Hartini (lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924 – meninggal di Jakarta, 12 Maret 2002 pada umur 77 tahun) adalah istri keempat Presiden RI Soekarno. Ayahnya Osan adalah pegawai Departemen Kehutanan yang rutin berpindah kota. Hartini menamatkan SD di Malang dan beliau diangkat anak oleh keluarga Oesman di Bandung. Hartini melanjutkan pendidikan di Nijheidschool (Sekolah Kepandaian Putri) Bandung. Hartini menamatkan SMP dan SMU di Bandung. Hartini remaja dikenal cantik, dan Hartini muda menikahi Suwondo dan menetap di Salatiga. Ia menjadi janda pada usia 28 tahun dengan lima orang anak. Tahun 1952 di Salatiga, Hartini berkenalan dengan Soekarno yang rupanya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat itu Soekarno, dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada.
Setahun kemudian, Hartini dan Soekarno bertemu saat peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan. Melalui seorang teman, Soekarno mengirimkan sepucuk surat kepada Hartini dengan nama samaran Srihana. Dua hari setelah Guruh Soekarno Putra lahir, tanggal 15 Januari 1953, Soekarno meminta izin Fatmawati untuk menikahi Hartini. Fatmawati mengizinkan, namun kemudian menyebabkannya menuai protes dari berbagai organisasi wanita yang dimotori Perwari yang anti poligami. Soekarno dan Hartini akhirnya menikah di Istana Cipanas, 7 Juli 1953. Tahun 1964 Hartini pindah ke salah satu paviliun di Istana Bogor. Hartini ikut mendampingi acara kenegaraan Soekarno di Istana Bogor, antara lain menemui Ho Chi Minh, Norodom Sihanouk, Akihito dan Michiko.
Di masa tahun 1950-an, saat nasionalisme dan revolusi sangat kuat mewarnai citra diri Soekarno, membuat peran Hartini di Istana Bogor sangat besar dan ia menjadi satu-satunya istri yang paling lama bisa bertemu dengan Soekarno. Meski demikian dekat, Soekarno masih menikahi Ratna Sari Dewi (1961), Haryati (Mei 1963) dan Yurike Sanger (Agustus 1964). Namun sejarah mencatat, Hartini telah mengisi paruh kehidupan Soekarno. Dia lambang perempuan Jawa yang setia, nrimo, dan penuh bekti terhadap guru laki. Hartini meninggal di Jakarta 12 Maret 2002 dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak. Hartini meninggalkan 6 anak yaitu Bayu Soekarnoputra dan Taufan Soekarnoputra (berayah Bung Karno) serta Herwindo, Triherwanto, Sri Wulandari, Riswulan, dan Sri Hariswati (berayah Soeswondo).
Referensi:
1. http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-gempar-yang-mengaku-anak-bung-karno.html
2. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/929/Hartini-Soekarno
3. http://www.anginsurga.eu/hartini.html
4. http://store.tempo.co/foto/detail/P2901201300425/hartini-soekarno
5. http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-cinta-soekarno-dan-9-istrinya/hartini.html
6. http://wap.gatra.com/artikel.php?id=16038
*****
Laporan berkonten.com; Hartini, Istri Soekarno Yang Setia
Terhadap awal thn 1954. Soekarno memasuki kamar tidur penting Istana Merdeka. Tujuannya menjumpai istrinya yang tengah berbaring di samping putra mereka, Guruh Soekarno Putra yang tetap berumur enam bln. Bukan hendak bercengkerama sebagaimana pasangan yang baru dikaruniai momongan, beliau nyata-nyatanya mengutarakan niatnya : meminta izin buat menikahi Hartini. Janda bujang beranak lima, Hartini. Parasnya ayu. Dia tinggi semampai, berkulit kuning langsat, bersama rambut hitam lurus sepinggang.
Beliau tidak sempat mengira suami yang dicintainya bakal membawa wanita lain lagi juga sebagai bini. Bukankah perhatian lelaki kelahiran Blitar itu kepada ia diwaktu mengandung Guruh lebih dari yang dirinya harapkan? Juga, Fatmawati sama sekali tidak menyaksikan tanda-tanda jikalau pasangannya tersebut sedang jatuh cinta lagi terhadap orang lain.
Bpk Soekarno untuk kesekian kali kesemsem lagi kepada perempuan jelita. Apa hendak dikata? “Saya kasmaran terhadap pandangan mula-mula,” tutur dirinya mengenang pertemuannya dengan Hartini [Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno—2009].
Sesudah fall in love in the first sight, kemauan dirinya untuk meningkatkan interaksi dengan Hartini tidak akan dibendung oleh siapa serta. Bahkan beliau selanjutnya keukeuh hendak mempersuntingnya.
Merupakan Siti Suhartini, itu nama kumplit Hartini. Dia anak ke-2 dari lima bersaudara. Orang tuanya Osan Murawi, Petugas Instansi Kehutanan di Ponorogo, dan Mairah. Soekarno perdana kali berjumpa wanita kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924 itu di th 1952 ketika kunjungan kerja ke Salatiga buat meresmikan pemugaran Candi Loro Jonggrang di kompleks Candi Prambanan dan pembangunan Masjid Shuhada di Yogyakarta.
Soekarno menikahi Hartini dengan cara resmi kepada tengah malam Rabu 7 Juli 1954 pukul 19.30 di Istana Cipanas. Perhelatan itu tertutup untuk umum. Soekarno pada awal mulanya telah menikah dengan cara resmi dengan Utari, Inggit, dan Fatmawati. Inilah perkawinan Soekarno yang paling sensasional. Kesengitan perlawanan Fatmawati, penyebabnya. Nanti Soekarno masihlah bakal kawin-mawin lagi, baik dengan cara resmi ataupun tak. Namun kehebohannya tidak ada yang melebihi kasus persandingannya bersama Hartini.
Sesudah akad nikah, Hartini dipindah Soekarno ke Istana Bogor. Di sana dia tinggal di paviliun. Jatahnya berjumpa dengan sang suami baru cuma akhir minggu.
Laporan boombastis.com; Hartini, Istri Kesayangan Bung Karno yang Bersahaja dan Ikhlas Dipoligami
Selama ini, banyak dari kita yang mengetahui bahwa bung Karno merupakan seorang flamboyan yang memiliki 9 orang istri (walau dalam waktu yang berbeda, tentunya). Salah satu yang paling teringat di memori masyarakat Indonesia, tentu saja Ibu Fatmawati. Beliau menjadi ibu negara pertama di negeri ini, dan menjahit bendera sang pusaka merah putih dengan tangannya sendiri.
Namun tahukah Anda, bahwa ada sosok keibuan, sederhana dan penuh wibawa bernama Hartini? Wajahnya penuh kedamaian, senyumnya meluluhkan hati siapa saja yang melihatnya. Beliau adalah istri keempat bung Karno, yang dipersunting setelah Fatmawati. Ia bukanlah perempuan dengan pendidikan tinggi luar biasa, apalagi datang dari keluarga kaya raya.
Sosok Hartini yang Anggun [via]
Hartini adalah wanita berusia 28 tahun, berstatus janda 5 anak. Anda tentu bertanya-tanya, apa yang membuat sang putra fajar jatuh hati padanya, bahkan rela ditolak berkali-kali sebelum akhirnya Hartini bersedia dinikahi? Perjalanan hidup perempuan yang berpulang di tahun 2002 ini akan membuat Anda meneteskan air mata, dan belajar bagaimana menjadi perempuan penuh wibawa yang sesungguhnya.
Cinta yang Berawal dari Semangkuk Sayur Lodeh
Tahun 1952, Bung Karno berkunjung ke Salatiga. Kota kecil yang bersahaja ini menyambut sang Presiden dengan penuh suka cita. Berbagai hidangan lezat disajikan, salah satunya adalah menu favorit sang proklamator. Sayur lodeh yang dibuat sepenuh hati, oleh perempuan anggun dan keibuan bernama Hartini.
Hartini dan Bung Karno
Saat mencicipi sayur khas Jawa itu, Bung Karno langsung jatuh hati. Beliau bahkan mengungkapkan keinginannya untuk berterimakasih pada sosok yang memasak sayur lodeh kesukaannya itu. Dengan malu-malu dan wajah menunduk, Hartini maju ke depan kerumunan. Bisa dibilang, saat itulah cinta pada pandangan pertama Bung Karno bersemi pada perempuan yang bekerja keras menghidupi 5 orang anaknya sendirian itu.
Hanya Hartini yang Menolak Pinangan Bung Karno Berkali-Kali
Bung Karno memang tak pernah memandang apapun saat mencintai seorang perempuan. Inggit yang lebih tua 12 tahun dan janda, beliau jatuh hati setengah mati. Begitu pula dengan Hartini, walau berstatus janda 5 orang anak, Bung Karno tak pernah memusingkannya. Yang beliau tahu, perempuan yang kala itu berusia 28 tahun itu telah mencuri hatinya.
Sikap Bung Karno yang romantis dan piawai mengambil hati perempuan juga ditunjukkan pada Hartini. Beliau mengirimkan surat-surat cinta, dengan nama samaran Srihana. Dalam bait-bait tulisannya, ia menuliskan bahwa: “Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.”
Hartini
Hati perempuan mana yang tak luluh? Namun bukan berarti Hartini langsung mengiyakan lamaran Bung Karno begitu saja. Perempuan kelahiran Ponorogo ini bergeming, karena beliau tahu bahwa sang Presiden telah memiliki istri. Pun ia paham betul bahwa menjadi istri kedua, beban moralnya sungguh berat luar biasa. Hartini adalah satu-satunya wanita yang tak langsung berkata iya saat dilamar Bung Karno, dan Presiden pertama di Indonesia itupun pantang menyerah untuk mendapatkan hati sang pujaan jiwa.
Hartini Bersedia Menjadi Istri Kedua, dengan Syarat yang Membuat Bung Karno Menitikkan Air Mata
Pada akhirnya, luluh juga hati Hartini. Setelah meminta nasihat pada kedua orangtuanya, dan memantapkan hati, ia bersedia menikah dengan Bung Karno. Setelah sang Presiden meminta izin untuk menikah lagi pada Fatmawati, di tahun 1953 akhirnya dua insan yang saling jatuh hati ini meresmikan hubungan cinta di bawah ikatan suci.
Hartini, Istri Kesayangan Bung Karno
Namun Hartini tidak serta merta menikah dengan Bung Karno begitu saja. Beliau memberi syarat yang membuat suaminya itu bergetar hatinya, dan yakin bahwa Hartini adalah sosok yang benar-benar berwibawa. Perempuan anggun dan sederhana ini meminta pada Bung Karno tetap menjadikan Fatmawati sebagai first lady. Ia juga tak ingin Fatmawati sampai diceraikan.
Hartini juga bersedia menjadi istri kedua, dan menaruh hormat sepenuhnya pada bu Fat, panggilan akrab Fatmawati. Satu kalimatnya yang membuat semua perempuan menangis saat mendengarnya: “Saya rela jadi istri kedua, dan jangan ceraikan Bu Fat. Karena kami sama-sama wanita…”
Hartini Rela Dipoligami, Berkali-Kali
Kala itu, keputusan Bung Karno untuk memiliki istri lebih dari satu menuai banyak protes dan kontroversi. Otomatis, nama Hartini juga jadi bulan-bulanan dan kerap didengungkan sebagai perebut suami orang. Namun apakah perempuan yang selalu tampak ayu saat memakai kebaya ini protes? Tidak pernah sama sekali.
Hartini Saat Menjadi Istri Bung Karno
Beliau tetap tabah dalam menjalani rumah tangganya bersama Presiden Soekarno. Hartini paham benar bahwa menerima, diam, dan ikhlas serta bijaksanalah yang menjadi kunci kebahagiaannya. Beliau mengerti bagaimana cara menyenangkan suami, sampai Bung Karno mengatakan bahwa Hartinilah istri kesayangannya.
Seiring berjalannya waktu, orang nomor satu di Indonesia kala itu tetap jatuh cinta pada wanita lain. Ada Kartini Manoppo, Yurike Sanger, Haryatie, Ratna Sari Dewi dan Heldy Djafar datang silih berganti mengisi hati sang negarawan. Hartini sama sekali tidak cemburu atau membantah, ia selalu memberikan restunya pada sang suami untuk menikah lagi.
Bukan tanpa alasan, namun Hartini tahu bahwa kebahagiaan Bung Karno adalah kebahagiaannya juga. Hingga Bung Karno tutup usia, Hartinilah yang merawat sang suami dengan sepenuh hati, mulai diusir dari Istana Bogor hingga kritis di Wisma Yaso. Hartini mengajarkan kita semua bahwa kebijaksanaan memang begitu susah dilakukan apalagi jika berbau berbagi. Namun sikapnya yang luwes, lemah lembut dan penuh kasih, membuat Bung Karno berkata bahwa beliau ingin Hartini kelak dimakamkan di sampingnya saja. Begitu besar cinta sang putra fajar pada istrinya itu, menandakan bahwa Hartini tak hanya mau bersanding saat senang, tapi hingga saat terburuk sekalipun.
Laporan aditjondro.blogspot.com; Srihana-Srihani, Kisah Cinta Soekarno dan Hartini
Bila mengupas tuntas tentang roman cinta Soekarno, maka kurang lengkap rasanya bila tidak melibatkan sosok Hartini ini. Yah, Hartini adalah seorang wanita pilihan Soekarno yang ternyata memiliki kesetiaan tinggi. Dia jugalah yang menemani Soekarno hingga pudarnya masa kekuasaan Soekarno, bahkan hingga Soekarno tutup usia. Siapakah Hartini ini?, mengapa namanya terukir indah dalam sebuah buku yang berjudul Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno.
Hartini adalah seorang janda beranak lima yang ditemukan oleh Soekarno ketika kunjungannya di Salatiga. Istri keempat Presiden Soekarno ini lahir di Ponorogo, 20 September 1924. Selain cantik, Hartini juga terkenal pandai. Hal tersebut disebabkan karena Hartini merupakan wanita yang berpendidikan. Ia pernah menempuh pendidikan di Nijheidschool (Sekolah Kepandaian Putri).
Kepandaian dan kecantikannya inilah yang membuat Suwondo tertarik kepadanya. Hingga akhirnya, ia pun mempersunting Hartini. Kemudian, Suwondo memboyong Hartini untuk tinggal di Salatiga. Namun sayangnya, pernikahan mereka tidak berjalan lama. Suwondo dan Hartini pun bercerai ketika Hartini berusia 28 tahun. Dari pernikahannya dengan Suwondo, Hartini dikaruniai lima orang anak. Setelah bercerai dari Suwondo, Hartini harus bekerja keras untuk bisa bertahan hidup dengan kelima anaknya. Lalu bagaimana pertemuannya dengan Sang Presiden?.
Pertemuan keduanya pun bisa dibilang sangat unik, dramatik dan juga romantis. Saat itu, Bung Karno melakukan kunjungan ke Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada yang terletak di Kotabaru. Sebelum sampai ke Yogyakarta, Bung Karno mampir sebentar di Salatiga. Di samping itu, Bung Karno juga memang sudah dijadwalkan untuk mengunjungi Salatiga.
Setibanya di Salatiga, Bung Karno pun segera mengunjungi kediaman Bapak Wali Kota Salatiga. Dalam kesempatan tersebut, ia berkeliling ke dapur. Tanpa sengaja, ia melihat seorang wanita cantik yang terbungkus dalam sebuah kebaya yang indah. Dialah wanita yang bernama Hartini itu.
Setelah itu, Bung Karno diharap untuk segera menuju ke lapangan Tamansari untuk berpidato. Saat itu, Bung Karno begitu bahagia karena melihat rakyatnya yang memenuhi lapangan Tamansari. Untuk meredam suasana yang sudah “panas” dengan teriakan “MERDEKA” dari para pengunjung lapangan Tamansari tersebut, Bung Karno pun membuka pidato dengan sebuah tembang berjudul “Suwe Ora Jamu.”
Suwe ora jamu
Jamu pisan jamu kapulogo
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan nang Solotigo…
Tentu saja, tembang tersebut disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah dari para pengunjung. Belum lagi pekikan suara “MERDEKA” yang semakin bergemuruh di lapangan tersebut. Jangan heran, seperti itulah bila Bung Karno sedang berada di atas podium. Bung Karno selalu bisa menghangatkan suasana, membakar semangat dan tentunya berhasil menebar benih-benih nasionalisme dalam diri rakyatnya. Bung Karno memang selalu berapi-api dalam pidatonya. Sehingga pantas saja bila beliau mendapat julukan “Singa Podium”.
Setelah selesai berpidato, Bung Karno pun kembali ke rumah Bapak Walikota untuk menikmati hidangan makan siang. Saat itu, Bung Karno memang terasa sangat lapar. Dari beberapa hidangan yang tersaji di meja, ada satu hidangan yang membuat Bung Karno tertarik, yaitu sayur lodeh. Bung Karno pun segera mencicipi sayur lodeh tersebut. Tiba-tiba saja, Bung Karno memanggil Bapak Walikota dan bertanya, “Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap terima kasih kepadanya.”
Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno karya Arifin Suryo Nugroho dijelaskan bahwa John D. Legge mengungkapkan bahwa memang ada tiga wanita special yang ada di hati Bung Karno, yaitu Sarinah, Inggit dan juga Hartini. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa Hartini cukup bersyukur mengenai momen sayur lodeh yang kemudian mengubah jalan hidupnya tersebut. Hartini masih ingat betul, ketika Bung Karno menjabat tangan Hartini begitu hangat dan dalam waktu yang cukup lama. Bung Karno seperti tersihir dengan pesona kecantikan Hartini dan segala kelebihannya itu. Sambil berjabat tangan, Bung Karno pun bertanya, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”
Setelah pertemuan tersebut, Bung Karno selalu terbayang-bayang pesona Hartini. Bung Karno merasakan ada getaran yang aneh dan tak biasa. Senyum manis dan paras ayu Hartini, seakan-akan selalu menjadi menu utama di pagi hari Sang Presiden tersebut. Bung Karno benar-benar tak bisa tenang, pikirannya selalu dibayang-bayangi Hartini.
Pada suatu hari, Bung Karno pun bangun dari lamunannya. Ia segera mengambil secarik kertas dan sebuah pena.“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.” Itulah salah satu isi dari surat cinta Bung Karno kepada Hartini. Dalam surat tersebut, Bung Karno menggunakan nama samaran “Srihana” sedangkan untuk Hartini, bung Karno cukup menuliskan kata Srihani, sebagai nama samaran pula. Akhirnya, dalam surat menyurat berikutnya, kedua insan yang sedang dimabuk cinta tersebut selalu menggunakan nama Srihana dan Srihani.
Jalinan kisah cinta keduanya pun berujung pada sebuah kepastian, di mana Bung Karno dengan resmi meminang Hartini. Namun kala itu, Hartini masih belum bisa berkata apa-apa. Hartini tahu betul bahwa Bung Karno adalah seorang pria beristri. Ia juga tahu bahwa Bung Karno sudah memiliki Bu Fatmawati sebagai first lady. Belum lagi petuah dari kedua orang tua Hartini yang selalu mengingatkan kepada Hartini bahwa menjadi isteri kedua itu berat, biarpun oleh raja atau presiden.
Hartini pun minta waktu untuk berpikir dulu. Dalam penantiannya tersebut, Bung Karno pun masih sering berhubungan dengan Hartini melalui surat. Pada masa-masa itulah, Hartini semakin yakin bahwa ia benar-benar mencintai Bung Karno. Hartini pun tidak bisa terlalu lama membohongi perasaannya, hingga akhirnya Hartini pun menerima pinangan Bung Karno tapi dengan satu syarat. Hartini berkata kepada Bung Karno, “Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”
Singkat cerita, mereka berdua pun berencana untuk menikah. Namun, Bung Karno harus meminta ijin terlebih dulu kepada Fatmawati. Tepatnya dua hari setelah Guruh Soekarno Putra lahir, yaitu tanggal 15 Januari 1953, Bung Karno pun menemui Fatmawati dan meminta ijin untuk menikahi Hartini. Besarnya cinta Fatmawati kepada Bung Karno, membuat wanita tersebut pun akhirnya mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Namun kemudian, pernikahan tersebut menuai protes dari berbagai organisasi wanita yang dimotori Perwari yang anti poligami. Setelah suasana agak membaik, Soekarno dan Hartini akhirnya menikah di Istana Cipanas, 7 Juli 1953.
Keberadaan Hartini di sisi Bung Karno benar-benar memegang peranan yang sangat penting. Ia sering menemani Bung Karo untuk bertemu dengan tamu-tamu kenegaraan lainnya seperti Ho Chi Minh, Norodom Sihanouk, Akihito dan Michiko. Hartini benar-benar menunjukkan rasa cinta dan pengabdiannya kepada Soekarno. Bahkan dalam satu kesempatan, Hartini pun sempat berkata, “Saya cinta pada orangnya, pada Bung Karno-nya, bukan pada presidennya…. Saya akan perlihatkan kepada masyarakat, bahwa saya bisa setia, dan akan mendampingi Bung Karno dalam keadaan apa pun, juga dalam kedudukannya. Dan saya (Hartini), telah membuktikannya.” Tidak hanya itu saja, rasa sayangnya kepada Bung Karno dan rasa hormatnya kepada isteri-isteri Bung Karno lainnya pun ditunjukkan dalam perkataannya berikut ini, “Bapak memperhatikan betul semua keperluan istri-istrinya.”
