Pesan Rahbar

Home » » Keruntuhan Rezim Bani Saud

Keruntuhan Rezim Bani Saud

Written By Unknown on Sunday 15 May 2016 | 22:24:00

Wakil Putera Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman. (Foto: Arab News)

Untuk membiayai kehidupan wah mereka, para pengeran itu menjalankan bisnis kotor.

Sejatinya mudah saja melumpuhkan Arab Saudi. Meski negara Kabah ini menggelontorkan banyak fulus saban tahun untuk memperkuat keamanan dalam negeri, namun masih ada bagian bisa ditembus. Infrastruktur minyak bagian rentan diserang dan akibatnya sulit dibayangkan.

Meski Arab Saudi memiliki lebih dari 80 ladang minyak dan gas aktif, serta seribu lebih sumur minyak beroperasi, cadangan minyak terbukti cuma ada di delapan ladang - termasuk Ghawar, ladang minyak daratan terbesar di dunia dan Safaniya, ladang minyak lepas pantai terbesar sejagat.

Beragam skenario rahasia menyebutkan jika teroris secara simultan menyerang sedikit saja usaha turunan dalam sistem minyak dari delapan ladang itu - mempunyai jaringan pipa sepanjang lebih dari 16 kilometer, di darat dan laut, di mana minyak bergerak dari sumur ke kilang-kilang, kemudian ke pelabuhan, hal itu bisa mengakibatkan industri minyak Saudi terhenti dua tahun.

Titik paling rentan dan target paling spektakuler dalam sistem minyak Saudi adalah komples Abqaiq, fasilitas pemrosesan minyak terbesar di planet ini, sekitar 39 kilometer dari ujung utara Teluk Bahrain. Semua minyak dari selatan dipompa ke Abqaiq untuk diproses.

Dalam dua bulan pertama setelah serangan teror skala menengah ke atas terhadap Abqaiq, produksi di sana bakal melorot dari rata-rata 6,8 juta barel sehari menjadi satu juta barel saja. Angka ini sama dengan sepertiga dari total konsumsi minyak mentah Amerika Serikat saban hari.

Minyak dipompa dari Abqaiq akan mengisi terminal-terminal di Ras Tanura dan Juaimah, keduanya di pantai timur Arab Saudi. Hampir semua ekspor minyak dari kilang di Ras Tanura dikelola oleh sebuah fasilitas lepas pantai bernama The Sea Island dan Platform No.4 menangani setengah dari itu. Sebuah serangan komando terhadap Platform 4 menggunakan kapal cepat atau sebuah kapal selam Kilo - tersedia di pasar senjata global - akan menghasilkan petaka.

Titik lemah lainnya adalah Pump Station No.1, terdekat dengan Abqaiq, mengirim minyak ke Jabal Arrahmah, dari sanalah perjalanan panjang dimulai melintasi Semenanjung Arab menuju Pelabuhan Yanbu di Laut Merah. Jika Pump Station No.1 lumpuh, pasokan 900 ribu barel minyak saban hari akan terhenti. Kegiatan di Yanbu juga setop.

Namun bukan serangan teroris atau perang dengan Iran saja bisa meruntuhkan rezim Bani Saud berkuasa di Arab Saudi. Faktor internal sudah tumbuh sejak awal juga kian menjadi ancaman bagi kelangsungan negeri Dua Kota Suci itu.

Sejak terbentuk pada 1932, Arab Saudi sudah seperti negara irasional. Negara ini terbentuk atas dasar persekutuan antara Muhammad bin Saud, leluhur penguasa Saudi, dan Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri paham Wahabi. Muhammad bin Saud butuh legitimasi ulama sebagai penguasa dan Muhammad bin Abdul Wahab perlu sokongan keluarga kerajaan untuk menyebarluaskan apa yang mereka yakini Islam murni.

Padahal kenyataannya Wahabi adalah paham Islam kaku, tidak menghormati perbedaan, dan menolak menghargai sejarah. Ideologi Wahabi pula telah menciptakan kaum militan.

Arab Saudi mengklaim melaksanakan syariat Islam, namun banyak kritikan bilang hukum hanya berlaku bagi rakyat biasa dan pendatang. Sedangkan banyak pangeran korup, hidup bermewah-mewahan, suka berpesta, pecandu narkotik dan seks bebas, tidak pernah terjerat polisi syariah atau mutawa rajin berpatroli di mal-mal, taman, jalan, dan kedai-kedai kopi.

Hal ini makin menjauhkan hubungan antara rakyat dan penguasa. Rezim Bani Saud lebih suka membeli loyalitas rakyat dengan uang. Ketika Revolusi Arab meletup dari Tunisia Desember 2011, lalu bertiup ke Mesir dan Libya namun kini tertahan di Suriah, negara-negara Arab Teluk, termasuk Arab Saudi, menaikkan gaji dan bonus bagi seluruh pegawai negeri dan tentara.

Juga saat Raja Salman bin Abdul Aziz naik takhta Januari tahun lalu. Dia memberikan bonus dua bulan gaji kepada semua pegawai negeri dan aparat keamanan. Kebijakan ini menguras US$ 30 miliar cadangan devisa negara.

Banyak pihak meyakini Amerika Serikat adalah centengnya Arab Saudi. Washington membeli minyak dari Riyadh dan Riyadh membeli persenjataan dari Washington demi mengamankan infrastruktur emas hitam mereka. Ketergantungan Amerika dan banyak negara maju terhadap minyak Saudi ini telah berlaku sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Maklum saja, Arab Saudi merupakan negara dengan cadangan minyak terbanyak dan pengekspor minyak terbesar sejagat.

Kehilangan Arab Saudi, bagi Amerika, sama halnya dengan kehilangan Federal Reserves (Bank Sentral Amerika Serikat). Karena itulah, meski 15 dari 19 pelaku serangan 11 September 2001 ke New York adalah warga Saudi, Washington tetap bungkam. Bahkan walau laporan komisi investigasi mengisyaratkan Arab Saudi mengirim US$ 500 juta bagi Al-Qaidah dalam satu dekade selama 1990-an.

Amerika juga diam saja meski penyebaran paham Wahabi lewat pendirian masjid dan madrasah-madrasah telah melahirkan kaum Islam radikal. Organisasi-organisasi teroris, termasuk Taliban, Al-Qaidah, dan Asy-Syabab, lahir karena terinspirasi oleh ideologi Wahabi. Dan kini ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah), spektrum paling kanan dari Wahabi, menjelma sebagai organisasi teroris paling mengerikan dan mulai mengancam keamanan mereka.

Dalam bukunya, Hatred's Kingdom, Dore Gold, mantan Duta Besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pernah menjadi penasihat kebijakan luar negeri bagi Benjamin Netanyahu dan Ariel Sharon, menyimpulkan Arab Saudi telah menyebarluaskan ideologi kebencian dan intoleran Wahabi ke seluruh negara-negara muslim.

Gold berpendapat Wahabisme berpusat di Saudi telah memotivasi kekerasan dan kekejaman dalam perkembangan sejarahnya. Dia menegaskan rezim Bani Saud telah menjadi pendukung dari apa yang dia sebut 'jaringan teror internasional Wahabisme'.

Ulama-ulama kenamaan di seantero Arab Saudi secara terbuka menyerukan jihad terhadap Barat. Madrasah-madrasah di negara Kabah ini menjadi tempat pembibitan Islam militan. Dengan kekuatan uangnya, Arab Saudi berupaya melindungi kaum fundamentalis dan mengalihkan perhatian mereka kepada negara lain agar tidak melakukan serangan di dalam Arab Saudi, meski dalam beberapa tahun terakhir teror juga terjadi sana.

Sejumlah kasus menyebutkan soal sokongan Saudi terhadap kelompok teroris. Pada 1997, seorang pejabat keluarga kerajaan mengatur bantuan dana US$ 100 juta bagi Taliban. Di Los Angeles, Amerika Serikat, dua dari 15 pembajak pesawat dalam Teror 11/9 bertemu seorang warga Saudi bekerja untuk sebuah perusahaan dikontrak Kementerian Pertahanan.

Serbuan di sebuah apartemen di Kota Hamburg, Jerman, menjadi lokasi persembunyian para pelaku Teror 11/9, menemukan kartu nama seorang diplomat Saudi urusan agama bertugas di Kedutaan Saudi di Berlin. Kebanyakan dari 650 lebih tahanan Al-Qaidah di Guantanamo, menurut Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, adalah warga Saudi.

Pada pertengahan 2002, media memperoleh bocoran sebuah laporan dari Dewan Kebijakan Pertahanan diketuai Richard Perle. Laporan ini menyimpulkan Arab Saudi menjadi bagian persoalan terorisme internasional ketimbang solusi. "Orang-orang Saudi aktif di semua tingkatan jaringan teror, mulai perencana hingga pendana, kaderisasi sampai prajurit lapangan, dari ideologis hingga penggembira."

Namun bukan berarti hubungan antara Amerika dan Saudi tidak pernah mencapai titik didih. Terutama di periode kedua pemerintahan Barack Obama. Hubungan Saudi-Amerika menegang ketika Washington akhirnya mencapai kesepakatan dengan Teheran soal program nuklir, berujung pada pencabutan sanksi ekonomi atas Iran Januari lalu.

Relasi kedua negara kembali meninggi saat ini lantaran muncul rancangan undang-undang bisa mengadili pejabat-pejabat Saudi diyakini keluarga korban terlibat dalam Teror 11/9. Saudi sudah mengancam menjual seluruh asetnya di Amerika senilai US$ 750 miliar bila Kongres sampai meloloskan beleid itu.

Ketergantungan amat tinggi pada minyak sebagai sumber pendapatan negara, tingginya tingkat pengangguran, buruknya sistem pendidikan, dan besarnya subsidi telah menjadi beban bagi kelangsungan Saudi di bawah kepemimpinan Bani Saud.

Hasil studi diterbitkan dalam the Journal of Petroleum Science and Engineering menyebutkan Arab Saudi akan mencapai puncak dalam produksi minyaknya, diikuti oleh penurunan tidak bisa ditawar-tawar pada 2028.

Menurut the Export Land Model (ELM) bikinan dua ahli geologi perminyakan dari Texas, Jeffrey J. Brown dan Dr Sam Foucher, persoalan kuncinya bukan sekadar produksi minyak, tapi kapasitas untuk menerjemahkan produksi itu menjadi ekspor ketika menghadapi kian tingginya kebutuhan domestik akan energi.

Brown dan Foucher pada 2008 menemukan ekspor bersih minyak Saudi mulai menurun sejak 2006. Mereka memperkirakan tren ini akan terus berlanjut. Sebuah laporan dari Citigroup memprediksi ekspor bersih bakal ke titik nol pada 2030.

Melorotnya harga minyak mentah global sejak pertengahan 2014 telah menciptakan situasi sulit bagi Saudi. IMF (Dana Moneter Internasional) tahun lalu menduga Arab Saudi mengalami defisit anggaran US$ 107 miliar setelah satu dasawarsa terakhir selalu surplus. IMF bilang kecenderungan defisit akan terus berlanjut hingga 2020.

Keadaan kian sulit lantaran terjadi persaingan sengit antara Putera Mahkota Pangeran Muhammad bin Nayif dan Wakil Putera Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman merupakan anak raja, telah menciptakan beragam manuver politik kian memperburuk citra Saudi, termasuk meletupkan perang di Yaman.

Bagi sebagian pihak, Arab Saudi dikenal arogan. Contoh terakhir ditunjukkan Wakil Putera Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman. Dia bilang kepada Bloomberg, negaranya tidak mencemaskan rendahnya harga minyak mentah global.

"Ini bukan pertarungan saya (Arab Saudi). Ini adalah pertarungan bagi pihak-pihak menderita akibat merosotnya harga minyak," ujar Kepala Dewan Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi Arab Saudi itu. "Kami memiliki program sendiri tidak memerlukan harga minyak tinggi."

Sejatinya, sebuah momen menuju keruntuhan rezim Bani Saud pernah terjadi saat Raja Fahad bin Abdul Aziz terserang stroke parah pada 1995. Segera setelah kabar itu tersiar, negara dalam keadaan siaga satu. Rombongan helikopter dan konvoi berisi para pangeran, mulai dari paling senior hingga termuda, dengan raungan sirene seolah tidak putus bergegas menuju rumah sakit tempat sang raja dirawat.

Di antara pihak keluarga paling awal tiba di rumah sakit adalah Jauhara al-Ibrahim, istri keempat sekaligus paling disayang Raja Fahad, dan putra mereka, Pangeran Abdul Aziz, biasa dipanggil ayahnya dengan sebutan Tersayang.

Raja Fahad sangat menyayangi Jauhara karena dia amat bergantung kepada istrinya itu. Jauhara membantu segala kebutuhan Raja Fahad, mulai dari mengingatkan untuk minum obat sampai menangani persoalan intrik kebijakan luar negeri. Bila seorang pangeran ingin urusannya segera mendapat perhatian Raja Fahad, dia mesti menelepon Jauhara.

Pangeran Abdul Aziz, 29 tahun, adalah anak Raja Fahad termuda. Dia dimanja dalam segala hal. Cerita beredar luas menyebutkan sang pangeran pernah mengendarai Harley Davidson dalam istana ayahnya, mengejar para pelayan, dan merusak perabotan.

Peramal favorit Raja Fahad pernah bilang kepada penguasa negara Kabah itu: selama Pangeran Abdul Aziz berada di sisinya, raja merasa akan berumur panjang. Jadi Fahad tidak pernah marah meski Pangeran Abdul Aziz menghabiskan US$ 4,6 miliar untuk membangun sebuah istana dan taman bermain akhirnya dibiarkan tidak terurus di luar Ibu Kota Riyadh.

Pangeran Abdul Aziz amat keranjingan sejarah. Semua properti dalam istana itu meniru model Makkah kuno, dengan orang-orang sewaan bertugas menjadi muazin saban hari dan salat berjamaah di masjid. Juga ada replika Istana Al-Hambra, Kota Madinah, dan setengah lusin bangunan Islam bersejarah ternama.

Rombongan kedua menyusul tiba di rumah sakit adalah tiga adik kandung Raja Fahad, yakni Menteri Pertahanan Pangeran Sultan bin Abdul Aziz, Menteri Dalam Negeri Pangeran Nayif bin Abdul Aziz, dan Gubernur Provinsi Riyadh Pangeran Salman bin Abdul Aziz, sejak Januari tahun lalu naik takhta setelah Raja Abdullah bin Abdul Aziz wafat. Para pangeran di luar itu cuma bisa menunggu di luar ruangan perawatan.

Raja Fahad dan ketiga adiknya ini berasal dari satu ibu, yakni Hissa as-Sudairi. Sejak belia, mereka diajari untuk selalu kompak lantaran mesti bersaing dengan anak-anak Raja Fahad lainnya berjumlah 40 orang.

Pangeran-pangeran lain, anak, cucu, dan cicit dari mendiang Raja Abdul Aziz bin Saud, juga bergegas ke rumah sakit. Mereka datang dari seluruh penjuru Arab Saudi dan luar negeri. Jet-jet pribadi mereka memenuhi bandar udara di Riyadh.

Mereka memang tidak boleh jauh dari Raja Fahad. Dengan selalu dekat, mereka bisa memperoleh kabar dapat dipercaya dan untuk menunjukkan kesetiaan. Kebanyakan hidup dengan fulus gratis dari kerajaan, mulai US$ 800 hingga US$ 270 ribu sebulan. Para pangeran ini - berjumlah 10 ribu sampai 12 ribu - sejatinya sadar mereka memang membobol kekayaan negara.

Calon Putera Mahkota Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz, saudara tiri Raja Fahad dan dikenal reformis, bisa saja memotong gaji semua pangeran atau bahkan dihapus jika Raja Fahad wafat. Kemungkinan inilah mesti dicari tahu.

Ketiga saudara kandung Raja Fahad kemudian memanggil dokter-dokter terbaik dari Amerika Serikat dan Eropa. Mereka ingin tahu apakah mental sang penguasa bisa pulih atau bakal hidup seperti apa setelah strokenya sembuh. Uang tentu saja bukan persoalan. Mereka bilang siap menyewa berapapun pesawat kargo Boeing 747 diperlukan untuk mengangkut rumah sakit bergerak dan tim medis.

Bagi Pangeran Sultan, Pangeran Nayif, dan Pangeran Salman, Pangeran Abdullah - kemudian menjadi raja sejak 2005 hingga wafat tahun lalu - aneh. Ibunya dari suku Rasyid, musuh tradisional Bani Saud. Ibnu Saud telah menikahi dia untuk memperkuat perjanjian damai dengan Bani Rasyid. Meski begitu, ketiga adik kandung Raja Fahad ini tidak mempercayai Pangeran Abdullah.

Dia satu-satunya pangeran senior memilih hidup sederhana di gurun, meninggalkan istana mewahnya di Riyadh, Jeddah, dan Taif. Dia tidak pernah berliburan wah ke Eropa, seperti dilakoni Raja Fahad dan rombongannya, menghabiskan US$ 5 juta sehari saat pelesiran di Marbella, Spanyol.

