Seorang Ibu memberikan testimoni yang cukup mencengangkan tentang gerakan radikal yang menunggang Islam, melalui pengajian. Berikut ini testimoni Kalis Mardiasih dalam sebuah rangkaian cuitan dari akun twitter @mardiasih.
Dulu saya pernah agak lama ikut pengajian di komunitas ekstremis di Solo, dan memutuskan untuk benar-benar berhenti ketika melihat anak-anak mereka. Di kompleks tinggal mereka, bagi yang tidak biasa memang agak awkward. Pebisnis kaca mata dan toko-toko yang tak ramah pada pembeli perempuan.
Kadang agak mikir, ya masa niatnya mau jual beli sempet niat mau godain yang jualan sih. Hehe, tapi itu becanda iseng dalam hati saya aja. Saya memutuskan berhenti setelah ikut dalam sebuah seminar mereka, seminar tentang cita-cita peradaban Islam pastinya. Hadirin-hadhiroh dipisah.
Saya duduk diantara ibu-ibu dengan penutup tubuh hitam-hitam. Aduh sebetulnya saya tak suka bicarakan simbol. Mereka tak berhak dijudge dari simbol. Saya melihat anak-anak mereka memakai kaos bertuliskan “we are the enemy of the unbelievers” atau potongan ayat al ghuroba.
Atau tokoh-tokoh Islam yang dalam risalahnya terkesan pemberani seperti Umar atau Khalid Bin Walid, dengan quote-quote yang nuansanya memang maju ke gelanggang. Sepanjang seminar takbir takbir digemakan, dan dipenuhi istilah kafir, munafiq dan lain-lain. Anak-anak polos itu, yang memakai kaos-kaos itu, tentu tak paham.
Di kala ibu mereka menyimak dan bertakbir, saya ajak mereka bermain-main hingga sedikit berisik, saya tatap mata polosnya. Saya lihat kaosnya lagi. Saya merasa prihatin betapa anak-anak yang harusnya punya hak penuh pada kemerdekaan belajar dan menalar, sudah dikekang haknya sedari kecil.
Di komunitas itu, anak-anak itu akan segera dikirim ke sekolah dan pengajian yang sesuai misi ideologi orangtuanya. Mereka ekslusif sejak pikiran. No TV, no music. Banyak yang merasa dijauhi tetangga dengan dalih ayat Al Ghuroba padahal mereka sendiri yang memilih menjadi asing.
Dalam seminar itu juga mereka menceritakan kawan-kawan mereka yang telah jihad ke Palestina, Suriah, dan lain-lain. Mereka membaca doa-doa yang mungkin memang tulus. Mungkin dari kegiatan-kegiatan yang semacam ini juga hingga istri-istri mereka merasa bahwa suami yang pergi ke gelanggang jihad perang adalah baik dan kewajiban.
Tapi kita sering salah melihat mana ekstremis atau bukan, seolah yang beda kita sebut ekstremis. Kita juga harus adil dan buat approach baru. Ada teman-teman dari Jamaah Tablig misal, yang jika benar-benar mendalami pengajiannya, mereka memang menjadi pribadi yang lembut, tawakkal. Meski kesannya ekslusif.
Saya pikir kita mesti adil menetapkan batas. Bahwa apa yang kita lawan adalah segala bentuk kekerasan dan segala doktrin yang menuju ke arah itu. Tapi memang dilema. Karena seperti kondisi di atas, doktrin itu dibentuk bahkan sejak kecil. Dan dilandasi ayat-ayat yang melegitimasinya.
Sebagai dewasa yang merasa moderat (tathoruf), lawan dari ghuluw (berlebih-lebihan), kita mesti punya approach yang indah buat mereka. Jika kita nggak suka sama orangtuanya karena ekslusif, ingatlah bahwa para orangtua itu punya anak-anak tak berdosa yang kita mesti sayangi.
Menyudutkan komunitas mereka, memusuhi komunitas mereka, artinya juga membunuh banyak generasi yang kini bertumbuh di dalamnya. Jika kita bertemu mereka di jalan dan sama-sama membawa anak atau ponakan, mungkin kita bisa pakai strategi biarlah anak-anak itu saling berkenalan.
Menggunakan bahasa kita-mereka ini mungkin juga bentuk polarisasi, I apologize for this. Intinya, jangan jauhi. Dekati dengan cinta. Bikinlah strategi agar anak-anak itu punya dunia lain yang saat ini dibuat ekslusif oleh orang-orang dewasanya.
Mengundang mereka ke acara di taman baca, ruang publik? Atau ke hajatan ulang tahun? Ciptakan kesempatan bagi anak-anak itu melihat dunia lain. Semoga kita bersama jadi generasi yang tidak ingin membuat lebih banyak lagi warisan luka untuk adik, anak dan cucu-cucu kita kelak.
(Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email