Demi membela Mu’awiyah bin Abu Sufyaan sebagian ulama telah menunjukkan
keanehan yang nyata. Mereka mendadak ngawur, nyeleneh dan berhujjah
dengan perkataan orang yang tidak berilmu. Sebelumnya kami sudah pernah
memberikan contohnya yaitu Syaikh Abdurrahaman Dimasyiqqiyyah.
Ithaaful Maharah Ibnu Hajar juz 2 hal 597 hadis no 2354
Dalam video singkat di atas Syaikh Khalid Al Wushabiy membahas tentang hadis Muawiyah yang mati tidak dalam agama Islam dimana hadis ini telah dishahihkan oleh Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy. Syaikh Khalid Al Wushabiy menyatakan hadis tersebut dhaif dan menuduh Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy melakukan talbis.
Kami sudah pernah membahas secara khusus tentang hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam. Hadis tersebut shahih dan telah kami bahas secara detail syubhat-syubhat yang melemahkan hadis tersebut. Silakan bagi yang berminat dapat membaca tulisan kami:
1. Shahih : Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam
2. Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam : Bantahan Syubhat Salafiy
Syaikh Khaalid Al Wushaabiy dalam video diatas menuduh Syaikh Hasan bin Farhan melakukan talbis. Lafaz “bin abi Isra’iil” dikatakan Syaikh Khaalid berasal dari kantong Syaikh Hasan bin Farhan saja karena sebenarnya Ishaaq disana adalah Ishaaq bin Ibrahiim Ad Dabariy yang dikenal meriwayatkan hadis mungkar dari Abdurrazzaaq. Maka hadis ini termasuk riwayat mungkar tersebut dan dhaif.
Anehnya Syaikh Khaalid tidak membawakan hujjah atas perkataannya, ia hanya mengklaim Ishaaq tersebut adalah Ishaaq bin Ibrahiim Ad Dabariy karena ia termasuk murid ‘Abdurrazzaaq. Ketika ditanyakan kepada Syaikh Khaalid darimana Syaikh Hasan bin Farhan mengatakan perawi itu Ishaaq bin Abi Israa’iil maka jawaban Syaikh Khalid adalah “Ishaaq bin Abi Israa’il termasuk diantara guru Al Balaadzuriy tetapi Ishaaq bin Abi Isra’iil tidak meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy”.
Sungguh menggelikan, Syaikh Khaalid menuduh Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy melakukan talbis padahal hakikatnya ia sendiri yang melakukan talbis. Kami heran apakah Syaikh Khalid sudah membuka kitab-kitab Rijal dan kitab-kitab Hadis. Ishaaq bin Abi Isra’iil itu sudah dikenal termasuk murid Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy jadi dari mana Syaikh Khalid mengatakan Ishaaq bin Abi Isra’iil tidak meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq.
Silakan lihat kitab Tahdzib Al Kamal biografi Abdurrazzaq Ash Shan’aniy [Tahdziib Al Kamal 18/54 no 3415] akan ditemukan bahwa salah satu muridnya adalah Ishaaq bin Abi Isra’iil.
Dan cukup banyak para ulama yang meriwayatkan bahwa Ishaaq bin Abi
Isra’iil mendengar langsung hadis dari ‘Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy
seperti Al Bukhariy, Ibnu Sa’ad, Abu Ya’la, Ath Thahawiy, dan Al
Balaadzuriy. Berikut bukti-buktinya.
Al Bukhariy Dalam Tarikh Al Kabir 2/75:
Ishaaq bin Abi Isra’iil adalah salah satu guru Al Bukhariy dimana Al Bukhariy meriwayatkan darinya dalam kitab Adab Al Mufrad. Al Mizziy juga menyebutkan Al Bukhariy termasuk murid Ishaaq bin Abi Isra’iil [Tahdziib Al Kamal 2/400 no 338].
Ibnu Sa’d Dalam Thabaqat Ibnu Sa’d 7/178:
Muhammad bin Ja’far bin A’yan yaitu guru Ath Thahawiy di atas adalah
seorang yang tsiqat sebagaimana dikatakan Ibnu Yuunus [Tarikh Baghdad Al
Khatib 2/496-497 no 471].
Al Balaadzuriy Dalam Ansaab Al Asyraaf 2/353:
Jadi siapakah yang melakukan talbis disini wahai Syaikh Khaalid. Apa
yang dikatakan Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy itu sudah benar.
Ishaaq dalam riwayat Al Balaadzuriy adalah Ishaaq bin Abi Isra’iil
karena ia termasuk gurunya Al Balaadzuriy dan Ishaaq bin Abi Isra’iil
sudah dikenal sebagai salah satu murid Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy.
Adapun Ishaaq bin Ibrahiim Ad Dabariy walaupun ia termasuk murid
Abdurrazzaaq tetapi ia tidak dikenal sebagai guru Al Balaadzuriy. Jadi
Syaikh Khalid ini menyalahkan perkataan Syaikh Hasan bin Farhan yang
sudah benar sesuai dengan kaidah ilmu hadis dengan hujjah perkataan yang
berasal dari kantong Syaikh Khalid sendiri.
Seharusnya sebelum berbicara di depan umum ada baiknya Syaikh Khaalid meneliti dengan benar membuka kitab Rijal dan kitab Hadis. Kesalahan seperti ini sebenarnya termasuk kesalahan yang tidak perlu terjadi bagi mereka yang sudah akrab dengan berbagai kitab Rijal dan kitab Hadis. Bagaimana bisa Syaikh Khalid mencela Syaikh Hasan bin Farhan melakukan talbis padahal Syaikh Khaalid belum meneliti dengan benar perkara ini. Menggebu-gebu membela Muawiyah bin Abu Sufyaan terkadang membuat sebagian ulama terlihat konyol.
Oh iya inilah Syaikh Khalid Al Wushabiy yang sering dibangga-banggakan oleh Muhammad ‘Abdurrahman Al ‘Amiry. Jika yang melakukan kesalahan seperti ini adalah ulama Syi’ah maka Al ‘Amiry akan bersemangat mengatakan ulama Syi’ah tersebut bodoh hina gila dan umpatan yang lainnya. Tetapi bagaimana kalau yang melakukan kesalahan tersebut adalah Syaikh Khalid Al Wushaabiy ulama pujaannya.
Kami tidak punya masalah dengan Syaikh Khaalid Al Wushaabiy sebagaimana kami juga tidak menganggap Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy sebagai ulama pujaan. Bagi kami semua ulama itu kedudukannya sama yaitu setiap pendapatnya harus ditimbang dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Mana diantara perkataan mereka yang sesuai dengan dalil maka itu yang diambil dan mana diantara perkataan mereka yang tidak sesuai dengan dalil maka itu ditinggalkan.
*****
Keanehan Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah Ketika Membela Mu’awiyah bin Abu Sufyaan
Ada kitab yang cukup “menyenangkan” untuk dipelajari yaitu kitab Istidlaal Asy Syii’ah Bi Sunnah Nabawiyyah Fii Miizaan An Naqd Li ‘Ilmiy
yang ditulis oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad Sa’iid
Dimasyiqiyyah. Ada begitu banyak isu Sunni Syi’ah yang dibahas dalam
kitab yang tebalnya lebih dari seribu halaman ini. Tentu saja dalam
tulisan ini kami tidak akan membahas keseluruhan kitab tersebut. Kami
hanya akan menampilkan sedikit keanehan Syaikh tersebut dalam membela
Mu’awiyah bin Abu Sufyaan.
Isu yang dibahas ini terkait dengan hadis shahih [hasan menurut sebagian ulama] tentang Mu’awiyah bin Abu Sufyaan yang meminum minuman yang diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Secara khusus kami sudah membuat tulisan tersendiri mengenai isu tersebut yang dapat dilihat disini
*****
Hadis Penyimpangan Muawiyah Dalam Musnad Ahmad
Muawiyah dikabarkan meminum minuman yang
diharamkan oleh Rasulullah SAW dan mengajak orang lain untuk meminumnya.
Tindakan seperti ini jelas termasuk penyimpangan yang mesti diluruskan.
Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad 5/347 no 22991:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah
menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat
Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan
makanan dan kami memakannya kemudian
ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku.
Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”.
Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan
dan aku dahulu memiliki kenikmatan seperti yang kudapatkan ketika muda
selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata dalam tahqiq Musnad Ahmad bahwa hadis ini sanadnya kuat. Dalam Syarh Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain disebutkan kalau sanadnya shahih. Al Haitsami menyebutkan hadis ini dalam Majma Az Zawaid 5/54 no 8022 dan mengatakan hadis ini telah diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya adalah perawi shahih.
*****
2. Hadis Mu’awiyah Meminum Minuman Yang Diharamkan : Membantah Syubhat Salafiy
*****
Hadis Muawiyah Meminum Minuman Yang Diharamkan : Bantahan Bagi Salafy
Salafy nashibi memang tidak akan pernah
berhenti membela sahabat pujaan dan pemberi petunjuk bagi mereka yaitu
Muawiyah bin Abi Sufyan. Pembelaan senaif apapun akan tetap ada bahkan
dicari-cari berbagai dalih agar setiap hadis yang menyudutkan Muawiyah
didhaifkan atau ditakwilkan secara ajaib menjadi keutamaan Muawiyah.
Tidak jarang pembelaan itu dibungkus dengan dalih-dalih sok ilmiah untuk
menipu kaum awam atau untuk menenangkan pengikut mereka yang kalang
kabut kalau membaca hadis shahih tentang aib Muawiyah. Pada tulisan kali
ini kami akan membahas syubhat salafy nashibi seputar hadis dimana
Muawiyah meminum minuman yang diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah
menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat
Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan
makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia
meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”.
Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan
dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika
muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” [Musnad Ahmad 5/347 no 22991, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”].
Syubhat Dalam Sanad
Syubhat salafy dalam mencari-cari kelemahan hadis ini adalah menyatakan kalau Zaid bin Hubab termasuk perawi yang sering salah.
Disebutkan kalau Zaid bin Hubab sering salah dalam riwayatnya dari
Sufyan Ats Tsawri. Salafy itu menyatakan kalau Ahmad dan Ibnu Hibban
memutlakkan kesalahan itu tidak hanya pada riwayat Ats Tsawri.
Zaid bin Hubab Ar Rayyan Abu Husain At Taimiy Al ‘Ukliy termasuk perawi Muslim dalam Shahihnya, Ali bin Madini menyatakan ia tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat begitu pula Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat [dalam riwayat Ad Darimi]. Abu Hatim berkata “shaduq shalih”.
Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad berkata “Zaid bin Hubab seorang
yang shaduq dia mengahafal lafaz-lafaz dari Muawiyah bin Shalih tetapi
ia banyak salahnya”. Ibnu Hibban berkata “sering salah, hadisnya diikuti
jika ia meriwayatkan dari masyahir [orang-orang yang dikenal] sedangkan
riwayatnya dari majahil [orang-orang yang tidak dikenal] maka padanya
terdapat hal-hal mungkar. Ibnu Khalfun berkata ia ditsiqatkan Abu Ja’far
dan Ahmad bin Shalih. Daruquthni dan Ibnu Makula menyatakan tsiqat.
Ibnu Syahin berkata “ia ditsiqatkan Utsman bin Abi Syaibah”. Ibnu Yunus
berkata “hadisnya hasan”. Ibnu Ady berkata “ia memiliki banyak hadis
dan ia termasuk diantara syaikh-syaikh kufah yang tsabit yang tidak
diragukan kejujurannya dan Ibnu Ma’in membicarakan hadis-hadisnya dari
Ats Tsawriy yaitu hanya hadis-hadisnya dari Ats Tsawriy yang mengandung
keghariban pada sanadnya dan yang dimana ia menyendiri dalam merafa’kan
sedangkan hadis Ats Tsawriy lainnya dan hadisnya dari selain Ats Tsawriy
semuanya lurus [Tahdzib At Tahdzib juz 3 no 738]. Ibnu Hajar berkata
“shaduq sering keliru dalam hadisnya dari Ats Tsawriy” [At Taqrib 1/327
no 2130]
Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan “seorang ahli ibadah yang tsiqat” [Al
Mizan no 2997]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia seorang hafizh khurasan
dan kufah tidak ada masalah padanya dan terkadang ragu [Al Kasyf no
1729]. Adz Dzahabi dalam As Siyar berkata “Al Imam Al Hafizh Tsiqat” [As Siyaar 9/393 no 126].
Tampak dengan jelas kalau Zaid bin Hubab
seorang yang tsiqat bahkan Ahmad bin Hanbal sendiri menyatakan kalau ia
seorang yang tsiqat dan tidak ada masalah padanya [Al Ilal no 1702].
Bersamaan dengan ketsiqatannya dikatakan pula kalau ia sering salah
tetapi ini tidak bersifat mutlak, kesalahan yang dimaksud adalah
sebagian riwayatnya dari Ats Tsawriy seperti yang dikatakan Ibnu Ma’in
sedangkan riwayatnya selain itu tidak ada masalah.
