Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS BUDAYA. Show all posts
Showing posts with label ABNS BUDAYA. Show all posts

Cak Nun: Semar Itu Gagasan Tentang Nabi Muhammad, Bukan Badut


Budayawan kondang Emha Ainun Najib menyayangkan generasi muda yang tidak dibesarkan bersama wacana wayang. Selain fakor kurikulum sekolah, akselerasi pengetahuan tradisi dan budaya juga tidak didapatkan dalam wacana sosial media. Sedemikian sehingga, aktor Punakawan wayang seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong tidak jarang dipertontonkan seolah-olah hanya sebagai badut di stasiun TV.

“Ada kesalahan luar biasa dalam sejarah kita,” kata Cak Nun lepas menyaksikan pementasan wayang ‘dramatic reading’ bertajuk ‘Mencari Buah Simalakama’ di Mocopat Syafaat, Yogyakarta, 17 Juni lalu.

Salah satu sebabnya, menurutnya, karena masyarakat tidak lagi berangkat dari dirinya untuk melihat dirinya sendiri tapi berangkat dari orang lain. Wayang adalah perumpamaan dan hidup tanpa perumpamaan, kata Cak Nun, tidak akan bisa. Pria yang pernah nyantri di Pondok Gontor ini kemudian menjelaskan mengapa Tuhan senantiasa memberi perumpamaan seperti nyamuk di dalam Al-Qur’an.

“Punakawan itu bukan badut, tapi yang memiliki kematangan ilmu. Mereka (bahkan) berkewajiban membimbing raja-raja,” tegas Cak Nun sebelum mengurai bagaimana Sunan Kalijaga merumuskan sosok Semar, yang kemudian punya tiga anak itu.

Seperti diketahui, sosok Punakawan merupakan hasil modifikasi Sunan Kalijaga yang tidak ditemukan dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Semar contohnya, lanjut Cak Nun, sosok yang merangkum seluruhnya. Semar itu ya dewa, ya wong cilik (rakyat kecil). Kalau ditarik garis, Semar bagaikan garis melingkar. Di atas sebagai dewa, di bawah sebagai wong cilik.

“Karena Semar itu ya mbahnya (moyang) semua dewa. Meski demikian, Semar juga adalah wong cilik yang paling cilik. Anda memiliki kemungkinan (menjadi) salah satu atau keduanya. Dan itulah Muhammad, dimana dia adalah nabi yang paling utama, namun dia juga wong cilik yang paling jelata. Itu karena pilihan (Muhammad sendiri) untuk menjadi jelata,” katanya sambil menegaskan bahwa Semar adalah gagasan tentang insan kamil.

Malam itu, sebagaimana pengamatan IslamIndonesia, pementasan wayang berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam. Sejumlah teaterawan senior Yogyakarta tampil memerankan sejumlah tokoh Punakawan. Dengan gaya khas masing-masing tokoh, wayang yang bertajuk ‘Mencari Buah Simalakama’ ini berbicara tentang fenomena yang sedang terjadi di Indonesia.

“Buah simalakama itu kan dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Saya membayangkan ‘bapak’ itu pemerintah kita ini, dan ibu itu alam (tanah air) yang memberi kita kehidupan. Saat ini bapak dan ibu ini sedang tidak akur, bertentangan terus. Nah, kita, rakyat sebagai anak dihadapkan untuk memilih bapak atau ibu.” kata Simon, salah satu penulis naskah.

Sebetulnya tanpa ‘bapak’, kata Simon, kita juga bisa hidup dari alam yang berlimpah ruah ini. “Malah justru dari adanya pemerintah hidup justru jadi sulit,” katanya disambut tawa dan tepuk tangan oleh hadirin. []


(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Habis Tumpang Terbitlah Kubah

Penggunaan kubah pada masjid meminggirkan arsitektur tradisional di Indonesia. Bagaimana mantan presiden Indonesia, Sukarno dan Soeharto, melihatnya?


Kita cenderung beranggapan bahwa masjid beratap kubah adalah yang paling Islami. Padahal kubah tidaklah identik dengan Islam. Kubah juga belum dikenal pada masa Nabi Muhammad.

Arsitek terkemuka Profesor K.A.C. Cresswell dalam Early Muslim Architecture, mengatakan bentuk pertama Masjid Madinah (Masjid Nabawi) belum menggunakan kubah. Desain masjid pertama umat Islam itu sangat sederhana, “hanya berbentuk segi empat dengan dinding pembatas di sekelilingnya,” tulis Cresswell.

Kubah sudah lama menjadi bagian dari arsitektur lama; biasanya terbuat dari dahan kayu sebagai penyangga yang lalu dipadatkan dengan lumpur atau batu. Semisal Kubur Mikene Greeks di Yunani (Mycenaean Greeks) yang berasal dari abad ke-14 SM. Namun teknik pembuatannya berbeda di masing-masing wilayah. Honai, rumah adat suku Dani di Papua misalnya, menggunakan daun rumbia sebagai penutupnya.

Penggunaan kubah meluas pada abad pertengahan setelah imperium Romawi mulai menggunakan struktur kubah yang diletakkan di atas bangunan berbentuk segiempat. Ini dibuktikan dengan keberadaan bangunan Panthenon (kuil) di Kota Roma yang dibangun pada 118 M-128 M oleh Raja Hadria.

Arsitektur Islam tertua yang menggunakannya adalah Kubah Batu (Qubbat as-Shakrah), tempat suci di dalam Masjid al-Aqsa di Yerussalem, yang dibangun Abdul Malik bin Marwan, khalifah Ummaiyyah, pada 691 M. Ia menjadi monumen Islam tertua yang masih bertahan hingga kini. “Pembangunan kubah itu dimaksudkan untuk mengungguli atap Gereja Sepulchre Suci yang indah,” tulis Phillip K. Hitti dalam History Of The Arabs.

Menurut Taufik Ikram Jamil dalam “Penggalan Kepala untuk Sultan Melayu”, yang dimuat Kompas, 1 Agustus 2003, masjid pertama di Nusantara yang menggunakan atap kubah adalah Masjid Sultan di Riau, yang dibangun 1803, ketika direnovasi Yang Dipertuan Muda VII, Raja Abdul Rahman (1833-1843).

Di Nusantara, masjid umumnya beratap tumpang. Kubah belum dikenal. Penggunaan kubah di Asia Tenggara dimulai setelah Perang Rusia-Turki pada 1877-1878 –antara Rusia, Romania, Serbia, Montenegro, dan Bulgaria melawan Kekaisaran Ottoman– yang mencuatkan ide revitalisasi Islam dan Pan-Islamisme. Saat itu Kekaisaran Ottoman melancarkan gerakan budaya, termasuk pengenalan jenis masjid baru. Gerakan ini bergema di Asia Tenggara. “Masjid-masjid tradisional beratap tumpang digantikan masjid kubah (qubbah) dengan minaret-minaret gaya Timur Tengah atau India Utara,” tulis Peter J.M. Nas dalam Masa Lalu Dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia.

Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, juga merunut dari gerakan reformis atau “pemurnian” Islam atas kebiasaan lama pra-Islam atau sinkretisme yang diambil Islam berabad-abad lampau. Bentuk atap kubah dibawa para kiai/ulama yang naik haji.

“Lambat-laun kubah menjadi simbol arsitektur Islam paling modern, yang seakan-akan wajib ada pada masjid-masjid baru di Asia Tenggara,” tambah Peter J.M. Nas.

Perubahan itu terlihat pada Masjid Baiturrahman di Banda Aceh. Setelah dikuasai dan dibakar sebagian untuk meredam perlawanan rakyat Acheh, Belanda membangun kembali pada 1879 dan rampung dua tahun kemudian dengan tambahan sebuah kubah. Arsiteknya adalah kapten Zeni Angkatan Darat Belanda (Genie Marechausse) de Bruijn. Pembangunan kembali itu, menurut Abdul Baqir Zein dalam Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, merupakan strategi Belanda untuk mengambil hati rakyat Acheh.

Pengaruh arsitektur modern, dengan campurtangan orang Eropa, juga terdapat pada Masjid Tua Palembang, yang dibangun masa kekuasaan Sultan Mahmud Baddaruddin I (1724-1757). Pada abad ke-19, ketika mengunjungi Palembang, komisaris Belanda J.I. van Sevenhoven melihat Masjid Tua Palembang sudah memiliki kubah, yang mungkin ditambahkan setelah bertahun-tahun masjid itu berdiri. Kubah itu, yang terbuat dari daun kelapa, berada di atas menara.

Kubah kemudian menghiasi masjid-masjid di Nusantara, sebagaimana ditunjukkan Peter J.M. Nas. Dalam lukisan cat air bertahun 1822 karya J.W. van Zanten dan sebuah karya litografi tanpa warna dari Le Moniteur des Indes-Orientalis et Occidentalis (1846-1849), menara masjid Banten yang menyerupai mercusuar digambarkan mempunyai kubah. Pijper dalam Studien over de geschiedenis van de Islam, menduga masjid pertama di Jawa yang menggunakan kubah ada di Tuban, yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada 1894. Masjid Agung Ambon, yang dibangun pada 1837, dihiasi kubah. Di Kudus, sebuah beranda ditambahkan pada Masjid Al-Aqsa pada 1933 dilengkapi kubah yang sangat besar.

Kubah menjadi bagian arsitektur yang identik dengan masjid-masjid di Nusantara, hal yang disesali Pijper karena punahnya “gaya arsitektur Indonesia kuno nasional.”

Sukarno, lulusan Technische Hoogeschool di Bandung, awalnya bukanlah pengagum kubah. Ketika dia berada di pengasingan di Bengkulu pada 1939 hingga 1942, dia merancang Masjid Jamik beratap tumpang susun tiga di Bengkulu. Tapi kemudian dia mulai terpengaruh olehnya. Ketika Indonesia menggelar Konferensi Asia-Afrika pada 1955, Presiden Sukarno menginstruksikan untuk mengganti atap tumpang Masjid Agung Bandung, yang dibangun pada 1810, dengan kubah. Karena Bandung akan menjadi pusat perhatian dunia, tulis Peter J.M. Nas, “Sukarno menganggap sebuah masjid beratap tumpang tidak pantas dalam menggambarkan bangsa Islam modern”.

Sukarno juga mendorong arsitektur yang tak terikat pada masa lalu dan wawasan sempit bangsanya. Ini terlihat pada Masjid Istiqlal, dengan arsitek Frederich Silaban, seorang Nasrani, yang dibangun pada 1961.

Penggantinya, Soeharto, kebalikannya. Ia seorang pengagum nilai-nilai dan tradisi Jawa. Ketika proyek Masjid Istqlal hendak diteruskan, sempat terhenti karena krisis politik dan transisi kekuasaan, tampaknya Soeharto keberatan dengan penggunaan kubah. Tak heran jika Silaban senang ketika Soeharto akhirnya menyetujui semua rancangannya. “Saya meminta pada Presiden Soeharto agar soal kubah tidak ditawar-tawar,” kata Silaban, seperti dikutip Tempo, 27 Agustus 2007. Masjid Istiqlal diresmikan pada 1978.

Soeharto juga meminta agar kubah Masjid Agung Bandung dikembalikan lagi ke atap tumpang pada 1970. Alasannya, mengembalikan jatidiri kebudayaan nasional. Soeharto lalu mendorong pembangunan masjid bergaya tradisional, yang didanai Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP). Sejak berdiri hingga 2007, menurut buku Pengabdian 25 Tahun YAMP, yang diterbitkan yayasan tersebut, sudah berdiri 960 masjid. Masjid-masjid itu –yang bentuknya sama, tak peduli dibangun di Jawa atau di Papua, dengan Masjid Agung Demak sebagai prototipe– beratap tumpang tiga susun. Soeharto jatuh, penggunaan kubah kembali populer.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kenang Sunan Sendang Duwur, Warga Lamongan Gelar Pawai Ketupan


Warga pesisir Lamongan menggelar pawai gunungan ketupat yang diarak mulai Paciran menuju ke Tanjung Kodok yang berada di dalam Wisata Bahari Lamongan. Tradisi ini diperingati sebagai bentuk syukur dan peristiwa pemindahan masjid sendang duwur dari Jepara yang dibawa secara utuh oleh Sunan Sendang Duwur.

“Ini bagian dari upaya kami, Pemkab Lamongan untuk melestarikan tradisi masyarakat Lamongan. Apalagi tradisi kupatan di masyarakat pantura ini memiliki makna filosofi yang tinggi,” ujar Bupati Lamongan Fadeli di Wisata Bahari Lamongan Tanjung Kodok Lamongan (2/7) seperti dilansir portal resmi Pemkab.

Acara Gebyar Ketupatan itu diawali dengan defile perahu hias nelayan Pantura. Dilanjutkan dengan acara seremonial dan rebutan gunungan ketupat.

Kenduri kupat, yakni makan beramai-ramai kupat dengan berbagai sayur dan olahan lauk oleh pejabat dan seluruh masyarakat pantura Lamongan menjadi penanda puncak acara tersebut.

Dalam acara itu, kupat buatan nelayan dengan menilai keunikan bentuk, hiasan perahu defile, komposisi dan rasa ketupat saat dicampur dengan lauk pauk juga dilombakan.

Sementara menurut penyaji sejarah kupatan, Hidayat Iksan, tradisi Riyoyo Kupat (Hari Raya Ketuapat) itu telah menjadi kebiasaan turun temurun masyarakat Paciran dan sekitarnya.

Dikatakannya, di Riyoyo Ketupat itu mereka melakukan kebiasaan besiar, mengunjungi sanak famili, tempat bersejarah di Makam Sunan Drajat dan Sunan Sendang Dhuwur dan lainnya.

“Masjid (sendang duwur dari Jepara) ini masih tetap ada dan tradisi ini dilanjutkan masyarakat dengan bersyukur secara bersama-sama,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lamongan Chairil Anwar seperti dikutip detik.com, 2 Juni.[]

(Detik-News/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain)

‘Pengantin Sahur’, Tradisi Unik Warga Indragiri Hilir Saat Ramadhan


Masyarakat di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau memiliki tradisi unik di bulan Ramadhan. Mereka menggelar festival ‘Pengantin Sahur’.

Ramadhan tahun ini, acara ‘Pengantin Sahur’ digelar masyarakat di Desa Pulau Palas Kecamatan Tembilahan Hulu, Minggu (11/6/2017) menjelang sahur. Ribuan warga menyaksikan tradisi turun temurun sejak era tahun 70-an yang selalu digelar saat bulan puasa itu.

Kapolres Indragiri Hilir, AKBP Dolifar Manurung, Waka Polres Kompol Azwar beserta jajarannya ikut bergabung dengan ribuan masyarakat yang meramaikan pawai budaya itu.

Budaya ‘Pengantin Sahur’ ini bertujuan untuk membangunkan warga agar tidak telat makan sahur. Tradisi ini, diramaikan 12 pasangan pengantin dari berbagai utusan desa.

Meski kedua pengantin adalah laki-laki, tapi tetap saja dirias tak ubahnya sepasang pengantin asli. Selain dirias bidan pengantin, setiap pasangan juga mengenakan baju pengantin.

Setelah dirias apik, mereka pun bersiap bersaing dengan pasangan lainnya di depan tim penilai. Pemenangnya, tentunya akan dilihat dari keserasian tiap pasangan. Di samping itu, pasangan pengantin pria yang dirias paling mirip perempuan, juga menentukan penilaian.

Mereka juga diarak bersama keliling kampung sambil membangunkan sahur. Setiap pasangan pengantin diarak di atas gerobak kecil yang telah diberi roda. Bagian atas gerobak itu dihias mirip tempat pelaminan dengan hiasan pernak-pernik lampu warna-warni. Daya listrik untuk lampu disalurkan lewat genset di belakang gerobak pengantin.

Saat 12 pasangan pengantin ini diarak, ribuan masyarakat menyambut dengan suka cita. Mereka berkeliling kampung dengan diiringi tabuhan gendang.

Kapolres Indragiri Hilir, AKBP Dolifar Manurung yang didaulat masyarakat memberikan sambutan mengatakan, bahwa kegiatan ini suatu hal yang sangat positif.

“Saya berharap tradisi ini bisa menjadi agenda wisata lokal khususnya di saat bulan Ramadhan,” kata Dolifar.

Untuk mengamankan acara, Polres menerjunkan 60 personel dibantu TNI dan panitia setempat.

“Pelaksanaan ini berjalan tertib dan lancar. Ini merupakan tradisi masyarakat setempat yang sangat menghibur warga,” tutup Dolifar.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tujuh Tradisi Unik Ramadhan di Turki


Turki merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di Eropa. Seperti kebanyakan negara lain, Turki juga memiliki tradisi unik ketika bulan Ramadhan tiba. Banyak kegiatan dan tradisi unik dilakukan oleh warga Muslim ketika bulan puasa berlangsung. Inilah tradisi unik bulan Ramadhan di Turki yang tidak ditemui di negara lain. kecuali Indonesia.


1. Membangunkan sahur

Seperti di Indonesia, Muslim Turki memiliki tradisi membangunkan sahur dengan menabuh drum atau bedug berjalan keliling perumahan rumah atau kota. Tradisi ini masih dilakukan hingga kini sebagai ciri khas ketika bulan Ramadhan berlangsung.


2. Toko-toko buka hingga larut malam

Salah satu tradisi warga turki saat bulan Ramadhan berlangsung adalah toko-toko buka hingga larut malam. Muslim Turki banyak melakukan aktifitas di malam hari baik hanya sekedar makan atau belanja. Saat malam tiba kota menjadi ramai dipenuhi warga yang berjalan-jalan dan berbelanja.


3. Tradisi barter makanan dengan tetangga

Salah satu tradisi unik ketika Ramadhan di Turki adalah melakukan barter atau saling menukar hidangan dengan tetangga menjelang berbuka. Tradisi ini bertujuan untuk mempererat silahturahmi bersama tetangga. Selain itu tradisi ini bertujuan untuk menjalin kebersamaan dan berbagi di kalangan Muslim. Sehingga tak ada umat Muslim di Turki yang kelaparan ketika berbuka.


4. Buka bersama

Buka bersama mungkin adalah kegiatan tradisi Ramadhan yang lumrah di Indonesia. Namun ternyata di Turki pun ada tradisi buka bersama. Muslim Turki melakukan buka bersama di teras sekitar masjid maupun di jalanan di sekitar kota. Mereka berbaris berhadapan dan makan bersama warga Muslim lainnya.


5. Takjil gratis

Muslim Turki yang memiliki kelebihan rezeki biasanya menyumbangkan sebagian dana ke pengurus masjid untuk mengelola hidangan pembuka puasa atau biasa disebut takjil untuk dimakan bersama ketika buka bersama.


6. Shalat tarawih berjamaah

Bulan Ramadhan tak lengkap jika tak menjalankan ibadah sunah. Warga Muslim Turki juga melakukan shalat tarawih berjamaah di masjid. Bahkan masjid dipenuhi oleh umat Muslim yang sedang shalat tarawih hingga memenuhi halaman masjid.


7. Makanan khas Ramadhan

Bulan Ramadhan tak lengkap jika ada makanan khas bukan? Turki sendiri mempunyai tradisi hidangan khas Ramadhan yakni Roti Gozleme dan Lavas. Roti merupakan makanan pokok warga Turki yang berbentuk sangat tipis, tak heran jika roti Gozleme dan Lavas selalu ludes terjual saat Ramadhan.

Itulah tujuh tradisi unik saat bulan Ramadhan di Turki, yang sebagiannya tak jauh beda dengan tradisi Ramadhan di Indonesia.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pesan Luhur Tradisi Nyadran: Pada Hakikatnya Semua Manusia Setara


Menjelang kedatangan bulan Ramadan, masyarakat yang tinggal di Jawa Tengah tak lupa berziarah ke makam leluhur. Tradisi ini disebut dengan sadranan atau nyadran. Istilah “Sadran” atau “Nyadran” berasal dari Bahasa Sansekerta sraddha yang artinya keyakinan.

Selain itu Nyadran juga berawal dari kata kerja dalam Bahasa Jawa, (Sadran = Ruwah, Syakban) yang juga dimaknai dengan Sudra (orang awam). Menyudra berarti berkumpul dengan orang awam yang mengingatkan kita akan hakikat bahwa manusia pada dasarnya sama atau setara.

Di sisi lain juga ada yang mengatakan bahwa Nyadran berasal dari kata Sodrun yang berarti Dada atau Hati. Adapun perubahan pengucapannya mungkin dikarenakan lidah masyarakat setempat yang umumnya orang Jawa sehingga istilah-istilah tersebut berubah menjadi “Nyadran”.

Tradisi membersihkan makam leluhur ini biasanya dilaksanakan setiap hari ke-10 bulan Rajab atau tanggal 15, 20, dan 23 Ruwah atau Sya’ban.


Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa bunga telasih. Bunga telasih melambangkan kedekatan hubungan antara peziarah dengan arwah yang diziarahi. Kemudian usai berdoa, peziarah menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti apem, ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, perkedel, tempe dan tahu bacem, dan lain sebagainya.

Salah satu daerah yang masih mempertahankan tradisi ini adalah Boyolali, tepatnya di wilayah Cepogo. Di sini, Sadranan dilangsungkan dengan meriah. Semua masyarakat tanpa terkecuali menyelenggarakan semacam open house dan menjamu siapapun yang bertandang ke rumahnya. Mereka yang hadir tidak hanya datang dari desa setempat. Beberapa di antaranya bahkan datang dari luar daerah menggunakan mobil angkutan seperti pick up dan truk, mobil pribadi, hingga kendaraan bermotor.

Bak pesta besar, para peziarah berduyun-duyun datang sembari membawa tenong berisi bermacam makanan. Tradisi Sadranan diawali dengan bergotong-royong membersihkan makam (besik) dan berdoa untuk para leluhur yang telah meninggal, serta sebagai ajang silaturahmi dengan keluarga besar.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Wayang dan Penyebaran Islam di Jawa


Islam datang ke Nusantara dengan damai. Ajaran Islam diterima masyarakat tanpa ada paksaan. Di Pulau Jawa, Islam disebarkan para ulama yang dikenal dengan julukan Walisongo: Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati, melalui dakwah kultural.

Para wali berdakwah dengan bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat setempat. Ketika masyarakat Jawa amat senang dengan kesenian, para wali menggunakan berbagai kesenian itu sebagai media dakwah.

Salah satu kesenian rakyat yang dijadikan media dakwah adalah wayang. Sunan Kalijaga, misalnya, mengembangkan wayang purwa, yakni wayang kulit bercorak Islam. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan corak batik bermotif burung (kukula) yang mengandung ajaran etik agar seseorang selalu menjaga ucapannya.

Wayang secara harfiah berarti bayangan. Ia merupakan istilah untuk menunjukkan teater tradisional di Indonesia. Ada yang berpendapat, wayang berasal dari India dan rekaman pertama pertunjukan wayang telah ada sejak 930 M.

Namun, ada pula yang meyakini wayang kulit sebagai salah satu dari berbagai akar budaya seni tradisional Indonesia. “Ada yang menginterpretasikan bahwa wayang berasal dari India, meskipun apabila kita menunjukkan wayang kepada orang-orang India, mereka tidak tahu apa-apa,” ujar Dr Suyanto, pengajar ISI Surakarta dalam “Diskusi Wayang, Islam, dan Jawa” di Solo, akhir November lalu.

R Gunawan Djajakusumah dalam bukunya, Pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat, mengungkapkan bahwa wayang adalah kebudayaan asli Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Ada yang berpendapat, kata wayang berasal dari Wad an Hyang, artinya “leluhur”.

Sejatinya, wayang merupakan media yang digunakan Wali Songo untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Cikal bakal wayang berasal dari wayang beber—yang gambarnya mirip manusia dan lakonnya bersumber dari sejarah sekitar zaman Majapahit.

Wayang dinilai sebagai media dakwah Islam yang sukses di Indonesia. Wayang dianggap berhasil sebagai media dakwah dan syiar Islam karena menggunakan pendekatan psikologi, sejarah, pedagogi, hingga politik. Dulu, wayang dipertunjukkan di masjid dan masyarakat bebas untuk menyaksikan. Namun, dengan syarat, mereka harus berwudhu dan mengucap syahadat dulu sebelum masuk masjid.

Memang, wayang kulit merupakan produk budaya yang telah ada sebelum Islam berkembang di Pulau Jawa. Namun, sejak Islam datang dan disebarkan, wayang telah mengalami perubahan. Budaya keislaman dalam wayang kulit purwa tak hanya dijumpai pada wujudnya, tetapi juga pada istilah-istilah dalam bahasa padhalangan, bahasa wayang, nama tokoh wayang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan.

Nama-nama tokoh pewayangan khas Jawa (Punakawan), seperti Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng pun berasal dari bahasa Arab. Setiap tokoh memiliki karakter tertentu, yang memiliki peran sebagai media penyampai syiar dan dakwah Islam pada zaman itu. Tema utama edisi ini secara khusus mengupas tentang peran wayang sebagai media dakwah Islam.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Wayang, Berawal Dari Dakwah Kultural


Sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran sembilan ulama penyebar Islam yang dikenal sebagai Walisongo. Mereka mengembangkan agama Islam antara abad ke-14 dan ke-16 M, menjelang dan setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Para wali itu tak hanya berperan sebagai mubaligh yang mengajarkan kaidah Islam kepada masyarakat dan pembesar kerajaan, tetapi juga menjadi pemimpin masyarakat dan pendamping raja. Karenanya, mereka diberi gelar Sunan (susuhunan atau junjungan), yaitu gelar para raja di Jawa.

Bukti kebesaran Walisongo terlihat, antara lain, melalui peninggalan-peninggalan mereka berupa bangunan, kesenian, dan tradisi Islam di sepanjang pesisir Jawa, mulai dari Gresik (Jawa Timur), Demak (Jawa Tengah), hingga Cirebon dan Banten (Jawa Barat).

Dalam menyiarkan agama Islam, Walisongo menggunakan cara yang tak dirasakan asing oleh masyarakat. Agar dakwah mereka mudah diterima, para Walisongo ini mempelajari bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat setempat.

Karena masyarakat Jawa dikenal sangat menyukai kesenian, para wali itu menggunakan berbagai bentuk kesenian tradisional sebagai media dakwah dengan menyisipkan napas Islam di dalamnya. Di antaranya dengan menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan wayang dengan lakon Islami.

Sunan Kalijaga, misalnya, mengembangkan wayang purwa, yakni wayang kulit bercorak Islam. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan corak batik bermotif burung (kukula) yang mengandung ajaran etik agar seseorang selalu menjaga ucapannya.

Dakwah kultural semacam itu juga dilakukan oleh Sunan Drajat melalui tembang Jawa ciptaannya yang hingga kini masih digemari, yaitu tembang pangkur. Sementara Sunan Bonang menghasilkan Suluk Sunan Bonang atau primbon Sunan Bonang, yaitu catatan-catatan pendidikan yang dituangkan dalam bentuk prosa. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu, shalat, dan sebagainya.

Walisongo dikenal sangat peka dalam beradaptasi. Cara mereka menanamkan akidah dan syariat Islam sangat memperhatikan kondisi masyarakat setempat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi sebaliknya acara tersebut diisi dengan pembacaan tahlil, doa, dan sedekah.

Demikian juga dengan penggunaan istilah. Sunan Ampel yang dikenal sangat hati-hati, misalnya, menyebut shalat dengan 'sembahyang' yang berasal dari kata sembah dan hyang. Dia juga menamai tempat ibadah dengan langgar, yang mirip dengan kata sanggar.

Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan ciri khas genteng bertingkat-tingkat. Bahkan, di antara bangunan masjid tersebut memadukan corak bangunan Hindu, seperti Masjid Agung Kudus yang dilengkapi dengan menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren, yang menurut sebagian sejarawan, mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik calon pemimpin agama.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Menyebarkan Budaya Intizhar Dalam Nishfu Sya’ban


Musuh-musuh Islam berupaya keras untuk mencegah tersebarnya budaya Mahdawiyat di tengah-tengah masyarakat.

Shabestan News Agency melaporkan dari Kermansyah, Ayatullah Muhammad Hujjati dalam sebuah ceramahnya mengucapkan selamat atas datangnya bulan mulia yakni bulan Sya’ban. Ia menjelaskan bahwa Imam Zaman afs merupakan faktor kebaikan dan keberkahan di alam semesta ini.

Ayatullah Hujjati menambahkan, Imam Zaman afs dengan kemunculannya akan menegakkan keadilan di seluruh penjuru dunia ini.

Lebih lanjut Ayatullah Hujjati menuturkan, masyarakat harus berpartisipasi dalam peringatan Nishfu Sya’ban ini karena tujuan dari peringatan ini ialah untuk menyebarkan budaya Intizhar di dalam masyarakat.

Dan jika ikatan hati dan batin kita kepada Imam Zaman afs semakin kuat maka kemunculannya juga akan semakin dekat, oleh karena itu untuk menguatkan ikatan ini para penanti hakiki Imam Zaman afs harus melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan benar.

Dengan menjelaskan falsafah Mahdawiyat maka hal ini bisa membantu masyarakat dalam menghadapi permasalahan akhlaqi yang terjadi saat ini khususnya dalam menghadapi serangan halus yang dilancarkan musuh-musuh, oleh sebab itulah musuh-musuh Islam berupaya keras untuk mencegah tersebarnya budaya Mahdawiyat di tengah-tengah masyarakat.

Orang-orang memiliki kecintaan kepada Imam afs dan mereka juga berpegang teguh padanya di masa kegaiban Imam afs, dengan demikian barang siapa yang ingin berada dalam barisan penolong Imam afs maka harus memiliki makrifat, cinta dan wilayah serta harus memantapkan langkahnya dalam mengikuti Ahlul Bayt as, demikian jelasnya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Peradaban Islam Beri Ciri Khas Seni Budaya Amerika


Bukti keterkaitan seni musik Islam dan musik blues juga dibeberkan oleh jurnalis sekaligus peneliti budaya Islam, Jonathan Curiel. Dalam tulisannya bertajuk Muslim Roots, US Blues, dia menyatakan, publik Amerika perlu berterima kasih kepada umat Islam dari Afrika Barat yang tinggal di Amerika. Sebab, mereka ikut memberikan warna dan ciri khas pada seni budaya bangsa Amerika.

Dalam risetnya, Curiel menemukan keterkaitan lahirnya blues di tanah Amerika dengan Muslim Afrika Barat terjadi pada sekitar tahun 1600 hingga pertengahan 1800 M. Saat itu banyak penduduk kulit hitam dari Afrika Barat yang dibawa paksa ke Amerika dan dijadikan budak.

Menurut para sejarawan, sekitar 30 persen budak dari Afrika Barat yang dipekerjakan secara paksa di Amerika itu adalah Muslim. “Meski oleh tuannya dipaksa untuk meng anut Kristen, namun banyak budak dari Afrika itu tetap menjalankan agama Islam serta kebudayaan asalnya,” jelas Curiel.

Salah satu keteguhan iman mereka terlihat saat mereka tetap melantunkan ayat-ayat Alquran setiap hari. Penggalan sejarah juga mencatat, para pelaut Muslim dari Afrika Barat adalah yang pertama kali menemukan Benua Amerika sebelum Columbus.

Penulis buku American Muslim History: A Chronological Observation, Fareed H Numan, meyakini hal itu. Tak perlu diragu kan lagi, katanya, secara historis kaum Muslimin telah memberi pengaruh dalam evolusi masyarakat Amerika beberapa abad sebelum Christopher Columbus datang.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dasar Patung Pancoran Bertekstur Kasar

Pengaruh pematung India dalam Patung Pancoran.

Edhi Sunarso (dekat anak kecil) dan gurunya, Ramkinkar Baij, di kampus Santiniketan, 1956. (Foto: koleksi Mikke Susanto).

Media sosial kembali hangat dengan ramainya perbincangan mengenai wajah Patung Dirgantara atau Patung Pancoran karya Edhi Sunarso. Fotografer Rudy Sunandar memotretnya menggunakan drone lalu mengunggahnya di instagram pada 8 April 2017. Foto itu memperlihatkan Patung Pancoran yang berotot, dengan mimik keras, dan sorot mata yang tajam memandang ke angkasa.

Edhi Sunarso (1932-2016) dikenal lewat karyanya berupa patung-patung besar di Jakarta, seperti Patung Pancoran di Jakarta Selatan; Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat; dan Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.


Mengapa ketiga patung tersebut bertekstur kasar?

Kepada pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta Mikke Susanto, Edhi Sunarso mengungkapkan alasannya bahwa “tekstur adalah sarana mendekatkan tujuan untuk membentuk maskulinitas, gerak dan berkarakter keras pada patung.”

Pada 1965, Sukarno meminta Edhi untuk membuat patung untuk mengenang jasa para penerbang Indonesia. Patung tersebut akan diletakkan di dekat markas besar AURI kala itu (sekarang Wisma Aldiron). Edhi merealisasikan pesanan Bung Besar dengan membuat patung berbahan perunggu setinggi 11 meter dan seberat 11 ton yang ditempatkan pada dudukan berbentuk angka tujuh setinggi 27 meter. Sayangnya, Sukarno tak sempat meresmikannya karena dijatuhkan dari kekuasaannya.

“Selain harus menggetarkan dan mencatat dinamika gerak, patung itu dibuat dengan mempertimbangkan selera Bung Karno. Sedangkan patung-patung pribadi Edhi sendiri justru dibentuknya dengan pola tekstur yang halus,” ujar Mikke,

Mikke mengungkapkan bahwa pola tekstur kasar karya Edhi dipengaruhi oleh dosennya di India, Ramkinkar Baij (1906-1980). Banyak patung bikinan Baij yang bertekstur kasar seperti patung penyair Rabindranath Tagore di danau Balaton, Hongaria. Baij sendiri salah satu perintis perkembangan seni patung modern India. Dia adalah figur kunci aliran Contextual Modernism India dan pengajar penting di Santiniketan University. Pada 1957, Edhi menerima medali emas untuk The Best Exhibit dalam All India Fine Art & Craft Exhibition yang digelar di Santiniketan.

Saat ini, Victoria Memorial Hall India menggelar eksebisi senirupa bertajuk “Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse” yang diselenggarakan pada 10-30 April 2017. Pameran yang dikuratori Amitava Bhattacharya ini akan menampilkan pula karya beberapa maestro Indonesia seperti Sutan Harahap, Rusli, Affandi, Kartika, dan Edhi Sunarso.

“Bahkan dalam pameran ini akan diterbitkan sebuah buku berjudul Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse yang di dalamnya membahas peran dan eksistensi Edhi Sunarso secara khusus,” pungkas Mikke.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Serat Wedhatama, Puncak Estetika Sastra Jawa Bernuansa Islami


Serat Wedhatama (serat tentang ajaran utama) merupakan salah satu dari karya sastra Jawa terkait ajaran moralistik-didaktis bernuansa Islami.

Serat ini ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegoro IV, Raja keraton Mangkunegaran Solo, yang lantaran olah laku spiritualnya dikenal mumpuni, konon wafat dalam keadaan mencapai maqam kesempurnaan hidup sehingga jasadnya pun sirna tak berbekas.

Serat ini, yang oleh sebagian sejarawan dinyatakan tidak ditulis oleh satu orang, juga dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke 19 dengan karakter mistik yang sangat kuat. Terdiri dari 100 bait Tembang Macapat, dibagi dalam lima tembang sebagai berikut:
1. Pangkur (14 bait, 1 – 14)
2. Sinom (18 bait, 15 -32)
3. Pucung (15 bait, 33 – 47)
4. Gambuh (35 bait, 48-82)
5. Kinanthi (18 bait, 83-100)

Isi Serat Wédhatama merupakan falsafah kehidupan, seperti soal tenggang rasa, tepa selira, bagaimana hidup sebagai manusia yang sempurna, menjalankan ajaran agama dengan bijak, juga tentang bagaimana menjadi manusia yang memiliki watak ksatria.


TEMBANG PANGKUR

(Sembah Raga/Syariat)

1.

Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karanan mardi siwi,
Sinawung resmining kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
Kang tumrap neng tanah Jawa,
Agama ageming aji.

Menahan diri dari nafsu angkara,
karena berkenan mendidik putra
disertai indahnya tembang,
dihias penuh variasi,
agar menjiwai tujuan ilmu luhur,
yang berlaku di tanah Jawa (nusantara)
agama sebagai landasan perbuatan.

2.

Jinejer neng Wedhatama
Mrih tan kemba kembenganing pambudi
Mangka nadyan tuwa pikun
Yen tan mikani rasa,
yekti sepi asepa lir sepah, samun,
Samangsane pasamuan
Gonyak ganyuk nglilingsemi.

Disajikan dalam serat Wedhatama,
agar tidak miskin pengetahuan
walaupun tua pikun
jika tidak memahami rasa (sirullah)
niscaya sepi tanpa guna
bagai ampas, percuma,
pada tiap pertemuan
sering bertindak ceroboh, memalukan.

3.

Nggugu karsaning priyangga,
Nora nganggo peparah lamun angling,
Lumuh ing ngaran balilu,
Uger guru aleman,
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu
Sinamun ing samudana,
Sesadon ingadu manis.

Mengikuti kemauan sendiri,
Bila berkata tanpa pertimbangan (asal bunyi),
Tak mau dianggap bodoh,
senang mendapat pujian
namun bagi yang sudah cermat akan ilmu
justru selalu merendah diri,
selalu berprasangka baik.

4.

Si Pengung nora nglegawa,
Sangsayarda deniro cacariwis,
Ngandhar-andhar angendhukur,
Kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
Si wasis waskitha ngalah,
Ngalingi marang si pingging.

Si Dungu tidak menyadari,
bualannya semakin menjadi-jadi,
mengelantur bicara yang tidak-tidak,
Bicaranya tidak masuk akal,
makin aneh tak ada jedanya.
Lain halnya Si Pandai cermat dan mengalah,
Menutupi aib si bodoh.

5.

Mangkono ngelmu kang nyata,
Sanyatane mung weh reseping ati,
Bungah ingaran cubluk,
Sukeng tyas yen denina,
Nora kaya si punggung anggung gumrunggung
Ugungan sadina dina
Aja mangkono wong urip.

Demikianlah ilmu yang nyata,
sesungguhnya memberikan ketenteraman hati,
Gembira dibilang bodoh,
Tetap gembira jika dihina
Tidak seperti si dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari.
Janganlah begitu caranya orang hidup.

6.

Urip sepisan rusak,
Nora mulur nalare ting saluwir,
Kadya guwa kang sirung,
Sinerang ing maruta,
Gumarenggeng anggereng
Anggung gumrunggung,
Pindha padhane si mudha,
Prandene paksa kumaki.

Hidup sekali saja berantakan,
Tidak berkembang nalarnya tercabik-cabik.
Umpama goa gelap menyeramkan,
Dihembus angin,
Suaranya gemuruh menggeram,
berdengung
Seperti halnya watak anak muda
Sudah begitu masih berlagak congkak.

7.

Kikisane mung sapala,
Palayune ngendelken yayah wibi,
Bangkit tur bangsaning luhur,
Lha iya ingkang rama,
Balik sira sarawungan bae durung
Mring atining tata krama,
Nggon-anggon agama suci.

Tujuan hidupnya hanya sederhana,
Maunya mengandalkan orang tuanya,
Yang terpandang serta bangsawan
Itu kan ayahmu!
Sedangkan kamu dikenal saja belum,
akan hakikat tata krama
ajaran agama yang suci.

8.

Socaning jiwangganira,
Jer katara lamun pocapan pasthi,
Lumuh asor kudu unggul,
Semengah sesongaran,
Yen mangkono keno ingaran katungkul,
Karem ing reh kaprawiran,
Nora enak iku kaki.

Cerminan dari dalam jiwa raga mu,
Nampak jelas jika bertutur kata halus,
Sifat tidak mau kalah, ingin menang sendiri
Sombong besar mulut
Bila demikian itu, disebut orang yang terlena
Puas diri berlagak tinggi
Tidak baik itu, Nak!

9.

Kekerane ngelmu karang,
Kekarangan saking bangsaning gaib,
Iku boreh paminipun,
Tan rumasuk ing jasad,
Amung aneng sajabaning daging kulup,
Yen kapengok pancabaya,
Ubayane mbalenjani.

Yang dibidik ilmu sihir
Rekayasa dari hal-hal gaib
Itu ibarat bedak.
Tidak meresap ke dalam jasad,
Hanya ada di luar daging
Bila terbentur marabahaya,
bisanya cuma menghindari.

10.

Marma ing sabisa-bisa,
Bebasane muriha tyas basuki,
Puruita-a kang patut,
Lan traping angganira,
Ana uga angger-ugering kaprabun,
Abon-aboning panembah,
Kang kambah ing siyang ratri.

Karena itu berusahalah sebisa mungkin,
upayakan berhati baik
Bergurulah secara baik
Yang sesuai dengan dirimu
Ada juga peraturan dan pedoman bernegara,
Menjadi syarat bagi yang berbakti,
yang berlaku siang malam.

11.

Iku kaki takok-eno,
marang para sarjana kang martapi
Mring tapaking tepa tulus,
Kawawa nahen hawa,
Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu
Tan mesthi neng janma wredha
Tuwin mudha sudra kaki.

Hal itu tanyakan, Nak.
Kepada para sarjana yang menimba ilmu
Kepada jejaknya para suri teladan yang benar,
dapat menahan hawa nafsu
Pengetahuanmu adalah sejatinya ilmu,
Tidak mesti dikuasai orang tua,
Bisa juga bagi yang muda atau miskin, Nak!

12.

Sapantuk wahyuning Gusti Allah,
Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,
Bangkit mikat reh mangukut,
Kukutaning jiwangga,
Yen mengkono kena sinebut wong sepuh,
Lire sepuh sepi hawa,
Awas roroning atunggil.

Siapapun yang menerima wahyu Tuhan,
Dengan cemerlang mencerna ilmu tinggi,
Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
Kesempurnaan jiwa raga,
Bila demikian pantas disebut “orang tua”.
Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan).

13.

Tan samar pamoring sukma,
Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
Sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning warana,
Tarlen saking liyep layaping aluyup,
Pindha pesating sumpena,
Sumusuping rasa jati.

Tidaklah samar menyatunya sukma,
Meresap terpatri dalam semadi,
Diendapkan dalam lubuk hati
menjadi pembuka tirai,
Tidak lain berawal dari keadaan antara sadar dan tiada
Seperti terlepasnya mimpi
Merasuknya rasa yang sejati.

14.

Sejatine kang mangkana,
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi,
Bali alaming ngasuwung,
Tan karem karameyan,
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira,
Mulane wong anom sami.

Sebenarnya yang demikian itu
sudah mendapat anugerah Tuhan,
Kembali ke “alam kosong”,
tidak mengumbar nafsu duniawi,
yang bersifat kuasa menguasai.
Kembali ke asal mula.
Oleh karena itu, wahai anak muda sekalian…

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Eksotisme Wisata Glamping Lakeside Rancabali Ciwidey


Anda sedang mencari Informasi Tempat Wisata di Bandung terbaru untuk mengisi waktu libur akhir pakan bersama keluarga , teman atau pasangan ? Cobalah kunjungi objek wisata baru di ciwidey bandung selatan yang satu ini, namanya Glamping Lakeside Rancabali.

Halo sahabat traveler’s pecinta blog informasi Wisata Bandung yang kang dian kelola, jumpa lagi dengan saya yang pada kesempatan kali ini akan mereview salah satu tempat wisata di kabupaten bandung, tepatnya Glamping Lakeside Rancabali Ciwidey.

Nah, seperti apakah daya tarik Glamping Lakeside di rancabali sekitar kawasan wisata ciwidey ini ? apa saja failitas wisata menarik yang ada di sana ? serta berapa harga tiket masuk, jam buka, alamat serta rute jalan menuju ke Glamping Lakeside Bandung ini ? yuk kita simak saja di bawah ini.


GLAMPING LAKESIDE RANCABALI CIWIDEY

Sahabat traveler’s, Glamping Lakeside adalah merupakan sebuah kawasan berkonsep resort wisata di ciwidey terbaru dan bisa dikatakan sangat lengkap dengan aneka fasilitas dan juga paket kegiatan wisata modern berbasis alam di dalamnya.

Objek wisata di ciwidey ini baru bisa jadi mulai dikenal oleh umum pasca soft openingnya salah satu fasilitas restonya tepat pada tanggal 7 juli 2016 yang baru lalu. Masih sangat baru sekali, namun jika melihat daya tarik wisatanya, lokasi wisata ini diprediksi akan menjadi destinasi wisata baru yang sangat rekeomended untuk dikunjungi.

Glamping Lakeside Rancabali Ciwidey ini sebenarnya bisa dikatakan hampir mirip dengan salah satu Resort di bandung selatan lainnya yang tergolong baru, seperti Ciwidey Valley Resort atau tempat wisata yang baru saja review sebelum tulisan ini yaitu Glamping Legok Kondang.

Lokasinya yang berada di paling ujung ciwidey, tepatnya berada di salah satu Tempat Wisata alam di bandung yang terkenal yakni Situ Patenggang, membuat akses ke lokasinya ini sangat mudah untuk dijangkau, baik dengan kendaraan umum apalagi dengan kendaraan pribadi.


DAYA TARIK WISATA GLAMPING LAKESIDE RANCABALI CIWIDEY

Sahabat traveler’s, jika anda bertanya apa sih yang menjadi daya tarik wisata dari salah satu kawasan yang terkenal sebagai salah satu surga tempat wisata alam yang dimiliki bandung ini, sehingga sangat wajib anda kunjungi jika berlibur ke kota berjuluk Paris Van Java ini ?

Nah, jika nda bertanya tentang itu, maka jawabannya adalah sebagai berikut :

1. BERADA DI PUSAT KAWASAN WISATA CIWIDEY

Sahabat traveler’s, bicara tentang kawasaan wisata ciwidey, pasti tidak akan habis kita memebicarakannya, karena memang lokasi wisata di wilayah bandung selatan ini menyimpan sejuta pesona wisata yang terbilang sangat lengkap, tak kalah dengan kawasan Wisata Lembang.

Berada di posisi paling ujung, Glamping Lakesade adalah lokasi wisata yang berada tepat di pinggir salah satu Situ di Bandung yang terkenal karena legendanya, yaitu situ patengang, tepatnya lokasinya berada dekat dengan areal batu cinta yang merupakan maskot dari danau alam di kabupaten bandung ini.

Bagi anda yang berkunjung ke Glamping Lakeside rancabali ciwidey dari arah kota bandung, berarti secara otomatis ketika anda melakukan perjalanan menuju lokasi ini, sejumlah tempat wisata terpopuler di ciwidey akan anda lewati.

Sebut saja mulai dari Kebun Tanaman Obat Sari alam, kemudian Kebun Petik Strawberry, Ciwidey Valley resort, Glamping Legok Kondang, Kawah Putih, Pemandian air panas alami Cimanggu, Kampung Cai & Ranca Upas, Ciwalini, Barusen Hills dan perkebunan teh rancabali serta masih banyak yang lainnya.

So, daya tarik wisata dari tempat ini sudah jelas, lokasi glamping lakeside rancabali ciwidey ini karena berada di pusat kawasan wisata ciwidey, anda akan banyak memiliki banyak pilihan atau alternatif wisata jika ingin menikmati wisata lainnya.


2. EKSOTISME & ROMANTISME SURGA ALAM BUMI PARAHYANGAN

Sahabat traveler’s, daya tarik ke dua dari lokasi wisata Glamping Lakeside Rancabali Ciwidey ini adalah karena tepat berada di dataran tinggi pegunungan ciwidey, maka anda pasti akan takjub dan suka dengan pesona alam yang indah dan alami khas daerah ini.

Dan perlu sahabat ketahui, lokasi di sekitar situ patenggang ini adalah lokasi favorit penulis setiap akhir pekan untuk menikmati hijaunya alam pegunangan yang berselimut kabut putih yang tebal dengan suhu udara yang cukup dingin sambil menikmati minuman khas bandung penghangat tubuh seperti bandrek.

So, bagi anda warga perkotaan besar yang setiap hari disibukan dengan rutinitas kerja yang padat dengan segala masalahnya, dibuat stress dengan ramai dan macetnya jalanan kota dengan polusinya, maka lokasi glamping lakeside ini adalah tempat yang bagus buat refreshing dan sekaligus rileksasi tubuh dan pikiran anda.

Selain 2 daya tarik di atas, di sekitar objek wisata glamping lakeside rancabali ciwidey ini pun, telah banyak juga tersedia berbagai Tempat Penginapan di Ciwidey bandung selatan yang refresentatif, mulai dari Villa, Cottage hingga penginapan berkelas Hotel Di Bandung yang berbintang.

Sebut saja beberapa tempat penginapan yang populer yang berada di sana yang bisa anda pergunakan sebagai tempat bermalam di ciwidey jika anda kehabisan tempat di glamping lakeside seperti Saung Gawir, Argapuri Resort Ciwidey, Kampung Pa’go atau Patuha Resort.


FASILITAS WISATA GLAMPING LAKESIDE RANCABALI CIWIDEY

Nah sahabat traveleres’s, jika di atas saya sudah berikan daya tarik wisata di sekitar Glamping Lakeside, maka berikut adalah daftar sejumlah fasilitas wisata yang bisa anda temukan dan nikmati jika berkunjung ke sana.

Fasilitas yang tersedia di Glamping Lakeside rancabali ciwidey bandung selatan ini terbilang sangat lengkap, meskipun jika dalam waktu sekarang-sekarang anda berkunjung ke sana, ada beberapa fasilitas wisata yang masih belum selesai.

Dan berikut adalah beberapa fasilitas yang diperkirakan akan menjadi sangat populer ke depan yang ada di glamping lakeside :


PINISI RESTO GLAMPING LAKESIDE

Sahabat traveler’s pecinta wisata Kuliner Bandung, anda wajib sekali berkunjung ke salah satu tempat makan yang sangat unik di bandung yang satu ini. kenapa demikian ? dari namanya saja anda pasti sudah tahu, bahwa nama resto ini diambil dari salah satu perahu peninggalan nenek moyang kita yang terkenal sebagai pelaut tangguh, yaitu kapal pinisi.

Ya benar sekali sahabat traveler’s, jika kita sepakat menyebut Pinisi Resto di rancabali ciwidey ini bisa dikatakan unik, karena penampakannya mampu memikat bagi siapa pun yang datang ke sini, karena letak bangunan restaurant di bandung berbentuk kapal pinisi ini tepat berada di atas bukit di pinggir situ patenggang.

Jika anda pernah membaca kisah kapal nabi nuh yang karena banjir besar akhirnya terdampar di sebuah puncak gunung, maka lokasi restoran pinisi ini pun hampir sama demikian, karena berlokasi di dataran tinggi pegunungan ciwidey yang di sekelilingnya berada hamparan hijau perkebunan teh serta air situ patenggang yang luas dan berwarna jernih.

Bangunan restaurant yang berbentuk kapal Pinisi ini terbagi menjadi 2 bagian area, yaitu bagian dalam terdiri dari 2 lantai ruangan restoran. Untuk bagian dalam lantai pertama adalah tempat untuk pesan makanan dengan area makan tertutup serta lantai ke dua adalah juga area makan, namun anda indoor dan outdoor nya.

Sementara bagian luar ruangan lantai satu yang lokasinya tepat berada di bagian dek bangunan resto berbentuk kapal pinisi ini, yang ternyata merupakan lokasi favorit pengunjung untuk menikmati hidangan sambil bisa bebas menikmati indah dan suasana alam sekitar Glamping Lakeside Rancabali Ciwidey.

Oh iya sahabat traveler’s, untuk mencapai lokasi ini pengunjung bisa dengan cara asyik yaitu menaiki perahu yang tersedia di sekitar areal situ patenggang dengan ongkos tarif yang terjangkau pastinya yang tak akan lebih dari Rp.10.000/orang ( kalau tidak mau pakai perahu anda bisa jalan kaki saja, meski jarak dari gerbang ke lokasi lumayan masih cukup jauh )

Satu lagi sahabat, karena lokasi Pinisi Resto ini berada di bagian lokasi yang tinggi, maka anda harus menaiki beberapa anak tangga untuk sampai di lokasi. Tak hanya itu, pas masuknya pun kita akan disambut oleh petugas atau pelayanan resto dan kita harus mengisi deposit uang ke sebuah magnetic card yang nantinya dijadikan sebagai alat transaksi kita di resto ini dengan pengisian minimal Rp.10.000.


MENU KULINER DI PINISI RESTO

Sahabat traveler’s, menu makanan dan minuman yang tersedia di Pinisi Resto ternyata sangat beragam, mulai dari aneka makanan khas western , asia cuisin hingga indonesian food akan berikan anda sensasi makan unik di tempat makan yang enak di bandung yang satu ini.

Makanan atau hidangan yang layak anda jajal atau coba di tempat yang terkenal sangat sejuk di pagi dan siang serta bisa sangat dingin di malam hari ini adalah salah satunya makanan penghangat tubuh seperti sandwich beef teriyaki, atau makanan khas bandung yang juga tersedia.

Untuk minumannya, sudah sangat jelas bahwa menurut penulis Pinisi resto dalah salah satu tempat ngopi di bandung yang sangat pas dan asyik, dimana kita bisa menikmati kopi panas di tengah suasana alam yang indah berhawa dingin, atau minuman yang lainnya it’s amazing place.

Untuk jam buka Pinisi Resto Rancabali Ciwidey bandung ini sendiri operasionalnya adalah setiap hari, mulai senin hingga sabtu, mulai pukul 07.00 hingga malam hari.


TENT RESORT GLAMPING LAKESIDE

Nah sahabat traveler’s, fasilitas objek wisata keren lainnya di kawasan wisata ini adalah apa yang populer dengan sebutan Tent Resort. Apakah itu ? sebuah model tempat penginapan yang ada di rancabali ciwidey bandung berupa tenda mewah dengan konsep glamping alias glamour camping yang sedang ngehits sekarang.

Lokasinya yang persis berada di sekitar tepian situ patenggang tentunya akan membuat kesan yang berbeda dengan lokasi glamping yang kini keberadaannya semakin banyak di bandung, dan yang pasti sensasinya tak kalah dengan Restoran terkenal di lembang ternama yang berkonsep makan dan tidur di hutan Congo Gallery & Cafe

Tent resort adalah jenis penginapan berupa tenda permanen. Kenapa dikatakan denga istilah Glamping atau glamour camping karena di dalam tendanya sudah tersedia fasilitas yang menyerupai hotel bintang seperti kamar mandi yang luas dengan air panas, tempat tidur empuk perlengkapan lainnya.

Satu hal yang menjadi pembeda jika anda menginap di Hotel Unik di Bandung yang ada dikota dengan di sini adalah adanya fasilitas penginapan tent ini berupa balkon yang diperuntukan untuk tempat pengunjung bersantai dengan arah balkon menghadap langsung hamparan air situ patenggang yang bersih dan jernih.


HARGA & TARIF SEWA PENGINAPAN DI GLAMPING LAKESIDE

Sahabat traveler’s, untuk bisa menikmati cara bermalam ala glamping Lakeside Situ Patenggang ini, pengunjung harus menyediakan isi dompet sebesar Rp.1.800.000/ malam. Harga tersebut cukup bersahabat jika anda akan mendapatkan tent resort dengan kapasitas 4 orang.

So, tempat penginapan ala glamour camping di Glamping Lakeside Rancabali Ciwidey bandung selatan ini sangat rekomended untuk anda kunjungi rame-rame, baik bareng anggota keluarga, teman atau jika mau mencari sensasi dengan pasangan, kenapa tidak ?

Catatan : Bagi anda yang tertarik menginap di glamping lakeside ini, anda sebelumnya harus reservasi tempat terlebih dahulu ke nomer 0821-8002-8888 atau ke nomer 0812-2161-8888.

Nah sahabat traveler’s, itulah 3 fasiltas wisata terpopuler yang bisa pengunjung dapatkan dan nikmati jika berlibur ke sana, selian tentunya ada beberapa fasilitas menarik lainnya baik yang sudah beres dibangun maupun belum seperti :
1. Rafting
2. Fun Game
3. Paint Ball
4. Fun Offroad
5. Tea Walk
6. Gathering
7. Bycycle Track
8. Kebun Strawberry


ALAMAT GLAMPING LAKESIDE RANCABALI CIWIDEY

Situ Patenggang, kawasan Rancabali Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat

(Tempat-Wisata-Di-Bandung/Mahdi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Memahami Pentas Wayang Sebagai Gambaran Dunia, Bentuk Harmonisasi Islam-Budaya Jawa


Sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, Jawa memberikan tak sedikit sumbangsih budaya terhadap Indonesia sehingga ia bisa disebut negara kaya budaya. Banyak budaya berasal dari Jawa yang terepresentasikan dalam bentuk tradisi-tradisi, baik tradisi yang berupa hiburan, bersifat spiritual, berbau mistik, maupun kolaborasi dari ketiganya. Contoh tradisi berupa hiburan, misalnya wayang, tari-tarian, dan ketoprak. Tradisi bersifat spiritual, misalnya tradisi keraton. Tradisi berbau mistis, misalnya mantera-mantera, azimat, dan ramalan. Sedangkan wayang adalah salah satu dari sekian banyak varian budaya Jawa yang mengandung ketiganya.

Sebut saja, para mistikus kejawen, mereka menjelaskan bahwa pertunjukan wayang bisa dipahami sebagai gambaran dunia. Allah diibaratkan sebagai dalang dan makhluk ciptaan-Nya (manusia) tak ubahnya seperti wayang yang bisa pentas di pertunjukan karena ada dalang. Ini adalah aura spiritual dari dunia wayang.

Dalam pewayangan pun terdapat kisah-kisah maupun tokoh-tokoh yang sering diharmonisasikan dengan Islam. Sebagai contoh, tokoh pewayangan Yudhistira; salah satu dari lima Pandawa dalam kisah Mahabaratha.

Yudistira lah satu-satunya tokoh pewayangan yang diyakini konversi ke Islam. Dalam mitos konversi ini, Sunan Kalijaga memainkan peran yang penting. Mitos ini menyebutkan Yudistira tidak mau berperang sebab kebebasan dan kemurniannya yang sempurna dari nafsu amarah. Untuk melindunginya, Batara Guru memberinya sebuah azimat yang bernama Serat Kalimasada.

Azimat ini bisa menjauhkan musuh, memelihara stabilitas kerajaan Pandawa, dan bahkan bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Serat Kalimasada itu adalah sebuah teks yang tertulis dalam bahasa asing yang tak terbaca. Karena ia memilki azimat itu ia bisa hidup beberapa tahun setelah para Pandawa lain meninggal, dan ia mengembara sendirian dalam hutan.

Setelah waktu yang begitu lama, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga, yang datang untuk menyebarkan ajaran Islam. Sunan Kalijaga bisa membaca teks tersebut, karena merupakan teks bahasa Arab. Teks tersebut berbunyi: ”Ashadu alla ilaha illa Allah wa’asyhadu anna muhammadar-rasul Allah”.

Dengan membaca berulang-ulang kalimat tersebut dan menerima kebenarannya, Yudistira meninggal sebagai seorang Islam, yang memang telah ditakdirkan oleh Allah.

Orang Jawa mengakui, istilah Jawa Kalimasada berasal dari kata kalimat dan syahada (bersaksi/bersumpah). Syahada bisa digunakan sebagai suatu istilah yang umum dipakai untuk menyebut pengakuan iman. Mengakui kebenaran pernyataan ini merupakan persyaratan minimal untuk menentukan seseorang beragama Islam atau tidak. Sebab, syahadat merupakan rukun Islam yang pertama.

Selain itu, bau mistis bercampur spiritual wayang dapat dilihat dari beberapa penjelasan mistikus Jawa kontemporer yang menyatakan bahwa daftar nabi yang tercatat dalam Al-Qur’an hanyalah nama-nama yang dikenal oleh orang Arab dan Budha, Wisnu dan Krisna adalah nabi-nabi Jawa pra-Islam.

Membahas mitologi wayang, tentu tak lepas dari pengaruh budaya pra-Islam yaitu Hindu maupun Budha. Dan sudah tentu terpengaruh dari budaya India, sebab Hindu-Budha datang di Jawa berasal dari India. Maka tak heran jika kisah-kisah dalam pewayangan Jawa hampir mirip bahkan dikatakan sama dengan cerita-cerita yang ada di India, semisal cerita tentang dewa Krisna, sebenarnya sama dengan cerita pewayangan Jawa mengenai Prabu Kresna yang terangkum dalam kisah Mahabarata. Hanya beda sebutan nama saja yaitu di India disebut Krisna tiba di Jawa mengikuti lidah orang Jawa menjadi Prabu Kresna.

Sebenarnya ada banyak hal positif yang dapat diambil dari pertunjukan wayang. Sehingga dapat menepis anggapan negatif yang ditujukan terhadapnya seperti yang dilakukan para kaum reformis yang menganggap menontot wayang itu adalah perbuatan maksiat.

Sebagai produk budaya, sesungguhnya wayang diakui keunikannya tidak hanya di kalangan masyarakat Jawa saja, namun juga di kalangan masyarakat belahan Asia lainnya.

Von Grunebaum melaporkan bahwa “wayang Cina” adalah bentuk hiburan paling umum di kalangan masyarakat Muslim Timur Tengah pada abda ke-13. Ini berarti wayang pun diakui oleh kaum Muslim tidak hanya subyektif oleh para mistikus kejawen.

Meski banyak perdebatan dan anggapan bahwa pertunjukan wayang maupun tradisi budaya Jawa lainnya kebanyakan bersifat mistis dan dikhawatirkan menimbulkan kesyirikan. Namun bagi masyarakat yang sepakat dengan pelestarian budaya, dengan tegas menyatakan kita sebagai generasi penerus harus melestarikannya. Inilah yang dalam istilah Jawa disebut ”nguri-uri”, upaya berkesinambungan dalam menjaga tradisi yang sudah berlaku dengan cara senantiasa menghargai dan melestarikannya. Dengan upaya itulah diharapkan agar harmonisasi antara agama dan budaya dapat tercipta.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dua Belas Aksara Lokal Bukti Kebinekaan


Salah satu bukti kebinekaan yang dimiliki Indonesia adalah keberadaan 12 aksara lokal. Aksara-aksara itu melengkapi kekayaan sastra dengan nilai-nilai kearifan lokal yang masih membutuhkan penggalian lebih lanjut.

“Aksara lokal membentuk cerita rakyat selain juga dirawat secara lisan. Kekayaan cerita rakyat itu akhirnya membentuk kebinekaan bangsa kita,” ujar Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hurip Danu Ismadi, di Jakarta.

Ke-12 aksara lokal tersebut meliputi aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis/Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci/Rencong. Aksara lokal tidak dijumpai di Papua meskipun wilayah itu memiliki jumlah bahasa terbanyak. Ada 376 bahasa daerah di Papua dari total 646 bahasa daerah di Indonesia yang telah divalidasi.

Sebanyak 73 bahasa daerah lainnya tersebar di Bali dan Nusa Tenggara. Di Maluku terdapat 65 bahasa, Sulawesi memiliki 53 bahasa, dan Kalimantan mempunyai 53 bahasa. Ada 21 bahasa di Sumatera, sedangkan Jawa memiliki 5 bahasa.

Di Jawa, bahasa-bahasa daerah itu meliputi bahasa Jawa, Madura, Sunda, Lampung Cikoneng di Banten, dan Mandarin DKI Jakarta.

“Aksara lokal dan bahasa-bahasa daerah itu membentuk cerita rakyat yang kemudian menjadi sastra yang menyatukan bangsa kita,” ucap Hurip Danu.

Masalah yang ditemui saat ini ialah terjadi kekurangan penyadur cerita rakyat dari karya yang berbentuk sastra lisan.

Ganjar Harimansyah, peneliti pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, mengatakan, tahun lalu, terkait penyelenggaraan sayembara Penyaduran Karya Sastra Lisan.

“Di dalam sayembara ditargetkan 500 karya, tetapi yang masuk hanya 155 naskah. Cerita rakyat yang disadur diutamakan yang masih bertahan secara lisan di masyarakat,” paparnya.

Padahal menurutnya, cerita rakyat lisan masih berlimpah, antara lain di wilayah Papua.

Dari 376 bahasa di Papua, menurut Ganjar, saat ini baru satu bahasa yang sudah disusun sistem aksaranya, yaitu bahasa Tobati, yang digunakan masyarakat di sekitar Jayapura.

Pusat Pengembangan dan Perlindungan sudah menerbitkan buku Sistem Aksara Bahasa Tobati pada tahun 2016. Proses penentuan sistem aksara ini melibatkan penutur yang menyampaikan lambang untuk sesuatu yang diungkapkan dengan bahasa Tobati. Kemudian, bahasa lisan itu ditulis dengan huruf Latin.

“Pelestarian bahasa-bahasa daerah ini, sesuai ketentuan perundang-undangan, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,” terang Ganjar menggarisbawahi pentingnya peran aktif pemerintah daerah dalam upaya pelestarian bahasa daerah sebagai kekayaan budaya dan penopang kebinekaan.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumer-Lain/ABNS)

Kosmologi Sunda Kuna (Sebuah Warisan Kearifan Nusantara)


Kosmologi Sunda Kuna (Sebuah Warisan Kearifan Nusantara)

Oleh: Hung Ahung

Sampurasun

Orang Sunda diketahui sudah memiliki keadaban konsep tersendiri tentang jagat raya. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara konsep Sunda asli dan ajaran agama Hindu. Uraian mengenai hal ini antara lain terdapat dalam naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak 422 yang kini tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua naskah yang ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis sekarang.

Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar Sunda dan barang pusaka lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu kota kerajaan mereka (Pakuan Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang dan diduduki oleh pasukan Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah lontar lainnya, kedua naskah lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A. Kusumadiningrat (memerintah tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum Nasional sekarang) pada perempatan ketiga abad ke-19.

Saat Sowan dan bersujud di Situs Cengkuk, Gunung Halimun

Kosmologi Sunda Kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam, yaitu:

1. Bumi Sangkala (dunia nyata, alam dunia),

2. Buana Niskala (dunia gaib, alam gaib), dan

3. Buana Jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati).

Bumi Sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan mahluk yang memiliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Mahluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Buana Niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dan lain sebagainya. Jumlah dan ragam mahluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada manusia. Buana Niskala yang disebut juga Kahyangan yang terdiri atas sorga dan neraka, serta dimensi-dimensi astral lainnya.

Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai penghuni buana niskala. Di samping itu, penghuni Buana Niskala lainnya di antaranya 9 Dewi, seperti Dewi Tunjung Herang, Dewi Sri Tunjung Lenggang, Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang disebutkan namanya, antara lain Bidadari Tunjung Maba, Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala, Bidadari Sedajati.

Buana Jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan tugas/kewenangannya berbeda.

Kosmologi Sunda dalam Konsep Lingga Yoni

Kosmologi Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya dan tingkat kegaibannya. Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula tinggi-rendah kedudukannya, baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda kuna tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala). Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu:

(1) kembali ke alam dunia dalam wujud yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan, tumbuhan atau benda lainnya sesuai dengan kepercayaan reinkarnasi) dan

(2) menuju alam niskala, bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian mahadewa).

Yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan larangan ajaran agama, ia akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan dengan larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan. Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu didambakan oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia mati mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan situasi dan kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku, dan perbuatannya di alam dunia.


Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling tinggi derajatnya.

Kropak 420 membuka penuturannya dengan pernyataan dan pertanyaan: “Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya, maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?” (Berjalan teriring rasa senang, saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah harus meminta tolong?).


Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala): “Ka saha geusan ngahiras, di sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati mahapandita,” (Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di niskala, terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat mahapandita).

Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup di bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri kehidupan di bumi sakala bahwa: “Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa utama, beunang ku rasa wisisa.” (Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita, terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan mulia).

Ajaran moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara pendeta utama dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah Sanghyang Sri (penjaga alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap mahluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya bagaikan dewa.


Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.

Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi pendeta, janganlah hanya mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan sejati.

Nasihat pendeta utama yang lain adalah: “Mulah cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak ngabigal, mati-mati uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag, pregi ngajuk ngajalanan,” (Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak menghalangi, menggertak merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak berdosa, iri dengki melukai memukul, berani mengawali berutang). Adapun berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut rumput dan berbagai umbi, berbagai dedaunan tak pernah kurang, ilalang arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut sarba beuti, tangtarukan tada kurang, kusa madi sarba pala).

Adapun ciri dan sifat kehidupan di Buana Niskala dan Buana Jatiniskala, tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon, dan mahluk halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak dibatasi oleh keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada teks Kropak 422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna, menurut naskah ini, adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di Kahyangan (surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak yang lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Kalaupun mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus mengalami reinkarnasi di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah dari manusia.

Bahwa yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati) terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan, kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya sendiri. Rumusannya adalah: “Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana premana aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip hurip aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap aing.” (Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri, kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku sendiri, kalaulah itu terlal u berkuasa, sebab kesentosaan kesentosaanku sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku sendiri, ucapan ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).

“Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan aing, hamwa waya nu leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika hanteu nu ngawisisa aing, ka pangikuna aci jatinistmen.” (Ah begitu berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku, tak mungkin ada yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada yang suci lebih dariku, sehingga mustahil ada yang menguasaiku, sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati).


Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud kekuasaannya luar biasa sehingga: “Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana pemaga, na jati tan hana urip.” (Berhasillah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan).

Salah satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi berwujud jenis wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan, menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang Sri dengan ciri-cirinya: “Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu bidito hurip, ti nu hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu alit niskala, ti nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata.” (Dari yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh sejahtera, dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari yang indah halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang sempurna bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).

Di dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa benar itu artinya, jika: “Bayu dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap dihdapan deui, hurip dihuripan deui, hirang dihirangan deui, jati dijatyan deui, niskala diniskalaan deui, alit dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui, talinga ditalingakeun deui, leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun deui.” (Kekuatan diper kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan dirasakan lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi, pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi, sadar disadarkan lagi).

Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di Buana Niskala dan Buana Jatiniskala yang abadi.

Rahayu Rahayu Rahayu

♡ Jro Mangku Danu

*Disarikan dari: Yuganing Raja Kawasa, Milik: Museum Nasional RI

(Ahmad-Samantho/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: