Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai
kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para
sahabat. Jika demikian?… terserah anda.
Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya. Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat, mis celaan tersebut menjadi doa atau rahmat baginya, sebagai ijtihad yang salah, boleh mengkritik mencela para sahabat yang tidak sesuai atau ada jalan lain?…terserah anda, aku hanya menyebarkan riwayat sejarah yang ditulis pada zaman dulu.
Berikut ini adalah sebagian riwayat tersebut:
>> Rasulullah saw dengan sahabat Mu’awiyah
“Rasulullah pernah menyuruh Ibn Abbas, yang sedang bermain untuk memanggil Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada panggilan pertama, Ibn Abbas melaporkan bahwa Mu’awiyah sedang makan dan tidak bisa memenuhi panggilan Rasulllah. Pada panggilan yang kedua kalinya, Mu’awiyah juga sedang makan. Kemudian waktu itu Rasulullah mendoakannya. Doa ini diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut, “Mudah-mudahan Allah tidak mengenyangkan perutnya”.
Alhasil, doa, laknat Nabi atau apapun sebutannya itu pun diijabah Tuhan. Ketika Mu’awiyah menjadi penguasa, dia hampir tidak bisa berhenti makan. Bahkan ketika perutnya sudah besar dia masih terus ingin makan. Riwayat ini ada di Sahih Muslim kitab al-Birr wa al-Shilah.
Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya. Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat, mis celaan tersebut menjadi doa atau rahmat baginya, sebagai ijtihad yang salah, boleh mengkritik mencela para sahabat yang tidak sesuai atau ada jalan lain?…terserah anda, aku hanya menyebarkan riwayat sejarah yang ditulis pada zaman dulu.
Berikut ini adalah sebagian riwayat tersebut:
>> Rasulullah saw dengan sahabat Mu’awiyah
“Rasulullah pernah menyuruh Ibn Abbas, yang sedang bermain untuk memanggil Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada panggilan pertama, Ibn Abbas melaporkan bahwa Mu’awiyah sedang makan dan tidak bisa memenuhi panggilan Rasulllah. Pada panggilan yang kedua kalinya, Mu’awiyah juga sedang makan. Kemudian waktu itu Rasulullah mendoakannya. Doa ini diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut, “Mudah-mudahan Allah tidak mengenyangkan perutnya”.
Alhasil, doa, laknat Nabi atau apapun sebutannya itu pun diijabah Tuhan. Ketika Mu’awiyah menjadi penguasa, dia hampir tidak bisa berhenti makan. Bahkan ketika perutnya sudah besar dia masih terus ingin makan. Riwayat ini ada di Sahih Muslim kitab al-Birr wa al-Shilah.
Muawiyah Menuduh Sahabat Meriwayatkan Hadis Dusta : Inikah Keadilan Sahabat?
Pernah ada salafy yang suka “berbasa-basi”
mengeluarkan pernyataan bahwa para sahabat semuanya adil dan mereka
saling percaya satu sama lain tidak pernah mendustakan sahabat yang
lain. Kami tidak heran kalau komentar ini lahir dari orang yang
terjangkiti virus salafy nashibi mengingat mereka menelan bulat-bulat
doktrin mentah “keadilan sahabat”. Doktrin yang mereka yakini sebagai “kema’shuman sahabat”.
Sudah pasti mereka akan mengingkari kalau sahabat itu ma’shum, mereka berkata sahabat itu manusia yang tidak ma’shum
tetapi ketika ditunjukkan sahabat bisa salah, bisa lupa, bisa
bermaksiat mereka jadi meradang, mengeluarkan tuduhan “syiah”, membuat
dalih penolakan yang dicari-cari untuk membela sahabat. Apa yang
terjadi? Kalau memang sahabat Nabi itu juga manusia ya wajar-wajar saja,
kalau memang sahabat Nabi tidak ma’shum ya wajar-wajar saja. Jadi
perkataan “sahabat tidak ma’shum” itu cuma ocehan di mulut saja tetapi hati mereka meyakini kalau sahabat itu ma’shum.
Benarkah sahabat saling percaya dan tidak
mendustakan sahabat yang lain?. Kami jawab itu tidak mutlak karena
terdapat kasus dimana ada sahabat Nabi mendustakan sahabat yang lain.
Sepertinya sahabat itu tidak meyakini doktrin “semua sahabat itu adil”.
