Soeharto menafsir pembabakan sejarah. Jika sebelumnya berjuang memanggul senjata, kini harus merangkul modal.
Kecuali menyampaikan nilai-nilai falsafah Jawa yang dianutnya dan menjabarkan persoalan teknis dalam beberapa urusan, Soeharto jarang terdengar melontarkan gagasan yang berpijak pada konsep-konsep ilmu pengetahuan. Namun, sebuah video yang dimuat di laman Youtube berjudul “Pekan Tabungan Nasional” menunjukkan Soeharto yang menafsir dan membagi babak sejarah Indonesia berdasarkan sudut pandangnya sendiri.
“Kita masih dalam suasana memperingati 50 tahun kemerdekaan Republik Indonesia…50 tahun itu bisa kita bagi menjadi dua periode. Periode 20 tahun (1945 sampai 1965) dan 30 tahun (1965 sampai 1995). Selama 20 tahun itu bisa kita bagi menjadi dua juga (1945 sampai 1950) kita berjuang menghadapi penjajah, setelah pengakuan kedaulatan kita masih harus berjuang menyelesaikan masalah-masalah kekacauan dalam negeri, pemberontakan yang terakhir tahun 1965 pemberontakan dari Partai Komunis Indonesia dan G30S. Alhamdulillah, dengan pertolongan daripada Tuhan, kita bisa menyelesaikan,” kata Soeharto.
Dalam temu wicara Presiden Soeharto pada Acara Perencanaan Gemar Menabung Pelajar Indonesia dan Pekan Tabungan Nasional tahun 1995 tersebut, Soeharto memaknai sejarah secara militeristik, mengabaikan faktor-faktor penentu lainnya di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti dalam soal diplomasi.
“Pada waktu itu, rakyat kita terpanggil untuk berjuang menghadapi penjajah dan berjuang menghadapi pengacau itu. Apa yang diperlukan? Senjata. Yang tidak ada senjata, bambu runcing, pedang, dan lain sebagainya, untuk menghadapi Belanda ataupun menegakkan daripada kemerdekaan ini. Setelah 1965, lahir Orde Baru, kita juga masih berjuang. Tapi perjuangannya bukan menghadapi penjajah, menghadapi kekacauan, tetapi perjuangan kita adalah memerangi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan.
Dari cara pandangnya terhadap sejarah Indonesia masa revolusi, terlihat pula pada bagaimana pelajaran sejarah buat anak sekolah ditulis. Dalam era tahun 1980-an, mata pelajaran PSPB atau Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa mengajarkan sejarah dengan pendekatan yang sangat militeristik. Menonjolkan peran tentara dan mengabaikan peran perjuangan di bidang politik.
Sementara itu kekacauan yang dimaksud oleh Soeharto jelas merujuk kepada peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat. Dalam wawancaranya dengan TVRI di hari pengangkatan jenazah para jenderal, 4 Oktober 1965, Soeharto telah menyimpulkan lebih dulu bahwa aktor dari peristiwa tersebut adalah PKI. Tapi dia tak menyinggung bahwa setelah peristiwa G30S, terjadi pembunuhan massal di berbagai daerah yang menyebabkan tewasnya ribuang anggota dan simpatisan PKI.
Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut tahun 1965 adalah tahun pembatas zaman. “Bila sebelumnya tujuan Indonesia, maka sejak 1965 semua berubah menjadi negara yang berorientasi pada modal asing,” kata Asvi dalam wawancaranya dengan Kompas, 1 Oktober 2009. Bagi Soeharto, modal adalah “senjata” untuk membangun negeri ini.
“Yang dibutuhkan bukan senjata, bukan bambu runcing, bukan golok, bukan rencong. Apa yang dibutuhkan? Satu adalah dibutuhkan kepandaian...ada satu lagi yang sangat penting, ada keterampilan, ada otak, ada kekayaan tanpa ada modal, tidak bisa. Kalau dulu dituntut membawa senjata, kalau sekarang dituntut membawa modal.”
Menurut Soeharto dengan gotong royong menabung maka modal akan terkumpul. Dia bicara begitu tentu saja sesuai tema acaranya: Pekan Menabung Nasional. Dia menjamin, modal yang terkumpul tersebut tidak akan digunakan untuk membayar utang yang mencapai US$100 miliar. “Jadi jangan takut tabungannya digunakan untuk membayar utang, tapi digunakan betul-betul untuk membangun,” kata Soeharto.
Dan sejak awal berkuasa, Soeharto telah merangkul modal. Tepatnya modal asing. Peraturan pertama yang disahkan oleh pemerintah Orde Baru adalah Undang-Udang Penanaman Modal Asing No. 1/1967.
Menurut Baskara Tulus Wardaya dalam Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto, hanya selang beberapa bulan setelah memaksa Presiden Sukarno menandatangani Supersemar, tepatnya pada Juli 1966, Soeharto langsung mempersilakan IMF (Dana Moneter Internasional) untuk masuk ke Indonesia. Dilanjutkan pertemuan dengan negara-negara Barat di Tokyo pada 19 September 1966 guna menentukan arah ekonomi Indonesia. Pertemuan macam ini sekaligus memperlancar jalan bagi masuknya modal asing, seperti PT Freeport yang pada April 1967 mulai membuka pertambangan di Papua.
“Sikap ramah tersebut (Soeharto terhadap modal asing, red) bukan melulu dimaksudkan untuk mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat,” tulis Baskara, “melainkan juga bagi kemakmuran keluarga dan kelompoknya.
Simak Videonya:
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus menyaksikan Presiden Soeharto menandatangani nota kesepakatan bantuan IMF untuk Indonesia menghadapi krisis moneter, di Jalan Cendana Jakarta, 15 Januari 1998.
Kecuali menyampaikan nilai-nilai falsafah Jawa yang dianutnya dan menjabarkan persoalan teknis dalam beberapa urusan, Soeharto jarang terdengar melontarkan gagasan yang berpijak pada konsep-konsep ilmu pengetahuan. Namun, sebuah video yang dimuat di laman Youtube berjudul “Pekan Tabungan Nasional” menunjukkan Soeharto yang menafsir dan membagi babak sejarah Indonesia berdasarkan sudut pandangnya sendiri.
“Kita masih dalam suasana memperingati 50 tahun kemerdekaan Republik Indonesia…50 tahun itu bisa kita bagi menjadi dua periode. Periode 20 tahun (1945 sampai 1965) dan 30 tahun (1965 sampai 1995). Selama 20 tahun itu bisa kita bagi menjadi dua juga (1945 sampai 1950) kita berjuang menghadapi penjajah, setelah pengakuan kedaulatan kita masih harus berjuang menyelesaikan masalah-masalah kekacauan dalam negeri, pemberontakan yang terakhir tahun 1965 pemberontakan dari Partai Komunis Indonesia dan G30S. Alhamdulillah, dengan pertolongan daripada Tuhan, kita bisa menyelesaikan,” kata Soeharto.
Dalam temu wicara Presiden Soeharto pada Acara Perencanaan Gemar Menabung Pelajar Indonesia dan Pekan Tabungan Nasional tahun 1995 tersebut, Soeharto memaknai sejarah secara militeristik, mengabaikan faktor-faktor penentu lainnya di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti dalam soal diplomasi.
“Pada waktu itu, rakyat kita terpanggil untuk berjuang menghadapi penjajah dan berjuang menghadapi pengacau itu. Apa yang diperlukan? Senjata. Yang tidak ada senjata, bambu runcing, pedang, dan lain sebagainya, untuk menghadapi Belanda ataupun menegakkan daripada kemerdekaan ini. Setelah 1965, lahir Orde Baru, kita juga masih berjuang. Tapi perjuangannya bukan menghadapi penjajah, menghadapi kekacauan, tetapi perjuangan kita adalah memerangi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan.
Dari cara pandangnya terhadap sejarah Indonesia masa revolusi, terlihat pula pada bagaimana pelajaran sejarah buat anak sekolah ditulis. Dalam era tahun 1980-an, mata pelajaran PSPB atau Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa mengajarkan sejarah dengan pendekatan yang sangat militeristik. Menonjolkan peran tentara dan mengabaikan peran perjuangan di bidang politik.
Sementara itu kekacauan yang dimaksud oleh Soeharto jelas merujuk kepada peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat. Dalam wawancaranya dengan TVRI di hari pengangkatan jenazah para jenderal, 4 Oktober 1965, Soeharto telah menyimpulkan lebih dulu bahwa aktor dari peristiwa tersebut adalah PKI. Tapi dia tak menyinggung bahwa setelah peristiwa G30S, terjadi pembunuhan massal di berbagai daerah yang menyebabkan tewasnya ribuang anggota dan simpatisan PKI.
Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut tahun 1965 adalah tahun pembatas zaman. “Bila sebelumnya tujuan Indonesia, maka sejak 1965 semua berubah menjadi negara yang berorientasi pada modal asing,” kata Asvi dalam wawancaranya dengan Kompas, 1 Oktober 2009. Bagi Soeharto, modal adalah “senjata” untuk membangun negeri ini.
“Yang dibutuhkan bukan senjata, bukan bambu runcing, bukan golok, bukan rencong. Apa yang dibutuhkan? Satu adalah dibutuhkan kepandaian...ada satu lagi yang sangat penting, ada keterampilan, ada otak, ada kekayaan tanpa ada modal, tidak bisa. Kalau dulu dituntut membawa senjata, kalau sekarang dituntut membawa modal.”
Menurut Soeharto dengan gotong royong menabung maka modal akan terkumpul. Dia bicara begitu tentu saja sesuai tema acaranya: Pekan Menabung Nasional. Dia menjamin, modal yang terkumpul tersebut tidak akan digunakan untuk membayar utang yang mencapai US$100 miliar. “Jadi jangan takut tabungannya digunakan untuk membayar utang, tapi digunakan betul-betul untuk membangun,” kata Soeharto.
Dan sejak awal berkuasa, Soeharto telah merangkul modal. Tepatnya modal asing. Peraturan pertama yang disahkan oleh pemerintah Orde Baru adalah Undang-Udang Penanaman Modal Asing No. 1/1967.
Menurut Baskara Tulus Wardaya dalam Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto, hanya selang beberapa bulan setelah memaksa Presiden Sukarno menandatangani Supersemar, tepatnya pada Juli 1966, Soeharto langsung mempersilakan IMF (Dana Moneter Internasional) untuk masuk ke Indonesia. Dilanjutkan pertemuan dengan negara-negara Barat di Tokyo pada 19 September 1966 guna menentukan arah ekonomi Indonesia. Pertemuan macam ini sekaligus memperlancar jalan bagi masuknya modal asing, seperti PT Freeport yang pada April 1967 mulai membuka pertambangan di Papua.
“Sikap ramah tersebut (Soeharto terhadap modal asing, red) bukan melulu dimaksudkan untuk mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat,” tulis Baskara, “melainkan juga bagi kemakmuran keluarga dan kelompoknya.
Simak Videonya:
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email