Perkataan Imam Ahmad
Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad
berkata Zaid bin Hubab seorang yang shaduq, ia dhabit dalam lafaz dari
Muawiyah bin Shalih tetapi ia banyak salahnya [Su’alat Ahmad no 432].
Salah satu kesalahan yang dimaksud
disebutkan sendiri oleh Ahmad bin Hanbal. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan
kepadaku Mu’awiyah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku
Abu Zahiriyyah dari Nimraan Abi Hasan. [Abdullah] berkata Ayahku [Ahmad]
berkata telah menceritakan kepada kami Zaid dari kitabnya Nimraan dan
dari hafalannya Nammar [Al Ilal no 77].
Tampak bahwa yang dipermasalahkan oleh Ahmad bin Hanbal adalah riwayat Zaid bin Hubab dari Muawiyah bin Shalih
tetapi itu tidak bersifat mutlak untuk semua riwayat dari Muawiyah bin
Shalih karena kendati Ahmad mengakui ada kesalahan Zaid dalam riwayat
Muawiyah bin Shalih, ia tetap mengatakan kalau Zaid dhabit dalam lafaz
dari Muawiyah bin Shalih.
Bukti lain bahwa Ahmad bin Hanbal tidak
memutlakkan kesalahan tersebut adalah dia sendiri banyak mengambil hadis
dari Zaid bin Hubab. Zaid bin Hubab termasuk syaikh [guru] Ahmad bin
Hanbal dan tentu saja sebagai seorang murid ia lebih mengetahui
kesalahan yang ada dalam riwayat gurunya. Oleh karena itu hadis-hadis
Zaid bin Hubab yang diambil Ahmad bin Hanbal dan dimasukkan ke dalam
Musnad-nya jelas terbebas dari kesalahan yang dimaksud Ahmad bin Hanbal.
Jika Ahmad bin Hanbal menganggap hadis Zaid itu salah maka ia akan
meninggalkan hadis Zaid tersebut dan ia tidak akan memasukkan hadis itu
ke dalam Musnad-nya .
Perkataan Ibnu Hibban
Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat berkata
“termasuk yang sering salah, hadisnya diikuti jika meriwayatkan dari
masyaahir sedangkan riwayatnya dari orang-orang majhul maka di dalamnya
terdapat pengingkaran” [Ats Tsiqat juz 8 no 13277].
Tidak ada dalam pernyataan Ibnu Hibban
kalau kesalahan tersebut bersifat mutlak, pernyataan Ibnu Hibban jelas
memerlukan perincian dan ulama lain telah memberikan perincian
diantaranya Ibnu Ma’in soal sebagian riwayat Zaid dari Ats Tsawriy atau
Ahmad bin Hanbal soal sebagian riwayat Zaid dari Muawiyah bin Shalih.
Apalagi tampak dalam zahir perkataan Ibnu Hibban kalau kesalahan
tersebut termasuk juga riwayat Zaid bin Hubab dari perawi majhul.
Hal ini disebutkan pula oleh Adz Dzahabi
dalam Al Mizan, selain membawakan riwayat gharib Zaid bin Hubab dari Ats
Tsawriy, ia juga membawakan riwayat Zaid bin Hubab dari Dawud bin
Mudrik seorang yang tidak dikenal [Al Mizan no 297]. Tentu saja riwayat
Zaid bin Hubab dari perawi yang majhul tidaklah menjadi cacat bagi Zaid
melainkan cacat bagi perawi majhul tersebut.
Bukti lain kalau Ibnu Hibban tidak
memutlakkan kesalahan tersebut adalah ia banyak memasukkan hadis Zaid
bin Hubab [termasuk riwayatnya dari Husain bin Waqid] dalam kitab
Shahih-nya diantaranya Shahih Ibnu Hibban 2/474 no 700 dan Shahih Ibnu
Hibban 6/281 no 2540. Kedua hadis ini telah dijadikan hujjah dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban yaitu dengan jalan sanad dari Zaid bin
Hubab dari Husain bin Waqid dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya
secara marfu’.
Kesimpulan kedudukan Zaid bin Hubab
adalah seorang yang tsiqat sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama
tetapi ia memiliki kesalahan diantaranya riwayatnya dari Ats Tsawriy
tetapi hal ini tidak memudharatkan riwayatnya yang lain. Kedudukan
perawi seperti ini adalah periwayatannya diterima sampai ada bukti kalau
ia keliru. Para ulama telah banyak menerima riwayat Zaid bin Hubab
[termasuk riwayat dari Husain bin Waqid] diantaranya Ahmad bin Hanbal,
Ibnu Hibban [sebagaimana disebutkan di atas] dan Imam Muslim sebagaimana
yang disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal [Tahdzib Al Kamal no 2095].
Klaim Tafarrud Zaid bin Hubab
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu
Zur’ah dalam Tarikh-nya 2/677 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq
27/126-127 dengan jalan sanad dari Ahmad bin Syabbuuyah dari Ali bin
Husain bin Waqid dari ayahnya dari Abdullah bin Buraidah yang berkata “aku bersama ayahku masuk menemui Muawiyah”.
Riwayat ini jelas tidak lengkap sedangkan riwayat yang lengkap telah
disebutkan dalam riwayat Zaid bin Hubab sebagaimana disebutkan oleh
Ahmad bin Hanbal.
Ali bin Husain bin Waqid
disebutkan oleh Abu Hatim bahwa ia dhaif hadisnya. Nasa’i berkata tidak
ada masalah padanya. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. [At
Tahdzib juz 7 no 523]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa
menyebutkan salah satu hadisnya dan berkata “tidak memiliki mutaba’ah”
[Adh Dhu’afa 3/226 no 1226]. Ibnu Hajar berkata “shaduq terkadang ragu”
dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau dia seorang yang dhaif tetapi
dapat dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 4717].
Tampak jelas dalam riwayat Ali bin Husain
bin Waqid dari ayahnya kalau riwayat tersebut tidak lengkap hanya
menyebutkan awal kisah dimana Abdullah bin Buraidah dan ayahnya menemui
Muawiyah sedangkan riwayat Zaid bin Hubab menyebutkan kisah tersebut
dengan lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa Ali bin Husain bin Waqid
tidaklah dhabit sehingga ia tidak menghafal seluruh riwayat tersebut
sehingga riwayatnya disini mesti dipalingkan kepada riwayat Zaid bin
Hubab yang dikenal tsiqat.
Dengan dasar ini tidak ada alasan untuk
menjadikan riwayat ini sebagai tafarrudnya Zaid bin Hubab karena Ali bin
Husain bin Waqid bukan seorang yang dikenal tsiqat dan dhabit bahkan
kedudukannya jauh dibawah Zaid bin Hubab. Riwayat ini justru menjadi
bukti kalau Ali bin Husain bin Waqid tidak dhabit dalam menghafal
riwayat tersebut. Berbeda halnya jika Ali bin Husain bin Waqid ini
seorang yang tsiqat tsabit maka benarlah kalau Zaid bin Hubab tafarrud
dengan tambahan lafaz tersebut dari Husain bin Waqid. Singkat kata
syubhat salafy dalam melemahkan hadis ini hanyalah dalih yang
dicari-cari atau mengada-ada demi membela aib Muawiyah.
.
.
Penukilan Al Haitsami
Mengenai penukilan Al Haitsami dimana ia
menuduh kami menyembunyikan perkataan Al Haitsami di bagian akhir jelas
perlu diluruskan. Ketika kami menuliskan riwayat ini kami hanya mengutip
pendapat Al Haitsami terhadap kedudukan hadis tersebut yaitu diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya perawi shahih. Sedangkan perkataan Al Haitsami bahwa “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan”
menunjukkan sikap Al Haitsami yang menolak sebagian matan hadis
tersebut karena mengandung perkara yang bersifat aib bagi sahabat yaitu
Muawiyah. Kami meninggalkan perkataan Al Haitsami tersebut karena tidak
bernilai hujjah.
Sedangkan andai-andai salafy kalau yang dimaksud Al Haitsami adalah ia tinggalkan karena tafarrud riwayat tersebut jelas mengada-ada dengan dua alasan:
- Telah dibahas di atas kalau tafarrud yang dimaksud hanyalah klaim semata yang tidak terbukti kebenarannya karena dasar pernyataan tafarrud adalah hadis dari Ali bin Husain bin Waqid yang kedudukannya jelas lebih rendah dari Zaid bin Hubab yang dikenal tsiqat. Kedudukan sebenarnya riwayat Zaid bin Hubab adalah riwayat lengkap sedangkan riwayat Ali bin Husain bin Waqid tidak lengkap.
- Tafarrud yang ditunjukkan salafy itu tidak terbatas pada perkataan Muawiyah tetapi juga perkataan Abdullah bin Buraidah yaitu “ia mempersilakan kami duduk di hamparan. Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”. Seandainya tafarrud ini menjadi alasan bagi Al Haitsami maka tidak mungkin ia mengkhususkannya dengan perkataan Muawiyah semata. Lihat kembali perkataan Al Haitsami di bagian akhir “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan”.
Jadi sebenarnya disini yang bersangkutan
itu sok merasa yang paling paham terhadap perkataan Al Haitsami padahal
sebenarnya itu hanyalah dalih-dalih dirinya yang mengatasnamakan Al
Haitsami.
Syubhat Dalam Matan
Setelah puas membuat syubhat pada sanad
riwayat tersebut, salafy itu bertingkah membuat syubhat pula pada matan
riwayatnya. Syubhat itu memang agak ajaib karena hasil akhirnya riwayat
yang menjadi aib bagi Muawiyah disulap menjadi keutamaan bagi Muawiyah.
Riwayat bahwa Muawiyah meminum minuman yang diharamkan disulap menjadi
riwayat bahwa Muawiyah tidak lagi meminum minuman yang diharamkan dan
lebih menyukai susu serta adab tinggi Muawiyah dalam menjamu tamu.
Betapa lucunya logika orang yang tergila-gila dengan Muawiyah. Kami akan
membahas syubhat tersebut. Salafy itu mengatakan kalau lafaz:
ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم
Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adalah perkataan Muawiyah bukan perkataan
Buraidah. Jelas ini kekeliruan yang nyata dan buktinya terletak pada
riwayat itu sendiri. Jika dianalisis dengan baik maka sangat jelas kalau
lafaz tersebut adalah perkataan Buraidah. Awalnya Abdullah bin Buraidah
berkata:
عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي
Abdullah bin Buraidah yang berkata
“Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk
di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada kami dan kami memakannya
kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku.
Perhatikan lafaz “maka Muawiyah meminumnya”.
Ini menunjukkan kalau Muawiyah telah meminum minuman tersebut. Kemudian
setelah Muawiyah menawarkan kepada Buraidah riwayat tersebut
dilanjutkan dengan lafaz yang berkata:
ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم
Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perhatikan kata:
ما شربته
yang artinya “tidak meminumnya”. Kata “nya” disitu merujuk pada minuman yang didatangkan atau ditawarkan kepada Buraidah. Sehingga perkataan “tidak meminumnya” artinya orang yang dimaksud tidak meminum minuman tersebut dengan alasan “sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Maka bagaimana mungkin lafaz ini menjadi perkataan Muawiyah padahal
dengan jelas dalam riwayat tersebut sebelumnya terdapat lafaz:
فشرب معاوية
“maka Muawiyah meminumnya” Muawiyah terlebih dahulu minum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah dan Buraidah berkata “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Inilah yang benar, seandainya kita mengikuti kekonyolan salafy tersebut maka riwayat tersebut berbunyi begini.
Abdullah bin
Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia
mempersilakan kami duduk di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada
kami dan kami memakannya kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka
Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Muawiyah berkata “aku
tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam”.
Apa jadinya kisah ini, Muawiyah meminum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah seraya Muawiyah berkata aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah.
Jadi maksudnya Muawiyah sudah tahu kalau minuman itu haram dan ia tetap
meminumnya dihadapan Buraidah kemudian menawarkan kepada Buraidah
minuman haram tersebut seraya berdusta aku tidak pernah meminumnya sejak
diharamkan Rasulullah. Lha jelas saja dusta karena barusan dihadapan
Buraidah Muawiyah meminum minuman tersebut. Dan kalau mengikuti
perandaian salafy bahwa minuman itu susu maka disini Muawiyah mengakui
kalau susu itu diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Inilah kekacauan yang timbul dalam makna
riwayat tersebut jika lafaz Buraidah itu dikatakan sebagai lafaz
Muawiyah. Salafy itu mungkin mengetahui kerancuan ini oleh karena itu ia
membuat teks atau lafaz riwayat sendiri yaitu dengan kata-kata:
Ada kemungkinan Mu’aawiyyah mengucapkan hal itu sebagai penjelasan bahwa “ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan ia lebih menyukai susu”. Itulah yang terlihat secara dhahir keseluruhan lafadh riwayat.
Perkataan ini jelas tidak bernilai hujjah karena lafaz yang dimaksud bukanlah “aku tidak lagi minum minuman yang haram sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” tetapi lafaznya adalah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Dan telah jelas dalam riwayat tersebut kalau “nya” dalam kata “meminumnya” adalah minuman yang disajikan atau ditawarkan kepada Buraidah.
Salafy itu menolak perkataan Buraidah
hanya dengan asumsi kalau memang perkataan itu perkataan Buraidah maka
mengapa hanya sekedar mengabarkan tidak meminumnya sejak diharamkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa tidak ada pengingkaran
yang nyata dari Buraidah. Jawabannya ya mudah saja : justru pengkhabaran
kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaharamkannya adalah
pengingkaran yang paling nyata. Tidak ada hujjah yang paling utama
kecuali hujjah atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Salafy itu juga menolak kalau Muawiyah
meminum khamar dengan alasan ia sendiri meriwayatkan hadis soal hukuman
bagi yang meminum khamar. Kami katakan: tidak usah jauh-jauh, khamar itu
telah diharamkan di dalam Al Qur’an jadi sangat jelas semua orang dan
semua sahabat tahu tetapi diriwayatkan ternyata ada juga sahabat yang
pernah meminum khamar selepas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat
tidak hanya Muawiyah. Jadi tidak ada alasan untuk menolak Muawiyah
meminum khamar walaupun ia sendiri meriwayatkan hadis hukuman bagi
peminum khamar.
Salafy mengatakan bahwa yang disajikan
Muawiyah kepada Buraidah dan anaknya adalah susu bukannya khamar. Ia
berhujjah dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah berikut:
حدثنا زيد بن الحباب عن حسين بن واقد قال حدثنا عبد الله بن بريدة قال : قال : دخلت أنا وأبي على معاوية، فأجْلَسَ أبي على السَّرير، وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ، فقال معاوية:”ما شيءٌ كنتُ أستَلِذَّهُ وأنا شابٌّ فآخُذُهُ اليومَ إلا اللَّبَنَ؛ فإني آخُذُه كما كنتُ آخُذُه قَبْلَ اليَومِ، والحديثَ الحَسَنَ
Telah menceritakan kepada kami Zaid
bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku
masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia [Mu’aawiyyah] mempersilakan duduk
ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun
memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah]
meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah
merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil
pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku
pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].
Riwayat ini adalah riwayat Ibnu Abi
Syaibah dari Zaid bin Hubab sedangkan riwayat yang kami kutip sebelumnya
adalah riwayat Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Hubab. Kedua riwayat ini
menyebutkan kisah yang sama hanya saja riwayat Ahmad lebih lengkap dari
riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah tidak terdapat
perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” sebagaimana yang nampak dalam riwayat Ahmad. Ini adalah ziyadah tsiqat dari Ahmad dan tidak ada keraguan untuk diterima.
Salafy itu menafsirkan riwayat tersebut
dengan prasangka kalau yang disajikan kepada Buraidah dan anaknya adalah
susu. Zhan ini tertolak dengan dasar riwayat Ahmad yang menyebutkan
perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Sejak kapan susu diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kalau memang itu adalah susu tidak mungkin Buraidah menolak seraya
berkata itu telah diharamkan. Tampak dalam zahir riwayat kalau Buraidah
dan anaknya tidak meminum minuman tersebut melainkan Muawiyahlah yang
meminumnya. Sebagaimana yang tertera dalam riwayat Ahmad dan riwayat
Ibnu Abi Syaibah
ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية
Kemudian didatangkan kepada kami makanan maka kami memakannya kemudian didatangkan kepada kami minuman maka Muawiyah meminumnya. [riwayat Ahmad]
وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ
Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah] meminumnya [riwayat Ibnu Abi Syaibah].
Hujjah salafy itu hanya bersandar pada perkataan Muawiyah dibagian akhir riwayat Ibnu Abi Syaibah kalau yang dia ambil pada hari ini adalah susu.
Kami jawab : Muawiyah sudah terbiasa berdalih jika ia merasa disudutkan
atau ada hadis yang menyudutkannya, sebagaimana yang tergambar dalam
salah satu riwayat
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami
‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu
Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang
berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm
kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh
kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan
mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia
mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi
denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar
terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok
pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya
yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan
melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara
pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].
Perkataan Muawiyah kalau yang membunuh
Ammar adalah Imam Ali jelas sebuah kekonyolan dan hinaan yang nyata
kepada Imam Ali. Perkataan Muawiyah ini hanyalah dalih yang dicari-cari
ketika ia merasa tersudut. Bagaimana mungkin Ammar radiallahu ‘anhu yang
berperang disisi Imam Ali dan telah syahid dikatakan kalau Imam Ali
yang membunuhnya?. Apakah sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang syahid di badar dan uhud itu mati karena dibunuh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena Beliau shallallahu
‘alaihi wasallam yang membawanya?, nauzubillah, kami berlindung kepada
Allah SWT dari cara berpikir yang demikian dan ternyata begitulah dalam
pandangan Muawiyah.
Kembali ke riwayat yang kita bahas.
Perkataan Muawiyah disini hanya sekedar dalih ketika ia tersudut oleh
perkataan Buraidah kalau minuman tersebut haram dan ia nyata-nyata
meminumnya. Sehingga ia berdalih kalau minuman tersebut susu sambil
menyindir Buraidah dengan pujian. Perhatikan perkataan Muawiyah:
غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Kecuali susu atau orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku [riwayat Ahmad].
Kalau salafy mengatakan susu yang ada disana dengan hujjah perkataan Muawiyah maka kita katakan “orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” adalah Buraidah. Karena pada hari itu atau saat itu Buraidahlah yang berbicara kepada Muawiyah dengan perkataan “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Bukankah keduanya itu yaitu “susu” dan
“perkataan baik” yang dikatakan Muawiyah ia ambil pada hari itu. Kalau
memang susu yang disajikan kok bisa-bisanya Muawiyah mengatakan
perkataan Buraidah itu baik, apa mengatakan susu diharamkan adalah
perkataan yang baik?. Singkat kata tidak ada gunanya menjadikan
perkataan Muawiyah ini sebagai hujjah karena sangat terlihat itu
hanyalah dalih-dalih yang biasa ia lakukan.
Tentu bagi salafy mereka lebih memilih
menjadikan perkataan Muawiyah itu sebagai hujjah. Ya jelas karena
Muawiyah adalah pemberi petunjuk bagi mereka. Apapun aib yang ada pada
Muawiyah harus disucikan dengan dalih membantah syiah seraya menuduh
keji kepada mereka yang berani membongkar aib Muawiyah walaupun pada
kenyataannya hanya menukil dari hadis shahih. Jadi dapat dimaklumi kalau
gaya bersilat lidah Muawiyah ini diwarisi oleh para pengikut salafy
yang memang gemar membela Muawiyah. Salam Damai
Sedikit Tambahan
Tambahan ini sekedar ingin menunjukkan
sikap keras kepala salafy dalam membela Muawiyah dan keburukannya.
Diantara perkataan salafy yang dimaksud yaitu ia mengklaim tidak ada
ulama atau muhaqqiq yang menyatakan kalau perkataan itu milik Buraidah.
Ucapan ini jelas dusta karena Imam Ahmad sendiri selaku periwayat hadis
ini memahami perkataan tersebut sebagai perkataan Buraidah bukan
perkataan Muawiyah.
Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis
ini dalam Musnad sahabat Anshar yaitu dalam Hadis Buraidah Al Aslamiy.
Buktinya dapat anda lihat disitus ini
sekarang perhatikan kembali hadis di atas.
ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Yang kami cetak biru adalah perkataan
‘Abdullah bin Buraidah. Nah jika salafy beranggapan kalau yang dicetak
merah adalah perkataan Muawiyah maka sudah jelas dalam hadis tersebut
tidak ada satupun perkataan Buraidah. Hal ini bertentangan dengan
keterangan Imam Ahmad bin Hanbal yang memasukkan hadis ini ke dalam
hadis Buraidah Al Aslamiy. Secara zahir menurut keterangan Imam Ahmad
tersebut maka
- Riwayat yang dicetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah
- Riwayat yang dicetak merah adalah perkataan Buraidah Al Aslamiy
- Riwayat yang dicetak hitam adalah perkataan Muawiyah
Jadi sangat jelas Imam Ahmad memasukkan
hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamy karena ia sendiri
beranggapan kalau perkataan yang dicetak merah tersebut adalah perkataan
Buraidah. Tentunya Imam Ahmad bin Hanbal selaku yang meriwayatkan hadis
ini lebih mengetahui maksud perkataan dalam hadis yang ia riwayatkan.
Diantara perkataan salafy lainnya yang
menunjukkan keanehan adalah ketika ditanya soal manhaj Imam Ahmad
mengenai para syaikh-nya. Ia mengatakan kalau Ahmad bin Hanbal tidak
mensyaratkan kalau syuyukh-nya dalam kitab Musnad tidak ia jarh.
Pernyataan ini benar tetapi tidak mengena dengan yang kami bicarakan di
atas. Dalam Musnad Ahmad, Imam Ahmad mensyaratkan kalau syuyukh-nya
adalah orang yang dipercaya olehnya. Kendati terdapat beberapa yang ia
jarh dengan jarh “banyak salah”. Kami tidak menafikan hal ini.
Yang kami tekankan adalah jarh tersebut
tidak dapat dijadikan cacat riwayat tersebut karena Ahmad bin Hanbal
sendiri menerima riwayat yang dimaksud sehingga ia memasukkan dalam
Musnad-nya. Artinya hadis atau riwayat ini tidak termasuk dalam
kesalahan yang ada dalam jarh “banyak salah” Imam Ahmad terhadap
syaikh-nya Zaid bin Hubab. Jika riwayat ini termasuk diantara “banyak
salah-nya” Zaid bin Hubab maka Ahmad bin Hanbal tidak akan memasukkan
riwayat ini kedalam Musnad-nya. Kesimpulannya mencacatkan hadis ini
dengan jarh dari Ahmad bin Hanbal jelas tidak bisa diterima.
Soal dhamir “hu” dalam lafaz di atas maka
kami tidak perlu menanggapi ocehan salafy yang tidak karuan. Sudah
jelas bagi yang mengerti bahasa arab dengan baik maka dhamir “hu” disana
merujuk pada minuman yang ditawarkan kepada Buraidah. Ini adalah fakta
riwayat yang tidak bisa dinafikan begitu saja kecuali jika yang
bersangkutan asal ngotot membuat pembelaan yang ngawur. Cukup ini saja
tambahan singkat dari kami.
*****
Dalam tulisan ini kami lebih memfokuskan pada keanehan Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah ketika membahas hadis tersebut.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah
menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat
Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di atas tikar. Ia menyajikan
makanan kepada kami maka kami memakannya kemudian ia menyajikan kepada
kami minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. [Ayahku] berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”.
Kemudian Mu’awiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang
paling rupawan dan paling bagus giginya, tidak ada kenikmatan yang
kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang
baik perkataannya berbicara kepadaku” [Musnad Ahmad 5/347 no 22991,
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”].
Keanehan pertama adalah Syaikh
‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah seolah tidak mengenal perawi yang bernama
Zaid bin Hubaab. Ia menukil pendapat Syaikh Al Albani yang terkesan
aneh, Syaikh berkata
فإن في السند زيد بن الحباب وهو كما قال الشيخ الألباني « ضعيف. لم يوثقه غير ابن حبان» معجم أسامي الرواة2/75 نقلا عن ضعيف الأدب المفرد77
Sesungguhnya di dalam sanadnya ada
Zaid bin Hubaab dan ia sebagaimana dikatakan Syaikh Al Albaaniy dhaif,
tidak ada yang menyatakan tsiqat kecuali Ibnu Hibban (Mu’jam Asaamiy Ar
Ruwaah 2/75 yang menukil dari Dhaif Adabul Mufraad hal 77) [kitab
Istidlaal Asy Syii’ah Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah hal 977].
Perkataan “dhaif” tersebut adalah dusta
atas Syaikh Al Albaaniy. Kalau kita melihat apa yang tertulis dalam
kitab Mu’jam Asaamiy Ar Ruwaah 2/75 maka tidak ada disebutkan disana
lafaz “dhaif”.
Zaid bin Hubaab [Dhaiif Al Adab hal 77] “tidak ditsiqatkan selain Ibnu Hibban” [7/179] [6/314].
Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah dan
penulis kitab Mu’jam Asaamiy Ar Ruwaah telah keliru dalam memahami
perkataan Syaikh Al Albaaniy. Inilah yang dikatakan Syaikh Al Albaaniy
dalam Dhaif Adabul Mufraad hal 77.
