Pesan Rahbar

Home » » Tangan Saudi dalam Teror 11/9

Tangan Saudi dalam Teror 11/9

Written By Unknown on Sunday 15 May 2016 | 22:30:00

Pangeran Bandar bin Sultan, Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat pada 1983-2005. (Foto: BBC)

"Semua bukti menunjuk pada Arab Saudi. Kita tahu Arab Saudi membikin Al-Qaidah. Al-Qaidah itu ciptaan Arab Saudi," kata Bob Graham.

Dari 850 halaman laporan Komite Investigasi Kongres Amerika Serikat dilansir 13 tahun lalu, hanya 28 halaman tetap dirahasiakan dalam sebuah ruangan di Capitol Hill (gedung Kongres) di Ibu Kota Washington D.C. Tentu saja lantaran isinya diyakini banyak amat sensitif.

Dokumen 28 halaman itu berisi soal bukti keterlibatan Arab Saudi, negara Arab menjadi sekutu istimewa Amerika, dalam serangan 11 September 2001 di New York dan Washington. Teror 11/9 oleh jaringan Al-Qaidah ini menewaskan tiga ribu orang dan melukai lebih dari enam ribu lainnya.

Faktanya, 15 dari 19 pembajak pesawat dipakai dalam Teror 11/9 itu adalah warga negara Arab Saudi. Dokumen 28 halaman dikunci rapat-rapat ini diyakini menjelaskan soal hubungan antara para pembajak dengan pemerintah negara Kabah itu.

Dalam laporan terakhirnya, Komite Investigasi 11/9 bentukan Kongres menyimpulkan tidak ada bukti pemerintah Saudi sebagai institusi atau para pejabat senior Saudi secara individu mendanai Al-Qaidah.

Namun mantan Senator Florida Bob Graham, memimpin komite penyelidikan itu, berkata lain. "Saya pikir tidak masuk akal para pembajak tidak bisa berbahasa Inggris itu, tak pernah ke Amerika Serikat sebelumnya, sebagai sebuah kelompok tidak berpendidikan tinggi mampu melakukan itu sendirian," katanya dalam acara dialog Meet the Press di stasiun televisi NBC.

"Jadi siapa entitas paling mungkin memberi sokongan kepada mereka?" lanjut Graham. "Semua bukti menunjuk pada Arab Saudi. Kita tahu Arab Saudi membikin Al-Qaidah. Al-Qaidah itu ciptaan Arab Saudi."

Isu keterlibatan Arab Saudi dalam Teror 11/9 kembali ramai dibahas setelah awal tahun ini Komite Hukum Senat Amerika Serikat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keadilan Bagi Pendukung Teror. Bila diloloskan oleh Kongres, keluarga korban Teror 11/9 bisa menggugat pemerintah Saudi ke pengadilan.

Gara-gara beleid itu pula, kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Obama disambut dingin oleh Arab Saudi. Bukan Raja Salman bin Abdul Aziz menyambut, Obama hanya diterima gubernur Riyadh ketika mendarat di Ibu Kota Riyadh.

Akta itu menyatakan pemerintah atau pejabat asing terlibat dalam serangan teror di Amerika tidak kebal hukum, sehingga bisa diadili. Arab Saudi, lewat Menteri Luar Negeri Adil al-Jubair, telah mengancam menjual seluruh aset negaranya di Amerika senilai US$ 750 miliar.

Eks Presiden Amerika Serikat George Walker Bush mengklaim publikasi dokumen 28 halaman itu akan merusak keamanan nasional negara adikuasa ini.

Dua anggota Kongres, Stephen Lynch dari Demokrat dan Walter Jones asal Republik, pernah membaca dokumen 28 halaman itu mengisyaratkan soal penolakan Presiden Bush. "Dokumen ini soal hubungan pemerintahan Bush dengan Saudi."

Namun desakan agar dokumen itu dirilis ke publik kian luas, termasuk oleh Rudi Giuliani, wali kota New York saat Teror 11/9 terjadi. Dia bercerita seorang pangeran dari Saudi mencoba menyuap dirinya dengan sebuah cek senilai US$ 10 juta. Pangeran itu meminta Giuliani tidak lagi berbicara mengenai jejak Saudi dalam Teror 11/9.

Dia menolak sogokan itu. Dia mengembalikan cek telah dia robek kepada sang pangeran. "Dia bisa menyimpan uangnya dan membakar fulusnya di neraka," ujar Giuliani. "Rakyat Amerika perlu mengetahui sebenarnya peran pemerintah Arab Saudi dalam serangan itu. Kami berhak tahu siapa pembunuh orang-orang kami cintai dan siapa hampir menewaskan kami semua."

Keterlibatan Arab Saudi dalam pendanaan kelompok-kelompok Islam radikal lantaran paham Wahabi berpusat di negara itu. Mengklaim sebagai pelaksana ajaran Islam murni, ulama-ulama Wahabi berupaya menyebarluaskan pengaruh mereka ke seluruh dunia.

Ekspor ideologi garis keras oleh Arab Saudi ini dimulai setelah pada 1992 ulam-ulama senior Wahabi di negara itu mengancam meruntuhkan kerajaan. Kecuali mereka diizinkan berperan sentral dalam kebijakan domestik dan luar negeri Saudi.

Keluarga kerajaan tidak mampu menolak tuntutan itu. Salah satu kebijakan penting diambil adalah pembentukan Kementerian Urusan Islam didominasi ulama-ulama Wahabi, dengan perwakilan di kedutaan dan konsulat Saudi di seluruh dunia. Dugaan keterkaitan antara sejumlah pejabat Kementerian Urusan Islam Saudi dengan para perencana Teror 11/9 merupakan klaim kunci dalam gugatan diajukan keluarga korban.

Upaya penyogokan terhadap Giuliani oleh seorang pangeran Saudi terjadi sehari sehabis muncul kabar sertifikat penerbangan atas nama Ghassan asy-Syarbi, pembuat bom Al-Qaidah belajar menerbangkan pesawat untuk misi Teror 11/9, ditemukan dalam sebuah amplop bercap Kedutaan Besar Arab Saudi di Washington.

Sertifikat itu bersama dokumen terkait lainnya ditemukan dalam kantor Kedutaan Saudi selama penyelidikan setelah Ghassan ditangkap pada 2002 di Pakistan, menjadi saluran pendanaan Wahabi terhadap terorisme.

Juga ada hubungan antara pejabat Saudi di Amerika dengan dua pembajak warga negara Saudi, Nawaf al-Hamzi dan Khalid al-Mindhar, tiba di Amerika Serikat pada 2000 sebagai bagian dari gelombang pertama pengiriman pelaku Teror 11/9.

Adalah Umar al-Bayumi, juga warga Saudi, menyewakan apartemen bagi keduanya di San Diego dan mengurus dokumen keamanan sosial dan informasi mengenai kursus terbang. Juga ada laporan Bayumi mengenalkan kedua pembajak itu kepada imam masjid bernama Anwar al-Aulaki, kemudian dikenal sebagai pemimpin AQAP (Al-Qaidah di Semenanjung Arab) dan akhirnya terbunuh akibat serangan pesawat nirawak Amerika di Yaman.

Bayumi menerima dana dari pemerintah Saudi selama tinggal di negara itu melalui Dallah Alco, perusahaan layanan penerbangan sipil Saudi. Sebelum Teror 11/9 terjadi, dia terdaftar dalam dokumen FBI sebagai agen Saudi dan kerap mengunjungi Kedutaan Saudi di Washington dan Konsulat Saudi di Los Angeles.

Kepala para penyelidik Amerika Serikat, Bayumi mengakui pernah melakukan pertemuan sejam dengan Fahad ath-Thumairi, pejabat di Kementerian Urusan Islam, di kantor Konsulat Saudi di Los Angeles. Di hari itu pula dia bertemu Hamzi dan Mindhar. Dua tahun kemudian, Amerika mendeportasi Thumairi karena diduga terkait dengan jaringan teroris.

Usamah Basnan, warga Saudi lainnya tinggal di San Diego, juga pernah berhubungan dengan Hamzi dan Mindhar. Basnan menerima fulus sekitar US$ 75 ribu dari Puteri Haifa binti Sultan, istri dari Duta Besar Saudi untuk Amerika Pangeran Bandar bin Sultan.

Uang itu katanya buat biaya pengobatan istri Basnan dan sebagian diberikan kepada Bayumi. Basnan ditangkap karena pelanggaran visa pada Agustus 2002 dan dideportasi ke Arab Saudi dua bulan kemudian.

Bayumi pindah ke Inggris pada Juli 2001 dan mulai kuliah PhD bidang manajemen bisnis di Universitas Aston di Birmingham. Dia ditangkap sepuluh hari setelah serangan 11 September oleh polisi Inggris atas permintaan FBI (Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat). Namun Amerika akhirnya membebaskan dia karena tidak ada bukti keterlibatannya dalam terorisme. Bayumi melanjutkan kembali kuliahnya di Aston dan lantas kembali ke Arab Saudi.

Pada 2012, Pangeran Bandar bin Sultan menjadi sorotan media setelah ditunjuk sebagai kepala badan intelijen Arab Saudi. Raja menugaskan dia mengurus para pemberontak di Suriah, namun dicopot dua tahun kemudian setelah dianggap gagal.

Dalam sebuah pertemuan di Ibu Kota Moskow, Pangeran Bandar mengancam Presiden Vladimir Putin. Dia bilang pemberontak Islam Chehcnya bisa diaktifkan kembali kecuali Putin mengehntikan sokongan kepada Presiden Suriah Basyar al-Assad.

Amerika memang berupaya menutupi keterlibatan Arab Saudi dalam Teror 11/9. Seorang penyelidik tergabung dalam JTTF (Satuan Tugas Terorisme Gabungan) di Washington mengeluhkan bukannya menginvestigasi Pangeran Bandar, pemerintah Amerika malah melindungi dia. Dia mengungkapkan Departemen Luar Negeri Amerika telah menugaskan aparat keamanan menjaga ketat Pangeran Bandar, tidak hanya di kedutaan tapi juga di kediamannya.

Sumber itu menceritakan JTTF sebenarnya ingin memenjarakan sejumlah pegawai Kedutaan Saudi di Washington. "Tapi kedutaan mengadu kepada janksa agung dan visa diplomatik mereka kemudian dicabut sebagai kompromi," tuturnya.

Bekas agen FBI John Guandolo, ikut menangani kasus Teror 11/9 dan Al-Qaidah, bilang Pangeran Bandar mestinya menjadi tersangka utama dalam penyelidikan. "Duta besar Saudi itu mendanai dua dari para pembajak 11/9 melalui pihak ketiga," katanya. "Dia seharusnya diperlakukan sebagai tersangka teroris, begitu pula elite Saudi lainnya diketahui pemerintah Amerika saat ini mendanai jihad global."

Setelah Pangeran Bandar pada 13 September 2001 bertemu Presiden George Walker Bush di Gedung Putih, sambil merokok di Balkon Truman, FBI mengevakuasi lusinan pejabat Saudi dari beragam kota di Amerika, termasuk paling sedikit satu anggota keluarga pendiri Al-Qaidah, Usamah Bin Ladin, dari daftar pengawasan.

"FBI menghalangi kami untuk memeriksa para pejabat Saudi," ujar mantan agen FBI Mark Rossini, terlibat dalam investigasi kasus Teror 11/9 dan Al-Qaidah. "Gedung Putih membiarkan mereka lepas dari kail."

Bahkan Anwar al-Aulaki, penasihat spriritual para pembajak, dilepaskan atas dasar perwakilan Saudi setelah pada 2002 ditangkap di Bandar Udara John F. Kennedy di New York karena paspornya bermasalah.

"Amerika telah bersekutu dengan sebuah rezim menyokong serangan (11 September 2001)," kata Ali al-Ahmad dari Institute for Gulf Affairs, lembaga kajian berkantor di Washington.

Dokumen 28 halaman itu memang dilematis bagi Amerika. Dibuka berarti memperburuk hubungan dengan Arab Saudi, mulai membeku sejak Washington bermesraan dengan Teheran. Terus dirahasiakan sama saja.

(BBC/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: