Pesan Rahbar

Home » » Dialog: Catatan Atas Syubhat Abu Azifah : Hadis “Apa Yang Aku Dan SahabatKu Ada Di Atasnya”

Dialog: Catatan Atas Syubhat Abu Azifah : Hadis “Apa Yang Aku Dan SahabatKu Ada Di Atasnya”

Written By Unknown on Monday, 16 November 2015 | 21:07:00

Hadis yang dibahas dalam tulisan ini adalah hadis dhaif yang seringkali dibela mati-matian oleh segelintir orang naif [walaupun telah nampak kedhaifannya]. Yaitu hadis dengan lafaz dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diriwayatkan berkata:

وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي

Sesungguhnya bani Israil akan terpecah belah menjadi 72 golongan sedangkan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan. Mereka [para sahabat] bertanya “siapakah golongan itu wahai Rasulullah?”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “apa yang Aku dan para sahabat-Ku ada di atasnya”. [Sunan Tirmidzi 5/26 no 2641].

Jauh sebelum hari ini, kami telah membuat tulisan khusus tentang hadis ini beserta bantahan terhadap syubhat yang membela hadis ini. Silakan bagi yang berminat dapat melihat pembahasannya dalam tulisan
1.  Kedudukan Hadis “Apa yang Aku dan sahabat-Ku ada di atasnya”.

 *****
Kedudukan Hadis “Apa Yang Aku Dan Para SahabatKu Ada Di Atasnya”

Hadis Iftiraqul Ummah adalah hadis masyhur di kalangan umat Islam. Hadis tersebut mengatakan bahwa Umat Islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Sebagian orang yang berasal dari mahzab salafy mengklaim bahwa Salafy adalah golongan yang selamat dari ke-73 golongan tersebut. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti jejak Para Sahabat Nabi atau memahami Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat. Sayangnya hadis yang mereka jadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang sangat dhaif. .

Hadis Iftiraqul Ummah yang akan dibahas diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/26 no 2641.

حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الحفري عن سفيان الثوري عن عبد الرحمن بن زياد الأفريقي عن عبد الله بن يزيد عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ليأتين على أمتي ما أتى على بني إسرائيل حذو النعل بالنعل حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذلك وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghaylan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Al Hafari dari Sufyan Ats Tsawri dari Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dari Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Amr yang berkata “Rasulullah SAW bersabda “Sungguh akan datang pada UmatKu sesuatu yang datang pada bani Israil seperti sandal yang berjajar dengan sandal yang lain hingga ada diantara mereka yang menyetubuhi ibunya terang-terangan dan pada umatku akan ada yang demikian. Sesungguhnya bani Israil akan terpecah belah menjadi 72 golongan sedangkan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya “siapakah golongan itu wahai Rasulullah SAW?”. Beliau SAW menjawab “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”.

Syaikh Al Albani telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 2641 seraya berkata bahwa hadis ini hasan. Pernyataan Beliau sudah jelas keliru dan mengandung kerancuan. Hadis ini sendiri sanadnya dhaif dan jika Syaikh menghasankan hadis Tirmidzi ini berdasarkan penguat dari hadis-hadis Iftiraq Al Ummah yang lain maka Beliau sudah salah alamat. Hadis Iftiraq Al Ummah lain yang bersanad shahih memang mengandung kata-kata “akan terpecah belah menjadi 73 golongan” tetapi tidak satupun dari hadis-hadis penguat tersebut yang menyebutkan bahwa golongan yang selamat itu adalah “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”. Tambahan ini sangat jelas dhaif baik dari segi sanad maupun matannya. Oleh karena itu jelas sekali hadis Iftiraq Al Ummah yang lain tidak bisa dijadikan penguat bagi riwayat Tirmidzi di atas.

Penyebab dhaifnya hadis Tirmidzi di atas adalah Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dimana ia adalah seorang perawi yang dhaif. Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 358 telah menyebutkan biografi Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dimana ia telah dilemahkan oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Yahya bin Sa’id, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Kharrasy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Di antaranya Ibnu Hajar mengutip:

وقال بن أبي خيثمة عن بن معين ضعيف

Ibnu Abi Khaitsamah berkata dari Ibnu Ma’in “dhaif”.

وقال النسائي ضعيف وقال بن خزيمة لا يحتج به وقال بن خراش متروك

An Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Khuzaimah berkata “tidak bisa dijadikan hujjah” dan Ibnu Kharrasy berkata “matruk”.

An Nasa’i telah memasukkan Abdurrahman bin Ziyad ke dalam Kitabnya Ad Dhu’afa no 361 dan berkata:

عبد الرحمن بن زياد بن أنعم الإفريقي ضعيف

Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi dhaif

Daruquthni juga memasukkan Abdurrahman bin Ziyad dalam kitabnya Ad Dhu’afa no 338 dan berkata:

عبدالرحمن بن زياد بن أنعم الأفريقي، ليس بالقوي

Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi tidak kuat.

Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi memang dikenal dhaif sehingga banyak kitab Ad Dhu’afa menyebutkan namanya. Selain Nasa’i dan Daruquthni, Ibnu Hibban juga menyebutkannya sebagai perawi dhaif dalam Al Majruhin no 586 seraya berkata bahwa Abdurrahman bin Ziyad sering meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para perawi tsiqat. Al Uqaili juga memasukkan nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/332 no 927 dan Adz Dzahabi juga memasukkan nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam Mughni Ad Dhu’afa no 3566 dan mengatakan bahwa ia seorang yang dikenal dhaif dan dinyatakan dhaif oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Daruquthni dan Ahmad.

Selain dalam Sunan Tirmidzi ternyata hadis dengan matan “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya” juga diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 dan Mu’jam Al Ausath 5/137 no 4886:

حدثنا عيسى بن محمد السمسار الواسطي حدثنا وهب بن بقية حدثنا عبد الله بن سفيان المدني عن يحيى بن سعيد الأنصاري عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي

Telah menceritakan kepada kami Isa bin Muhammad Al Wasithi yang berkata telah menceritakan kepada kami Wahab bin Baqiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sufyan Al Madani dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya “siapakah golongan itu”. Beliau SAW menjawab “Apa yang Aku dan para SahabatKu ada di atasnya pada hari ini”. At Thabrani berkata dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 setelah menyebutkan hadis ini:

لم يروه عن يحيى إلا عبد الله بن سفيان

Tidak diriwayatkan dari Yahya kecuali oleh Abdullah bin Sufyan Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena Abdullah bin Sufyan. Al Uqaili menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/262 no 815 dan berkata:

عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي عن يحيى بن سعيد لا يتابع على حديثه

Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i Al Wasithi meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, tidak diikuti hadisnya. Setelah itu Al Uqaili membawakan hadis riwayat Thabrani ini sebagai penegasan akan kedhaifan riwayat tersebut dan tidak layak untuk diikuti. Adz Dzahabi menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Mughni Ad Dhu’afa no 3197 dan Adz Dzahabi juga memasukkan Abdullah bin Sufyan sebagai perawi dhaif dalam kitab Diwan Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 2187. Oleh karena itu sudah jelas riwayat Thabrani inipun tidak layak untuk dijadikan hujjah.

*****
2.  Bantahan Terhadap Orang Yang Mengatakan Hadis “Apa yang Aku dan sahabat-Ku ada di atasnya” Hasan lighairihi.
*****
Bantahan Terhadap Salafy : Benarkah Hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya” Berstatus Hasan Lighairihi?

Jika anda sering mengkaji kitab-kitab Salafy maka anda dapat melihat Antagonisme Salafy dalam berhadapan dengan hadis-hadis yang menjadi hujjah mereka. Jika hadis tersebut bertentangan dengan keyakinan mereka, contohnya berkenaan dengan tawassul (yang menjadi hujjah para ulama Alawy) atau keutamaan Ahlul Bait (yang sering menjadi hujjah Syiah) maka salafy akan bersikap ketat dalam mencacatkan hadis tersebut. Tetapi jika suatu hadis menjadi dasar hujjah mereka, maka mereka bertasahul dalam menguatkan hadis tersebut. Contoh nyata adalah hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya”. Telah berlalu penjelasan kami bahwa hadis ini berstatus dhaif tetapi salafy telah berupaya dengan “begitu memaksa” bahwa hadis ini berstatus hasan lighairihi. Berikut adalah bantahan kami.

Pembahasan Sanad Hadis Al Ifriqy Dan Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i

Pada dasarnya Salafy tidak membawakan sanad lain dari hadis “Apa Yang Aku dan SahabatKu Ada Di Atasnya”. Salafy hanya membawakan riwayat Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy dan Abdullah bin Sufyan, kemudian membuat kesimpulan bahwa kedua riwayat itu saling menguatkan sehingga berstatus hasan lighairihi.

Kesimpulan tersebut terburu-buru tetapi salafy dengan cerdik membungkusnya dengan kata-kata yang seolah-olah ilmiah tetapi mengandung kerancuan. Mengenai Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy ia adalah seorang yang dhaif dan kami tidak keberatan kalau dikatakan bahwa dhaifnya Abdurrahman disebabkan kelemahan pada hafalannya. Memang ada indikasi yang menunjukkan ke arah sana seperti
Adanya penta’dilan dari beberapa ulama terhadap Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy

Sebagian dari Jarh yang disematkan pada Abdurrahman bukan bersifat jarh yang menjatuhkan keadilan perawi seperti perkataan “tidak kuat”, “ada kelemahan padanya” atau “ada hal-hal yang diingkari dalam hadisnya”.

Walaupun begitu terdapat pula sebagian ulama yang menetapkan jarh yang bersifat syadid dan ada yang memberikan alasannya. Diantaranya adalah Imam Ahmad yang bahkan tidak mau menulis hadis darinya, Ibnu Kharrasy yang menyatakan ia matruk, An Nasa’i yang menyatakan ia dhaif, dan Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Al Majruhin no 586 sebagai perawi dhaif dan ia berkata:

كان يروي الموضوعات عن الثقات

Ia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari perawi tsiqat.

Salafy mengatakan bahwa perkataan Ibnu Hibban berlebihan karena jika pernyataan Ibnu Hibban benar maka akan masyhur pernyataan ulama bahwa Abdurrahman seorang pendusta atau minimal tertuduh melakukan kedustaan. Logika seperti ini tidak mutlak benar karena ada kalanya para ulama memang berselisih paham terhadap kedudukan suatu perawi karena ulama yang satu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh ulama lain dan mungkin pula sebaliknya. Sehingga kaidah yang benar menyebutkan bahwa jarh yang bersifat mufassar (dijelaskan sebabnya) lebih diutamakan dibanding ta’dil. Melihat status Abdurrahman bin Ziyad, kita melihat ada ulama yang menyatakan ia matruk dan tidak mau menulis hadis darinya. Hal ini merupakan suatu kemungkinan bahwa para ulama tersebut pada dasarnya bersepakat dengan Ibnu Hibban yang mencacat Abdurrahman dengan cacat yang menjatuhkan. Kami pribadi tidak melihat adanya ulama yang membantah perkataan Ibnu Hibban dengan mengatakan bahwa Ibnu Hibban berlebih-lebihan dalam hal ini, bahkan Ibnu Jauzi memasukkan Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy dalam kitabnya Ad Dhu’afa Wal Matrukin 1670 dengan mengutip perkataan Ibnu Hibban.

Salafy juga mengutip pernyataan Ibnu Hajar dalam At Taqrib yang menyatakan bahwa Abdurrahman bin Ziyad orang yang lemah hafalannya. Itu adalah pendapat Ibnu Hajar sedangkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib no 3862 justru mengatakan kalau Abdurrahman bin Ziyad dhaif dan dapat dijadikan I’tibar. Dengan mempertimbangkan semua pernyataan di atas maka kami berkesimpulan bahwa pada dasarnya Abdurrahman bin Ziyad dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah tetapi hadisnya dapat dijadikan I’tibar dan menjadi naik statusnya jika dikuatkan oleh perawi yang setaraf dengannya atau lebih tinggi darinya.

Jadi agar hadis Abdurrahman bin Ziyad naik statusnya menjadi hasan lighairihi maka ia harus dikuatkan oleh perawi yang setingkat dengannya atau lebih baik darinya. Salafy hanya membawakan riwayat Abdullah bin Sufyan sebagai penguat Abdurrahman bin Ziyad. Tentu saja Abdullah bin Sufyan tidaklah setingkat dengan Abdurrahman disebabkan:
1. Abdullah bin Sufyan hanya dikenal melalui hadis ini artinya yang meriwayatkan darinya hanya satu orang yaitu Wahab bin Baqiyah, jadi ia berstatus majhul ‘ain.
2. Tidak ada satupun Ulama yang memberikan predikat ta’dil padanya sehingga bagaimana bisa ditentukan ‘adalahnya (keadilannya).
3. Terdapat Ulama seperti Al Uqaili dan Adz Dzahabi yang memasukkannya ke dalam daftar perawi dhaif.

Bagaimana mungkin Salafy dengan mudahnya berkata:
Jika kita perhatikan perkataan para ahli hadits di atas terhadap ‘Abdullah bin Sufyaan, maka kritik mereka disebabkan karena kebersendiriannya dalam periwayatan. Jenis kelemahan ini biasa disebabkan karena keraguan atas kekuatan hapalannya – dan ia merupakan kelemahan yang ringan.

Perkataan ini mengandung kerancuan. Kebersendirian Abdullah bin Sufyan dalam periwayatan dinyatakan dhaif karena tidak ada satupun ulama yang memberikan predikat ta’dil padanya (ditambah lagi hadisnya tidak diikuti) sehingga dalam hal ini kredibilitasnya tidak diakui. Ini saja sudah cukup untuk mengatakan sebab pendhaifan Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i bukan karena kelemahan pada hafalannya. Bagaimana bisa salafy mengatakan bahwa cacat Abdullah bin Sufyan terletak pada hafalannya padahal tidak ada yang memberikan predikat ta’dil padanya. Jika pernyataan ini disebabkan ketidaksengajaan maka itu adalah kekeliruan atau kecerobohan dan jika dilakukan dengan sengaja maka itu adalah sebuah kedustaan. Kelemahan Abdullah bin Sufyan jelas lebih parah dibanding Al Ifriqy lantas bagaimana bisa ia menjadi penguat bagi Abdurrahman Al Ifriqy.

Salafy mengutip pernyataan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 1/448 no 899:

رواه الطبراني في الصغير وفيه عبد الله بن سفيان قال العقيلي لا يتابع على حديثه هذا وقد ذكره ابن حبان في الثقات

Diriwayatkan Thabrani dalam As Shaghir dan didalamnya ada Abdullah bin Sufyan. Al Uqaili berkata “hadisnya tidak diikuti” dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat.

Pernyataan Al Haitsami layak diberikan catatan. Pernyataannya yang mengutip Al Uqaili benar adanya dan memang itulah yang tertulis dalam kitab Ad Dhu’afa Al Uqaili 2/262 no 815 tetapi kami tidak menemukan nama Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Bahkan diantara ulama yang menyebutkan tentang Abdullah bin Sufyan tidak ada satupun yang mengutip pentsiqahan Ibnu Hibban.
1. Adz Dzahabi baik dalam kitabnya Mizan Al I’tidal no 4356 , Mughni Ad Dhu’afa no 3197 dan Diwan Ad Dhu’afa Al Matrukin no 2187 tidak menyebutkan adanya pentsiqahan dari Ibnu Hibban, Adz Dzahabi hanya mengutip pencacatan Al Uqaili.
2. Ibnu Hajar dalam Lisan Al Mizan juz 3 no 1230 juga menyebutkan tentang Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i, Ibnu Hajar mengutip pencacatan Al Uqaili tetapi tidak sedikitpun menyebutkan kalau Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.

Kami berpandangan bahwa Al Haitsami keliru soal perkataannya bahwa Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i disebutkan dalam Ats Tsiqat Ibnu Hibban (kecuali kalau salafy memang menemukannya dalam Ats Tsiqat, karena tidak menutup kemungkinan bahwa kami bisa juga keliru) . Seandainya pula Ibnu Hibban memasukkan Abdullah bin Sufyan dalam Ats Tsiqat maka itu tidak akan menjadi hujjah apapun bagi Salafy karena sangat masyhur di kalangan salafy bahwa Tautsiq Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat tidak menjadi hujjah jika ia menyendiri karena menurut Salafy, Ibnu Hibban sering memasukkan perawi-perawi majhul dalam kitabnya Ats Tsiqat.

Kesimpulan dari kedua sanad tersebut adalah sanad dengan Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqy adalah dhaif walaupun dikatakan karena hafalannya tetap saja hadisnya dhaif jika menyendiri alias tidak bisa dijadikan hujjah dan hanya bisa terangkat oleh perawi yang setingkat atau lebih baik darinya. Sedangkan sanad Abdullah bin Sufyan memiliki cacat yang lebih parah dari Al Ifriqy karena tidak ada satupun yang menta’dilkannya bahkan terdapat ulama yang memasukkannya sebagai perawi dhaif. Ditambah lagi jika kita menuruti cara kerja Salafy maka hadis Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i juga mengandung illat dugaan inqitha’ karena tidak ditemukan tahun lahir dan tahun wafatnya dalam biografi perawi dan tidaklah diketahui penyimakan hadisnya dari Yahya bin Sa’id Al Anshari, bukankah bagi salafy ini sebuah cacat. Maka dari itu Pendapat yang benar adalah Sanad Abdullah bin Sufyan tidak menaikkan status hadis Al Ifriqy.

Pembahasan Matan Hadis Al Ifriqy

Salafy membawa hujjah lain untuk menguatkan hadis ini yaitu hadis Irbadh bin Sariyyah, Hadis “berpegang teguh pada SunahKu dan Sunnah Khulafaur Rasydin yang mendapat petunjuk”. Hadis ini memang shahih tetapi menjadikan hadis ini sebagai penguat bagi hadis Al Ifriqy adalah kesimpulan yang prematur. Mari kita lihat perkataan Salafy.


Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
a. ‘Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap Sunnahku’ (‘alaikum bi-sunnatii) adalah sama dengan ‘Apa-apa yang aku berada di atasnya’ (maa ana ‘alaihi);
b. ‘Dan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk’ (wa sunnatil-Khulafaail-Mahdiyyiin Ar-Raasyidiin) adalah sama dengan ‘Dan para shahabatku’ (wa ashhaabiy).

Bagi mereka yang berpikir kritis maka poin b itu jelas sekali rancu. Apa dasarnya mengatakan bahwa Sunnah Khulafaail-Mahdiyyiin Ar-Raasyidiin yang dimaksud itu Para Sahabat?. Memangnya siapa Khulafaur Rasydin yang dimaksud dalam hadis Irbadh? Apakah itu adalah setiap sahabat Nabi? Atau hanya orang-orang tertentu. Jika memang khusus orang-orang tertentu maka mengapa dipukul rata untuk semua sahabat. Kemudian Apakah itu adalah Khalifah Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA?. Bagaimana bisa dikatakan bahwa sunnah mereka harus dipegang teguh jika sebagian perilaku mereka bertentangan dengan Sunah Nabi?. Contoh yang mudah adalah pelarangan haji tamattu yang justru dibolehkan secara mutlak oleh Rasulullah SAW. Perkara ini saja sudah cukup untuk mengugurkan bahwa sunah mereka tidak layak dipegang teguh.

Lagipula terlalu jauh menjadikan hadis Irbadh sebagai penguat. Itu namanya mencampuraduk umum dan khusus. Apakah para Sahabat itu semuanya menjadi khalifah?. Rasanya tidak, seandainya juga ada sahabat yang menjadi khalifah itu tidak membuatnya langsung dikatakan sebagai bagian dari Khulafaail-Mahdiyyiin Ar-Raasyidiin. Hal ini disebabkan sangat jelas bahwa sahabat yang menjadi khalifah itu sendiri sering menyatakan hal yang berbeda dan bertentangan satu sama lain. Jadi bagaimana mungkin berpegang pada hal-hal yang bertentangan.

Lafaz Hadis Al Ifriqy sudah jelas tidak bisa diterima. Para sahabat bukanlah hujjah dan kenyataannya terkadang para sahabat juga berselisih, melakukan kesalahan, yang bahkan ada diantara kesalahan tersebut berbau maksiat seperti meminum khamar, berzina, membunuh, mencaci Ahlul Bait dan lain-lain. Dan kita tidak melupakan sejarah para sahabat dimana mereka berselisih sampai menyulut terjadinya perperangan. Semua fakta ini menunjukkan bahwa para sahabat bukanlah timbangan kebenaran dan justru perbuatan sahabat itu yang harus ditimbang dengan timbangan kebenaran yaitu Allah SWT dan RasulNya.

Keanehan Salafy yang lain adalah perkataan:
Dan ini sama sekali tidak bertentangan dengan makna Al-Jama’ah sebagaimana dalam riwayat yang lain. Sebab, al-jama’ah yang pertama kali ada saat hadits ini diucapkan adalah jama’ah para shahabat radliyallaahu ‘anhum ajma’in.

Boleh-boleh saja kalau salafy mengatakan tidak bertentangan tetapi apa dasarnya bahwa Al Jama’ah itu para sahabat. Anehnya salafy seperti pura-pura tidak tahu bahwa hadis tersebut justru diucapkan dihadapan para sahabat dan untuk sahabat juga. Jika Al Jama’ah yang dimaksud adalah para sahabat bukankah jauh lebih tepat kalau redaksinya “Apa Yang Aku dan Kalian Ada Di Atasnya”. Jika Al Jama’ah yang dimaksud adalah para sahabat maka patutlah kita bertanya apakah pada zaman sahabat sudah terdapat 73 firqah yang dimaksud?. Jika ada dan yang selamat adalah Al Jama’ah yaitu para sahabat maka ini mengandung kontradiksi. Karena jika Para sahabat itu Al Jama’ah yang dimaksud maka bagaimana mungkin bisa ada firqah-firqah diantara sahabat, lha sahabat itu sendiri Al Jama’ah yang dimaksud. Jika firqah yang dimaksud akan ada sampai akhir zaman maka tidak ada alasan bagi salafy untuk mengkhususkan Al Jama’ah pada para Sahabat Nabi, bisa saja Al Jama’ah yang dimaksud juga berasal dari kalangan Umat Islam yang bukan Sahabat Nabi. Sungguh berkutat dalam pemaksaan seperti ini hanya membuahkan asumsi-asumsi yang membutuhkan banyak bukti. Bagi kami Pernyataan yang lebih bernilai soal Al Jama’ah telah disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Al Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun sendirian.

Mengenai perkataan salafy bahwa Sahabat adalah generasi yang terbaik maka cukuplah dikatakan bahwa ada pula Mereka yang lebih baik dari Sahabat Nabi. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan beliau menshahihkannya:

أبو جمعة قال تغدينا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ومعنا أبو عبيدة بن الجراح قال فقال يا رسول الله هل أحد خير منا اسلمنا معك وجاهدنا معك قال نعم قوم يكونون من بعدكم يؤمنون بي ولم يروني

Dari Abu Jum’ah RA yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah SAW dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah RA yang berkata “Wahai Rasulullah SAW adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau. Beliau SAW menjawab “Ya, ada yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaKu padahal mereka tidak melihat Aku”

Kalau mengikuti cara berhujjah salafy maka bukankah bisa juga dikatakan kalau Al Jama’ah itu adalah mereka Umat Islam yang beriman kepada Nabi SAW tetapi tidak bertemu Nabi SAW dengan kata lain bukan Sahabat Nabi. Lha mereka bahkan lebih baik dari Sahabat Nabi SAW berdasarkan hadis di atas.

Terakhir masalah penukilan pendapat ulama seperti Al Iraqi, Ibnu Katsir dan Al Albani yang telah menghasankan hadis Al Ifriqy, semua itu adalah sikap tasahul yang tidak berpegang pada dalil atau hanya cenderung pada keyakinan semata. Telah berlalu penjelasan kami atas dhaifnya sanad hadis tersebut. Pernyataan Hasan mereka bisa jadi dikarenakan:
1. Mereka menjadikan hadis Iftiraq Al Ummah yang lain sebagai penguat yang mengangkat hadis Al Ifriqy. Sudah jelas ini keliru karena lafaz yang kita permasalahkan (Apa yang Aku dan Para SahabatKu Ada Di Atasnya) tidak ada pada riwayat Iftiraq Al Ummah yang bersanad shahih.
2. Mereka menganggap hadis Al Ifriqy dan hadis Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i sebagai saling menguatkan sehingga statusnya menjadi hasan lighairihi. Telah kami tunjukkan bahwa hal ini keliru, hadis Abdullah bin Sufyan kedhaifannya lebih parah dari Al Ifriqy sehingga jelas tidak bisa menguatkannya.

