pergi dan panggillah ia dan bawa kedua putranya”. Maka Faathimah datang sambil menuntun kedua putranya dan ‘Aliy berjalan di belakang mereka. Lalu masuklah mereka ke ruang Rasulullah dan beliau pun mendudukkan keduanya Al-Hasan dan Al-Husain di pangkuan beliau. Sedagkan ‘Aliy duduk di samping kanan beliau dan Faathimah di samping kiri. Kemudian Nabi menarik dariku kain buatan desa Khaibar yang menjadi hamparan tempat tidur kami di kota Madinah, lalu menutupkan ke atas mereka semua. Tangan kiri beliau memegang kedua ujung kain tersebut sedang yang kanan menunjuk kearah atas sambil berkata : ‘Ya Allah mereka adalah keluargaku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya. Ya Allah mereka adalah Ahlul-Baitku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya. Ya Allah mereka adalah Ahlul Baitku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya’. Aku berkata : “Wahai Rasulullah bukankah aku juga keluargamu?”. Beliau menjawab “Ya benar. Masuklah ke balik kain ini”. Maka akupun masuk ke balik kain itu setelah selesainya doa beliau untuk anak pamannya dan kedua putranya, serta Fatimah putri beliau radliyallaahu ‘anhum” [Musnad Ahmad 6/298].Dengan hadis ini salafy menyatakan kalau Ummu Salamah selaku istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga ikut termasuk dalam Ayat tathiir [Al Ahzab 33]. Letak hujjah mereka adalah pada perkataan
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَسْتُ مِنْ أَهْلِكَ ؟ قَالَ: ” بَلَى، فَادْخُلِي فِي الْكِسَاءِ
[Ummu Salamah] berkata “wahai Rasulullah bukankah aku termasuk keluarga [ahli] mu?. [Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “tentu masuklah ke balik kain”.Hadis ini tidak menjadi hujjah buat salafy. Jika dengan hadis ini salafy menginginkan kalau ayat tathiir [Al ahzab 33] turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], maka mereka benar-benar keliru. Alasannya:
- Pertama : dalam hadis Syahr bin Hausab di atas tidak ada satupun lafaz yang menyebutkan kalau ada ayat tathiir [Al Ahzab 33] yang sedang turun. Jadi dimana letak hujjah mereka?.
- Kedua : lafaz ayat tathiir [Al Ahzab 33] tidak menggunakan lafaz “ahli” tetapi menggunakan lafaz “ahlulbaiti” sedangkan jawaban “tentu” yang diucapkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah jawaban terhadap pertanyaan Ummu Salamah “alastu min ahlika”
اللَّهُمَّ أَهْلِي، أَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ، وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا، اللَّهُمَّ أَهْلُ بَيْتِي، أَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ، وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا اللَّهُمَّ أَهْلُ بَيْتِي أَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا
Ya Allah, mereka adalah ahli [keluarga]ku hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ya Allah, mereka adalah ahlul baitku hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ya Allah, mereka adalah ahlul baitku hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.Pada lafaz pertama doa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menggunakan lafaz “ahli” dan inilah sebenarnya yang ditanyakan Ummu Salamah. Ummu Salamah berharap bahwa dirinya yang juga ahlu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ikut masuk dalam doa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Apakah Ummu Salamah mendapatkannya?. Jawabannya terletak pada lafaz yang akhir
قَالَتْ: فَدَخَلْتُ فِي الْكِسَاءِ بَعْدَمَا قَضَى دُعَاءَهُ لِابْنِ عَمِّهِ عَلِيٍّ وَابْنَيْهِ وَابْنَتِهِ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
[Ummu Salamah] berkata “maka aku masuk ke balik kain setelah selesainya doa beliau untuk anak pamannya dan kedua putranya, serta Fatimah putri beliau radliyallaahu ‘anhum.Jadi dengan hanya mengandalkan hadis Syahr bin Hausab di atas maka satu-satunya kesimpulan yang valid berkenaan dengan Ummu Salamah adalah beliau termasuk ahlu [keluarga] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ummu Salamah tidak termasuk dalam doa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Lalu apa sebenarnya kedudukan Ummu Salamah yang dimaksudkan oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Itu dijelaskan dalam hadis Syahr bin Hausab berikut
حدثنا علي بن عبد العزيز و أبو مسلم الكشي قالا ثنا حجاج بن المنهال ( ح )
وحدثنا أبو خليفة الفضل بن الحباب الجمحي ثنا أبو الوليد الطيالسي قالا ثنا
عبد الحميد بن بهرام الفزاري ثنا شهر بن حوشب قال سمعت أم سلمة تقول :
جاءت فاطمة عدية بثريد لها تحملها في طبق لها حتى وضعتها بين يديه فقال لها
: وأين ابن عمك ؟ قالت : هو في البيت قال : اذهبي فادعيه وائتيني بابني
فجاءت تقود ابنيها كل واحد منهم في يد و علي يمشي في أثرهما حتى دخلوا على
رسول الله صلى الله عليه و سلم فأجلسهما في حجره وجلس علي عن يمينه وجلست
فاطمة رضي الله عنها في يساره قالت أم سلمة : فأخذت من تحتي كساء كان
بساطنا على المنامة في البيت ببرمة فيها خزيرة فقال لها النبي : ادعي لي
بعلك وابنيك الحسن و الحسين فدعتهم فجلسوا جميعا يأكلون من تلك البرمة قالت
: وأنا أصلي في تلك الحجرة فنزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم
الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } فأخذ فضل الكساء فغشاهم ثم أخرج يده
اليمنى من الكساء وألوي بها إلى السماء ثم قال : اللهم هؤلاء أهل بيتي
وحامتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة : فأدخلت رأسي البيت
فقلت : يا رسول الله وأنا معكم ؟ قال : أنت على خير مرتين
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz dan Abu
Muslim Al Kasyi [keduanya] berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaj
bin Minhal. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Khalifah Al Fadhl
bin Hubab Al Jimahiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul
Walid Ath Thayalisi [keduanya Hajjaj dan Abu Walid] berkata telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul Hamid bin Bahrm Al Fazaariy yang berkata
telah menceritakan kepada kami Syahr bin Hausab yang berkata aku
mendengar Ummu Salamah mengatakan Fathimah datang suatu pagi sambil
membawa bubur yang dibawanya dengan sebuah talam kemudian ia
menghidangkannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Beliau
[shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “dimanakah anak pamanmu”.
