Maksud malam Lailatul Qadar lebih lebih baik dari seribu bulan
sebagaimana penafsiran para ahli tafsir adalah dari sisi keutamaan
ibadah. Hal ini juga sesuai dengan tujuan Al-Qur’an. Sebab seluruh
inayah Al-Qur’an adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt dan
menghidupkan manusia lewat ibadah.
Surah Al-Qadr yang terdiri
dari 5 ayat adalah surah ke-97 dalam Al-Quran yang terletak setelah
surah Al-'Alaq. Surah ini tergolong Makkiah yang diturunkan setelah
surah 'Abasa pada tahun ke-4 setelah bi'tsah.
Ia Al-Qadr, diambil dari
kalimat Al-Qadr yang disebutkan dalam ayat pertama surat ini.
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, bahwa barang siapa yang membaca surah
ini, akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa di bulan Ramadhan dan
menghidupkan malam-malam Lailatul Qadar.
Surah Al-Qadr ayat 1-5:
بسم الله الرحمن الرحيم
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Terjemahan ayat Dengan
nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 1. Sesungguhnya kami
Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan 2. Dan tahukah kamu
apakah malam kemuliaan itu? 3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari
seribu bulan. 4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan ruh dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. 5. Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar.
Penjelasan Ayat Surah
Al-Qadr menjelaskan tentang turunnya Al-Qur’an pada malam Lailatul
Qadar dan bertujuan mengagungkan malam ini dengan menyebutnya lebih baik
dari seribu bulan. Sebab pada malam itu malaikat-malaikat beserta ruh
turun ke bumi. Dalam surat ini terdapat dua kemungkinan, turun di Mekah
atau turun di Madinah. Sebab ada riwayat-riwayat yang menjelaskan
tentang asbabun nuzul (sebab
turunnya) surah ini dari para Imam Ahlul Bait as, dan mufassir lain
yang menegaskan surah ini turun di Madinah. Dari riwayat-riwayat
tersebut menunjukkan, surah ini turun setelah Rasulullah saw bermimpi
melihat Bani Umayyah naik ke mimbar beliau, melihat itu beliau sangat
sedih. Untuk menghibur Rasul, Allah swt menurunkan surah ini (dan di
dalamnya Allah swt berfirman bahwa malam Lailatul Qadar lebih baik dari
seribu bulan dari pemerintahan Bani Umayyah).
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Kata ganti (dhamir hu) dalam kalimat انزلناه kembali
kepada Al-Qur’an. Jika dilihat secara lahir ayat, Allah swt hendak
berfirman bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan telah diturunkan pada malam
Lailatul Qadar, dan bukan dengan ayat per-ayatnya. Buktinya adalah,
ayat tersebut memakai kata “انزال” yang menunjukkan penurunan Al-Qur’an itu secara sekaligus, dan tidak memakai kata “تنزيل” yang menunjukkan penurunan secara ayat per-ayat.
Ayat berikut ini juga menegaskan makna ayat yang tengah kita bahas:
و الكتاب المبين انا انزلناه فى ليلة مباركة
“Demi Kitab (Al Quran)
yang menjelaskan. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad-Dukhan: 3).
Ayat diatas dengan jelas
menyatakan bahwa pada malam itu seluruh kitab diturunkan. Sebab zahir
ayat tersebut menjelaskan, Allah swt bersumpah pada seluruh kitab dan
kemudian Allah swt berfirman, “Kitab yang dengannya Kami bersumpah itu,
telah Kami turunkan sekaligus pada satu malam penuh barakah”.
Dengan demikian, dalil ayat
diatas adalah dua bentuk penurunan Al-Qur’an. Pertama secara sekaligus
pada satu malam tertentu, dan kedua, secara bertahap (ayat per-ayat)
selama 23 tahun masa kenabian. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat
berikut dibawah ini:
و قرآنا فرقناه لتقراه على الناس على مكث و نزلناه تنزيلا
“Dan Al Quran itu Telah
kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Isra: 106)
Begitu pula pada ayat di bawah ini:
و قال الذين كفروا لو لا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبتبه فؤادك و رتلناه ترتيلا
“Berkatalah orang-orang
yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali
turun saja?"; demikianlah[1066] supaya kami perkuat hatimu dengannya dan
kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan: 32).
Karena itu, tidak ada lagi alasan untuk menerima pandangan sebagian1 yang menyatakan bahwa makna ayatانزلناه adalah, “Kami menurunkannya secara sekaligus (انزال). Dan maksud kata انزال di
sini hanyalah beberapa ayat Al-Qur’an saja yang diturunkan secara
sekaligus pada malam itu, dan bukan secara keseluruhan ayat Al-Qur’an”.
Dalam kalam Allah swt, disana
tidak terlihat satu ayat pun yang menjelaskan tentang apa malam Lailatul
Qadar tersebut. Kecuali ayat yang berbunyi,
شهر رمضان الذى انزل فيه القرآن
(bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran)2
yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus pada bulan
Ramadhan. Dengan menggabungkan ayat sebelumnya dengan ayat ini, menjadi
jelas bahwa, malam Lailatul Qadar adalah salah satu malam dari
malam-malam bulan Ramadhan. Hanya saja, dalam Al-Qur’an tak satu pun
ayat yang menunjukkan pada malam manakah yang dimaksud. Karenanya, kita
hanya bisa memanfaatkan riwayat yang Insya Allah swt akan dipaparkan
dalam pembahasan yang akan datang.
Dalam surah Al-Qadr ini, malam
yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan dinamai dengan malam Lailatul
Qadar. Dan zahir ayat menunjukkan bahwa, maksud dari Qadar adalah
penentuan dan pengukuran. Jadi malam Lailatul Qadar adalah
malampengukuran. Yakni, pada malamitu, Allah swt menetapkan berbagai
peristiwa setahun ke depan, yaitu dari malam Lailatul Qadar itu sampai
malam Lailatul Qadar tahun depan nanti. Yakni, Allah swt menentukan
kehidupan, kematian, rezeki, keselamatan, kesesatan dan hal-hal
semisalnya. Salah satu ayat surah Ad-Dukhan yang menggambarkan sifat
malam Lailatul Qadar juga menunjukkan makna ini:
فيها يفرق كل امر حكيم امرا من عندنا انا كنا مرسلين رحمة من ربك
“Pada malam itu dijelaskan
segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi
kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad-Dukhan: 4-5).
Sebab kata فرق mempunyai
makna memisahkan dan menetukan dari dua hal satu dengan lainnya,
sementara pemisahan setiap urusan yang bijaksana hanya akan bermakna
saat satu kejadian yang harus terjadi itu ditentukan dan diukur.
Dari sini dapat disimpulkan
bahwa, malam Lailatul Qadar tidak terbatas hanya pada malam turunnya
Al-Qur’an saja. Juga tidak terbatas pada tahun yang di salah satu
malamnya Al-Qur’an diturunkan. Tapi dengan berulangnya tahun, malam itu
pun akan terulang. Jadi, di setiap bulan Ramadhan dalam tahun Qamari
terdapat malam Lailatul Qadar yang di dalamnya urusan-urusan satu tahun
ke depan sampai malam Lailatul Qadar selanjutnya akan diukur dan
ditentukan.
Asumsi yang mengatakan bahwa
pada salah satu malam, dari malam-malam Lailatul Qadar 14 abad yang
lalu, Al-Qur’an telah diturunkan secara sekaligus adalah asumsi yang
bisa saja terjadi. Tapi asumsi bahwa, peristiwa-peristiwa seluruh abad
yang lalu dan yang akan datang telah ditentukan pada malam tersebut
adalah asumsi yang tidak benar. Selain itu, kata يفرق mempunyai
makna kontuinitas, karena berbentuk sekarang (present). Dalam surah
diatas yang kita bahas disebutkan bahwa, malam Lailatul Qadar lebih baik
dari seribu bulan. Dan juga disebutkan, para Malaikat turun pada malam
itu. Jelas menunjukkan keduanya menegaskan makna kontuinitas.