Beberapa sahabat Bung Karno menyebutkan bahwa Hartini merupakan pasangan terbaik bagi Soekarno. Hal itu bisa dilihat dari sikap dan tata bahasa Hartini yang sangat sopan kepada Bung Karo, baik sebelum menikah maupun setelah menikah. Hartini selalu tahu mengenai unggah-ungguh atau sopan santun, baik itu dalam keadaan santai, resmi, atau saat-saat memadu cinta. Hal tersebut ditunjukkan oleh Hartini dengan selalu menggunakan bahasa Jawa srata tertinggi yang disebut “kromo inggil”.
Aku Tidak Merebut Soekarno
Di tahun 1999, Majalah Tempo pernah melakukan sebuah wawancara dengan Hartini Soekarno mengenai hubungannya dengan Bung Karno. Berikut ini adalah kutipan wawancara wartawan majalah TEMPO: Yayi Ichram, Hermien Y. Kleden, serta fotografer Robin Ong:
Apakah Anda selalu menghadiri perayaan di Istana Negara setiap 17 Agustus?
Tergantung kondisi tubuh. Kalau kuat, biasanya saya hadir. Kehadiran di Istana selalu membawa berbagai perasaan: terharu, gembira, sedih. Banyak kenangan dari masa lalu melintas begitu saja. Saya bahagia karena undangan itu menandakan rasa hormat kepada jasa-jasa Bung Karno.
Kapan terakhir kali Anda berdiam di Istana?
Saya menempati paviliun Istana Bogor. Keluar dari sana, setelah Bapak tidak lagi menjadi presiden. Melihat Istana Bogor mendatangkan terlalu banyak kenangan. Di sana saya pertama kali diperkenalkan sebagai istri Bung Karno. Di sana pula saya melahirkan Bayu dan Taufan. Kehidupan di Istana Bogor akan menjadi bagian dari buku yang kini sedang saya siapkan.
Bagaimana hubungan Anda dengan putra-putri Bung Karno dari Ibu Fatmawati pada masa-masa itu?
Sebagai orang tua, sebisa mungkin kita bersikap bijaksana. Hubungan dengan anak-anak Bu Fat biasa saja. Kita harus tahu bagaimana menempatkan diri. Itu adalah suatu rahasia hidup yang harus dijalani dengan ikhlas.
Bahagiakah Anda menjadi istri Bung Karno?
Saya sangat mencintai suami saya. Saya bahagia, kendati banyak suka-dukanya. Bung Karno, dia laki-laki yang sangat gentle. Ia selalu mengingat dengan detail setiap peristiwa penting dalam hidup kami: ulang tahun saya, ulang tahun perkawinan, hari lahir anak-anak. Di mana pun ia berada, selalu menulis secarik telegram atau kartu pos.
Bagian mana yang terasa paling berat dari perkawinan dengan Bung Karno?
Yang paling berat? Dia sangat mencintai keindahan, dan juga keindahan dalam kecantikan wanita. Cintanya kepada wanita yang cantik adalah beban bagi saya. Tapi saya sudah belajar menerima dia sebagaimana adanya, bukan bagaimana dia seharusnya. Saya sangat sadar bahwa dia presiden yang dimiliki oleh semua orang.
Bagaimana Anda belajar mengatasi beban perasaan karena Bung Karno begitu populer di kalangan wanita?
Itu bukan hal mudah. Saya belajar mengatasi hal itu, sediki demi sedikit. Marah, cemburu, itu biasa karena saya hanyalah manusia normal. Saya sangat mencintai dia, dan saya kawin dengan Bung Karno dengan "biaya" yang sangat mahal.
Hartini, Lambang Perempuan Jawa
Dari kisah di atas, sudah tergambar jelas bagaimana sifat Hartini yang memang sangat pantas untuk dijadikan sebagai lambang perempuan Jawa saat itu. Sikapnya yang nrimo, dan selalu patuh terhadap perintah suami memang menjadi sesuatu yang sangat langka di zaman sekarang.
Itulah, sebuah catatan sejarah yang mengajarkan kepada kita tentang sebuah pribadi yang sangat luhur, penuh cinta dan rasa hormat. Hikmah seperti itulah yang bisa kita ambil di balik cinta yang besar Hartini terhadap Bung Karno. Cinta itu memang indah, namun akan lebih indah bila kita juga menggunakan naluri dalam mencintai, sebagaimana naluri Hartini terhadap isteri-isteri Bung Karno lainnya. Hartini meninggal dan mengubur dalam-dalam cinta beserta kesetiannya pada tanggal 12 Maret 2002. Hartini dimakamkan di Pemakaman Karet.
Laporan naskahkita.wordpress.com; Hartini: Pendamping Setia Soekarno
Awal tahun 1954. Soekarno memasuki kamar tidur utama Istana Merdeka. Tujuannya menjumpai istrinya yang tengah berbaring di samping putra mereka, Guruh Soekarno Putra yang masih berusia enam bulan. Bukan hendak bercengkerama layaknya pasangan yang baru dikaruniai momongan, ia ternyata mengutarakan niatnya: meminta izin untuk menikahi Hartini. Janda muda beranak lima, Hartini. Parasnya ayu. Ia tinggi semampai, berkulit kuning langsat, dengan rambut hitam lurus sepinggang.
Sontak saja Fatmawati tersentak. Dia tak pernah mengira suami yang dicintainya akan mengambil perempuan lain lagi sebagai bini. Bukankah perhatian lelaki kelahiran Blitar itu terhadap dirinya saat mengandung Guruh lebih dari yang ia harapkan? Pula, Fatmawati sama sekali tak melihat tanda-tanda kalau pasangannya tersebut sedang jatuh cinta lagi pada orang lain.
Soekarno untuk kesekian kali kesemsem lagi pada wanita cantik. Apa hendak dikata? “Saya jatuh cinta pada pandangan pertama,” ucap dia mengenang pertemuannya dengan Hartini [Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno—2009].
Setelah fall in love in the first sight, keinginan dia untuk meningkatkan hubungan dengan Hartini tak dapat dibendung oleh siapa pun. Bahkan dia kemudian keukeuh hendak mempersuntingnya.
Siti Suhartini, itu nama lengkap Hartini. Ia anak kedua dari lima bersaudara. Orang tuanya Osan Murawi, pegawai Dinas Kehutanan di Ponorogo, dan Mairah. Soekarno pertama kali bertemu perempuan kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924 itu di tahun 1952 saat kunjungan kerja ke Salatiga untuk meresmikan pemugaran Candi Loro Jonggrang di kompleks Candi Prambanan dan pembangunan Masjid Shuhada di Yogyakarta.
Soekarno menikahi Hartini secara resmi pada malam Rabu 7 Juli 1954 pukul 19.30 di Istana Cipanas. Perhelatan itu tertutup untuk umum. Soekarno sebelumnya sudah menikah secara resmi dengan Utari, Inggit, dan Fatmawati. Inilah perkawinan Soekarno yang paling sensasional. Kesengitan perlawanan Fatmawati, penyebabnya. Kelak Soekarno masih akan kawin-mawin lagi, baik secara resmi maupun tidak. Tapi kehebohannya tak ada yang melebihi kasus persandingannya dengan Hartini.
Setelah akad nikah, Hartini diboyong Soekarno ke Istana Bogor. Di sana ia tinggal di paviliun. Jatahnya bertemu dengan sang suami baru hanya akhir pekan.
Buku Biografi Hartini Soekarno
Tak ada pilihan, terpaksa Fatmawati ‘mengizinkan’ suaminya mengawini Hartini. Hatinya rupanya terluka dan perih. Untuk seterusnya tidak ada penawarnya. Hhmm.. sebenarnya apa yang menimpa first lady ini hanya sebuah pengulangan sejarah: Soekarno pun masih berstatus suami Inggit Garnasih saat menikahi dirinya. Jadi ia dan Hartini sama-sama memadu juga.
Laki-bini cekcok itu hal biasa. Adapun Soekarno-Fatmawati, sekian lama berumah tangga mereka akur-akur saja. Keadaan sungguh berubah begitu Soekarno mengawini Hartini. Fatmawati meradang bukan alang kepalang. Ia memprotes dengan rupa-rupa cara. Rambut hitamnya yang panjang dan tebal ia babat sehingga pasangannya kaget dan sedih. Lebih dari itu, ibu Guntur, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh ini tak mau lagi bermuka-muka dengan sang proklamator. Dari kamar utama Istana Negara perempuan asal Bengkulu ini pindah ke sebuah kamar di paviliun dekat masjid Baitul Rachim. Paviliun dan masjid masih di lingkungan Istana. Saat itu juga ia menyiapkan rumah tinggal di luar kediaman resmi kepala negara tersebut. Prinsipnya, pokoknya tidak bertatap muka lagi dengan Soekarno. Di penghujung 1955 ia akhirnya menetap di di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan. Rumah itu hingga kini masih menjadi tempat tinggal putra bungsunya, Guruh.
Sejak kepergian first lady, jadilah sang proklamator single parent bagi anak-anaknya yang tetap tinggal di Istana. Fatmawati biasanya hanya datang menjenguk putra-putrinya saat suaminya tak ada di Istana, yakni ketika sedang tugas ke luar kota atau menyambangi Hartini di Bogor di akhir pekan.
Dengan penghindaran seperti itu praktis sebenarnya hubungan Fatmawati dengan suaminya kandas sudah. Kekerasan hatinya menolak Soekarno rupanya tak kunjung berkurang seiring perjalanan waktu. Saat sang ‘putra sang fajar’ menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso pasca peristiwa September 1965 pun ia tak sudi melongok. Juga ketika presiden yang terguling itu kritis di rumah sakit dan mengembuskan nafas terakhir. Bahkan melihat jasad suaminya pun ia tak datang.
Rachmawati, putri ketiga Soekarno-Fatmawati, menuliskan ihwal sikap ibunya dalam buku Bapakku Ibuku—Dia Manusia yang Kucintai dan Kukagumi (1984). “Betapapun aku dan saudara-saudaraku serta semua orang membujuk agar Ibu berkenan pergi ke rumah sakit guna melihat Bapak untuk yang terakhir kalinya, ia tetap menolak. ‘Tidak! Di sana ada Hartini dan Dewi,’ jawabnya mantap, menyembunyikan duka hati.” Lewat dirinya, ungkap Rachmawati, ayahnya yang berstatus tahanan rumah di Wisma Yaso Jakarta, berkali-kali mengutarakan keinginannya untuk bertemu Fatmawati. Tapi jawaban ibunya selalu sama; “Tidak, Ibu tak akan mau ke sana. Di sana ada Hartini.”
