Sesaat setelah pidato pertama Anies Baswedan diucapkan Senin malam (16/10), pembicaraan di publik ramai soal polemik penggunaan kata “pribumi”. Padahal, Pilkada DKI Jakarta kemarin sudah sangat panas dengan polemik SARA.
Partai Solidaritas Indonesia DKI Jakarta sebagai partai yang menjunjung toleransi dan sebagai partai oposisi yang konstruktif terhadap pemerintahan Anies-Sandi — mengecam keras pernyataan Gubernur Anies yang tidak mencerminkan jiwa kepemimpinan dan Bhinneka Tunggal Ika.
Partai Solidaritas Indonesia Wilayah DKI Jakarta berfokus kepada kapasitas Anies yang merupakan lulusan PhD (Doctor of Philosophy) — setingkat S3 di bidang Ilmu Politik dari Amerika, mantan rektor termuda Indonesia yang menjabat di Universitas Paramadina, pendiri Gerakan Indonesia Mengajar yang pluralistis, dan mantan Menteri Pendidikan di Kabinet Kerja.
PSI Jakarta mempertanyakan penggunaan istilah “pribumi” di dalam pidato Anies:
“Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, “Itik se atellor, ajam se ngeremme.” Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain.”
Segar dalam ingatan kita, penggunaan kata pribumi sering ditemui semasa peristiwa Mei 1998, dan juga semasa kampanye Pilkada DKI 2017 lalu. “Pribumi” digunakan pada masa-masa krusial dalam politik untuk menciptakan tensi. Presiden Habibie bahkan akhirnya mengeluarkan Instruksi Presiden RI No 26 Tahun 1998 untuk “Menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non-pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.”
PSI Jakarta sebagai partai yang tampil membela toleransi di wilayah ibukota negara, menggarisbawahi ketidakpantasan Anies Baswedan sebagai kepala daerah yang baru dilantik dalam menggunakan istilah pribumi.
Sejarah Indonesia memperlihatkan, bahwa labelisasi “pribumi” dilakukan oleh Belanda dengan tujuan membeda-bedakan perilaku dan hak di antara warga yang hidup dan tinggal di Indonesia. Di bangku Sekolah Dasar, kita mengenal hal ini sebagai divide et impera, atau praktek politik pecah belah. Belanda membedakan warga Indonesia menjadi Golongan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi.
Anies Baswedan sendiri pernah dicap sebagai salah satu intelektual yang mencitrakan diri sebagai “tokoh pluralis” dan cinta keberagaman. Ini terlihat dari keaktifan Anies mendirikan beberapa gerakan sosial yang mengajak anak-anak muda terlibat dengan landasan pemikirannya soal “Tenun Kebangsaan”.
Anies saat ini seolah menikmati ombak akibat polarisasi agama. Padahal, dahulu Anies lah yang menggagas soal “Tenun Kebangsaan”. Baginya, Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara. Ia mengilustrasikan Republik ini sebagai sebuah tenun kebangsaan yang dirajut dari kebhinnekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Kekerasan atas nama apapun akan merusak tenun tersebut.
Sekarang, Anies sendiri yang malah merobek tenun tersebut. Bahkan ia dengan lantang menyebut pribumi. Sikap ini semakin memperbesar perbedaan atas nama suku bangsa, yang dahulu justru dilakukan oleh penjajah untuk melanggengkan kekuasaannya di Bumi Pertiwi. Berikut tiga penyataan sikap PSI Jakarta atas pernyataan soal pribumi Anies:
Poin Pertama. PSI Jakarta tidak sepakat dengan Anies Baswedan yang menggunakan istilah pribumi. Sebuah istilah usang zaman kolonial, yang sering didaur ulang untuk politik praktis dan membangkitkan tensi antar golongan di Indonesia. Yang lebih memprihatinkan adalah istilah usang ini keluar dari mulut Anies Baswedan sendiri, Gubernur DKI Jakarta dan tokoh pluralis.
Anies juga tidak seharusnya mendiskreditkan kata “pribumi”, mengingat jika kita telaah dari sejarah — nenek moyang bangsa Indonesia sendiri berasal dari berbagai wilayah di luar Nusantara. Pemetaan DNA dari Lembaga Eijkman menunjukkan tak ada etnis sepenuhnya murni asli penghuni nusantara sejak ribuan tahun lalu. Kenapa Pemimpin Jakarta sendiri malah menggunakan terminologi rasis tersebut? Kata “pribumi” yang ada di Indonesia lebih bersifat politik dibanding genetik.
Kakek Anies sendiri, AR Baswedan adalah keturunan Arab yang sempat berjuang melawan Belanda melalui medium tulisan di koran bernama Tionghoa, “Sin Tit Po”. AR Baswedan juga adalah pendiri Partai Arab Indonesia, yang didirikan pada 1934, atau enam tahun sesudah Sumpah Pemuda. Pada masa kolonial Belanda. Kakek Anies yang keturunan Arab juga termasuk di dalam golongan Timur Asing. Bukan golongan pribumi, jika maksudnya adalah orang Indonesia asli.
Poin Kedua. Di mata PSI Jakarta, Anies sudah mengingkari janjinya sendiri bahkan di hari pertama menjabat. Anies-Sandi berjanji akan menjadi pemimpin untuk semua kalangan, tapi bukannya merajut kembali tenun kebangsaan yang sudah dikoyak dalam Pilkada, Anies seperti ingin melanjutkan konflik SARA di Jakarta di bawah kepemimpinannya.
Poin Ketiga. PSI Jakarta berpandangan bahwa Anies harus bekerja dengan bukti, bukan dengan bangkitkan hal usang yang membangkitkan intoleransi di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan dengan mencari-cari musuh yang tidak ada. Bukan dengan membuat divide et impera model baru.
Semenjak merdeka, seluruh bangsa Indonesia sudah menjadi raja di rumahnya sendiri. Saatnya kita fokus bekerja mengisi kemerdekaan itu. Melunasi Janji Kemerdekaan, yang dahulu pernah digaungkan dari mulut Anies sendiri. Melunasi Janji Kemedekaan, di mana setiap warga negara mendapatkan perlindungan dan tidak mendiskriminasikan satu sama lain.
PSI berharap Anies tidak menjadi pemimpin kolonial, seperti Belanda dahulu memecah belah Nusantara dengan politik devide et impera, mengkotak-kotakkan orang berdasarkan suku, agama, ras dan mengadu domba untuk terus berkuasa.
Rian Ernest, Wakil Ketua, Partai Solidaritas Indonesia DKI Jakarta
(PSI/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email