Pesan Rahbar

Home » » Kiai Maja: Ahli Strategi Militer dan Perang Gerilya

Kiai Maja: Ahli Strategi Militer dan Perang Gerilya

Written By Unknown on Friday 25 August 2017 | 22:59:00


Kiai Maja (Modjo) lahir pada tahun 1792 (ada pula yang menyebut 1782) di Desa Mojo, Pajang, dekat Delanggu, Surakarta, dengan nama Bagus Khalifah. Ayahnya, Iman Abdul Ngarif, adalah seorang ulama terkenal yang dianugerahi tanah perdikan di Desa Baderan dan Mojo, Pajang. Ibunya, Raden Ayu Mursilah, adalah adik perempuan Sultan Hamengku Buwono III dan masih bersaudara sepupu dengan Pangeran Diponegoro. Kiai Maja kemudian mewarisi kedua desa perdikan tersebut dari ayahnya, termasuk pesantren, sehingga kemudian dikenal dengan nama salah satu desa ini.

Kiai Maja tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga besar pesantren dan komunitas santri yang sangat disegani di Kraton Surakarta maupun Yogyakarta. Banyak putra-putri bangsawan Solo yang nyantri di pesantrennya. Kiai Maja juga menikah dengan Raden Ayu Mangkubumi, istri dari Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro, yang sudah diceraikan.

Ketika Perang Jawa berkecamuk, beliau mendukung sepenuhnya, termasuk memobilisasi para sanak keluarga dan sebagian besar pengikutnya di Pajang. Kontribusi Kiai Maja dalam peperangan sangatlah besar. Seorang mata-mata berkulit Jawa dikirim khusus oleh Belanda untuk mengetahui rahasia kesuksesan pasukan Diponegoro dalam beberpa pertempuran. Temuan mata-mata Kompeni yang menyusup ke dalam pasukan Diponegoro itu sangatlah mengejutkan: rahasia kekuatan Diponegoro ada pada diri seorang kiai pesantren bernama Kiai Maja, pemikir stategis dan jenderal perang gerilya Diponegoro — yang selevel Napoleon, Mao Tse Tung dan Che Guevara.

Selama hidupnya Kiai Maja dikenal sebagai seorang ulama yang mobilitasnya sangat tinggi. Mengikuti tradisi santri kelana, Kiai Maja punya banyak relasi dan jaringan dengan pusat-pusat keagamaan dan politik di Jawa hingga ke Bali. Beliau pernah menjadi penghubung antara Kraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Jaringan orang-orang pesantren dengan Bali, meski berbeda agama dan kepercayaan, sudah terbangun sejak abad 18. Dibuktikan dari adanya ikatan politik dan kebudayaan di antara mereka, misalnya perlindungan bagi kalangan santri yang lari ke Bali untuk menghindari penangkapan Kompeni hingga pemberian kebebasan beragama bagi komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Bali.

Saking gerahnya pemerintah kolonial Inggris, penguasa Jawa saat itu, Kiai Maja sempat ditangkap pada Juli 1812. Pembatasan kemudian diberlakukan kepada orang-orang pesantren yang sebelumnya bisa leluasa keluar-masuk kraton. Mobilitas Kiai Maja dan jejaringnya ini, yang tidak dimiliki Diponegoro, kemudian menjadi obyek penjinakan Belanda untuk mematahkan perlawanan orang-orang Jawa.

Akibat kelicikan Belanda, pada tahun 12 November 1828 Kiai Maja ditangkap di Desa Kembang Arum, utara Yogyakarta. Ini menandai titik balik perjuangan Diponegoro, sampai akhirnya redup pada 1830. Pasukan Kiai Maja lalu digiring ke Klaten, sambil menyanyikan bersama-sama lagu-lagu keagamaan yang menunjukkan tanda kemenangan. Mereka lalu dibawa ke Batavia, ditahan hingga setahun lamanya.

Di awal 1830, Kiai Maja bersama lebih dari 60 orang pendampingnya dibuang ke Minahasa. Isteri beliau menyusul setahun kemudian. Kebanyakan pendampingnya itu punya posisi strategis dalam bidang kemiliteran dan keagamaan dalam pasukan Diponegoro, dari gelar tumenggung, dipati, basah hingga kiai. Mereka tiba di Tondano dan mendirikan Kampung Jawa, yang hingga kini masih bertahan dengan tradisi Ahlussunnah wal-Jma’ahnya. Dari sumber-sumber terkini, Kiai Maja disebut sebagai “Mbah Guru”atau “Kiai Guru”. Sang kiai wafat pada 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun.

Pandangan nasionalismenya, “Amrih mashlahate kawulanίng Allah sedaya sarta amrίh karaharjane negari lestarίne agamί Islam” (Berjuang untuk kepentingan kemaslahatan para hamba Allah semua, untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan kelestarian agama Islam), adalah salah satu warisan penting Kiai Maja selaku ideolog Perang Diponegoro kepada generasi berikut bangsa ini.

Teks ini tercantum dalam satu manuskrip yang tersimpan pada keluarga Kiai Maja di Jakarta. Manuskrip berbahasa Jawa huruf pegon ini ditulis oleh Kiai Maja sendiri selama pembuangannya di Tondano, Minahasa, sekitar awal tahun 1833.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: