Selain dari apa yang telah disebutkan sebelumnya, dalam hukum sipil Islam dan hukum kriminalnya, ada perbedaan antara pria dan wanita. Perbedaan utamanya meliputi: warisan, kesaksian, uang darah, perceraian, dan poligami. Musuh- mbsub Islam telah menyalahgunakan perbedaan-perbedaan ini uiltuk menyerang Islam. Mereka memandang perbedaan ini sebagai alasan untuk penolakan hak-hak asasi dan pengakuan wanita yang sesungguhnya. Walaupun setelah mempelajari berbagai rahasia di balik perbedaan ini dan filsafat perundang-undangan Islam, tidak perlu lagi memberikan jawaban, dan karenanya kami berikan sebuah penjelasan singkat.
A. Warisan
Anak-anak dan kerabat lainnya dari ayah menikmati warisan, berdasarkan perbedaan dalam hak-hak pria dan wanita. Pria memiliki bagian ganda. Al-Quran menyatakan, ...bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. (QS an-Nisa:11) Beberapa kritik memandang perbedaan ini sebagai diskriminasi yang menjadi bukti mengingkari hak-hak wanita. Namun patut diperhatikan bahwa:
Pertama, hukum ini diturunkan ketika masyarakat tidak memandang sedikit pun warisan untuk wanita.
Kedua, menyamakan hukum warisan dengan pembagian keuntungan semata tidaklah benar. Eksistensi dari perbedaan pembagian yang tampak dalam hukum Islam, yang merupakan suatu kasus yang pelik dan berdasarkan pada berbagai pertimbangan, tidaklah dapat diputuskan dengan mudah.
Ketiga, hukum yang berhubungan dengan ‘bagian ganda untuk pria’ tidak dapat dipakai dalam segala situasi. (Ada kasus-kasus dimana tidak ada perbedaan antara pria dan wanita (misalnya, dalam kasus ayah dan ibu atau kerabat dari pihak ibu yang meninggal); dan bahkan dalam beberapa kasus, pihak keluarga ibu lebih condong kepada pihak keluarga ayah. Dan dimana wanita, sebagaimana dibandingkan dengan pria, berada dalam hubungan yang dekat dengan keluarga yang ditinggalkan, pria tidak mendapatkan warisan).
Di sini dipahami bahwa aturan sederhana yang menguasai pikiran kita tidak cukup untuk menyerap berbagai mistri dan faedah dari berbagai bagian dari persoalan ini.
Dalam tafsir al-Qurannya yang masyhur, Allamah Thabathaba’i menyatakan, “Hasil dari pembagian semacam ini adalah bahwa dalam tahap ‘milik’, pria menikmati dua kali dari wanita, tetapi dalam tahap ‘pemakaiannya’, wanita dua kali untung dari pria. Karena wanita menyimpan bagiannya dan kekayaannya untuk dirinya tetapi laki-laki menutup nafaqah wanita, dan sebenarnya separuh dari kekayaan pria dikeluarkan untuk wanita.” [34]
Mungkin rahasia perbedaan ini terletak pada wanita adalah makhluk emosional dan pria adalah makhluk pragmatis.
Al-Quran (4:34) menyatakan, Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka... Qawwâmûna adalah orang yang menutup pengeluaran orang lain dan qiyâm ‘ala dalam bahasa Arab berarti mengatur penghidupan seseorang dan dalam hal ini bukan kekuasaan atau hak istimewa pria. Pria lebih condong mengadministrasi kekayaan disebabkan ia makhluk yang pragmatis dan logis.
Dalam hal ini, salah satu jawaban yang paling komprehensif adalah jawaban yang diberikan oleh Imam ash-Shadiq as, “Bagian pria dua kali dari wanita adalah karena bagi wanita jihad tidak diwajibkan dan biaya hidupnya harus ditutup oleh pria. Pria membayar untuk maharnya dan dalam beberapa kasus ‘uang darah’ dari orang yang terbunuh harus ditutup pula oleh pria.”
