Demo menolak intoleransi
Kementerian Dalam Negeri membatalkan 920 peraturan bermasalah, mayoritas berupa peraturan daerah yang menghambat investasi dan menciptakan intoleransi dan diskriminasi. Kemendagri menargetkan, 3.000 perda serupa dibatalkan pada Juni 2016.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Sabtu 16 April 2016, mengatakan, regulasi yang telah dibatalkan itu antara lain berupa 105 peraturan/keputusan mendagri, 140 peraturan daerah (perda) provinsi dan peraturan gubernur, serta 675 perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota.
Dia menekankan, deregulasi oleh Kemendagri tidak hanya akan berhenti di sini. Direncanakan hingga awal Juni 2016, total akan ada lebih kurang 3.000 perda yang dibatalkan.
“Kemendagri telah rapat dengan biro hukum di semua pemerintah daerah di Indonesia. Dari rapat tersebut kami bisa menginventarisasi semua perda yang bermasalah dan jumlahnya lebih kurang 3.000 perda. Itulah yang kami targetkan untuk bisa segera dicabut atau dibatalkan,” paparnya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono mengatakan, perda yang dibatalkan adalah perda yang normanya bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan/keputusan menteri. Banyak di antaranya, perda yang menciptakan intoleransi dan bersifat diskriminatif.
Selain itu, perda yang dibatalkan mencakup juga perda yang normanya tidak menciptakan iklim investasi yang baik. Ini mencakup perda yang di dalamnya mengatur tentang pungutan dari investor yang melebihi aturan dan perda yang membuat proses perizinan menjadi berbelit-belit.
Perda yang juga menjadi sasaran untuk dibatalkan adalah perda yang mengacu pada regulasi yang lebih tinggi di mana regulasi tersebut telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
“Ketika undang-undang dibatalkan Mahkamah Konstitusi atau sejumlah pasal di undang-undang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, otomatis aturan di bawahnya harus ikut batal, termasuk perda,” katanya.
Untuk mencegah perda bermasalah kembali muncul, Sumarsono mengatakan, Kemendagri akan meluncurkan program e-perda bulan depan. Melalui program itu, pemda dapat langsung berkonsultasi dengan Kemendagri, memanfaatkan jaringan internet.
“Jadi konsultasi bisa langsung dan segera. Selain itu, bisa menghemat anggaran dan waktu karena pemda tidak perlu repot-repot datang ke Jakarta,” ujarnya.
Selain e-perda, Sumarsono menjelaskan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanahkan agar rancangan perda sebelum disahkan harus dievaluasi dulu oleh Kemendagri untuk perda provinsi dan gubernur untuk perda kabupaten/ kota. Dengan cara ini, Kemendagri dan gubernur bisa mencegah perda bermasalah muncul.
Tiga kemungkinan
Pengajar hukum di Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, mengatakan, dari kajiannya terhadap regulasi di daerah, ada tiga kemungkinan faktor perda-perda bermasalah itu muncul.
Pertama, perda dibuat pemerintah daerah (pemda) tanpa berdasarkan aspirasi publik di daerahnya. Kedua, substansi perda tidak diharmonisasikan dengan regulasi yang lebih tinggi sehingga norma di perda tumpang tindih atau bertolak belakang dengan norma di undang-undang atau peraturan/keputusan menteri. Terakhir, perda hanya untuk mengejar pendapatan asli daerah (PAD) sehingga pemda mengabaikan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar saat menyusun perda.
Menurut dia, ketiga kemungkinan itu terjadi di antaranya karena lemahnya pembinaan dan pendampingan dari pemerintah pusat, khususnya Kemendagri. Tanpa pembinaan yang optimal, pemda bisa asal-asalan menyusun perda.
Asep juga meminta pemerintah pusat mengevaluasi seluruh regulasi yang telah dikeluarkan, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan/keputusan menteri. Pasalnya terdapat kasus di sejumlah daerah, kesalahan pemda menyusun perda dikarenakan aturan yang dikeluarkan pusat, yang menjadi rujukan saat menyusun perda, tidak konsisten satu sama lain.
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email