Pesan Rahbar

Home » » Bukti-Bukti Syaikh Khalid Al Wushabiy Membela Mu’awiyah Dan Mencela Syaikh Hasan Al Malikiy, Berikut Penjelasannya

Bukti-Bukti Syaikh Khalid Al Wushabiy Membela Mu’awiyah Dan Mencela Syaikh Hasan Al Malikiy, Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Monday, 16 November 2015 | 22:33:00

Demi membela Mu’awiyah bin Abu Sufyaan sebagian ulama telah menunjukkan keanehan yang nyata. Mereka mendadak ngawur, nyeleneh dan berhujjah dengan perkataan orang yang tidak berilmu. Sebelumnya kami sudah pernah memberikan contohnya yaitu Syaikh Abdurrahaman Dimasyiqqiyyah.

*****
Keanehan Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah Ketika Membela Mu’awiyah bin Abu Sufyaan
Ada kitab yang cukup “menyenangkan” untuk dipelajari yaitu kitab Istidlaal Asy Syii’ah Bi Sunnah Nabawiyyah Fii Miizaan An Naqd Li ‘Ilmiy yang ditulis oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad Sa’iid Dimasyiqiyyah. Ada begitu banyak isu Sunni Syi’ah yang dibahas dalam kitab yang tebalnya lebih dari seribu halaman ini. Tentu saja dalam tulisan ini kami tidak akan membahas keseluruhan kitab tersebut. Kami hanya akan menampilkan sedikit keanehan Syaikh tersebut dalam membela Mu’awiyah bin Abu Sufyaan.
Isu yang dibahas ini terkait dengan hadis shahih [hasan menurut sebagian ulama] tentang Mu’awiyah bin Abu Sufyaan yang meminum minuman yang diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Secara khusus kami sudah membuat tulisan tersendiri mengenai isu tersebut yang dapat dilihat disini
    1. Hadis Mu’awiyah Meminum Minuman Yang Haram
    ***** 
    Hadis Penyimpangan Muawiyah Dalam Musnad Ahmad
    Muawiyah dikabarkan meminum minuman yang diharamkan oleh Rasulullah SAW dan mengajak orang lain untuk meminumnya. Tindakan seperti ini jelas termasuk penyimpangan yang mesti diluruskan. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad 5/347 no 22991:

    حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني

    Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan aku dahulu memiliki kenikmatan seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”.

    Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata dalam tahqiq Musnad Ahmad bahwa hadis ini sanadnya kuat. Dalam Syarh Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain disebutkan kalau sanadnya shahih. Al Haitsami menyebutkan hadis ini dalam Majma Az Zawaid 5/54 no 8022 dan mengatakan hadis ini telah diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya adalah perawi shahih.

    *****
    2. Hadis Mu’awiyah Meminum Minuman Yang Diharamkan : Membantah Syubhat Salafiy
    *****
    Hadis Muawiyah Meminum Minuman Yang Diharamkan : Bantahan Bagi Salafy
    Salafy nashibi memang tidak akan pernah berhenti membela sahabat pujaan dan pemberi petunjuk bagi mereka yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan. Pembelaan senaif apapun akan tetap ada bahkan dicari-cari berbagai dalih agar setiap hadis yang menyudutkan Muawiyah didhaifkan atau ditakwilkan secara ajaib menjadi keutamaan Muawiyah. Tidak jarang pembelaan itu dibungkus dengan dalih-dalih sok ilmiah untuk menipu kaum awam atau untuk menenangkan pengikut mereka yang kalang kabut kalau membaca hadis shahih tentang aib Muawiyah. Pada tulisan kali ini kami akan membahas syubhat salafy nashibi seputar hadis dimana Muawiyah meminum minuman yang diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

    حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني

    Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” [Musnad Ahmad 5/347 no 22991, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”].

    Syubhat Dalam Sanad
    Syubhat salafy dalam mencari-cari kelemahan hadis ini adalah menyatakan kalau Zaid bin Hubab termasuk perawi yang sering salah. Disebutkan kalau Zaid bin Hubab sering salah dalam riwayatnya dari Sufyan Ats Tsawri. Salafy itu menyatakan kalau Ahmad dan Ibnu Hibban memutlakkan kesalahan itu tidak hanya pada riwayat Ats Tsawri.

    Zaid bin Hubab Ar Rayyan Abu Husain At Taimiy Al ‘Ukliy termasuk perawi Muslim dalam Shahihnya, Ali bin Madini menyatakan ia tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat begitu pula Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat [dalam riwayat Ad Darimi]. Abu Hatim berkata “shaduq shalih”. Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad berkata “Zaid bin Hubab seorang yang shaduq dia mengahafal lafaz-lafaz dari Muawiyah bin Shalih tetapi ia banyak salahnya”. Ibnu Hibban berkata “sering salah, hadisnya diikuti jika ia meriwayatkan dari masyahir [orang-orang yang dikenal] sedangkan riwayatnya dari majahil [orang-orang yang tidak dikenal] maka padanya terdapat hal-hal mungkar. Ibnu Khalfun berkata ia ditsiqatkan Abu Ja’far dan Ahmad bin Shalih. Daruquthni dan Ibnu Makula menyatakan tsiqat. Ibnu Syahin berkata “ia ditsiqatkan Utsman bin Abi Syaibah”. Ibnu Yunus berkata “hadisnya hasan”. Ibnu Ady berkata “ia memiliki banyak hadis dan ia termasuk diantara syaikh-syaikh kufah yang tsabit yang tidak diragukan kejujurannya dan Ibnu Ma’in membicarakan hadis-hadisnya dari Ats Tsawriy yaitu hanya hadis-hadisnya dari Ats Tsawriy yang mengandung keghariban pada sanadnya dan yang dimana ia menyendiri dalam merafa’kan sedangkan hadis Ats Tsawriy lainnya dan hadisnya dari selain Ats Tsawriy semuanya lurus [Tahdzib At Tahdzib juz 3 no 738]. Ibnu Hajar berkata “shaduq sering keliru dalam hadisnya dari Ats Tsawriy” [At Taqrib 1/327 no 2130]
    Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan “seorang ahli ibadah yang tsiqat” [Al Mizan no 2997]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia seorang hafizh khurasan dan kufah tidak ada masalah padanya dan terkadang ragu [Al Kasyf no 1729]. Adz Dzahabi dalam As Siyar berkata “Al Imam Al Hafizh Tsiqat” [As Siyaar 9/393 no 126].

    Tampak dengan jelas kalau Zaid bin Hubab seorang yang tsiqat bahkan Ahmad bin Hanbal sendiri menyatakan kalau ia seorang yang tsiqat dan tidak ada masalah padanya [Al Ilal no 1702]. Bersamaan dengan ketsiqatannya dikatakan pula kalau ia sering salah tetapi ini tidak bersifat mutlak, kesalahan yang dimaksud adalah sebagian riwayatnya dari Ats Tsawriy seperti yang dikatakan Ibnu Ma’in sedangkan riwayatnya selain itu tidak ada masalah.

    Perkataan Imam Ahmad
    Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad berkata Zaid bin Hubab seorang yang shaduq, ia dhabit dalam lafaz dari Muawiyah bin Shalih tetapi ia banyak salahnya [Su’alat Ahmad no 432].

    Salah satu kesalahan yang dimaksud disebutkan sendiri oleh Ahmad bin Hanbal. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Zahiriyyah dari Nimraan Abi Hasan. [Abdullah] berkata Ayahku [Ahmad] berkata telah menceritakan kepada kami Zaid dari kitabnya Nimraan dan dari hafalannya Nammar [Al Ilal no 77].

    Tampak bahwa yang dipermasalahkan oleh Ahmad bin Hanbal adalah riwayat Zaid bin Hubab dari Muawiyah bin Shalih tetapi itu tidak bersifat mutlak untuk semua riwayat dari Muawiyah bin Shalih karena kendati Ahmad mengakui ada kesalahan Zaid dalam riwayat Muawiyah bin Shalih, ia tetap mengatakan kalau Zaid dhabit dalam lafaz dari Muawiyah bin Shalih.

    Bukti lain bahwa Ahmad bin Hanbal tidak memutlakkan kesalahan tersebut adalah dia sendiri banyak mengambil hadis dari Zaid bin Hubab. Zaid bin Hubab termasuk syaikh [guru] Ahmad bin Hanbal dan tentu saja sebagai seorang murid ia lebih mengetahui kesalahan yang ada dalam riwayat gurunya. Oleh karena itu hadis-hadis Zaid bin Hubab yang diambil Ahmad bin Hanbal dan dimasukkan ke dalam Musnad-nya jelas terbebas dari kesalahan yang dimaksud Ahmad bin Hanbal. Jika Ahmad bin Hanbal menganggap hadis Zaid itu salah maka ia akan meninggalkan hadis Zaid tersebut dan ia tidak akan memasukkan hadis itu ke dalam Musnad-nya .

    Perkataan Ibnu Hibban
    Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat berkata “termasuk yang sering salah, hadisnya diikuti jika meriwayatkan dari masyaahir sedangkan riwayatnya dari orang-orang majhul maka di dalamnya terdapat pengingkaran” [Ats Tsiqat juz 8 no 13277].

    Tidak ada dalam pernyataan Ibnu Hibban kalau kesalahan tersebut bersifat mutlak, pernyataan Ibnu Hibban jelas memerlukan perincian dan ulama lain telah memberikan perincian diantaranya Ibnu Ma’in soal sebagian riwayat Zaid dari Ats Tsawriy atau Ahmad bin Hanbal soal  sebagian riwayat Zaid dari Muawiyah bin Shalih. Apalagi tampak dalam zahir perkataan Ibnu Hibban kalau kesalahan tersebut termasuk juga riwayat Zaid bin Hubab dari perawi majhul.

    Hal ini disebutkan pula oleh Adz Dzahabi dalam Al Mizan, selain membawakan riwayat gharib Zaid bin Hubab dari Ats Tsawriy, ia juga membawakan riwayat Zaid bin Hubab dari Dawud bin Mudrik seorang yang tidak dikenal [Al Mizan no 297]. Tentu saja riwayat Zaid bin Hubab dari perawi yang majhul tidaklah menjadi cacat bagi Zaid melainkan cacat bagi perawi majhul tersebut.

    Bukti lain kalau Ibnu Hibban tidak memutlakkan kesalahan tersebut adalah ia banyak memasukkan hadis Zaid bin Hubab [termasuk riwayatnya dari Husain bin Waqid] dalam kitab Shahih-nya diantaranya Shahih Ibnu Hibban 2/474 no 700 dan Shahih Ibnu Hibban 6/281 no 2540. Kedua hadis ini telah dijadikan hujjah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban yaitu dengan jalan sanad dari Zaid bin Hubab dari Husain bin Waqid dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya secara marfu’.

    Kesimpulan kedudukan Zaid bin Hubab adalah seorang yang tsiqat sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama tetapi ia memiliki kesalahan diantaranya riwayatnya dari Ats Tsawriy tetapi hal ini tidak memudharatkan riwayatnya yang lain. Kedudukan perawi seperti ini adalah periwayatannya diterima sampai ada bukti kalau ia keliru. Para ulama telah banyak menerima riwayat Zaid bin Hubab [termasuk riwayat dari Husain bin Waqid] diantaranya Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban [sebagaimana disebutkan di atas] dan Imam Muslim sebagaimana yang disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal [Tahdzib Al Kamal no 2095].

    Klaim Tafarrud Zaid bin Hubab
    Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Tarikh-nya 2/677 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 27/126-127 dengan jalan sanad dari Ahmad bin Syabbuuyah dari Ali bin Husain bin Waqid dari ayahnya dari Abdullah bin Buraidah yang berkata “aku bersama ayahku masuk menemui Muawiyah”. Riwayat ini jelas tidak lengkap sedangkan riwayat yang lengkap telah disebutkan dalam riwayat Zaid bin Hubab sebagaimana disebutkan oleh Ahmad bin Hanbal.

    Ali bin Husain bin Waqid disebutkan oleh Abu Hatim bahwa ia dhaif hadisnya. Nasa’i berkata tidak ada masalah padanya. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 7 no 523]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa menyebutkan salah satu hadisnya dan berkata “tidak memiliki mutaba’ah” [Adh Dhu’afa 3/226 no 1226]. Ibnu Hajar berkata “shaduq terkadang ragu” dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau dia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 4717].

    Tampak jelas dalam riwayat Ali bin Husain bin Waqid dari ayahnya kalau riwayat tersebut tidak lengkap hanya menyebutkan awal kisah dimana Abdullah bin Buraidah dan ayahnya menemui Muawiyah sedangkan riwayat Zaid bin Hubab menyebutkan kisah tersebut dengan lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa Ali bin Husain bin Waqid tidaklah dhabit sehingga ia tidak menghafal seluruh riwayat tersebut sehingga riwayatnya disini mesti dipalingkan kepada riwayat Zaid bin Hubab yang dikenal tsiqat.

    Dengan dasar ini tidak ada alasan untuk menjadikan riwayat ini sebagai tafarrudnya Zaid bin Hubab karena Ali bin Husain bin Waqid bukan seorang yang dikenal tsiqat dan dhabit bahkan kedudukannya jauh dibawah Zaid bin Hubab. Riwayat ini justru menjadi bukti kalau Ali bin Husain bin Waqid tidak dhabit dalam menghafal riwayat tersebut. Berbeda halnya jika Ali bin Husain bin Waqid ini seorang yang tsiqat tsabit maka benarlah kalau Zaid bin Hubab tafarrud dengan tambahan lafaz tersebut dari Husain bin Waqid. Singkat kata syubhat salafy dalam melemahkan hadis ini hanyalah dalih yang dicari-cari atau mengada-ada demi membela aib Muawiyah.
    .
    .
    Penukilan Al Haitsami
    Mengenai penukilan Al Haitsami dimana ia menuduh kami menyembunyikan perkataan Al Haitsami di bagian akhir jelas perlu diluruskan. Ketika kami menuliskan riwayat ini kami hanya mengutip pendapat Al Haitsami terhadap kedudukan hadis tersebut yaitu diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya perawi shahih. Sedangkan perkataan Al Haitsami bahwa “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan” menunjukkan sikap Al Haitsami yang menolak sebagian matan hadis tersebut karena mengandung perkara yang bersifat aib bagi sahabat yaitu Muawiyah. Kami meninggalkan perkataan Al Haitsami tersebut karena tidak bernilai hujjah.

    Sedangkan andai-andai salafy kalau yang dimaksud Al Haitsami adalah ia tinggalkan karena tafarrud riwayat tersebut jelas mengada-ada dengan dua alasan:
    • Telah dibahas di atas kalau tafarrud yang dimaksud hanyalah klaim semata yang tidak terbukti kebenarannya karena dasar pernyataan tafarrud adalah hadis dari Ali bin Husain bin Waqid yang kedudukannya jelas lebih rendah dari Zaid bin Hubab yang dikenal tsiqat. Kedudukan sebenarnya riwayat Zaid bin Hubab adalah riwayat lengkap sedangkan riwayat Ali bin Husain bin Waqid tidak lengkap.
    • Tafarrud yang ditunjukkan salafy itu tidak terbatas pada perkataan Muawiyah tetapi juga perkataan Abdullah bin Buraidah yaitu “ia mempersilakan kami duduk di hamparan. Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”. Seandainya tafarrud ini menjadi alasan bagi Al Haitsami maka tidak mungkin ia mengkhususkannya dengan perkataan Muawiyah semata. Lihat kembali perkataan Al Haitsami di bagian akhir “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan”.

    Jadi sebenarnya disini yang bersangkutan itu sok merasa yang paling paham terhadap perkataan Al Haitsami padahal sebenarnya itu hanyalah dalih-dalih dirinya yang mengatasnamakan Al Haitsami.

    Syubhat Dalam Matan
    Setelah puas membuat syubhat pada sanad riwayat tersebut, salafy itu bertingkah membuat syubhat pula pada matan riwayatnya. Syubhat itu memang agak ajaib karena hasil akhirnya riwayat yang menjadi aib bagi Muawiyah disulap menjadi keutamaan bagi Muawiyah. Riwayat bahwa Muawiyah meminum minuman yang diharamkan disulap menjadi riwayat bahwa Muawiyah tidak lagi meminum minuman yang diharamkan dan lebih menyukai susu serta adab tinggi Muawiyah dalam menjamu tamu. Betapa lucunya logika orang yang tergila-gila dengan Muawiyah. Kami akan membahas syubhat tersebut. Salafy itu mengatakan kalau lafaz:

    ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم

    Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

    Adalah perkataan Muawiyah bukan perkataan Buraidah. Jelas ini kekeliruan yang nyata dan buktinya terletak pada riwayat itu sendiri. Jika dianalisis dengan baik maka sangat jelas kalau lafaz tersebut adalah perkataan Buraidah. Awalnya Abdullah bin Buraidah berkata:

    عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي

    Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada kami dan kami memakannya kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku.

    Perhatikan lafaz “maka Muawiyah meminumnya”. Ini menunjukkan kalau Muawiyah telah meminum minuman tersebut. Kemudian setelah Muawiyah menawarkan kepada Buraidah riwayat tersebut dilanjutkan dengan lafaz yang berkata:

    ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم

    Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

    Perhatikan kata:

    ما شربته

    yang artinya “tidak meminumnya”. Kata “nya” disitu merujuk pada minuman yang didatangkan atau ditawarkan kepada Buraidah. Sehingga perkataan “tidak meminumnya” artinya orang yang dimaksud tidak meminum minuman tersebut dengan alasan “sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Maka bagaimana mungkin lafaz ini menjadi perkataan Muawiyah padahal dengan jelas dalam riwayat tersebut sebelumnya terdapat lafaz:

    فشرب معاوية

    “maka Muawiyah meminumnya” Muawiyah terlebih dahulu minum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah dan Buraidah berkata “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Inilah yang benar, seandainya kita mengikuti kekonyolan salafy tersebut maka riwayat tersebut berbunyi begini.

    Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada kami dan kami memakannya kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Muawiyah berkata “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. 

    Apa jadinya kisah ini, Muawiyah meminum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah seraya Muawiyah berkata aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah. Jadi maksudnya Muawiyah sudah tahu kalau minuman itu haram dan ia tetap meminumnya dihadapan Buraidah kemudian menawarkan kepada Buraidah minuman haram tersebut seraya berdusta aku tidak pernah meminumnya sejak diharamkan Rasulullah. Lha jelas saja dusta karena barusan dihadapan Buraidah Muawiyah meminum minuman tersebut. Dan kalau mengikuti perandaian salafy bahwa minuman itu susu maka disini Muawiyah mengakui kalau susu itu diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

    Inilah kekacauan yang timbul dalam makna riwayat tersebut jika lafaz Buraidah itu dikatakan sebagai lafaz Muawiyah. Salafy itu mungkin mengetahui kerancuan ini oleh karena itu ia membuat teks atau lafaz riwayat sendiri yaitu dengan kata-kata:
    Ada kemungkinan Mu’aawiyyah mengucapkan hal itu sebagai penjelasan bahwa “ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan ia lebih menyukai susu”. Itulah yang terlihat secara dhahir keseluruhan lafadh riwayat.

    Perkataan ini jelas tidak bernilai hujjah karena lafaz yang dimaksud bukanlah “aku tidak lagi minum minuman yang haram sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” tetapi lafaznya adalah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Dan telah jelas dalam riwayat tersebut kalau “nya” dalam kata “meminumnya” adalah minuman yang disajikan atau ditawarkan kepada Buraidah.

    Salafy itu menolak perkataan Buraidah hanya dengan asumsi kalau memang perkataan itu perkataan Buraidah maka mengapa hanya sekedar mengabarkan tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa tidak ada pengingkaran yang nyata dari Buraidah. Jawabannya ya mudah saja : justru pengkhabaran kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaharamkannya adalah pengingkaran yang paling nyata. Tidak ada hujjah yang paling utama kecuali hujjah atas nama Allah dan Rasul-Nya.

    Salafy itu juga menolak kalau Muawiyah meminum khamar dengan alasan ia sendiri meriwayatkan hadis soal hukuman bagi yang meminum khamar. Kami katakan: tidak usah jauh-jauh, khamar itu telah diharamkan di dalam Al Qur’an jadi sangat jelas semua orang dan semua sahabat tahu tetapi diriwayatkan ternyata ada juga sahabat yang pernah meminum khamar selepas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat tidak hanya Muawiyah. Jadi tidak ada alasan untuk menolak Muawiyah meminum khamar walaupun ia sendiri meriwayatkan hadis hukuman bagi peminum khamar.

    Salafy mengatakan bahwa yang disajikan Muawiyah kepada Buraidah dan anaknya adalah susu bukannya khamar. Ia berhujjah dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah berikut:

    حدثنا زيد بن الحباب عن حسين بن واقد قال حدثنا عبد الله بن بريدة قال : قال : دخلت أنا وأبي على معاوية، فأجْلَسَ أبي على السَّرير، وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ، فقال معاوية:”ما شيءٌ كنتُ أستَلِذَّهُ وأنا شابٌّ فآخُذُهُ اليومَ إلا اللَّبَنَ؛ فإني آخُذُه كما كنتُ آخُذُه قَبْلَ اليَومِ، والحديثَ الحَسَنَ

    Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia [Mu’aawiyyah] mempersilakan duduk ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah] meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].

    Riwayat ini adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Zaid bin Hubab sedangkan riwayat yang kami kutip sebelumnya adalah riwayat Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Hubab. Kedua riwayat ini menyebutkan kisah yang sama hanya saja riwayat Ahmad lebih lengkap dari riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah tidak terdapat perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” sebagaimana yang nampak dalam riwayat Ahmad. Ini adalah ziyadah tsiqat dari Ahmad dan tidak ada keraguan untuk diterima.

    Salafy itu menafsirkan riwayat tersebut dengan prasangka kalau yang disajikan kepada Buraidah dan anaknya adalah susu. Zhan ini tertolak dengan dasar riwayat Ahmad yang menyebutkan perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Sejak kapan susu diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.  Kalau memang itu adalah susu tidak mungkin Buraidah menolak seraya berkata itu telah diharamkan. Tampak dalam zahir riwayat kalau Buraidah dan anaknya tidak meminum minuman tersebut melainkan Muawiyahlah yang meminumnya. Sebagaimana yang tertera dalam riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Abi Syaibah

    ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية

    Kemudian didatangkan kepada kami makanan maka kami memakannya kemudian didatangkan kepada kami minuman maka Muawiyah meminumnya. [riwayat Ahmad]

    وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ

    Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah] meminumnya [riwayat Ibnu Abi Syaibah].

    Hujjah salafy itu hanya bersandar pada perkataan Muawiyah dibagian akhir riwayat Ibnu Abi Syaibah kalau yang dia ambil pada hari ini adalah susu. Kami jawab : Muawiyah sudah terbiasa berdalih jika ia merasa disudutkan atau ada hadis yang menyudutkannya, sebagaimana yang tergambar dalam salah satu riwayat

    حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

    Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].

    Perkataan Muawiyah kalau yang membunuh Ammar adalah Imam Ali jelas sebuah kekonyolan dan hinaan yang nyata kepada Imam Ali. Perkataan Muawiyah ini hanyalah dalih yang dicari-cari ketika ia merasa tersudut. Bagaimana mungkin Ammar radiallahu ‘anhu yang berperang disisi Imam Ali dan telah syahid dikatakan kalau Imam Ali yang membunuhnya?. Apakah sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang syahid di badar dan uhud itu mati karena dibunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang membawanya?, nauzubillah, kami berlindung kepada Allah SWT dari cara berpikir yang demikian dan ternyata begitulah dalam pandangan Muawiyah.

    Kembali ke riwayat yang kita bahas. Perkataan Muawiyah disini hanya sekedar dalih ketika ia tersudut oleh perkataan Buraidah kalau minuman tersebut haram dan ia nyata-nyata meminumnya. Sehingga ia berdalih kalau minuman tersebut susu sambil menyindir Buraidah dengan pujian. Perhatikan perkataan Muawiyah:

    غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني

    Kecuali susu atau orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku [riwayat Ahmad].

    Kalau salafy mengatakan susu yang ada disana dengan hujjah perkataan Muawiyah maka kita katakan “orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” adalah Buraidah. Karena pada hari itu atau saat itu Buraidahlah yang berbicara kepada Muawiyah dengan perkataan “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.

    Bukankah keduanya itu yaitu “susu” dan “perkataan baik” yang dikatakan Muawiyah ia ambil pada hari itu. Kalau memang susu yang disajikan kok bisa-bisanya Muawiyah mengatakan perkataan Buraidah itu baik, apa mengatakan susu diharamkan adalah perkataan yang baik?. Singkat kata tidak ada gunanya menjadikan perkataan Muawiyah ini sebagai hujjah karena sangat terlihat itu hanyalah dalih-dalih yang biasa ia lakukan.
    Tentu bagi salafy mereka lebih memilih menjadikan perkataan Muawiyah itu sebagai hujjah. Ya jelas karena Muawiyah adalah pemberi petunjuk bagi mereka. Apapun aib yang ada pada Muawiyah harus disucikan dengan dalih membantah syiah seraya menuduh keji kepada mereka yang berani membongkar aib Muawiyah walaupun pada kenyataannya hanya menukil dari hadis shahih. Jadi dapat dimaklumi kalau gaya bersilat lidah Muawiyah ini diwarisi oleh para pengikut salafy yang memang gemar membela Muawiyah. Salam Damai

    Sedikit Tambahan
    Tambahan ini sekedar ingin menunjukkan sikap keras kepala salafy dalam membela Muawiyah dan keburukannya. Diantara perkataan salafy yang dimaksud yaitu ia mengklaim tidak ada ulama atau muhaqqiq yang menyatakan kalau perkataan itu milik Buraidah. Ucapan ini jelas dusta karena Imam Ahmad sendiri selaku periwayat hadis ini memahami perkataan tersebut sebagai perkataan Buraidah bukan perkataan Muawiyah.

    Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam Musnad sahabat Anshar yaitu dalam Hadis Buraidah Al Aslamiy. Buktinya dapat anda lihat disitus ini
    sekarang perhatikan kembali hadis di atas.

    ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني

    Yang kami cetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah. Nah jika salafy beranggapan kalau yang dicetak merah adalah perkataan Muawiyah maka sudah jelas dalam hadis tersebut tidak ada satupun perkataan Buraidah. Hal ini bertentangan dengan keterangan Imam Ahmad bin Hanbal yang memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamiy. Secara zahir menurut keterangan Imam Ahmad tersebut maka
    • Riwayat yang dicetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah
    • Riwayat yang dicetak merah adalah perkataan Buraidah Al Aslamiy
    • Riwayat yang dicetak hitam adalah perkataan Muawiyah

    Jadi sangat jelas Imam Ahmad memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamy karena ia sendiri beranggapan kalau perkataan yang dicetak merah tersebut adalah perkataan Buraidah. Tentunya Imam Ahmad bin Hanbal selaku yang meriwayatkan hadis ini lebih mengetahui maksud perkataan dalam hadis yang ia riwayatkan.

    Diantara perkataan salafy lainnya yang menunjukkan keanehan adalah ketika ditanya soal manhaj Imam Ahmad mengenai para syaikh-nya. Ia mengatakan kalau Ahmad bin Hanbal tidak mensyaratkan kalau syuyukh-nya dalam kitab Musnad tidak ia jarh. Pernyataan ini benar tetapi tidak mengena dengan yang kami bicarakan di atas. Dalam Musnad Ahmad, Imam Ahmad mensyaratkan kalau syuyukh-nya adalah orang yang dipercaya olehnya. Kendati terdapat beberapa yang ia jarh dengan jarh “banyak salah”. Kami tidak menafikan hal ini.

    Yang kami tekankan adalah jarh tersebut tidak dapat dijadikan cacat riwayat tersebut karena Ahmad bin Hanbal sendiri menerima riwayat yang dimaksud sehingga ia memasukkan dalam Musnad-nya. Artinya hadis atau riwayat ini tidak termasuk dalam kesalahan yang ada dalam jarh “banyak salah” Imam Ahmad terhadap syaikh-nya Zaid bin Hubab. Jika riwayat ini termasuk diantara “banyak salah-nya” Zaid bin Hubab maka Ahmad bin Hanbal tidak akan memasukkan riwayat ini kedalam Musnad-nya. Kesimpulannya mencacatkan hadis ini dengan jarh dari Ahmad bin Hanbal jelas tidak bisa diterima.

    Soal dhamir “hu” dalam lafaz di atas maka kami tidak perlu menanggapi ocehan salafy yang tidak karuan. Sudah jelas bagi yang mengerti bahasa arab dengan baik maka dhamir “hu” disana merujuk pada minuman yang ditawarkan kepada Buraidah. Ini adalah fakta riwayat yang tidak bisa dinafikan begitu saja kecuali jika yang bersangkutan asal ngotot membuat pembelaan yang ngawur. Cukup ini saja tambahan singkat dari kami.
    *****
      Dalam tulisan ini kami lebih memfokuskan pada keanehan Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah ketika membahas hadis tersebut.

      حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني

      Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di atas tikar. Ia menyajikan makanan kepada kami maka kami memakannya kemudian ia menyajikan kepada kami minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. [Ayahku] berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Kemudian Mu’awiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan paling bagus giginya, tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” [Musnad Ahmad 5/347 no 22991, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”].


      Keanehan pertama adalah Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah seolah tidak mengenal perawi yang bernama Zaid bin Hubaab. Ia menukil pendapat Syaikh Al Albani yang terkesan aneh, Syaikh berkata



      فإن في السند زيد بن الحباب وهو كما قال الشيخ الألباني « ضعيف. لم يوثقه غير ابن حبان» معجم أسامي الرواة2/75 نقلا عن ضعيف الأدب المفرد77

      Sesungguhnya di dalam sanadnya ada Zaid bin Hubaab dan ia sebagaimana dikatakan Syaikh Al Albaaniy dhaif, tidak ada yang menyatakan tsiqat kecuali Ibnu Hibban (Mu’jam Asaamiy Ar Ruwaah 2/75 yang menukil dari Dhaif Adabul Mufraad hal 77) [kitab Istidlaal Asy Syii’ah Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah hal 977].

      Perkataan “dhaif” tersebut adalah dusta atas Syaikh Al Albaaniy. Kalau kita melihat apa yang tertulis dalam kitab Mu’jam Asaamiy Ar Ruwaah 2/75 maka tidak ada disebutkan disana lafaz “dhaif”.



      Zaid bin Hubaab [Dhaiif Al Adab hal 77] “tidak ditsiqatkan selain Ibnu Hibban” [7/179] [6/314].

      Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah dan penulis kitab Mu’jam Asaamiy Ar Ruwaah telah keliru dalam memahami perkataan Syaikh Al Albaaniy. Inilah yang dikatakan Syaikh Al Albaaniy dalam Dhaif Adabul Mufraad hal 77.



      ‘Umar bin ‘Utsman yang ada dalam sanad hadis ini “fiihi jahalah” [tidak dikenal] karena tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Zaid bin Hubaab dan ia yang meriwayatkan disini, dan tidak ditsiqatkan selain Ibnu Hibbaan [7/179].

      Mereka mengira lafaz “tidak ditsiqatkan selain Ibnu Hibbaan” itu tertuju pada Zaid bin Hubaab padahal sebenarnya itu tertuju pada ‘Umar bin ‘Utsman. Syaikh Al Albaaniy dengan jelas menyebutkan sumber penukilan Ibnu Hibbaan yaitu Ats Tsiqat 7/179.


      عمر بن عُثْمَان بْن عَبْد الرَّحْمَن بْن سعيد بن يَرْبُوع الصرم المَخْزُومِي الْقرشِي من أهل الْمَدِينَة يَرْوِي عَن جده عَن أَبِيه وَله صُحْبَة رَوَى عَنْهُ زيد بْن الْحباب وَهُوَ أَخُو مُحَمَّد بْن عُثْمَان

      ‘Umar bin ‘Utsman bin ‘Abdurrahman bin Sa’iid bin Yarbuu’ Ash Sharam Al Makhzuumiy Al Qurasyiy termasuk penduduk Madinah, meriwayatkan dari kakeknya dari ayahnya yang merupakan sahabat Nabi, telah meriwayatkan darinya Zaid bin Hubaab, dan ia adalah saudara Muhammad bin ‘Utsman [Ats Tsiqat Ibnu Hibbaan 7/179].

      Kami merasa begitu aneh dengan adanya kesalahan seperti ini. Menurut kami, orang-orang yang akrab dengan kitab Rijal dan kitab Hadis tidak akan mudah terjatuh dalam kesalahan seperti ini. Zaid bin Hubaab adalah perawi yang dikenal tsiqat atau shaduq, jadi kalau ada ulama yang mengatakan ia dhaif dan tidak ditsiqatkan selain Ibnu Hibbaan maka pikiran mereka pasti akan terusik untuk meneliti kebenarannya dan tidak mencukupkan diri dengan nukilan yang terasa asing.

      Keanehan lain yaitu ketika Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah menyatakan lafaz “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah” sebagai perkataan Mu’awiyah. Syaikh berhujjah ini adalah perkataan Mu’awiyah dengan dasar bahwa hadis ini dimasukkan oleh para hafizh seperti Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Katsiir dalam Musnad Mu’awiyah bin Abu Sufyaan


      قوله (ما شربته منذ..) هذا من كلام معاوية وليس من كلام عبد الله بن بريدة وهكذا جعله جميع الحفاظ في مسند معاوية مثل ابن كثير في جامع المسانيد والإمام أحمد في المسند في مسند معاوية

      Perkataan [aku tidak meminumnya sejak…] ini adalah perkataan Mu’awiyah bukan perkataan ‘Abdullah bin Buraidah dan karena itulah sekumpulan hafizh memasukkannya dalam Musnad Mu’awiyah seperti Ibnu Katsiir dalam Jaami’ Al Masaanid dan Imam Ahmad dalam kitab Musnad dalam Musnad Mu’awiyah [kitab Istidlaal Asy Syii’ah Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah hal 978].

      Sungguh perkataan ini luar biasa anehnya jika tidak mau dikatakan dusta. Justru para hafizh seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu Katsiir dan Ibnu Hajar memasukkan hadis tersebut dalam Musnad atau hadis Buraidah Al Aslamiy [radiallahu ‘anhu].

      Musnad Ahmad bin Hanbal tahqiq Ahmad Ma’bad ‘Abdul Kariim juz 10 hal 5435-5436




      Sengaja kami ambil dari kitab Musnad Ahmad tahqiq Ahmad Ma’bad Abdul Kariim bukan tahqiq Ahmad Syaakir atau tahqiq Syu’aib Al Arnauth untuk memudahkan para pembaca melihat bahwa hadis tersebut dimasukkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam bab “Hadis Buraidah Al Aslamiy”

      Jaami’ Al Masaaniid Ibnu Katsiir juz 1 hal 471 hadis no 937


      Bisa dilihat di sudut kiri atas bahwa hadis tersebut masuk dalam musnad Buraidah Al Aslamiy [radiallahu ‘anhu] atau bisa diperhatikan daftar isi berikut dimana hal 471 itu masuk dalam Musnad Buraidah yaitu bab riwayat ‘Abdullah bin Buraidah dari Buraidah Al Aslamiy.


      Ithaaful Maharah Ibnu Hajar juz 2 hal 597 hadis no 2354



      Silakan perhatikan sudut kiri atas, itu adalah bukti bahwa Ibnu Hajar memasukkan hadis tersebut dalam Musnad Buraidah yaitu riwayat ‘Abdullah bin Buraidah darinya. Kesimpulannya perkataan tersebut adalah perkataan Buraidah [radiallahu ‘anhu] maka oleh karena itulah para hafizh memasukkan hadis tersebut dalam Musnad atau Hadis Buraidah.

      Fenomena keanehan para ulama ketika membela Mu’awiyah bin Abu Sufyan bukanlah hal yang baru bagi kami. Dan wajar kalau keanehan ini diikuti oleh para pengikut mereka. Hanya orang-orang objektif saja yang bisa melihat keanehan ini dan meninggalkannya. Semoga Allah SWT senantiasa menunjukkan kepada kami jalan yang lurus.

      *****
      Kali ini kami persilakan para pembaca melihat video berikut [dalam bahasa arab dan sumbernya dari sini]


      Dalam video singkat di atas Syaikh Khalid Al Wushabiy membahas tentang hadis Muawiyah yang mati tidak dalam agama Islam dimana hadis ini telah dishahihkan oleh Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy. Syaikh Khalid Al Wushabiy menyatakan hadis tersebut dhaif dan menuduh Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy melakukan talbis.

      Kami sudah pernah membahas secara khusus tentang hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam. Hadis tersebut shahih dan telah kami bahas secara detail syubhat-syubhat yang melemahkan hadis tersebut. Silakan bagi yang berminat dapat membaca tulisan kami:

      1. Shahih : Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam
       *****
      Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam?
      Terdapat hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam

      Kami akan mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan kami tidak peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah membaca tulisan ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis dalam kitab. Jadi kami tidak mengada-ada.

      Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Ash dari Rasulullah SAW sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121.

      عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية

      Dari Abdullah bin Amru yang berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari jalan tersebut”.

      Hadis ini diriwayatkan oleh Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf dengan dua jalan sanad yaitu:

      حدثني عبد الله بن صالح حدثني يحيى بن آدم عن شريك عن ليث عن طاووس عن عبد الله بن عمرو

      Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Yahya bin Adam dari Syarik dari Laits dari Thawus dari Abdullah bin Amru [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121]

      حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص

      Telah menceritakan kepadaku Ishaq dan Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120]

      Sanad pertama semuanya adalah perawi Muslim oleh karena itu Syaikh Al Ghumari menyatakan hadis tersebut shahih dengan syarat Muslim. Tetapi walaupun semuanya perawi Muslim terdapat cacat pada sanadnya yaitu Abdullah bin Shalih dan Laits. Mereka berdua walaupun seorang yang shaduq telah diperbincangkan oleh para ulama mengenai hafalannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam At Taqrib 1/501 kalau Abdullah bin Shalih jujur tetapi banyak melakukan kesalahan dan At Taqrib 2/48 kalau Laits bin Abi Sulaim jujur tetapi mengalami ikhtilath. Jadi sanad pertama itu dhaif.

      Sanad kedua telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat yaitu Ishaq, Abddurrazaq, Ma’mar, Ibnu Thawus dan Thawus. Hanya satu orang yang tidak diketahui kredibilitasnya yaitu Bakr bin Al Haitsam tetapi ini tidak menjadi masalah karena ia meriwayatkan hadis ini bersama dengan Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat dan ma’mun.
      • Ishaq adalah Ishaq bin Abi Israil termasuk gurunya Al Baladzuri, ia perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Nasa’i. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 1 no 415, dimana Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Daruquthni, Al Baghawi, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 1/79 Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 338 kalau Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat ma’mun.
      • Abdurrazaq bin Hammam adalah perawi kutubus sittah dimana Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan hadisnya. Ia seorang hafiz yang dikenal tsiqat sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/599.
      • Ma’mar adalah Ma’mar bin Rasyd perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 10 no 441 menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ajli, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i. Dalam At Taqrib 2/202 ia dinyatakan tsiqat tsabit.
      • Abdullah bin Thawus adalah putra Thawus bin Kisan, ia seorang perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 5 no 459 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Daruquthni. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/503 menyatakan Ibnu Thawus tsiqat.
      • Thawus bin Kisan Al Yamani adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ia termasuk perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/449 menyatakan kalau Thawus tsiqat.
      Jadi dapat disimpulkan kalau sanad kedua itu diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sehingga sanadnya shahih. Dengan melihat kedua sanad hadis tersebut maka kedudukan hadis tersebut sudah jelas shahih. Sanad pertama berstatus dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad kedua yang merupakan sanad yang shahih. Sekedar informasi hadis ini telah dishahihkan oleh Syaikh Al Ghumari, Syaikh Hasan As Saqqaf, Syaikh Muhammad bin Aqil Al Alawy dan Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliki.

      Sudah jelas para Nashibi tidak akan rela dengan hadis ini dan mereka memang akan selalu mencari-cari cara atau dalih untuk melemahkan hadis tersebut. Terus terang kami tertarik melihat dalih-dalih nashibi untuk mencacatkan hadis ini. Kita tunggu saja.

      Salam Damai
      *****

      2. Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam : Bantahan Syubhat Salafiy
      *****

      Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam : Bantahan Terhadap Salafy
      Tidak diragukan kalau Muawiyah pernah menjadi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi hal ini tidak membuatnya menjadi orang suci seperti yang digembar-gemborkan oleh para nashibi. Muawiyah termasuk sahabat yang cukup banyak membuat penyimpangan dalam syari’at. Ini bukan tuduhan atau celaan tetapi fakta yang tertera dalam berbagai kitab hadis yang tidak pernah diungkapkan oleh salafy nashibi dengan dalih “menahan diri dari mencaci sahabat”. Salafy nashibi bisa dibilang cinta mati terhadap sahabat yang suka “memusuhi ahlul bait”. Jika syiah mencela sahabat mereka naik pitam menyesatkan dan teriak sana sini tetapi jika Muawiyah mencela Imam Ali mereka mati-matian membela Muawiyah. 

      Dan yah mungkin kita sebagai ahlus sunnah harus mengingat kembali tragedy mengerikan karena ulah anaknya Muawiyah yang bernama Yazid yaitu pembantaian terhadap Ahlul Bait Nabi Imam Husain AS beserta keluarganya. Anehnya dengan fakta ini tahukah para pembaca bahwa di bawah kolong langit hanya ada satu kaum yang dengan getol membela Yazid bahkan membuat-buat “keutamaan Yazid bin Muawiyah” yaitu salafy nashibi.

      Keutamaan Muawiyah?
      Sebelum membahas lebih rinci hadis ini maka kami katakan terlebih dahulu metode yang benar dalam penilaian adalah tidak hanya bergantung pada satu atau beberapa hadis saja. Apalagi jika membahas kedudukan seorang seperti Muawiyah. Oleh karena itu kami telah banyak membahas berbagai tulisan tentang Muawiyah. Salafy sangat bersemangat dalam membela orang-orang yang menyakiti dan memusuhi Ahlul Bait bahkan dengan dalih-dalih yang naïf terkesan ilmiah bagi orang awam tetapi jika diteliti baik-baik jelas sangat dipaksakan. Dalih pertama yang menggelikan adalah ia mengutip ayat Al Qur’an berikut

      لَقَدْ تابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ والمُهاجِرينَ والأنْصارِ الَّذينَ اتَّبَعُوهُ في سَاعَةِ العُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ ما كادَ يَزِيغُ قُلوبُ فَريقٍ مِنهم ثُمَّ تابَ عَلَيْهِم، إنَّهُ بِهِم رَؤوفٌ رَحيمٌ

      “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [QS. At-Taubah : 117].

      Kami tidak mengerti dari mana datang pikiran yang menyatakan ayat ini sebagai keutamaan bagi Muawiyah, mengingat Muawiyah bukanlah orang yang ikut berhijrah atau orang dari golongan Muhajirin dan bukan pula orang dari golongan Anshar yang merupakan penduduk Madinah.

      Dalihnya yang kedua adalah hadis Ummu Haram dimana salafy nashibi itu ingin menunjukkan keutamaan Muawiyah dan anaknya Yazid. Berikut hadis yang dimaksud:

      حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ حِمْصَ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ أُمُّ حَرَامٍ قَالَ عُمَيْرٌ فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ فَقُلْتُ أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا

      Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Yaziid Ad-Dimasyqiy telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata telah menceritakan kepadaku Tsaur bin Yaziid, dari Khaalid bin Ma’daan bahwa ‘Umair bin Al-Aswad Al-‘Ansiy telah menceritakan kepadanya bahwa dia pernah menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia sedang berada di rumahnya, dan Ummu Haram ada bersamanya. ‘Umair berkata “Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pasukan dari umatku yang pertama kali berperang dengan mengarungi lautan, telah diwajibkan padanya [pahala]”. Ummu Haram berkata : Aku katakan : “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka ?”. Beliau bersabda : “Ya, kamu termasuk dari mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bersabda : “Pasukan dari umatku yang pertama kali akan memerangi kota Qaishar [Romawi] akan diberikan ampunan”. Aku katakan : “Apakah aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Tidak” [Shahih Al-Bukhaariy no. 2924].

      Tidak ada pada hadis ini disebutkan bahwa keutamaan itu terkhususkan untuk Muawiyah ataupun Yazid. Mereka salafiyun mengandalkan sejarah bahwa Muawiyah ikut berperang mengarungi lautan dan Yazid orang yang memerangi kota Qaishar. Tetapi tentu saja hujjah seperti ini adalah buntung karena mereka tidak memperhatikan fakta historis lain yang bisa menjungkirbalikkan pendalilan mereka.

      Disebutkan dalam sejarah bahwa Yazid bin Muawiyah inilah yang memerintahkan untuk memerangi dan membunuh penduduk Madinah pada peristiwa Al Harrah yang mengerikan padahal terdapat hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

      حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا حسين بن علي الجعفي عن زائدة عن سليمان عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال المدينة حرم فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل منه يوم القيامة عدل ولا صرف

      Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata menceritakan kepada kami Husain bin ‘Ali Al Ja’fi dari Za’idah dari Sulaiman dari ‘Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkata “Madinah adalah tanah haram, barangsiapa yang melakukan perbuatan keji di dalamnya atau mendukung orang yang melakukan perbuatan keji tersebut maka untuknya laknat Allah, malaikat-malaikatnya dan manusia seluruhnya, dan tidak diterima taubat dan tebusan baginya” [Shahih Muslim 2/999 no 469].

      Perhatikan baik-baik hadis ini dan silakan pikirkan, bagaimana bisa salafy nashibi itu mengklaim keutamaan Yazid padahal dapat dilihat bahwa ia telah melakukan perbuatan keji kepada penduduk Madinah dan berdasarkan hadis shahih akan mendapat laknat dari Allah SWT dan tidak diterima taubatnya. Dari sisi ini saja kita dapat menyatakan bahwa Yazid bin Muawiyah tidak termasuk kedalam golongan mereka yang mendapatkan keutamaan hadis Ummu Haram. Belum lagi jika dimasukkan kekejian lainnya seperti pembantaian keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah kita katakan kalau mereka yang membela Yazid akan mendapat percikan keburukannya.

      Begitu pula halnya dengan Muawiyah, banyak fakta historis yang justru menjungkirbalikkan pemahaman salafy terhadap keutamaan Muawiyah. Bukankah dalam sejarah diketahui kalau Muawiyah ini membunuh Hujr bin ‘Ady padahal ia seorang sahabat Nabi dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

      أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

      Nabi SAW bersabda “Mencaci seorang Muslim adalah kefasiqan dan Membunuhnya adalah kekufuran”. [Shahih Bukhari no 48, no 6044 dan no 7076].

      Sejarah membuktikan bahwa Muawiyah telah melakukan keduanya, ia mencela Imam Ali dan memerintahkan orang lain untuk mencela Imam Ali dan ia pula yang memerintahkan membunuh Hujr bin Ady radiallahu ‘anhu. Bukankah fakta sejarah menunjukkan kalau Muawiyah memerangi Imam Ali dalam perang Shiffin tanpa alasan yang haq sehingga membuat terbunuhnya sahabat yang mulia Ammar bin Yasir radiallahu’ anhu:

      ويقول ويح عمار تقتله الفئة الباغية يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار قال فجعل عمار يقول أعوذ بالرحمن من الفتن

      Dan Rasulullah SAW bersabda “kasihan Ammar, ia dibunuh oleh kelompok pembangkang. Ia mengajak mereka ke surga, mereka malah mengajaknya ke neraka. Ammar berkata “Aku berlindung kepada Ar Rahman dari fitnah”. [Musnad Ahmad 3/90 no 11879 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

      Dengan melihat hadis ini, coba ingat-ingat wahai pembaca apakah pernah salafy menyebutkan salah satu keutamaan Muawiyah adalah pembangkang yang mengajak ke neraka. Bisa dipastikan mereka tidak pernah dan tidak akan pernah mau mengungkapkannya. Dengan dalih “menahan diri mencela sahabat” mereka bungkam dan lucunya malah menampakkan hal yang sebaliknya berusaha mencari-cari keutamaan Muawiyah.

      حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان قال ثنا حماد بن سلمة قال انا أبو حفص وكلثوم بن جبر عن أبي غادية قال قتل عمار بن ياسر فأخبر عمرو بن العاص قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ان قاتله وسالبه في النار فقيل لعمرو فإنك هو ذا تقاتله قال إنما قال قاتله وسالبه

      Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah yang berkata menceritakan kepada kami Abu Hafsh dan Kultsum bin Jabr dari Abi Ghadiyah yang berkata “Ammar bin Yasar terbunuh kemudian dikabarkan hal ini kepada Amru bin ‘Ash” [Amru] berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “yang membunuhnya dan merampas miliknya berada di neraka”. Dikatakan kepada Amru “bukankah kamu membunuhnya” ia berkata “sesungguhnya [Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata yang membunuhnya dan merampas miliknya” [Musnad Ahmad 4/198 no 17811 Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”]

      حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

      Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].

      Perhatikanlah perkataan Muawiyah dimana ia mengatakan kalau Imam Ali lah yang membunuh Ammar, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membunuh sahabat-sahabat yang syahid pada perang badar dan uhud?, naudzubillah cara berpikir macam apa itu. Bukankah sangat jelas ini adalah celaan yang nyata dari Muawiyah kepada Imam Ali. Kita serahkan hal ini kepada Allah SWT. Tidak diragukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang Ammar “ia dibunuh oleh kelompok pembangkang” dan disebutkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “bahwa yang membunuh Ammar dan merampas miliknya akan berada di neraka”. Sejarah membuktikan kalau kelompok yang membunuh Ammar bin Yasir adalah kelompok Muawiyah dalam perang Shiffin. Pernahkah salafy membahas ini dalam keutamaan Muawiyah bin Abu Sufyan? Jawabannya tidak pernah, mereka memang punya kebiasaan pilih-pilih hadis dan mendistorsi hadis-hadis shahih yang tidak sesuai keyakinan mereka.

      Kalau kita teruskan pembahasan secara historis ini maka terdapat fakta lain yang cukup mengejutkan. Muawiyah yang dikatakan oleh pengikut salafiyun sebagai sahabat yang mulia ternyata juga meminum khamar.

      حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم

      Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”… [Musnad Ahmad 5/347 no 22991 Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”].
      Tentunya sebagai seorang sahabat yang dikatakan mulia oleh sebagian orang sudah pasti mengetahui dengan jelas bahwa meminum khamar itu haram. Sangat jelas dalam Al Qur’an dan hadis.

      حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد ثنا فليح عن سعد بن عبد الرحمن بن وائل الأنصاري عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال لعن الله الخمر ولعن شاربها وساقيها وعاصرها ومعتصرها وبائعها ومبتاعها وحاملها والمحمولة إليه وآكل ثمنها

      Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad yang menceritakan kepada kami Fulaih dari Sa’d bin ‘Abdurrahman bin Wail Al Anshari dari ‘Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Allah melaknat khamar, dan melaknat yang meminumnya, yang menuangkannya, yang membuatnya dan yang meminta dibuatkan, yang menjualnya, yang mengangkutnya dan yang meminta diangkut dan yang memakan keuntungannya [Musnad Ahmad 2/97 no 5716, Syaikh Syu’aib berkata “shahih dengan jalan-jalannya”].

      Kita masih dapat meneruskan fakta historis lain tentang Muawiyah. Tahukah para pembaca pemimpin seperti apa Muawiyah. Hadis Shahih membuktikan dengan jelas pemimpin seperti apa Muawiyah.

      حدثنا زهير بن حرب وإسحاق بن إبراهيم ( قال إسحاق أخبرنا وقال زهير حدثنا جرير ) عن الأعمش عن زيد بن وهب عن عبدالرحمن بن عبد رب الكعبة قال دخلت المسجد فإذا عبدالله بن عمرو بن العاص جالس في ظل الكعبة والناس مجتمعون عليه فأتيتهم فجلست إليه فقال كنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في سفر فنزلنا منزلا فمنا من يصلح خباءه ومنا من ينتضل ومنا من هو في جشره إذ نادى منادي رسول الله صلى الله عليه و سلم الصلاة جامعة فاجتمعنا إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ( إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم وإن أمتكم هذه جعل عافيتها في أولها وسيصيب آخرها بلاء وأمور تنكرونها وتجيء فتنة فيرقق بعضها بعضها وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه مهلكتي ثم تنكشف وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه هذه فمن أحب أن يزحزح عن النار ويدخل الجنة فلتأته منيته وهو يؤمن بالله واليوم الآخر وليأت إلى الناس الي يحب أن يؤتى إليه ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر ) فدنوت منه فقلت أنشدك الله آنت سمعت هذا من رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فأهوى إلى أذنيه وقلبه بيديه وقال سمعته أذناي ووعاه قلبي فقلت له هذا ابن عمك معاوية يأمرنا أن نأكل أموالنا بيننا بالباطل ونقتل أنفسنا والله يقول { يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما } [ 4 / النساء / 29 ] قال فسكت ساعة ثم قال أطعه في طاعة الله واعصه في معصية الله

      Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim (Ishaq berkata telah mengabarkan kepada kami dan Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Jarir) dari ‘Amasy dari Zaid bin Wahb dari Abdurrahman bin Abdi Rabbi Al Ka’bah yang berkata Aku pernah masuk ke sebuah masjid, kulihat Abdullah bin Amr’ bin Ash sedang duduk dalam naungan Ka’bah dan orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Lalu aku mendatangi mereka dan duduk disana, dia berkata “Dahulu kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan kemudian kami singgah di suatu tempat. Diantara kami ada yang memperbaiki tendanya, menyiapkan panah dan menyiapkan makanan hewan tunggangannya. Ketika itu seorang penyeru yang diperintahkan Rasulullah SAW menyerukan “Marilah shalat berjama’ah”. Kami berkumpul menuju Rasulullah SAW dan Beliau bersabda “Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumKu kecuali menjadi kewajiban baginya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya serta memperingatkan mereka akan keburukan yang diketahuinya bagi mereka. Sesungguhnya UmatKu ini adalah umat yang baik permulaannya akan tetapi setelahnya akan datang banyak bencana dan hal-hal yang diingkari. Akan datang suatu fitnah yang membuat sebagian orang memperbudak yang lain. Akan datang suatu fitnah hingga seorang mukmin berkata “inilah kehancuranku”. Kemudian fitnah tersebut hilang dan datanglah fitnah yang lain hingga seorang mukmin berkata “inilah dia, inilah dia”. Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga hendaklah ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir serta memperlakukan manusia sebagaimana yang ia suka untuk dirinya. Barangsiapa yang membai’at seorang Imam dan setuju dengan sepenuh hati maka hendaklah ia mentaatinya semampunya. Lalu jika yang lain hendak merebutnya maka bunuhlah ia”. Aku mendekatinya seraya berkata “Demi Allah apakah engkau mendengar ini dari Rasulullah SAW?. Maka dia (Abdullah bin Amr bin Ash) mengisyaratkan dengan tangan pada kedua telinga dan hatinya sambil berkata “Aku mendengar dengan kedua telingaku dan memahaminya dengan hatiku”. Aku berkata kepadanya “Ini Anak pamanmu Muawiyah dia memerintahkan kami untuk memakan harta diantara kami secara bathil dan saling membunuh diantara kami”. Padahal Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil kecuali dengan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadapmu”{An Nisa ayat 29}. Lalu dia diam sejenak dan berkata “Taatilah dia dalam ketaatan kepada Allah dan langgarlah ia dalam bermaksiat kepada Allah ” [Shahih Muslim 3/1472 no 1844].

      Ternyata terbukti dalam hadis shahih bahwa Muawiyah adalah seorang pemimpin yang zalim. Dalam pemerintahannya bermunculan celaan dan cacian terhadap Imam Ali baik darinya ataupun para pejabatnya. Ia pula yang memerintahkan membunuh Hujr bin Adi sahabat Nabi yang mulia, tidak takut meminum khamar, memerintahkan untuk memakan harta secara bathil dan membunuh orang-orang muslim. Jadi sangat bisa dimaklumi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

      حدثني إبراهيم بن العلاف البصري قال سمعت سلاماً أبا المنذر يقول قال عاصم بن بهدلة حدثني زر بن حبيش عن عبد الله بن مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم معاوية بن أبي سفيان يخطب على المنبر فاضربوا عنقه

      Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Alaf Al Bashri yang berkata aku telah mendengar dari Sallam Abul Mundzir yang berkata telah berkata Ashim bin Bahdalah yang berkata telah menceritakan kepadaku Zirr bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Jika kamu melihat Muawiyah bin Abi Sufyan berkhutbah di mimbarKu maka tebaslah lehernya” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 5/130 dengan sanad yang hasan]
      Kami katakan kepada pengikut salafy nashibi pecinta Muawiyah, jangan merasa bahwa cuma kalian orang yang tahu sejarah dan ilmu hadis. Di dunia ini ada banyak manusia yang tidak terikat doktrin salafy nashibi yang mampu membahas sejarah secara objektif. Kami pribadi tidak perlu mencela Muawiyah, bagi kami itu tidak perlu. Cukuplah bagi kami memaparkan apa-apa saja yang telah ia lakukan yang terpampang jelas dalam sejarah dan hadis. Terdapat hadis shahih yang menyebutkan kalau Muawiyah mati tidak di atas agama islam. Salafy nashibi berusaha melemahkan hadis tersebut dengan syubhat-syubhat yang tidak ilmiah. Salah satu syubhat yang mereka katakan adalah hadis tersebut bertentangan dengan keutamaan Muawiyah dalam hadis Ummu Haram. Kami jawab
      • Hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam adalah hadis yang jelas membicarakan tentang pribadi Muawiyah, penunjukkannya sangat jelas sedangkan hadis Ummu Haram tidak jelas membicarakan keutamaan Muawiyah. Tidak ada hal yang patut dipertentangkan, hadis Ummu Haram bersifat umum sedangkan hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam bersifat khusus. Jadi kedua hadis ini masih bisa dikompromikan dalam arti Muawiyah tidak termasuk dalam keutamaan hadis Ummu Haram. Ada banyak sekali pasukan yang ikut bertempur di laut, mereka yang dengan ikhlas bertempur karena Allah SWT dan syahid disana maka wajib atas mereka pahala. Sedangkan mereka yang menginginkan harta dan kekuasaan atau setelah peristiwa itu mereka melakukan keburukan atau maksiat atau menentang Allah SWT dan Rasul-Nya maka tidak ada alasan untuk tetap menyatakan keutamaan mereka.
      • Hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam sangat klop dengan berbagai fakta historis dan hadis-hadis shahih tentang penyimpangan yang dilakukan Muawiyah. Memang sezalim apapun seorang yang mengaku muslim bukan hak kita untuk menyatakan ia kafir tetapi pada kasus Muawiyah terdapat hadis shahih yang dengan jelas menyatakan ia mati tidak dalam agama islam.
      Syubhat berikutnya dari salafy nashibi adalah mereka menyatakan matan hadis tersebut idhthirab dan sanadnya memiliki illat. Kami akan tunjukkan bahwa pernyataan mereka hanyalah dalih yang dicari-cari.

      Pembahasan Matan Hadis Yang Dikatakan Idhthirab
      Inti dari syubhat salafy nashibi adalah mereka membawakan hadis lain dimana mereka mengatakan kalau orang yang dimaksud bukanlah Muawiyah tetapi Hakam bin Abil Ash. Berikut hadis yang mereka jadikan hujjah

      حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ ذَهَبَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ يَلْبَسُ ثِيَابَهُ لِيَلْحَقَنِي فَقَالَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ لَيَدْخُلَنَّ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ لَعِينٌ فَوَاللَّهِ مَا زِلْتُ وَجِلًا أَتَشَوَّفُ دَاخِلًا وَخَارِجًا حَتَّى دَخَلَ فُلَانٌ يَعْنِي الْحَكَمَ

      Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim dari Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Kami pernah duduk-duduk di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu ‘Amru bin Al-‘Aash pergi berjalan dengan mengenakan baju untuk menemuiku. Beliau bersabda [sementara kami berada di sisinya ] “Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat”. Maka demi Allah, semenjak beliau mengatakan itu, aku selalu melihat-lihat ke dalam dan ke luar hingga datanglah si Fulan, yaitu Al Hakam [Musnad Ahmad 2/163 no 6520 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib].

      Sekarang perhatikan matan hadis “Muawiyah tidak mati di dalam agama islam”. Jika diperhatikan dengan baik. Apa yang disematkan kepada Al Hakam dan Muawiyah jelas berbeda, orangnya berbeda, hadis yang diucapkan juga berbeda:

      عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية

      Dari Abdullah bin Amru yang berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari jalan tersebut” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121].
       
      Pada hadis Ahmad tentang Al Hakam disana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat” sedangkan pada hadis Al Baladzuri tentang Muawiyah disana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”. Al Hakam seorang yang dilaknat dan Muawiyah mati tidak dalam agama islam, kedua hadis tersebut benar tidak ada perselisihan matan dan dimana letak idhthirab yang dimaksud?. Kedua hadis tersebut bisa saja merujuk pada dua peristiwa yang berbeda dimana peristiwa yang satu membicarakan Al Hakam dan peristiwa lain membicarakan Muawiyah. Apakah Abdullah bin ‘Amru bin Ash seumur hidupnya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya satu kali saja duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?. Atau kedua hadis tersebut merujuk peritiwa yang sama dimana pada bagian pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membicarakan tentang Al Hakam dan setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membicarakan tentang Muawiyah [atau sebaliknya].

      Pembahasan Illat Sanad Hadis
      Salafy nashibi berusaha melemahkan hadis ini dengan menunjukkan kelemahan pada ‘Abdurrazaq bin Hammam. Logika salafy itu adalah ia menunjukkan adanya idhthirab dan menjadikan idhthirab ini bagian dari kesalahan Abdurrazaq karena ia berubah hafalannya di usia senja. Kami tekankan kembali tidak ada yang namanya idhthirab pada matan hadis tersebut, itu cuma akal-akalan salafy. Kedua hadis baik menyebutkan Al Hakam dan Muawiyah adalah benar. Pertama-tama mari kita lihat kembali sanad hadis tersebut

      حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص

      Telah menceritakan kepadaku Ishaq dan Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120].

      Abdurrazaq bin Hammam adalah seorang hafizh yang tsiqat, satu-satunya kelemahan yang dituduhkan padanya adalah soal ia berubah hafalannya pada usia senja ketika matanya telah buta.

      و قال أبو زرعة الدمشقى ، عن أبى الحسن بن سميع ، عن أحمد بن صالح المصرى : قلت لأحمد بن حنبل : رأيت أحدا أحسن حديثا من عبد الرزاق ؟ قال : لا . قال أبو زرعة : عبد الرزاق أحد من ثبت حديثه

      Abu Zur’ah ad-Dimsayqi berkata dari Abul Hasan bin Sami’, dari Ahmad bin Shalih al-Mishri yang berkata Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal ”Adakah kau lihat orang yang lebih baik haditsnya daripada ’Abdurrazaq?” beliau menjawab ”tidak”. Abu Zur’ah berkata ”Abdurrazaq adalah salah seorang yang kuat haditsnya.” [Tahdzib Al Kamal 18/56 no 3415]

      و قال يعقوب بن شيبة ، عن على ابن المدينى ، قال : لى هشام بن يوسف : كان عبد الرزاق أعلمنا و أحفظنا . قال يعقوب : و كلاهما ثقة ثبت .

      Ya’qub bin Syaibah berkata, dari ’Ali ibnul Madini yang berkata Hisyam bin Yusuf berkata kepadaku “Abdurrazaq itu orang yang lebih ’alim dan hafizh daripada kami.” Ya’qub berkata  keduanya [Hisyam bin Yusuf dan ’Abdurrazaq] adalah sama-sama tsiqat tsabit [Tahdzib Al Kamal 18/58 no 3415]

      و قال أبو بكر بن أبى خيثمة : سمعت يحيى بن معين و قيل له : إن أحمد بن حنبل قال : إن عبيد الله بن موسى يرد حديثه للتشيع ، فقال : كان والله الذى لا إله إلا هو عبد الرزاق أغلى فى ذلك منه مئة ضعف ، و لقد سمعت من عبد الرزاق أضعاف أضعاف ما سمعت من عبيد الله .

      Abu Bakr bin Abi Khaitsamah berkata aku mendengar Yahya bin Main ketika ada yang berkata padanya ”Sesungguhnya Ahmad bin Hanbal berkata, bahwa sesungguhnya ’Ubaidillah bin Musa membantah hadits ’Abdurrazaq dikarenakan tasyayu’-nya.” Lantas Ibnu Ma’in membantah ”Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq untuk di sembah melainkan Dia, ’Abdurrazaq itu jauh lebih bernilai darinya berkali-kali lipat. Dan sungguh aku telah mendengar dari ’Abdurrazaq berkali-kali lipat daripada aku mendengar dari ’Ubaidillah.” [Tahdzib Al Kamal 18/59 no 3415]

      و قال أبو زرعة الدمشقى : قلت لأحمد بن حنبل : كان عبد الرزاق يحفظ حديث معمر ؟ قال : نعم . قيل له : فمن أثبت فى ابن جريج عبد الرزاق أو محمد بن بكر البرسانى ؟ قال : عبد الرزاق قال : و أخبرنى أحمد بن حنبل ، قال : أتينا عبد الرزاق قبل المئتين و هو صحيح البصر و من سمع منه بعدما ذهب بصره ، فهو ضعيف السماع .

      Abu Zur’ah Ad Dimasyq berkata Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal ”Apakah ’Abdurrazaq mengahafal haditsnya Ma’mar?” beliau menjawab : ”iya”. Ada yang bertanya pada beliau ”Mana yang lebih tsabit dari Ibnu Juraij, ’Abdurrazaq atau Muhammad bin Bakr Al Barsaani?” beliau menjawab ”Abdurrazaq”. [Abu Zur’ah berkata] Ahmad bin Hanbal memberitakan kepadaku ”Kami mendatangi ’Abdurrazaq sebelum tahun 200 H dan beliau dalam keadaan sehat matanya. Barangsiapa yang mendengarkan darinya setelah ia buta maka pendengarannya lemah [Tahdzib Al Kamal 18/8 no 3415]

      عبد الرزاق بن همام بن نافع الحميري مولاهم أبو بكر الصنعاني ثقة حافظ مصنف شهير عمي في آخر عمره فتغير وكان يتشيع .

      ’Abdurrazaq bin Hammam bin Nafi’ Al Himyari maula mereka Abu Bakr Ash Shan’ani seorang yang tsiqat hafizh penulis [mushannaf] yang terkenal, buta pada akhir usianya maka hafalannya berubah dan ia bertasyayyu’ [At Taqrib 1/599].

      Kesimpulannya ’Abdurrazaq bin Hammam seorang hafiz yang tsiqat dan tsabit dalam hadis, sebelum buta ia seorang yang tsiqat mutlak tetapi setelah buta hafalannya berubah sehingga pendengaran hadis setelah ia buta mengandung kelemahan. Mengenai tasyayyu’ Abdurrazaq bin Hammam itu tidaklah membahayakan hadisnya karena ia sendiri mengutamakan Abu Bakar dan Umar dibanding Imam Ali bahkan dalam Tahrir At Taqrib dinyatakan bahwa penisbatan tasyayyu’ terhadap ‘Abdurrazaq tidaklah tsabit. [Tahrir At Taqrib no 4064].

      Yang meriwayatkan hadis ini dari ‘Abdurrazaq bin Hammam adalah Ishaq bin Abi Israil seorang hafizh yang tinggal di Baghdad dan wafat tahun 246 H. sedangkan ‘Abdurrazaq adalah seorang hafizh yang tinggal di Shan’a wafat tahun 211 H. ‘Abdurrazaq buta matanya pada tahun 200 H atau setelahnya, jadi perawi yang mendengar hadis darinya sebelum tahun 200 H jelas shahih. Ishaq bin ‘Abi Israil pergi ke Shan’a dan mendengar hadis dari para hafizh disana sebelum tahun 200 H. Bukti untuk hal ini adalah Abu Dawud telah meriwayatkan hadis dari Ishaq bin ‘Abi Israil [Abu Ya’qub Al Baghdadi] dari Hisyam bin Yusuf As Shan’ani dimana Ishaq bin ‘Abi Israil meriwayatkan hadis dengan lafal “telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Yusuf” [Sunan Abu Dawud 1/607 no 1985]. Hisyam bin Yusuf Ash Shan’ani adalah seorang qadhi di Shan’a yang wafat pada tahun 197 H [At Taqrib 2/268]. Jadi Ishaq bin ‘Abi Israil datang ke Shan’a dan mendengar hadis dari ulama disana seperti Hisyam bin Yusuf dan ‘Abdurrazaq bin Hammam sebelum tahun 197 H. Pada saat itu jelas ‘Abdurrazaq bin Hammam seorang yang hafiz tsiqat tsabit secara mutlak.
      Illat [cacat] lain yang ditunjukkan salafy adalah pernyataan Al Khallal yang dikutip oleh Ibnu Qudamah bahwa ‘Abdurrazaq bin Hammam meriwayatkan hadis ini dari Ma’mar dari Ibnu Thawus yang mendengar dari Furkhaasy dari ayahnya Ibnu Thawus dari ‘Abdullah bin ‘Amru:

      وسألت أحمد، عن حديث شريك، عن ليث، عن طاوس، عن عبدالله بن عمرو، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “يطلع عليكم رجل من أهل النار”، فطلع معاوية  قال: إنما ابن طاوس، عن أبيه، عن عبد الله بن عمرو أو غيره، شك فيه قال الخلال: رواه عبدالرزاق، عن معمر، عن ابن طاوس، قال: سمعت فرخاش يحدث هذا الحديث عن أبي، عن عبد الله ابن عمرو.

      Dan aku pernah bertanya kepada Ahmad tentang hadits Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘Akan datang kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni neraka’. Lalu muncullah Mu’aawiyyah”.Ahmad berkata “Hadits itu hanyalah diriwayatkan oleh Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Abdulah bin ‘Amru atau selainnya, ia [Thawus] ragu-ragu dalam penyebutannya. Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus. Ia [Ibnu Thawuus] berkata Aku mendengar Furkhaasy menceritakan hadits ini dari ayahku, dari ‘Abdullah bin ‘Amr” [Al Muntakhab minal-‘Ilal lil-Khallaal, hal. 228 no. 136].

      Salafy mengatakan bahwa hadis ini mengandung idhthirab pada sanadnya karena Ibnu Thawus meriwayatkan dari ayahnya tanpa perantara dan Ibnu Thawus meriwayatkan dari ayahnya melalui perantara Furkhaasy seorang yang majhul, sehingga nampak adanya idhthirab pada sanad tersebut yang mungkin bersumber dari ‘Abdurrazaq bin Hammam.

      Pernyataan salafy ini ma’lul, sangat jelas keliru bagi mereka yang meneliti sanad hadis tersebut dengan baik. Hadis yang tsabit sanadnya adalah riwayat Ishaq bin ‘Abi Israil dari ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Ayahnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash. Sedangkan pernyataan Al Khallal bahwa ‘Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Furkhaasy dari ayah Ibnu Thawus dari ‘Abdullah bin ‘Amru jelas tidak tsabit atau inqitha’. Al Khallal lahir pada tahun 234 H [As Siyar 14/297 no 193] sedangkan ‘Abdurrazaq bin Hammam wafat pada tahun 211 H [At Taqrib 1/599]. Ketika Al Khallal lahir ‘Abdurrazaq bin Hammam sudah lama wafat, sanadnya inqitha’ [terputus] sedangkan Ibnu Abi Israil meriwayatkan langsung dari ‘Abdurrazaq. Jadi periwayatan Ishaq bin Abi Israil dari ‘Abdurrazaq lebih tsabit sedangkan pernyataan Al Khallal inqitha’ atau terputus sanadnya. Bagaimana mungkin dikatakan sanadnya idhthirab kalau yang satu tsabit dan yang satunya inqitha’. Jelas sekali berdasarkan metode ilmu hadis bahwa sanad yang tsabit lebih rajih.

      Al Baladzuri termasuk ulama besar, Adz Dzahabi menuliskan keterangan tentang Al Baladzuri dalam kitabnya As Siyar dan Tadzkirah Al Huffazh. Adz Dzahabi menyebut ia seorang penulis Tarikh yang masyhur satu thabaqat dengan Abu Dawud, seorang Hafizh Akhbari Allamah [Tadzkirah Al Huffazh 3/893]. Disebutkan kalau ia seorang yang alim dan mutqin [Al Wafi 3/104]. Tidak ada alasan untuk menolak atau meragukan Al Baladzuri, Ibnu Hajar telah berhujjah dengan riwayat-riwayat Al Baladzuri dalam kitabnya diantaranya dalam Al Ishabah, Ibnu Hajar pernah berkata “dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi” [Al Ishabah 2/98 no 1767]. Penghukuman sanad la ba’sa bihi oleh Ibnu Hajar berarti ia sendiri berhujjah dan menta’dil Al Baladzuri. Soal kedekatan kepada penguasa itu tidaklah merusak hadisnya karena banyak para ulama yang dikenal dekat dengan penguasa tetapi tetap dijadikan hujjah seperti Az Zuhri dan yang lainnya. Para ulama baik dahulu maupun sekarang tetap menjadikan kitab Al Balazuri sebagai sumber rujukan baik sirah ansab maupun hadis.

      Syubhat salafy yang lainnya adalah ia membawakan hadis keutamaan Imam Hasan sebagai Sayyid yang akan mendamaikan dua kelompok kaum muslimin.

      حَدَّثَنَا صَدَقَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ سَمِعَ أَبَا بَكْرَةَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ مَرَّةً وَيَقُولُ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

      Telah menceritakan kepada kami Shadaqah telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa, dari Al-Hasan bahwasannya ia mendengar Abu Bakrah Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar bersabda – ketika itu Al-Hasan berada di samping beliau, sesekali beliau melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya “Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid [pemimpin] dan semoga dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin” [Shahih Bukhaariy no 3746]

      Menjadikan hadis ini sebagai penentang hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam jelas tidak tepat. Logika sederhana saja misalnya jika dalam kelompok Muawiyah tersebut terdapat orang munafik atau orang kafir yang ikut-ikutan memecah belah, maka apakah penyebutan “kelompok besar dari kaum muslimin” tidak bisa digunakan. Ya tetap bisa, seandainya ada satu atau dua orang yang kafir di kelompok Muawiyah dan mayoritasnya muslim maka tetap bisa disebut kelompok besar kaum muslimin. Selain itu peristiwa antara Imam Hasan dan Muawiyah terjadi jauh sebelum Muawiyah wafat bahkan sebelum Muawiyah memerintah kaum muslimin, jadi sangat tidak tepat untuk dijadikan penentang hadis yang menjelaskan Muawiyah ketika matinya tidak dalam agama islam. Lagi-lagi logika sederhana kalau awalnya ada seorang muslim yang rajin ibadah kemudian ia mati dalam keadaan kafir maka apakah ada orang yang akan menolak sambil berkata “dia tidak mati kafir karena dulu waktu muda saya tahu dia muslim”. Seorang muslim yang menjadi murtad atau menjadi kafir adalah sesuatu yang bisa saja terjadi.

      Ada logika salafy yang lebih parah, ia mengatakan mungkinkah Imam Hasan akan berdamai pada orang yang nantinya mati bukan diatas agama islam. Dari dulu penyakit salafy adalah mereka jadi pura-pura bodoh kalau terkait dengan pembelaan terhadap Muawiyah. Kalau mau diperhatikan dengan baik Muawiyah itu sudah salah dari sisi manapun. Khalifah yang sah pada saat itu sudah jelas Imam Hasan dan apa dasarnya Muawiyah menentang, tidak lain itu disebabkan Muawiyah memang menginginkan kursi kekhalifahan makanya ia tidak mau taat kepada Imam Hasan. Bukannya itu yang dilihat salafy eh malah mereka memuliakan Muawiyah dengan alasan Imam Hasan telah berdamai dengannya. Apa salafy itu buta kalau awalnya Imam Hasan memerangi Muawiyah?. Imam Hasan berdamai dengan Muawiyah untuk menyelamatkan darah kaum muslimin karena Beliau tidak suka melihat lebih banyak lagi darah kaum muslimin yang tertumpah dalam masalah ini. Lagipula pada saat itu Muawiyah menampakkan keislaman dan tentu seseorang itu dinilai berdasarkan apa yang nampak darinya, soal perkara mau jadi apa ia nanti itu urusannya dengan Allah SWT.

      Bukankah terdapat hadis Rasulullah SAW yaitu Hadis Al Haudh dimana Rasulullah SAW menjelaskan kalau diantara sahabatnya aka ada yang murtad sepeninggal Beliau sehingga tertolak di Al Haudh. Apakah pernah Rasulullah SAW menghisab atau menghukum sahabat-sahabat tersebut ketika Beliau masih hidup?. Apakah pernah Rasulullah SAW menyebut para sahabat itu dengan kata-kata “kafir” atau “murtad”?. Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan perlakuan terhadap mereka?. Jelas tidak, manusia tidak dihukum atas apa yang belum ia lakukan.

      Mengapa pula salafy itu mengherankan Imam Hasan yang berdamai dengan kelompok pembangkang yaitu Muawiyah dan pengikutnya. Dengar baik-baik wahai salafy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja pernah berdamai dengan orang-orang kafir di Hudaibiyah. Semua itu mengandung hikmah yang diketahui oleh orang-orang yang mengetahuinya. Jadi logika pincang ala skizoprenik seperti itu tidak usah dipamerkan dalam tulisan ilmiah. Sebenarnya tidak ada ruang bagi salafy untuk menolak riwayat Al Baladzuri tersebut dengan syarat mereka melihat rangkaian hadis-hadis tentang Muawiyah, tidak hanya apa yang kami paparkan disini tetapi juga hadis-hadis lain yang menunjukkan apa saja yang telah ia lakukan baik dalam sejarah maupun hadis.

      Di kalangan ulama yang terpercaya ternyata ada juga yang mengakui kalau Muawiyah tidak mati di atas agama Islam. Ulama yang dimaksud adalah Ali bin Ja’d Abu Hasan Al Baghdadi:

      سمعت أبا عبد الله، وقال له دلويه: سمعت علي بن الجعد يقول: مات والله معاوية على غير الإسلام

      Aku mendengar Abu ‘Abdullah [Ahmad bin Hanbal] yang berkata Dalluwaih berkata aku mendengar dari ‘Ali bin Ja’d yang berkata “demi Allah, Muawiyah mati bukan dalam agama islam” [Masa’il Ahmad bin Hanbal riwayat Ishaq bin Hani no 1866].

      Ahmad bin Hanbal jelas orang yang terpercaya. Dalluwaih adalah Ziyad bin ‘Ayub perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Abu Hatim berkata “shaduq” Nasa’i menyatakan tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. [At Tahdzib juz 3 no 654] Ibnu Hajar berkata “hafizh tsiqat” [At Taqrib 1/317]. Ali bin Ja’d sendiri seorang yang tsiqat, perawi Bukhari dan ‘Abu Dawud, Ibnu Ma’in berkata “tsiqat shaduq”, Abu Zur’ah berkata “shaduq dalam hadis”. Abu Hatim menyatakan ia seorang yang mutqin shaduq. Shalih bin Muhammad menyatakan tsiqat, Nasa’i berkata “shaduq”. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit” [At Tahdzib juz 7 no 502]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 1/689]. Jika Ali bin Ja’d yang dengan jelas menyatakan Muawiyah mati bukan dalam agama islam tetap dinyatakan tsiqat dan dijadikan hujjah hadisnya, maka atas dasar apa pengikut salafiyun itu mencela kami dalam masalah ini. Apakah hanya karena dengki? Atau memang begitu tabiat para pengingkar.

      Apakah para pendengki dan pengingkar itu mau menerima kebenaran ini? Sepertinya tidak karena pengalaman membuktikan salafy nashibi tidak akan pernah mau menerima hal-hal yang bertentangan dengan doktrin mahzab mereka. Mereka sok berkata “jangan bertaklid” padahal diri sendiri penuh dengan taklid. Kesimpulannya : Hadis Al Baladzuri bahwa Muawiyah mati tidak dalam agama islam adalah shahih. Akhir kata kami akan mengutip perkataan salafy
      Sebagaimana tergambar pada omongan seorang Raafidliy sebelum membawakan riwayat Al Balaadzuriy :
      Terdapat hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam. Kami akan mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan kami tidak peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah membaca tulisan ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis dalam kitab. Jadi kami tidak mengada-ada.
      Kita katakan : Kami tidak pernah terkejut dengan tulisan Anda – walhamdulillah – , karena memang itulah tabiat Anda dan orang-orang yang sepemahaman dengan Anda semenjak beratus-ratus tahun lalu, tidak ada perubahan – kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah ta’ala.
      Baguslah kalau anda sekarang mengakui kalau diri anda termasuk “nashibi pecinta berat Muawiyah”. Dan bicara soal tabiat, justru tabiat anda dan orang-orang sepemahaman dengan anda inilah yang melahirkan banyak perpecahan di kalangan kaum muslim. Kelompok seperti anda yang suka merendahkan kelompok muslim lain dengan gelar-gelar ejekan memang sudah ada dari berates-ratus tahun lalu, malah semakin parah di zaman sekarang. Semoga Allah SWT memberikan hidayah kepada anda dan yang lainnya untuk menerima kebenaran.  

      Salam damai

      *****
      Kali ini kami akan menunjukkan bahwa sebenarnya Syaikh Khalid Al Wushabiy yang melakukan talbis dan Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy telah benar dalam pernyataan shahih-nya terhadap hadis ini. Hadis yang dimaksud diriwayatkan oleh Al Baladzuriy dalam kitabnya Ansab Al Asyraaf.



      وحدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص قال: كنت عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي قد وضع له وضوء، فكنت كحابس البول مخافة أن يجيء، قال: فطلع معاوية فقال النبي صلى الله عليه وسلم هو هذا

      Dan telah menceritakan kepadaku Ishaaq dan Bakr bin Al Haitsam keduanya berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq bin Hammaam yang berkata telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Ayahnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash yang berkata “aku berada di sisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Beliau berkata “akan datang kepada kalian dari jalan ini seorang laki-laki yang mati tidak diatas agamaku”. [‘Abdullah bin ‘Amru] berkata “dan ketika itu aku meninggalkan ayahku yang sedang disiapkan untuknya air wudhu’ maka aku seperti orang yang sedang menahan buang air kecil karena khawatir ia yang akan datang. [‘Abdullah bin ‘Amru] berkata “maka Mu’awiyah datang”. Kemudian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “dialah orangnya” [Ansaab Al Asyraaf Al Balaadzuriy 5/134].

      Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy menyatakan hadis riwayat Al Balaadzuriy di atas shahih sebagaimana dapat dilihat berikut:


      رواه البلاذري عن شيخيه بكر بن الهيثم وإسحاق بن أبي إسرائيل (وهذا ثقة أما أبا بكر فلم أجد له ترجمة لكنه توبع من إسحاق) كلاهما روياه عن عبد الرزاق الصنعاني (وهو ثقة إمام) عن معمر بن راشد (وهو ثقة إمام) عن عبد الله بن طاووس (وهو ثقة إمام) عن طاووس بن كيسان والده (وهو ثقة إمام) عن عبد الله بن عمرو بن العاص وهو صحابي –على تعريف المحدثين

      Al Balaadzuriy meriwayatkan dari gurunya Bakr bin Al Haitsam dan Ishaaq bin Abi Isra’iil [dan dia ini tsiqat adapun Bakr maka tidak ditemukan biografinya tetapi ia memiliki mutaba’ah dari Ishaaq], keduanya meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq Ash Shan’aaniy [dan ia tsiqat imam] dari Ma’mar bin Raasyid [ dan ia tsiqat imam] dari ‘Abdullah bin Thaawus [dan ia tsiqat imam] dari Thaawus bin Kaisaan ayahnya [dan ia tsiqat imam] dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Aash dan ia sahabat Nabi sebagaimana dikenal para ahli hadis [Ma’a Syaikh Abdullah As Sa’d hal 166]

      Syaikh Khaalid Al Wushaabiy dalam video diatas menuduh Syaikh Hasan bin Farhan melakukan talbis. Lafaz “bin abi Isra’iil” dikatakan Syaikh Khaalid berasal dari kantong Syaikh Hasan bin Farhan saja karena sebenarnya Ishaaq disana adalah Ishaaq bin Ibrahiim Ad Dabariy yang dikenal meriwayatkan hadis mungkar dari Abdurrazzaaq. Maka hadis ini termasuk riwayat mungkar tersebut dan dhaif.

      Anehnya Syaikh Khaalid tidak membawakan hujjah atas perkataannya, ia hanya mengklaim Ishaaq tersebut adalah Ishaaq bin Ibrahiim Ad Dabariy karena ia termasuk murid ‘Abdurrazzaaq. Ketika ditanyakan kepada Syaikh Khaalid darimana Syaikh Hasan bin Farhan mengatakan perawi itu Ishaaq bin Abi Israa’iil maka jawaban Syaikh Khalid adalah “Ishaaq bin Abi Israa’il termasuk diantara guru Al Balaadzuriy tetapi Ishaaq bin Abi Isra’iil tidak meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy”.

      Sungguh menggelikan, Syaikh Khaalid menuduh Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy melakukan talbis padahal hakikatnya ia sendiri yang melakukan talbis. Kami heran apakah Syaikh Khalid sudah membuka kitab-kitab Rijal dan kitab-kitab Hadis. Ishaaq bin Abi Isra’iil itu sudah dikenal termasuk murid Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy jadi dari mana Syaikh Khalid mengatakan Ishaaq bin Abi Isra’iil tidak meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq.

      Silakan lihat kitab Tahdzib Al Kamal biografi Abdurrazzaq Ash Shan’aniy [Tahdziib Al Kamal 18/54 no 3415] akan ditemukan bahwa salah satu muridnya adalah Ishaaq bin Abi Isra’iil.


      Kemudian lihat kitab Tahdzib Al Kamal biografi Ishaaq bin Abi Isra’iil [Tahdziib Al Kamal 2/399 no 338] maka akan ditemukan bahwa salah satu gurunya adalah Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy.


      Dan cukup banyak para ulama yang meriwayatkan bahwa Ishaaq bin Abi Isra’iil mendengar langsung hadis dari ‘Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy seperti Al Bukhariy, Ibnu Sa’ad, Abu Ya’la, Ath Thahawiy, dan Al Balaadzuriy. Berikut bukti-buktinya.

      Al Bukhariy Dalam Tarikh Al Kabir 2/75:


      Ishaaq bin Abi Isra’iil adalah salah satu guru Al Bukhariy dimana Al Bukhariy meriwayatkan darinya dalam kitab Adab Al Mufrad. Al Mizziy juga menyebutkan Al Bukhariy termasuk murid Ishaaq bin Abi Isra’iil [Tahdziib Al Kamal 2/400 no 338].

      Ibnu Sa’d Dalam Thabaqat Ibnu Sa’d 7/178:


      Abu Ya’la Dalam Musnad Abu Ya’la 3/113 no 1544:


      Ath Thahaawiy Dalam Musykil Al Atsar 7/7 no 2583:


      Muhammad bin Ja’far bin A’yan yaitu guru Ath Thahawiy di atas adalah seorang yang tsiqat sebagaimana dikatakan Ibnu Yuunus [Tarikh Baghdad Al Khatib 2/496-497 no 471].

      Al Balaadzuriy Dalam Ansaab Al Asyraaf 2/353:


      Jadi siapakah yang melakukan talbis disini wahai Syaikh Khaalid. Apa yang dikatakan Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy itu sudah benar. Ishaaq dalam riwayat Al Balaadzuriy adalah Ishaaq bin Abi Isra’iil karena ia termasuk gurunya Al Balaadzuriy dan Ishaaq bin Abi Isra’iil sudah dikenal sebagai salah satu murid Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy. Adapun Ishaaq bin Ibrahiim Ad Dabariy walaupun ia termasuk murid Abdurrazzaaq tetapi ia tidak dikenal sebagai guru Al Balaadzuriy. Jadi Syaikh Khalid ini menyalahkan perkataan Syaikh Hasan bin Farhan yang sudah benar sesuai dengan kaidah ilmu hadis dengan hujjah perkataan yang berasal dari kantong Syaikh Khalid sendiri.

      Seharusnya sebelum berbicara di depan umum ada baiknya Syaikh Khaalid meneliti dengan benar membuka kitab Rijal dan kitab Hadis. Kesalahan seperti ini sebenarnya termasuk kesalahan yang tidak perlu terjadi bagi mereka yang sudah akrab dengan berbagai kitab Rijal dan kitab Hadis. Bagaimana bisa Syaikh Khalid mencela Syaikh Hasan bin Farhan melakukan talbis padahal Syaikh Khaalid belum meneliti dengan benar perkara ini. Menggebu-gebu membela Muawiyah bin Abu Sufyaan terkadang membuat sebagian ulama terlihat konyol.

      Oh iya inilah Syaikh Khalid Al Wushabiy yang sering dibangga-banggakan oleh Muhammad ‘Abdurrahman Al ‘Amiry. Jika yang melakukan kesalahan seperti ini adalah ulama Syi’ah maka Al ‘Amiry akan bersemangat mengatakan ulama Syi’ah tersebut bodoh hina gila dan umpatan yang lainnya. Tetapi bagaimana kalau yang melakukan kesalahan tersebut adalah Syaikh Khalid Al Wushaabiy ulama pujaannya.

      Kami tidak punya masalah dengan Syaikh Khaalid Al Wushaabiy sebagaimana kami juga tidak menganggap Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy sebagai ulama pujaan. Bagi kami semua ulama itu kedudukannya sama yaitu setiap pendapatnya harus ditimbang dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Mana diantara perkataan mereka yang sesuai dengan dalil  maka itu yang diambil dan mana diantara perkataan mereka yang tidak sesuai dengan dalil maka itu ditinggalkan.

      (Syiahali/Scondprince/ABNS)
      Share this post :

      Post a Comment

      mohon gunakan email

      Terkait Berita:

      Index »

      KULINER

      Index »

      LIFESTYLE

      Index »

      KELUARGA

      Index »

      AL QURAN

      Index »

      SENI

      Index »

      SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

      Index »

      SEPUTAR AGAMA

      Index »

      OPINI

      Index »

      OPINI

      Index »

      MAKAM SUCI

      Index »

      PANDUAN BLOG

      Index »

      SENI