‘Umar bin ‘Utsman yang ada dalam
sanad hadis ini “fiihi jahalah” [tidak dikenal] karena tidak ada yang
meriwayatkan darinya selain Zaid bin Hubaab dan ia yang meriwayatkan
disini, dan tidak ditsiqatkan selain Ibnu Hibbaan [7/179].
Mereka mengira lafaz “tidak ditsiqatkan
selain Ibnu Hibbaan” itu tertuju pada Zaid bin Hubaab padahal sebenarnya
itu tertuju pada ‘Umar bin ‘Utsman. Syaikh Al Albaaniy dengan jelas menyebutkan sumber penukilan Ibnu Hibbaan yaitu Ats Tsiqat 7/179.
عمر بن عُثْمَان بْن عَبْد الرَّحْمَن بْن سعيد بن يَرْبُوع الصرم المَخْزُومِي الْقرشِي من أهل الْمَدِينَة يَرْوِي عَن جده عَن أَبِيه وَله صُحْبَة رَوَى عَنْهُ زيد بْن الْحباب وَهُوَ أَخُو مُحَمَّد بْن عُثْمَان
‘Umar bin ‘Utsman bin ‘Abdurrahman
bin Sa’iid bin Yarbuu’ Ash Sharam Al Makhzuumiy Al Qurasyiy termasuk
penduduk Madinah, meriwayatkan dari kakeknya dari ayahnya yang merupakan
sahabat Nabi, telah meriwayatkan darinya Zaid bin Hubaab, dan ia adalah
saudara Muhammad bin ‘Utsman [Ats Tsiqat Ibnu Hibbaan 7/179].
Kami merasa begitu aneh dengan adanya
kesalahan seperti ini. Menurut kami, orang-orang yang akrab dengan kitab
Rijal dan kitab Hadis tidak akan mudah terjatuh dalam kesalahan seperti
ini. Zaid bin Hubaab adalah perawi yang dikenal tsiqat atau shaduq,
jadi kalau ada ulama yang mengatakan ia dhaif dan tidak ditsiqatkan
selain Ibnu Hibbaan maka pikiran mereka pasti akan terusik untuk
meneliti kebenarannya dan tidak mencukupkan diri dengan nukilan yang
terasa asing.
Keanehan lain yaitu ketika Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah menyatakan lafaz “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah”
sebagai perkataan Mu’awiyah. Syaikh berhujjah ini adalah perkataan
Mu’awiyah dengan dasar bahwa hadis ini dimasukkan oleh para hafizh
seperti Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Katsiir dalam Musnad Mu’awiyah bin Abu
Sufyaan
قوله (ما شربته منذ..) هذا من كلام معاوية وليس من كلام عبد الله بن بريدة وهكذا جعله جميع الحفاظ في مسند معاوية مثل ابن كثير في جامع المسانيد والإمام أحمد في المسند في مسند معاوية
Perkataan [aku tidak meminumnya
sejak…] ini adalah perkataan Mu’awiyah bukan perkataan ‘Abdullah bin
Buraidah dan karena itulah sekumpulan hafizh memasukkannya dalam Musnad
Mu’awiyah seperti Ibnu Katsiir dalam Jaami’ Al Masaanid dan Imam Ahmad
dalam kitab Musnad dalam Musnad Mu’awiyah [kitab Istidlaal Asy Syii’ah
Syaikh ‘Abdurrahman Dimasyiqiyyah hal 978].
Sungguh perkataan ini luar biasa anehnya
jika tidak mau dikatakan dusta. Justru para hafizh seperti Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Katsiir dan Ibnu Hajar memasukkan hadis tersebut dalam
Musnad atau hadis Buraidah Al Aslamiy [radiallahu ‘anhu].
Musnad Ahmad bin Hanbal tahqiq Ahmad Ma’bad ‘Abdul Kariim juz 10 hal 5435-5436
Sengaja kami ambil dari kitab Musnad
Ahmad tahqiq Ahmad Ma’bad Abdul Kariim bukan tahqiq Ahmad Syaakir atau
tahqiq Syu’aib Al Arnauth untuk memudahkan para pembaca melihat bahwa
hadis tersebut dimasukkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam bab “Hadis Buraidah Al Aslamiy”
Jaami’ Al Masaaniid Ibnu Katsiir juz 1 hal 471 hadis no 937
Bisa dilihat di sudut kiri atas bahwa hadis tersebut masuk dalam musnad
Buraidah Al Aslamiy [radiallahu ‘anhu] atau bisa diperhatikan daftar isi
berikut dimana hal 471 itu masuk dalam Musnad Buraidah yaitu bab
riwayat ‘Abdullah bin Buraidah dari Buraidah Al Aslamiy.
Ithaaful Maharah Ibnu Hajar juz 2 hal 597 hadis no 2354
Silakan perhatikan sudut kiri atas, itu
adalah bukti bahwa Ibnu Hajar memasukkan hadis tersebut dalam Musnad
Buraidah yaitu riwayat ‘Abdullah bin Buraidah darinya. Kesimpulannya
perkataan tersebut adalah perkataan Buraidah [radiallahu ‘anhu] maka
oleh karena itulah para hafizh memasukkan hadis tersebut dalam Musnad
atau Hadis Buraidah.
Fenomena keanehan para ulama ketika
membela Mu’awiyah bin Abu Sufyan bukanlah hal yang baru bagi kami. Dan
wajar kalau keanehan ini diikuti oleh para pengikut mereka. Hanya
orang-orang objektif saja yang bisa melihat keanehan ini dan
meninggalkannya. Semoga Allah SWT senantiasa menunjukkan kepada kami
jalan yang lurus.
*****
Kali ini kami persilakan para pembaca melihat video berikut [dalam bahasa arab dan sumbernya dari sini]Dalam video singkat di atas Syaikh Khalid Al Wushabiy membahas tentang hadis Muawiyah yang mati tidak dalam agama Islam dimana hadis ini telah dishahihkan oleh Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy. Syaikh Khalid Al Wushabiy menyatakan hadis tersebut dhaif dan menuduh Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy melakukan talbis.
Kami sudah pernah membahas secara khusus tentang hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam. Hadis tersebut shahih dan telah kami bahas secara detail syubhat-syubhat yang melemahkan hadis tersebut. Silakan bagi yang berminat dapat membaca tulisan kami:
1. Shahih : Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam
*****
Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam?
Terdapat hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam.
Kami akan mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan
kami tidak peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah
membaca tulisan ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis
dalam kitab. Jadi kami tidak mengada-ada.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Ash dari Rasulullah SAW sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121.
عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية
Dari Abdullah bin Amru yang
berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang
dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya
tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah
meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau
ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari
jalan tersebut”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf dengan dua jalan sanad yaitu:
حدثني عبد الله بن صالح حدثني يحيى بن آدم عن شريك عن ليث عن طاووس عن عبد الله بن عمرو
Telah menceritakan kepadaku
Abdullah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Yahya bin
Adam dari Syarik dari Laits dari Thawus dari Abdullah bin Amru [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121]
حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص
Telah menceritakan kepadaku Ishaq
dan Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada
kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami
Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120]
Sanad pertama
semuanya adalah perawi Muslim oleh karena itu Syaikh Al Ghumari
menyatakan hadis tersebut shahih dengan syarat Muslim. Tetapi walaupun
semuanya perawi Muslim terdapat cacat pada sanadnya yaitu Abdullah bin
Shalih dan Laits. Mereka berdua walaupun seorang yang shaduq telah
diperbincangkan oleh para ulama mengenai hafalannya. Sebagaimana yang
disebutkan dalam At Taqrib 1/501 kalau Abdullah bin Shalih jujur tetapi banyak melakukan kesalahan dan At Taqrib 2/48 kalau Laits bin Abi Sulaim jujur tetapi mengalami ikhtilath. Jadi sanad pertama itu dhaif.
Sanad kedua telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat yaitu Ishaq, Abddurrazaq, Ma’mar, Ibnu Thawus dan Thawus. Hanya satu orang yang tidak diketahui kredibilitasnya yaitu Bakr bin Al Haitsam tetapi ini tidak menjadi masalah karena ia meriwayatkan hadis ini bersama dengan Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat dan ma’mun.
- Ishaq adalah Ishaq bin Abi Israil termasuk gurunya Al Baladzuri, ia perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Nasa’i. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 1 no 415, dimana Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Daruquthni, Al Baghawi, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 1/79 Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 338 kalau Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat ma’mun.
- Abdurrazaq bin Hammam adalah perawi kutubus sittah dimana Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan hadisnya. Ia seorang hafiz yang dikenal tsiqat sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/599.
- Ma’mar adalah Ma’mar bin Rasyd perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 10 no 441 menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ajli, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i. Dalam At Taqrib 2/202 ia dinyatakan tsiqat tsabit.
- Abdullah bin Thawus adalah putra Thawus bin Kisan, ia seorang perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 5 no 459 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Daruquthni. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/503 menyatakan Ibnu Thawus tsiqat.
- Thawus bin Kisan Al Yamani adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ia termasuk perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/449 menyatakan kalau Thawus tsiqat.
Jadi dapat disimpulkan kalau sanad kedua
itu diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sehingga sanadnya shahih.
Dengan melihat kedua sanad hadis tersebut maka kedudukan hadis tersebut sudah jelas shahih.
Sanad pertama berstatus dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad kedua yang
merupakan sanad yang shahih. Sekedar informasi hadis ini telah
dishahihkan oleh Syaikh Al Ghumari, Syaikh Hasan As Saqqaf, Syaikh
Muhammad bin Aqil Al Alawy dan Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliki.
Sudah jelas para Nashibi tidak akan rela
dengan hadis ini dan mereka memang akan selalu mencari-cari cara atau
dalih untuk melemahkan hadis tersebut. Terus terang kami tertarik
melihat dalih-dalih nashibi untuk mencacatkan hadis ini. Kita tunggu
saja.
Salam Damai
*****
2. Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam : Bantahan Syubhat Salafiy
*****
Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam : Bantahan Terhadap Salafy
Tidak diragukan kalau Muawiyah pernah
menjadi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi hal ini tidak
membuatnya menjadi orang suci seperti yang digembar-gemborkan oleh para
nashibi. Muawiyah termasuk sahabat yang cukup banyak membuat
penyimpangan dalam syari’at. Ini bukan tuduhan atau celaan tetapi fakta
yang tertera dalam berbagai kitab hadis yang tidak pernah diungkapkan
oleh salafy nashibi dengan dalih “menahan diri dari mencaci sahabat”. Salafy nashibi bisa dibilang cinta mati terhadap sahabat yang suka “memusuhi ahlul bait”.
Jika syiah mencela sahabat mereka naik pitam menyesatkan dan teriak
sana sini tetapi jika Muawiyah mencela Imam Ali mereka mati-matian
membela Muawiyah.
Dan yah mungkin kita sebagai ahlus sunnah
harus mengingat kembali tragedy mengerikan karena ulah anaknya Muawiyah
yang bernama Yazid yaitu pembantaian terhadap Ahlul Bait Nabi Imam
Husain AS beserta keluarganya. Anehnya dengan fakta ini tahukah para
pembaca bahwa di bawah kolong langit hanya ada satu kaum yang dengan
getol membela Yazid bahkan membuat-buat “keutamaan Yazid bin Muawiyah” yaitu salafy nashibi.
Keutamaan Muawiyah?
Sebelum membahas lebih rinci hadis ini
maka kami katakan terlebih dahulu metode yang benar dalam penilaian
adalah tidak hanya bergantung pada satu atau beberapa hadis saja.
Apalagi jika membahas kedudukan seorang seperti Muawiyah. Oleh karena
itu kami telah banyak membahas berbagai tulisan tentang Muawiyah. Salafy
sangat bersemangat dalam membela orang-orang yang menyakiti dan
memusuhi Ahlul Bait bahkan dengan dalih-dalih yang naïf terkesan ilmiah
bagi orang awam tetapi jika diteliti baik-baik jelas sangat dipaksakan.
Dalih pertama yang menggelikan adalah ia mengutip ayat Al Qur’an berikut
لَقَدْ تابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ والمُهاجِرينَ والأنْصارِ الَّذينَ اتَّبَعُوهُ في سَاعَةِ العُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ ما كادَ يَزِيغُ قُلوبُ فَريقٍ مِنهم ثُمَّ تابَ عَلَيْهِم، إنَّهُ بِهِم رَؤوفٌ رَحيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah menerima
taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti
Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir
berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [QS. At-Taubah : 117].
Kami tidak mengerti dari mana datang pikiran yang menyatakan ayat ini sebagai keutamaan bagi Muawiyah, mengingat Muawiyah bukanlah orang yang ikut berhijrah atau orang dari golongan Muhajirin dan bukan pula orang dari golongan Anshar yang merupakan penduduk Madinah.
Dalihnya yang kedua adalah hadis Ummu
Haram dimana salafy nashibi itu ingin menunjukkan keutamaan Muawiyah dan
anaknya Yazid. Berikut hadis yang dimaksud:
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ حِمْصَ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ أُمُّ حَرَامٍ قَالَ عُمَيْرٌ فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ فَقُلْتُ أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq
bin Yaziid Ad-Dimasyqiy telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Hamzah, ia berkata telah menceritakan kepadaku Tsaur bin Yaziid, dari
Khaalid bin Ma’daan bahwa ‘Umair bin Al-Aswad Al-‘Ansiy telah
menceritakan kepadanya bahwa dia pernah menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit
ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia
sedang berada di rumahnya, dan Ummu Haram ada bersamanya. ‘Umair berkata
“Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia pernah mendengar Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pasukan dari umatku yang
pertama kali berperang dengan mengarungi lautan, telah diwajibkan
padanya [pahala]”. Ummu Haram berkata : Aku katakan : “Wahai Rasulullah,
apakah aku termasuk di antara mereka ?”. Beliau bersabda : “Ya, kamu
termasuk dari mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali
bersabda : “Pasukan dari umatku yang pertama kali akan memerangi kota
Qaishar [Romawi] akan diberikan ampunan”. Aku katakan : “Apakah aku
termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab :
“Tidak” [Shahih Al-Bukhaariy no. 2924].
Tidak ada pada hadis ini disebutkan bahwa
keutamaan itu terkhususkan untuk Muawiyah ataupun Yazid. Mereka
salafiyun mengandalkan sejarah bahwa Muawiyah ikut berperang mengarungi
lautan dan Yazid orang yang memerangi kota Qaishar. Tetapi tentu saja
hujjah seperti ini adalah buntung karena mereka tidak memperhatikan
fakta historis lain yang bisa menjungkirbalikkan pendalilan mereka.
Disebutkan dalam sejarah bahwa Yazid bin
Muawiyah inilah yang memerintahkan untuk memerangi dan membunuh penduduk
Madinah pada peristiwa Al Harrah yang mengerikan padahal terdapat hadis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا حسين بن علي الجعفي عن زائدة عن سليمان عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال المدينة حرم فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل منه يوم القيامة عدل ولا صرف
Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar bin Abi Syaibah yang berkata menceritakan kepada kami Husain bin
‘Ali Al Ja’fi dari Za’idah dari Sulaiman dari ‘Abu Shalih dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkata “Madinah
adalah tanah haram, barangsiapa yang melakukan perbuatan keji di
dalamnya atau mendukung orang yang melakukan perbuatan keji tersebut
maka untuknya laknat Allah, malaikat-malaikatnya dan manusia seluruhnya,
dan tidak diterima taubat dan tebusan baginya” [Shahih Muslim 2/999 no 469].
Perhatikan baik-baik hadis ini dan
silakan pikirkan, bagaimana bisa salafy nashibi itu mengklaim keutamaan
Yazid padahal dapat dilihat bahwa ia telah melakukan perbuatan keji
kepada penduduk Madinah dan berdasarkan hadis shahih akan mendapat laknat dari Allah SWT dan tidak diterima taubatnya. Dari sisi ini saja kita dapat menyatakan bahwa Yazid bin Muawiyah tidak termasuk kedalam golongan mereka yang mendapatkan keutamaan hadis Ummu Haram.
Belum lagi jika dimasukkan kekejian lainnya seperti pembantaian
keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah kita katakan kalau
mereka yang membela Yazid akan mendapat percikan keburukannya.
Begitu pula halnya dengan Muawiyah,
banyak fakta historis yang justru menjungkirbalikkan pemahaman salafy
terhadap keutamaan Muawiyah. Bukankah dalam sejarah diketahui kalau
Muawiyah ini membunuh Hujr bin ‘Ady padahal ia seorang sahabat Nabi dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Nabi SAW bersabda “Mencaci seorang Muslim adalah kefasiqan dan Membunuhnya adalah kekufuran”. [Shahih Bukhari no 48, no 6044 dan no 7076].
Sejarah membuktikan bahwa Muawiyah telah
melakukan keduanya, ia mencela Imam Ali dan memerintahkan orang lain
untuk mencela Imam Ali dan ia pula yang memerintahkan membunuh Hujr bin
Ady radiallahu ‘anhu. Bukankah fakta sejarah menunjukkan kalau Muawiyah
memerangi Imam Ali dalam perang Shiffin tanpa alasan yang haq sehingga
membuat terbunuhnya sahabat yang mulia Ammar bin Yasir radiallahu’ anhu:
ويقول ويح عمار تقتله الفئة الباغية يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار قال فجعل عمار يقول أعوذ بالرحمن من الفتن
Dan Rasulullah SAW bersabda “kasihan
Ammar, ia dibunuh oleh kelompok pembangkang. Ia mengajak mereka ke
surga, mereka malah mengajaknya ke neraka. Ammar berkata “Aku berlindung
kepada Ar Rahman dari fitnah”. [Musnad Ahmad 3/90 no 11879 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]
Dengan melihat hadis ini, coba ingat-ingat wahai pembaca apakah pernah salafy menyebutkan salah satu keutamaan Muawiyah adalah pembangkang yang mengajak ke neraka. Bisa dipastikan mereka tidak pernah dan tidak akan pernah mau mengungkapkannya. Dengan dalih “menahan diri mencela sahabat” mereka bungkam dan lucunya malah menampakkan hal yang sebaliknya berusaha mencari-cari keutamaan Muawiyah.
Dengan melihat hadis ini, coba ingat-ingat wahai pembaca apakah pernah salafy menyebutkan salah satu keutamaan Muawiyah adalah pembangkang yang mengajak ke neraka. Bisa dipastikan mereka tidak pernah dan tidak akan pernah mau mengungkapkannya. Dengan dalih “menahan diri mencela sahabat” mereka bungkam dan lucunya malah menampakkan hal yang sebaliknya berusaha mencari-cari keutamaan Muawiyah.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان قال ثنا حماد بن سلمة قال انا أبو حفص وكلثوم بن جبر عن أبي غادية قال قتل عمار بن ياسر فأخبر عمرو بن العاص قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ان قاتله وسالبه في النار فقيل لعمرو فإنك هو ذا تقاتله قال إنما قال قاتله وسالبه
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang
menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata menceritakan kepada kami
Hammad bin Salamah yang berkata menceritakan kepada kami Abu Hafsh dan
Kultsum bin Jabr dari Abi Ghadiyah yang berkata “Ammar bin Yasar
terbunuh kemudian dikabarkan hal ini kepada Amru bin ‘Ash” [Amru]
berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
“yang membunuhnya dan merampas miliknya berada di neraka”. Dikatakan
kepada Amru “bukankah kamu membunuhnya” ia berkata “sesungguhnya
[Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata yang membunuhnya dan
merampas miliknya” [Musnad Ahmad 4/198 no 17811 Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”]
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami
‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu
Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang
berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm
kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh
kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan
mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia
mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi
denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar
terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok
pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya?
Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka
membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia
berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].
Perhatikanlah perkataan Muawiyah dimana ia mengatakan kalau Imam Ali lah yang membunuh Ammar,
apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membunuh
sahabat-sahabat yang syahid pada perang badar dan uhud?, naudzubillah
cara berpikir macam apa itu. Bukankah sangat jelas ini adalah celaan
yang nyata dari Muawiyah kepada Imam Ali. Kita serahkan hal ini kepada
Allah SWT. Tidak diragukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda tentang Ammar “ia dibunuh oleh kelompok pembangkang” dan disebutkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “bahwa yang membunuh Ammar dan merampas miliknya akan berada di neraka”.
Sejarah membuktikan kalau kelompok yang membunuh Ammar bin Yasir adalah
kelompok Muawiyah dalam perang Shiffin. Pernahkah salafy membahas ini
dalam keutamaan Muawiyah bin Abu Sufyan? Jawabannya tidak pernah, mereka
memang punya kebiasaan pilih-pilih hadis dan mendistorsi hadis-hadis
shahih yang tidak sesuai keyakinan mereka.
Kalau kita teruskan pembahasan secara
historis ini maka terdapat fakta lain yang cukup mengejutkan. Muawiyah
yang dikatakan oleh pengikut salafiyun sebagai sahabat yang mulia
ternyata juga meminum khamar.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah
menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat
Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan
makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia
meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak
meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”… [Musnad Ahmad 5/347 no 22991 Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”].
Tentunya sebagai seorang sahabat yang
dikatakan mulia oleh sebagian orang sudah pasti mengetahui dengan jelas
bahwa meminum khamar itu haram. Sangat jelas dalam Al Qur’an dan hadis.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد ثنا فليح عن سعد بن عبد الرحمن بن وائل الأنصاري عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال لعن الله الخمر ولعن شاربها وساقيها وعاصرها ومعتصرها وبائعها ومبتاعها وحاملها والمحمولة إليه وآكل ثمنها
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada
kami Yunus bin Muhammad yang menceritakan kepada kami Fulaih dari Sa’d
bin ‘Abdurrahman bin Wail Al Anshari dari ‘Abdullah bin Abdullah bin
Umar dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
“Allah melaknat khamar, dan melaknat yang meminumnya, yang
menuangkannya, yang membuatnya dan yang meminta dibuatkan, yang
menjualnya, yang mengangkutnya dan yang meminta diangkut dan yang
memakan keuntungannya [Musnad Ahmad 2/97 no 5716, Syaikh Syu’aib berkata “shahih dengan jalan-jalannya”].
Kita masih dapat meneruskan fakta
historis lain tentang Muawiyah. Tahukah para pembaca pemimpin seperti
apa Muawiyah. Hadis Shahih membuktikan dengan jelas pemimpin seperti apa
Muawiyah.
حدثنا زهير بن حرب وإسحاق بن إبراهيم ( قال إسحاق أخبرنا وقال زهير حدثنا جرير ) عن الأعمش عن زيد بن وهب عن عبدالرحمن بن عبد رب الكعبة قال دخلت المسجد فإذا عبدالله بن عمرو بن العاص جالس في ظل الكعبة والناس مجتمعون عليه فأتيتهم فجلست إليه فقال كنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في سفر فنزلنا منزلا فمنا من يصلح خباءه ومنا من ينتضل ومنا من هو في جشره إذ نادى منادي رسول الله صلى الله عليه و سلم الصلاة جامعة فاجتمعنا إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ( إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم وإن أمتكم هذه جعل عافيتها في أولها وسيصيب آخرها بلاء وأمور تنكرونها وتجيء فتنة فيرقق بعضها بعضها وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه مهلكتي ثم تنكشف وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه هذه فمن أحب أن يزحزح عن النار ويدخل الجنة فلتأته منيته وهو يؤمن بالله واليوم الآخر وليأت إلى الناس الي يحب أن يؤتى إليه ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر ) فدنوت منه فقلت أنشدك الله آنت سمعت هذا من رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فأهوى إلى أذنيه وقلبه بيديه وقال سمعته أذناي ووعاه قلبي فقلت له هذا ابن عمك معاوية يأمرنا أن نأكل أموالنا بيننا بالباطل ونقتل أنفسنا والله يقول { يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما } [ 4 / النساء / 29 ] قال فسكت ساعة ثم قال أطعه في طاعة الله واعصه في معصية الله
Telah menceritakan kepada kami Zuhair
bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim (Ishaq berkata telah mengabarkan kepada
kami dan Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Jarir) dari
‘Amasy dari Zaid bin Wahb dari Abdurrahman bin Abdi Rabbi Al Ka’bah yang
berkata Aku pernah masuk ke sebuah masjid, kulihat Abdullah bin Amr’
bin Ash sedang duduk dalam naungan Ka’bah dan orang-orang berkumpul di
sekelilingnya. Lalu aku mendatangi mereka dan duduk disana, dia berkata
“Dahulu kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan kemudian kami
singgah di suatu tempat. Diantara kami ada yang memperbaiki tendanya,
menyiapkan panah dan menyiapkan makanan hewan tunggangannya. Ketika itu
seorang penyeru yang diperintahkan Rasulullah SAW menyerukan “Marilah
shalat berjama’ah”. Kami berkumpul menuju Rasulullah SAW dan Beliau
bersabda “Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumKu kecuali menjadi
kewajiban baginya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang
diketahuinya serta memperingatkan mereka akan keburukan yang
diketahuinya bagi mereka. Sesungguhnya UmatKu ini adalah umat yang baik
permulaannya akan tetapi setelahnya akan datang banyak bencana dan
hal-hal yang diingkari. Akan datang suatu fitnah yang membuat sebagian
orang memperbudak yang lain. Akan datang suatu fitnah hingga seorang
mukmin berkata “inilah kehancuranku”. Kemudian fitnah tersebut hilang
dan datanglah fitnah yang lain hingga seorang mukmin berkata “inilah
dia, inilah dia”. Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka
dan dimasukkan ke dalam surga hendaklah ia mati dalam keadaan beriman
kepada Allah dan hari akhir serta memperlakukan manusia sebagaimana yang
ia suka untuk dirinya. Barangsiapa yang membai’at seorang Imam dan
setuju dengan sepenuh hati maka hendaklah ia mentaatinya semampunya.
Lalu jika yang lain hendak merebutnya maka bunuhlah ia”. Aku
mendekatinya seraya berkata “Demi Allah apakah engkau mendengar ini dari
Rasulullah SAW?. Maka dia (Abdullah bin Amr bin Ash) mengisyaratkan
dengan tangan pada kedua telinga dan hatinya sambil berkata “Aku
mendengar dengan kedua telingaku dan memahaminya dengan hatiku”. Aku
berkata kepadanya “Ini
Anak pamanmu Muawiyah dia memerintahkan kami untuk memakan harta
diantara kami secara bathil dan saling membunuh diantara kami”.
Padahal Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yang beriman janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil kecuali
dengan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah Maha Penyayang
terhadapmu”{An Nisa ayat 29}. Lalu dia diam sejenak dan berkata
“Taatilah dia dalam ketaatan kepada Allah dan langgarlah ia dalam
bermaksiat kepada Allah ” [Shahih Muslim 3/1472 no 1844].
Ternyata terbukti dalam hadis shahih bahwa Muawiyah adalah seorang pemimpin yang zalim.
Dalam pemerintahannya bermunculan celaan dan cacian terhadap Imam Ali
baik darinya ataupun para pejabatnya. Ia pula yang memerintahkan
membunuh Hujr bin Adi sahabat Nabi yang mulia, tidak takut meminum
khamar, memerintahkan untuk memakan harta secara bathil dan membunuh
orang-orang muslim. Jadi sangat bisa dimaklumi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda:
حدثني إبراهيم بن العلاف البصري قال سمعت سلاماً أبا المنذر يقول قال عاصم بن بهدلة حدثني زر بن حبيش عن عبد الله بن مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم معاوية بن أبي سفيان يخطب على المنبر فاضربوا عنقه
Telah menceritakan kepadaku Ibrahim
bin Al Alaf Al Bashri yang berkata aku telah mendengar dari Sallam Abul
Mundzir yang berkata telah berkata Ashim bin Bahdalah yang berkata telah
menceritakan kepadaku Zirr bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud yang
berkata Rasulullah SAW bersabda “Jika kamu melihat Muawiyah bin Abi
Sufyan berkhutbah di mimbarKu maka tebaslah lehernya” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 5/130 dengan sanad yang hasan]
Kami katakan kepada pengikut salafy
nashibi pecinta Muawiyah, jangan merasa bahwa cuma kalian orang yang
tahu sejarah dan ilmu hadis. Di dunia ini ada banyak manusia yang tidak
terikat doktrin salafy nashibi yang mampu membahas sejarah secara
objektif. Kami pribadi tidak perlu mencela Muawiyah, bagi kami itu tidak
perlu. Cukuplah bagi kami memaparkan apa-apa saja yang telah ia lakukan
yang terpampang jelas dalam sejarah dan hadis. Terdapat hadis shahih
yang menyebutkan kalau Muawiyah mati tidak di atas agama islam. Salafy
nashibi berusaha melemahkan hadis tersebut dengan syubhat-syubhat yang
tidak ilmiah. Salah satu syubhat yang mereka katakan adalah hadis
tersebut bertentangan dengan keutamaan Muawiyah dalam hadis Ummu Haram.
Kami jawab
- Hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam adalah hadis yang jelas membicarakan tentang pribadi Muawiyah, penunjukkannya sangat jelas sedangkan hadis Ummu Haram tidak jelas membicarakan keutamaan Muawiyah. Tidak ada hal yang patut dipertentangkan, hadis Ummu Haram bersifat umum sedangkan hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam bersifat khusus. Jadi kedua hadis ini masih bisa dikompromikan dalam arti Muawiyah tidak termasuk dalam keutamaan hadis Ummu Haram. Ada banyak sekali pasukan yang ikut bertempur di laut, mereka yang dengan ikhlas bertempur karena Allah SWT dan syahid disana maka wajib atas mereka pahala. Sedangkan mereka yang menginginkan harta dan kekuasaan atau setelah peristiwa itu mereka melakukan keburukan atau maksiat atau menentang Allah SWT dan Rasul-Nya maka tidak ada alasan untuk tetap menyatakan keutamaan mereka.
- Hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam sangat klop dengan berbagai fakta historis dan hadis-hadis shahih tentang penyimpangan yang dilakukan Muawiyah. Memang sezalim apapun seorang yang mengaku muslim bukan hak kita untuk menyatakan ia kafir tetapi pada kasus Muawiyah terdapat hadis shahih yang dengan jelas menyatakan ia mati tidak dalam agama islam.
Syubhat berikutnya dari salafy nashibi
adalah mereka menyatakan matan hadis tersebut idhthirab dan sanadnya
memiliki illat. Kami akan tunjukkan bahwa pernyataan mereka hanyalah
dalih yang dicari-cari.
Pembahasan Matan Hadis Yang Dikatakan Idhthirab
Inti dari syubhat salafy nashibi adalah
mereka membawakan hadis lain dimana mereka mengatakan kalau orang yang
dimaksud bukanlah Muawiyah tetapi Hakam bin Abil Ash. Berikut hadis yang
mereka jadikan hujjah
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ ذَهَبَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ يَلْبَسُ ثِيَابَهُ لِيَلْحَقَنِي فَقَالَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ لَيَدْخُلَنَّ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ لَعِينٌ فَوَاللَّهِ مَا زِلْتُ وَجِلًا أَتَشَوَّفُ دَاخِلًا وَخَارِجًا حَتَّى دَخَلَ فُلَانٌ يَعْنِي الْحَكَمَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Numair telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim dari Abu
Umaamah bin Sahl bin Hunaif dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Kami
pernah duduk-duduk di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
ketika itu ‘Amru bin Al-‘Aash pergi berjalan dengan mengenakan baju
untuk menemuiku. Beliau bersabda [sementara kami berada di sisinya ]
“Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat”.
Maka demi Allah, semenjak beliau mengatakan itu, aku selalu
melihat-lihat ke dalam dan ke luar hingga datanglah si Fulan, yaitu Al
Hakam [Musnad Ahmad 2/163 no 6520 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib].
Sekarang perhatikan matan hadis “Muawiyah tidak mati di dalam agama islam”. Jika diperhatikan dengan baik. Apa yang disematkan kepada Al Hakam dan Muawiyah jelas berbeda, orangnya berbeda, hadis yang diucapkan juga berbeda:
Sekarang perhatikan matan hadis “Muawiyah tidak mati di dalam agama islam”. Jika diperhatikan dengan baik. Apa yang disematkan kepada Al Hakam dan Muawiyah jelas berbeda, orangnya berbeda, hadis yang diucapkan juga berbeda:
عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية
Dari Abdullah bin Amru yang berkata
aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang dari
jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak
berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah meninggalkan
ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau ia akan datang
dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari jalan tersebut” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121].
Pada hadis Ahmad tentang Al Hakam disana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat” sedangkan pada hadis Al Baladzuri tentang Muawiyah disana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”.
Al Hakam seorang yang dilaknat dan Muawiyah mati tidak dalam agama
islam, kedua hadis tersebut benar tidak ada perselisihan matan dan
dimana letak idhthirab yang dimaksud?. Kedua hadis tersebut bisa saja
merujuk pada dua peristiwa yang berbeda dimana peristiwa yang satu
membicarakan Al Hakam dan peristiwa lain membicarakan Muawiyah. Apakah
Abdullah bin ‘Amru bin Ash seumur hidupnya bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam hanya satu kali saja duduk bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam?. Atau kedua hadis tersebut merujuk peritiwa yang sama
dimana pada bagian pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
membicarakan tentang Al Hakam dan setelah itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam membicarakan tentang Muawiyah [atau sebaliknya].
Pembahasan Illat Sanad Hadis
Salafy nashibi berusaha melemahkan hadis ini dengan menunjukkan kelemahan pada ‘Abdurrazaq bin Hammam. Logika salafy itu adalah ia
menunjukkan adanya idhthirab dan menjadikan idhthirab ini bagian dari
kesalahan Abdurrazaq karena ia berubah hafalannya di usia senja.
Kami tekankan kembali tidak ada yang namanya idhthirab pada matan hadis
tersebut, itu cuma akal-akalan salafy. Kedua hadis baik menyebutkan Al
Hakam dan Muawiyah adalah benar. Pertama-tama mari kita lihat kembali
sanad hadis tersebut
حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص
Telah menceritakan kepadaku Ishaq dan
Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada
kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami
Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120].
Abdurrazaq bin Hammam adalah seorang
hafizh yang tsiqat, satu-satunya kelemahan yang dituduhkan padanya
adalah soal ia berubah hafalannya pada usia senja ketika matanya telah
buta.
و قال أبو زرعة الدمشقى ، عن أبى الحسن بن سميع ، عن أحمد بن صالح المصرى : قلت لأحمد بن حنبل : رأيت أحدا أحسن حديثا من عبد الرزاق ؟ قال : لا . قال أبو زرعة : عبد الرزاق أحد من ثبت حديثه
Abu Zur’ah ad-Dimsayqi berkata dari
Abul Hasan bin Sami’, dari Ahmad bin Shalih al-Mishri yang berkata Aku
berkata kepada Ahmad bin Hanbal ”Adakah kau lihat orang yang lebih baik
haditsnya daripada ’Abdurrazaq?” beliau menjawab ”tidak”. Abu Zur’ah
berkata ”Abdurrazaq adalah salah seorang yang kuat haditsnya.” [Tahdzib Al Kamal 18/56 no 3415]
و قال يعقوب بن شيبة ، عن على ابن المدينى ، قال : لى هشام بن يوسف : كان عبد الرزاق أعلمنا و أحفظنا . قال يعقوب : و كلاهما ثقة ثبت .
Ya’qub bin Syaibah berkata, dari ’Ali
ibnul Madini yang berkata Hisyam bin Yusuf berkata kepadaku “Abdurrazaq
itu orang yang lebih ’alim dan hafizh daripada kami.” Ya’qub berkata
keduanya [Hisyam bin Yusuf dan ’Abdurrazaq] adalah sama-sama tsiqat
tsabit [Tahdzib Al Kamal 18/58 no 3415]
و قال أبو بكر بن أبى خيثمة : سمعت يحيى بن معين و قيل له : إن أحمد بن حنبل قال : إن عبيد الله بن موسى يرد حديثه للتشيع ، فقال : كان والله الذى لا إله إلا هو عبد الرزاق أغلى فى ذلك منه مئة ضعف ، و لقد سمعت من عبد الرزاق أضعاف أضعاف ما سمعت من عبيد الله .
Abu Bakr bin Abi Khaitsamah berkata
aku mendengar Yahya bin Main ketika ada yang berkata padanya
”Sesungguhnya Ahmad bin Hanbal berkata, bahwa sesungguhnya ’Ubaidillah
bin Musa membantah hadits ’Abdurrazaq dikarenakan tasyayu’-nya.” Lantas
Ibnu Ma’in membantah ”Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq
untuk di sembah melainkan Dia, ’Abdurrazaq itu jauh lebih bernilai
darinya berkali-kali lipat. Dan sungguh aku telah mendengar dari
’Abdurrazaq berkali-kali lipat daripada aku mendengar dari ’Ubaidillah.”
[Tahdzib Al Kamal 18/59 no 3415]
و قال أبو زرعة الدمشقى : قلت لأحمد بن حنبل : كان عبد الرزاق يحفظ حديث معمر ؟ قال : نعم . قيل له : فمن أثبت فى ابن جريج عبد الرزاق أو محمد بن بكر البرسانى ؟ قال : عبد الرزاق قال : و أخبرنى أحمد بن حنبل ، قال : أتينا عبد الرزاق قبل المئتين و هو صحيح البصر و من سمع منه بعدما ذهب بصره ، فهو ضعيف السماع .
Abu Zur’ah Ad Dimasyq berkata Aku
bertanya kepada Ahmad bin Hanbal ”Apakah ’Abdurrazaq mengahafal
haditsnya Ma’mar?” beliau menjawab : ”iya”. Ada yang bertanya pada
beliau ”Mana yang lebih tsabit dari Ibnu Juraij, ’Abdurrazaq atau
Muhammad bin Bakr Al Barsaani?” beliau menjawab ”Abdurrazaq”. [Abu
Zur’ah berkata] Ahmad bin Hanbal memberitakan kepadaku ”Kami mendatangi
’Abdurrazaq sebelum tahun 200 H dan beliau dalam keadaan sehat matanya.
Barangsiapa yang mendengarkan darinya setelah ia buta maka
pendengarannya lemah [Tahdzib Al Kamal 18/8 no 3415]
عبد الرزاق بن همام بن نافع الحميري مولاهم أبو بكر الصنعاني ثقة حافظ مصنف شهير عمي في آخر عمره فتغير وكان يتشيع .
’Abdurrazaq bin Hammam bin Nafi’ Al
Himyari maula mereka Abu Bakr Ash Shan’ani seorang yang tsiqat hafizh
penulis [mushannaf] yang terkenal, buta pada akhir usianya maka
hafalannya berubah dan ia bertasyayyu’ [At Taqrib 1/599].
Kesimpulannya ’Abdurrazaq
bin Hammam seorang hafiz yang tsiqat dan tsabit dalam hadis, sebelum
buta ia seorang yang tsiqat mutlak tetapi setelah buta hafalannya
berubah sehingga pendengaran hadis setelah ia buta mengandung kelemahan.
Mengenai tasyayyu’ Abdurrazaq bin Hammam itu tidaklah membahayakan
hadisnya karena ia sendiri mengutamakan Abu Bakar dan Umar dibanding
Imam Ali bahkan dalam Tahrir At Taqrib dinyatakan bahwa penisbatan
tasyayyu’ terhadap ‘Abdurrazaq tidaklah tsabit. [Tahrir At Taqrib no
4064].
Yang meriwayatkan hadis ini dari
‘Abdurrazaq bin Hammam adalah Ishaq bin Abi Israil seorang hafizh yang
tinggal di Baghdad dan wafat tahun 246 H. sedangkan ‘Abdurrazaq adalah
seorang hafizh yang tinggal di Shan’a wafat tahun 211 H. ‘Abdurrazaq
buta matanya pada tahun 200 H atau setelahnya, jadi perawi yang
mendengar hadis darinya sebelum tahun 200 H jelas shahih. Ishaq bin ‘Abi Israil pergi ke Shan’a dan mendengar hadis dari para hafizh disana sebelum tahun 200 H.
Bukti untuk hal ini adalah Abu Dawud telah meriwayatkan hadis dari
Ishaq bin ‘Abi Israil [Abu Ya’qub Al Baghdadi] dari Hisyam bin Yusuf As
Shan’ani dimana Ishaq bin ‘Abi Israil meriwayatkan hadis dengan lafal “telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Yusuf”
[Sunan Abu Dawud 1/607 no 1985]. Hisyam bin Yusuf Ash Shan’ani adalah
seorang qadhi di Shan’a yang wafat pada tahun 197 H [At Taqrib 2/268].
Jadi Ishaq bin ‘Abi Israil datang ke Shan’a dan mendengar hadis dari
ulama disana seperti Hisyam bin Yusuf dan ‘Abdurrazaq bin Hammam sebelum
tahun 197 H. Pada saat itu jelas ‘Abdurrazaq bin Hammam seorang yang
hafiz tsiqat tsabit secara mutlak.
Illat [cacat] lain yang ditunjukkan
salafy adalah pernyataan Al Khallal yang dikutip oleh Ibnu Qudamah bahwa
‘Abdurrazaq bin Hammam meriwayatkan hadis ini dari Ma’mar dari Ibnu
Thawus yang mendengar dari Furkhaasy dari ayahnya Ibnu Thawus dari
‘Abdullah bin ‘Amru:
وسألت أحمد، عن حديث شريك، عن ليث، عن طاوس، عن عبدالله بن عمرو، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “يطلع عليكم رجل من أهل النار”، فطلع معاوية قال: إنما ابن طاوس، عن أبيه، عن عبد الله بن عمرو أو غيره، شك فيه قال الخلال: رواه عبدالرزاق، عن معمر، عن ابن طاوس، قال: سمعت فرخاش يحدث هذا الحديث عن أبي، عن عبد الله ابن عمرو.
Dan aku pernah bertanya kepada Ahmad
tentang hadits Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin
‘Amru, ia berkata “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ‘Akan datang kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan
penghuni neraka’. Lalu muncullah Mu’aawiyyah”.Ahmad berkata “Hadits itu
hanyalah diriwayatkan oleh Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Abdulah bin
‘Amru atau selainnya, ia [Thawus] ragu-ragu dalam penyebutannya.
Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus. Ia [Ibnu
Thawuus] berkata Aku mendengar Furkhaasy menceritakan hadits ini dari
ayahku, dari ‘Abdullah bin ‘Amr” [Al Muntakhab minal-‘Ilal lil-Khallaal, hal. 228 no. 136].
Salafy mengatakan bahwa hadis ini mengandung idhthirab pada sanadnya karena Ibnu Thawus meriwayatkan dari ayahnya tanpa perantara dan Ibnu Thawus meriwayatkan dari ayahnya melalui perantara Furkhaasy seorang yang majhul, sehingga nampak adanya idhthirab pada sanad tersebut yang mungkin bersumber dari ‘Abdurrazaq bin Hammam.
Pernyataan salafy ini ma’lul, sangat jelas keliru bagi mereka yang meneliti sanad hadis tersebut dengan baik. Hadis yang tsabit sanadnya
adalah riwayat Ishaq bin ‘Abi Israil dari ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari
Ibnu Thawus dari Ayahnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash. Sedangkan
pernyataan Al Khallal bahwa ‘Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar dari
Ibnu Thawus dari Furkhaasy dari ayah Ibnu Thawus dari ‘Abdullah bin
‘Amru jelas tidak tsabit atau inqitha’.
Al Khallal lahir pada tahun 234 H [As Siyar 14/297 no 193] sedangkan
‘Abdurrazaq bin Hammam wafat pada tahun 211 H [At Taqrib 1/599]. Ketika
Al Khallal lahir ‘Abdurrazaq bin Hammam sudah lama wafat, sanadnya
inqitha’ [terputus] sedangkan Ibnu Abi Israil meriwayatkan langsung dari
‘Abdurrazaq. Jadi periwayatan Ishaq bin Abi Israil dari ‘Abdurrazaq
lebih tsabit sedangkan pernyataan Al Khallal inqitha’ atau terputus
sanadnya. Bagaimana mungkin dikatakan sanadnya idhthirab kalau yang satu
tsabit dan yang satunya inqitha’. Jelas sekali berdasarkan metode ilmu
hadis bahwa sanad yang tsabit lebih rajih.
Al Baladzuri termasuk ulama besar, Adz Dzahabi menuliskan keterangan tentang Al Baladzuri dalam kitabnya As Siyar dan Tadzkirah Al Huffazh.
Adz Dzahabi menyebut ia seorang penulis Tarikh yang masyhur satu
thabaqat dengan Abu Dawud, seorang Hafizh Akhbari Allamah [Tadzkirah Al
Huffazh 3/893]. Disebutkan kalau ia seorang yang alim dan mutqin [Al
Wafi 3/104]. Tidak ada alasan untuk menolak atau meragukan Al Baladzuri,
Ibnu Hajar telah berhujjah dengan riwayat-riwayat Al Baladzuri dalam
kitabnya diantaranya dalam Al Ishabah, Ibnu Hajar pernah berkata “dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi”
[Al Ishabah 2/98 no 1767]. Penghukuman sanad la ba’sa bihi oleh Ibnu
Hajar berarti ia sendiri berhujjah dan menta’dil Al Baladzuri. Soal
kedekatan kepada penguasa itu tidaklah merusak hadisnya karena banyak
para ulama yang dikenal dekat dengan penguasa tetapi tetap dijadikan
hujjah seperti Az Zuhri dan yang lainnya. Para ulama baik dahulu maupun
sekarang tetap menjadikan kitab Al Balazuri sebagai sumber rujukan baik
sirah ansab maupun hadis.
Syubhat salafy yang lainnya adalah ia
membawakan hadis keutamaan Imam Hasan sebagai Sayyid yang akan
mendamaikan dua kelompok kaum muslimin.
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ سَمِعَ أَبَا بَكْرَةَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ مَرَّةً وَيَقُولُ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Telah menceritakan kepada kami
Shadaqah telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah telah menceritakan
kepada kami Abu Muusaa, dari Al-Hasan bahwasannya ia mendengar Abu
Bakrah Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar
bersabda – ketika itu Al-Hasan berada di samping beliau, sesekali beliau
melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya
“Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid [pemimpin] dan semoga dengan
perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum
Muslimin” [Shahih Bukhaariy no 3746]
Menjadikan hadis ini sebagai penentang hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam jelas tidak tepat. Logika sederhana saja misalnya jika dalam kelompok Muawiyah tersebut terdapat orang munafik atau orang kafir yang ikut-ikutan memecah belah, maka apakah penyebutan “kelompok besar dari kaum muslimin” tidak bisa digunakan. Ya tetap bisa, seandainya ada satu atau dua orang yang kafir di kelompok Muawiyah dan mayoritasnya muslim maka tetap bisa disebut kelompok besar kaum muslimin. Selain itu peristiwa antara Imam Hasan dan Muawiyah terjadi jauh sebelum Muawiyah wafat bahkan sebelum Muawiyah memerintah kaum muslimin, jadi sangat tidak tepat untuk dijadikan penentang hadis yang menjelaskan Muawiyah ketika matinya tidak dalam agama islam. Lagi-lagi logika sederhana kalau awalnya ada seorang muslim yang rajin ibadah kemudian ia mati dalam keadaan kafir maka apakah ada orang yang akan menolak sambil berkata “dia tidak mati kafir karena dulu waktu muda saya tahu dia muslim”. Seorang muslim yang menjadi murtad atau menjadi kafir adalah sesuatu yang bisa saja terjadi.
Menjadikan hadis ini sebagai penentang hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam jelas tidak tepat. Logika sederhana saja misalnya jika dalam kelompok Muawiyah tersebut terdapat orang munafik atau orang kafir yang ikut-ikutan memecah belah, maka apakah penyebutan “kelompok besar dari kaum muslimin” tidak bisa digunakan. Ya tetap bisa, seandainya ada satu atau dua orang yang kafir di kelompok Muawiyah dan mayoritasnya muslim maka tetap bisa disebut kelompok besar kaum muslimin. Selain itu peristiwa antara Imam Hasan dan Muawiyah terjadi jauh sebelum Muawiyah wafat bahkan sebelum Muawiyah memerintah kaum muslimin, jadi sangat tidak tepat untuk dijadikan penentang hadis yang menjelaskan Muawiyah ketika matinya tidak dalam agama islam. Lagi-lagi logika sederhana kalau awalnya ada seorang muslim yang rajin ibadah kemudian ia mati dalam keadaan kafir maka apakah ada orang yang akan menolak sambil berkata “dia tidak mati kafir karena dulu waktu muda saya tahu dia muslim”. Seorang muslim yang menjadi murtad atau menjadi kafir adalah sesuatu yang bisa saja terjadi.
Ada logika salafy yang lebih parah, ia mengatakan mungkinkah Imam Hasan akan berdamai pada orang yang nantinya mati bukan diatas agama islam.
Dari dulu penyakit salafy adalah mereka jadi pura-pura bodoh kalau
terkait dengan pembelaan terhadap Muawiyah. Kalau mau diperhatikan
dengan baik Muawiyah itu sudah salah dari sisi manapun.
Khalifah yang sah pada saat itu sudah jelas Imam Hasan dan apa dasarnya
Muawiyah menentang, tidak lain itu disebabkan Muawiyah memang
menginginkan kursi kekhalifahan makanya ia tidak mau taat kepada Imam
Hasan. Bukannya itu yang dilihat salafy eh malah mereka memuliakan
Muawiyah dengan alasan Imam Hasan telah berdamai dengannya. Apa salafy
itu buta kalau awalnya Imam Hasan memerangi Muawiyah?. Imam Hasan
berdamai dengan Muawiyah untuk menyelamatkan darah kaum muslimin karena
Beliau tidak suka melihat lebih banyak lagi darah kaum muslimin yang
tertumpah dalam masalah ini. Lagipula pada saat itu Muawiyah menampakkan
keislaman dan tentu seseorang itu dinilai berdasarkan apa yang nampak
darinya, soal perkara mau jadi apa ia nanti itu urusannya dengan Allah
SWT.
Bukankah terdapat hadis Rasulullah SAW
yaitu Hadis Al Haudh dimana Rasulullah SAW menjelaskan kalau diantara
sahabatnya aka ada yang murtad sepeninggal Beliau sehingga tertolak di
Al Haudh. Apakah pernah Rasulullah SAW menghisab atau menghukum
sahabat-sahabat tersebut ketika Beliau masih hidup?. Apakah pernah
Rasulullah SAW menyebut para sahabat itu dengan kata-kata “kafir” atau
“murtad”?. Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan
perlakuan terhadap mereka?. Jelas tidak, manusia tidak dihukum atas apa
yang belum ia lakukan.
Mengapa pula salafy itu mengherankan Imam
Hasan yang berdamai dengan kelompok pembangkang yaitu Muawiyah dan
pengikutnya. Dengar baik-baik wahai salafy, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam saja pernah berdamai dengan orang-orang kafir di
Hudaibiyah. Semua itu mengandung hikmah yang diketahui oleh orang-orang
yang mengetahuinya. Jadi logika pincang ala skizoprenik seperti itu
tidak usah dipamerkan dalam tulisan ilmiah. Sebenarnya tidak ada ruang
bagi salafy untuk menolak riwayat Al Baladzuri tersebut dengan syarat
mereka melihat rangkaian hadis-hadis tentang Muawiyah, tidak hanya apa
yang kami paparkan disini tetapi juga hadis-hadis lain yang menunjukkan
apa saja yang telah ia lakukan baik dalam sejarah maupun hadis.
Di kalangan ulama yang terpercaya
ternyata ada juga yang mengakui kalau Muawiyah tidak mati di atas agama
Islam. Ulama yang dimaksud adalah Ali bin Ja’d Abu Hasan Al Baghdadi:
سمعت أبا عبد الله، وقال له دلويه: سمعت علي بن الجعد يقول: مات والله معاوية على غير الإسلام
Aku mendengar Abu ‘Abdullah [Ahmad
bin Hanbal] yang berkata Dalluwaih berkata aku mendengar dari ‘Ali bin
Ja’d yang berkata “demi Allah, Muawiyah mati bukan dalam agama islam” [Masa’il Ahmad bin Hanbal riwayat Ishaq bin Hani no 1866].
Ahmad bin Hanbal jelas orang yang terpercaya. Dalluwaih adalah Ziyad bin ‘Ayub perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Abu Hatim berkata “shaduq” Nasa’i menyatakan tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. [At Tahdzib juz 3 no 654] Ibnu Hajar berkata “hafizh tsiqat” [At Taqrib 1/317]. Ali bin Ja’d sendiri seorang yang tsiqat, perawi Bukhari dan ‘Abu Dawud, Ibnu Ma’in berkata “tsiqat shaduq”, Abu Zur’ah berkata “shaduq dalam hadis”. Abu Hatim menyatakan ia seorang yang mutqin shaduq. Shalih bin Muhammad menyatakan tsiqat, Nasa’i berkata “shaduq”. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit” [At Tahdzib juz 7 no 502]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 1/689]. Jika Ali bin Ja’d yang dengan jelas menyatakan Muawiyah mati bukan dalam agama islam tetap dinyatakan tsiqat dan dijadikan hujjah hadisnya, maka atas dasar apa pengikut salafiyun itu mencela kami dalam masalah ini. Apakah hanya karena dengki? Atau memang begitu tabiat para pengingkar.
Ahmad bin Hanbal jelas orang yang terpercaya. Dalluwaih adalah Ziyad bin ‘Ayub perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Abu Hatim berkata “shaduq” Nasa’i menyatakan tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. [At Tahdzib juz 3 no 654] Ibnu Hajar berkata “hafizh tsiqat” [At Taqrib 1/317]. Ali bin Ja’d sendiri seorang yang tsiqat, perawi Bukhari dan ‘Abu Dawud, Ibnu Ma’in berkata “tsiqat shaduq”, Abu Zur’ah berkata “shaduq dalam hadis”. Abu Hatim menyatakan ia seorang yang mutqin shaduq. Shalih bin Muhammad menyatakan tsiqat, Nasa’i berkata “shaduq”. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit” [At Tahdzib juz 7 no 502]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 1/689]. Jika Ali bin Ja’d yang dengan jelas menyatakan Muawiyah mati bukan dalam agama islam tetap dinyatakan tsiqat dan dijadikan hujjah hadisnya, maka atas dasar apa pengikut salafiyun itu mencela kami dalam masalah ini. Apakah hanya karena dengki? Atau memang begitu tabiat para pengingkar.
Apakah para pendengki dan pengingkar itu
mau menerima kebenaran ini? Sepertinya tidak karena pengalaman
membuktikan salafy nashibi tidak akan pernah mau menerima hal-hal yang
bertentangan dengan doktrin mahzab mereka. Mereka sok berkata “jangan
bertaklid” padahal diri sendiri penuh dengan taklid. Kesimpulannya :
Hadis Al Baladzuri bahwa Muawiyah mati tidak dalam agama islam adalah
shahih. Akhir kata kami akan mengutip perkataan salafy
Sebagaimana tergambar pada omongan seorang Raafidliy sebelum membawakan riwayat Al Balaadzuriy :
Terdapat hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam. Kami akan mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan kami tidak peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah membaca tulisan ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis dalam kitab. Jadi kami tidak mengada-ada.
Kita katakan : Kami tidak pernah terkejut dengan tulisan Anda – walhamdulillah – , karena memang itulah tabiat Anda dan orang-orang yang sepemahaman dengan Anda semenjak beratus-ratus tahun lalu, tidak ada perubahan – kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah ta’ala.
Baguslah kalau anda sekarang mengakui kalau diri anda termasuk “nashibi pecinta berat Muawiyah”.
Dan bicara soal tabiat, justru tabiat anda dan orang-orang sepemahaman
dengan anda inilah yang melahirkan banyak perpecahan di kalangan kaum
muslim. Kelompok seperti anda yang suka merendahkan kelompok muslim lain
dengan gelar-gelar ejekan memang sudah ada dari berates-ratus tahun
lalu, malah semakin parah di zaman sekarang. Semoga Allah SWT memberikan
hidayah kepada anda dan yang lainnya untuk menerima kebenaran.
Salam damai
*****
Kali ini kami akan menunjukkan bahwa sebenarnya Syaikh Khalid Al
Wushabiy yang melakukan talbis dan Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy
telah benar dalam pernyataan shahih-nya terhadap hadis ini. Hadis yang
dimaksud diriwayatkan oleh Al Baladzuriy dalam kitabnya Ansab Al Asyraaf.وحدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص قال: كنت عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي قد وضع له وضوء، فكنت كحابس البول مخافة أن يجيء، قال: فطلع معاوية فقال النبي صلى الله عليه وسلم هو هذا
Dan telah menceritakan kepadaku Ishaaq dan Bakr bin Al Haitsam
keduanya berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq bin Hammaam
yang berkata telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus
dari Ayahnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash yang berkata “aku berada
di sisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Beliau berkata “akan
datang kepada kalian dari jalan ini seorang laki-laki yang mati tidak
diatas agamaku”. [‘Abdullah bin ‘Amru] berkata “dan ketika itu aku
meninggalkan ayahku yang sedang disiapkan untuknya air wudhu’ maka aku
seperti orang yang sedang menahan buang air kecil karena khawatir ia
yang akan datang. [‘Abdullah bin ‘Amru] berkata “maka Mu’awiyah datang”.
Kemudian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “dialah orangnya”
[Ansaab Al Asyraaf Al Balaadzuriy 5/134].
Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy menyatakan hadis riwayat Al Balaadzuriy di atas shahih sebagaimana dapat dilihat berikut:
رواه البلاذري عن شيخيه بكر بن الهيثم وإسحاق بن أبي إسرائيل (وهذا ثقة أما أبا بكر فلم أجد له ترجمة لكنه توبع من إسحاق) كلاهما روياه عن عبد الرزاق الصنعاني (وهو ثقة إمام) عن معمر بن راشد (وهو ثقة إمام) عن عبد الله بن طاووس (وهو ثقة إمام) عن طاووس بن كيسان والده (وهو ثقة إمام) عن عبد الله بن عمرو بن العاص وهو صحابي –على تعريف المحدثين
Al Balaadzuriy meriwayatkan dari gurunya Bakr bin Al Haitsam dan Ishaaq bin Abi Isra’iil [dan dia ini tsiqat adapun Bakr maka tidak ditemukan biografinya tetapi ia memiliki mutaba’ah dari Ishaaq], keduanya meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq Ash Shan’aaniy [dan ia tsiqat imam] dari Ma’mar bin Raasyid [ dan ia tsiqat imam] dari ‘Abdullah bin Thaawus [dan ia tsiqat imam] dari Thaawus bin Kaisaan ayahnya [dan ia tsiqat imam] dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Aash dan ia sahabat Nabi sebagaimana dikenal para ahli hadis [Ma’a Syaikh Abdullah As Sa’d hal 166]Syaikh Khaalid Al Wushaabiy dalam video diatas menuduh Syaikh Hasan bin Farhan melakukan talbis. Lafaz “bin abi Isra’iil” dikatakan Syaikh Khaalid berasal dari kantong Syaikh Hasan bin Farhan saja karena sebenarnya Ishaaq disana adalah Ishaaq bin Ibrahiim Ad Dabariy yang dikenal meriwayatkan hadis mungkar dari Abdurrazzaaq. Maka hadis ini termasuk riwayat mungkar tersebut dan dhaif.
Anehnya Syaikh Khaalid tidak membawakan hujjah atas perkataannya, ia hanya mengklaim Ishaaq tersebut adalah Ishaaq bin Ibrahiim Ad Dabariy karena ia termasuk murid ‘Abdurrazzaaq. Ketika ditanyakan kepada Syaikh Khaalid darimana Syaikh Hasan bin Farhan mengatakan perawi itu Ishaaq bin Abi Israa’iil maka jawaban Syaikh Khalid adalah “Ishaaq bin Abi Israa’il termasuk diantara guru Al Balaadzuriy tetapi Ishaaq bin Abi Isra’iil tidak meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy”.
Sungguh menggelikan, Syaikh Khaalid menuduh Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy melakukan talbis padahal hakikatnya ia sendiri yang melakukan talbis. Kami heran apakah Syaikh Khalid sudah membuka kitab-kitab Rijal dan kitab-kitab Hadis. Ishaaq bin Abi Isra’iil itu sudah dikenal termasuk murid Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy jadi dari mana Syaikh Khalid mengatakan Ishaaq bin Abi Isra’iil tidak meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq.
Silakan lihat kitab Tahdzib Al Kamal biografi Abdurrazzaq Ash Shan’aniy [Tahdziib Al Kamal 18/54 no 3415] akan ditemukan bahwa salah satu muridnya adalah Ishaaq bin Abi Isra’iil.
Kemudian lihat kitab Tahdzib Al Kamal biografi Ishaaq bin Abi Isra’iil
[Tahdziib Al Kamal 2/399 no 338] maka akan ditemukan bahwa salah satu
gurunya adalah Abdurrazzaaq Ash Shan’aniy.
Al Bukhariy Dalam Tarikh Al Kabir 2/75:
Ibnu Sa’d Dalam Thabaqat Ibnu Sa’d 7/178:
Abu Ya’la Dalam Musnad Abu Ya’la 3/113 no 1544:
Ath Thahaawiy Dalam Musykil Al Atsar 7/7 no 2583:
Al Balaadzuriy Dalam Ansaab Al Asyraaf 2/353:
Seharusnya sebelum berbicara di depan umum ada baiknya Syaikh Khaalid meneliti dengan benar membuka kitab Rijal dan kitab Hadis. Kesalahan seperti ini sebenarnya termasuk kesalahan yang tidak perlu terjadi bagi mereka yang sudah akrab dengan berbagai kitab Rijal dan kitab Hadis. Bagaimana bisa Syaikh Khalid mencela Syaikh Hasan bin Farhan melakukan talbis padahal Syaikh Khaalid belum meneliti dengan benar perkara ini. Menggebu-gebu membela Muawiyah bin Abu Sufyaan terkadang membuat sebagian ulama terlihat konyol.
Oh iya inilah Syaikh Khalid Al Wushabiy yang sering dibangga-banggakan oleh Muhammad ‘Abdurrahman Al ‘Amiry. Jika yang melakukan kesalahan seperti ini adalah ulama Syi’ah maka Al ‘Amiry akan bersemangat mengatakan ulama Syi’ah tersebut bodoh hina gila dan umpatan yang lainnya. Tetapi bagaimana kalau yang melakukan kesalahan tersebut adalah Syaikh Khalid Al Wushaabiy ulama pujaannya.
Kami tidak punya masalah dengan Syaikh Khaalid Al Wushaabiy sebagaimana kami juga tidak menganggap Syaikh Hasan bin Farhan Al Malikiy sebagai ulama pujaan. Bagi kami semua ulama itu kedudukannya sama yaitu setiap pendapatnya harus ditimbang dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Mana diantara perkataan mereka yang sesuai dengan dalil maka itu yang diambil dan mana diantara perkataan mereka yang tidak sesuai dengan dalil maka itu ditinggalkan.
(Syiahali/Scondprince/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email