Jadi disini jelas, tidak ada alasan untuk menerima penafsiran yang dilakukan oleh sebagian mufassir2 yang
mengatakan, ”Sepanjang masa itu, hanya ada satu malam Lailatul Qadar
yaitu malam ketika Al-Qur’an diturunkan, dan malam Lailatul Qadar tidak
akan pernah terulang lagi”. Begitu pula penafsiran lain dari sebagian
kalangan mufassir.3 Mereka berkata: ”Ketika
Rasulullah masih hidup, malam Lailatul Qadar selalu terulang. Namun,
setelah beliau wafat, malam Lailatul Qadar itu juga hilang”. Begitu pula
ahli tafsir lain4 yang berkata: ”malam Lailatul
Qadar adalah satu malam tertentu dalam setahun, dan bukan di bulan
Ramadhan”. Pendapat dari ahli tafsir lain5 mengatakan:
”Malam Lailatul Qadar adalah satu malam, dalam setahun tapi malam
Lailatul Qadar itu tidak jelas kapan dalam setahun itu, apakah pada
tahun bi’tsah (penobatan sebagai
Nabi), malam Lailatul Qadar terjadi, atau pada bulan Ramadhan. Di
tahun-tahun lain, misalnya bisa saja malam Lailatul Qadar terjadi di
bulan Sya’ban atau Zulqaidah”. Jelas sekali tak satu pun dari
pendapat-pendapat diatas yang benar.
Sebagian mufassir lagi berkata11: ”Kata Qadr berarti
kedudukan. Dan malam turunnya Qur’an itu disebut malam Lailatul Qadar
karena disebabkan pentingnya kedudukan dan maqam malam itu atau inayah
pada orang yang beribadah, yakni mereka yang beribadah di malam itu”.
Sebagian lagi berkata, ”Kata Qadr berarti sempit, dan Malam Lailatul Qadar disebut sempit karena pada malam itu bumi menjadi sempit dengan turunnya para malaikat6”. Dan jelas bahwa kedua pendapat ini sama sekali tidak mengena di hati, sebagaimana yang Anda saksikan sendiri.
Jadi, sebagaimana yang telah
Anda perhatikan, kesimpulan ayat yang tengah dibahas adalah, malam
Lailatul Qadar , tepatnya adalah satu malam dari malam-malam di bulan
Ramadhan di setiap tahun. Dan pada setiap tahun di malam itu, semua
hukum Allah swt akan ditetapkan. Di sini kami sebut hukum, karena adanya
aspek pengukuran. Anda pasti akan berkata bahwa jika demikian, tidak
ada satu pun urusan yang sudah ditetapkan sedemikian rupa pada malam
Lailatul Qadar dan tidak akan berubah walau dengan faktor apa pun
Sebagai jawaban, kami katakan bahwa tidak demikian, di sana tidak ada
pertentangan sama sekali jika satu urusan telah ditetapkan pada malam
Lailatul Qadar, tapi mungkin saja terjadi perbedaan dengan yang sudah
ditetapkan. Sebab kualitas perwujudan yang sudah ditetapkan adalah satu
hal, dan perubahan takdir juga satu hal lain. Sebagaimana tidak ada
pertentangan sama sekali antara peristiwa-peristiwa yang telah
ditentukan di Lauh Mahfuz, tapi karena keinginan-Nya, Allah swt mengubah
peristiwa-peristiwa tersebut.
Sebagaimana dalam Al-Qur’an disebutkan:
يمحوا الله ما يشاء و يثبت و عنده ام الكتاب
“Allah
menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)” (QS. Ar-Ra’d: 39).
Selain itu, menurut
perwujudannya, kekokohan berbagai urusan memiliki gradasi tertentu.
Sebagian urusan memiliki potensi dan kondisi-kondisi sempurna untuk
terwujud. Tapi sebagian urusan lain memiliki potensi dan kondisi yang
tidak sempurna. Dan bisa saja pada malam Lailatul Qadar itu, sebagian
gradasi hukum telah ditentukan, dan sebagin lagi dilakukan di waktu yang
lain. Tapi hasil yang diperoleh dari riwayat-riwayat—yang akan segera
dibawakan pada pembaca nanti—tidak bertentangan.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
Ayat diatas mengungkapkan
kebesaran kadar malam itu, dan keagungan posisinya. Sebab, walaupun bisa
saja pada ayat kedua ini dipakai kata ganti, tapi kata ليلة القدر kembali diulang. Lebih jelasnya, meskipun bisa saja Allah Swt menfirkankan,
و ما ادريك ما هى، هى خير من الف شهر,
namun untuk kedua dan bahkan ketiga kalinya kata ليلة القدر kembali digunakan dan diulang.
َليْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْر
Secara ringkas, kalimat ini telah menjelaskan apa yang telah diisyaratkan dalam ayat
و ما ادريك ما ليلة القدر,
yaitu
kebesaran malam Lailatul Qadar. Allah swt dalam Al-Qur’an bersabda:
“Kami menyebutnya demikian, karena malam itu memiliki kedudukan mulia
yang lebih baik dari seribu bulan”.
Maksud malam Lailatul Qadar
lebih lebih baik dari seribu bulan sebagaimana penafsiran para ahli
tafsir adalah dari sisi keutamaan ibadah. Hal ini juga sesuai dengan
tujuan Al-Qur’an. Sebab seluruh inayah Al-Qur’an adalah untuk
mendekatkan manusia kepada Allah swt dan menghidupkan manusia lewat
ibadah. Dan menghabiskan malam dengan ibadah itu lebih baik dari ibadah
seribu malam. Mungkin saja makna ini juga disimpukan dari salah satu
ayat surah Ad-Dukhan, sebab dalam ayat itu menyebut, malam Lailatul
Qadar sebagai malam yang penuh berkah.
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
Kata تنزل berasal dari kata تتنزل secara zahir, yang dimaksud dengan ruh dalam ayat ini adalah ruh yang berasal dari alam amr yang tentangnya Allah swt berfirman:
قل الروح من امر ربى
(Katakanlah! Ruh adalah urusan Tuhanku)15.
Izin dalam segala sesuatu itu
berarti memberi kesempatan di dalamnya, atau dengan kata lain menyatakan
akan tidak ada halangan untuk melakukannya.
Menurut sebagian mufassir9, kata من (dari) dalam kalimat من كل امر bermakna باء (dengan).
Sebagian lagi10 berkata: من memiliki maknanya sendiri, yaitu awal tujuan, meski menunjukkan makna sebab.
Demikian mereka mengartikan
ayat tersebut, “dengan izin Tuhannya, pada malam itu malaikat dan ruh
turun disebabkan segala urusan Ilahi.”.
Sebagian lagi11 mengatakan, باء berarti
menjelaskan sebab menuju tujuan (ta’lil be goyat) dan maknanya berarti,
dengan izin Tuhannya, malaikat dan ruh turun dalam rangka mengurus
segala urusan.
Tapi, jika yang dimaksud dengan urusan (امر) adalah urusan Ilahi yang ditafsirkan oleh ayat
انما امره اذا اراد شيئا ان يقول له كن فيكون
(Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.)19,
maka huruf من dalam
ayat tersebut menunjukkan akan makna permulaan, dan pada saat yang sama
mempunyai makna sebab, dengan demikian ayat tersebut akan bermakna
demikian; “Dengan izin Tuhannya, pada malam itu malaikat dan ruh memulai
perjalanan turun dan menyampaikan urusan-urusan Ilahi”.
Dan apabila yang dimaksud dengan urusan tersebut di atas adalah urusan yang berhubungan dengan penciptaan sesuatu (Takwini) dan peristiwa yang harus terjadi, maka huruf من dalam
ayat tersebut akan menjelaskan sebab. Dengan demikian ayat tersebut
bermakna demikian: “Dengan izin Tuhannya, pada malam itu malaikat dan
ruh akan turun untuk mengatur satu urusan dar urusan-urusan dunia”.
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Dalam Mufradat disebutkan, kata kedamaian (سلام) dan keamanan (سلامة) berarti terbebas dari kerusakan secara lahir dan batin.12
Maka kalimat سلام هى itu
mengisyaratkan adanya inayah Ilahi, bahwa pintu azab-Nya tertutup, yang
berarti Allah swt tidak mengirimkan azab baru. Dan kelaziman makna ini
adalah tipuan para setan juga tidak berpengaruh di malam itu,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sebagian riwayat.
