Meski memiliki nasab ‘sayid’, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab mengaku sejak kecil tidak diajarkan untuk merasa ada keistimewaan pada dirinya. Bahkan kata Quraish, ayahnya mengajarkan ia dan saudara-saudaranya untuk tidak mengandalkan keturunan.
“Tidak perlu memperkenalkan diri sebagai sayid atau sebagai habib,” katanya seperti dalam wawancaranya bersama Tirto.id (24/1)
Mengutip pesan ayahnya, Abdurrahman Shihab, penulis kitab Tafsir Al Misbah ini mengatakan, kalau mau dikenal orang, dikenallah dengan akhlak, dengan hatimu. “Itu satu yang beliau sampaikan,”ucapnya.
Yang kedua, kata ayah Quraish, “Jangan permalukan leluhurmu dengan perbuatanmu yang buruk.”
Kedua pesan itu senantiasa ditanamkan sang ayah kepada Quraish Shihab. Ia pun menambahkan, di kampung halamannya kala itu, Sulawesi Selatan, tidak ada organisasi sayid khusus atau non-sayid khusus.
“Sebenarnya kami itu, lebih-lebih di Sulawesi, membaur. Tidak ada itu istilah, [seperti] di Jawa ada Kampung Arab. Di sana tidak ada Kampung Arab,” katanya.
Ayahnya bahkan mendirikan organisasi yang berbaur di dalamnya, orang-orang Arab dan orang-orang Bugis-Makassar. Organisasi itu bernama “JIWA” yang merupakan singkatan dari Jam’iyah Al-Ittihad Wa al Muawanah.
“(Artinya) Organisasi Persatuan dan bantu-membantu,” jelasnya.
Berbicara soal gelar sayid atau habib di masa sekarang, bagi jebolan Al Azhar Mesir ini, sama halnya dengan gelar kiai. Keduanya diberikan masyarakat yang menghormati sosok yang bersangkutan.
“ Itu setelah melalui proses yang bisa menjadi alasan untuk dia diberi gelar sayid atau habib. Itu hemat saya,” katanya.
Masyarakat melihat bahwa ada keistimewaan pada orang-orang yang mempunyai tali keturunan dengan Rasulullah. Keistimewaan itu suka atau tidak suka, kata Quraish, harus diakui.
“Kenapa demikian? Bukankah di Indonesia juga ada yang namanya bibit, bebet, bobot? Iya, kan?” katanya.
Meski faktor keturunan juga turut ‘mewarnai’ anak, yang lebih kuat bagi Quraish Shihab ialah karena akhlak luhur sehingga orang itu dipanggil sayid atau habib. Di sisi lain, lanjut cendekiawan Muslim ini, jika dibaca sejumlah literatur peranan tentang Indo-Eropa, Indo-Tionghoa, Indo-Arab, sebetulnya dulu jarang sekali orang ditulis namanya “Habib.”
“Paling cuma “sayid” saja,”kata jebolan Pondok Pesantren Darul-Hadits al-Faqihiyyah Malang ini.
Karena syarat ‘habib’ itu, disamping harus orang alim, keturunan Nabi, juga harus memberi perhatian pada urusan masyarakat.“Tidak sembarangan,”tegasnya.
Karena “tidak sembarang” itu, sebagian yang sebenarnya telah pantas disebut habib pun seolah menghindari sebutan itu pada dirinya.
“Sampai sekarang, sebenarnya ada orang-orang yang punya garis keturunan dari Nabi, punya pengabdian yang besar, tidak dikenal sebagai sayid,” katanya.
Peraih predikat Summa Cum Laude di Al Azhar ini mencontohkan pelukis Raden Saleh yang memiliki pengabdian pada masyarakat dan karya yang besar namun tidak dikenal habib atau sayid oleh masyarakat.
Ada orang yang bukan keturunan Nabi tapi memiliki kedudukan tinggi, terhormat, oleh masyarakat dipanggil “syeikh”. Itu semua terminologi dari masyarakat.
“Itu sebabnya, misalnya, di kalangan NU, Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Itu orang sangat terhormat,”katanya.
Tidak ingin dipanggil habib atau sayid, pakar ilmu Tafsir ini mengaku dipanggil “ustadz” saja sudah cukup. Apapun itu, ia menegaskan gelar-gelar itu tidak banyak dampaknya buat dirinya dan masyarakat.
“Bahkan saya kira dampaknya lebih baik kalau saya tidak dipanggil apa-apa,”katanya.
Quraish Shihab juga membenarkan pendapat sahabatnya KH. Ahmad ‘Gus Mus’ Mustafa Bisri, bahwa media seringkali memberi gelar-gelar terhormat kepada orang-orang yang belum wajar diberi gelar dan belum memenuhi syarat. Karena itu terjadi inflasi antara fakta dan nilai yang seharusnya.
Gelar kiai misalnya, seperti kata Gus Mus, faktanya tidak sedikit yang hanya bermodalkan serban. Akhirnya, sekian banyak yang dinamai kiai, padahal belum layak disebut kiai.
Setiap yang berbicara di mimbar dinamai kiai, padahal pembicaraannya keliru. “(Demikian juga) Sekian banyak yang dinamai habib tidak mencerminkan akhlak yang baik. Inflasi, kan?”
Mengenai gelar habib yang digunakan untuk narasi politik, menurut Quraish, dari dulu hingga sekarang hal ini terjadi. Bedanya, dulu diterima baik oleh seluruh masyarakat. Contohnya dalam sejarah Indonesia yang termasuk modern, yaitu Habib Salim Bin Jindan.
Habib Salim, di mata Quraish, termasuk tipikal keras. Pidatonya berapi-api, tapi ilmunya dalam dan akhlaknya luhur.
“Ilmunya dalam, jadi orang berkumpul sama dia. Akhlaknya luhur,” kisahnya.
Sekarang, lanjut eks menteri agama ini, sebagian yang terlibat dalam bendera sayid itu ada yang tidak mengerti agama, dan sangat keras.
“Kita keras terhadap orang kafir, tapi keras itu dalam pengertian tegas. Dan tegas itu tidak harus dalam bentuk makian,”katanya.
Apalagi keras yang dimaksud ialah kekerasan fisik. Salah satu ciri Alawiyyin dari Hadramaut, kisah Quraish, adalah mematahkan pedang. Artinya mematahkan pedang, tidak akan bersikap keras.
“Kita tidak bersikap keras, apalagi antar-sesama muslim. Kita bersikap keras terhadap penjajah.”
Tapi intinya kita berdakwah dengan akhlak, dengan kalimat-kalimat yang indah dan lain sebagainya. Persolan dirinya dikaitkan dengan Habib Rizieq karena satu marga, Quraish mengatakan bahwa manusia sejatinya bermacam-macam.
Dirinya dengan adik kandungnya saja, Alwi Shihab, dinilai beda. Tiap manusia memiliki kepribadian masing-masing. Meski demikian, boleh jadi ada yang berbeda tapi masih bisa dihimpun dalam satu wadah.
“Boleh jadi ada yang berbeda tapi tidak bisa dihimpun dalam satu wadah. Iya, kan?”.
Quraish Shihab menambahkan, “Saya selalu ingin, ketika menyampaikan sesuatu itu dengan santun. Ada orang yang berkata santun sudah tidak cukup lagi, harus dengan [cara] keras! Ya, silakan masing-masing.”[]
(Tirto/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email