Salah satu contohnya adalah riwayat berikut yang sudah pernah kami kutip
sebelumnya tetapi disini kami mengutip riwayat dengan lafaz yang jelas
agar para “troll salafy nashibi” kehabisan akal untuk berbasa-basi.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ عَنْ أَبِي الأَشْعَث قَالَ كُنَّا فِي غَزَاةٍ وَعَلَيْنَا مُعَاوِيَةُ ، فَأَصَبْنَا ذَهَبًا وَفِضَّةً ، فَأَمَرَ مُعَاوِيَةُ رَجُلاً يَبِيعَهَا النَّاسَ فِي أُعْطِيَّاتِهِمْ ، فَسَارَعَ النَّاسُ فِيهَا ، فَقَامَ عُبَادَةُ فَنَهَاهُمْ فَرَدُّوهَا ، فَأَتَى الرَّجُلُ مُعَاوِيَةَ فَشَكَا إلَيْهِ ، فَقَامَ مُعَاوِيَةُ خَطِيبًا فَقَالَ مَا بَالُ رِجَالٍ يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَحَادِيثَ يَكْذِبُونَ فِيهَا ، لَمْ نَسْمَعْهَا فَقَامَ عُبَادَةُ ، فَقَالَ وَاللَّهِ لَنُحَدِّثَنَّ عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَإِنْ كَرِهَ مُعَاوِيَةُ ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ ، وَلاَ الْفِضَّةَ بِالْفِضَّةِ ، وَلاَ الشَّعِيرَ بِالشَّعِيرِ وَلاَ التَّمْرَ بِالتَّمْرِ ، وَلاَ الْمِلْحَ بِالْمِلْحِ إلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ عَيْنًا بِعَيْنٍ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul
Wahab Ats Tsaqafiy dari Ayuub dari Abu Qilabah dari Abul Asy’ats yang
berkata kami pernah berada dalam suatu perperangan dan bersama kami ada
Mu’awiyah. Kami mendapatkan emas dan perak, maka Mu’awiyah memerintahkan
seorang laki-laki untuk menjualnya kepada orang-orang saat mereka
menerima pembagian [ghanimah], maka orang-orang menawarnya. Ubadah
berdiri melarang mereka dan menolaknya, maka laki-laki tersebut
mengadukan hal itu kepada Muawiyah. Mu’awiyah berdiri dan berkhutbah, ia
berkata “mengapa
ada orang yang menceritakan dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] hadis yang ia berdusta atasnya, dimana kami tidak pernah
mendengarnya”. Maka Ubadah berdiri dan berkata “demi Allah
kami akan tetap menyampaikan hadis dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] meskipun Muawiyah membencinya, Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] bersabda “Janganlah menjual emas dengan emas, perak
dengan perak, jejawut dengan jejawut, kurma dengan kurma, garam dengan
garam kecuali dengan takaran yang sama dan tunai” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/100 no 22929].
Hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas sanadnya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
- ‘Abdul Wahab Ats Tsaqafiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat dan mengalami ikhtilath di akhir umurnya. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat ada kelemahan padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 837]. Ahmad bin Hanbal berkata “Abdul Wahab Ats Tsaqafiy lebih tsabit dari ‘Abdul A’la Asy Syammiy” [Al Ilal no 740]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tetapi mengalami perubahan hafalan sebelum wafatnya” [At Taqrib 1/626]. Abdul Wahab Ats Tsaqafiy memang mengalami ikhtilath tetapi ia tidak meriwayatkan hadis setelah mengalami ikhtilath [Al Mukhtalithin Abu Sa’id Al ‘Ala’iy hal 78 no 32].
- Ayub bin Abi Tamimah As Sakhtiyatiy adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Syu’bah mengatakan kalau Ayub pemimpin para fuqaha. Ibnu Uyainah berkata “aku belum pernah bertemu orang seperti Ayub”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat dan ia lebih tsabit dari Ibnu ‘Aun”. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat tsabit dalam hadis. Abu Hatim menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “Ayub termasuk hafizh yang tsabit” [At Tahdzib juz 1 no 733]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit hujjah termasuk fuqaha besar dan ahli ibadah [At Taqrib 1/116].
- Abu Qilabah yaitu ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Amru adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Aun berkata “Ayub menyebutkan kepada Muhammad hadis dari Abu Qilabah maka ia berkata “Abu Qilabah insya Allah tsiqat orang yang shalih”. Al Ijli dan Ibnu Khirasy menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 5 no 388]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat dan memiliki keutamaan [At Taqrib 1/494].
- Abu Al Asy’ats Ash Shan’aniy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Al Ijli berkata “tabiin syam yang tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 558]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/414]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2254].
Tidak diragukan lagi kedudukan atsar di
atas adalah shahih. Silakan perhatikan matan hadisnya, Ubadah bin Shamit
salah seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyampaikan
hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mencegah orang-orang dari
perbuatan yang melanggar syari’at. Anehnya ketika hal ini disampaikan
kepada Muawiyah, ia malah berdiri menyampaikan khutbah yang menuduh
Ubadah menyampaikan hadis dusta dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam].
Bagaimana mungkin Muawiyah mendustakan hadis Ubadah bin Shamit [radiallahu ‘anhu] dengan alasan “ia tidak pernah mendengarnya”?.
Atau mungkin ia menganggap Ubadah tidak terpercaya dalam hadis yang ia
riwayatkan. Sepertinya berbeda dengan pengikut salafy nashibi justru
idola panutan mereka [kaum nashibi] Muawiyah tidak berkeyakinan kalau
semua sahabat itu adil. Buktinya Muawiyah menuduh Ubadah menyampaikan
hadis dusta, kalau memang sahabat Ubadah adil dalam pandangan Muawiyah
maka mustahil ia akan berkhutbah dan menuduh Ubadah menyampaikan hadis
dusta di depan khalayak ramai. Dilematis? Yah begitulah adanya.
Pandangan Imam ‘Aliy bin Abi Thalib Terhadap Perangnya Dengan Muawiyah.
Tidak diragukan kalau Imam Ali benar
dalam tindakannya memerangi Muawiyah. Sebagaimana yang telah dengan
jelas disebutkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa
Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok pemberontak [baaghiyyah]. Hanya
saja beberapa orang dari pengikut salafy yang ghuluw mencintai Muawiyah
tidak bisa menerima kenyataan ini, mereka dengan segenap usaha “yang melelahkan” membela
Muawiyah. Tidak jarang demi membela Muawiyah mereka mengutip perkataan
Imam Ali. Bagaimana sebenarnya pandangan Imam Ali terhadap Muawiyah dan
para pengikutnya?. Perhatikanlah hadis-hadis berikut:
Doa Imam Ali Untuk Muawiyah dan Pengikutnya.
حدثنا تميم بن المنتصر الواسطي قال أخبرنا إسحاق يعني الأزرق عن شريك عن حصين عن عبد الرحمن بن معقل المزني قال صليت مع علي بن أبي طالب رضوان الله عليه الفجر ” فقنت على سبعة نفر منهم فلان وفلان وأبو فلان وأبو فلان
Telah menceritakan kepada kami Tamim
bin Muntashir Al Wasithiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami
Ishaq yakni Al Azraq dari Syarik dari Hushain dari ‘Abdurrahman bin
Ma’qil Al Muzanniy yang berkata “aku shalat
fajar bersama Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu maka ia membaca qunut
untuk tujuh orang, diantara mereka adalah fulan, fulan, abu fulan dan
abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2628]
Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi
tsiqat kecuali Syarik ia memang seorang yang tsiqat shaduq tetapi
diperbincangkan hafalannya. Ishaq Al Azraq meriwayatkan dari Syarik
sebelum hafalannya berubah maka riwayatnya shahih.
- Tamim bin Muntashir Al Wasithiy adalah perawi Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Nasa’I menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 958]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dhabit [At Taqrib 1/143-144].
- Ishaq bin Yusuf Al Azraq adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al Ijli menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “shahih hadisnya shaduq tidak ada masalah dengannya”. Yaqub bin Syaibah berkata “ia termasuk orang yang alim diantara yang meriwayatkan dari Syarik”. Al Khatib berkata “termasuk tsiqat dan ma’mun”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Bazzar menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 486]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/87].
- Syarik Al Qadhi adalah Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ia diperbincangkan sebagian ulama bahwa ia melakukan kesalahan dan terkadang hadisnya mudhtharib diantara yang membicarakannya adalah Abu Dawud, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban tetapi mereka tetap menyatakan Syarik tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 587]. Hafalan yang dipermasalahkan pada diri Syarik adalah setelah ia menjabat menjadi Qadhi dimana ia sering salah dan mengalami ikhtilath tetapi mereka yang meriwayatkan dari Syarik sebelum ia menjabat sebagai Qadhi seperti Yazid bin Harun dan Ishaq Al Azraq maka riwayatnya bebas dari ikhtilath [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 6 no 8507].
- Hushain adalah Hushain bin Abdurrahman As Sulami Al Kufi seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Al Ajli, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 2 no 659]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124].
- Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].
Riwayat di atas menyebutkan bahwa Imam
Ali membaca qunut nazilah untuk beberapa orang pada shalat fajar.
Terdapat riwayat lain yang menyebutkan kalau Imam Ali juga membaca qunut
ini [nazilah] pada shalat maghrib,
حدثني عيسى بن عثمان بن عيسى قال حدثنا يحيى بن عيسى عن الأعمش عن عبد الله بن خالد عن عبد الرحمن بن معقل قال صليت خلف علي المغرب فلما رفع رأسه من الركعة الثالثة قال اللهم العن فلانا وفلانا وأبا فلان وأبا فلان
Telah menceritakan kepadaku Isa bin
Utsman bin Isa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Isa
dari Al A’masy dari ‘Abdullah bin Khalid dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil
yang berkata “aku shalat maghrib di
belakang Ali ketika ia mengangkat kepalanya pada rakaat ketiga, ia
berkata “ya Allah laknatlah fulan, fulan, abu fulan dan abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2627].
Riwayat ini sanadnya hasan dengan penguat
riwayat sebelumnya. ‘Abdullah bin Khalid adalah seorang kufah yang
tsiqat dimana telah meriwayatkan darinya Sufyan Ats Tsawri dan Al
A’masy.