Tapi sebagian mufassir21 berkata: Maksud dari kata سلام adalah
bahwa, pada malam itu malaikat akan memberi salam pada setiap mukmin
yang sibuk beribadah. Makna ini kembali pada makna awal dan kedua ayat
ini, yaitu:
تنزل الملئكة و الروح
sampai akhir surah, pada hakikatnya menafsirkan ayat sebelumnya yaitu:
ليلة القدر خير من الف شهر
Kajian Riwayat.
Dalam Tafsir Burhan dari
Syaikh Thusi, telah diriwayatkan bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata
kepada Rasulullah, “Apakah malam Lailatul Qadar adalah malam yang
dijanjikan kepada para Nabi dan diturunkan urusan-urusan pada mereka.
Tapi karena mereka sudah meninggal dunia, maka urusan-urusan tersebut
diliburkan pada malam tersebut?” Rasulullah bersabda; “Tidak, malam
Lailatul Qadar ada sampai hari Kiamat.”14
Penulis buku tersebut berkata, banyak riwayat Ahli Sunnah yang masuk terkait dengan makna ini.15
Dalam tafsir Majma Al-Bayan,
telah dinukil dari Himad bin Utsman dari Hisan bin Abi ‘Ali yang
berkata: “Aku bertanya pada Imam Shadiq as tentang malam Lailatul
Qadar”. Beliau bersabda: “Carilah dalam malam-malam ke-19, ke-21 dan
ke-23”.16
Selanjutnya, penulis buku
tersebut mengatakan, “Terdapat riwayat lain yang sesuai dengan maksud
riwayat ini. Dan dalam sebagian riwayat, terdapat keraguan antara dua
malam yaitu malam ke-21 dan malam ke-23”. Sebagai contoh, riwayat yang
datang dari Ayyasyi dari Abdul Wahid dari Imam Baqir as.17 Dan
riwayat-riwayat lainnya dapat disimpulkan bahwa, malam Lailatul Qadar
adalah malam ke-23. Sementara dalam riwayat yang di dalamnya tidak
ditentukan mana malam Lailatul Qadar, yang tak lain adalah untuk menjaga
kemuliaannya agar hamba-hamba Allah swt tidak menghinakannya dengan
melakukan dosa.18
Dan dalam Tafsir Ayyasyi, dari
riwayat Abdullah bin Bakir, dari Zurarah menemui salah satu Imam
(antara Imam Baqir as atau Imam Shadiq as) kemudian ia berkata, “Malam
ke-23 adalah malam Juhni (seorang sahabat Nabi), Dan dalam hadis Juhni dikatakan
bahwa -seorang bernama Juhni- berkata “Aku bertanya kepada Rasulullah,
rumah saya jauh dari Madinah, tolong beri saya petunjuk agar saya datang
ke Madinah pada malam-malam tertentu” Rasul berkata: “Datanglah pada
malam ke-23”.19
Penulis buku tersebut
melanjutkan, hadis dari Juhni yang nama aslinya adalah ‘Abdullah bin
Anis Anshari juga diriwayatkan oleh Ahlu Sunnah dan Suyuthi yang
menukilnya dalam buku Ad-Dur Al-Mantsur dari Malik dan Baihaqi. 20
Dalam kitab Al-Kafi, -dengan
sanadnya yang diriwayatkan oleh Zurarah- menyebutkan, Imam Shadiq as
bersabda, “Penentuan kadar (sesuatu) pada malam ke-19, pengesahan pada
malam ke-21 dan penetapan pada malam ke-23”.21
Penulis buku tersebut melanjutkan, terdapat riwayat-riwayat lain yang dari sisi makna mempunyai kesamaan dengan riwayat ini. 22
Maka jelaslah, kesimpulan dari
berbagai riwayat dari pra Imam Ahlul Bait as bahwa, malam Lailatul
Qadar tetap ada sampai hari kiamat nanti dan asenantiasa terulang setiap
tahun, malam Lailatul Qadar adalah satu malam dari malam-malam bulan
Ramadhan, dan salah satu malam dari malam ke-19, ke-21 dan ke-23.
Sementara dalam berbagai
riwayat Ahlu Sunnah terdapat perbedaan luar biasa yang tidak bisa
digabungkan sama sekali. Hanya saja yang terkenal di kalangan Ahlu
Sunnah adalah bahwa malam Lailatul Qadar adalah malam ke-27, dan di
malam itulah Al-Qur’an diturunkan. 23
Dalam Ad-Dur Al-Mantsur,
Khatib meriwayatkan dari Ibnu Musayyib yang berkata: Rasulullah saw
bersabda: “Dalam mimpi diperlihatkan kepadaku Bani Umayyah naik ke
mimbarku. Hal ini sangat memberatkanku”. Dan bertepatan dengan peristiwa
ini, Allah swt menurunkan surah
انا انزلناه فى ليلة القدر ”. 24
Penulis buku tersebut berkata,
riwayat-riwayat seperti ini juga ditulis oleh Khatib dalam buku
sejarahnya, Turmuzi, Ibnu Jarir, Thabrani, Ibnu Mardawiyah dan Baihaqi.
Mereka semua menukil riwayat yang semakna dengan riwayat di atas lewat
Hasan bin ‘Ali.25 Sementara, banyak sekali
riwayat Syiah yang semakna dengan riwayat diatas dari para Imam Ahlul
Bait as, bahwa Allah swt telah menghadiahkan malam Lailatul Qadar, malam
yang lebih baik dari seribu bulan kekuasaan Bani Umayyah sebagai
penghibur hati Rasulullah saw.27
Dan dalam Kafi dengan
sanad dari Ibnu Abi ‘Umair, dari sekelompok rawi dari Imam Shadiq as
telah diriwayatkan bahwa, sebagian sahabat Imamiyah, seperti Said bin
Saman pada suatu hari bertanya kepada Imam Shadiq as, “Bagaimana mungkin
malam Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan?” (padahal dalam
seribu bulan itu ada satu malam Lailatul Qadar dalam setiap 12
bulannya). Imam bersabda, “Beribadahlah pada malam Lailatul Qadar,
karena lebih baik dari ibadah seribu bulan yang di dalamnya tidak ada
malam Lailatul Qadar”.28
Dan dalam kitab Kafi tersebut,
yang sanadnya dari Fudhail, Zurarah dan Muhammad bin Muslim yang
diriwayatkan dari Hamran bahwa, seseorang bertanya berkenaan dengan
makna ayat
انا انزلناه فى ليلة مباركة
pada
Imam Baqir as. Lalu beliau bersabda: “Ya, Malam Lailatul Qadar yang
setiap tahun di bulan ramadhan pada sepuluh terakhir itu selalu baru”.
Tidak lain adalah malam yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan. Dan
tentang malam itu Allah swt berfirman:
فيها يفرق كل امر حكيم
Kemudian
Imam Baqir as melanjutkan dan bersabda, “Pada malam itu, setiap
peristiwa harus terjadi, apakah peristiwa baik atau buruk, ketaatan atau
kemaksiatan, anak yang akan dilahirkan, atau ajal yang akan datang,
atau rezeki yang luas atau sempit akan ditetapkan. Maka apa yang sudah
ditetapkan di malam itu, dan qadha-nya telah disampaikan, adalah qadha (ketetapan) yang pasti. Tapi pada saat yang sama, kehendak Allah Swt akan tetap terjaga di dalamnya.
Himran berkata, “Apakah yang
dimaksud Allah Swt ketika bersabda bahwa malam Lailatul Qadar lebih baik
dari seribu bulan”? Imam bersabda, “Amal shaleh seperti shalat, zakat
dan berbagai kebaikan pada malam itu, lebih baik dari amal-amal dalam
seribu bulan yang di dalamnya tidak ada Malam Lailatul Qadar. Dan jika
Allah swt tidak melipatgandakan pahala amal baik kaum mukminin, maka
kaum mukminin tidak akan mencapai kedudukan apapun. Tapi Allah swt telah
melipatgandakan pahala kebaikan-kebaikan mereka”.27
Penulis buku tersebut berkata,
maksud Imam baqir as, ketika bersabda: “Tapi keinginan Allah swt
terjaga di dalamnya adalah menunjukkan kekuatan Allah swt selalu mutlak.
Allah swt akan melaksanakan apa saja yang dikehendaki di setiap masa,
meski sebelumnya itu bertentangan dengan dengan hal yang telah
dipastikan sebelumnya. Ringkasnya, sesuatu hal yang sudah dipastikan dan
sudah ditentukan-Nya adalah satu ketentuan, dan tidak berarti membatasi
kekuatan mutlak Allah swt. Karena Allah swt juga dapat mengubahqadha-Nya yang sudah pasti tersebut, meski Allah swt tidak akan pernah berbuat demikian.