Pangeran Abdullah lebih suka menghabiskan waktunya di sebuah tenda, minum susu unta, dan makan kurma. Dia membesarkan semua anaknya dengan tradisi bangsa Arab gurun. Pangeran Abdullah pula secara terbuka menyerukan demokratisasi, melepaskan diri dari kekangan ulama-ulama konservatif, dan memutuskan hubungan militer dengan Amerika Serikat.

Para pangeran membenci dia masih ingat betul bagaimana Pangeran Abdullah berupaya menghapus korupsi dan segala kemewahan diperoleh mereka secara gratis. Pangeran-pangeran generasi ketiga hanya dapat US$ 19 ribu sebulan, jauh dari kebutuhan mereka bergaya hidup boros.

Sebagai contoh, untuk ongkos pemeliharaan kapal pesiar sederhana saja di Riviera, Prancis, butuh US$ 1 juta tiap tahun. Untuk membiayai kehidupan wah mereka, para pengeran itu menjalankan bisnis kotor: mulai dari menerima suap asal perusahaan-perusahaan konstruksi (kebanyakan Saud Binladin Group), mencari proyek-proyek pemerintah, terlibat perdagangan senjata, mengambil alih properti rakyat biasa, dan menjual visa Saudi bagi kaum ekspatriat.

Siasat lainnya adalah meminjam uang dalam jumlah besar dari bank-bank swasta dan mereka menolak melunasi utang. Para pengeran itu memang kebal hukum dan pihak istana tidak bisa mendisiplinkan mereka. Bahkan saking banyaknya pangeran di Kerajaan Saudi, mereka tidak saling mengenal.

Sekelas Pangeran Al-Walid bin Talal saja berlaku curang, menurut dua pengusaha asal negara Arab Teluk kepada Albalad.co. Salah satu dari mereka bercerita, karena kesengsem dengan kemajuan bisnis Al-Baik, restoran cepat saji milik warga Saudi, Pangeran Al-Walid ingin membeli saham mayoritas 56 persen, namun ditolak oleh sang pemilik.

Kesal dengan penolakan itu, Pangeran Al-Walid membeli semua gedung di mana ada restoran Al-Baik. "Al-Baik juga ditolak masuk Riyadh, di mana kantor pusat Kingdom Holding Company kepunyaan Pangeran Al-Walid berada," kata pengusaha asal Uni Emirat Arab itu. "Cerdiknya, pemilik Al-Baik membeli lahan dan membangun restorannya di tanah sendiri."

Bukan rahasia lagi Pangeran Abdullah berniat mengakhiri pencurian uang negara oleh para pangeran bila dia menjadi raja. Dan untuk sementara waktu dia berhasil melakoni itu bahkan sebelum naik takhta. Pada pertengahan 1990-an, ketika Arab Saudi mengalami kesulitan keuangan parah, dia membujuk Raja Fahad untuk mengangkat sejumlah menteri beraliran reformis. Dia berhasil menghapus praktek perampasan properti milik warga biasa.

Praktek itu sudah lumrah dilakukan para pangeran muda sehingga banyak pedagang tradisional dan kelas menengah menjadi korban. Seorang pangeran bisa saja masuk ke dalam sebuah restoran kelihatan bisnisnya maju, kemudian menulis angka dalam sebuah cek untuk membeli tapi dengan harga di bawah pasar. Pemilik restoran tidak berdaya kalau sudah begitu. Bila berani menolak, dia bakal berakhir dalam penjara dengan banyak dakwaan.

Para pangeran senior memanfaatkan posisi mereka dalam pemerintahan untuk berbuat serupa, namun dalam skala lebih besar. Contohnya adalah memilih lahan sangat bagus lokasinya untuk membangun sebuah mal atau jalan. Kemudian dia akan memerintahkan pengadilan mengambil alih tanah itu menjadi milik negara, bakal memuluskan jalan agar raja menghadiahi lahan itu buat dirinya.

Tapi di mata Pangeran Abdullah praktek-praktek semacam itu persoalan kecil. Yang jauh lebih besar adalah pencurian duit negara. Pendapatan dalam jumlah sangat besar dari hasil ekspor minyak biasanya masuk ke rekening-rekening khusus tanpa melewati Kementerian Keuangan. Fulus itu lantas dipakai buat mendanai proyek-proyek lebih disukai para pangeran senior, mulai belanja militer hingga konstruksi, tanpa audit pemerintah atau transparansi. Komisi dan suap dalam praktek ini berjumlah sangat menggiurkan.

Sebagai seorang pembaru, keluarga inti Raja Fahad berupaya menjauhkan Pangeran Abdullah dari sang penguasa setelah dia terkena stroke. Kebencian terhadap Pangeran Abdullah kian dalam dan bahkan dia diyakini sebagai penyebab Raja Fahad mengalami stroke.

Selentingan beredar menyebutkan stroke itu terjadi setelah Raja Fahad dan Pangeran Abdullah berdebat soal siapa akan menghadiri konferensi tingkat tinggi GCC (Dewan Kerja Sama Teluk) di Oman. Rumor lain menyebutkan keduanya selalu berdebat sengit seputar krisis keuangan melanda Arab Saudi.

Raja Fahad akhirnya sembuh dari stroke namun dia tidak bisa berlaku normal. Bahkan dia pernah berbuat memalukan saat menjalani terapi tidak lama setelah pulih. Dia buang hajat dalam kolam renangnya di hadapan keluarga. Lingkaran dekat Raja Fahad tahu dia tidak akan pernah benar-benar berkuasa lagi meski masih menghadiri acara seremonial.

Satu setengah tahun setelah Raja Fahad terserang stroke, Pangeran Sultan makin melecehkan Pangeran Abdullah, waktu itu menjabat putera mahkota. Dia berhenti menghadiri rapat-rapat kabinet dipimpin Pangeran Abdullah.

Pangeran Abdullah membalas. Pada Juli 1997, dia tidak mengindahkan kabinet dan langsung meminta Raja Fahad meneken dekrit dan undang-undang dia anggap penting buat diloloskan. Jauhara dan Pangeran Abdul Aziz berusaha menghalangi perbuatan Pangeran Abdullah itu.

Tiga saudara kandung Raja Fahad - Pangeran Sultan, Pangeran Nayif, dan Pangeran Salman - datang ke rumah sakit barengan untuk menunjukkan solidaritas. Tapi mereka kaget banget. Jauhara dan Pangeran Abdul Aziz menghalangi mereka masuk ke dalam ruang perawatan. Istri dan anak dari Raja Fahad itu menginap di luar ruang rawat Raja Fahad untuk memutuskan siapa boleh dan tidak menemui sang penguasa.

Suksesi di Saudi tidak turun ke anak sulung. Sesuai tradisi, para pangeran senior membikin konsensus untuk menunjuk siapa dari mereka pantas menggantikan raja sesuai pengalaman dan kebijaksanaanya. Selama ini sistem itu berjalan baik.

Namun Pangeran Abdul Aziz berupaya menghapus tradisi itu. Dia ingin menggantikan ayahnya. Karena itu, dia makin terlibat dalam urusan-urusan penting negara: soal keamanan nasional, politik luar negeri, dan intelijen.

Paling dicemaskan oleh sebagian anggota keluarga kerajaan adalah Pangeran Abdul Aziz mendanai kaum Wahabi untuk mendapatkan kekuatan dan sokongan. Dia sadar dia memerlukan dukungan ulama-ulama Wahabi untuk menjadi raja.

Pada September 1997, Pangeran Abdul Aziz membantu mengumpulkan paket bantuan dana US$ 100 juta untuk Taliban, kelompok teroris melindungi Usamah Bin Ladin, pendiri jaringan Al-Qaidah.

Pangeran Abdul Aziz gagal naik takhta. Pangeran Abdullah dinobatkan sebagai raja setelah Raja Fahad mangkat pada 2005.

Raja Salman tahun lalu menjadi raja menggantikan Raja Abdullah wafat mencoba mengulangi hal serupa. Dia mengangkat anaknya sebagai wakil putera mahkota, berada di urutan kedua setelah sepupunya, Pangeran Muhammad Nayif, menjabat putera mahkota.

Lewat dekrit dikeluarkan April tahun lalu, Raja Salman ingin mewarisi singgasana Arab Saudi seterusnya kepada keturunan Hissa as-Sudairi, tradisi berlaku sejak pendiri kerajaan Raja Abdul Aziz bin Saud meninggal.

Namun itu kian mempersengit konflik internal antar pangeran. September tahun lalu, seorang pangeran terhitung cucu Raja Abdul Aziz menulis surat terbuka meminta Raja Salman, Pangeran Muhammad bin Nayif, dan Pangeran Muhammad bin Salman lengser dari jabatan mereka.

Ancaman bagi keruntuhan Bani Saud tidak akan lenyap. Faktor internal dan eksternal masih mengintip peluang.

(Arab-News/Al-Balad/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: