Pergumulan Sunnah-Syiah dalam Sejarah Nusantara.
Penggunaan kata Sunnah-Syiah di atas saya kira lebih tepat secara gramatikal Arab dibanding penggunaan Sunni-Syiah yang populer di media massa saat ini. Penggunaan Sunnah dan Syiah merupakan nama kelompok, pemikiran, madzhab, atau aliran. Sementara Sunni –yang padanan tepatnya adalah Syi’i- merepresentasikan para penganut dan pendukungnya.
Sunnah-Syiah merupakan dua kelompok mainstream dalam dunia pemikiran dan gerakan Islam dari masa klasik hingga kontemporer. Sunnah merefleksikan sebuah kelompok yang mengklaim mengikuti ajaran Nabi yang diteruskan oleh para sahabatnya, tanpa terkecuali. Sementara Syiah merepresentasikan pengikut ajaran Nabi melalui jalur para Ahli Bait-nya (keluarga Nabi) dan para sahabat yang “satu barisan” dengan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Ketegangan antar umat Islam penganut Sunnah dan Syiah yang terjadi di Indonesia (Sampang) belakangan ini sesungguhnya bukan hal baru. Sebelumnya, di berbagai konflik di Timur Tengah ketegangan antara dua kelompok mayoritas Muslim ini pun terjadi. Konflik di Irak antara Sunnah dan Syiah paska Saddam Hussein menandakan bahwa ketegangan antar dua kelompok ini belum selesai.
Namun, ketegangan yang masih terjadi antara Sunnah-Syiah –dalam bentuk politik maupun ideologi keagamaan- bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Dalam dunia internasional Kontemporer pengakuan Syiah sebagai dari al-Firqah al-Islamiy (kelompok Islam) oleh negara-negara Islam yang tergabung di OKI merupakan awal baru dari upaya merengangkan ketegangan. Demikian pula dengan sikap hangat Raja Fahd dari Arab Saudi terhadap Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad dianggap akan semakin mencairkan kebekuan diantara para pemimpin negara Sunnah-Syiah.
Tulisan ini akan mengurai relasi dan korelasi sejarah antara Sunnah-Syiah di tanah air. Tentunya bukan dimaksudkan bukan dimaksudkan untuk menjustifikasi keberadaan salah satu kelompok tersebut. Tulisan ini hanyalah berupaya mencari kalimatu sawa’ (kesepahaman) agar konflik Sunnah-Syiah dapat disikapi secara lebih arif dengan pemahaman yang utuh.
Siapa Sunnah dan Siapa Syiah?
Penamaan Sunnah atau Sunni merujuk dari kelompok mayoritas Muslim yang menamakan diri sebagai Ahli Sunnah wal Jama’ah. Para pakar, termasuk di kalangan Sunnah sekalipun, berbeda pendapat atas definisi Ahli Sunnah wal Jama’ah itu dan asal muasal penggunaan istilah tersebut. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berarti kelompok Islam yang berpegang teguh dengan Sunnah (tradisi) Nabi dan jama’ah yang diartikan dengan sahabat. Bahkan, ada pendapat yang menyebut bahwa kata Jama’ah merujuk pada konsensus umat. Itu artinya, Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berpegang teguh pada tradisi kenabian dan selalu mengikuti mayoritas pendapat umat.
Definisi pemaknaan di atas belum dapat dikonfirmasi kebenarannya secara pasti. Hanya saja penamaan Jama’ah dalam istilah ini oleh banyak pakar merujuk pada peristiwa ‘aam al-Jama’ah (tahun persatuan). Dalam peristiwa itu Hasan putra Ali yang sudah di-bay’at menjadi khalifah oleh penduduk Madinah menandatangani perjanjian penyerahan kekhalifahan kepada Mu’awiyah pendiri kerajaan Umayyah I.
Secara karakteristik ideologi dan ritus keagamaan, Sunnah sebagaimana ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ary (pendiri NU) dalam karya berbahasa Arab berjudul Qanun Asaasiy, adalah orang-orang yang berpegang teguh pada pendapat mainstream umat Islam dalam bidang Akidah, Fikih, dan Tasawuf. Dalam bidang Akidah (teologi) pendapat yang dimaksud adalah pendapat Abu Musa Al-Asy’Ary atau Abu Manshur Muhammad Al-Maturidiy, dua orang teolog Muslim abad ke-4 H/ 9 M.
Sementara dalam bidang Fikih (jurispudensi) Sunnah adalah mereka yang mengikuti pendapat yang sudah dikodifikasi oleh ulama 4 madzhab, yaitu; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; yang berkembang di kisaran abad 2-3 H/ 8-9 M. Sedangkan dalam bidang Tasawuf (eksotisme), penganut Sunnah mengikuti garis besar ajaran Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadiy (kisaran abad ke 6 H/ 12 M), yang menitik beratkan pada aspek syariah.
Namun, identifikasi sunnah dengan karakteristik tersebut kini mulai bergeser. Dimotori oleh KH. Said Aqil Siradj dan para tokoh muda NU, pemikiran Sunnah yang sebelumnya menduplikasi produk pemikiran abad klasik yang sudah terkodifikasi diarahkan pada duplikasi metodologis. Hal ini dimaksudkan untuk memecah kebuntuan pemaknaan atas tuntutan sosial kebudayaan yang tidak lagi sama dengan masa sebelumnya.
Sementara itu, kelahiran madzhab Syiah dimulai paska terjadinya perang Shiffin, yaitu perang saudara antara umat Islam. Ali bin Abi Thalib yang kala itu telah menjadi khalifah Islam yang sah paska wafatnya Utsman bin ‘Affan, melawan pemberontakan yang dilakukan gubernur Damaskus Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Peperangan diakhiri dengan arbitrase antara pihak Ali dan Mu’awiyah yang merugikan Ali.
Tentara Ali yang kecewa dengan putusan Arbitrase itu kemudian keluar dari barisan dan tidak lagi mendukung. Mereka yang keluar inilah dalam sejarah Islam dikenal sebagai kelompok Khawarij, dan mereka yang tetap berada di belakang Ali dikenal sebagai Syiah (pendukung) Ali. Belakangan, Abdurrahman bin Muljam –salah seorang khawarij- melakukan pembunuhan terhadap Ali yang dianggap telah keluar dari Islam dengan mengikuti Arbitrase.
Dus, kata Syiah pada awalnya merepresentasikan pilihan politik sebagian masyarakat Muslim. Syiah kala itu menjadi ungkapan bagi para pendudukung kekhalifahan yang sah (Ali) dan penumpas pasukan pemberontak (Mu’awiyah). Pasukan Syiah kala itu didominasi oleh orang-orang Irak yang tinggal di Kufah dan Najaf. Hal ini mengingat bahwa ibukota Islam kala itu telah berpindah dari Madinah ke Kufah.
Paska tewasnya Khalifah Ali oleh kelompok Khawarij, pasukan pemberontak menemukan titik terang bagi upaya merebut kekhalifahan. Para pendukung Ali (Syiah) dikejar dan dibunuh untuk dihabisi. Sesaat setelah peristiwa ‘aam jamaah (tahun persatuan), dimana Hasan putra Ali yang telah ditahbis sebagai Khalifah menyerahkan tampuk kekuasaan pada pemberontak Mu’awiyah, yang disusul dengan kematian Hasan dan Husein, para pendukung Ali dan keturunannya mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Berdirinya dinasti Umayyah I membenamkan peran politik para pengikut Ali, hingga banyak di antara mereka bersembunyi dari kejaran pemerintah.