[Fathimah berkata ] “ia di rumah”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
berkata “pergi panggillah ia dan bawalah kedua putranya”. Maka Fathimah
datang sambil menuntun kedua putranya dan Ali berada di belakang mereka.
Kemudian mereka masuk menemui Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dan Beliau mendudukan mereka [Hasan dan Husain] di pangkuannya dan Ali
di samping kanannya dan Fathimah di samping kirinya. [Ummu Salamah]
berkata “kemudian Beliau mengambil dariku kain yang menjadi hamparan
tempat tidur kami di rumah. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
berkata”panggillah suamimu dan kedua putramu hasan dan Husein”. Maka ia
memanggil mereka dan duduklah mereka semuanya memakan bubur dan aku
shalat di dalam kamar maka turunlah ayat “sesungguhnya Allah SWT
berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul bait dan
menyucikanmu sesuci-sucinya”. Beliau mengambil sisa kain dan menutupi
mereka dan mengeluarkan tangan kanan dari kain kearah langit dan berkata
“Ya Allah, mereka adalah ahlul baitku dan kekhususanku maka
hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”.
Ummu Salamah berkata “aku memasukkan kepalaku dan berkata wahai
Rasulullah apakah aku bersama mereka”. Beliau [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menjawab “engkau di atas kebaikan” Beliau mengucapkannya dua
kali [Mu’jam Ath Thabrani 3/53 no 2666].Hadis Syahr bin Hausab riwayat Thabrani di atas menyebutkan asbabun nuzul al ahzab 33. Dalam hadis ini disebutkan kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain terlebih dahulu baru kemudian turunlah ayat tathiir [al ahzab 33]. Dalam hadis ini Ummu Salamah bertanya apakah ia bersama mereka? dan jawaban Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “engkau di atas kebaikan” adalah penolakan yang halus dari Beliau bahwa Ummu Salamah tidak termasuk dalam ahlul bait bersama mereka tetapi ia tetap dalam kebaikan.
Hadis Kedua Riwayat Atha’ bin Yasar.
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ غَيْرَ مَرَّةٍ، وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ السُّلَمِيُّ، مِنْ أَصْلِهِ، وَأَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي، قَالُوا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ مُكْرَمٍ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ شَرِيكِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: فِي بَيْتِي أُنْزِلَتْف إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًاق، قَالَتْ: فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى فَاطِمَةَ، وَعَلِيٍّ، وَالْحَسَنِ، وَالْحُسَيْنِ، فَقَالَ: ” هَؤُلاءِ أَهْلُ بَيْتِي ” وَفِي حَدِيثِ الْقَاضِي، وَالسُّلَمِيِّ: هَؤُلاءِ أَهْلِي قَالَتْ: فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَا أَنَا مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ؟ قَالَ: بَلَى إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى “، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ سَنَدُهُ ثِقَاتٌ رُوَاتُهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh lebih dari sekali, Abu ‘Abdirrahmaan Muhammad bin Al-Husain As Sulamiy dari ashl-nya, dan Abu Bakr Ahmad bin Al-Hasan Al Qaadliy, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Mukram : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdillah bin Diinaar, dari Syariik bin Abi Namir, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Ummu Salamah, ia berkata : “Di rumahku turun ayat : ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya’ [QS. Al-Ahzaab : 33]”. Ia [Ummu Salamah] berkata : “Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus [seseorang] kepada Faathimah, ‘Aliy, Al-Hasan, dan Al-Husain. Beliau bersabda : ‘Mereka itu adalah ahlul-baitku”. [Al-Baihaqiy berkata] Dalam hadits Al-Qaadliy dan As-Sulamiy : “Mereka adalah keluargaku [ahlii]”. Ummu Salamah berkata “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk ahlul-bait?”. Beliau bersabda “tentu jika Allah SWT menghendaki” [Sunan Baihaqi 2/149].Hadis ini dijadikan hujjah salafy untuk menyatakan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah ahlul bait dalam al ahzab 33. Letak hujjah mereka adalah pada lafaz
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَا أَنَا مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ؟ قَالَ بَلَى إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk ahlul bait?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “tentu jika Allah SWT menghendaki”.Perhatikan baik-baik lafaz jawaban Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah “tentu jika Allah SWT menghendaki”. Jawaban Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjukkan bahwa apakah Ummu Salamah adalah ahlul bait atau bukan itu kembali kepada kehendak Allah SWT, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak memastikan tetapi mengucapkan dengan lafal “insya Allah” yang artinya Jika Allah SWT menghendaki. Lafaz ini diucapkan untuk sesuatu yang belum terjadi bukan untuk menyatakan sesuatu yang telah terjadi.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَداً إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَداً
Dan janganlah kamu sekali-sekali berkata tentang sesuatu ”sesungguhnya aku mengerjakan ini besok pagi” kecuali dengan menyebutkan “insya Allah”. Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah “mudah-mudahan Tuhanku akan memberikan petunjuk yang lebih dekat kebenarannya daripada ini” [QS Al Kahfi : 23-24].Lafaz “insya Allah” selalu digunakan untuk menyatakan sesuatu yang akan [belum] terjadi atau belum diketahui ketetapan Allah atasnya karena semua yang akan terjadi adalah atas kehendak Allah SWT. Jika Allah SWT menghendaki maka sesuatu itu akan terjadi dan sebaliknya jika Allah SWT menghendaki maka sesuatu itu bisa saja tidak terjadi. Adalah hal yang aneh jika lafaz “insya Allah” dinyatakan untuk sesuatu yang telah terjadi atau sesuatu yang telah diketahui ketetapan Allah SWT atasnya.
قال له موسى هل أتبعك على أن تعلمن مما علمت رشدا قال إنك لن تستطيع معي صبرا وكيف تصبر على ما لم تحط به خبرا قال ستجدني إن شاء الله صابرا ولا أعصي لك أمرا
Musa berkata kepadanya [Khidir] “izinkanlah aku mengikutimu supaya kamu dapat mengajarkan kepadaku ilmu diantara ilmu-ilmu yang dijarkan kepadamu”. [Khidir] berkata “sesungguhnya kamu sekali sekali tidak akan sanggup sabar bersamaku dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang itu. Musa berkata “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun” [QS Al Kahfi : 66-69].Dalam kisah di atas Nabi Musa AS mengatakan bahwa insya Allah dia akan sabar dalam mengikuti Nabi Khidir AS dan kisah tersebut selanjutnya menyebutkan kalau Nabi Musa AS ternyata tidak bisa sabar ketika beliau mengikuti Nabi Khidir. Hal ini menunjukkan kalau lafaz “insya Allah” adalah lafaz yang diucapkan untuk menyatakan sesuatu yang belum dipastikan atau belum diketahui ketetapan Allah SWT atasnya.
Kembali ke hadis riwayat Atha’ bin Yasar di atas, lafaz Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “tentu jika Allah SWT menghendaki” yang diucapkan setelah turunnya ayat tathiir [al ahzab 33] justru menunjukkan bahwa pada hakikatnya ayat tersebut tidak turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ayat tathiir telah turun kepada Rasulullah dan telah diketahui oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] soal ketetapan Allah SWT untuk siapa ayat tersebut tersebut ditujukan atau untuk siapa ahlul bait yang tertuju dalam ayat tersebut. Seandainya Allah SWT menetapkan ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sudah pasti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak akan mengucapkan lafaz “insya Allah”. Logika sederhana saja jika anda menyaksikan suatu peristiwa dan itu baru saja terjadi sangat tidak mungkin ketika ditanya apakah peristiwa itu terjadi? anda mengucapkan “sudah insya Allah”. Mungkin salafy itu tidak bisa membedakan lafaz “tentu” dan “tentu insya Allah”. Baginya mungkin“insya Allah” itu tidak ada artinya hanya sekedar kata yang kebetulan ada di sana
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب حدثنا العباس بن محمد الدوري حدثنا عثمان بن عمر حدثنا عبد الرحمن بن عبد الله بن دينار حدثنا شريك بن أبي نمر عن عطاء بن يسار عن أم سلمة رضى الله تعالى عنها أنها قالت في بيتي نزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قالت فأرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى علي وفاطمة والحسن والحسين رضوان الله عليهم أجمعين فقال اللهم هؤلاء أهل بيتي قالت أم سلمة يا رسول الله ما أنا من أهل البيت قال إنك أهلي خير وهؤلاء أهل بيتي اللهم أهلي أحق
Telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abbas bin Muhammad Ad Duuriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Utsman bin ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Dinar yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik bin ‘Abi Namr dari Atha’ bin yasar dari Ummu Salamah ra yang berkata “di rumahku lah turun ayat “sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. [Ummu Salamah] berkata “maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus [seseorang] kepada Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan berkata “ya Allah mereka adalah ahlul baitku” Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk ahlul bait?”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “sesungguhnya engkau keluarga [ahli] ku yang baik dan mereka itu adalah ahlul baitku, ya Allah keluargaku yang berhak” [Mustadrak Ash Shahihain juz 2 no 3558].Hadis riwayat Atha’ bin Yasar dari Ummu Salamah justru menunjukkan kedudukan yang sebenarnya Ummu Salamah adalah ahli [keluarga] Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang baik sedangkan yang termasuk ahlul bait dalam al ahzab 33 adalah mereka yang diselimuti oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.
Hadis Ketiga Riwayat Abdullah bin Wahb.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ: ثنا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ، قَالَ: ثنا مُوسَى بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: ثني هَاشِمُ بْنُ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبِ بْنِ زَمْعَةَ، قَالَ: أَخْبَرَتْنِي أُمُّ سَلَمَةَ: “أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ عَلِيًّا وَالْحَسَنَيْنِ، ثُمَّ أَدْخَلَهُمْ تَحْتَ ثَوْبِهِ، ثُمَّ جَأَرَ إِلَى اللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: ” هَؤُلاءِ أَهْلُ بَيْتِي “، قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَدْخِلْنِي مَعَهُمْ، قَالَ: ” إِنَّكِ مِنْ أَهْلِي”
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib yang berkata telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Makhlad yang berkata telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ya’quub yang berkata telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Haasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqaash dari ‘Abdullah bin Wahb bin Zam’ah yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ummu Salamah Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan ‘Aliy, Al-Hasan, Al-Husain, lalu memasukkan mereka di bawah pakaian beliau, dan berdoa kepada Allah ta’ala “Wahai Rabb-ku, mereka adalah Ahlul Baitku”. Ummu Salamah berkata “Wahai Rasulullah, masukkan aku bersama mereka?”. Beliau bersabda “Engkau termasuk keluarga [ahli] ku” [Tafsiir Ath Thabari 20/266].Hadis ketiga adalah hadis ‘Abdullah bin Wahb bin Zam’ah di atas. Agak aneh juga kalau hadis ini dijadikan dasar untuk menyatakan ahlul bait dalam al ahzab 33 adalah istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Pertama, sederhana saja tidak ada satupun keterangan turunnya ayat tathir al ahzab 33 dalam hadis di atas. Kedua, sebagaimana kami katakan sebelumnya lafaz ayat tathiir adalah “ahlul bait” bukannya “ahli”. Ketiga, pernyataan “engkau termasuk keluarga [ahli] ku” tidak berarti bahwa Ummu Salamah selaku istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah ahlul bait dalam al ahzab 33. Silakan lihat contoh riwayat Atha’ bin Yasar dengan lafaz “sesungguhnya kamu adalah ahli [keluargaku] yang baik dan mereka itu adalah ahlul baitKu”, lafaz ini menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ketika menyebutkan lafaz “ahli” bukan berarti sama dengan “ahlul bait”.
حدثنا ابن المثنى قال حدثنا أبو بكر الحنفي قال ثنا بكير بن مسمار قال سمعت عامر بن سعد قال قال سعد قال رسول الله حين نزل عليه الوحي فأخذ عليا وابنيه وفاطمة وأدخلهم تحت ثوبه ثم قال رب هؤلاء أهلي وأهل بيتي
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al hanafiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Bukair bin Mismaar yang berkata aku mendengar ‘Aamir bin Sa’ad yang berkata Sa’ad berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ketika turun kepadanya wahyu maka ia memegang Ali, kedua putranya, Fathimah dan memasukkan mereka di bawah kain dan berkata “Rabb, mereka adalah ahliku dan ahlul baitku” [Tafsir Ath Thabari 22/10].Kata “ahli” dan “ahlul bait” dalam hadis kisa’ ternyata tidak persis sama. Secara umum “ahli” dan “ahlul bait” bermakna keluarga tetapi kata “ahlul bait” lebih bermakna khusus dibanding kata “ahli”. Lafaz dalam ayat tathiir [al ahzab 33] adalah “ahlul bait” bukannya “ahli”. Jadi sangat tidak tepat menggunakan lafaz “ahli” sebagai hujjah masuknya istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagai ahlul bait dalam al ahzab 33. Ada hadis lain dengan lafaz “ahli” yang sering disalahgunakan oleh salafiyun
أخبرنا عبد الله بن محمد بن سلم حدثنا عبد الرحمن بن إبراهيم حدثنا الوليد بن مسلم و عمر بن عبد الواحد قالا : حدثنا الأوزاعي عن شداد أبي عمار عن واثلة بن الأسقع قال : سألت عن علي في منزله فقيل لي : ذهب يأتي برسول الله صلى الله عليه و سلم إذ جاء فدخل رسول الله صلى الله عليه و سلم ودخلت فجلس رسول الله صلى الله عليه و سلم على الفراش وأجلس فاطمة عن يمينه و عليا عن يساره و حسنا وحسينا بين يديه وقال : ( { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } [ الأحزاب : 33 ] اللهم هؤلاء أهلي ) قال واثلة : فقلت من ناحية البيت : وأنا يارسول الله من أهلك ؟ قال : ( وأنت من أهلي ) قال واثلة : إنها لمن أرجى ما أرتجي
Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Salm yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Walid bin Muslim dan Umar bin ‘Abdul Waahid [keduanya] berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Awza’I dari Syaddad Abi ‘Ammar dari Watsilah bin Al Asqa’ yang berkata “aku menanyakan tentang Ali di kediamannya. Dikatakan kepadaku bahwa ia [Ali] pergi menemui Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian tiba-tiba masuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka akupun masuk, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] duduk di atas tempat tidur dan Fathimah duduk di sebelah kanannya, Ali di sebelah kirinya, Hasan dan Husain berada di hadapan Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya” Ya Allah mereka adalah keluarga [ahli] ku. Watsilah berkata “maka aku berkata dari sudut rumah : wahai Rasulullah apakah aku termasuk ahli-mu?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “engkau termasuk ahli-ku”. Watsilah berkata “sesungguhnya itu termasuk harapan yang paling kuharapkan” [Shahih Ibnu Hibban 15/432 no 6976].وقال محمد بن يزيد نا الوليد بن مسلم قال نا أبو عمرو هو الأوزاعي قال حدثني أبو عمار سمع واثلة بن الأسقع يقول نزلت إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت قال قلت وأنا من أهلك قال وأنت من أهلي قال فهذا من أرجى ما أرتجي