Tatkala Soekarno menghabiskan dua tahun sisa hidupnya sebagai tahanan politik di Wisma Yaso, Jakarta, pada 1969-1970, Hartini yang paling rajin menjenguknya. Hampir setiap hari ia datang membawakan jajan pasar kesukaan suami, menemani dia makan siang atau sekadar main kartu untuk menghabiskan waktu. Tak jarang ia menunggui saat presiden pertama RI tertidur di siang hari.
Hartini bukannya tak berupaya untuk berbaikan dengan Bu Fat [panggilan Fatmawati]. Sejak awal ia sungguh menyadari dirinya tak akan diterima dengan tangan terbuka; sebab itu tak jemu-jemu ia melakukan pendekatan. Dengan sopan berkali-kali, misalnya, ia mengirim surat ke Fatmawati untuk meminta waktu berkunjung. Tapi green light tak kunjung muncul.
Ia juga berusaha keras merangkul anak-anak Soekarno-Fatmawati dengan menempuh jalan terjal nan berliku. Dalam buku Bapakku Ibuku—Rachmawati melukiskan hal itu. “Mula-mula kukenal ibu Hartini lewat suaranya di telepon. Dipangku Bapak, aku menerima telepon bu Har. Suara itu kedengarannya baik dan manis. Aku masih terlalu kecil untuk dapat memahami semua persoalan keluarga. Maka jika mas Tok (Guntur Soekarno Putra) dan mbak Ega (Megawati Soekarno Putra) benar-benar anti istri Bapak yang bernama Hartini, aku barangkali dapat dinilai kurang bisa solider. Maklumlah umurku baru sekitar 4 tahun ketika ibu meninggalkan istana dengan marah. Bu Har selalu memanggil aku dengan sebutan mbak Rachma,” demikian tuturan dia.
Hartini merupakan sosok perempuan Jawa yang sangat keibuan. Ia tak pernah menunjukkan rasa sedih atau jengkel ketika mengadapi anak-anak tirinya yang sekian lama acuk tak acuh kepadanya. Ia bahkan selalu manis dan tersenyum meladeni mereka dengan sikap rela seorang ibu. Jerih payahnya akhirnya membuahkan hasil. Hubungan mereka kemudian mencair. Tapi relasi dia dengan Fatmawati selamanya tak membaik sedikit pun.
Paling setia
Hartini lahir dan besar di lingkungan keluarga yang menerapkan secara ketat tata krama budaya Jawa. Wajar kalau dia selalu menempatkan diri sebagai istri yang berbakti pada suami. Saat berbicara dengan Soekarno, misalnya, ia menggunakan bahasa kromo inggil. Dia setia menyiapkan segala kebutuhan sang suami. “Kalau Bapak datang, saya lepaskan sepatunya. Sambalnya harus saya yang ngulek. Kalau sembahyang, saya yang menggelarkan sajadahnya. Pokoknya saya ingin berperan sebagai ibu, kekasih, sekaligus teman Bapak,” demikian ucapan dia dalam buku Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno.
Ketika Soekarno menghadapi masa krisis hebat setelah peristiwa 30 September 1965—terlebih sesudah keluarnya Supersemar 1966—orang yang paling dekat dan setia menemani sang proklamator tidak lain dari Hartini. Sejak peristiwa pembantaian sejumlah jendral, kehidupan pasangan ini tak lagi berjalan normal; sudah serba tak nyaman. Soekarno ditinggalkan para pengikutnya, digerogoti berbagai penyakit, dan terus-menerus menjalani pemeriksaan rutin. Penguasa Orde Baru intens menginterogasi untuk mengetahui kadar keterlibatan dia dalam peristiwa G30 September serta kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Cenderung dikucilkan, Soekarno tidak lagi sibuk. Teman-teman dekatnya sudah tak kelihatan. Alhasil ia lebih banyak menghabiskan waktu di paviliun Istana Bogor bersama Hartini dan putra mereka: Taufan Soekarno Putra dan Bayu Soekarno Putra. Di sisi Hartini di Istana Bogor Soekarno merasa tentram. Rachmawati dalam buku Bapakku Ibuku mengatakan: “Hanya di sini [Istana Bogor] Bapak menemukan kembali suasana bersuami istri, semenjak kepergian ibuku dari istana di Jakarta.”
Soekarno yang enerjik dan selalu ingin dekat dengan rakyat banyak tiba-tiba kehilangan ruang gerak. Sang rajawali gagah perkasa terkerangkeng sudah! Sungguh sebuah peranjakan suasana yang kelewat ekstrim. Wajar saja bila di tengah kesunyian dan ketiadaan kegiatan, ia rindu kemeriahan. Suatu waktu ia pun meminta agar malam keroncong diadakan di Istana Bogor. Seniman-seniman dari Jakarta dan Bogor lantas dipanggil bermain di malam Minggu. Senang, ia lantas meminta agar malam keroncong itu menjadi dua minggu sekali.
Maret 1967 berlangsung sidang MPRS luar biasa di Jakarta. Salah satu keputusan terpentingnya adalah menetapkan Soeharto sebagai presiden RI. Didampingi Hartini di istana Bogor, Soekarno menerima berita ini. Ia sangat terpukul. Lama ia duduk diam tanpa berkata sepatah pun. “Akhirnya ia menarik napas panjang dan berkata, ’Aku telah berusaha memberikan segala sesuatu yang kuanggap baik bagi nusa dan bangsa Indonesia’,” demikian Hartini menirukan dalam Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno.
Setelah sidang MPRS luar biasa Soekarno dipindahkan ke Istana Batu Tulis Bogor. Dari sana dialihkan ke Wisma Yaso [sekarang menjadi museum Satria Mandala, Jl. Gatot Subroto, Jakarta]. Isolasi terhadap dirinya semakin parah. Setelah tak berkuasa lagi ia resmi menjadi tahanan rumah. Menerima tamu ia dilarang. Hartini sebisa mungkin selalu menyempatkan diri ke sana agar berada di samping suami. Dialah istri yang paling setia mendampingi Soekarno di masa maha susah itu. Istri resmi Soekarno total 9 orang. Setelah dengan dia, lelaki flamboyan itu masih menikah lagi secara resmi dengan Kartini Manoppo, Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi), Haryatie, Yurike Sanger, dan Heidy Djafar.
Dalam pengucilan, Soekarno yang populis dan gemar bertukar kata dengan orang banyak kian berduka dan putus asa. Penyakit semakin mendera tubuhnya. Hartini menempatkan diri sebagai pelipur lara yang selalu membesarkan hatinya. Itu ia lakukan sampai menit terakhir kehidupan presiden RI pertama. Rachmawati mencatat itu. “Ia (Hartini) setia kepada bapakku baik dalam masa jaya sehingga pada masa kejatuhannya. Betapapun yang pernah kurasakan terhadapnya di masa-masa lalu, faktanya adalah bu Har menemani bapak hingga akhir hayat” (Bapakku Ibuku).
Di Wisma Yaso, pada masa-masa akhir hidup Soekarno itulah seorang Hartini kian dekat dengan putra-putri Fatmawati. Teranglah bahwa ia sungguh setia sebagai istri Soekarno. Melihat realitas ini tentu tak berlebihan kalau kita sekarang mengatakan: benarlah Soekarno waktu dia bersikukuh untuk memperistri janda muda beranak lima bernama Hartini.
______________________________
Hartini
Hartini | |
---|---|
![]() |
|
Tanggal lahir | 20 September 1924![]() |
Meninggal | 12 Maret 2002 (umur 77)![]() |
Tempat tinggal | Indonesia |
Kewarganegaraan | Indonesia |
Pekerjaan | Istri Presiden RI |
Pasangan | Soekarno |
Anak | Bayu Soekarnoputra Taufan Soekarnoputra |
Hartini (lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924 – meninggal di Jakarta, 12 Maret 2002 pada umur 77 tahun) adalah istri keempat Presiden RI Soekarno. Ayahnya Osan adalah pegawai Departemen Kehutanan yang rutin berpindah kota. Hartini menamatkan SD di Malang dan ia diangkat anak oleh keluarga Oesman di Bandung. Hartini melanjutkan pendidikan di Nijheidschool (Sekolah Kepandaian Putri) Bandung. Hartini menamatkan SMP dan SMU di Bandung. Hartini remaja dikenal cantik, dan Hartini muda menikahi Suwondo dan menetap di Salatiga. Ia menjadi janda pada usia 28 tahun dengan lima orang anak. Tahun 1952 di Salatiga, Hartini berkenalan dengan Soekarno yang rupanya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat itu Soekarno, dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada.
Setahun kemudian, Hartini dan Soekarno bertemu saat peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan. Melalui seorang teman, Soekarno mengirimkan sepucuk surat kepada Hartini dengan nama samaran Srihana. Dua hari setelah Guruh Soekarno Putra lahir, tanggal 15 Januari 1953, Soekarno meminta izin Fatmawati untuk menikahi Hartini. Fatmawati mengizinkan, namun kemudian menyebabkannya menuai protes dari berbagai organisasi wanita yang dimotori Perwari yang anti poligami. Soekarno dan Hartini akhirnya menikah di Istana Cipanas, 7 Juli 1953. Tahun 1964 Hartini pindah ke salah satu paviliun di Istana Bogor. Hartini ikut mendampingi acara kenegaraan Soekarno di Istana Bogor, antara lain menemui Ho Chi Minh, Norodom Sihanouk, Akihito dan Michiko.
Pada masa tahun 1950-an, saat nasionalisme dan revolusi sangat kuat mewarnai citra diri Soekarno, membuat peran Hartini di Istana Bogor sangat besar dan ia menjadi satu-satunya istri yang paling lama bisa bertemu dengan Soekarno. Meski demikian dekat, Soekarno masih menikahi Ratna Sari Dewi (1961), Haryati (Mei 1963) dan Yurike Sanger (Agustus 1964). Namun sejarah mencatat, Hartini telah mengisi paruh kehidupan Soekarno. Dia lambang perempuan Jawa yang setia, nrimo, dan penuh bekti terhadap guru laki. Hartini meninggal di Jakarta 12 Maret 2002 dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak. Hartini meninggalkan 6 anak yaitu Bayu Soekarnoputra dan Taufan Soekarnoputra (berayah Bung Karno) serta Herwindo, Triherwanto, Sri Wulandari, Riswulan, dan Sri Hariswati (berayah Soeswondo).
Referensi
- http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-gempar-yang-mengaku-anak-bung-karno.html
- http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/929/Hartini-Soekarno
- http://www.anginsurga.eu/hartini.html
- http://store.tempo.co/foto/detail/P2901201300425/hartini-soekarno
- http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-cinta-soekarno-dan-9-istrinya/hartini.html
- http://wap.gatra.com/artikel.php?id=16038
(Berbagi-Sumber/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email