B. Menjadi Saksi
Menjadi saksi dalam syariah Islam tidaklah sama bagi pria dan wanita. Dalam kasus-kasus yang meliputi pengacara, administrator, perceraian, rujuk (setelah cerai), silsilah, melihat bulan sabit, dan sebagainya, kesaksian wanita tidaklah memadai dan tidak membuktikan hal-hak tersebut di atas. Dalam kasus-kasus pembuktian sebuah peristiwa, dimana dua pria sudah cukup, maka saksi wanita harus berjumlah empat, yaitu dua kali pria. Ini berarti kesaksian wanita separuh dari pria. Dalam kesaksian untuk kasus zina, yang membutuhkan empat orang saksi pria, sudah cukup untuk saksi pria dan wanita tetapi tidak cukup bila hanya wanita saja.
Perbedaan ini telah mengarah kepada berbagai macam kritik bahwa Islam memberikan wanita hak-hak lebih sedikit dari pria. Sekali lagi, keputusan yang sederhana dan cepat dalam urusan semacam ini adalah tanda dari ketidakcermatan dan ketidakpedulian kepada berbagai mistri penciptaan dan menunjukkan kejahilan atau kedengkian dari kritik-kritik ini.
Pendek kata, pertama-tama, menjadi saksi bukanlah hak tetapi tugas atau kewajiban. Orang yang menjadi saksi tidak boleh ragu-ragu untuk memberikan kesaksian. Sikap tutup mulut merupakan dosa dan kejahatan dalam Islam. ...dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi kesaksian) apabila mereka dipanggil... (QS al-Baqarah:282)
Itulah sebabnya, ketika membuktikan sebuah kasus, dibutuhkan lebih banyak saksi wanita. Sebenarnya, sedikit tanggung jawab yang diberikan pada wanita. Islam lebih perhatian dan lebih sayang pada wanita.
Kedua, sebagaimana telah dibuktikan dalam filsafat hukum, prinsip-prinsip kriminologi, dan keputusan hukum serta para prikolog telah membuktikannya, menginformasikan suatu peristiwa atau kejadian dan menjelaskan bentuk dari tiap-tiap kasus yang disaksikan berdasarkan fakta bahwa saksi adalah pria atau wanita, apakah dia (pria/wanita) emosional atau mawas diri, anak-anak atau dewasa, memperoleh perbedaan tanda. Pengalaman telah menunjukkan bahwa kesaksian oleh individu-individu yang sebagian besar memiliki daya khayal yang kuat memberikan sedikit ketelitian dan kebenarannya.
Secara fitrah emosi mendominasi wanita. Secara alami, lebih banyak konfirmasi dan bantuan yang diperlukan untuk menyertai kesaksiannya dalam urusan-urusan penting.
Ketika menjadi saksi, pernyataan atau si pembicara bukanlah target. Keduanya bergerak menuju peristiwa yang sesungguhnya dan sifat dasarnya tidak memiliki ketelitian untuk kesaksian wanita sebagaimana juga pria.
Ketiga, jika saksi dari dua orang wanita dan seorang pria adalah sama dan alasannya karena penurunan atas martabat wanita, dalam beberapa kasus ketika saksi pria tidak efektif, kesaksian seorang wanita membuktikan 1/4 dari jumlah yang ada sementara saksi seorang pria hampa dari nilai hukum.
Saksi seorang pria bukan bukti yang efektif untuk membuktikan hak-hak kekayaan yang berhubungan dengan wasiat dan masing-masing wanita ditambah dengan saksi ini akan ditambah l/4 sampai menjadi empat orang wanita.
Cara ini juga lazim untuk kesaksian mengenai kelahiran bayi dan saksi dari seorang pria tidak akan membuktikan faktor untuk warisan si anak. Bagaimanapun juga, 1/4 dari warisan yang ada dengan saksi masing-masing wanita, tanpa makhluk ini merupakan tanda pengabaian terhadap nilai saksi pria atau bertentangan dengan martabatnya (pria).
Keempat, dalam beberapa kasus, saksi wanita secara mutlak diterima yang meliputi kesaksian yang berhubungan dengan bukti kelahiran, kegadisan, penyakit seksual pada wanita, sedemikian rupa sehingga dalam beberapa kasus bahkan saksi seorang wanita akan membuktikan kasus tertentu tersebut.
Kelima, syarat bagi penerimaan kesaksian adalah nilai dan kebenaran si saksi. Dia (pria/wanita) harus jujur dan dapat dipercaya. Jika wanita kurang dapat dipercaya, asas kesaksiannya tidak dapat diterima, dan jumlah saksi tidak akan ditetapkan menurut kesesuaiannya dengan kasus tersebut dengan sifat dasar saksinya.
Pembuat hukum mempertimbangkan undang-undang dan hukum Islam yang berbeda mengenai saksi dan memiliki dua pokok. Pertama, saksi harus yakin dengan kesaksian yang ia berikan dan, kedua, kesaksiannya (pria/wanita) harus didasarkan pada motivasi-motivasi seperti saksi memiliki ilmu dan informasi yang sesungguhnya dan bukan atas dasar kepentingan pribadi, bebas dari segala hal yang merugikan diri seseorang, dendam dan benci terhadap terdakwa.
Kedua pokok ini mengungkapkan ketepatan hukum mengenai saksi dan kesaksian sehingga kebenaran dan kenyataan, tersingkapkan, jadi bukan pendapat ataupun bias. Dalam kasus-kasus dimana terdapat bahaya karena emosi dan perasaan, seseorang mungkin mempengaruhi orang lain yang menyebabkan saksi tidak mengindahkan fakta dan memberikan kesaksian palsu, jumlah saksi ditambah.
C. Diat atau Uang Darah
Uang darah adalah jumlah yang harus dibayar kepada anggota keluarga yang dirugikan atau yang terbunuh, karena kejahatan yang dilakukan seseorang, terluka atau rusak secara tidak disengaja. Dalam hukum diat bila seorang Muslimah terbunuh, diatnya adalah separuh dari pria. Dalam kasus wanita terluka, sedikitnya sepertiga dari diat keseluruhannya, diatnya akan sama dengan pria dan lebih dari itu akan menjadi separuh dari diat pria.
Beberapa orang mengkritik diat sebagai faktor pelanggaran terhadap hak-hak dan kepribadian wanita. Kritik-kritik ini ingin mematahkan sistem hukum Islam dan filsafat umum tentang hukum tanpa memperhatikan kumpulan keseluruhan sistem serasi yang ada menjadi bagian-bagian kecil dan membesar-besarkan hanya satu dari bagian-bagian ini.
Kritik semacam ini tidaklah ilmiah dan kurang awas dalam penelitiannya. Melalui penelitian semacam ini, tidak ada kebenaran yang dapat ditemukan dan tidak ada fakta yang dapat dibuktikan.
Kepribadian dan martabat wanita diakui oleh hukum Islam dan ia sepenuhnya sama dengan pria dalam hak-hak kemanusiaan dan hak-hak hakikinya tetapi mereka berbeda dalam aktivitas sosial dan pembagian kerja berdasarkan fitrah mereka. Oleh karena itu, karena mereka tidak menunjukkan reaksi apa pun atau tidak mengkritik keperluan akan biaya hidup dan mahar, mereka juga tidak menunjukkan kepekaannya terhadap kasus-kasus ketika hak khusus atau hukum yang berbeda hingga batas tertentu dalam kasus wanita.
Dalam hukum yang sama yang berkenaan dengan diat, wanita tidak berada dalam kategori aqilah (orang-orang yang bertanggung jawab membayar diat atas kesalahan kerabat mereka). Wanita tidak pernah dipaksa oleh hukum untuk menerima tanggung jawab pembayaran atas kerugian yang berhubungan dengan kerabat dekatnya yang telah melakukan pembunuhan atau melukai seseorang. Ini adalah hak istimewa finansial terbesar bagi wanita. Sangat mungkin ia berhadap- hadapan dengan hak istimewanya dimana lebih banyak diat dibayarkan kepada keluarga pria.
Dalam kasus ketika uang darah berkaitan dengan melukai seseorang, tidak mencapai sepertiga dari jumlah seluruhnya, pria dan wanita sama bagiannya. Padahal jika filsafat hukum ini berdasarkan pada pelanggaran kepribadian dan hak-hak wanita, diat wanita harus selalu separuh dari pria.
Beberapa orang percaya, perbedaan dalam diat ini karena kenyataannya bahwa pria bertanggung jawab atas ekonomi rumah tangga dan harus membiayai biaya hidup dan pengeluaran lainnya. Setelah kematian suami, anggota keluarga suami yang menerima biaya hidup darinya akan tak terdukung lagi. Oleh karena itu, mereka harus menerima kompensasi lebih yang tidak ada hubungannya dengan hakikat pria atau wanita tetapi karena efek sisi luar dari kematian suami dan pengaruhnya yang kuat atas keluarganya.
Harus dicatat bahwa diat bukanlah biaya kematian, tetapi dibayarkan kepada kerabat dekat suami untuk menutupi kerugian materi dan finansial yang dibebankan pada mereka.
D. Perceraian
Salah satu kritik yang masyhur adalah bahwa pria diberi wewenang untuk bercerai. Jawaban umum atas ini adalah apa yang terdapat dalam filsafat tentang perbedaan-perbedaan di antara beberapa hukum yang menyinggung pria dan wanita.
Untuk mendapatkan jawaban khususnya kita akan membei perhatian kepada pokok-pokok berikut:
1. Pada dasamya Islam memandang perceraian sebagai tindakan yang sangat dibenci. Dalam hadis Nabi kita membaca, “Perbuatan halal yang paling dibenci dan diperbolehkan oleh Allah adalah perceraian.” Sedikit wewenang untuk bercerai akan membatasi tindakan yang dibenci ini bahkan lebih. Islam telah mendeklarasikan semua pokoknya dalam bentuk ajaran-ajaran yang ditujukan kepada suami dan istri untuk menghindari perceraian dan menanggulanginya. Ajaran-ajaran Islam yang jelas mengenai keluarga dan adat-istiadat kehidupan sosial bertujuan untuk mencabut akar-akar pemisahan dan menghentikan sebab-sebab ketidakstabilan pusat kebahagiaan (keluarga pria dan wanita). Perceraian menjadi pilihan yang dapat diterima hanya bila tidak ada lagi solusi perbaikannya.
2. Perceraian terutama berasal dari dominasi emosi individu dan kecenderungan-kecenderungan serta konflik yang tidak menyenangkan dari kedua belah pihak. Kuatnya emosi dan kurangnya akal yang berjalan bersama egoisme memainkan peranan penting dalam memperburuk perselisihan dan melajukan jalan pemisahan.
Untuk menghalangi campur tangan emosi dan perasaan yang membuta dan tidak rasional dalam keluarga, serta pisahnya suami-istri. Islam memandang akal sebagai tolok ukur sehingga emosi yang muncul tiba-tiba di pusat keluarga tidak hilang. Itulah kenapa Islam memandang perceraian yang berhubungan dengan sumpah-serapah dan syarat-syarat sebagai tidak sah atau hampa. Karena jika seseorang berkata: “Aku bersumpah demi Allah bahwa aku akan menceraikan istriku jika terjadi begini-begitu (tidak terjadi)” atau “Jika kamu melakukan perbuatan itu aku akan menceraikanmu”, ini mengungkapkan bahwa perceraian semacam ini didasarkan pada emosi dan perasaan sementara dan bukan pada akal.
Nabi berkata, “Perceraian batal hila diputuskan dalam keadaan marah, dan lain-lain (al-thalâq...fî ighlâq). Sebagian fuqaha menafsirkan ighlâq sebagai marah, mabuk, mania atau tidak sungguhan. Keputusan untuk cerai harus didasarkan pada perilaku rasional dan keadaan pikiran individu yang wajar.
Berdasarkan pada hadis lain yang jelas, perceraian dalam keadaan mabuk, main-main, marah atau terpaksa adalah batal. Dalam hadis dari Imam ash-Shadiq as, beliau berkata bahwa perceraian terjadi tanpa adanya keengganan, kejahatan atau kerugian, tidak dalam keadaan haid atau pendarahan setelah melahirkan dan ada dua orang saksi, jika sebaliknya akan batal. [35]
Alasan teknis atas pembatalan ini adalah bahwa perceraian membawa kepentingan yang sangat besar dan efek-efek yang gawat. Maka harus ada faktor “ketetapan hati” yang menentukan atau, sebagaimana ditafsirkan dalam hukum, sebagai qashd (kehendak).
Dalam beberapa hadis, alih-alih qashd, digunakan istilah niat (niyat). Dikatakan, “Perceraian harus didasarkan pada niat”, sekalipun keduanya memiliki arti yang sama, mungkin cita rasa menuntut bahwa niat (biasanya dimaksudkan untuk amal ibadah), niat untuk memperoleh ganjaran spiritual (tsawâb) dipahami, perceraian terjadi demi ridha Allah dn menaati Allah dan senapas dengan kepentingan kedua belah pihak dan bukan berdasarkan hasrat-hasrat badani.
Ketegasan pada kehendak, niat, ketetapan hati ini, dan pembatalan perceraian karena marah, emosi dan mania yang tiba-tiba, dan sebagainya dapat dengan jelas menjadikan seseorang memahami kenapa hal yang tidak menyenangkan ini, tapi diizinkan, disyaratkan dengan mediasi akal, penalaran, dan ilmu. Tak syak lagi apabila wanita memiltki wewenang untuk bercerai, kemungkinan perceraian akan meningkat karena faktor-faaktor emosional, kecemburuan, konflik, kompetisi, dan sebagainya karena wanita dipengaruhi oleh emosi, amarah, dendam dan benci lebih daripada pria. Di beberapa negara Barat statistik menunjukkan bahwa sekitar 80% perceraian terjadi atas pemintaan wanita. Pria dengan fitrahnya, lebih pragmatis, rasional, cermat, mawas diri dan lebih cepat meninggalkan keputusan-keputusan yang dibuat atas dasar emosi.
3. Perkawinan berdasarkan pada hubungan sepenuh hati dan bukan pada hak-hak hukum murni yang hampa dari kasih sayang dan kebaikan; dan ia berdasarkan pada daya tarik dan keinginan, bukan pada penguasaan, keterpaksaan dan main- main. Jika keridhaan wanita adalah syarat dalam perceraian dan kehendak suami tidak cukup (adalah kontrak kedua belah pihak dan bukan kewajiban sepihak), maka akan ada pelanggaran atas maksud dan tujuannya. Dalam hal ini pria harus menjalani kehidupan yang terpaksa hampa dari segala kebaikan dan daya tarik, hasrat dan emosi, sementara pada saat yang sama tidak mampu menolerir istrinya. Sejatinya fitrah pria semacam ini yang tanpa adanya motivasi dan bahkan kurang sabar secara fisik atau organ seksualnya ia tidak mampu untuk melaksanakan tanggung jawab alamiah. Wanita, di lain pihak, dapat memenuhi tugas-tugasnya bahkan tanpa motivasi dan kesehatan.
Setelah mengungkapkan berbagai perbedaan mentalitas pria dan wanita terhadap satu sama lainnya, almarhum Muthahhari menyatakan bahwa pria ingin memiliki diri (tubuh) wanita. Namun, wanita ingin menaklukkan hati pria. Ini menunjukkan bahwa bagi wanita, konsep hidup, keibuan, mengurus amak, kebaikan, cinta, dam manifestasi emosional lainnya semua berdasarkan pada kebaikan pria, dam tanpanya wanita akan membenci anak-anak dan rumahnya sendiri sekalipun.
Selanjutnya beliau mengatakan, “Bagi pria, mengingat mentalitas agresifnya terhadap wanita, tidaklah hina untuk mencoba menjaga istri dengan paksaan hukum sehingga pria secara bertahap dapat menjinakkannya. Tetapi bagi wanita mengambil jalan hukum dan terpaksa menjalani hidup dengan pria yang tidak ia sukai adalah sebuah situasi yang hina dan amat berat.”
Itulah sebabnya ketika hati pria hampa dari kebaikan terhadap istrinya dan faktor-faktor lain seperti memenuhi tanggung jawab keagamaan dan moral; kasih sayang dan kesetiaan tidak menghalanginya dari memulai perceraian, martabat wanita akan berada pada penerimaan perceraian dan pemisahannya dan sangatlah lebih baik wanita tidak mempunyai daya veto.
4. Hak wanita untuk bercerai—Untuk kasus-kasus ketika pria menahan diri dari menceraikan istrinya karena kepribadian si pria lemah dan lebih kuat emosinya dari akalnya, dan juga untuk membebankan kerugian pada istrinya serta karena halangan-halangan rasional untuk melanjutkan kehidupan yang sehat, wanita dapat memiliki hak untuk bercerai sebagai hak yang ditetapkan dan bentuk syarat yang termasuk dalam kontrak perkawinan (akad nikah). Sesuai dengan syarat ini (pembelaan yang tidak dapat ditarik kembali), wanita secara mutlak atau di bawah keadaan tertentu, bercerai.
Islam telah mengantisipasi dua jenis perceraian lainnya. Yang satu berdasarkan pada permintaan si istri dimana ia menolak maharnya dan meminta cerai dari pengadilan. Yang lain adalah perceraian yang disepakati oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, dengan banyak pertimbangan kami menyimpulkan bahwa hak untuk bercerai selalu tidak spesifik untuk pria, tetapi wanita juga dapat menikmati hak ini, melalui sarana agama dan hukum terhadap kasus-kasus ketika suaminya melangkahi wilayah kesalehan, akal dan moral.
5. Secara moral perceraian mengakibatkan tekanan finansial dan moral terhadap pria. Pria harus membayar mahar. Dia harus menikahi wanita lain yang akan membutuhkan biaya lagi. Dia harus bertindak sebagai wali terhadap anak-anaknya dan harus sabar menghadapi aspek-aspek sosial dan moral dari peristiwa ini yang mungkin saja dikecam karena pemisahannya. Kita melihat bahwa perceraian berada pada pihak yang akan menopang kerugian dan yang tidak dalam kepentingannya.
E. Poligami
Islam tidak menghapus poligami walaupun melarang poliandri, yang mana beberapa beberapa orang memandangnya sebagai diskriminasi antara pria dan wanita. Karena kejelasan ilmu dan sosial tentang persoalan ini, tidak ada yang menuntut hak untuk poliandri dan biasanya mereka mengkritik poligami dan percaya bahwa pria tidak menikmati hak ini.
Poliandri adalah keadaan pasangan pria lebih dari satu, yang kadang-kadang dibahas dalam karya-karya para filosof seperti Plato dan aliran pemikiran meliputi Marxisme, dan bahkan dilaksanakan di beberapa suku Tibet, namun dilarang dalam Islam karena alasan-alasan berikut:
1. Poliandri bertentangan dengan fitrah wanita dan wanita pada dirinya sendiri pun tidak menyetujuinya. Bertentangan dengan pria yang fitrahnya seperti petani, wanita adalah seperti tanah yang menerima benih yang ditanam, menumbuhkannya dan membuatnya berbuah. Atas dasar alamiah, wanita mencapai tujuannya pada lelaki pertama dan menutup dari lelaki yang lain. Di lain pihak, pria berwatak poligamis.
2. Hubungan seksual dari seorang wanita dengan beberapa orang pria yang diikuti dengan konsekuensi-konsekuensi kerusakan fisik dan mental yang meliputi berbagai penyakit kelamin, melahirkan bayi dungu, dan melemahkan sistem reproduksinya. Bahkan ia dapat mengalami kekacauan mental.
3. Wanita memiliki garis keturunan. Dalam poliandri proses garis keturunan—yang merupakan faktor paling penting baik dalam tatanan fitrahnya maupun dalam Islam—menjadi kacau dan membingungkan. Anak-anak tidak sanggup untuk mengenali ayahnya yang sah, menyebabkan penderitaan mental dan memunculkan sejumlah besar problem. Karena alasan inilah poliandri tidak dapat berlaku lama dan di beberapa negara komunis setelah mempraktikkannya mengalami kerugian dan kegagalan lalu menghentikannya.
Tetapi pokok-pokok berikut dapat disebutkan untuk menghentikan kritik mengapa Islam memperbolehkan poligami:
1. Poligami adalah fitrah dan pembawaan lahir, tidak membahayakan serta tidak mengarah kepada berbagai masalah pada masyarakat. Islam mengizinkannya. Pria dilahirkan poligamis dan fitrahnya tidak membangunnya untuk monogami bahkan walaupun keadaan perkawinannya benar dari sudut pandang adat istiadat dan tradisi.
2. Bertentangan dengan musuh-musuh syiar Islam yang, bukan peletak dasar hukum ini, selain telah membatasinya, Islam pun menyingkirkan keberlebihan di dalam praktik poligami. Selama datangnya Islam, orang-orang Arab adakalanya memiliki lebih dari sepuluh istri di rumah. Dalam harem-harem raja-raja Iran, Cina, dan Romawi kadang-kadang ada ratusan wanita sebagai istri mereka. Dengan membatasi praktik ini dalam jumlah dan syarat-syaratnya, Islam melakukan tindakan perubahan besar atau revolusi untuk melindungi hak-hak dan wibawa wanita.
3. Meskipun ada kasus perlunya seorang istri dengan seorang suami dan seorang suami dengan beberapa orang istri, poligami kadang-kadang rnernerlukan bentuk kebutuhan sosial dan harus diantisipasi dalam hukum. Pada prinsipnya jumlah pria dan wanita sama. Kadang- kadang karena masa pubertas wanita lebih dulu yang mencapai usia sebelum 15 tahun, dan angka kematian mereka lebih rendah karena daya tahannya lebih tinggi terhadap penyakit, ketidakikutsertaannya dalam perang dan pekerjaan-pekerjaan berat yang berbahaya, dan sebagainya, jumlah mereka pun melebihi jumlah pria. Dalam kasus-kasus semacam ini pria tidak diperbolehkan untuk menikahi lebih dari satu wanita secara hukurn, wanita dan bahkan pria akan tersesat dan menyimpang. Keluarga akan menjadi tidak stabil dan penyakit-penyakit kelamin akan muncul merasuki keluarga yang akan mempengaruhi wanita yang suci sekalipun. Itulah kenapa izin syariah atau wewenang untuk berpoligami, dalarn kasus-kasus tertentu, adalah untuk kepentingan pria maupun wanita dan juga rnasyarakat.
4. Bertentangan dengan apa yang sudah masyhur, semua wanita tidak menentang poligami. Yang menentangnya hanyalah mereka yang memandang istri kedua sebagai saingan dan musuhnya. Kira-kira semua wanita yang dibujuk dan perkawinan kedua suaminya adalah demi kebaikannya, setuju dengan poligami.
Fitrah wanita tidak menghindari poligami dan kadang- kadang ia terjadi begitu saja sehingga mereka sanggup hidup dengan damai dan rela dengan suami yang sama.
5. Tugas alamiah wanita adalah melahirkan bayi; dan dalam banyak kasus setelah menerima sperma, ia merasa enggan terhadap pria dan juga merasa tidak mampu. Keadaan semacam ini tidak ada pada pria, dan secara alamiah ia selalu butuh hubungan seksual, dan mustahil memaksakannya untuk mengabaikan kebutuhan ini.
Selain yang tersebut di atas, periode bulanan (haid) wanita kadang-kadang meniadakan sepertiga dari kehidupan aktivitas seksualnya, tetapi pria tidak mengalami periode ini. Juga wanita mencapai masa menopause pada usia sekitar 50 tahun, sementara pria membutuhkan hubungan seksual sampai lanjut usia.
Atas dasar semua pertimbangan ini, harus dicatat bahwa Islam telah membatasi banyaknya istri atas prinsip yang berkaitan dengan kasih sayang manusia dan masyarakat. Salah satu syarat yang sulit dalam memberlakukan poligami adalah perlunya berlaku adil; yaitu, persamaan mutlak material dan spiritual di antara istri-istri mereka. Al-Quran dalam berbagai ayatnya telah menyatakan secara gamblang, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan- perempuan yatim (yang kamu nikahi), maka kawinilah wanita- wanita yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja... (QS an-Nisa:3)
Dan kamu sekali-sekali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS an-Nisa:129)
Dengan membandingkan dua ayat ini, kita melihat bahwa karena secara praktis tidak mungkin bagi pria untuk berlaku benar-benar adil, karena itu berbanyak istri tidaklah mungkin baginya. Akurasi semacam ini dalam hukum atau syariah yang di dalamnya semua aspek alamiah, moral dan sosial dicermati mengungkapkan hikmah (kebijaksanaan) yang tinggi dari al- Quran. Karena itulah sebagian orang mengklaim bahwa monogami merupakan kebiasaan prinsip yang didorong oleh Islam, kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Dalam hadis Islam kawin lagi—bahkan setelah istri pertama wafat—dikecam. Islam mengecam orang-orang yang berubah-ubah dan berhawa nafsu.
Referensi:
34. Al-Mizân, jilid 4, hal.215.
35. Wasâ’il, Bab 37, Thalâq, Hadis 2; Jawâhr, jilid 32, baru, hal.11.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email