Dalam kitab Majma’ telah
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda, “Pada malam
Lailatul Qadar, malaikat-malaikat yang berada di Sidhratul Muntaha, dan
salah satu di antara mereka adalah Malaikat Jibril akan turun. Dan
Jibril akan turun bersama yang lainnya sambil membawa bendera-bendera.
Satu bendera akan dipasang di atas makamku, satu lagi di atas Baitul
Muqaddas, satu lagi di atas Masjidil Haram dan satunya lagi di Bukit
Sina. Dan tak satu pun pria mukmin dan wanita mukminah di tempat-tempat
ini yang tidak mendapat salam Jibril, kecuali mereka yang selalu minum
arak atau terbiasa memakan atau mengoles tubuhnya dengan za’faran”.30
Dan dalam Tafsir Al-Burhan,
telah diriwayatkan dari Sa’d bin ‘Abdullah yang dengan sanadnya
diriwayatkan dari Abi Bashir: “Aku bersama dengan Imam Shadiq as ketika
beliau mengucapankan sesuatu yang berkaitan dengan karakter Imam saat
dilahirkan. Imam bersabda, Saat malam Lailatul Qadar, Imam di temui oleh
ruh yang menjawab. Aku berkata: “Saya menjadi tebusan Anda, apakah ruh
itu bukan Jibril? Imam bersabda: “Ruh lebih besar dari Jibril dan Jibril
sejenis malaikat, sedangkan ruh tidak sejenis dengannya. Apakah kamu
tidak melihat Allah Swt berfirman:
تنزل الملئكة و الروح
Jadi jelaslah bahwa ruh bukanlah Malaikat”.31
Penulis buku tersebut berkata,
riwayat-riwayat tentang makna, karakter dan keutamaan malam Lailatul
Qadar sangatlah banyak (secara ringkas telah kami bawakan di sini) dan
dalam sebagian riwayat, telah disebutkan cirri dan tanda-tanda malam
Lailatul Qadar, misalnya, subuh hari sebelum malam Lailatul Qadar,
matahari terbit tanpa pancaran sinar, suhu udara pagi itu seimbang.
Hanya saja, karena tanda-tanda ini tidak kekal dan tidak selalunya
demikian, maka itu kami tidak menyebutkan riwayat-riwayat tersebut di
sini.
Penulis: Allamah Muhammad Husain Thabathabai.
_____________________________________________
- Majma’ Al-Bayan, jil. 10, hal. 518.
- Surah Al-Baqarah: 185.
- Tafsir Qurthubi, jil. 20, hal. 135.
- Majma’ Al-Bayan, jil. 10, hal. 518.
- Tafsir Qurthubi, jil. 20, hal. 135.
- Ruh Al-Ma’ani, jld. 30, hal. 190.
- Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hal. 518.
- Ibid.
- Ruh Al-Ma’ani, jld. 30, hal. 196.
- Ibid.
- Ibid.
- Mufradat Raghib, kata سلم.
- Rul Al-Ma’ani, jld. 30, hal. 197.
- Tafsir Al-Burhan, jld. 4, hal. 488.
- Ad-Dur Al-Mantsur, jld. 6, hal. 371.
- Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hal. 519.
- Ibid.
- Ibid.
- Ibid.
- Majma’ Al-Bayan, jld. 6, hal. 373.
- Furu’ Kafi, jil. 4, hal. 627.
- Nur Ats-Tsaqalain, jld. 5, hal. 627.
- Rujuk buku Ad-Dur Al-Mantsur serta kitab-kitab hadis lainnya.
- Ad-Dur Al-Mantsur, jld. 6, hal. 371.
- Ibid.
- Nur Ats-Tsaqalain, jld. 5, hal. 621-623.
- Furu’ Kafi, jld. 4, hal. 157.
- Ibid.
- Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hal. 520.
- Tafsir Burhan, jld. 4, hal. 481
Al-Mizan fi At-Tafsîr Al-Qur’ân, jld. 20, hal.