Peran Syiah dalam kancah politik Islam kembali hadir di saat keruntuhan Dinasti Umayyah. Syiah kala itu bersama dengan para keturunan Abbas berkaloborasi menumbangkan kekuasaan Umayyah di Damaskus dan mendirikan kekhalifahan baru bernama Abbasiyah (132 H/ 750 M). Namun, kolaborasi ini pun tidak berlangsung lama. Syiah kembali dipinggirkan oleh penguasa Abbasiyah dan dianggap sebagai ganjalan yang membahayakan. Syiah kembali dikejar dan diburu untuk dihabisi.
Pengejaran terhadap para keturunan Ali dan pengikutnya (Syiah) selama masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah berimbas pada eksodus (mengungsi) besar-besaran para pengikut Syiah ke berbagai belahan dunia. Mereka bermigrasi ke wilayah Yaman, Persia, India, Cina, Asia Tengah, Afrika, bahkan Nusantara. Proses migrasi inilah yang diikuti dengan membawa tradisi, ritus, ajaran, dan kebudayaan Syiah.
Bagaimana sebenarnya ajaran Syiah itu? Tentu tidak mudah menjawab persoalan ini. Mengingat di Syiah sendiri telah berkembang berbagai sekte sempalan, yang setiap aliran memiliki ajaran, prinsip, dan keyakinan sendiri yang boleh jadi berbeda dengan aliran Syiah lainnya. Aliran dalam Syiah sendiri terbentang dari Syiah Ghulat (ekstrim) hingga moderat.
Kenyataan hari ini kelompok Syiah Ghulat, seperti pernyataan Ali adalah Tuhan (al-Sabaiyyah) dan malaikat Jibril salah memberi wahyu kepada Muhammad yang semestinya kepada Ali (al-Ghurabiyah), tidak memiliki tempat di negeri Syiah seperti Iran sekalipun. Bahkan, oleh kelompok Syiah yang lain pun tidak diakui. Setidaknya, Syiah ideologis yang berkembang saat ini hanyalah Zaidiyah yang berkembang di sebagian wilayah Yaman dan Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang paska Revolusi Islam Iran pada 1979 menjadi madzhab resmi negara.
Namun, perbedaan Sunnah dan Syiah dari sisi teologis terletak pada konsep imamah (kepemimpinan spiritual dan politik). Sunnah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mentahbiskan siapapun (termasuk Ali) untuk menjadi penerus kepemimpinan Nabi. Sementara penganut Syiah meyakini sebaliknya. Mereka berkeyakinan bahwa imamah paska wafatnya Nabi jatuh pada Ali dan keturunannya.
Adapun perbedaan yang kerap menjadi konflik dalam sejarah umat Islam adalah sikap Syiah yang kritis terhadap sahabat-sahabat Nabi diluar Ali dan pendukungnya. Mereka misalnya, menganggap bahwa tiga khalifah sebelum Ali telah mengambil hak kepemimpinan umat dari tangan keluarga Nabi. Namun demikian, tidak semua aliran Syiah yang eksis pada hari ini berpendapat demikian. Syiah Zaidiyah misalnya mengatakan, bahwa kepemimpinan tidak harus jatuh pada keluarga Nabi secara figur, melainkan pada sikap dan karakteristik seperti Ali. Aliran ini bahkan menyebut bahwa tiga kepemimpinan sahabat sebelum Ali sebagai al-Imam al-Mafdhul (pemimpin yang baik), sekalipun tetap menyebut Ali dan keturunannya sebagai imam al-Afdhal (pemimpin terbaik).
Jejak Syiah di Nusantara.
Seorang pelaut Muslim asal Maroko bernama Ibnu Bathutah pada abad ke-13 pernah melancong ke Samudera Pasai. Dalam catatan hariannya, ia merekam bahwa pengaruh Persia (yang menjadi pusat peradaban Syiah) begitu mendominasi di Kerajaan Pasai. Wakil Laksamana Kerajaan Pasai disebut bernama Behruz orang Persia. Bahkan, penggunaan kosakata serapan dari bahasa Persia ke bahasa Melayu tampak populer di Pasai. Kanduri (kenduri), astana (istana), bandar (pelabuhan), bedebah, biadab, diwan (dewan), piala, firman, dan sebagainya.
Peringatan kematian Husein di Karbala yang jatuh pada 10 Muharram setiap tahunnya diperingati pula di beberapa wilayah di Nusantara. Di Aceh bulan Muharram disebut “Asan-Usen”, di Sumatera Barat “bulan tabuik”, dan di Jawa “bulan sura”. Belum lagi penamaan gelar raja-raja di berbagai wilayah Nusantara yang menggunakan gelar Sayyid dan Syarif, seperti Sayyid Jamaluddin Agung yang menjadi raja Palembang atau Syarif Hidayatullah di Cirebon, gelar para keturunan Nabi di mata Syiah.
Berbagai fakta sosial itu dimaknai oleh sebagian sejarawan sebagai bukti adanya pengaruh Syiah di Nusantara. Bahkan, ada yang menyebut bahwa masuknya Islam di wilayah Nusantara dimulai oleh para keturunan Nabi, orang-orang dari Arab Yaman, dan dari Gujarat India; yang kesemuanya itu adalah penganut Syiah.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, para pelarian Syiah dari kejaran kekhalifahan Abbasyiah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dan salah satu dari mereka, atau keturunan mereka yang juga Syiah, menyebarkan Islam ke Nusantara. Nah, para penyebar Islam dari India, Yaman, atau keturunan Nabi itulah pada hakekatnya adalah penganut Syiah.
Pendapat ini diperkuat oleh fakta bahwa para penyebar Islam keturunan Nabi, Yaman, dan India di Nusantara merupakan para keturunan Ahmad bin Isa al-Muhajir. Dia adalah keturunan ke-8 dari Nabi Muhammad. Al-Muhajir mengungsi ke Bashrah lalu ke Hadramaut, Yaman. Dari sinilah para penyebar Islam di Nusantara berasal. Bahkan, seluruh wali songo di tanah Jawa –selain Sunan Kalijaga- memiliki mata rantai keturunan hingga Al-Muhajir. Sekalipun mata rantai tersebut juga menyertakan keturunan Cina, sebagaimana nasab Bong Swie Ho alias Sunan Ampel.
Ensiklopedia Arab berjudul Qomus al-Munjid merekam jejak para keturunan Nabi di Hadramaut Yaman dengan sebutan sukkanuha Syi’iyyuna Syafi’iyyuna (penduduknya adalah orang-orang Syiah bermadzhab Syafi’i). Ini berarti para leluhur penyebar Islam di Nusantara yang berasal dari Hadramaut Yaman (termasuk orang-orang India Gujarat keturunan Arab) adalah orang-orang Syiah yang menganut madzhab Syafi’i yang notabene adalah madzhab Sunnah. Mengapa dualisme madzhab ini bisa terjadi? Jawabnya, karena Syiah memiliki prinsip taqiyyah, sebuah prinsip yang membolehkan penganutnya menyembunyikan kesyiahan demi keselamatan, mengingat mereka adalah orang-orang pelarian.
Tentu saja hal ini bisa diperdebatkan. Fakta sosial di atas tidak melulu bisa diartikan bahwa ritual tersebut merupakan bagian dari Syiah ideologis. Menurutnya, persinggungan kebudayaan tidak bisa dihindarkan karena memang para penyebar agama Islam di Nusantara merupakan para keturunan biologis Nabi melalui jalur Ali bin Abi Thalib, sehingga secara kultural memiliki kesamaan dengan fakta sosial di Nusantara. Namun, juga tidak bisa disebut bahwa para penyebar Islam itu adalah Syiah.
Ditambah lagi, para pengikut Sunnah tidak memiliki pretensi yang buruk jika mereka menghormati Ali dan para keturunannya. Lain halnya dengan Syiah yang pada sebagian madzhabnya memiliki pretensi yang kurang baik terhadap sahabat besar lain di luar Ali, seperti pada Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Sehingga, tidak bisa diartikan bahwa penghormatan terhadap Ali dan keturunannya di Indonesia dapat disebut sebagai Syiah. Namun demikian, setidaknya kesamaan kultur dan budaya antara Sunnah-Syiah di Indonesia seharusnya dapat menjadi perekat antara dua kelompok ini.
Syiah Kontemporer di Indonesia.
Paska meletusnya Revolusi Islam Iran pada 1979 oleh Ayatullah Khomeini, semangat Syiah mendapatkan momentum penting sepanjang sejarah. Keberhasilan Revolusi Islam Iran menandai babak baru Islam Syiah yang sepanjang sejarah selalu menemukan kegagalan. Berulang kali, Syiah berikut perangkat ideologis kenegaraannya, berupaya melakukan kudeta terhadap beberapa kekhalifahan dan kesultanan, namun hanya di Iran lah yang mencapai hasil gemilang.
Momentum revolusi yang diikuti oleh anak-anak muda Iran itulah yang menjadi menyemangat gerakan Islam di berbagai negara. Pemerintah Sunnah, sejauh ini dianggap tidak memberikan perubahan yang berarti pada kepemimpinan tiranik. Revolusi Iran pada akhirnya menjadi role model baru bagi dunia Islam.
Gegap gempita Revolusi Islam Iran pun sampai ke Indonesia. Kalangan muda, terutama yang berasal dari kalangan terpelajar dan kampus, mulai “berguru” pada keberhasilan Revolusi Islam Iran. “Semangat Islam” anak-anak muda Indonesia, yang saat itu baru memiliki lembagalembaga dakwah di kampus, mendapatkan topik hangat perbincangan dan diskusi. Apalagi pemikiran-pemikiran ideologis Syiah seperti yang ditulis oleh Ali Syariati dan Murtadha Mutahari menjadi alternatif pemikiran karena isinya yang menggebu-gebu dan cocok dengan “gairah muda”.
Semaraknya pemikiran Syiah di Indonesia kala itu diiringi oleh berdirinya sejumlah lembaga pendidikan dan lembaga kajian yang mendiskusikan madzhab Syiah di berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja Yayasan Mutahhari di Bandung Jawa Barat, Pesantren Al-Hadi di Pekalongan Jawa Tengah, Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil Jawa Timur, Al-Ishlah di Ujungpandang Sulawesi Selatan. Di Jakarta beberapa tahun terakhir terdapat ICC (Islamic Cultural Center), sebuah lembaga kajian Islam beraliran Syiah. Bahkan, para alumnus YAPI pun membuka cabang pendidikan di daerah asalnya, termasuk diantaranya adalah Ustadz Tajul Muluk di Sampang Madura.
Madzhab Syiah yang berkembang di Indonesia paska Revolusi Islam Iran pada dasarnya mengikuti madzhab Syiah yang berkembang di Iran, yaitu madzhab Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Oleh karenanya, kata ‘sesat’ tidak lagi dapat dilabelkan pada para pengikutnya. Hal ini mengingat keputusan OKI yang menyebut mereka sebagai bagian dari firqah al-Islami (cabang aliran keislaman).
Apalagi hingga saat ini, di Indonesia keputusan resmi baik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun pemerintah (Kementerian Agama) yang menyatakan kesesatan Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Paling jauh, MUI saat berada dibawah kepemimpinan KH. Syukri Ghazali baru menyebut bahwa Syiah berbeda dengan Sunnah karena tidak mengakui khalifah selain Ali. Dan MUI berkesimpulan Syiah patut diwaspadai. Namun sebagai catatan, hingga hari ini tidak ada satupun fatwa MUI yang menyebutkan bahwa Syiah sesat dan terlarang, sebagaimana fatwa terhadap aliran Ahmadiyah.
Memang, pada 21 September 1997 di Masjid Istiqlal pernah digelar hajatan besar “Seminar Nasional Sehari tentang Syiah”. Hasil seminar tersebut merekomendasikan agar pemerintah melarang perkembangan ajaran Syiah dan menutup semua lembaga pendidikan bermadzhab Syiah di Indonesia. Hasil kajian seminar sehari itu mengutip pendapat-pendapat Syiah yang dapat menjadi bukti kesesatan madzhab ini.
Namun sayang, bukti-bukti yang diajukan dalam seminar tersebut terkesan bias dan tidak objektif. Mengapa? Karena bukti-bukti yang diajukan lebih banyak yang disampaikan oleh para penganut Syiah Ghulat (ekstrim) sesungguhnya tidak diakui oleh mayoritas kelompok itu sendiri. Itu artinya, hasil seminar tersebut mengeneralisir semua pemikiran Syiah dan menganggap bahwa Syiah itulah yang saat ini berkembang. Padahal, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pendapat ini keliru.
Titik Temu Sunnah-Syiah.
Perbedaan antara dua aliran besar ini tidak dapat dihindarkan. Secara teologis maupun fikih, dua aliran besar umat Islam ini memang tidak bisa disatukan. Karena keduanya memiliki latar belakang, pengalaman, dan pemikiran yang berbeda. Tentu saja perbedaan yang nyata di antara keduanya bagaikan air dan minyak, dan juga telah menjadi sunnatullah yang tak terelakkan.
Namun demikian, mencari titik temu (kalimatun sawa’) di antara kedua aliran ini tentu merupakan alternatif paling mudah. Setidaknya, untuk menghilangkan konflik berkepanjangan di antara para penganut. Toh jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya perbedaan antara Syiah dan Sunnah tidak lebih banyak dibanding persamaannya. Bahkan, Syeikh Muhammad Al-Ghazali seorang intelektual Al-Azhar, menyebut bahwa perbedaan fikih madzhab Syafi’i –yang merupakan salah satu madzhab Sunnah- dengan madzhab Zaidiyah –yang dianut oleh sebagian orang Syiah saat ini- tidak lebih banyak dibanding perbedaan antara madzhab Syafi’i dan Hanafi yang sama-sama berasal dari golongan Sunnah.
Bagi Muslim di Indonesia, secara kultural kedekatan antara Sunnah-Syiah dalam tradisi dan ritual keagamaan tidak bisa lagi diingkari. Kenyataan bahwa tradisi tahlilan, khaul, diba’an, dan mendoakan arwah yang sudah meninggal yang diamalkan oleh mayoritas muslim di Indonesia (termasuk Sampang) memiliki kemiripan dengan praktek Syiah. Demikian pula dalam tradisi pembacaan maulid diba’ di setiap malam Jumat, selain memiliki kesamaan di dalam bacaan diba’ tersebut juga tertullis nama-nama imam yang diakui oleh Syiah.
Dalam tradisi tarekat pun sama. Dua tarekat paling dominan di Indonesia, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, memiliki mata rantai (sanad) kepada Imam Ali Musa al-Ridha (imam ketujuh), Imam Musa al-Qasimi (imam keenam), Imam Ja’far al-Shadiq (imam kelima), Imam Muhammad al-Baqir (imam keempat), Imam Ali Zainal Abidin (imam ketiga), Imam Husein (imam kedua), dan Imam Ali bin Abi Thalib (imam pertama). Itu artinya, tokoh-tokoh spriritual yang diakui oleh Sunnah juga diakui oleh Syiah.