Muhammad bin Yazid berkata telah menceritakan kepada kami Walid bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amr dia Al ‘Awza’i yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu ‘Ammar yang berkata telah mendengar Watsilah bin Al Asqa’ berkata turun ayat “sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya” [Watsilah] berkata dan apakah aku termasuk ahli-mu?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “engkau termasuk ahli-ku”. [Watsilah] berkata “inilah harapan yang kuharapkan” [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 8 no 2646].حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا الربيع بن سليمان المرادي وبحر بن نصر الخولاني قالا ثنا بشر بن بكر وثنا الأوزاعي حدثني أبو عمار حدثني واثلة بن الأسقع قال أتيت عليا فلم أجده فقالت لي فاطمة انطلق إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يدعوه فجاء مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فدخلا ودخلت معهما فدعا رسول الله صلى الله عليه وسلم الحسن والحسين فأقعد كل واحد منهما على فخذيه وأدنى فاطمة من حجره وزوجها ثم لف عليهم ثوبا وقال إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا ثم قال هؤلاء أهل بيتي اللهم أهل بيتي أحق
Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Rabi’ bin Sulaiman Al Muraadiy dan Bahr bin Nashr Al Khawlaniy [keduanya] berkata telah menceritakan kepada kami Basyr bin Bakru yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Awza’i yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu ‘Ammar yang berkata telah menceritakan kepadaku Watsilah bin Asqa’ yang berkata “aku mendatangi Ali namun aku tidak menemuinya. Fathimah berkata kepadaku “ia pergi memanggil Rasulullah”. Kemudian ia datang bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan masuklah mereka berdua dan aku ikut masuk bersama mereka. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil Hasan dan Husain. Kemudian keduanya dipangku di kedua paha Beliau, Fathimah didekatkan di samping Beliau begitu pula suaminya. Kemudian Beliau menutupkan kain kepada mereka dan berkata “sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya” kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “mereka adalah ahlul baitku, ya Allah ahlul baitku yang berhak” [Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4706].Ada Salafy yang picik pikirannya menyatakan kalau Watsilah bin Asqa’ juga termasuk Ahlul bait dalam ayat tathiir [al ahzab 33] bahkan dengan tidak tahu malu ia mengatakan kalau ayat tersebut berlaku umum untuk siapa saja yang mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Menurut mereka Watsilah bin Asqa’ yang bukan keluarga atau kerabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bisa masuk ke dalam ayat tersebut maka itu menjadi dalil bahwa ayat tersebut berlaku umum untuk semua umat islam asalkan menjadi pengikut Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Silakan para pembaca lihat, hasil akhirnya adalah hadis yang dari awalnya adalah keutamaan Ahlul Bait yang sangat besar dan dikhususkan untuk mereka akhirnya disulap menjadi keutamaan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Kesalahan salafy picik itu jelas terletak pada ketidakpahamannya terhadap lafaz “ahli” dan lafaz “ahlul baiti”. Lafaz “anta min ahli” tidak menunjukkan kalau Watsilah termasuk ke dalam ayat tathiir [al ahzab 33] karena lafaz dalam ayat tathiir adalah “ahlul bait” bukan “ahli”. Lafaz “ahli” lebih bersifat umum bahkan Watsilah bin Asqa’ yang bukan Ahlul Bait Nabi bukan kerabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan pula keturunan Beliau, tidak pula memiliki ikatan baik dari segi nasab maupun pernikahan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetap bisa masuk kedalam lingkup “ahli” Nabi. Watsilah bin Asqa’ hanyalah salah seorang sahabat ahlu shuffah yang ketika itu kebetulan berada di rumah Imam Ali.
Riwayat Watsilah bin Asqa’ ini menjadi bukti kalau ayat tersebut turun berulang-ulang. Selain turun di rumah Ummu Salamah, ayat tersebut ternyata turun juga di rumah Imam Ali seperti yang disebutkan di atas dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menutupi ahlul kisa’ dengan kain kemudian membaca ayat tathiir yang turun saat itu. Riwayat Bukhari dengan jelas menyebutkan lafaz perkataan Watsilah bin Asqa’ ada ayat yang turun, dan riwayat Bukhari adalah riwayat yang menyebutkan peristiwa yang sama [hanya lebih ringkas dari riwayat Ibnu Hibban] yaitu ketika Watsilah bin Asqa’ mengunjungi Imam Ali di rumahnya. Fakta ini membuktikan kalau ayat tersebut sebenarnya turun untuk Ali, Fathimah, Hasan dan Husain sehingga ketika ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah [pada riwayat Ummu Salamah], Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] langsung memanggil mereka untuk diselimuti dengan kain kemudian menyebutkan ayat yang turun kepada mereka.
- Kalau ayat tathiir memang turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka hal pertama yang dilakukan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah memanggil istri-istri Beliau bukannya memanggil keluarga Ali. Ini logika sederhana yang tidak bisa dipahami oleh salafy.
- Kalau ayat tathiir memang turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Ummu Salamah pasti akan langsung mengetahui lafaz “hai istri-istri Nabi” dan ia tidak perlu bertanya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] apakah dirinya termasuk dalam ayat tersebut atau tidak. Pertanyaan Ummu Salamah justru menunjukkan kalau ia tidak mengetahui adanya lafaz “hai istri-istri Nabi” ketika turunnya ayat tathiir dan ini membuktikan kalau ayat tathiir turun terpisah dari ayat sebelum dan sesudahnya.
Hadis Keempat Riwayat Ummu Habibah binti Kisaan.
حدثنا الحسين بن إسحاق ثنا عمرو بن هشام الحراني ثنا عثمان عن القاسم بن مسلم الهاشمي عن أم حبيبة بنت كيسان عن أم سلمة قالت أنزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } وأنا في بيتي فدعا رسول الله صلى الله عليه و سلم الحسن و الحسين فأجلس أحدهما على فخذه اليمنى والآخر على فخذه اليسرى وألقت عليهم فاطمة كساء فلما أنزلت { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قلت : وأنا معكم يا رسول الله ؟ قال : ( وأنت معنا )
Telah menceritakan kepada kami Husain bin Ishaq yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Hisyaam Al Harraniy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Utsman dari Qaasim bin Muslim Al Haasyimiy dari Ummu Habibah binti Kiisaan dari Ummu Salamah yang berkata ayat ini “sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya” turun dan aku di dalam rumah, Rasululah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil Hasan, Husein dan mendudukkan salah satu dari keduanya di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya kemudian menutupi mereka dengan kain saat itu turunlah ayat “sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. [Ummu Salamah] berkata “apakah aku bersama mereka, wahai Rasulullah?”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “engkau bersama kami” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 23/357 no 839].Salafy berhujjah dengan hadis ini yaitu pada lafaz “engkau bersama kami”. Jawaban kami : hadis ini dhaif, di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi majhul [tidak dikenal] yaitu Qaasim bin Muslim Al Haasyimiy dan Ummu Habibah binti Kiisan. Selain itu matan hadis ini juga bertentangan dengan keyakinan salafy, salafy berkeyakinan bahwa ayat al ahzab 33 tidak turun untuk ahlul kisa’ [Ali, Fathimah, Hasan dan Husain] tetapi untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka hanyalah perluasan ayat seperti yang diinginkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis Ummu Habibah di atas justru menunjukkan bahwa ayat al ahzab 33 memang turun untuk ahlul kisa’, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil mereka kemudian setelah menutupi dengan kain baru turunlah ayat tersebut. Salafy tersebut hanya mengutip lafaz hadis bagian akhir karena ia mengetahui kalau lafaz sebelumnya bertentangan dengan keyakinannya. Ia berhujjah dengan sebagian tetapi menolak sebagian yang lain karena sebagian yang lain tersebut menentang dirinya. Sungguh cara berhujjah yang aneh.
Kemudian ada yang lucu dengan pernyataannya soal lafaz riwayat Ummu Salamah yang lain yaitu “engkau tetap di tempatmu dan engkau menuju kebaikan”. Lafaz ini menurutnya tidak bertentangan dengan lafaz “masuklah ke balik kain” karena perintah agar Ummu Salamah tidak masuk ke balik kain karena di situ ada mahram-nya yaitu Ali bin Abi Thalib setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selesai berdoa dan Ali keluar barulah ia masuk ke balik kain. Pernyataan ini mengada-ada karena di dalam riwayat lain justru disebutkan bagaimana Ummu Salamah langsung saja memasukkan kepalanya kebalik kain dan bertanya “apakah aku bersama mereka” padahal saat itu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedang menyelimuti mereka.
Jika memang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menginginkan untuk menyelimuti Ummu Salamah, Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bisa mengatur posisi dimana Ali berada di sisi yang lain dan Ummu Salamah berada di sisi yang tidak berdekatan dengan Ali misalnya lebih mendekat kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Alasan “mahram” ini hanyalah alasan yang diada-adakan saja. Lafaz yang tsabit dari Ummu Salamah [sebagaimana diriwayatkan oleh jama’ah] adalah lafaz “engkau menuju kebaikan” sedangkan lafaz “masuklah ke balik kain” hanya diriwayatkan dalam salah satu riwayat Syahr bin Hausab dan ternyata Ummu Salamah masuk ke balik kain setelah selesainya doa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menunjukkan bahwa ia bukanlah ahlul bait yang dimaksud.
Inkonsistensi Salafy
Berikutnya kami akan menunjukkan siapa sebenarnya yang tidak konsisten dalam pembahasan al ahzab 33 ini. Salafy berkeyakinan kalau ayat tersebut turun khusus untuk istri-istri Nabi sedangkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain hanyalah perluasan ayat sebagaimana yang dikehendaki oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Silakan perhatikan al ahzab dari ayat 32 sampai 34.
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” [QS. Al-Ahzaab : 32].وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” [QS Al Ahzaab : 33].وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Ahzaab : 34].Jika ayat penyucian tidak turun terpisah dari bagian sebelum dan sesudahnya maka ia akan turun dengan lafaz seperti di atas dimana dalam ayat-ayat tersebut terdapat lafaz “hai istri-istri Nabi”. Ketika ayat ini turun di rumah Ummu Salamah mengapa Ummu Salamah tidak mengetahui ayat tersebut turun untuknya padahal ia menyaksikan ayat tersebut turun dan terdapat lafaz ‘hai istri-istri Nabi”. Apakah setelah mendengar lafaz ini Ummu Salamah perlu mengajukan pertanyaan atau keinginan agar dirinya ikut bersama ahlul kisa’?. Ini jelas absurd sekali.
Kemudian jika memang ayat tersebut turun dengan lafaz “hai istri-istri Nabi” maka mengapa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak memanggil istri-istri Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang lain, mengapa hal pertama yang dilakukan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain yang bukan orang yang dituju oleh ayat tersebut?. Apa mungkin Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lebih mementingkan kehendaknya untuk memperluas ayat daripada kewajiban menyampaikan ayat tersebut kepada orang yang seharusnya ditujukan oleh ayat tersebut. Inilah pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan benar oleh salafy.
Perhatikan kata-kata sebelum lafaz “innama” semuanya mengandung kata kerja dengan kata ganti khusus perempuan misalnnya pada kata “tetaplah di rumahmu” yang menggunakan kata “buyuutikunna”. Digunakan kata ganti khusus perempuan karena yang dituju disini adalah khusus istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya”.Ayat ini adalah bagian awal al ahzab 33 dan perhatikanlah semua perintahnya menggunakan kata ganti khusus untuk perempuan kemudian selanjutnya bagian ini disambung dengan lafaz
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرً
Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.Pada bagian ayat penyucian ini semua lafaz ayat kepada orang yang dituju [bahkan sebelum munculnya kata ahlul bait] menggunakan kata ganti “kum” dimana kata ganti ini tertuju bahwa orang yang dimaksud adalah semuanya laki-laki atau gabungan laki-laki dan perempuan. Jika ayat ini merupakan satu kesatuan dengan bagian awal al ahzab 33 maka kita patut bertanya pada salafy kata “kum” pada lafaz liyudzhiba ‘ankum itu kembali kepada siapa?. Siapa laki-laki pada kata “kum” tersebut.
Kita dapat menebak jawaban salafy yaitu ia akan berkata penggunaan kata “kum” karena Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagai Sayyidul bait juga ikut masuk dalam ayat tersebut. Pernyataan ini jelas inkonsisten, awalnya ia bilang ayat tersebut turun khusus untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sekarang ia berkata ayat tersebut juga turun untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِير وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
Jika ayat-ayat tersebut turun dengan satu kesatuan seperti ini maka jawaban salafy kalau “kum” juga merujuk kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah jawaban yang absurd. Karena pada dasarnya “kum” disitu adalah orang yang sama dengan yang tertuju pada kata “kunna” yaitu dijelaskan pada lafaz awal “ya nisaa’a Nabi” [hai istri-istri Nabi]. Jadi kalau mau berpegang pada urutan ayat tersebut tidak bisa tidak, ahlul bait dalam ayat tersebut hanyalah istri-istri Nabi. Tidak mungkin memasukkan Nabi dalam kata “kum” karena semua perintah tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].Tetapi jika memang yang diajak bicara khusus untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengapa menggunakan kata “kum” bukannya “kunna”. Siapakah laki-laki yang ikut masuk dalam ayat tersebut? Darimana datangnya laki-laki tersebut?.
Salafy yang lain berapologi kalau “kum” itu ditujukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena penyucian terhadap istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah penyucian terhadap Nabi juga. Intinya ia mau mengatakan kalau “kum” disana tetap merujuk pada istri-istri Nabi tetapi karena penyucian itu untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka otomatis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga tersucikan, Nabi adalah sayyidul bait maka apa yang terjadi pada ahlul bait-nya juga berpengaruh pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Kami jawab : ini hujjah basa-basi seolah kelihatan bagus tetapi gak nyambung. Yang dipermasalahkan adalah penggunaan kata “kum” seandainya digunakan kata “kunna” masih bisa klop dengan perkataannya kalau penyucian terhadap istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga berarti penyucian terhadap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam bahasa arab kata “kum” ditujukan untuk orang yang diajak bicara jika yang diajak bicara itu laki-laki atau gabungan laki-laki dan perempuan bukannya khusus untuk perempuan. Kata “kum” tertuju kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk dibersihkan dosanya
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ
Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlul baitSalafy berkeyakinan kalau yang dimaksud Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari ahlul bait adalah dengan adanya perintah-perintah di kalimat sebelumnya yaitu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya maka Allah SWT menginginkan ahlul bait terhindar dari dosa. Apakah “kum” disana tertuju kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan istri-istri Beliau?. Apakah Nabi juga dikehendaki Allah SWT dihilangkan dosanya dengan memerintahkan Beliau agar tetap di rumah atau agar mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya?. Aneh sekali.
Dan hujjah “untuk istri Nabi otomatis untuk Nabi” juga tertolak oleh lafaz ini. Apakah maksud lafaz “menghilangkan dosa dari kamu” itu berarti ketika dosa istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dihilangkan maka itu berarti dosa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga hilang?. Apakah ketika istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berdosa melanggar perintah Allah SWT dan Rasul-nya maka Nabi juga ikut berdosa?.
Pertanyaan yang sama bisa kita tujukan kepada salafy yaitu berkenaan dengan masuknya Ali, Hasan dan Husain yang dikatakannya atas inisiatif Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau perluasan ayat. Mengapa Ali, Hasan dan Husain diinginkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ikut dalam al ahzab 33 padahal ayatnya berbunyi
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” [QS Al Ahzaab : 33].Kami ulangi jika ayat ini dipandang sebagai satu kesatuan maka kehendak Allah SWT menghilangkan dosa dari ahlul bait itu terikat dengan perintah yang Allah SWT kenakan kepada mereka yaitu : “tetaplah di rumahmu dan janganlah berhias”. Apakah masuk akal mengatakan kalau Ali, Hasan dan Husain diharuskan melaksanakan perintah ini juga agar mendapatkan penyucian oleh Allah SWT?. Dimana logikanya?
Semua kemusykilan yang tidak bisa dijawab salafy itu dengan benar akan terjawab dengan menyatakan kalau lafaz “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” turun terpisah dari bagian sebelum dan sesudahnya dan ayat ini khusus tertuju untuk ahlul kisa’ [Ali, Fathimah, Hasan dan Husain]. Penyucian yang dimaksud tidak terikat syariat tetapi berupa ketetapan yang Allah SWT berikan kepada mereka sehingga ketika anugerah penyucian ini diberikan kepada mereka, Ummu Salamah selaku istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga mengharapkannya.
- Pertanyaan Ummu Salamah terjelaskan dengan baik, karena memang ayat tersebut bukan turun untuknya sehingga ia perlu sekali bertanya apakah dirinya bisa ikut masuk
- Istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang lain wajar tidak ikut dipanggil karena ayat tersebut memang bukan tertuju pada mereka
- Sesuai dengan riwayat Watsilah bin Asqa’ kalau ayat tersebut juga turun di rumah Imam Ali [tidak hanya di rumah Ummu Salamah]
- Kata “kum” pada lafaz ayat tertuju pada gabungan laki-laki dan perempuan yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain
- Ali, Hasan dan Husain tidak perlu melaksanakan syariat khusus wanita agar mendapatkan penyucian dari Allah SWT. Penyucian itu adalah keutamaan yang Allah SWT limpahkan kepada mereka bukan syari’at yang harus mereka jalankan.
- Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ikut masuk dalam ayat tersebut dan tidak ada kerancuan yang terjadi soal perintah “taat kepada Allah dan Rasul-Nya” ataupun penggunaan kata ganti.
Tentu saja ini hujjah yang jahil. Apakah ia tidak mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah Nabi yang maksum dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT?. Apakah ia tidak mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah dijamin oleh Allah SWT akan kedudukannya di surga?.
Kemudian mari kita tanyakan padanya, apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah berdoa memohon ampun kepada Allah SWT?. Jika ia menjawab Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetap berdoa kepada Allah SWT apakah itu menunjukkan kalau Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebelumnya tidak dijamin oleh Allah SWT.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
Sesungguhnya Allah SWT dan malaikat-malaikatnya bershalawat untuk Nabi, wahai orang-orang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan ucapkan salam penghormatan kepadanya [QS Al Ahzab : 56].Allah SWT telah bershalawat kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Allah SWT juga memerintahkan agar orang-orang beriman bershalawat kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan bagaimanakan shalawat yang diperintahkan itu.
حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَّا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ، فَكَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكَ؟ قَالَ: “قُولُوا: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ”
Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Mis’ar dari Al Hakam dari Ibnu Abi laila dari Ka’ab bin ‘Ujrah radiallahu ‘anhu yang berkata “wahai Rasulullah adapun salam terhadapmu maka kami mengetahuinya maka bagaimana shalawat kepadamu?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata katakanlah “Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim, sesungguhnya engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berkatilah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberkati Ibrahim sesungguhnya engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. [Shahih Bukhari no 4797].Silakan perhatikan lafaz “Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad” itulah yang diajarkan padahal Allah SWT telah menurunkan ayat bahwa “Allah SWT telah bershalawat kepada Nabi”. Apakah adanya doa tersebut menunjukkan Allah SWT belum bershalawat kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Maka dapat kita katakan, ayat al ahzab 33 telah turun untuk ahlul bait [Ali, Fathimah, Hasan dan Husain] dan doa yang diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah penegasan kalau ayat tersebut memang untuk mereka dan merupakan keutamaan bagi mereka. Salam Damai