Karena mereka meyakininya maka mereka memudahkan dalam menguatkan hadis tersebut. Anehnya jika ada hadis lain yang mengecam sahabat tak peduli sekuat apapun sanadnya atau sebanyak apapun sanadnya tetap harus ditolak dan dinyatakan palsu. Sungguh Antagonisme yang aneh. Tulisan berikutnya mungkin akan membahas salah satu hadis yang sering dinyatakan palsu padahal sanadnya jauh lebih kuat dari sanad hadis “Apa Yang Aku dan Para SahabatKu ada di Atasnya”. Mari kita lihat akankah Salafy menyatakan hadis tersebut hasan lighairihi atau malah bersemangat menyatakan hadis tersebut palsu.

******

Kemudian sekarang muncul pahlawan kesiangan [orang yang kemarin pernah terbukti berdusta] yang sebenarnya cuma mengulang bantahan basi dari Abul Jauzaa [idolanya mungkin].

***** 

23. SECONDPRINCE MELEMAHKAN HADITS "APA-APA YANG ADA DIDALAMNYA SUNNAHKU DAN SUNNAH PARA SHAHABATKU"

SP menulis :


Kedudukan Hadis “Apa Yang Aku Dan Para SahabatKu Ada Di Atasnya”

Hadis Iftiraqul Ummah adalah hadis masyhur di kalangan umat Islam. Hadis tersebut mengatakan bahwa Umat Islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Sebagian orang yang berasal dari mahzab salafy mengklaim bahwa Salafy adalah golongan yang selamat dari ke-73 golongan tersebut. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti jejak Para Sahabat Nabi atau memahami Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat. Sayangnya hadis yang mereka jadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang sangat dhaif.
.
Hadis Iftiraqul Ummah yang akan dibahas diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/26 no 2641.

حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الحفري عن سفيان الثوري عن عبد الرحمن بن زياد الأفريقي عن عبد الله بن يزيد عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ليأتين على أمتي ما أتى على بني إسرائيل حذو النعل بالنعل حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذلك وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghaylan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Al Hafari dari Sufyan Ats Tsawri dari Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dari Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Amr yang berkata “Rasulullah SAW bersabda “Sungguh akan datang pada UmatKu sesuatu yang datang pada bani Israil seperti sandal yang berjajar dengan sandal yang lain hingga ada diantara mereka yang menyetubuhi istrinya terang-terangan dan pada umatku akan ada yang demikian. Sesungguhnya bani Israil akan terpecah belah menjadi 72 golongan sedangkan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya “siapakah golongan itu wahai Rasulullah SAW?”. Beliau SAW menjawab “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”.
Syaikh Al Albani telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 2641 seraya berkata bahwa hadis ini hasan. Pernyataan Beliau sudah jelas keliru dan mengandung kerancuan. Hadis ini sendiri sanadnya dhaif dan jika Syaikh menghasankan hadis Tirmidzi ini berdasarkan penguat dari hadis-hadis Iftiraq Al Ummah yang lain maka Beliau sudah salah alamat. Hadis Iftiraq Al Ummah lain yang bersanad shahih memang mengandung kata-kata “akan terpecah belah menjadi 73 golongan” tetapi tidak satupun dari hadis-hadis penguat tersebut yang menyebutkan bahwa golongan yang selamat itu adalah “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya”. Tambahan ini sangat jelas dhaif baik dari segi sanad maupun matannya. Oleh karena itu jelas sekali hadis Iftiraq Al Ummah yang lain tidak bisa dijadikan penguat bagi riwayat Tirmidzi di atas.
Penyebab dhaifnya hadis Tirmidzi di atas adalah Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dimana ia adalah seorang perawi yang dhaif. Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 358 telah menyebutkan biografi Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dimana ia telah dilemahkan oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Yahya bin Sa’id, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Kharrasy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Di antaranya Ibnu Hajar mengutip:

وقال بن أبي خيثمة عن بن معين ضعيف

Ibnu Abi Khaitsamah berkata dari Ibnu Ma’in “dhaif”.

وقال النسائي ضعيف وقال بن خزيمة لا يحتج به وقال بن خراش متروك

An Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Khuzaimah berkata “tidak bisa dijadikan hujjah” dan Ibnu Kharrasy berkata “matruk”.
An Nasa’i telah memasukkan Abdurrahman bin Ziyad ke dalam Kitabnya Ad Dhu’afa no 361 dan berkata:

عبد الرحمن بن زياد بن أنعم الإفريقي ضعيف

Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi dhaif
Daruquthni juga memasukkan Abdurrahman bin Ziyad dalam kitabnya Ad Dhu’afa no 338 dan berkata:

عبدالرحمن بن زياد بن أنعم الأفريقي، ليس بالقوي

Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al Ifriqi tidak kuat.
Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi memang dikenal dhaif sehingga banyak kitab Ad Dhu’afa menyebutkan namanya. Selain Nasa’i dan Daruquthni, Ibnu Hibban juga menyebutkannya sebagai perawi dhaif dalam Al Majruhin no 586 seraya berkata bahwa Abdurrahman bin Ziyad sering meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para perawi tsiqat. Al Uqaili juga memasukkan nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/332 no 927 dan Adz Dzahabi juga memasukkan nama Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dalam Mughni Ad Dhu’afa no 3566 dan mengatakan bahwa ia seorang yang dikenal dhaif dan dinyatakan dhaif oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Daruquthni dan Ahmad.
Selain dalam Sunan Tirmidzi ternyata hadis dengan matan “Apa yang Aku dan Para SahabatKu ada di atasnya” juga diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 dan Mu’jam Al Ausath 5/137 no 4886:

حدثنا عيسى بن محمد السمسار الواسطي حدثنا وهب بن بقية حدثنا عبد الله بن سفيان المدني عن يحيى بن سعيد الأنصاري عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي

Telah menceritakan kepada kami Isa bin Muhammad Al Wasithi yang berkata telah menceritakan kepada kami Wahab bin Baqiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sufyan Al Madani dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya “siapakah golongan itu”. Beliau SAW menjawab “Apa yang Aku dan para SahabatKu ada di atasnya pada hari ini”.


At Thabrani berkata dalam Mu’jam As Shaghir 2/29 no 724 setelah menyebutkan hadis ini:

لم يروه عن يحيى إلا عبد الله بن سفيان

Tidak diriwayatkan dari Yahya kecuali oleh Abdullah bin Sufyan


Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena Abdullah bin Sufyan. Al Uqaili menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Ad Dhu’afa 2/262 no 815 dan berkata:

عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي عن يحيى بن سعيد لا يتابع على حديثه

Abdullah bin Sufyan Al Khuza’i  Al Wasithi meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, tidak diikuti hadisnya.


Setelah itu Al Uqaili membawakan hadis riwayat Thabrani ini sebagai penegasan akan kedhaifan riwayat tersebut dan tidak layak untuk diikuti. Adz Dzahabi menyebutkan Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Mughni Ad Dhu’afa no 3197 dan Adz Dzahabi juga memasukkan Abdullah bin Sufyan sebagai perawi dhaif dalam kitab Diwan Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 2187. Oleh karena itu sudah jelas riwayat Thabrani inipun tidak layak untuk dijadikan hujjah.
Selesai perkataan secondprince ......
TANGGAPAN KAMI :
Ada yang kurang dalam jarh dan ta'dil terhadap Abdurrahman bin Ziyad, yaitu :
Imam Tirmidzi berkata : "Aku melihat Muhammad memuji Al Ifriqi dengan kebaikan dan menguatkan perkaranya. 
Oleh karena itu Al-Haafidh Ibnu Hajar menyimpulkan perkataan para ahli hadits terhadap ‘Abdurrahman bin Ziyaad Al-Ifriqiy rahimahullah dengan :“Lemah dalam jurusan hapalannya” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 578 no. 3887].

Adapun jarh yang terkesan bahwa Abdurahman sebagai seorang pendusta sehingga tercacat 'adalahnya adalah jarh yang berlebih-lebihan, dikarenakan hal ini disandarkan kepada Ibnu Hibban.
Pertanyaan sederhananya : Apakah ada riwayat orang tsiqah yang dipalsukan oleh Al Ifriqi ? Apakah ada ulama selain Ibnu Hibban yang menjarh 'adalah Al Ifriqi secara jelas ? Jawabannya : tidak ada !
Jadi, Abdurrahman bin Ziyad adalah seorang yang lemah dalam hafalannya.
Mengenai Abdullah bin Sufyan, jarh "tidak ada mutaba'ah", "kesendirian" merupakan jarh yang digunakan yang berkaitan dengan kelemahan hafalannya, bukan berkaitan dengan sifat 'adalah.
Dan juga dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa Al Ifriqi dan Abdullah bin Sufyan bukan seorang yang majhul.
Sehingga dapat kita fahami bahwa kelemahan dalam hafalan mereka dan ke-tidak majhulan mereka, mengindikasikan bahwa mereka berdua tidak bermasalah dalam hal ke-'adalah-an.
Seorang yang yang bermasalah tentang 'adalah, maka tidak berguna baginya jarh "infirad" atau "tidak ada mutaba'ah", jarh tersebut hanya diperuntukkan bagi perawi yang tidak bermasalah dalam ke-'adalah-an.
Kesimpulannya, bahwa dua riwayat diatas diriwayatkan oleh dua orang yang tidak majhul, dan tsiqat, hanya lemah dari segi hafalannya, sehingga keduanya dapat saling menguatkan, menjadi riwayat yang hasan lighairihi, SAH DAN DITERIMA KEBERADAANNYA.

Telah datang bantahan dari secondprince ....

SP menulis :

Orang ini (yang dimaksud adalah saya) seolah-olah ingin mengesankan bahwa kami tidak mengetahui ada beberapa ulama yang menta’dil Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy. Orang ini juga ingin mengesankan bahwa kami hanya bertaklid buta pada jarh Ibnu Hibbaan.
Hal ini jelas tidak benar, kami mengetahui bahwa ada beberapa ulama yang menta’dilkan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy. Oleh karena itulah kami dalam tulisan sebelumnya menetapkan Ia sebagai perawi dhaif yang tidak bisa dijadikan hujjah tetapi dapat dijadikan i’tibar oleh perawi semisalnya atau yang lebih kuat darinya. Adanya sebagian ulama yang menta’dilkan hanya mengangkat derajatnya menjadi perawi dhaif yang bisa dijadikan i’tibar.


TANGGAPAN SAYA :

Awal bantahan second ini adalah awal yang baik, karena saya sependapat dengannya bahwa Al Ifriqi adalah PERAWI DHAIF YANG TIDAK BISA DIJADIKAN HUJJAH TETAPI DAPAT DIJADIKAN I'TIBAR.

Akan tetapi sayang, tulisan selanjutnya merupakan inkonsistensi dia terhadap pernyataannya sendiri diatas, darimana ilmu dia bahwa perawi yang dapat dijadikan i'tibar bermasalah terhadap 'adalah-nya.

SP menulis :
Dan tidaklah benar kalau kami melemahkan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy hanya berdasarkan jarh Ibnu Hibban. Diantara sebagian ulama yang menyatakan jarh terhadap Abdurrahman bin Ziyaad terdapat mereka yang memang menyatakan cacat pada ‘adalah-nya.
  1. Ahmad bin Hanbal mendhaifkannya dan terkadang mengatakan tentangnya “tidak ada apa-apanya” terkadang mengatakan “mungkar al hadiits” bahkan melarang untuk menulis hadis darinya [Mausu’ah Aqwaal Ahmad no 1529]. Larangan menulis hadis atau meriwayatkan darinya menunjukkan Ahmad bin Hanbal menyatakan cacat pada ‘adalah-nya
  2. Ibnu Khiraasy mengatakan “matruk” dan Nasa’iy mengatakan “dhaif” [Tahdzib At Tahdzib 4/44 no 4508]. Jarh dengan lafaz “dhaif” dan lafaz “matruk” adalah jarh dari segi ‘adalah
Jadi sungguh tidak benar dakwaan yang secara mutlak menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy lemah dalam hal hafalannya sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah.
TANGGAPAN SAYA :
Lihat dia, jarh "mungkarul hadits", "larangan menulis hadits darinya", "matruk", "dhaif", tidak mutlak bermasalah dalam segi 'adalahnya. Memang dapat berarti bermasalah dalam 'adalahnya, akan tetapi dapat pula berkenaan dengan masalah dari segi ke-dhabitan-nya, tergantung qarinahnya.
Dan dia sendiri telah menulis qarinah pembantahnya, yaitu : perkataan Shalih bin Muhammad berkata tentangnya Mungkarul Hadits, tetapi ia seorang yang SHALEH.

Sejak kapan orang yang SHALEH diperermasalahkan tentang ke-'adalah-annya ?
SP menulis :
Jadi sungguh tidak benar dakwaan yang secara mutlak menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy lemah dalam hal hafalannya sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah.
Jika dilihat lebih teliti ucapan para ulama mutaqaddimin tentangnya tidak ada keterangan sharih atau lafaz yang sharih [jelas] bahwa Abdurrahman bin Ziyaad adalah orang yang lemah hafalannya. Hal ini adalah ijtihad sebagian ulama muta’akhirin seperti Ibnu Hajar yang melihat sebagian qaul ulama yang menta’dil Abdurrahman bin Ziyaad tetapi melemahkan hadisnya.
TANGGAPAN SAYA :
Alhamdulillah ternyata saya masih berdiri diatas kaedah ilmu, sehingga seorang ulama hadits-pun telah sesuai dengan pendapat saya.
SP menulis :
Padahal sebenarnya ternukil jarh mufassar dari sebagian ulama yang menunjukkan bahwa kelemahan dalam hadis Abdurrahman bin Ziyaad adalah karena ia banyak meriwayatkan hadis mungkar. Diantaranya ada Shalih bin Muhammad yang berkata tentangnya “mungkar al hadiits tetapi ia seorang yang shalih”. Sufyaan Ats Tsawriy yang mengatakan Abdurrahman bin Ziyaad merafa’kan hadis-hadis kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dimana tidak seorangpun dari ahli ilmu yang merafa’kan hadis tersebut. Abu Hasan bin Qaththan yang mengatakan bahwa yang benar ia dhaif karena banyak meriwayatkan hal-hal mungkar [Tahdzib At Tahdzib 4/44-45 no 4508].
TANGGAPAN SAYA :
Alhamdulillah, ternyata tidak hanya Imam Ibnu Hajar saja yang berpendapat seperti saya, ternyata Shalih bin Muhammad, Sufyan Ats Tsauri, dan Abu Hasan bin Qaththan, berpendapat bahwa kelemahan Al Ifriqi hanyalah karena meriwayatkan riwayat yang mungkar, dan ini maklum merupakan jarh dari segi ke-dhabitan.  
Hal ini pernah kita bahas dalam periwayatan Bakr bin Bakaar, bahwa berbeda antara jarh fulan perawi mungkar dengan fulan mungkarul hadits.
SP menulis :
Jadi ketika Ibnu Hibban mengatakan “ia meriwayatkan hadis maudhu’ dari para perawi tsiqat dan mendatangkan dari para perawi tsabit apa yang bukan dari hadis mereka” [Al Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581] hal itu bukanlah perkara yang mengherankan karena sebagian ulama telah menetapkan bahwa Abdurrahman bin Ziyaad banyak meriwayatkan hadis mungkar dan diantaranya hadis-hadis yang ia sandarkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] padahal tidak ada satupun ahli ilmu yang menyandarkannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
TANGGAPAN SAYA :
Hal ini dapat terjadi akibat buruknya hafalan Al Ifriqi.
SP menulis :
Satu hal lagi yang menambah kedhaifan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy adalah ia seorang mudallis. Ibnu Hajar memasukkan namanya dalam mudallis thabaqat kelima:

عبد الرحمن بن زياد بن أنعم ذكر بن حبان في الضعفاء أنه كان مدلسا وكذا وصفه به الدارقطني

‘Abdurrahman bin Ziyaad bin An’um, Ibnu Hibban menyebutkan dalam Adh Dhu’afa bahwa ia seorang mudallis dan demikian juga disifatkan oleh Daruquthniy [Thabaqat Al Mudallisin Ibnu Hajar no 143]
Dan sudah maklum diketahui [sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar sendiri dalam kitabnya tersebut] bahwa mudallis thabaqat kelima adalah orang-orang yang memang dhaif karena hal lain selain tadlis maka hadis-hadis mereka ditolak walaupun mereka menyebutkan lafal sharih penyimakan hadisnya.
Ketika menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy seorang mudallis, Ibnu Hibban menyebutkan dengan lafaz “ia melakukan tadlis dari Muhammad bin Sa’iid bin Abi Qais Al Mashlub” [Al Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581]. Sedangkan Muhammad bin Sa’iid bin Abi Qais dikenal sebagai seorang yang zindiq dan pemalsu hadis. Ahmad bin Hanbal mengatakan ia pemalsu hadis. An Nasa’iy menggolongkannya kedalam pendusta dan dikenal pemalsu hadis. Ibnu Numair menyatakan ia pendusta pemalsu hadis. Daruquthniy berkata “matruk al hadiits”. Ibnu Hibban dan Abu Ahmad Al Hakim menyatakan ia pemalsu hadis [Tahdziib At Tahdziib 5/600-601 no 6982].
Hadis Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy di atas diriwayatkan olehnya dengan lafaz ‘an anah maka hal ini tidaklah selamat dari cacat tadlis. Bahkan dengan cacat ini juga riwayat itu tidak bisa dijadikan i’tibar karena bisa jadi lafaz ‘an anah itu adalah tadlisnya dari perawi dhaif, pendusta atau pemalsu hadis.

TANGGAPAN SAYA :
Sejak kapan riwayat mudalis tidak bisa dijadikan i'tibar ?
SP menulis :
Ucapan ini sangat jelas mengada-ada. Jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” atau jarh “tidak ada mutaba’ah dalam hadisnya” tidak mesti hanya berlaku bagi orang yang tidak bermasalah ‘adalah-nya. Seorang yang majhul atau dhaif pun bisa saja dikatakan dengan jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” atau “tidak ada mutaba’ah atas hadisnya”
Sebaik-baik bukti disini adalah sebagaimana tertera dalam kitab Adh Dhu’afa Al Uqailiy : Asad bin ‘Atha’ seorang yang majhul, meriwayatkan dari Ikrimah hadis yang tidak memiliki mutaba’ah atasnya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 6]
Hasan bin ‘Aliy Al Hamdaaniy majhuul juga tidak memiliki mutaba’ah atas hadisnya dan tidak dikenal kecuali dengannya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 282]
Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menyatakan “majhul”.
TANGGAPAN SAYA :
Kacau betul bantahan orang ini, jelas harus dibedakan antara jarh "majhul, tidak ada mutaba'ahnya" dengan jarh "tidak ada mutaba'ahnya".
Jarh "majhul tidak ada mutaba'ahnya", lafal "majhul" menunjukkan identitas perawi, dan lafal "tidak ada mutaba'ahnya" menunjukkan status haditsnya.
Sedangkan jarh "tidak ada mutaba'ahnya", menunjukkan diketahuinya identitas perawi tersebut sebagai perawi yang lemah hafalannya sehingga haditsnya membutuhkan mutaba'ah.
SP menulis :
Bisyr bin Ibrahim Al Anshaariy meriwayatkan dari Al Auza’iy dengan hadis-hadis maudhu’, tidak memiliki mutaba’ah atas hadis-hadisnya tersebut [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 174]
Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menyatakan ia meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ [palsu]
TANGGAPAN SAYA :
Sungguh mengherankan apabila bila jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" disandarkan kepada perawi yang bermasalah tentang 'adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba'ah atau tidak tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain.

Meriwayatkan hadits-hadits palsu berbeda dengan membuat hadits palsu. 
Yang pertama bisa karena dia pendusta atau bisa juga karena dia seorang yang buruk hafalannya sehingga menyampaikan sanadnya keliru. 
Sedangkan yang kedua tidak syak lagi kalau perawi tersebut adalah pendusta.

Dalam kasus diatas bisa jadi Al Uqailiy tidak menjarh 'adalah Bisyr, hanya menjarh hadits-hadits Bisyr adalah lemah bila tidak ada mutaba'ahnya, dan bisa jadi menjadi kuat bila ada mutaba'ahnya. Dan setelah beliau teliti ternyata hadits-hadits tersebut tidak ada mutaba'ahnya.

Akan tetapi bila jarh-nya tidak murni (ada qarinah jarh lain) "tidak ada mutaba'ahnya", maka qarinah tersebutlah yang dipakai.

SP menulis :

Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menukil Yahya bin Ma’in yang menyatakan Muththarih bin Yaziid dhaif tidak tsiqat [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 1868]

TANGGAPAN SAYA :

Sekali lagi sungguh mengherankan apabila bila jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" disandarkan kepada perawi yang bermasalah tentang 'adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba'ah atau tidak tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain. Tetapi bila ada jarh qarinah lain, maka jarh qarinah itulah yang dianggap.

Dan lagi sejak kapan "dhaif tidak tsiqat" merupakan mutlak jarh atas 'adalah ?

SP menulis :

Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau disisi Al Bukhariy lafaz “mungkar al hadiits” berarti tidak halal meriwayatkan dari perawi tersebut   


TANGGAPAN SAYA :

Sekali lagi jarh "mungkarul hadits tidak ada mutaba'ahnya" berbeda dengan jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" 

Untuk yang kesekian kalinya saya tegaskan, bahwa jarh murni "laa yuttaba'u biha" bermakna selain 'adalah kecuali kalau ada jarh yang lain.

Telah berlalu perkataan Imam Dzahabi bahwa Abdullah bin Sufyan adalah dhaif, bila dirangkai dengan jarh 'tidak ada mutaba'ahnya" menjadi jarh "dhaif tidak ada mutaba'ahnya", sehingga diketahui bahwa perawi ini hanya bermasalah dari segi hafalannya saja.

SP menulis :
Sungguh perkataan Abu Fulan (yang dimaksud adalah saya) ini tidak ada nilainya. Siapapun yang membaca kitab Adh Dhu’afa Al Uqailiy pada biografi Abdullah bin Sufyaan maka tidak akan mungkin menjadikan riwayatnya sebagai penguat. Mengapa? Karena Al Uqailiy sendiri telah menegaskan bahwa riwayat Abdullah bin Sufyaan itu tidak ada asalnya.

عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي عن يحيى بن سعيد لا يتابع على حديثه حدثناسلم بن سهل الواسطي قال حدثني جدي وهب بن بقية الواسطي قال حدثنا عبد الله بسفيان عن يحيى بن سعيد الانصاري عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم تفترق هذه الامة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار الا فرقة واحدة قيل يا رسول الله ما هذه الفرقة قال من كان على ما أنا عليه اليوم وأصحابي ليس له من حديث يحيى بن سعيد أصل وإنما يعرف هذا الحديث من حديث الافريقى

‘Abdullah bin Sufyaan Al Khuzaa’iy Al Waasithiy meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, tidak memiliki mutaba’ah atas hadisnya. Telah menceritakan kepada kami Aslam bin Sahl Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepadaku kakekku Wahb bin Baqiyah  Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sufyan dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Dikatakan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “siapakah golongan itu”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Apa yang Aku dan para Sahabat-Ku ada di atasnya pada hari ini”. Hadis ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid, dan sesungguhnya hanya dikenal hadis ini dari hadis Al Ifriqiy [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 817].
Dengan kata lain Al Uqailiy selaku periwayat hadis ini dan yang menuliskan biografi Abdullah bin Sufyaan menolak hadis Abdullah bin Sufyaan tersebut sebagai penguat bagi hadis Al Ifriqiy. Bahkan Al Uqailiy menegaskan kalau hadis Abdullah bin Sufyaan tersebut tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid.
TANGGAPAN SAYA :
Pada intinya jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" merupakan jarh dari segi ke-dhabit-an, bisa karena buruk hafalannya, bisa karena majhul, bisa karena dhaif, bisa karena ikhtilath, bisa karena terputus, dll.
Sedangkan inti jarh Imam Al Uqailiy adalah "hadits ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Said" akibat kesendirian Abdullah bin Sufyan.
Hal ini tidak berarti bahwa Al Uqailiy berpendapat bahwa riwayat Abdullah bin Sufyan tidak dapat dijadikan penguat riwayat Al Ifriqi, beliau hanya berpendapat tidak tsabit riwayat Abdullah bin Sufyan dari Yahya bin Said akibat kesendirian Abdullah bin Sufyan dan yang tsabit adalah riwayat Al Ifriqi akan tetapi lemah.
Hal ini perlu dicermati, bahkan riwayat Abdullah bin Sufyan mempunyai mutaba'ah (syahid), yaitu riwayat Al Ifriqi.
 