- Isa bin Utsman bin Isa adalah perawi Tirmidzi. Telah meriwayatkan darinya jama’ah hafizh diantaranya Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Nasa’I menyatakan “shalih” [At Tahdzib juz 8 no 410]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/772].
- Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376].
- Sulaiman bin Mihran Al A’masy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55].
- ‘Abdullah bin Khalid meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanniy dan telah meriwayatkan darinya Sufyan dan ‘Amasy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 7 no 8812]. Al Fasawiy menyebutkan ia seorang yang tsiqat [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/104].
- Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].
Kedua riwayat ini menyebutkan kalau Imam
Ali membaca qunut nazilah pada shalat shubuh dan maghrib dimana Beliau
mendoakan keburukan atau melaknat orang-orang tertentu. Siapa
orang-orang tersebut memang tidak disebutkan dalam riwayat Ibnu Jarir
tetapi tampak jelas kalau perawi [entah siapa] menyembunyikan nama-nama
mereka karena tidak mungkin ada seseorang bernama fulan atau abu fulan.
Alhamdulillah ternyata terdapat riwayat-riwayat yang menyebutkan nama
beberapa diantara mereka.
حدثنا هشيم قال أخبرنا حصين قال حدثنا عبد الرحمن بن معقل قال صليت مع علي صلاة الغداة قال فقنت فقال في قنوته اللهم عليك بمعاوية وأشياعه وعمرو بن العاص وأشياعه وأبا السلمي وأشياعه وعبد الله بن قيس وأشياعه
Telah menceritakan kepada kami
Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hushain yang berkata
telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata Aku
shalat bersama Ali dalam shalat fajar dan kemudian ketika Qunut Beliau
berkata “Ya
Allah hukumlah Muawiyah dan pengikutnya, Amru bin Ash dan pengikutnya,
Abu As Sulami dan pengikutnya, Abdullah bin Qais dan pengikutnya” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/108 no 7050].
Riwayat ini sanadnya shahih, Husyaim adalah Husyaim bin Basyiir
seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia
dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu
Zar’ah dan Abu Hatim memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu
Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi
menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al
Kasyf no 5979]. Sedangkan Hushain dan Abdurrahman bin Ma’qil telah
disebutkan kalau mereka tsiqat.
حَدَّثَنَا عُبَيد الله بن معاذ قَال حدثني أبي قَال حَدَّثَنَا شُعبة عن عُبَيد أبي الحسن سمع عبد الرحمن بن معقل يقول شهدت علي بن أبي طالب قنت في صلاة العتمة بعد الركوع يدعو في قنوته على خمسة رهط على معاوية وأبي الأعور
Telah menceritakan kepada kami
‘Ubaidillah bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku
yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Ubaid Abi
Hasan yang mendengar ‘Abdurrahman bin Ma’qil berkata “aku menyaksikan
Ali bin ‘Abi Thalib membaca qunut dalam shalat ‘atamah [shalat malam
yaitu maghrib atau isya’] setelah ruku’ untuk lima orang untuk Mu’awiyah dan Abul A’war [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/134].
Riwayat ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat. Ubaidillah bin Mu’adz adalah seorang hafizh yang tsiqat termasuk perawi Bukhari Muslim [At Taqrib 1/639] dan ayahnya Mu’adz bin Mu’adz
adalah seorang yang tsiqat mutqin perawi kutubus sittah [At Taqrib
2/193]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah
disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Ubaid bin Hasan Al Muzanniy
atau Abu Hasan Al Kufiy adalah perawi Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan Nasa’I menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata
“tsiqat shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib
juz 7 no 128]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/643]. Dan
‘Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan bahwa ia tabiin yang tsiqat.
Kedua riwayat Abdurrahman bin Ma’qil ini
menyebutkan kalau diantara mereka yang didoakan [dalam qunut] keburukan
atau laknat oleh Imam Ali adalah Mu’awiyah. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam pandangan Imam Ali, Muawiyah dan pengikutnya itu menyimpang dan
telah sesat plus menyesatkan banyak orang sehingga Imam Ali sampai
membaca qunut nazilah untuk mereka. Abbas Ad Duuriy berkata
سمعت يحيى يقول أبو الأعور السلمي رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم وكان مع معاوية وكان علي يلعنه في الصلاة
Aku mendengar Yahya [bin Ma’in]
berkata “Abul A’war As Sulamiy seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] ia bersama Muawiyah dan Ali telah melaknatnya di dalam
shalat” [Tarikh Ibnu Ma’in 3/43 no 175].
Kelompok Muawiyah Berada Di Jalan Yang Bathil
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي سَعِيدٍ فَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin
Mukhtar yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hidzaa’
dari Ikrimah yang berkata Ibnu Abbas berkata kepadaku dan kepada anaknya
Ali, pergilah kalian kepada Abu Sa’id dan dengarkanlah hadis darinya
maka kami menemuinya. Ketika itu ia sedang memperbaiki dinding miliknya,
ia mengambil kain dan duduk kemudian ia mulai menceritakan kepada kami
sampai ia menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia berkata “kami
membawa batu satu persatu sedangkan Ammar membawa dua batu sekaligus,
Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihatnya, kemudian Beliau berkata
sambil membersihkan tanah yang ada padanya “kasihan
‘Ammar, dia akan dibunuh oleh kelompok baaghiyah [pembangkang], ia
[Ammar] mengajak mereka ke surga dan mereka mengajaknya ke neraka.
‘Ammar berkata “aku berlindung kepada Allah dari fitnah” [Shahih Bukhari 1/97 no 447].
Telah terbukti kalau ‘Ammar terbunuh
dalam perang shiffin dan ia berada di pihak Imam Ali jadi kelompok
baaghiyyah [pembangkang] yang membunuh ‘Ammar dalam hadis Bukhari di
atas adalah kelompok Muawiyah. Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok
yang mengajak ke neraka. Jadi berdasarkan dalil shahih dari Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] maka dalam perang shiffin Imam Ali dan
pengikutnya berada dalam kebenaran sedangkan Muawiyah dan pengikutnya
berada dalam kesesatan.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن عمرو بن مرة قال سمعت عبد الله بن سلمة يقول رأيت عمارا يوم صفين شيخا كبيرا آدم طوالا آخذا الحربة بيده ويده ترعد فقال والذي نفسي بيده لقد قاتلت بهذه الراية مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاث مرات وهذه الرابعة والذي نفسي بيده لو ضربونا حتى يبلغوا بنا شعفات هجر لعرفت أن مصلحينا على الحق وأنهم على الضلالة
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru bin Murrah yang berkata aku
mendengar ‘Abdullah bin Salamah berkata “aku melihat ‘Ammar dalam perang
shiffin, dia seorang Syaikh yang berumur, berkulit agak gelap dan
berperawakan tinggi, ia memegang tombak dengan tangan bergetar. Ia
berkata “demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku telah berperang
membawa panji ini bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tiga
kali dan ini adalah yang keempat. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya
sekiranya mereka menebas kami hingga membawa kami kepada kematian maka aku yakin bahwa orang-orang shalih yang bersama kami berada di atas kebenaran dan mereka berada di atas kesesatan [Musnad Ahmad 4/319 no 18904]
Riwayat ini sanadnya hasan.
‘Abdullah bin Salamah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit
perbincangan karena hafalannya. Riwayat ini juga disebutkan Ibnu Hibban
dalam Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak
juz 3 no 5651.
- Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]
- Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]
- ‘Amru bin Murrah adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan shaduq tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Numair dan Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 8 no 163]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah [At Taqrib 1/745]
- ‘Abdullah bin Salamah adalah perawi Ashabus Sunan. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ai Ijli menyatakan ia tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat termasuk thabaqat pertama dari ahli fiqih kufah setelah sahabat”. Abu Hatim berkata “dikenal dan diingkari”. Bukhari berkata “hadisnya tidak memiliki mutaba’ah”. Ibnu Ady berkata “aku kira tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 5 no 421]. Ibnu Hajar berkata “shaduq mengalami perubahan pada hafalannya” [At Taqrib 1/498]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Al Kasyf no 2760], Adz Dzahabi juga memasukkannya dalam Man Tukullima Fihi wa huwa Muwatstsaq no 182. Ibnu Hibban telah menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080]. Ibnu Khuzaimah telah berhujjah dan menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/104 no 208]. Al Hakim ketika membawakan hadis ‘Abdullah bin Salamah ia menyatakan hadis tersebut shahih sanadnya walaupun syaikhan tidak berhujjah dengan ‘Abdullah bin Salamah tetapi tidak ada cela terhadapnya [Al Mustadrak juz 1 no 541] itu berarti Al Hakim menganggap ‘Abdullah bin Salamah tsiqat. Pendapat yang rajih, ‘Abdullah bin Salamah adalah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit pembicaraan dalam hafalannya tetapi itu tidak menurunkan hadisnya dari derajat hasan.
Riwayat ini dengan tegas menyatakan kalau
‘Ammar dan orang-orang shalih di pihak Imam Ali adalah berada di atas
kebenaran sedangkan mereka kelompok Muawiyah berada di atas kesesatan
atau kebathilan. Kami tidak akan berbasa-basi seperti sebagian orang
yang mengklaim kalau Muawiyah berijtihad dan walaupun salah ijtihadnya
tetap mendapat pahala. Itu berarti Muawiyah yang dalam perang shiffin
dikatakan mengajak orang ke neraka tetap mendapat pahala. Sungguh
perkataan yang aneh bin ajaib.
Kami juga ingin menegaskan kepada orang
yang memang tidak punya kemampuan memahami perkataan orang lain bahwa
kami tidak pernah menyatakan kalau Muawiyah dan pengikutnya kafir dalam
perang shiffin berdasarkan hadis-hadis di atas. Jika dikatakan mereka
bermaksiat maka itu sudah jelas, orang yang mengajak ke jalan neraka
maka sudah jelas ia bermaksiat. Tetapi apakah maksiat itu membawa kepada
kekafirannya maka hanya Allah SWT yang tahu. Soal Muawiyah kami sudah
pernah membahas hadis shahih yang menunjukkan bahwa pada akhirnya ia mati tidak dalam agama islam
___________________________________
Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam?
Terdapat hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam.
Kami akan mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan
kami tidak peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah
membaca tulisan ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis
dalam kitab. Jadi kami tidak mengada-ada.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Ash dari Rasulullah SAW sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121.
عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية
Dari Abdullah bin Amru yang
berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang
dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya
tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah
meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau
ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari
jalan tersebut”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf dengan dua jalan sanad yaitu:
حدثني عبد الله بن صالح حدثني يحيى بن آدم عن شريك عن ليث عن طاووس عن عبد الله بن عمرو
Telah menceritakan kepadaku
Abdullah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Yahya bin
Adam dari Syarik dari Laits dari Thawus dari Abdullah bin Amru [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121].
حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص
Telah menceritakan kepadaku Ishaq
dan Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada
kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami
Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120].
Sanad pertama
semuanya adalah perawi Muslim oleh karena itu Syaikh Al Ghumari
menyatakan hadis tersebut shahih dengan syarat Muslim. Tetapi walaupun
semuanya perawi Muslim terdapat cacat pada sanadnya yaitu Abdullah bin
Shalih dan Laits. Mereka berdua walaupun seorang yang shaduq telah
diperbincangkan oleh para ulama mengenai hafalannya. Sebagaimana yang
disebutkan dalam At Taqrib 1/501 kalau Abdullah bin Shalih jujur tetapi banyak melakukan kesalahan dan At Taqrib 2/48 kalau Laits bin Abi Sulaim jujur tetapi mengalami ikhtilath. Jadi sanad pertama itu dhaif.
Sanad kedua telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat yaitu Ishaq, Abddurrazaq, Ma’mar, Ibnu Thawus dan Thawus. Hanya satu orang yang tidak diketahui kredibilitasnya yaitu Bakr bin Al Haitsam tetapi ini tidak menjadi masalah karena ia meriwayatkan hadis ini bersama dengan Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat dan ma’mun.
- Ishaq adalah Ishaq bin Abi Israil termasuk gurunya Al Baladzuri, ia perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Nasa’i. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 1 no 415, dimana Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Daruquthni, Al Baghawi, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 1/79 Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 338 kalau Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat ma’mun.
- Abdurrazaq bin Hammam adalah perawi kutubus sittah dimana Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan hadisnya. Ia seorang hafiz yang dikenal tsiqat sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/599.
- Ma’mar adalah Ma’mar bin Rasyd perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 10 no 441 menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ajli, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i. Dalam At Taqrib 2/202 ia dinyatakan tsiqat tsabit.
- Abdullah bin Thawus adalah putra Thawus bin Kisan, ia seorang perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 5 no 459 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Daruquthni. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/503 menyatakan Ibnu Thawus tsiqat.
- Thawus bin Kisan Al Yamani adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ia termasuk perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/449 menyatakan kalau Thawus tsiqat.
Jadi dapat disimpulkan kalau sanad kedua
itu diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sehingga sanadnya shahih.
Dengan melihat kedua sanad hadis tersebut maka kedudukan hadis tersebut sudah jelas shahih.
Sanad pertama berstatus dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad kedua yang
merupakan sanad yang shahih. Sekedar informasi hadis ini telah
dishahihkan oleh Syaikh Al Ghumari, Syaikh Hasan As Saqqaf, Syaikh
Muhammad bin Aqil Al Alawy dan Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliki.
Sudah jelas para Nashibi tidak akan rela
dengan hadis ini dan mereka memang akan selalu mencari-cari cara atau
dalih untuk melemahkan hadis tersebut. Terus terang kami tertarik
melihat dalih-dalih nashibi untuk mencacatkan hadis ini. Kita tunggu
saja.
Salam Damai.
________________________________
sedangkan soal pengikutnya yang lain kami tidak memiliki dalil yang jelas soal itu.
Syubhat Salafy Dalam Membela Muawiyah.
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الأَصَمِّ ، قَالَ : سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ ، فَقَالَ : قَتْلاَنَا وَقَتْلاَهُمْ فِي الْجَنَّةِ ، وَيَصِيرُ الأَمْرُ إلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar
bin Ayub Al Maushulliy dari Ja’far bin Burqaan dari Yazid bin Al Aasham
yang berkata Ali pernah ditanya tentang mereka yang terbunuh dalam
perang shiffin. Ia menjawab “yang terbunuh diantara kami dan mereka
berada di surga” dan masalah ini adalah antara aku dan Muawiyah [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 15/302 no 39035].
Riwayat ini secara zahir sanadnya shahih
dan para perawinya tsiqat tetapi terdapat illat di dalamnya. Adz Dzahabi
mengatakan tentang Yazid bin Al Aasham kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih
[As Siyar 4/517 no 211]. Walaupun dikatakan Adz Dzahabi ia menemui masa
khalifah Ali tetapi tetap saja Adz Dzahabi sendiri mengatakan kalau
riwayatnya dari Ali tidak shahih. Cukup ma’ruf dalam ilmu hadis bahwa
terkadang ada perawi yang melihat atau bertemu atau semasa dengan perawi
lain tetapi tidak mendengar hadis darinya sehingga hadisnya dikatakan
tidak shahih. Salah satu contohnya adalah Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu
Madini berkata tentangnya “ia melihat Abu Sa’id Al Khudri tawaf di baitullah dan ia melihat Abdullah bin Umar tetapi tidak mendengar hadis dari keduanya” [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 520].
Ada yang berhujjah sembarangan dengan
hadis ini. Mereka dengan hadis ini membela Muawiyah dan pengikutnya. Ini
namanya asal berhujjah, telah kami tunjukkan bagaimana pandangan Imam
Ali sebenarnya kepada kelompok Muawiyah. Jika Imam Ali sendiri berdoa
dalam qunut nazilah agar Muawiyah dan pengikutnya mendapatkan hukuman
dari Allah SWT maka sudah jelas menurut Imam Ali mereka kelompok
Muawiyah berada dalam kesesatan atau kebathilan dan hal ini pun sesuai
dengan petunjuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan pandangan
‘Ammar bin Yasir radiallahu ‘anhu.
Jadi jika riwayat di atas diartikan bahwa Imam Ali membenarkan Muawiyah dan pengikutnya maka itu keliru. Kami pribadi menganggap atsar tersebut matannya mungkar dan sanadnya memang mengandung illat.
Bukankah dalam perang shiffin Muawiyah dan pengikutnya telah terbukti
berada di atas Jalan yang menuju ke neraka berdasarkan hadis Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] yang shahih. Apakah mereka yang gugur
karena membela kebathilan akan mendapat imbalan surga?. Jadi dari sisi
ini kalau riwayat tersebut diartikan secara zahir maka mengandung
pertentangan dengan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Seandainyapun orang-orang tersebut
menerima riwayat Imam Ali di atas maka sudah seharusnya diartikan bahwa
yang dimaksud bukan secara umum. Bukankah salafy sendiri [Muawiyah dan
pengikutnya] menganggap bahwa dalam kelompok Imam Ali terdapat para
pembunuh Utsman radiallahu ‘anhu. Nah apakah mereka yang terbunuh dalam
kelompok Imam Ali ini akan mendapat surga? Silakan mereka salafy
menjawabnya. Begitu pula mungkin saja dalam kelompok Muawiyah terdapat
orang-orang yang tidak memahami persoalan, mereka tertipu oleh
propaganda Muawiyah atau dengan bahasa yang lebih kasar fitnah kalau
Imam Ali dan pengikutnya melindungi para pembunuh khalifah Utsman
radiallahu ‘anhu. Mungkin saja kelompok ini yang dikatakan Imam Ali
bahwa yang terbunuh diantara mereka mendapat surga. Sehingga sangat
wajar di akhir riwayat Imam Ali mengatakan kalau masalah ini adalah
antara diri Beliau dan Muawiyah.
Selain itu sangat ma’ruf kalau tidak
semua orang yang ikut berperang memiliki niat yang baik walaupun mereka
berada di pihak yang benar. Kedudukannya tergantung niat orang tersebut,
jika ia berperang dengan niat mendapatkan harta atau niat lain yang
buruk dan gugur dalam perang tersebut bukan berarti ia lantas mendapat
surga. Terdapat kisah dimana salah seorang sahabat gugur di medan perang
kemudian para sahabat yang lain mengatakan ia syahid tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membantahnya dan mengatakan kalau ia di neraka
___________________________________
Sahabat Nabi Yang Masuk Neraka.
Saya tidak memfitnah, hal ini memang tercatat di dalam Kitab Shahih. Sebelumnya saya katakan kalau saya tidak merendahkan siapapun apalagi mencaci. Saya Cuma menunjukkan apa yang saya baca sebagai kritikan terhadap apa yang saya dengar. Telah sampai kabar kepada saya ada orang yang mengatakan bahwa semua sahabat Nabi pasti masuk surga dan tidak ada yang masuk neraka. Orang tersebut bisa dibilang korban dogma dan generalisasi yang fallasius. Jika ia adalah seorang yang bersandar pada kitab-kitab Shahih maka apa yang akan ia katakan jika ia membaca bahwa ada sahabat Nabi yang masuk neraka, dan bahkan yang mengatakan bahwa sahabat tersebut masuk neraka adalah Nabi SAW sendiri.
Dalam Shahih Bukhari 4/74 no 3074 dan dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah Syaikh Al Albani no 2299 disebutkan (ini riwayat Bukhari),
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كَانَ عَلَى ثَقَلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ كِرْكِرَةُ فَمَاتَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ فِي النَّارِ فَذَهَبُوايَنْظُرُونَ إِلَيْهِ فَوَجَدُوا عَبَاءَةً قَدْ غَلَّهَا
Telah menceritakan kepada kami Ali
bin Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amr
dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Amr yang berkata “Pernah ada
seseorang yang biasa menjaga perbekalan Nabi SAW, orang tersebut
bernama Kirkirah. Kemudian dia pun meninggal dunia, ketika itu
Rasulullah SAW bersabda “Dia berada di Neraka”. Maka
para sahabat pergi melihatnya dan mereka mendapatkan sebuah mantel yang
diambilnya dari harta rampasan perang sebelum dibagikan.
Sahabat Nabi yang dimaksud adalah Kirkirah dan ternyata kesalahan yang ia lakukan adalah berkhianat atau mengkhianati harta rampasan perang oleh karenanya Rasul SAW berkata “Dia di Neraka”. Ibnu Hajar memasukkan nama Kirkirah dalam Kitab Al Ishabah Fi Tamyiz As Sahabah 5/587 no 7405, ia menyebutnya sebagai Kirkirah mawla Rasulullah SAW, Ibnu Hajar juga berkata:
Sahabat Nabi yang dimaksud adalah Kirkirah dan ternyata kesalahan yang ia lakukan adalah berkhianat atau mengkhianati harta rampasan perang oleh karenanya Rasul SAW berkata “Dia di Neraka”. Ibnu Hajar memasukkan nama Kirkirah dalam Kitab Al Ishabah Fi Tamyiz As Sahabah 5/587 no 7405, ia menyebutnya sebagai Kirkirah mawla Rasulullah SAW, Ibnu Hajar juga berkata:
وقال بن منده له صحبة ولا تعرف له رواية
Ibnu Mandah berkata “dia seorang Sahabat Nabi dan tidak diketahui memiliki riwayat hadis”
Selain Ibnu Hajar, Ibnu Atsir dalam Asad Al Ghabah 4/497 juga mengatakan kalau Kirkirah adalah Sahabat Nabi SAW dan Adz Dzahabi dalam Tajrid Asma As Shahabah 2/29 no 323 menyebutkan kalau Kirkirah seorang Sahabat Nabi SAW. Bukankah ini membuktikan bahwa seorang Sahabat Nabi bisa saja masuk Neraka dan Kirkirah sahabat Nabi SAW di atas disebutkan oleh Nabi SAW sendiri bahwa “dia berada di neraka”.
Selain Ibnu Hajar, Ibnu Atsir dalam Asad Al Ghabah 4/497 juga mengatakan kalau Kirkirah adalah Sahabat Nabi SAW dan Adz Dzahabi dalam Tajrid Asma As Shahabah 2/29 no 323 menyebutkan kalau Kirkirah seorang Sahabat Nabi SAW. Bukankah ini membuktikan bahwa seorang Sahabat Nabi bisa saja masuk Neraka dan Kirkirah sahabat Nabi SAW di atas disebutkan oleh Nabi SAW sendiri bahwa “dia berada di neraka”.
_________________________________
karena sahabat tersebut telah berkhianat
dalam harta rampasan perang. Kami cuma ingin menyampaikan bahwa atsar
Imam Ali di atas seandainya kita terima maka ia tidak bisa diartikan
secara umum untuk semua orang yang terbunuh di shiffin. Apalagi sangat
tidak benar menjadikan hadis ini untuk membela Muawiyah dan pengikutnya
yang lain.
Sebenarnya ada hal lucu yang tidak terpikirkan oleh salafy. Bukankah mereka sering merendahkan Syiah yang katanya Syiah mengatakan bahwa Imam Ali mengetahui perkara yang ghaib.
Padahal yang dilakukan syiah mungkin hanya berhujjah dengan riwayat
yang ada di sisi mereka. Sekarang lihatlah riwayat Imam Ali di atas,
bukankah pengetahuan siapa yang akan masuk surga adalah pengetahuan yang
bersifat ghaib lantas kenapa sekarang salafy anteng-anteng saja
meyakini riwayat tersebut. Sekarang dengan lucunya [demi membela
Muawiyah] salafy mengakui kalau Imam Ali mengetahui perkara ghaib bahwa
yang terbunuh di shiffin itu masuk surga. Sungguh tanaqudh dan
memprihatinkan mereka suka mencela mazhab lain tetapi apa yang mereka
cela ada pada diri mereka sendiri.
Salam Damai.