demo menolak intoleransi
Pengamat sosiologi dari Universitas Nahdatul Ulama, Luluk Nur Hamidah, mengatakan bahwa pernyataan provokatif yang berisi kebencian atas dasar suku, agama, ras dan golongan menjadi faktor pemicu terbesar aksi radikalisme.
Menurut Luluk, ujaran kebencian (hate speech) dari kelompok intoleran sudah tidak lagi berada dalam ranah individu dengan individu. Namun, ini sudah memberi dampak besar kepada masyarakat.
Ia menyayangkan beberapa peristiwa kekerasan terhadap kelompok minoritas, seperti yang menimpa kelompok Syiah dan Ahmadiyah.
“Baru-baru ini bahkan ada sebuah kelompok yang mendeklarasikan diri anti-Syiah dan anti-Ahmadiyah,” ujar Luluk ketika ditemui di Aula Wisma Kementerian Pemuda dan Olahraga RI, Jakarta, Senin 29 Maret 2016.
Melihat hal tersebut seharusnya kepolisian sudah tidak perlu ragu-ragu dalam mengambil sikap. Apalagi, instrumen hukum yang ada sudah sangat jelas.
Ada instrumen hukum pidana, HAM dan juga ketentuan yang terkait dengan penanganan ujaran kebencian atau hate speech.
“Sangat cukup bagi kepolisian untuk melakukan tindakan, bukan hanya tindakan ketika sudah ada kejadian, tetapi juga pencegahan,” ucapnya.
Polisi masih dianggap gamang dan ragu untuk mengambil tindakan ketika menyangkut soal agama, karena termasuk dalam persoalan yang sensitif.
Namun, menurut Luluk, hal tersebut bisa disiasati Polri dengan melakukan koordinasi dengan lembaga pemerintahan terkait.
“Kalau ragu-ragu, Polri bisa melakukan koordinasi dengan Kementerian Agama. Tidak perlu menunggu ada petunjuk atau bahkan fatwa,” kata Luluk.
Saat ini, menurut Luluk, perlu ada ketegasan dari kepolisian untuk menindak kelompok-kelompok penebar kebencian, karena ada hak publik yang harus dijaga.
Polisi sebagai penegak hukum harus bisa memenuhi hak atas rasa aman kepada setiap negara.
“Saya kira sikap kurang tegas ini bisa mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap istitusi Kepolisian sebagai aparat penegak hukum,” ujarnya.
(Kompas/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email