SP menulis :
Kesimpulan : Hadis Al Ifriqiy dan hadis Abdullah bin Sufyaan di atas tidak bisa saling menguatkan maka kedudukannya adalah dhaif. Sungguh keliru orang yang mengatakan hadis tersebut saling menguatkan dan menjadi hasan lighairihi.
TANGGAPAN SAYA :
Telah berlalu kesepakatan kita, bahwa Al Ifriqi dapat dijadikan i'tibar. 
Telah berlalu pembahasan jarh murni "tidak ada mutaba'ahnya" merupakan mutlak merupakan jarh dari segi ke-dhabit-an atau ke-ittisal-an sanad bukan jarh tentang 'adalah seorang perawi. 

Sehingga kalau SP hendak melemahkan Abdullah bin Sufyan, hendaklah ia mendatang jarh tentang 'adalah beliau, jangan berasumsi dengan analogi-analogi yang tidak pas.

Oleh karena itu Abdullah bin Sufyan adalah perawi yang lemah dari sisi ke-dhabit-an, menjadi sah bila ada mutaba'ahnya (syahidnya), dan Alhamdulillah riwayat Al Ifriqi dapat dijadikan syahid atas riwayat Abdullah bin Sufyan.
Jadi kesimpulannya :

Al Ifriqi adalah perawi lemah yang bisa dijadikan i'tibar, demikian pula Abdullah bin Sufyan adalah perawi lemah yang bisa dijadikan i'tibar, sehingga saling menguatkan, menaikkan statusnya menjadi HASAN LIGHAIRIHI.
*****

Kami berminat membahasnya kembali karena setelah kami teliti kembali berulang-ulang, kami malah bertambah yakin kalau hadis ini memang dhaif dan bukan hasan lighairihi.

Jadi sembari menambahkan hujjah maka kami sekalian akan menanggapi bantahan basi dari Abu Fulan tersebut. Ia berkata:


Perhatikan ucapannya melemahkan hadits “apa-apa yang ada di dalamnya sunnahku dan sunnah para sahabatku”. Orang ini mengada-adakan lafaz hadis sendiri karena lafaz hadis yang sebenarnya adalah Maa ana ‘alaihi wa ashabiy yaitu “apa yang Aku dan para sahabat-Ku ada di atasnya”. Tidak ada penyebutan soal Sunnah para sahabat yang ia maksud. Kebiasaan buruk orang ini dari awal kami berdiskusi dengannya adalah ia tidak mampu memahami kalimat yang ia baca dengan baik. Sehingga dalam ketidakmampuannya terkadang ia berdusta atas ulama dan mengada-adakan kaidah ilmu hadis sendiri.


Orang ini seolah-olah ingin mengesankan bahwa kami tidak mengetahui ada beberapa ulama yang menta’dil Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy. Orang ini juga ingin mengesankan bahwa kami hanya bertaklid buta pada jarh Ibnu Hibbaan.

Hal ini jelas tidak benar, kami mengetahui bahwa ada beberapa ulama yang menta’dilkan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy. Oleh karena itulah kami dalam tulisan sebelumnya menetapkan Ia sebagai perawi dhaif yang tidak bisa dijadikan hujjah tetapi dapat dijadikan i’tibar oleh perawi semisalnya atau yang lebih kuat darinya. Adanya sebagian ulama yang menta’dilkan hanya mengangkat derajatnya menjadi perawi dhaif yang bisa dijadikan i’tibar.

Dan tidaklah benar kalau kami melemahkan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy hanya berdasarkan jarh Ibnu Hibban. Diantara sebagian ulama yang menyatakan jarh terhadap Abdurrahman bin Ziyaad terdapat mereka yang memang menyatakan cacat pada ‘adalah-nya.
  1. Ahmad bin Hanbal mendhaifkannya dan terkadang mengatakan tentangnya “tidak ada apa-apanya” terkadang mengatakan “mungkar al hadiits” bahkan melarang untuk menulis hadis darinya [Mausu’ah Aqwaal Ahmad no 1529]. Larangan menulis hadis atau meriwayatkan darinya menunjukkan Ahmad bin Hanbal menyatakan cacat pada ‘adalah-nya
  2. Ibnu Khiraasy mengatakan “matruk” dan Nasa’iy mengatakan “dhaif” [Tahdzib At Tahdzib 4/44 no 4508]. Jarh dengan lafaz “dhaif” dan lafaz “matruk” adalah jarh dari segi ‘adalah
Jadi sungguh tidak benar dakwaan yang secara mutlak menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy lemah dalam hal hafalannya sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah.

Jika dilihat lebih teliti ucapan para ulama mutaqaddimin tentangnya tidak ada keterangan sharih atau lafaz yang sharih [jelas] bahwa Abdurrahman bin Ziyaad adalah orang yang lemah hafalannya. Hal ini adalah ijtihad sebagian ulama muta’akhirin seperti Ibnu Hajar yang melihat sebagian qaul ulama yang menta’dil Abdurrahman bin Ziyaad tetapi melemahkan hadisnya.

Padahal sebenarnya ternukil jarh mufassar dari sebagian ulama yang menunjukkan bahwa kelemahan dalam hadis Abdurrahman bin Ziyaad adalah karena ia banyak meriwayatkan hadis mungkar. Diantaranya ada Shalih bin Muhammad yang berkata tentangnya “mungkar al hadiits tetapi ia seorang yang shalih”. Sufyaan Ats Tsawriy yang mengatakan Abdurrahman bin Ziyaad merafa’kan hadis-hadis kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dimana tidak seorangpun dari ahli ilmu yang merafa’kan hadis tersebut. Abu Hasan bin Qaththan yang mengatakan bahwa yang benar ia dhaif karena banyak meriwayatkan hal-hal mungkar [Tahdzib At Tahdzib 4/44-45 no 4508].

Jadi ketika Ibnu Hibban mengatakan “ia meriwayatkan hadis maudhu’ dari para perawi tsiqat dan mendatangkan dari para perawi tsabit apa yang bukan dari hadis mereka” [Al Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581] hal itu bukanlah perkara yang mengherankan karena sebagian ulama telah menetapkan bahwa Abdurrahman bin Ziyaad banyak meriwayatkan hadis mungkar dan diantaranya hadis-hadis yang ia sandarkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] padahal tidak ada satupun ahli ilmu yang menyandarkannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Satu hal lagi yang menambah kedhaifan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy adalah ia seorang mudallis. Ibnu Hajar memasukkan namanya dalam mudallis thabaqat kelima:

عبد الرحمن بن زياد بن أنعم ذكر بن حبان في الضعفاء أنه كان مدلسا وكذا وصفه به الدارقطني

‘Abdurrahman bin Ziyaad bin An’um, Ibnu Hibban menyebutkan dalam Adh Dhu’afa bahwa ia seorang mudallis dan demikian juga disifatkan oleh Daruquthniy [Thabaqat Al Mudallisin Ibnu Hajar no 143].

Dan sudah maklum diketahui [sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar sendiri dalam kitabnya tersebut] bahwa mudallis thabaqat kelima adalah orang-orang yang memang dhaif karena hal lain selain tadlis maka hadis-hadis mereka ditolak walaupun mereka menyebutkan lafal sharih penyimakan hadisnya.

Ketika menyatakan Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy seorang mudallis, Ibnu Hibban menyebutkan dengan lafaz “ia melakukan tadlis dari Muhammad bin Sa’iid bin Abi Qais Al Mashlub” [Al Majruuhin Ibnu Hibbaan 2/15 no 581]. Sedangkan Muhammad bin Sa’iid bin Abi Qais dikenal sebagai seorang yang zindiq dan pemalsu hadis. Ahmad bin Hanbal mengatakan ia pemalsu hadis. An Nasa’iy menggolongkannya kedalam pendusta dan dikenal pemalsu hadis. Ibnu Numair menyatakan ia pendusta pemalsu hadis. Daruquthniy berkata “matruk al hadiits”. Ibnu Hibban dan Abu Ahmad Al Hakim menyatakan ia pemalsu hadis [Tahdziib At Tahdziib 5/600-601 no 6982].

Hadis Abdurrahman bin Ziyaad Al Ifriqiy di atas diriwayatkan olehnya dengan lafaz ‘an anah maka hal ini tidaklah selamat dari cacat tadlis. Bahkan dengan cacat ini juga riwayat itu tidak bisa dijadikan i’tibar karena bisa jadi lafaz ‘an anah itu adalah tadlisnya dari perawi dhaif, pendusta atau pemalsu hadis.

Kemudian Abu Fulan itu membuat-buat syubhat untuk menguatkan kedudukan Abdullah bin Sufyaan. Ia berkata:


Ucapan ini sangat jelas mengada-ada. Jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” atau jarh “tidak ada mutaba’ah dalam hadisnya” tidak mesti hanya berlaku bagi orang yang tidak bermasalah ‘adalah-nya. Seorang yang majhul atau dhaif pun bisa saja dikatakan dengan jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” atau “tidak ada mutaba’ah atas hadisnya”. Sebaik-baik bukti disini adalah sebagaimana tertera dalam kitab Adh Dhu’afa Al Uqailiy

أسد بن عطاء مجهول روى عن عكرمة حديثا لا يتابع عليه

Asad bin ‘Atha’ seorang yang majhul, meriwayatkan dari Ikrimah hadis yang tidak memiliki mutaba’ah atasnya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 6].

الحسن بن على الهمداني مجهول أيضا لا يتابع على حديثه ولا يعرف الا به

Hasan bin ‘Aliy Al Hamdaaniy majhuul juga tidak memiliki mutaba’ah atas hadisnya dan tidak dikenal kecuali dengannya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 282].

Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menyatakan “majhul”.

بشر بن إبراهيم الانصاري عن الاوزاعي بأحاديث موضوعة لا يتابع عليها

Bisyr bin Ibrahim Al Anshaariy meriwayatkan dari Al Auza’iy dengan hadis-hadis maudhu’, tidak memiliki mutaba’ah atas hadis-hadisnya tersebut [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 174].

Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menyatakan ia meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ [palsu].


Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau Al Uqailiy sendiri menukil Yahya bin Ma’in yang menyatakan Muththarih bin Yaziid dhaif tidak tsiqat [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 1868].


Muusa bin Ibrahim At Taimiy Mungkar al-hadis

Apakah lafaz “tidak ada mutaba’ah” di atas bermakna tidak masalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah?. Bagaimana bisa dikatakan tidak bermasalah ‘adalah-nya kalau disisi Al Bukhariy lafaz “mungkar al hadiits” berarti tidak halal meriwayatkan dari perawi tersebut.

وقال البخاري منكر الحديث ونقل بن القطان ان البخاري قال كل من قلت فيه منكر الحديث فلا تحل الرواية عنه انتهى وهذا القول مروي بإسناد صحيح عن عبد السلام بن أحمد الخفاف عن البخاري

Dan Bukhariy berkata “munkar al hadiits” dan Ibnu Qaththan menukil bahwa Bukhariy berkata “semua yang aku katakan tentangnya munkar al hadiits maka tidak halal meriwayatkan darinya”. [Ibnu Hajar berkata] Perkataan ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari ‘Abdus Salaam bin Ahmad Al Khaffaaf dari Bukhariy [Lisan Al Mizan Ibnu Hajar 1/220 no 5].

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Abu Fulan ini mengenai lafaz jarh “tidak ada mutaba’ah” berarti tidak masalah ‘adalah-nya dan hanya hafalannya yang bermasalah merupakan perkataan dusta dan mengada-ada. Faktanya jarh tersebut bisa dimiliki perawi majhul dan perawi dhaif yang memang bermasalah ‘adalah-nya


Sungguh perkataan Abu Fulan ini tidak ada nilainya. Siapapun yang membaca kitab Adh Dhu’afa Al Uqailiy pada biografi Abdullah bin Sufyaan maka tidak akan mungkin menjadikan riwayatnya sebagai penguat. Mengapa? Karena Al Uqailiy sendiri telah menegaskan bahwa riwayat Abdullah bin Sufyaan itu tidak ada asalnya.


عبد الله بن سفيان الخزاعي واسطي عن يحيى بن سعيد لا يتابع على حديثه حدثناسلم بن سهل الواسطي قال حدثني جدي وهب بن بقية الواسطي قال حدثنا عبد الله بسفيان عن يحيى بن سعيد الانصاري عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم تفترق هذه الامة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار الا فرقة واحدة قيل يا رسول الله ما هذه الفرقة قال من كان على ما أنا عليه اليوم وأصحابي ليس له من حديث يحيى بن سعيد أصل وإنما يعرف هذا الحديث من حديث الافريقى

‘Abdullah bin Sufyaan Al Khuzaa’iy Al Waasithiy meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, tidak memiliki mutaba’ah atas hadisnya. Telah menceritakan kepada kami Aslam bin Sahl Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepadaku kakekku Wahb bin Baqiyah  Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sufyan dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Dikatakan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “siapakah golongan itu”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Apa yang Aku dan para Sahabat-Ku ada di atasnya pada hari ini”. Hadis ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid, dan sesungguhnya hanya dikenal hadis ini dari hadis Al Ifriqiy [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 817].

Dengan kata lain Al Uqailiy selaku periwayat hadis ini dan yang menuliskan biografi Abdullah bin Sufyaan menolak hadis Abdullah bin Sufyaan tersebut sebagai penguat bagi hadis Al Ifriqiy. Bahkan Al Uqailiy menegaskan kalau hadis Abdullah bin Sufyaan tersebut tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid.

Kesimpulan : Hadis Al Ifriqiy dan hadis Abdullah bin Sufyaan di atas tidak bisa saling menguatkan maka kedudukannya adalah dhaif. Sungguh keliru orang yang mengatakan hadis tersebut saling menguatkan dan menjadi hasan lighairihi.
==================================================================
@SP
Jarh murni “laa yuttaba’u bihi” mutlak merupakan jarh ke-dhabit-an.
Tak berguna jarh ini bagi perawi bermasalah ‘adalahnya, ada atau tidak mutaba’ah sama saja. Contoh-contoh analogi anda ndak nyambung !

TANGGAPAN :
Berikut bantahan dari Abu Azifah yang menunjukkan kalau orang ini asal membantah tapi tidak mengerti apa yang sedang ia bantah. ia mengatakan
Lihat dia, jarh “mungkarul hadits”, “larangan menulis hadits darinya”, “matruk”, “dhaif”, tidak mutlak bermasalah dalam segi ‘adalahnya. Memang dapat berarti bermasalah dalam ‘adalahnya, akan tetapi dapat pula berkenaan dengan masalah dari segi ke-dhabitan-nya, tergantung qarinahnya.
Dan dia sendiri telah menulis qarinah pembantahnya, yaitu : perkataan Shalih bin Muhammad berkata tentangnya Mungkarul Hadits, tetapi ia seorang yang SHALEH.
Orang ini sangat kacau dalam berhujjah. Saya tidak pernah menafikan ada ulama yang menetapkan ‘adalah Al Ifriqiy tetapi melemahkan hadis-hadisnya tetapi saya menunjukkan kepadanya ada ulama yang melemahkan ‘adalah Al Ifriqiy.

Ahmad bin Hanbal menyatakan Al Ifriqiy “mungkar al hadits” dan ini adalah jarh untuk melemahkan ‘adalah-nya dengan qarinah perkataan Ahmad bin Hanbal yaitu “jangan menulis hadis darinya”. Kalau perawi ini cuma bermasalah dhabit-nya maka tidak ada alasan larangan menulis hadisnya. Toh ulama sekaliber Ahmad bin Hanbal sudah pasti tahu bahwa perawi yang dhaif hafalannya bisa ditulis hadisnya untuk dijadikan i’tibar. Jadi larangan menulis hadisnya menunjukkan jatuhnya ‘adalah perawi tersebut di sisi Ahmad bin Hanbal.

Kekacauan orang ini adalah menjadikan perkataan Shalih bin Muhammad sebagai qarinah perkataan Ahmad bin Hanbal. Ya gak nyambung. Itu ucapan dua orang yang berbeda.

Abu Fulan ini tidak mengerti lafaz-lafaz jarh dan ta’dil disisi para ulama tetapi bergaya sok tahu. Terkadang seorang ulama memiliki makna sendiri lafaz jarh “mungkar al hadits” disisinya seperti Al Bukhariy ketika menyatakan jarh “mungkar al hadits” maka itu menunjukkan sangat dhaif di sisinya sehingga tidak halal meriwayatkan darinya.

Maaf ya kalau referensi ilmu hadis cuma asal comot dari kitab terjemahan Ittihafun Nabil Abu Hasan gak perlu sok bergaya membantah sana sini.

Begitu pula lafaz “matruk” dari Ibnu Khirasy itu adalah jarh dari segi ‘adalah. Orang yang mengatakan lafaz matruk adalah jarh dari segi dhabit adalah orang yang tidak pernah belajar dasar-dasar Ulumul Hadis. Silakan ia buka kitab Ulumul hadis mana saja maka ia akan tahu kalau jarh matruk itu adalah jarh dari segi ‘adalah perawi.
Alhamdulillah ternyata saya masih berdiri diatas kaedah ilmu, sehingga seorang ulama hadits-pun telah sesuai dengan pendapat saya.
Sungguh saya ingn tertawa melihat gaya orang ini. Ia kan hanya taklid buta kepada ocehan Abul Jauzaa dimana Abul Jauzaa juga taklid kepada Ibnu Hajar. Please deh jangan sok bergaya anda mengerti apa itu kaidah ilmu. kalau memang anda mampu silakan bawakan satu saja ulama mutaqaddimin yang mengatakan dengan lafaz sharih [jelas] kalau Al Ifriqiy itu buruk hafalannya. Kalau memang ia masyhur buruk hafalannya masa’ tidak ada satupun ulama hadis yang mengatakan dengan jelas.

Lagipula kalau ia ingin taklid kepada Ibnu Hajar maka perhatikan juga apa yang ditulis Ibnu Hajar dalam kitabnya Thabaqat Al Mudallisin. Ibnu Hajar menggolongkan Al Ifriqiy ke dalam perawi mudallis thabaqat kelima yang dikatakan Ibnu Hajar hadisnya mardud [ditolak] walaupun ia menjelaskan penyimakannya. Jadi di sisi Ibnu Hajar ya hadis Al Ifriqiy itu mardud [ditolak] apalagi disini Al Ifriqiy tidak menyebutkan penyimakannya
Alhamdulillah, ternyata tidak hanya Imam Ibnu Hajar saja yang berpendapat seperti saya, ternyata Shalih bin Muhammad, Sufyan Ats Tsauri, dan Abu Hasan bin Qaththan, berpendapat bahwa kelemahan Al Ifriqi hanyalah karena meriwayatkan riwayat yang mungkar, dan ini maklum merupakan jarh dari segi ke-dhabitan.
Orang ini tidak menangkap inti permasalahan. Justru ulama-ulama tadi menentang dirinya tetapi ia yang tidak paham. Ucapan Shalih bin Muhammad “mungkar al hadits tetapi ia shalih” menunjukkan bahwa perawi tersebut dhaif di sisi Shalih bin Muhammad tetapi pada dasarnya perawi tersebut seorang yang shalih dalam hal dirinya yaitu ia seorang ahli ibadah yang zuhud dan wara’. Jadi orang seperti ini di sisi Shalih bin Muhammad walaupun shalih ya hadisnya dhaif dan ditolak.

Perkataan Sufyan Ats Tsawriy adalah jarh mufassar yaitu sering menisbatkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] hadis-hadis yang tidak ada satupun yang menisbatkannya kepada Nabi. Pada dasarnya ini adalah jarh berat karena hakikatnya orang ini menyandarkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sesuatu yang bukan hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ada dua macam tipe perawi seperti ini yaitu perawi yang dengan sengaja berdusta maka jatuh keadilannya dan perawi yang tidak sengaja berdusta mungkin karena ia ikhtilath sehingga lupa atau kacau dengan apa yang ia riwayatkan. Apapun itu intinya perawi seperti ini hadisnya ditolak. Tidak ada guna penta’dilan terhadapnya karena jarh ini adalah jarh mufassar. Kaidah ilmu mengatakan jarh mufassar lebih didahulukan daripada ta’dil. Maka kesimpulannya dengan jarh Sufyan Ats Tsawriy ini Al Ifriqiy dhaif dan ditolak hadisnya. Bisa saja hadis dengan lafaz “ma ana ‘alaihi wa ashabiy” itu adalah bukan hadis Nabi tetapi ia menyambungkannya kepada Nabi. Buktinya adalah dalam riwayat shahih lain hadis Iftiraq Al Ummah tidak ada disebutkan lafaz tersebut.

Adapun perkataan Ibnu Qaththan, si Abu Fulan ini mungkin buta matanya, karena jelas-jelas saya nukil perkataan Ibnu Qaththan bahwa “yang benar adalah Ifriqiy seorang yang dhaif”. Artinya Ibnu Qaththan merajihkan kalau ia dhaif dan alasannya adalah karena banyak meriwayatkan hadis mungkar. Dan hadis “ma ana ‘alaihi wa ashabiy” adalah bagian dari hadis mungkarnya karena dalam hadis-hadis shahih Iftiraq Al Ummah tidak ada lafaz tersebut.
Hal ini pernah kita bahas dalam periwayatan Bakr bin Bakaar, bahwa berbeda antara jarh fulan perawi mungkar dengan fulan mungkarul hadits.
Orang yang tidak paham tetapi berasa-rasa paham. Orang ini sebenarnya dari awal saja sudah sesat pemahamannya terhadap ilmu hadis. Itu karena ia tidak pernah belajar dasar-dasar Ulumul Hadis. Tapi kok gak sadar-sadar juga ya, kasihan kasihan.
TANGGAPAN SAYA :
Hal ini dapat terjadi akibat buruknya hafalan Al Ifriqi.
Lha bisa juga kemungkinannya karena Al Ifriqiy memang jatuh ‘adalah-nya seperti yang dikatakan Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khirasy dan Nasa’iy. Kalau orang ini memang ingin memastikan bahwa hadis-hadis mungkar dan maudhu’ yang diriwayatkan Al Ifriqiy itu berasal dari buruk hafalannya maka silakan tunjukkan ulama mutaqaddimin yang mengatakan dengan jelas bahwa Al Ifriqiy buruk hafalannya.

Fakta yang ada berdasarkan qaul ulama mutaqaddimin adalah Al Ifriqiy banyak meriwayatkan hadis-hadis mungkar dan juga meriwayatkan hadis-hadis palsu. Kemungkinannya disini bisa saja Al Ifriqiy perawi yang bermasalah ‘adalah-nya, atau mungkin bisa saja hadis-hadis mungkar dan maudhu’ itu akibat dari tadlisnya dimana ia melakukan tadlis dari perawi zindiq dan pemalsu hadis, atau mungkin bisa saja ia lemah dalam dhabit-nya sehingga saking lemah dhabitnya ia begitu banyak meriwayatkan hadis mungkar dan maudhu’. Apapun kemungkinannya ya hadis perawi seperti ini selayaknya ditolak. Abu Fulan ini tidak bisa membedakan mana hujjah yang masih kemungkinan dan mana hujjah yang menjadi fakta.

Dan satu lagi tidak setiap perawi yang lemah dalam dhabit-nya itu berarti adil. Seorang yang bermasalah dalam ‘adalah-nya juga bisa lemah dalam dhabit-nya. Maka tidak menutup kemungkinan disini kalau Al Ifriqiy selain buruk hafalannya tetapi juga lemah ‘adalah-nya.

Saya sih tidak berminat mendiskusikan soal kemungkinan disini. Saya lebih berfokus pada fakta qaul ulama mutaqaddimin yang menyatakan Al Ifriqiy banyak meriwayatkan hadis mungkar dan juga meriwayatkan hadis maudhu’. Hal ini cukup untuk menjatuhkan derajat hadisnya menjadi dhaif. Dan dalam perkara hadis “ma ana alaihi wa ashabiy” maka hadis ini dhaif tidak bisa dijadikan i’tibar karena mungkar bertentangan dengan hadis-hadis shahih lain yang tidak menyebutkan lafaz tersebut.
TANGGAPAN SAYA :
Sejak kapan riwayat mudalis tidak bisa dijadikan i’tibar ?
Sejak diketahui bahwa ia melakukan tadlis dari perawi zindiq, pendusta dan pemalsu hadis. Baca baik-baik dong wahai Abu Fulan. Perawi yang melakukan tadlis dari perawi zindiq, pendusta dan pemalsu hadis mana bisa hadisnya dijadikan i’tibar karena bisa saja itu sebenarnya adalah hadis palsu dan dusta karena tadlis tersebut.
TANGGAPAN SAYA :
Kacau betul bantahan orang ini, jelas harus dibedakan antara jarh “majhul, tidak ada mutaba’ahnya” dengan jarh “tidak ada mutaba’ahnya”.
Jarh “majhul tidak ada mutaba’ahnya”, lafal “majhul” menunjukkan identitas perawi, dan lafal “tidak ada mutaba’ahnya” menunjukkan status haditsnya.
Sedangkan jarh “tidak ada mutaba’ahnya”, menunjukkan diketahuinya identitas perawi tersebut sebagai perawi yang lemah hafalannya sehingga haditsnya membutuhkan mutaba’ah.
Justru orang ini yang kacau. Jarh “tidak ada mutaba’ah” itu bisa berlaku pada perawi majhul dan dhaif. Maka kalau ada seorang perawi dikatakan “tidak ada mutaba’ah” ya tidak bisa langsung dikatakan kalau dia lemah hafalannya dan ‘adalahnya tidak bermasalah. Justru bisa saja orang tersebut sebenarnya majhul atau dhaif.

Orang ini memutlakkan jarh “tidak ada mutaba’ah” sebagai tanda bahwa ‘adalah-nya tidak bermasalah ya Itu namanya mengada-ada bung. Bicara itu ya pakai bukti bukan pakai dengkul. Tidak ada satupun ulama hadis yang mengatakan demikian karena faktanya perawi majhul dan dhaif pun juga pernah dikatakan Al Uqailiy dengan lafaz “tidak ada mutaba’ah”.
TANGGAPAN SAYA :
Sungguh mengherankan apabila bila jarh “tidak ada mutaba’ahnya” disandarkan kepada perawi yang bermasalah tentang ‘adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba’ah atau tidak tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain.
Lho memangnya anda pikir Al Uqailiy itu sedang mentakhrij hadis atau sedang menguatkan hadis dalam kitabnya Adh Dhu’afa. Al Uqailiy itu sedang membuat biografi perawi yang dhaif menurutnya bung. Makanya ia sebut kitabnya Adh Dhu’afa. Tolong akalnya dipakai sedikitlah.

Masalah jarh seperti apa yang dipakai Al Uqailiy itu adalah haknya. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Intinya saya sudah menunjukkan bahwa di sisi Al Uqailiy jarh “tidak ada mutaba’ah” itu bisa berlaku pada perawi majhul dan dhaif. Oleh karena itu jika anda memutlakkan jarah “tidak ada mutaba’ah” sebagai tidak masalah dalam ‘adalah-nya dan hanya menunjukkan lemah hafalannya maka itu berarti anda membuat kedustaan atas nama Al Uqailiy atau mengada-adakan istilah sendiri yang tidak dikenal Al Uqailiy.
Meriwayatkan hadits-hadits palsu berbeda dengan membuat hadits palsu.
Yang pertama bisa karena dia pendusta atau bisa juga karena dia seorang yang buruk hafalannya sehingga menyampaikan sanadnya keliru.
Sedangkan yang kedua tidak syak lagi kalau perawi tersebut adalah pendusta.
Jika ulama jarh dan ta’dil menyatakan terhadap seorang perawi “ia meriwayatkan hadis palsu” maka tidak diragukan kalau ini jarh yang berat dan menjatuhkan keadilannya. Apapun kemungkinannya perawi tersebut sengaja berdusta atau perawi tersebut buruk hafalannya sehingga melahirkan hadis-hadis palsu dari hafalannya ya itu tidak menjadi masalah. Orang yang buruk hafalannya dan saking buruknya hafalan orang tersebut sampai melahirkan hadis palsu adalah orang yang sudah selayaknya ditolak hadis-hadisnya.
Dalam kasus diatas bisa jadi Al Uqailiy tidak menjarh ‘adalah Bisyr, hanya menjarh hadits-hadits Bisyr adalah lemah bila tidak ada mutaba’ahnya, dan bisa jadi menjadi kuat bila ada mutaba’ahnya. Dan setelah beliau teliti ternyata hadits-hadits tersebut tidak ada mutaba’ahnya.
Silakan bangun dulu dari waham khayalnya. Sangat jelas kalau Al Uqailiy menjarh Bisyr makanya ia memasukkannya dalam kitab Adh Dhu’afa. Bagaimana mungkin orang yang Al Uqailiy jarh dengan kata-kata “meriwayatkan hadis palsu, tidak ada mutaba’ah atasnya” anda katakan hadisnya bisa menjadi kuat bila ada mutaba’ah. Memangnya ilmu hadis itu anda yang bikin. Kalau mau mengada-ada ilmu hadis sendiri ya buat saja sendiri.

Lama-lama perawi yang pendusta dan pemalsu hadis akan anda bilang itu karena ia buruk hafalannya. Saya masih belum lupa bagaimana anda mengatakan perawi yang dikatakan “pencuri hadis” anda seenaknya bilang itu karena buruk hafalannya. Maka mungkin nanti dengan ilmu hadis versi anda bisa dibilang semua hadis perawi dhaif, pencuri hadis, pendusta, pemalsu hadis bisa anda kuatkan seenak hawa nafasunya
TANGGAPAN SAYA :
Sekali lagi sungguh mengherankan apabila bila jarh “tidak ada mutaba’ahnya” disandarkan kepada perawi yang bermasalah tentang ‘adalahnya. Apa gunanya ? Ada mutaba’ah atau tidak tetap saja perawi tersebut tidak dapat diangkat dan mengangkat riwayat yang lain.
Dan lagi sejak kapan “dhaif tidak tsiqat” merupakan mutlak jarh atas ‘adalah ?
Pertanyaan gak penting karena memangnya apa ketika ulama menjarh “tidak ada mutaba’ah” mereka sedang mengangkat derajat perawi atau hadisnya. Ya nggaklah bung, ulama itu sedang menunjukkan kalau perawi yang dimaksud menyendiri dalam meriwayatkan hadis-hadis yang bermasalah yang membuat perawi tersebut jatuh ke derajat dhaif di sisi ulama tersebut. Oleh karena itu jarh “tidak ada mutaba’ah” di sisi Al Uqailiy adalah jarh melemahkan karena Al Uqailiy sendiri memasukkan namanya dalam kitab yang memuat nama perawi dhaif di sisinya.

Anda boleh saja tidak setuju dengan hujjah Al Uqailiy kalau begitu ya silakan bawakan bantahan terhadap Al Uqailiy. Jangan malah menjadikan jarh Al Uqailiy sebagai bukti kalau Abdullah bin Sufyan tidak bermasalah ‘adalah-nya. Itu namanya dusta bin mengada-ada.

Lafaz “dhaif” dan “laisa bi tsiqat” di sisi Yahya bin Ma’in itu adalah lafaz jarh terhadap ‘adalah perawi. Ini adalah pelajaran dasar Ulumul Hadis. Seorang yang baru belajar ilmu hadis pun akan mengetahuinya. Beda hal-nya dengan orang yang tidak pernah belajar Ulumul Hadis tetapi asal comot sana sini kemudian dicampur dengan waham khayalnya maka jadilah seperti Abu Fulan ini yang tidak jelas ilmunya. Masa’ hal lumrah seperti ini saja ditanya.
Sekali lagi jarh “mungkarul hadits tidak ada mutaba’ahnya” berbeda dengan jarh “tidak ada mutaba’ahnya”
Tolong dibaca contoh yang saya bawakan dengan baik. Tolong matanya dipakai. Lihat perawi dengan nama Muusa bin Muhammad bin Ibrahim yang dikatakan Al Uqailiy “tidak ada mutaba’ah hadisnya”. Dengan perkataan Al Uqailiy ini apa anda mau mengatakan bahwa Al Uqailiy ingin menyatakan ia tidak bermasalah ‘adalah-nya tetapi hanya hafalannya yang bermasalah. Tentu saja tidak, karena pada kalimat setelahnya Al Uqailiy menukil Al Bukhariy yang mengatakan “mungkar al hadits” dan Yahya yang mengatakan “dhaif”. Artinya Al Uqailiy sedang mendhaifkan perawi tersebut dari segi ‘adalah-nya. Mengerti anda bung.
Telah berlalu perkataan Imam Dzahabi bahwa Abdullah bin Sufyan adalah dhaif, bila dirangkai dengan jarh ‘tidak ada mutaba’ahnya” menjadi jarh “dhaif tidak ada mutaba’ahnya”, sehingga diketahuti bahwa perawi ini hanya bermasalah dari segi hafalannya saja.
Lho memangnya kalau Adz Dzahabiy mengatakan “dhaif tidak ada mutaba’ahnya” bisa anda katakan bahwa perawi ini hanya bermasalah dari segi hafalannya saja. Kaidah dari mana itu, dari waham khayal anda, ya tolong jangan dibawa-bawa disini. Jika seorang perawi dikatakan dhaif tidak ada mutaba’ah-nya maka kedudukan asalnya memang dhaif. Kalau ingin menguatkan perawi tersebut dengan mengatakan ‘adalah-nya tidak bermasalah hanya hafalannya yang bermasalah ya silakan bawakan buktinya. Mana bisa lafaz “dhaif tidak ada mutaba’ah” langsung diartikan “hanya hafalannya yang bermasalah”. Lafaz itu bermakna perawi yang dibicarakan tersebut dhaif dan ia meriwayatkan hadis-hadis yang ia menyendiri atasnya dimana hadis-hadis ini menjadi bukti akan kedhaifannya.
Jadi kesimpulannya :
Al Ifriqi adalah perawi lemah yang bisa dijadikan i’tibar, demikian pula Abdullah bin Sufyan adalah perawi lemah yang bisa dijadikan i’tibar, sehingga saling menguatkan, menaikkan statusnya menjadi HASAN LIGHAIRIHI.
Al Ifriqiy itu perawi dhaif dan hadisnya mungkar serta melakukan tadlis dari pemalsu hadis. Maka hadisnya disini tidak bisa dijadikan i’tibar karena tidak selamat dari tadlisnya sehingga bisa saja itu berasal dari pemalsu hadis dan ia melakukan tadlis darinya. Ditambah lagi hadisnya disini mungkar karena hadis Iftiraq Al Ummah dengan sanad yang shahih tidak memuat lafaz “ma ana ‘alaihi wa ashabiy”. Hadis mungkar tidak bisa dijadikan i’tibar.

