Siapa sajakah yang mengaku sebagai nabi di zaman Rasulullah Saw?
Mengapa umat Islam membunuh mereka?
Di zaman Rasulullah Saw, terdapat beberapa orang yang mengaku sebagai nabi. Beberapa di antaranya akan disebutkan di sini:
Musailamah bin Tsamamah
Pada suatu hari Musailamah bin Tsamamah yang juga dikenal dengan Abu
Tsamamah[1] bersama sekelompok orang lainnya pergi menemui nabi, lalu ia
berkata kepada sang nabi:[2] “Jika engkau bersedia menyerahkan segala
perkara dan urusanmu setelahmu kepadaku (jika engkau jadikan aku sebagai
penggantimu) maka aku akan mengikutimu. Nabi menghadap kepadanya sedang
di tangannya ada setangkai daun kurma lalu berkata: “Jika engkau
meminta apa yang di tanganku dengan cara seperti ini aku tidak akan
memberikannya. Janganlah bermusuhan dalam perkaramu dengan apa yang
telah ditentukan Tuhan untukmu. Jika engkau berpaling Tuhan akan memutus
apa yang di belakangmu. Dan Aku sungguh melihatmu saat ini seperti yang
kulihat dalam mimpiku.”[3] Setelah kejadian itu saat ia kembali ke
kaumnya ia mengaku sebagai nabi dan mengaku bahwa ia bekerja sama dengan
nabi dalam kenabian.[4] Yakni ia tidak mengingkari nabi Muhammad Saw,
namun ia mengaku nabi sama seperti halnya Rasulullah Saw.
Tak lama kemudian setelah ia berhasil mengumpulkan pengikutnya, ia
menulis surat untuk Rasulullah Saw: “Dari Musailamah sang nabi untuk
Muhammad sang nabi, salam bagimu. Amma ba’du. Sesungguhnya aku dan
engkau sama-sama berandil dalam perkara kenabian ini. Separuh dari dunia
adalah milikku dan separuh lainnya milik Quraisy. Namun Quraisy telah
melampaui batas.” Rasulullah Saw dalam menjawab suratnya menulis: “Dari
Muhammad Rasulullah Saw kepada Musailamah sang pembohong. Salam untuk
orang yang mengikuti jalan yang benar. Amma ba’du. “Dunia ini milik
Allah swt yang Ia berikan kepada siapapun dari hamba-Nya yang Ia
kehendaki. Dan akhir yang baik adalah untuk orang-orang yang bertakwa.”
(Qs. Al-A’raf [7]: 128)”[5]
Diriwayatkan pula Rasulullah Saw mengutus seseorang bernama Habib bin
Zahra kepada Musailamah. Musailamah berkata kepadanya: “Apakah kau
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Habib berkata: “Ya”. Lalu
ia bertanya lagi: “Apakah kau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”
Habib menjawab: “Aku tuli dan bisu.” Perkataan-perkataan itu diulang
beberapa kali. Akhirnya Musailamah membunuhnya dan memotong-motong
tubuhnya.[6]
Disebutkan juga bahwa Musailamah sang pembohong menawan dua orang dari
sahabat nabi dan berkata kepada salah satunya: “Apakah engkau bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Ia menjawab: “Ya.” Kemudian ia
bertanya lagi: “Apakah engkau juga bersaksi atas risalahku?” Ia
menjawab: “Ya.” Lalu setelah itu ia membebaskannya. Tak lama kemudian ia
menanyai sahabat nabi yang kedua: “Apakah kau bersaksi atas risalah
yang diemban nabi Muhammad Saw?” Ia menjawab: “Ya.” Kemudian ia bertanya
lagi: “Apakah kau juga bersaksi atas risalahku?” Ia menjawab: “Aku tuli
dan bisu.” Akhirnya ia pun syahid. Peristiwa itu sampai terdengar
Rasulullah Saw. Beliau berkata: “Adapun yang syahid itu, ia syahid dalam
imannya dan mencapai derajatnya yang tertinggi. Selamat untuknya yang
telah mencapai kedudukan tinggi itu serta pahala yang besar. Adapun yang
dibebaskan, ia mendapatkan maaf dari Tuhannya karena bertaqiyah dan ia
tak berdosa.”[7]
Sepeninggal Rasulullah Saw Musailamah menyatakan bahwa saat Rasulullah
tidak ada maka satu-satunya nabi adalah dirinya dan semua orang harus
mentaatinya dan mendukungnya.[8]
Akhirnya saat khalifah pertama melihat bahwa bahaya Musailamah semakin
menjadi-jadi ia mengumpulkan pasukan untuk memeranginya, lalu dengan
kepemimpinan Khalid bin Walid mereka memerangi pasukan Musailamah;
kemudian kaum Muslimin meraih kemenangan dan Musailamah pun terbunuh di
perang itu.[9]
Ada banyak cerita tentang mukjizat-mukjizat yang diakui Musailamah bisa
ia lakukan. Seseorang mengadu kepada Rasulullah Saw akan asinnya air
sumur miliknya. Nabi mendatanginya dan meludahi sumur tersebut, kemudian
sumur itu menjadi segar dan dingin airnya. Cerita itu sampai ke
telinga penduduk Yamamah, mereka pun meminta Musailamah untuk melakukan
hal yang sama. Ia pun meludah di sumur yang sedikit airnya lalu airnya
berubah menjadi air asin dan panas.[10] Selain itu ia juga berusaha
untuk membawakan ayat-ayat seperti Quran, yang mungkin dari segi wazn
dan qafiyah mirip dengan Qur’an namun kandungannya sama sekali tidak
bisa dibandingkan. Misalnya ia membawakan ayat: “Gajah, apakah engkau
tahu apa itu gajah? Ia memiliki ekor yang pendek dan belalai yang
panjang.”[11]
«الفیل و ما الفیل و ما ادراک ما الفیل له ذنب وثیل و خرطوم طویل»
Aswad ‘Unsi
Ia adalah orang Yaman dan pernah mengaku sebagai nabi. Tentang hal ini silahkan baca Jawaban Nomor 33518.
Thalihah bin Khuwailid Asadi
Dia adalah orang Iran yang pernah mengaku sebagai nabi sepeninggal
Rasulullah Saw. Ia mempunyai segelintir pengikut. Pasukan Islam yang
dipimpin oleh Khalid bin Walid memerangi mereka dan mereka terbunuh di
peperangan tersebut.[12]
Sebab Memerangi MerekaAdapun tentang sebab mereka dibunuh oleh umat Islam, perlu dijelaskan
bahwa orang-orang yang mengaku sebagai nabi itu telah melakukan banyak
kesalahan besar, yang mana tiap kesalahan itu bisa menjadi sebab
terbunuhnya mereka. Mereka berkata bohong kepada nabi, secara bohong
mengaku sebagai nabi, menyesatkan orang lain, membunuh sebagian Muslimin
dan lain sebagainya. Namun sebab utama mereka dibunuh adalah karena
telah murtad dan berusaha memurtadkan orang lain. Kebanyakan orang-orang
yang megaku sebagai nabi itu mulanya memeluk Islam, namun lambat laun
mereka meninggalkan rukun-rukun penting agama kemudian murtad. Oleh
karena itulah mereka diperangi dan dibinasakan.
Rujuk:
[1]. Khairuddin Zirikli, Al-Â’lam (Qamus Tarajim Li Ashhuri al-Rijal
wa al-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta’rabin wa al-Mustashriqin), jil. 7,
hal. 226, Dar al-‘Ilm lil Malayin, Beirut, Cetakan Kedelapan, 1989 M.
[2]. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa ia tidak mendatangi nabi
namun perkataannya disampaikan kepada nabi dan nabi pun menjawabnya.
al-Â’lam, jil. 7, hal. 226.
[3]. Muhammad bin Isma’il Bukhari,, Shahih al-Bukhâri, Riset oleh
al-Nashir, Muhammad Zuhair bin Nashir, jil. 4, hal. 203, Dar Thauq
al-Najah, Cetakan Pertama, 1422 H.
[4]. Taqiyuddin Maqrizi, Amtâ’ al-Asmâ’ bima li al-Nabi min al-Ahwâl wa
al-Amwâl wa al-Hifdah wa al-Matâ’, jil. 14, hal. 229, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1420 H.
[5]. Muhammad bin Jarir Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, Riset oleh
Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, jil. 3, hal. 146, Darul Turats, Beirut,
cetakan kedua, 1387 H; Ibnu Katsir Dimashqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah,
jil. 6, hal. 341, Darul Fikr, Beirut.
[6]. Yusuf bin Abdullah Abdilbarr, al-Isti’âb fi Ma’rifah al-Ashhâb,
Riset oleh Ali Muhammad Bajawi, jil. 1, hal. 320; Dar al-Jil, Beirut,
Cetakan Pertama, 1412 H.; Izzuddin Abul Hasan Ibnu Atsir Jazri, Usd
Al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahâbah, jil. 1, hal. 443, Darul Fikr, Beirut,
1409 H.Q.
[7]. Fadhl bin Hasan Thabrasi, Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, Kata
Pengantar oleh Muhammad Jawad Balaghi, jil. 2, hal. 730, Intisyarat
Nasir Khusruw, Teheran, Cetakan Ketiga, 1372 H; Muhammad bin Zainuddin
Ibnu Abi Jumhur, ‘Awâli al-La’ali al-‘Aziziyah fi al-Ahâdits al-Diniyah,
Riset dan edit oleh Mujtaba Araki, jil. 2, hal. 104-105, Dar Sayid
al-Syuhada’ lil Nashr, Qum, Cetakan Pertama, 1405 H; Muhammad bin Umar
Fakhruddin Razi, Mafâtih al-Ghaib, jil. 8, hal. 193, Dar Ihya’ al-Turats
al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Ketiga, 1420 H.
[8]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 6, hal. 341.
[9]. Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun, Târikh Ibnu Khaldun (Diwân
al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Târikh al-‘Arab wa al-Barbar wa Man
‘Asharahum min Dzawi al-Sya’n al-Akbar), Riset oleh Khalil Syahadah,
jil. 2, hal. 502, Dar al-Fikr, Beirut, Cetakan Kedua, 1408 H.
[10]. Ibnu Syahr Asyub Mazandarani, Manâqib Âli Abi Thalib, jil. 1, hal.
117-118, Intesyarat Allamah, Qum, Cetakan Pertama, 1379 H; Ali bin
‘Isa Arbali, Kasyf Al-Ghummah fi Ma’rifah Al-Aimmah, Riset dan edit oleh
Hasyim Rasuli Mahalati, jil. 1, hal. 27, Nasyr Bani Hasyimi, Tabriz,
Cetakan Pertama, 1381 H.
[11]. Shadruddin Syirazi, Syarh Ushul al-Kâfi, Riset dan edit oleh
Muhammad Khajawi, jil. 2, hal. 398, Muasasah Mothala’at wa Tahqiqat
Farhanggi, Teheran, Cetakan Pertama, 1383 H.
[12]. Al-Isti’âb, jil. 2, hal. 773.
Inilah Nabi-Nabi Palsu ‘Made in’ Indonesia.
ALQUR'AN telah menerangkan
dengan jelas bahwa tak ada nabi lain setelah nabi Muhammad SAW. Kendati
demikian, umat beragama tidak bisa menghindari fenomena nabi palsu yang
terus bermunculan sejak Rasulullah wafat.
Mulai dari semenanjung Arab hingga ke ujung Asia, tidak berhenti
orang-orang yang mengaku mendapat hidayah atau mukjizat lalu menyebut
dirinya sebagai nabi.
Di Indonesia, di abad millenium ini, tercatat ada sejumlah orang yang
mengklaim dirinya sebagai nabi penerus nabi Muhammad SAW. Untuk
meyakinkan masyarakat tak jarang nabi palsu ini menggunakan cara aneh
hingga maksiat.
Mulai dari menyuruh umatnya beribadah tak lazim, menyetor uang sampai
melakukan ritual yang berujung pemerkosaan. Awal tahun ini, kasus serupa
yang mengaku dirinya sebagai nabi sempat menghebohkan warga Lereng
Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Dan yang paling terbaru, yang sedang hangat di media saat ini siapa lagi
kalau bukan, Eyang Subur. Berikut adalah sejumlah nabi palsu 'made in'
Indonesia:
1. Lia Aminuddin alias Lia Eden
Berpakaian putih dan bermahkotakan
rangkaian bunga, Lia Aminuddin mendeklarasikan dirinya sebagai nabi dan
Rosul sekaligus Imam Mahdi. Peristiwa goib yang menimpanya membuat
perangkai bunga ini mampu menarik ratusan pengikut untuk masuk menjadi
penganut Eden.
Tak tanggung-tanggung, janda berumur 67 tahun ini juga mengklaim bisa
meramalkan kiamat, alhasil mulai dari cendikiawan, seniman dan artis
terpikat oleh sabda Lia Eden.
Namun kedigdayaan nabi palsu ini runtuh saat Mahkamah Agung memutus Lia
dengan 3 tahun penjara pada 2007 lalu. Sedikit demi sedikit pengikut
sang nabi berkurang sampai saat ini hanya mencapai belasan orang.
Bahkan kegiatan istana tuhan yang merupakan kediaman Lia Eden di Senen
pun sepi. Seorang pengikutnya mengatakan nabi palsu tengah beristirahat
dan belum diperintahkan tuhan lagi untuk berdakwah.
2. Dedi Mulyana alias Eyang Ended.
Nabi palsu Dedi Mulyana yang berasal dari Banten adalah nabi berperilaku
bejat. Mengaku memperoleh wangsit dari musyawarahnya dengan jin di
laut, nabi yang juga berprofesi sebagai dukun ini menyatakan
kenabiannya.
Selama dua tahun dukung cabul merekrut pengikutnya dengan prasyarat
menyetor uang senilai 5 juta rupiah. Parahnya lagi, nabi ini mampu
menipu 30 perempuan untuk melakukan ritual keagamaan dengan jalan
berhubungan intim. Perkosaan inilah yang membawa Eyang Ended 'pensiun'
jadi nabi palsu. Polisi langsung membekuk Eyang Ended di tempat
persembunyiannya di Lampung pada Juni 2005 silam.
3. Ahmad Musaddeq.
Di tahun 2006, sosok Ahmad Musaddeq
tenar di penjuru negeri dengan predikat nabi palsu. Betapa tidak, saat
itu Mussadeq menafsirkan kitab suci dengan cara sendiri dan tidak
mewajibkan umatnya solat, puasa dan ibadah wajibnya.
Seperti nabi-nabi palsu lainnya, Musadeq mendapatkan wangsit setelah
selama 40 hari 40 malam bertapa di gunung Bunder, Bogor. Dinilai semakin
meresahkan, Musadeq pun diamankan polisi hingga akhirnya bertobat.
Didampingi tokoh ulama, Musadeq menulis salat taubatnya di tiga lembar
kertas HVS yang menyatakan dirinya kembali ke ajaran Islam pada tahun
2007.
4. Ashriyanti Samuda, dari Maluku Utara.
Di usianya yang masih muda, Ashriyanti Samuda (30) sudah percaya diri
mengatakan bahwa dirinya adalah nabi. Untuk merekrut pengikut, warga
Kepulauan Sula, Maluku ini menerbitkan buku yang dicetaknya sendiri
kemudian disebarkan kepada masyarakat setempat.
Lucunya, selain menjadi nabi Ashriyanti pun berniat menyampaikan
sabdanya pada Presiden 2014 nanti, lewat bukunya yang berjudul Pemimpin
yang Diutus Cahaya dari Indonesia Timur for Presiden RI 2014.
Buku ilegal ini sampai ke MUI Maluku Utara, dengan cepat MUI setempat langsung mengadakan dialog dan pendekatan ke nabi palsu.
Sang nabi pun akhirnya digiring untuk di sidang pada 15 Juni 2012 lalu.
5. Sutarmin, Jawa Timur.
Memasuki tahun 2013, sosok nabi palsu muncul di lereng Gunung Lawu. Si
nabi yang diketahui bernama Sutarmin adalah seorang guru agama yang
meneruskan ajaran pendahulunya Rochmad.
Menurut penuturan MUI Karanganyar, Rochmad sendiri dan pengikutnya
memang menyimpang dari ajaran Islam, yakni mengganti nama Nabi Muhammad
dalam syahadat dengan nama Rochmad. Perbedaan lainnya adalah, pada salat
wajib dan salat dhuha. Ajaran Rochmad disebarkan secara? tertutup,
hanya khusus kepada anggota pengajiannya saja.
6. Eyang Subur
Eyang Subur, nama tokoh spiritual yang
kini santer terdengar akibat kasus dugaan penipuan yang dilaporkan oleh
Adi Bing Slamet. Adi menceritakan semua kesesatan yang telah disebarkan
oleh Eyang Subur. Menurut Adi, Eyang Subur yang diketahui mempunyai 8
istri itu pernah mengaku umurnya lebih tua dari Nabi Adam.
Menurutnya, Eyang Subur mengaku umurnya sudah sangat tua terhitung sejak sebelum masehi.
“Subur ini mengaku lebih tua dari Nabi Adam,” kata Adi. Tidak hanya Adi,
Joko Triono, yang mengaku pernah menjadi pengikut Subur selama sepuluh
tahun juga mengungkapkan hal yang sama.
Subur pernah menyebut dirinya lebih sakti dari Nabi. Menurut Joko, Eyang
Subur juga mengaku telah mendapatkan kuasa dari Tuhan. Itulah sebabnya
dia berani mengaku lebih sakti dari Nabi.
“Allah itu yang Maha Kuasa, Subur itu yang diberi kuasa,” kata Joko, menirukan ucapan Subur yang pernah dikatakan padanya.
Selain Subur pernah mengatakan dirinya lebih tua dari Nabi Adam, kepada
murid-muridnya Subur juga selalu mengaku sebagai Rasul. “Bagian
terpenting, dia selalu mengaku sebagai Rasul, dia mengaku menerima
wahyu,” ucap pengacara Adi.
MUI sebelumnya telah melakukan investigasi terhadap Subur berdasar
laporan Adi Bing Slamet. Dalam kesimpulannya, MUI menyebut Subur telah
melakukan penyimpangan akidah dan syariat Islam serta melakukan praktik
perdukunan.
*****
Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah
oleh Akhmad Sahal*
Artikel ini sebelumnya dimuat di Koran Tempo, 16 Februari 2011
Lepas
dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun,
pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah
sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang
melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri melainkan penamaan
belakangan dari para sejarawan Muslim. Disebut demikian barangkali
karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait
dengan muculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa
itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan
kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap
rukun Islam, melainkan juga sebentuk aksi makar.
Pada
tahun kesepuluh Hijriyah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari
seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi
Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh
kawasan Yamamah (sekarang sekitar al-Riyad). Dalam suratnya Musailamah
berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah.
Saya adalah partner anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi
wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu…”
Seperti
dituturkan ahli tafsir dan sejarawan Muslim terkemuka pada abad ketiga
Hijriyah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh
al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal
dengan Tarikh Al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing
bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam
delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas
ke-Rasul-annya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah
asal mereka dan membangun masjid di sana.
Menerima surat dari
Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya untuk
menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru. Apalagi
memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu
kekuatan kaum Muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Makkah saja,
yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan
Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke
Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari
Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (Al Kazzab). Bumi
seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hambaNya yang
Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan
yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara
kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al Kazzab, tapi
keberadaannya tidak dimusnahkan.
Namun setelah Nabi wafat
ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal
pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab
menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimipinan
khalifah pertama, Abu Bakr Al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat
nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan
sejumlah nabi palsu lain seperti al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin
Khuwailid dari Bani As’ad menyatakan menolak membayar zakat, suatu
tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap
pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer
untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang
menurutnya telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan
kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan
kemurtadan (hurub al ridda).”
Tampaknya, “Perang melawan
kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan
terhadap Ahmadiyah tanpa disertai dengan pemahaman yang mumpuni terhadap
duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu yang
menewaskan tiga warga Ahmadi tersebut secara luas memang telah dikecam
bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai
citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak
asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang
membenarkannya seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi
membela Islam dari noda pemurtadan. Jamaah Ahmadiyah dianggap telah
murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu
mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.
Ironisnya, MUI,
Menteri Agama dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme
terhadap Ahmadiyah tapi terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru
di luar Islam sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan
kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan antara MUI dan
Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal
metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama
yang berlabel “Indonesia” di belakang ternyata merubuhkan prinsip
kebhinnekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan
hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari
konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama
sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, presiden SBY membiarkan
saja semua itu terjadi.
Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari
sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan
pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak
berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah
kreasi Abu Bakr sendiri melainkan penamaan belakangan dari para
sejarawan Muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat
itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan muculnya sejumlah nabi
palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan
upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat
bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, melainkan juga sebentuk
aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah sholat yang hanya melulu
menyangkut hubungan hamba dan Khaliqnya, urusan zakat berkaitan dengan
negara. Tambahan pula, para nabi palsu tesebut juga membangun kekuatan
militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang 40
ribu pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah,
sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan
pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti
dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang
teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok
pemberontak.
Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi
khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks
Indonesia sekarang. Taruhlah memang jamaah Ahmadiyah telah murtad karena
mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini
mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat
Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah
Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk
diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan kayakinannya? Kalau memang
begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para
pemberontak?
Dalam ilmu qawa’id al fiqh ada diktum yang berbunyi:
“hukum berporos pada iIllat (ratio legis) dalam hal keberlakuan dan
ketidakberlakuannya” (al hukmu yaduru ma’a al ‘illati wujudan wa
adaman). Hukum Islam bukanlah seperangkat aturan baku yang beku yang
lahir dari suatu ruang kosong, melainkan senantiasa bertolak dari adanya
illat atau alasan hukum tertentu yang mendasarinya. Logikanya, kalau
illatnya hilang, maka hukum tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Dan
kalau illatnya muncul lagi, hukum tadi berlaku lagi.
Ditinjau
dari perspektif kaidah fiqh di atas, gerakan pemurtadan oleh para nabi
palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi karena saat itu
kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan
khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekedar murtad saja tanpa
dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik
inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi
Muhammad dengan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.
Di
sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan
dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang
metodologi hukum Islam, keputusan dan yang muncul dan tindakan yang
diambil mungkin saja tampak sesuasi dengan ajaran syari’at, tapi bisa
jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan
syari’at) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap
hak-hak dasar manusia.
Lagipula, satu-satunya dalil Al-Qur’an
tentang kemurtadan sama sekali tidak menyerukan kaum Muslim untuk
memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat
Ali Imran ayat 90: “Sesungguhnya mereka yang menjadi kafir setelah iman
mereka, lalu bertambah-tambah dalam kekafirannya, maka Allah tidak akan
menerima taubat mereka; Dan mereka adalah orang-orang yang tersesat.”
Ayat ini tidak menyinggung tentang perlunya menggunakan cara-cara
kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan
menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.
Dalam kerangka
Qur’ani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum
Musailamah yang tanpa tedeng aling-aling mengaku nabi. Bukan karena
beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al Kazzab.”
Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena dalam Al-Qur’an, hukuman
terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT.
Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan
risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah mengapa
Al-Qur’an menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.
Kalau Nabi
saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya FPI, MUI, dan Menteri Agama
yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk
mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap
murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jama’ah Ahmadiyah.
Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau
mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladani sikap
Rasulullah.
*Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania
DAFTAR NAMA NABI PALSU YG TERCATAT DLM SEJARAH ISLAM
1. Maslamah alias Musailamah Al Kadzdzab berjuluk Abu Sumama (pemimpin Bani Hanifah),
2. Aswad al Ansi alias Zul Khimar,
3. Tulaihah al Asadi,
4. Sajjah binti al Harits (Nabi wanita, akhirY
tobat),
5. Isa al Asfahani (Masa Khalifah al Mansur-Dinasti Abbasiyah),
6. Faris bin Yahya (Khalifah al Muktas Mesir),
7. Ailat bin Kaab bin Auf
al Ansi alias Bahaullah (Keturunan Habasyah, Ethiopia - Pendiri
Baha'i),
8. Al Mukhtar bin Ubaidillah,
9. Ibnu Sam'an,
10. Amir bin
Harb,
11. Abu Mansur al Asadi,
12. Ibnu Bahram al Juba'i,
13. Hasan bin Hamdan,
14. Abul Qasin an Najar,
15. Al Muni'ul Qashar,
16. Ibnu Kharba al Kindi,
17. Abu Muslim as Siraj,
18. Harits bin Saad
(masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dr Daulat Bani Umayyah),
19. Mirza
Ghulam Ahmad,
20. Mirza Ali Muhammad,
21. Ishak al Akhras dari Isfahan
(Iran),
22. H. Ali Taetang Likabu
(Pendiri Imamullah 1956),
23. Lia Eden(Pendiri Kerajaan Surga),
24. Eyang Ended, 25. Ahmad Mushadeq (Pendiri Al Qiyadah)
Sekian.
Post a Comment
mohon gunakan email