Di kalangan Syiah pun, Ayatullah Khomeini juga dikenal sebagai komentator kitab ihya’ ‘Ulumuddin karya al-Ghazali yang menjadi rujukan utama Sunnah. Ali Khemenei anak dari Khomeini yang menjadi pemimpin spiritual tertinggi Syiah di Iran saat ini pun menerjemahkan ke dalam bahasa Persia Tafsir fi Dzhilalil Quran karya ulama Sunnah bernama Sayyid Qutb berkebangsaan Mesir. Bahkan, kitab-kitab hadits andalan pengikut sunnah, seperti karya Bukhari dan Muslim, juga dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan Syiah.
Nah, perbedaan-perbedaan di atas itulah yang seharusnya menjadi jembatan proses pembelajaran bagi Sunnah-Syiah. Persamaan itulah, yang sesungguhnya dapat menjadi perekat persaudararaan Islam (ukhuwwah Islamiyyah) di antara para penganut dua aliran itu. Selain kesadaran keislaman, tentu sebagai sebuah bangsa, dua kelompok Sunnah-Syiah pun harus semakin menyadari keberadaannya sebagai bangsa yang terikat dalam sebuah konstitusi yang menjungjung tinggi harkat martabat manusia dan memberikan kebebasan berkeyakinan pada setiap warga negaranya. Semoga konflik Sunnah-Syiah tidak lagi terulang. Amin.
*Ahmad Dicky Sofyan – Aktifis Muda NU Bogor
Sumber: PCNUKabBogor.org
Namun, beberapa tokoh agama Islam menolak klaim tersebut. Mereka
beranggapan kesimpulan para pengamat sejarah itu mendasarkan sumber
lisan dan tulisan yang belum melalui verifikasi dan diuji kesahihannya.
Terlepas dari perdebatan tersebut, rentetan pengaruh Syiah dalam tradisi-tradisi keagamaan di Indonesia tak bisa dibantahkan. Tradisi kebudayaan dan keagamaan yang dijalankan di kalangan muslim Indonesia banyak di antaranya merupakan pengaruh ajaran Syiah.
Ritus-ritus Tabut di Bengkulu, Sumatera dan Gerebek Sura di Yogyakarta dan Ponorogo adalah ritus teologi Syiah.
Tradisi arak-arakan Hayok Tabui di Pariaman, Sumatera Barat yang digelar setiap Muharram kental dengan pengaruh Syiahnya. Tradisi itu sebagai peringatan tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi SAW Sayyidina Husain.
“Setahu saya Tabuik itu peninggalan Islam Syiah di Pariaman,” ujar Peneliti Pusat Pengkajian Pengembangan Sumber Daya (P3SD) Padang Hendri Teja.
Hendri mengaku tidak tahu persis apakah sampai sekarang ini masih banyak penganut Syiah di Pariaman. Yang pasti, ajaran Syiah sempat masuk dan berkembang di Pariaman dengan bukti tradisi bernafaskan Syiah masih dilestarikan hingga sekarang.
Hendri juga tidak mengetahui secara jelas kapan Syiah masuk ke Pariaman. Ada banyak versi. Pertama, Syiah masuk ke Pariaman dibawa langsung dari Persia.
Pariaman dulu merupakan kota dagang, kota pelabuhan di pesisir barat Sumatera. Kota Pariaman lebih dulu ada ketimbang kota Padang.
“Jadi Ulama Syiah datang dari Persia, Gujarat (India) menumpang kapal-kapal dagang ke Pariaman,” tutur Hendri Teja.
Versi kedua, Syiah masuk melalui Kerajaan Aceh yang dulu sempat menguasai Pariaman. Konon Kerajaan Peureulak (Perlak) didirkan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syiah. “Budaya mereka ikut diangkut ke Pariaman,” jelasnya.
Dan versi ketiga, aliran itu dibawa oleh pasukan muslim Thamil India yang lari dari kejaran Inggris. Mereka kemudian bermukim di Pariaman.
Selain itu, ajaran Syiah juga dapat dilihat dari tradisi Jawa Grebeg Suro yang dilaksanakan di Yogyakarta dan sebagian kota di Jawa Tengah.
Kebiasaan orang Jawa yang lebih menganggap Muharram sebagai bulan nahas merupakan pengaruh Syiah karena bulan itu merupakan bulan tewasnya Sayyidina Husain. Masih banyak lagi rentetan pengaruh Syiah dalam tradisi kebudayaan di Indonesia yang terus dilestarikan hingga saat ini.
Dalam ajaran Nahdlatul Ulama (NU) pun pengaruh Syiah harus diakui cukup kuat. Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU sesungguhnya berasal dari tradisi Syiah.
Secara kultural NU adalah Syiah, hal itu pernah diakui mendiang KH Abdurrahman Wahid. Ada beberapa shalawat khas Syiah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren.
Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait.
Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan yang kesemuanya adalah tradisi Syiah.
Terlepas dari apakah Islam pertama yang menyebar di Indonesia Syiah atau Sunni, yang pasti banyak tradisi keagamaan yang hingga kini masih dijalankan oleh kalangan muslim NU bersumber dari perngaruh ajaran Syiah. (ss/sindonews.com).
Banyak orang menduga bahwa Syiah masuk ke Indonesia di zaman modern. Namun aliran ini terlihat jejak keberadaannya di Nusantara sejak ratusan tahun lalu. Menurut cendekiawan Jalaluddin Rakhmat, jejak Syiah ini terlihat pada beberapa tradisi.
Misalnya, folklor tabot yang biasanya digelar di Bengkulu. Tradisi ini bertujuan untuk memperingati peristiwa di Karbala ketika keluarga Nabi Muhammad SAW dibantai. Tiap tahun, tabot dihelat sejak 1-10 Muharam.
“Mereka bakal merekonstruksi tragedi Karbala dengan rentetan drama kolosal,” ujar Kang Jalal, panggilan Jalaluddin Rakhmat, Rabu, 29 Agustus 2012. Sekitar seribu orang rencananya ikut merayakan peringatan tabot.
Tradisi tabot datang melalui pedagang India yang kapalnya pernah terdampar di Bengkulu. Masyarakat yang berkecimpung dalam tabot tak menyadari bahwa itu adalah tradisi Syiah. Lantaran itu pula, seribu orang yang bergabung dalam tabot tak semuanya menganut Syiah.
“Tradisi ini juga dilakukan di India, Iran, dan negara lain, namun dengan nama dan cara berbeda,” ujarnya.
Di Indonesia, peringatan tragedi Karbala tak cuma dilakukan di Bengkulu. Masyarakat Minang menamai perayaan tabot dengan ‘tabuik’. Di Jawa, ada tradisi menyediakan bubur merah waktu memasuki Muharam. Kata Kang Jalal, kebudayaan Jawa mengakui hari pembantaian keluarga Nabi Muhammad SAW pada 10 Muharam. Ini terlihat dari penggunaan kata syuro sebagai pengganti Muharam.
“Syuro dari kata As-syuro artinya 10,” kata Kang Jalal. “Dan syuro menggantikan nama Muharam jadi 10 Muharam.”
Cendekiawan ini juga mencontohkan tradisi yasinan. Berdasarkan ajaran, penganut Syiah mempunyai kebiasaan menggelar yasinan untuk memperingati hati kematian seseorang. Mereka juga berziarah ke makam untuk mendoakan orang yang telah meninggal. “Kebiasaan itu diikuti pemeluk Islam, meski tak menganut Syiah,” kata dia
.
Sumber: TEMPO.CO
Penggunaan kata Sunnah-Syiah di atas saya kira lebih tepat secara gramatikal Arab dibanding penggunaan Sunni-Syiah yang populer di media massa saat ini. Penggunaan Sunnah dan Syiah merupakan nama kelompok, pemikiran, madzhab, atau aliran. Sementara Sunni –yang padanan tepatnya adalah Syi’i- merepresentasikan para penganut dan pendukungnya.
Sunnah-Syiah merupakan dua kelompok mainstream dalam dunia pemikiran dan gerakan Islam dari masa klasik hingga kontemporer. Sunnah merefleksikan sebuah kelompok yang mengklaim mengikuti ajaran Nabi yang diteruskan oleh para sahabatnya, tanpa terkecuali. Sementara Syiah merepresentasikan pengikut ajaran Nabi melalui jalur para Ahli Bait-nya (keluarga Nabi) dan para sahabat yang “satu barisan” dengan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Ketegangan antar umat Islam penganut Sunnah dan Syiah yang terjadi di Indonesia (Sampang) belakangan ini sesungguhnya bukan hal baru. Sebelumnya, di berbagai konflik di Timur Tengah ketegangan antara dua kelompok mayoritas Muslim ini pun terjadi. Konflik di Irak antara Sunnah dan Syiah paska Saddam Hussein menandakan bahwa ketegangan antar dua kelompok ini belum selesai.
Namun, ketegangan yang masih terjadi antara Sunnah-Syiah –dalam bentuk politik maupun ideologi keagamaan- bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Dalam dunia internasional Kontemporer pengakuan Syiah sebagai dari al-Firqah al-Islamiy (kelompok Islam) oleh negara-negara Islam yang tergabung di OKI merupakan awal baru dari upaya merengangkan ketegangan. Demikian pula dengan sikap hangat Raja Fahd dari Arab Saudi terhadap Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad dianggap akan semakin mencairkan kebekuan diantara para pemimpin negara Sunnah-Syiah.
Tulisan ini akan mengurai relasi dan korelasi sejarah antara Sunnah-Syiah di tanah air. Tentunya bukan dimaksudkan bukan dimaksudkan untuk menjustifikasi keberadaan salah satu kelompok tersebut. Tulisan ini hanyalah berupaya mencari kalimatu sawa’ (kesepahaman) agar konflik Sunnah-Syiah dapat disikapi secara lebih arif dengan pemahaman yang utuh.
Siapa Sunnah dan Siapa Syiah?
Penamaan Sunnah atau Sunni merujuk dari kelompok mayoritas Muslim yang menamakan diri sebagai Ahli Sunnah wal Jama’ah. Para pakar, termasuk di kalangan Sunnah sekalipun, berbeda pendapat atas definisi Ahli Sunnah wal Jama’ah itu dan asal muasal penggunaan istilah tersebut. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berarti kelompok Islam yang berpegang teguh dengan Sunnah (tradisi) Nabi dan jama’ah yang diartikan dengan sahabat. Bahkan, ada pendapat yang menyebut bahwa kata Jama’ah merujuk pada konsensus umat. Itu artinya, Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berpegang teguh pada tradisi kenabian dan selalu mengikuti mayoritas pendapat umat.
Definisi pemaknaan di atas belum dapat dikonfirmasi kebenarannya secara pasti. Hanya saja penamaan Jama’ah dalam istilah ini oleh banyak pakar merujuk pada peristiwa ‘aam al-Jama’ah (tahun persatuan). Dalam peristiwa itu Hasan putra Ali yang sudah di-bay’at menjadi khalifah oleh penduduk Madinah menandatangani perjanjian penyerahan kekhalifahan kepada Mu’awiyah pendiri kerajaan Umayyah I.
Secara karakteristik ideologi dan ritus keagamaan, Sunnah sebagaimana ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ary (pendiri NU) dalam karya berbahasa Arab berjudul Qanun Asaasiy, adalah orang-orang yang berpegang teguh pada pendapat mainstream umat Islam dalam bidang Akidah, Fikih, dan Tasawuf. Dalam bidang Akidah (teologi) pendapat yang dimaksud adalah pendapat Abu Musa Al-Asy’Ary atau Abu Manshur Muhammad Al-Maturidiy, dua orang teolog Muslim abad ke-4 H/ 9 M.
Sementara dalam bidang Fikih (jurispudensi) Sunnah adalah mereka yang mengikuti pendapat yang sudah dikodifikasi oleh ulama 4 madzhab, yaitu; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; yang berkembang di kisaran abad 2-3 H/ 8-9 M. Sedangkan dalam bidang Tasawuf (eksotisme), penganut Sunnah mengikuti garis besar ajaran Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadiy (kisaran abad ke 6 H/ 12 M), yang menitik beratkan pada aspek syariah.
Namun, identifikasi sunnah dengan karakteristik tersebut kini mulai bergeser. Dimotori oleh KH. Said Aqil Siradj dan para tokoh muda NU, pemikiran Sunnah yang sebelumnya menduplikasi produk pemikiran abad klasik yang sudah terkodifikasi diarahkan pada duplikasi metodologis. Hal ini dimaksudkan untuk memecah kebuntuan pemaknaan atas tuntutan sosial kebudayaan yang tidak lagi sama dengan masa sebelumnya.
Sementara itu, kelahiran madzhab Syiah dimulai paska terjadinya perang Shiffin, yaitu perang saudara antara umat Islam. Ali bin Abi Thalib yang kala itu telah menjadi khalifah Islam yang sah paska wafatnya Utsman bin ‘Affan, melawan pemberontakan yang dilakukan gubernur Damaskus Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Peperangan diakhiri dengan arbitrase antara pihak Ali dan Mu’awiyah yang merugikan Ali.
Tentara Ali yang kecewa dengan putusan Arbitrase itu kemudian keluar dari barisan dan tidak lagi mendukung. Mereka yang keluar inilah dalam sejarah Islam dikenal sebagai kelompok Khawarij, dan mereka yang tetap berada di belakang Ali dikenal sebagai Syiah (pendukung) Ali. Belakangan, Abdurrahman bin Muljam –salah seorang khawarij- melakukan pembunuhan terhadap Ali yang dianggap telah keluar dari Islam dengan mengikuti Arbitrase.
Dus, kata Syiah pada awalnya merepresentasikan pilihan politik sebagian masyarakat Muslim. Syiah kala itu menjadi ungkapan bagi para pendudukung kekhalifahan yang sah (Ali) dan penumpas pasukan pemberontak (Mu’awiyah). Pasukan Syiah kala itu didominasi oleh orang-orang Irak yang tinggal di Kufah dan Najaf. Hal ini mengingat bahwa ibukota Islam kala itu telah berpindah dari Madinah ke Kufah.
Paska tewasnya Khalifah Ali oleh kelompok Khawarij, pasukan pemberontak menemukan titik terang bagi upaya merebut kekhalifahan. Para pendukung Ali (Syiah) dikejar dan dibunuh untuk dihabisi. Sesaat setelah peristiwa ‘aam jamaah (tahun persatuan), dimana Hasan putra Ali yang telah ditahbis sebagai Khalifah menyerahkan tampuk kekuasaan pada pemberontak Mu’awiyah, yang disusul dengan kematian Hasan dan Husein, para pendukung Ali dan keturunannya mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Berdirinya dinasti Umayyah I membenamkan peran politik para pengikut Ali, hingga banyak di antara mereka bersembunyi dari kejaran pemerintah.
Peran Syiah dalam kancah politik Islam kembali hadir di saat keruntuhan Dinasti Umayyah. Syiah kala itu bersama dengan para keturunan Abbas berkaloborasi menumbangkan kekuasaan Umayyah di Damaskus dan mendirikan kekhalifahan baru bernama Abbasiyah (132 H/ 750 M). Namun, kolaborasi ini pun tidak berlangsung lama. Syiah kembali dipinggirkan oleh penguasa Abbasiyah dan dianggap sebagai ganjalan yang membahayakan. Syiah kembali dikejar dan diburu untuk dihabisi.
Pengejaran terhadap para keturunan Ali dan pengikutnya (Syiah) selama masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah berimbas pada eksodus (mengungsi) besar-besaran para pengikut Syiah ke berbagai belahan dunia. Mereka bermigrasi ke wilayah Yaman, Persia, India, Cina, Asia Tengah, Afrika, bahkan Nusantara. Proses migrasi inilah yang diikuti dengan membawa tradisi, ritus, ajaran, dan kebudayaan Syiah.
Bagaimana sebenarnya ajaran Syiah itu? Tentu tidak mudah menjawab persoalan ini. Mengingat di Syiah sendiri telah berkembang berbagai sekte sempalan, yang setiap aliran memiliki ajaran, prinsip, dan keyakinan sendiri yang boleh jadi berbeda dengan aliran Syiah lainnya. Aliran dalam Syiah sendiri terbentang dari Syiah Ghulat (ekstrim) hingga moderat.
Kenyataan hari ini kelompok Syiah Ghulat, seperti pernyataan Ali adalah Tuhan (al-Sabaiyyah) dan malaikat Jibril salah memberi wahyu kepada Muhammad yang semestinya kepada Ali (al-Ghurabiyah), tidak memiliki tempat di negeri Syiah seperti Iran sekalipun. Bahkan, oleh kelompok Syiah yang lain pun tidak diakui. Setidaknya, Syiah ideologis yang berkembang saat ini hanyalah Zaidiyah yang berkembang di sebagian wilayah Yaman dan Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang paska Revolusi Islam Iran pada 1979 menjadi madzhab resmi negara.
Namun, perbedaan Sunnah dan Syiah dari sisi teologis terletak pada konsep imamah (kepemimpinan spiritual dan politik). Sunnah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mentahbiskan siapapun (termasuk Ali) untuk menjadi penerus kepemimpinan Nabi. Sementara penganut Syiah meyakini sebaliknya. Mereka berkeyakinan bahwa imamah paska wafatnya Nabi jatuh pada Ali dan keturunannya.
Adapun perbedaan yang kerap menjadi konflik dalam sejarah umat Islam adalah sikap Syiah yang kritis terhadap sahabat-sahabat Nabi diluar Ali dan pendukungnya. Mereka misalnya, menganggap bahwa tiga khalifah sebelum Ali telah mengambil hak kepemimpinan umat dari tangan keluarga Nabi. Namun demikian, tidak semua aliran Syiah yang eksis pada hari ini berpendapat demikian. Syiah Zaidiyah misalnya mengatakan, bahwa kepemimpinan tidak harus jatuh pada keluarga Nabi secara figur, melainkan pada sikap dan karakteristik seperti Ali. Aliran ini bahkan menyebut bahwa tiga kepemimpinan sahabat sebelum Ali sebagai al-Imam al-Mafdhul (pemimpin yang baik), sekalipun tetap menyebut Ali dan keturunannya sebagai imam al-Afdhal (pemimpin terbaik).
Jejak Syiah di Nusantara.
Seorang pelaut Muslim asal Maroko bernama Ibnu Bathutah pada abad ke-13 pernah melancong ke Samudera Pasai. Dalam catatan hariannya, ia merekam bahwa pengaruh Persia (yang menjadi pusat peradaban Syiah) begitu mendominasi di Kerajaan Pasai. Wakil Laksamana Kerajaan Pasai disebut bernama Behruz orang Persia. Bahkan, penggunaan kosakata serapan dari bahasa Persia ke bahasa Melayu tampak populer di Pasai. Kanduri (kenduri), astana (istana), bandar (pelabuhan), bedebah, biadab, diwan (dewan), piala, firman, dan sebagainya.
Peringatan kematian Husein di Karbala yang jatuh pada 10 Muharram setiap tahunnya diperingati pula di beberapa wilayah di Nusantara. Di Aceh bulan Muharram disebut “Asan-Usen”, di Sumatera Barat “bulan tabuik”, dan di Jawa “bulan sura”. Belum lagi penamaan gelar raja-raja di berbagai wilayah Nusantara yang menggunakan gelar Sayyid dan Syarif, seperti Sayyid Jamaluddin Agung yang menjadi raja Palembang atau Syarif Hidayatullah di Cirebon, gelar para keturunan Nabi di mata Syiah.
Berbagai fakta sosial itu dimaknai oleh sebagian sejarawan sebagai bukti adanya pengaruh Syiah di Nusantara. Bahkan, ada yang menyebut bahwa masuknya Islam di wilayah Nusantara dimulai oleh para keturunan Nabi, orang-orang dari Arab Yaman, dan dari Gujarat India; yang kesemuanya itu adalah penganut Syiah.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, para pelarian Syiah dari kejaran kekhalifahan Abbasyiah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dan salah satu dari mereka, atau keturunan mereka yang juga Syiah, menyebarkan Islam ke Nusantara. Nah, para penyebar Islam dari India, Yaman, atau keturunan Nabi itulah pada hakekatnya adalah penganut Syiah.
Pendapat ini diperkuat oleh fakta bahwa para penyebar Islam keturunan Nabi, Yaman, dan India di Nusantara merupakan para keturunan Ahmad bin Isa al-Muhajir. Dia adalah keturunan ke-8 dari Nabi Muhammad. Al-Muhajir mengungsi ke Bashrah lalu ke Hadramaut, Yaman. Dari sinilah para penyebar Islam di Nusantara berasal. Bahkan, seluruh wali songo di tanah Jawa –selain Sunan Kalijaga- memiliki mata rantai keturunan hingga Al-Muhajir. Sekalipun mata rantai tersebut juga menyertakan keturunan Cina, sebagaimana nasab Bong Swie Ho alias Sunan Ampel.
Ensiklopedia Arab berjudul Qomus al-Munjid merekam jejak para keturunan Nabi di Hadramaut Yaman dengan sebutan sukkanuha Syi’iyyuna Syafi’iyyuna (penduduknya adalah orang-orang Syiah bermadzhab Syafi’i). Ini berarti para leluhur penyebar Islam di Nusantara yang berasal dari Hadramaut Yaman (termasuk orang-orang India Gujarat keturunan Arab) adalah orang-orang Syiah yang menganut madzhab Syafi’i yang notabene adalah madzhab Sunnah. Mengapa dualisme madzhab ini bisa terjadi? Jawabnya, karena Syiah memiliki prinsip taqiyyah, sebuah prinsip yang membolehkan penganutnya menyembunyikan kesyiahan demi keselamatan, mengingat mereka adalah orang-orang pelarian.
Tentu saja hal ini bisa diperdebatkan. Fakta sosial di atas tidak melulu bisa diartikan bahwa ritual tersebut merupakan bagian dari Syiah ideologis. Menurutnya, persinggungan kebudayaan tidak bisa dihindarkan karena memang para penyebar agama Islam di Nusantara merupakan para keturunan biologis Nabi melalui jalur Ali bin Abi Thalib, sehingga secara kultural memiliki kesamaan dengan fakta sosial di Nusantara. Namun, juga tidak bisa disebut bahwa para penyebar Islam itu adalah Syiah.
Ditambah lagi, para pengikut Sunnah tidak memiliki pretensi yang buruk jika mereka menghormati Ali dan para keturunannya. Lain halnya dengan Syiah yang pada sebagian madzhabnya memiliki pretensi yang kurang baik terhadap sahabat besar lain di luar Ali, seperti pada Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Sehingga, tidak bisa diartikan bahwa penghormatan terhadap Ali dan keturunannya di Indonesia dapat disebut sebagai Syiah. Namun demikian, setidaknya kesamaan kultur dan budaya antara Sunnah-Syiah di Indonesia seharusnya dapat menjadi perekat antara dua kelompok ini.
Syiah Kontemporer di Indonesia.
Paska meletusnya Revolusi Islam Iran pada 1979 oleh Ayatullah Khomeini, semangat Syiah mendapatkan momentum penting sepanjang sejarah. Keberhasilan Revolusi Islam Iran menandai babak baru Islam Syiah yang sepanjang sejarah selalu menemukan kegagalan. Berulang kali, Syiah berikut perangkat ideologis kenegaraannya, berupaya melakukan kudeta terhadap beberapa kekhalifahan dan kesultanan, namun hanya di Iran lah yang mencapai hasil gemilang.
Momentum revolusi yang diikuti oleh anak-anak muda Iran itulah yang menjadi menyemangat gerakan Islam di berbagai negara. Pemerintah Sunnah, sejauh ini dianggap tidak memberikan perubahan yang berarti pada kepemimpinan tiranik. Revolusi Iran pada akhirnya menjadi role model baru bagi dunia Islam.
Gegap gempita Revolusi Islam Iran pun sampai ke Indonesia. Kalangan muda, terutama yang berasal dari kalangan terpelajar dan kampus, mulai “berguru” pada keberhasilan Revolusi Islam Iran. “Semangat Islam” anak-anak muda Indonesia, yang saat itu baru memiliki lembagalembaga dakwah di kampus, mendapatkan topik hangat perbincangan dan diskusi. Apalagi pemikiran-pemikiran ideologis Syiah seperti yang ditulis oleh Ali Syariati dan Murtadha Mutahari menjadi alternatif pemikiran karena isinya yang menggebu-gebu dan cocok dengan “gairah muda”.
Semaraknya pemikiran Syiah di Indonesia kala itu diiringi oleh berdirinya sejumlah lembaga pendidikan dan lembaga kajian yang mendiskusikan madzhab Syiah di berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja Yayasan Mutahhari di Bandung Jawa Barat, Pesantren Al-Hadi di Pekalongan Jawa Tengah, Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil Jawa Timur, Al-Ishlah di Ujungpandang Sulawesi Selatan. Di Jakarta beberapa tahun terakhir terdapat ICC (Islamic Cultural Center), sebuah lembaga kajian Islam beraliran Syiah. Bahkan, para alumnus YAPI pun membuka cabang pendidikan di daerah asalnya, termasuk diantaranya adalah Ustadz Tajul Muluk di Sampang Madura.
Madzhab Syiah yang berkembang di Indonesia paska Revolusi Islam Iran pada dasarnya mengikuti madzhab Syiah yang berkembang di Iran, yaitu madzhab Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Oleh karenanya, kata ‘sesat’ tidak lagi dapat dilabelkan pada para pengikutnya. Hal ini mengingat keputusan OKI yang menyebut mereka sebagai bagian dari firqah al-Islami (cabang aliran keislaman).
Apalagi hingga saat ini, di Indonesia keputusan resmi baik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun pemerintah (Kementerian Agama) yang menyatakan kesesatan Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Paling jauh, MUI saat berada dibawah kepemimpinan KH. Syukri Ghazali baru menyebut bahwa Syiah berbeda dengan Sunnah karena tidak mengakui khalifah selain Ali. Dan MUI berkesimpulan Syiah patut diwaspadai. Namun sebagai catatan, hingga hari ini tidak ada satupun fatwa MUI yang menyebutkan bahwa Syiah sesat dan terlarang, sebagaimana fatwa terhadap aliran Ahmadiyah.
Memang, pada 21 September 1997 di Masjid Istiqlal pernah digelar hajatan besar “Seminar Nasional Sehari tentang Syiah”. Hasil seminar tersebut merekomendasikan agar pemerintah melarang perkembangan ajaran Syiah dan menutup semua lembaga pendidikan bermadzhab Syiah di Indonesia. Hasil kajian seminar sehari itu mengutip pendapat-pendapat Syiah yang dapat menjadi bukti kesesatan madzhab ini.
Namun sayang, bukti-bukti yang diajukan dalam seminar tersebut terkesan bias dan tidak objektif. Mengapa? Karena bukti-bukti yang diajukan lebih banyak yang disampaikan oleh para penganut Syiah Ghulat (ekstrim) sesungguhnya tidak diakui oleh mayoritas kelompok itu sendiri. Itu artinya, hasil seminar tersebut mengeneralisir semua pemikiran Syiah dan menganggap bahwa Syiah itulah yang saat ini berkembang. Padahal, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pendapat ini keliru.
Titik Temu Sunnah-Syiah.
Perbedaan antara dua aliran besar ini tidak dapat dihindarkan. Secara teologis maupun fikih, dua aliran besar umat Islam ini memang tidak bisa disatukan. Karena keduanya memiliki latar belakang, pengalaman, dan pemikiran yang berbeda. Tentu saja perbedaan yang nyata di antara keduanya bagaikan air dan minyak, dan juga telah menjadi sunnatullah yang tak terelakkan.
Namun demikian, mencari titik temu (kalimatun sawa’) di antara kedua aliran ini tentu merupakan alternatif paling mudah. Setidaknya, untuk menghilangkan konflik berkepanjangan di antara para penganut. Toh jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya perbedaan antara Syiah dan Sunnah tidak lebih banyak dibanding persamaannya. Bahkan, Syeikh Muhammad Al-Ghazali seorang intelektual Al-Azhar, menyebut bahwa perbedaan fikih madzhab Syafi’i –yang merupakan salah satu madzhab Sunnah- dengan madzhab Zaidiyah –yang dianut oleh sebagian orang Syiah saat ini- tidak lebih banyak dibanding perbedaan antara madzhab Syafi’i dan Hanafi yang sama-sama berasal dari golongan Sunnah.
Bagi Muslim di Indonesia, secara kultural kedekatan antara Sunnah-Syiah dalam tradisi dan ritual keagamaan tidak bisa lagi diingkari. Kenyataan bahwa tradisi tahlilan, khaul, diba’an, dan mendoakan arwah yang sudah meninggal yang diamalkan oleh mayoritas muslim di Indonesia (termasuk Sampang) memiliki kemiripan dengan praktek Syiah. Demikian pula dalam tradisi pembacaan maulid diba’ di setiap malam Jumat, selain memiliki kesamaan di dalam bacaan diba’ tersebut juga tertullis nama-nama imam yang diakui oleh Syiah.
Dalam tradisi tarekat pun sama. Dua tarekat paling dominan di Indonesia, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, memiliki mata rantai (sanad) kepada Imam Ali Musa al-Ridha (imam ketujuh), Imam Musa al-Qasimi (imam keenam), Imam Ja’far al-Shadiq (imam kelima), Imam Muhammad al-Baqir (imam keempat), Imam Ali Zainal Abidin (imam ketiga), Imam Husein (imam kedua), dan Imam Ali bin Abi Thalib (imam pertama). Itu artinya, tokoh-tokoh spriritual yang diakui oleh Sunnah juga diakui oleh Syiah.
Di kalangan Syiah pun, Ayatullah Khomeini juga dikenal sebagai komentator kitab ihya’ ‘Ulumuddin karya al-Ghazali yang menjadi rujukan utama Sunnah. Ali Khemenei anak dari Khomeini yang menjadi pemimpin spiritual tertinggi Syiah di Iran saat ini pun menerjemahkan ke dalam bahasa Persia Tafsir fi Dzhilalil Quran karya ulama Sunnah bernama Sayyid Qutb berkebangsaan Mesir. Bahkan, kitab-kitab hadits andalan pengikut sunnah, seperti karya Bukhari dan Muslim, juga dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan Syiah.
Nah, perbedaan-perbedaan di atas itulah yang seharusnya menjadi jembatan proses pembelajaran bagi Sunnah-Syiah. Persamaan itulah, yang sesungguhnya dapat menjadi perekat persaudararaan Islam (ukhuwwah Islamiyyah) di antara para penganut dua aliran itu. Selain kesadaran keislaman, tentu sebagai sebuah bangsa, dua kelompok Sunnah-Syiah pun harus semakin menyadari keberadaannya sebagai bangsa yang terikat dalam sebuah konstitusi yang menjungjung tinggi harkat martabat manusia dan memberikan kebebasan berkeyakinan pada setiap warga negaranya. Semoga konflik Sunnah-Syiah tidak lagi terulang. Amin.
*Ahmad Dicky Sofyan – Aktifis Muda NU Bogor
Sumber: PCNUKabBogor.org
Syiah dalam tradisi kebudayaan dan keagamaan di Indonesia.
Sejumlah ahli dan pengamat sejarah meyakini Syiah adalah ajaran Islam
yang bertama kali masuk ke Indonesia. Hal itu dibuktikan adanya banyak
tradisi keagamaan di Indonesia yang mempunyai akar pengaruh Syiah.
Terlepas dari perdebatan tersebut, rentetan pengaruh Syiah dalam tradisi-tradisi keagamaan di Indonesia tak bisa dibantahkan. Tradisi kebudayaan dan keagamaan yang dijalankan di kalangan muslim Indonesia banyak di antaranya merupakan pengaruh ajaran Syiah.
Ritus-ritus Tabut di Bengkulu, Sumatera dan Gerebek Sura di Yogyakarta dan Ponorogo adalah ritus teologi Syiah.
Tradisi arak-arakan Hayok Tabui di Pariaman, Sumatera Barat yang digelar setiap Muharram kental dengan pengaruh Syiahnya. Tradisi itu sebagai peringatan tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi SAW Sayyidina Husain.
“Setahu saya Tabuik itu peninggalan Islam Syiah di Pariaman,” ujar Peneliti Pusat Pengkajian Pengembangan Sumber Daya (P3SD) Padang Hendri Teja.
Hendri mengaku tidak tahu persis apakah sampai sekarang ini masih banyak penganut Syiah di Pariaman. Yang pasti, ajaran Syiah sempat masuk dan berkembang di Pariaman dengan bukti tradisi bernafaskan Syiah masih dilestarikan hingga sekarang.
Hendri juga tidak mengetahui secara jelas kapan Syiah masuk ke Pariaman. Ada banyak versi. Pertama, Syiah masuk ke Pariaman dibawa langsung dari Persia.
Pariaman dulu merupakan kota dagang, kota pelabuhan di pesisir barat Sumatera. Kota Pariaman lebih dulu ada ketimbang kota Padang.
“Jadi Ulama Syiah datang dari Persia, Gujarat (India) menumpang kapal-kapal dagang ke Pariaman,” tutur Hendri Teja.
Versi kedua, Syiah masuk melalui Kerajaan Aceh yang dulu sempat menguasai Pariaman. Konon Kerajaan Peureulak (Perlak) didirkan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syiah. “Budaya mereka ikut diangkut ke Pariaman,” jelasnya.
Dan versi ketiga, aliran itu dibawa oleh pasukan muslim Thamil India yang lari dari kejaran Inggris. Mereka kemudian bermukim di Pariaman.
Selain itu, ajaran Syiah juga dapat dilihat dari tradisi Jawa Grebeg Suro yang dilaksanakan di Yogyakarta dan sebagian kota di Jawa Tengah.
Kebiasaan orang Jawa yang lebih menganggap Muharram sebagai bulan nahas merupakan pengaruh Syiah karena bulan itu merupakan bulan tewasnya Sayyidina Husain. Masih banyak lagi rentetan pengaruh Syiah dalam tradisi kebudayaan di Indonesia yang terus dilestarikan hingga saat ini.
Dalam ajaran Nahdlatul Ulama (NU) pun pengaruh Syiah harus diakui cukup kuat. Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU sesungguhnya berasal dari tradisi Syiah.
Secara kultural NU adalah Syiah, hal itu pernah diakui mendiang KH Abdurrahman Wahid. Ada beberapa shalawat khas Syiah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren.
Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait.
Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan yang kesemuanya adalah tradisi Syiah.
Terlepas dari apakah Islam pertama yang menyebar di Indonesia Syiah atau Sunni, yang pasti banyak tradisi keagamaan yang hingga kini masih dijalankan oleh kalangan muslim NU bersumber dari perngaruh ajaran Syiah. (ss/sindonews.com).
Tabot, Jejak Syiah dalam Tradisi Indonesia.
Banyak orang menduga bahwa Syiah masuk ke Indonesia di zaman modern. Namun aliran ini terlihat jejak keberadaannya di Nusantara sejak ratusan tahun lalu. Menurut cendekiawan Jalaluddin Rakhmat, jejak Syiah ini terlihat pada beberapa tradisi.
Misalnya, folklor tabot yang biasanya digelar di Bengkulu. Tradisi ini bertujuan untuk memperingati peristiwa di Karbala ketika keluarga Nabi Muhammad SAW dibantai. Tiap tahun, tabot dihelat sejak 1-10 Muharam.
“Mereka bakal merekonstruksi tragedi Karbala dengan rentetan drama kolosal,” ujar Kang Jalal, panggilan Jalaluddin Rakhmat, Rabu, 29 Agustus 2012. Sekitar seribu orang rencananya ikut merayakan peringatan tabot.
Tradisi tabot datang melalui pedagang India yang kapalnya pernah terdampar di Bengkulu. Masyarakat yang berkecimpung dalam tabot tak menyadari bahwa itu adalah tradisi Syiah. Lantaran itu pula, seribu orang yang bergabung dalam tabot tak semuanya menganut Syiah.
“Tradisi ini juga dilakukan di India, Iran, dan negara lain, namun dengan nama dan cara berbeda,” ujarnya.
Di Indonesia, peringatan tragedi Karbala tak cuma dilakukan di Bengkulu. Masyarakat Minang menamai perayaan tabot dengan ‘tabuik’. Di Jawa, ada tradisi menyediakan bubur merah waktu memasuki Muharam. Kata Kang Jalal, kebudayaan Jawa mengakui hari pembantaian keluarga Nabi Muhammad SAW pada 10 Muharam. Ini terlihat dari penggunaan kata syuro sebagai pengganti Muharam.
“Syuro dari kata As-syuro artinya 10,” kata Kang Jalal. “Dan syuro menggantikan nama Muharam jadi 10 Muharam.”
Cendekiawan ini juga mencontohkan tradisi yasinan. Berdasarkan ajaran, penganut Syiah mempunyai kebiasaan menggelar yasinan untuk memperingati hati kematian seseorang. Mereka juga berziarah ke makam untuk mendoakan orang yang telah meninggal. “Kebiasaan itu diikuti pemeluk Islam, meski tak menganut Syiah,” kata dia
.
Sumber: TEMPO.CO
Post a Comment
mohon gunakan email