Terakhir, tolong dibaca baik-baik kedudukan Abdullah bin Sufyaan di sisi Al Uqailiy dengan jarh “tidak ada mutaba’ah” itu bermakna dhaif karena Al Uqailiy sendiri menyatakan hadis Abdullah bin Sufyaan di atas tidak ada asalnya. Maka bagaimana bisa anda menjadikan hadis Abdullah bin Sufyan sebagai i’tibar kalau Al Uqailiy sendiri menyatakan hadis tersebut tidak ada asalnya.
  • @abu azifah
    Jarh murni “laa yuttaba’u bihi” mutlak merupakan jarh ke-dhabit-an.
    Tak berguna jarh ini bagi perawi bermasalah ‘adalahnya, ada atau tidak mutaba’ah sama saja. Contoh-contoh analogi anda ndak nyambung !
    Pikiran anda yang tidak nyambung. Jarh “tidak ada mutaba’ah” yang kita bicarakan disini adalah jarh Al Uqailiy dalam kitabnya Adh Dhu’afa. Al Uqailiy tidak pernah memaknai jarh itu khusus mutlak merupakan jarh terhadap dhabit. Buktinya saya sudah menunjukkan dalam kitab Al Uqailiy tersebut misalnya perawi dengan nama Muusa bin Muhammad bin Ibrahim At Taimiy yang disebutkan jarh “tidak ada mutaba’ah atas hadisnya” ternyata perawi yang dibicarakan Al Uqailiy dengan jarh tersebut adalah perawi yang jatuh ‘adalah-nya karena Al Uqailiy sendiri menukil Al Bukhariy yang mengatakan “mungkar al hadiits” dan Yahya yang mengatakan ‘dhaif”.

    Al Uqailiy pemilik jarh tersebut lebih layak menjadi hujjah dibanding ocehan dan bualan anda yang hanya berasal dari waham khayal anda saja
    inkonsisten anda, sejak kapan perawi dapat dijadikan i’tibar bermasalah dalam ke-‘adalah-annya ?
    Memangnya kapan saya pernah bilang perawi bermasalah ‘adalah-nya bisa dijadikan i’tibar. Kalau gak paham hujjah orang lain ya jangan mengada-ada atas nama orang lain.
  • @sp
    Al ifriqi bermasalah dalam ‘adalahnya apa ndak mas ?
  • @SP
    Jarh-jarh contoh anda ada qarinah lain, itu yang dipakai.
    Sedang jarh Abdullah bin Sufyan tidak ada qarinah lain (murni laa yuttabau bihi), apa gunanya laa yuttabau bihi terhadap perawi yang bermasalah ‘adalahnya ?
  • @abu azifah
    Al ifriqi bermasalah dalam ‘adalahnya apa ndak mas ?
    Di sisi saya setelah saya teliti kembali berdasarkan pendapat yang rajih ia perawi yang dhaif. Dalam tulisan sebelumnya saya mengatakan ia bisa dijadikan i’tibar dengan dasar sebagian ulama yang menta’dilkannya. Tetapi sekarang saya menjadi yakin kalau kedudukannya dhaif sehingga tidak bisa dijadikan i’tibar. Saya lebih berpegang pada pendapat ulama yang melemahkan ‘adalah-nya semisal Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khirasy dan Nasa’iy dan didukung bukti dengan jarh mufassar bahwa ia banyak meriwayatkan hadis mungkar dan meriwayatkan hadis palsu serta melakukan tadlis dari pemalsu hadis.
    Jarh-jarh contoh anda ada qarinah lain, itu yang dipakai.
    Sedang jarh Abdullah bin Sufyan tidak ada qarinah lain (murni laa yuttabau bihi), apa gunanya laa yuttabau bihi terhadap perawi yang bermasalah ‘adalahnya ?
    Pertanyaan anda itu yang tidak ada gunanya. Jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” sudah terbukti bisa tertuju pada perawi yang bermasalah ‘adalah-nya. Lihat contoh yang saya nukil Muusa bin Muhammad bin Ibrahim dimana Al Uqailiy murni mengatakan “tidak memiliki mutaba’ah atas hadisnya” tetapi ternyata perawi yang dimaksud dhaif dari segi ‘adalah-nya. Jadi apa gunanya anda menanyakan sesuatu yang sudah terbukti ada. Coba saya tanya, mungkin tidak seorang perawi dhaif ‘adalah-nya meriwayatkan hadis-hadis yang tidak memiliki mutaba’ah atasnya?. Jawabannya sangat mungkin bahkan bisa jadi dengan hadis-hadis itu menjadi bukti akan kedhaifan ‘adalah-nya.

    Jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” itu tertuju pada perawi yang bermasalah ‘adalah-nya dalam arti ia adalah perawi dhaif yang meriwayatkan hadis-hadis yang ia tidak memiliki mutaba’ah dimana hadis-hadis ini menjadi bukti akan kedhaifannya. Dalam perkara Abdullah bin Sufyaan itu qarinah-nya jelas dimana Al Uqailiy membawakan hadis Abdullah bin Sufyan yaitu hadis di atas kemudian Al Uqailiy mengatakan hadis Abdullah bin Sufyan itu tidak ada asalnya. Maka kedudukan Abdullah bin Sufyan dhaif dari segi ‘adalah-nya
    .
    Harusnya anda yang membuktikan kalau jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” di sisi Al Uqailiy tertuju pada perawi yang tidak bermasalah ‘adalah-nya hanya hafalannya yang bermasalah. Coba tunjukkan satu saja contohnya dalam kitab Al Uqailiy. Saya tunggu buktinya ya?. Itu kalau memang anda mampu berdiskusi secara ilmiah. Jangan hanya bisa memaksakan waham khayal anda kedalam ilmu hadis
  • TANGGAPAN SAYA :
    Pada intinya jarh murni “tidak ada mutaba’ahnya” merupakan jarh dari segi ke-dhabit-an, bisa karena buruk hafalannya, bisa karena majhul, bisa karena dhaif, bisa karena ikhtilath, bisa karena terputus, dll.
    Orang ini aneh, semakin banyak bicara semakin melantur. Sejak kapan majhul, dhaif, ikhtilath dan terputus masuk dalam kategori jarh dalam hal dhabit. Kacau sekali ilmu hadis orang ini
    Intinya jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” harus dikembalikan pada pemilik jarh tersebut. Caranya adalah dengan melihat berbagai kasus yang diterapkan olehnya terhadap para perawi dalam kitabnya. Sangat jelas telah kami buktikan bahwa jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” juga berlaku untuk perawi yang lemah ‘adalah-nya. Tidak ada gunanya ia mengoceh sana sini berulang-ulang toh kami sudah membuktikan. Kalau ia tidak menerima ya silakan saja.

    Oleh karena itu kami balik bertanya silakan buktikan bahwa di sisi Al Uqailiy jarh “tidak ada mutaba’ah atasnya” hanya bermakna jarh terhadap dhabit sedangkan ‘adalah-nya tidak bermasalah. Tentu saja ia tidak akan bisa membuktikannya karena memang tidak ada hal semacam itu. Orang ini tidak bisa membedakan waham khayal-nya dengan kaidah ilmiah.
    Sedangkan inti jarh Imam Al Uqailiy adalah “hadits ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Said” akibat kesendirian Abdullah bin Sufyan.
    Hal ini tidak berarti bahwa Al Uqailiy berpendapat bahwa riwayat Abdullah bin Sufyan tidak dapat dijadikan penguat riwayat Al Ifriqi, beliau hanya berpendapat tidak tsabit riwayat Abdullah bin Sufyan dari Yahya bin Said akibat kesendirian Abdullah bin Sufyan dan yang tsabit adalah riwayat Al Ifriqi akan tetapi lemah.
    Hal ini perlu dicermati, bahkan riwayat Abdullah bin Sufyan mempunyai mutaba’ah (syahid), yaitu riwayat Al Ifriqi.
    Ini adalah bukti kesekian kalinya kalau orang ini tidak memahami apa yang ia baca atau sebenarnya ia tidak bisa membaca. Inilah perkataan Al Uqailiy:

    ليس له من حديث يحيى بن سعيد أصل وإنما يعرف هذا الحديث من حديث الافريقى

    Hadis ini tidak ada asalnya dari Yahya bin Sa’iid, sesungguhnya hanyalah dikenal hadis ini dari hadis Al Ifriqiy.

    Ini adalah ucapan khas ulama yang menyatakan hadis tertentu sebagai mungkar, tertolak atau bahkan maudhu’. Ucapan “hadis itu tidak ada asalnya” adalah ucapan yang membatalkan hadis itu sebagai i’tibar. Kalau memang Al Uqailiy menjadikan hadis itu sebagai i’tibar bersama dengan hadis Al Ifriqiy maka tidak mungkin ia akan mengatakan hadis itu tidak ada asalnya.

    Intinya Al Uqailiy menyalahkan riwayat Abdullah bin Sufyaan dan sebenarnya hadis itu hanyalah riwayat Al Ifriqiy, lafaz “innama” itu jelas hanya menunjukkan bahwa riwayat yang dimaksud hanya riwayat Al Ifriqiy karena lafaz “innama” itu bermakna hashr [pembatasan], tidak untuk selain yang disebutkan. Susah memang bicara sama orang yang tidak paham bahasa arab tetapi bergaya sekali berhujjah seolah paling mengerti terhadap qaul ulama. Please deh tolong sadar diri sedikitlah, bicaralah sebatas ilmu yang ada jangan bicara ketinggian melampaui ilmu yang dimiliki
    TANGGAPAN SAYA :
    Telah berlalu kesepakatan kita, bahwa Al Ifriqi dapat dijadikan i’tibar.
    Sejak kapan kita sepakat. Lucu, anda itu punya mata tetapi tidak dipakai untuk melihat dengan baik. Sudah saya tuliskan bahwa hadis Al Ifriqiy tidak bisa dijadikan i’tibar apalagi disini hadis tersebut terbukti mungkar karena bertentangan dengan hadis-hadis shahih yang tidak menyebutkan lafaz “ma ana alaihi wa ashabiy”. Dan bagaimana bisa dijadikan i’tibar kalau tidak selamat dari cacat tadlis Al Ifriqiy yang sering melakukan tadlis dari pemalsu hadis. Masa’ yang begini bisa dijadikan i’tibar
    Telah berlalu pembahasan jarh murni “tidak ada mutaba’ahnya” merupakan mutlak merupakan jarh dari segi ke-dhabit-an atau ke-ittisal-an sanad bukan jarh tentang ‘adalah seorang perawi.
    Kapan anda membuat pembahasan?. Dalam mimpi?. Anda cuma asal bicara itu mutlak jarh dari segi dhabit tanpa membawakan satupun bukti. Tidak ada qaul ulama yang anda kutip. Tidak ada contoh kasus yang anda kutip. Jangan-jangan anda tidak mengerti apa itu namanya “pembahasan”.
    Sehingga kalau SP hendak melemahkan Abdullah bin Sufyan, hendaklah ia mendatang jarh tentang ‘adalah beliau, jangan berasumsi dengan analogi-analogi yang tidak pas.
    Apanya yang asumsi?. anda tidak paham kali makna “asumsi”. Al Uqailiy memasukkannya Abdullah bin Sufyan dalam kitabnya Adh Dhu’afa. Al Uqailiy menjarahnya dengan “tidak ada mutaba’ah hadisnya” kemudian Al Uqailiy menyatakan hadisnya tidak ada asalnya. Sangat jelas bahwa Abdullah bin Sufyaan dhaif di sisi Al Uqailiy.

    Justru kalau anda ingin menguatkan Abdullah bin Sufyan. Ingin menetapkan ‘adalah-nya maka silakan bawakan ulama yang menta’dil Abdullah bin Sufyan. Bagaimana mungkin menetapkan ‘adalah dengan jarh Al Uqailiy dalam kitab Adh Dhu’afa. Itu sungguh tidak masuk akal.
    Oleh karena itu Abdullah bin Sufyan adalah perawi yang lemah dari sisi ke-dhabit-an, menjadi sah bila ada mutaba’ahnya (syahidnya), dan Alhamdulillah riwayat Al Ifriqi dapat dijadikan syahid atas riwayat Abdullah bin Sufyan.

    Ya dalam mimpi anda kali. Toh Al Uqailiy sendiri menolak dan menyalahkan riwayat Abdullah bin Sufyaan. Bagaimana bisa anda sok yakin menjadikannya syahiid. Siapa anda gitu loh.

(Syiahali/Secondprince/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI