Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS TOKOH. Show all posts
Showing posts with label ABNS TOKOH. Show all posts

Orang Yang Pertama Kali Melengkapi Masjid Nabawi Dengan Listrik


Sejarah Islam memiliki banyak lika-liku yang sangat menarik. Sampai-sampai masalah kapan listrik masuk ke Masjid Nabawi memperoleh perhatian para sejarawan.

Menurut pengakuan seorang sejarawan berkebangsaan Turki, listrik masuk ke Masjid Nabawi sekitar seratus lalu berkat usaha keras para petinggi imperium Utsmaniah Turki.

Begitu hal ini dirilis oleh al-Qirthas News menukil pernyatan Haji Muhammad Uzbek yang dimuat dalam sebuah majalah berbahasa Turki.

Dengan demikian, listrik masuk ke Masjid Nabawi pada sekitar permulaan abad kedua puluh Masehi. Tepatnya pada masa kekuasaan Abdul-Hamid II; yaitu ketika listrik untuk pertama kali ditemukan pada tahun 1880. Listrik baru masuk ke Masjid Nabawi sekitar tahun 1903 Masehi.

Abdul-Hamid II juga membuat jaringan rel kereta api dari Istanbul ke Madinah Munawwarah dengan tujuan mengatasi problem transportasi yang muncul kala itu.

Pada saat peresmian jalur rel kereta api Hijaz, Sultan Abdul-Hamid II memerintahkan supaya Masjid Nabawi dilengkapi dengan saluran listrik guna mempermudah ziarah para peziarah.

Hingga tahun 1922, pelayanan terhadap para peziarah yang dilakukan oleh penguasa Utsmaniah masih terus berlanjut.

Perlu diketahui bersama; pada masa kekuasaan Umar bin Khattab, lentera besar digunakan untuk menerangi Masjid Nabawi. Sebelum masa ini, lilin dan obor sering digunakan untuk menerangi Masjid Nabawi.

(Al-Qirthas-News/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Penerjemah Al-Quran Dalam Bahasa Maori Meninggal Dunia


Shakeel Ahmad Munir, orang yang pertama kali mencoba untuk menerjemahkan al-Quran dalam bahasa Maori meninggal dunia di Pakistan, Selasa (1/8).

Menurut laporan IQNA yang dilansir dari Maori Television, Munir lahir pada tahun 1932 di kota Munger, propinsi Bihar, India dan menjadi pengajar ilmu dan agama di Pakistan.

Ia banyak berupaya untuk publikasi Islam di pelbagai titik dunia, seperti Subbenua India, beberapa negara Afrika, Australia, dan Selandia Baru.

Akhir tahun 1980, Ahmad Munir menerima tanggung jawab penerjemahan al-Quran dalam Bahasa Maori, Bahasa pribumi masyarakat Selandia Baru. Ia tinggal beberapa waktu di Selandia Baru.

Sebelumnya banyak sekali masyarakat muslim pribumi Selandia Baru sama sekali tidak memiliki terjemahan al-Quran, kitab suci umat muslim.

Ahmad Munir telah mencari beragam metode untuk terjemahan al-Quran ke dalam Bahasa ini, namun pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa agar dapat menunaikan semaksimal mungkin, maka harus mengenal dengan baik Bahasa Arab, Inggris, dan Maori.

Setelah itu, ia menghabiskan umurnya beberapa tahun untuk menimba Bahasa Maori dan akhirnya setelah 20 tahun ia dapat memaparkan terjemahan lengkap al-Quran dalam Bahasa ini.

Dengan adanya sejumlah prestasi di seluruh hidupnya, Munir senantiasa menjadi orang yang rendah hati dan mengeluarkan waktu dan uangnya untuk kemaslahatan masyarakat.

Ahmad Munir melakukan terjemahan al-Quran dalam Bahasa Maori dengan anggaran pribadi. Ia pada tahun-tahun terakhir umurnya tinggal di kota Karachi Pakistan bersama keluarganya dan meninggal dunia setelah mengalami sakit dalam waktu singkat, Selasa (1/8).

(Maori-TV/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syaikh Muhammad Abdul Wahhab Tantawi Meninggal Dunia


Syaikh Muhammad Abdul Wahhab Tantawi, qori dan hafiz terkemuka al-Quran Mesir meninggal dunia, Rabu (26/7).

Menurut laporan IQNA, Syaikh Muhammad Abdul Wahhab Tantawi adalah seorang qori dan juri terkemuka al-Quran Mesir. Ia meninggal dunia pada hari Rabu (26/7).

Muhammad Abdul Wahhab Tantawi lahir pada tahun 1947 M di desa Nasimiyah di propinsi Ad Daqahliyah Mesir, dan setelah mengabdi kepada al-Quran selama bertahun-tahun, ia meninggal dunia di usia 70 tahun.

Tantawi membaca qiraat al-Quran di sekolah sejak dari kecil dan masa menimba ilmu; namun ia melanjutkan kinerja ini secara profesiaonal saat ia memasuki universitas Al-Azhar.

Ia berhasil menghafal al-Quran sebelum usia sepuluh tahun dan telah menunaikan harapan ayahnya yang sudah lama yaitu melakukan nazar anaknya dengan Quran.

Syaikh Shulhi Mahmud sebagai pengajar Tantawi telah mengajarkan tilawah al-Quran dan mengenalkan qori terkemuka dunia Islam ini dengan seni-seni qiraat di desa tempat kelahirannya.

Qori Mesir ini banyak melakukan perjalanan ke pelbagai negara; namun lawatan ke Iran tidak dapat disifati karena sambutan hangat masyarakatnya. Muhammad Abdul Wahhab Tantawi selain melakukan tialwah al-Quran dengan suara indahnya, juga seorang hafiz al-Quran dan dua sifat baik ini menyebabkan popularitasnya, karenanya banyak penggemar yang menyukai suara indah dan merdu sang qori ini.

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Mas Mansur: Kiai Muhammadiyah, Pejuang Kemerdekaan


Salah satu pejuang kemerdekaan yang juga dikenal sebagai tokoh pergerakan keislaman adalah Kyai Haji Mas Mansur, atau yang lebih dikenal dengan KH Mas Mansur. Arek Suroboyo ini lahir tanggal 25 Juni 1896 di kampung Sawahan Surabaya (saat ini bernama kampung baru Nur Anwar).

Tidak ada yang bisa menyangkal ketokohan KH Mas Mansur dalam berjuangan merebut kemerdekaan RI dari tangan penjajah. Berkat jasa perjuangan tersebut, Presiden pertama RI memberikannya gelar pahlawan pada tahun 1946.

Berdasarkan beberapa sumber, di usianya yang ke 12 tahun, setelah menerima pendidikan agama dari ayahnya, pemuda Mansur berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, selanjutnya menuju Mesir untuk belajar di Universitas Al-Azhar kurang lebih selama 3 Tahun. Selama itu pula sempat mengunjungi beberapa negeri Islam, di antaranya dia mengunjungi pesantren Sjanggiet di Tripoli yang cukup berkesan dalam hatinya.

Tahun 1915, Mansur kembali ke Indonesia dan menggabungkan diri dalam Sjarikat Islam (SI). Di samping itu, ia aktif membangun lembaga pendidikan bersama sejumlah ulama yang bernama “Madrasah Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar. Madrasah yang dibangunnya sendiri menurut sistem pendidikan Mesir, dia menamakan Madrasah Mufidah.

Keinginannya mendalami Islam begitu kuat, hingga tahun 1921, Kyai Haji Mas Mansur masuk Pergerakan Muhammadiyah. Dalam organisasi ini dia sempat menjadi ketua cabang wilayah Surabaya, kemudian menjadi konsul Jawa Timur, hingga akhirnya terpilih menjadi Ketua Pengurus Muhammadiyah.

Kabarnya, aktivitas pergerakan yang cukup agresif ini membuat penjajah Belanda “gerah”. Oleh karena itu, Kiai Haji Mas Mansur ditawari Belanda jabatan “Hof Voor Islamitische Zaken”, seperti ketua umum ormas Islam se-Indonesia, dengan gaji seribu gulden. Tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Mansur, dan dia memilih jalan sebagai orang pergerakan.

Tahun 1926, Kiai Mansur dipilih menjadi Ketua MAIHS (Mu’tamar al-A’lam Al Islami Fa’rul Hindisj-Sjarqiyah) dengan sekretaris Haji Agus Salim. Di tahun yang sama dia dipilih juga menjadi ketua MOH (Hadji Organisasi Hindia). Bersama HOS Tjokroaminoto, yang juga aktivis pergerakan, Mansur sempat menghadiri Muktamar Alam Islami Se-Dunia di Mekkah.

Bersama Kyai Achmad Dahlan, Kiai Mansur di tahun 1937 memprakarsai berdirinya Madjlis Islam Tertinggi yang dalam perkembangannya menjadi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yaitu sebuah badan federal organisasi Islam sebelum perang dunia ke-II. Di tahun yang sama, Kiyai Mansur terpilih menjadi ketua pengurus besar Muhammadiyah dan melaksanakan tugasnya di Yogyakarta.

Bersama sejumlah ulama di pulau Jawa, Kiai Mansur mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) tahun 1938 dan dia terpilih menjadi ketua umumnya.

Kiprah Kiai Mansur makin dikenal oleh tokoh pergerakan Indonesia, seperti Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro. Dia dan ketiga tokoh tadi dimandatkan oleh penguasa Jepang mendirikan “Putera” (Pusat Tenaga Rakyat) tahun 1942.

Di bawah tekanan Jepang, Kiyai Mansur “berontak” melawan dengan kembali ke basis awal pergerakannya di kota Surabaya. Hingga diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Mansur bersama pasukan arek Suroboyo tetap membombardir penjajah Jepang di Surabaya.

Awal tahun 1946, Kiai Mansur ditangkap NICA dan dipaksa berpidato untuk meredakan perlawanan rakyat, namun Mansur menolak dengan tegas untuk tidak tunduk atas perintah itu. Dalam keadaan kurang sehat dia tetap menjadi “Komando” bagi perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Jepang dan sekutunya. Tanggal 25 April 1946, Kiai Mansur meninggal dunia dan dimakamkan di tempat pemakaman GIPO Surabaya. Sepuluh tahun kemudian (1964), Presiden Soekarno menyematkan tanda pahlawan bagi aktivis pergerakan ini. [SR]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Nasehat dan Jejak Perjuangan Ayah Menteri Lukman, KH. Saifuddin Zuhri

Foto: alchetron.com

Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin mengaku tidak pernah dipaksa untuk menjalani atau mengejar profesi tertentu, termasuk menjadi menteri, oleh ayahnya. Hal ini, menurut Lukman, juga berlaku kepada saudara-saudarinya yang lain. “Bapak Saya, tidak pernah memaksa kepada para putra putrinya untuk menjadi apa,” katanya usai menghadiri Muktamar I Perkumpulan Lembaga Dakwah dan Pendidikan Islam Indonesia di Pasuruan, seperti dilansir portal resmi Kementerian Agama, 8 Juli.

“Bapak hanya menasehati dua hal. Pertama, menjadi orang yang bermanfaat di lingkungannya. Menjadi apa pun, harus memberi manfaat bagi diri, keluarganya, dan komunitas,” terang bungsu 10 bersaudara terebut.

“Kedua, apa pun yang dicita-citakan, harus diikhtiari semaksimal mungkin,” sambungnya.

Selain itu, jebolan Pondok Modern Gontor Ponorogo ini bilang, almarhum ayahnya juga melarang anak-anaknya akan dua hal, yaitu: jangan pernah meminta uang pada siapa pun, dan jangan meminta jabatan.

Seperti diketahui, ayah Lukman Hakim Saifuddin ini juga dikenal sebagai Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Kerja III hingga periode Kabinet Ampera I. Kiai kelahiran Kawedanan Sokaraja – sembilan kilometer dari Banyumas – pada usia 35 telah menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Saat itu ia merangkap Pemimpin Redaksi Harian Duta Masyarakat dan anggota Parlemen Sementara.

Pada usia 39 tahun, Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI. Ketika menginjak usia 43 tahun, Sang Kiai diangkat oleh Presiden menjadi Menteri Agama.

Foto: alchetron.com

Seperti putranya, Lukman, Saefuddin Zuhri dibesarkan dalam pendidikan pesantren di daerah kelahirannya. Masa mudanya ditempuh dalam keprihatinan untuk mendidik diri sendiri. Ia memasuki pergerakan pemuda dalam tempaan zaman pergolakan bersenjata dan pergerakan politik.

Pada usia 19 tahun ia dipilih menjadi pemimpin Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama Daerah Jawa Tengah Selatan, dan Konsul Nahdlatul ‘Ulama Daerah Kedu merangkap Guru Madrasah. Berbarengan dengan itu ia aktif dalam dunia kewartawanan, menjadi koresponden kantor berita Antara (kini Lembaga Kantor Berita Nasional Antara) dan beberapa harian dan majalah.

Kiai Saifuddin juga pernah diberikan amanat sebagai Komandan Divisi Hizbullah Jawa Tengah dan Anggota Dewan Pertahanan Daerah Kedu. Bersama pasukan TKR di bawah pimpinan Kol. Soedirman, Ia memimpin laskar Hizbullah.

Kiai Saifuddin juga tercatat ikut pertempuran Ambarawa dan berhasil mengusir penjajah. Karena keterlibatan aktif, sungguh-sungguh, dan penuh kepahlawanan dari Sang Kiai dalam Perang Ambarawa dan perang gerilya lainnya, maka Presiden yang juga Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menganugerahkan “Tanda Kehormatan Bintang Gerilya” pada tahun 1965.

Selain dari Pemerintah Indonesia, Kiai Saifuddin sering mendapatkan penghargaan berupa tanah dari masyarakat. Dalam surat hibah tanah itu ditulis ucapan terima kasih kepada Komandan Hizbullah itu karena telah membantu menyelamatkan keluarganya pada zaman revolusi kemerdekaan Republik Indonesia.

Foto: alchetron.com

Namun, tanah itu tidak dijadikan sebagai tanah pribadi. Kiai Saifuddin memberikan tanah itu kepada kiai lokal untuk dijadikan sebagai pesantren atau lembaga pendidikan Islam. Baginya, pesantren merupakan lembaga di mana para pelajar dididik secara holistik, baik secara intelektual maupun secara mental.

Lebih dari itu, pesantren merupakan basis dan pondasi untuk memupuk nasionalisme, terutama di kalangan umat Islam. Pesantren yang biasanya didatangi pelajar dari penjuru tanah air merupakan “kawah candradimuka” yang paling ampuh untuk mengenalkan persaudaraan antar sesama bangsa yang dalam tradisi Nahdlatul Ulama sering disebut dengan ukhuwah wathaniyah.

Pada usia 66 tahun atau tepatnya 25 Maret 1986, kiai yang juga pejuang kemerdekaan itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Selain meninggalkan nasehat bagi putra dan putrinya – salah satunya Lukman Hakim Saefuddin – Sang Kiai mewariskan berbagai karya dan catatan sejarah yang tak ternilai harganya hingga menginspirasi generasi bangsa hingga kini. []

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Gus Fuad Lebih Dekat


Sebelumnya, Islam Indonesia memuat tulisan terkait kajian rutin di laman YouTube bertajuk Ngaji Hikam – Spesial Ramadhan – bersama Gus Fuad Plered. Dalam tulisan disebutkan, pada kajian #9, pemateri kajian –yakni Gus Fuad—menyatakan di antaranya bahwa secara jasmani di badan 99% orang Jawa mengalir darah Rasul SAW.

Siapa Gus Fuad? Bagi pembaca yang belum mengenal sosok Kiai muda ini, berikut kami sarikan profilnya.

Pria kelahiran Yogyakarta, 8 Oktober 1970 ini dikenal sebagai KH. M Fuad Riyadi. Dia adalah pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tradisional Roudlotul Fatihah, Plered, Bantul, Yogyakarta. Ayahnya, Haji Ahmad Abdul Bakdi berdarah Kiai Abdurrouf Wonokoromo (keturunan Sunan Ampel dari jalur Sunan Bonang). Sedangkan ibunya, Siti Muyassarotul Maqosid adalah keturunan Kiai Nuriman Mlangi (cikal-bakal kampung santri Mlangi) dari jalur ayah (Kiai Sangidu Wonokromo/Mlangi) dan dari jalur ibu keturunan Kiai Cholil Wonokromo.

Sebelum mengasuh pesantren Roudlotul Fatihah, Kiai Fuad yang akrab disapa Gus Fuad mengaji agama sejak masa kanak-kanak dan menempuh perjalanan panjang nyantri ke beberapa kiai mumpuni dalam bidang ilmu agama antara lain: Kiai Abdul Basith, Kiai Muhammad Busyro, Kiai Abdul Mukti, KH Abdul Muchith (ulama fikih tempat rujukan para ulama Jawa) dan KH Khatib. Semuanya di lingkaran “desa – kiai” Wonokromo dan Jejeran, Bantul. Beliau juga secara khusus mengaji ilmu pada KH Abuya Dimyati, Pandeglang, Banten, Jawa Barat (tokoh tasawuf rujukan ulama kaliber dunia). Dalam pertalian kekerabatan KH Abuya Dimyati memang masih uwak Kiai Fuad, namun perhatian beliau kepadanya begitu istimewa. Selain itu, dalam mahabbah, Kiai Fuad terkait keilmuan dengan Tuan Guru Ijai (Syekh Zaini Abdul Ghani, Martapura, Kalimantan Selatan). Bahkan, guru dari Tuan Guru Ijai yakni Habib Anis al Habsyi, Gurawan, Solo.

Kiai kondang sekaligus seniman ini juga pernah menjadi wartawan. Karya tulisannya sudah dimuat di media massa sejak kelas 2 SMP. Tulisannya makin kuat setelah belajar pada Ragil Pragolopati. Beberapa karyanya tersebar di berbagai media massa baik lokal maupun nasional serta beberapa buku seperti: Risang Pawestri (1990), Aku Ini (1991), Catatan Tanah Merah (1992), Rumpun Bambu (1994), Begini-begini dan Begitu (1997), Gerbong (1998), Embun Tajalli (2000), Kampung Santri (2001), Cara Idiot Menjadi Kyai (2005) dan Islam Itu Gampang (2005) dll.

Selain itu, Gus Fuad juga kerap menggelar pameran seni rupa baik tunggal maupun bersama. Pameran tunggalnya antara lain: Aura Dzikir, Bentara Budaya Yogyakarta (2009), Aura Dzikir Putih, Jogja Nasional Museum (2010), Locospiritual, Jogja Gallery (2011), Alif-Risalah Rajah Sosrokartono, Museum Kereta Api Bandung (2011) Kitab Lailatul Qodar, Taman Budaya Yogyakarta (2013).

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Farajullah Shazli Dimakamkan Hari Ini


Jenazah farajullah Shazli, qori terkemuka Mesir yang meninggal dunia Senin (5/6) di rumah sakit al-Jala, kota Kairo dimakamkan Selasa (6/6) dengan dilayat para qori, sejumlah aktivis Quran dan warga Mesir di tempat kelahirannya di desa Armania di propinsi Beheira Mesir.

Menurut laporan IQNA seperti dikutip dari Namsavi, Farajullah Shazli lahir di desa Armania tahun 1948 M.

Ia menghafal seluruh al-Quran saat umur delapan tahun dan mahir qiraat sepuluh.

Farajullah Shazli bergabung ke markas qiraat Mesir pada tahun 1971 dan setelah menyelesaikan jenjang pendidikan pada tahun 1979, ia lulus dari himpunan ini tahun 1979. Selanjutnya pada tahun 1980 guna melanjutkan belajar, ia memasuki fakultas telaah Arab dan Islam Al-Azhar. Ia lulus dalam bagian kesusastraan tahun 1997 M. Ia juga berhasil meraih ijazah S1 tahun 2001 M, dan lulus dengan ijazah PhD tahun 2004 M.


Shazli adalah muazin Al-Azhar dan Sekjen aliansi para qori Mesir dan qori radio dan TV Mesir.

Pada tahun 2010 M, di salah satu lawatannya ke negara Irak, ia mengumandangkan azan tata cara Syiah di sebuah masjid, sementara hal ini tidak disukai para salafi Mesir dan menyebabkan gelombang protes dan kritikan terhadapnya. Pada akhirnya hal ini menyebabkan Syaikh Mohamed Tablawi, Ketua Aliansi Qori Mesir meminta Dr Ahmed al-Tayeb, Syaikh Al-Azhar dan Muhammad Mukhtar Jum’ah, Menteri Wakaf negara ini meminta pelarangan lawatan ulama Al-Azhar dan para qori Mesir ke Iran dan Irak.

Shazli di tengah-tengah Ulama syiah Irak

Dr. Abbas Shuman, Wakil Syaikh Al-Azhar juga melakukan sejumlah pembatasan dalam ranah ini, yang mencakup pelarangan tilawah Shazli di masjid jami’ Al-Azhar, pelarangannya menjadi juri dalam musabaqoh al-Quran dan ujian markas Islam Al-Azhar dan demikian juga pengiriman ke luar negeri dari Mesir (mewakili Al-Azhar).

Selain Sekjen dan wakil aliansi para qori Mesir, ia juga pernah menjadi juri dalam musabaqoh internasional al-Quran Mesir dan pelbagai negara seperti Emirat, Iran, dan musabaqoh nasional Irak serta melakukan tilawah di majelis Qurani makam suci Alawi.

Shazli pekan lalu menjadi tamu minoritas Mesir guna melakukan tilawah di beberapa majelis harmonisasi al-Quran dan imam salat jamaah di masjid Austria.

Dengarkan suara tajwid seluruh al-Quran Shazli di halaman ini.

(Namsavi/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Idris Huseini (Maroko-Maliki)


Dia lahir pada tahun 1967 M, di kota Maula Idris, Maroko. Dia tumbuh berkembang di beberapa kota Maroko: al-Qashrul Kabir, Miknas, dan ar-Ribath. Itu karena kondisi orang tuanya yang bekerja di Departemen Pertanian.


Situasi Perkembangan Idris

Sayid Idris hidup di lingkungan keluarga dan situasi sosial yang menguji kepercayaan dirinya sejak awal dia memulai kehidupan, begitu pula menguji rasionalitas, keterbukaan dan kesadarannya. Itu karena dominasi kebebasan berpendapat dan berpikir di sana. Maka dari itu, dia juga bebas dari seluruh kepercayaan di lingkungan hidupnya dan sama sekali tidak mengalami krisis kebebasan.

Sehubungan dengan ini, Sayid Idris mengutarakan pengalamannya bahwa: “Saya tidak besar di tengah keluarga yang memaksa anak-anaknya secara total, karena orang-orang Maroko tidak tahu bagaimana caranya memaksa anak-anak mereka. Kebebasan berkeyakinan di rumahku ini sangat membantuku untuk memasuki alam alternatif-alternatif pemikiran tanpa ada praduga sebelumnya”.

Sebagaimana diutarakan oleh Sayid Idris, Maroko adalah negeri yang bermasyarakat madani, setiap orang berhak memilih jalan dan alirannya sendiri tanpa harus merugikan keamanan umum. Dalam situasi seperti inilah Sayid Idris berkembang sehingga dia memiliki rasionalitas berpikir yang terbuka dan kritis, maka dia berhasrat untuk menyelami pemikiran humaniora secara umum dan pemikiran Islam secara khusus, cita-cita inilah yang menyertainya sejak dini dan mendorongnya untuk melintasi segala rintangan yang dia hadapi untuk merealisasikan cita-cita tersebut.


Awal Penelitian Yang Serius

Sejak pertama Sayid Idris memulai penelitiannya. Dia sadar bahwa tidak ada sesuatu apapun dari agama yang tidak berhubungan dengan sejarah, dan apa saja yang dimiliki oleh umat Islam pada hari ini, baik itu berupa keyakinan maupun hukum dan budaya, semuanya sampai kepada mereka lewat jalur periwayatan. Itulah sebabnya sejarah adalah salah satu sumber ilmiah yang sangat penting. Dan hal itu pula yang membuat Sayid Idris menjurus pada penelitian-penelitian historis yang objektif dan tanpa sedikitpun kecenderungan atau fanatisme terhadap aliran tertentu.


Periode Lintas Rintangan

Rintangan pertama yang dihadapi oleh Sayid Idris dalam petualangannya adalah peringatan sebagian ulama kepadanya agar tidak meneliti fenomena-fenomena sejarah yang lama, mereka beralasan bahwa perbuatan ini hanya akan menimbulkan fitnah dan akan meninggalkan berbagai kejanggalan-kejanggalan pada diri peneliti yang dapat mengguncang dasar-dasar keyakinannya.

Sayid Idris dengan mudah melintasi rintangan ini, dia sama sekali menolak pola pikir yang seperti itu, dia mengatakan: “Penelitian tentang hakikat sudah berubah menjadi fitnah dalam kamus sekelompok orang, seakan-akan mereka puas dengan ketercabikan dalam diri di saat hakikat telah hilang dan membingungkan, menurut mereka kondisi seperti itu lebih baik daripada membongkar hakikat kebenaran yang sesungguhnya wahyu turun karena tujuan itu, dan seakan-akan kepentingan agama adalah menutupi-nutupi hakikat, dan seakan-akan Allah swt. ingin mengacaukan hakikat-hakikat”.

Rintangan berikutnya yang dia hadapi adalah sakralitas sebagian tokoh, namun setelah membulatkan tekad untuk mengetahui hakikat kebenaran dia sadar bahwa tanpa terkecuali hakikat lebih berharga daripada tokoh-tokoh itu, dia juga sadar bahwa dia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi insiden-insiden yang akan muncul dalam pencarian hakikat-hakikat yang hilang. Dengan demikian maka praduga sakralitas itu tidak lagi mendapatkan peluang untuk membekukan pikirannya dalam pencarian hakikat.

Dengan bermodalkan pola pikir ini Sayid Idris menerobos segala kesukaran yang dia hadapi dalam pencarian hakikat, dan dia menjalani masa yang cukup panjang di tengah puing-puing sejarah yang terpendam. Sayid Idris berkata: “Saya telah mempersiapkan apa saja yang bisa dibutuhkan oleh seorang pencari hakikat yang bertekad untuk melintas di jalan yang sukar dan meletihkan”.


Awal Pengenalannya Dengan Syi’ah

Sayid Idris mengatakan: “Ada dua buku yang jatuh di tanganku dan berbicara tentang tragedi Karbala yang memilukan serta sejarah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., untuk pertama kalinya saya dihadapkan dengan buku yang mempunyai dialek khusus menentang seluruh buku yang saya tekuni untuk membacanya, dan sebelum itu saya tidak tahu bahwa penulis buku ini adalah orang yang beraliran Syi’ah, karena sebelumnya saya tidak mempercayai orang Syi’ah sebagai muslim!, saya tidak bisa memilah-milah antara persoalan Syi’ah dengan Budha dan Sikh!!”.

Mulai dari situ terbukalah benak Sayid Idris sehingga dia mengenal sebagian dari pemikiran-pemikiran Syi’ah, maka itu terlintaslah sebuah pertanyaan dalam dirinya: Kenapa mereka Syi’ah sedangkan kita Ahli Sunnah?.

Dia menceritakan pengalamannya: “Dalam diriku, pertanyaan itu berubah menjadi hantu yang menyertaiku ke mana saja saya pergi, mulanya saya pura-pura bodoh dan melupakannya untuk meringankan beban penelitian dari diriku, karena sebetulnya beban penelitian itu lebih ringan bagiku daripada beban pertanyaan tersebut dan juga lebih sedikit tekanannya daripada kebingungan dan kebimbangan”.

Dari titik tolak inilah Sayid Idris kemudian bersikeras untuk membebaskan dirinya dari tekanan psikologis dengan cara membekali pikirannya dengan hal yang baru agar kepercayaan-kepercayaan yang dia warisi terbukti kepastiannya, dia sadar bahwa pikiran-pikiran yang menumpuk di benaknya tidaklah berharga jika tanpa asas keyakinan yang kuat dan mengkristal.

Itulah sebabnya Sayid Idris meyakinkan dirinya untuk mempelajari ideologi Syi’ah agar dapat mengetahui perbedaan-perbedaan antara ideologi Syi’ah dan ideologi Ahli Sunnah.


Hasil Penyelaman dalam Literatur Syi’ah

Belum lama Sayid Idris mempelajari literatur Syi’ah dia sudah menemukan hal-hal penting yang mengubah standar-standar yang dia yakini sebelumnya, di antaranya adalah kesadaran dia bahwa kondisi Ahli Sunnah yang ada sama sekali tidak punya beban untuk mendikte gambaran yang cacat tentang lawan-lawannya, dia tidak malu kepada Allah swt. dan kepada sejarah dalam menggunakan pola pembodohan dan pengaburan terhadap para pengikutnya.

Sayid Idris mengatakan: “Tiba-tiba saya merasa diriku telah tertipu”. Hati dia bangkit dan berkata: “Kenapa mereka tidak menyingkap hakikat kepada masyarakat sebagaimana adanya? Kenapa mereka sengaja berusaha menahan kita dalam kedunguan”. Kemudian dia bertekad untuk menemukan kebenaran yang hilang di putaran sejarah Islam, dan salah satu fenomena akbar sejarah yang sangat berdampak dalam dirinya adalah tragedi Karbala yang berdarah dan memilukan, dari situ dia tahu bahwa kezaliman yang dia keluhkan hari ini bukan hal yang baru bagi umat Islam, tiran hari ini melangkah di jalan yang didirikan oleh tiran pendahulu yang menghalangi perjalanan para imam suci dari Ahli Bayt as.


Problem Kebenaran Mayoritas

Sayid Idris mengatakan: “Setiap kali saya mengajukan pertanyaan pada diriku, saya melihat setan menghalangiku seraya berkata kepadsaya: “Jauhkan pertanyaan itu darimu, apa kamu lebih besar daripada jutaan muslimin sebelum dirimu, apa kamu lebih pandai daripada mereka yang ada sekarang sehingga kamu mencari keyakinan dalam persoalan ini?”, kemudian dia melanjutkan: “Dari dulu saya tahu bahwa mereka yang berjuta-juta itu tidak bersikeras untuk mengajukan pertanyaan ini kepada diri mereka sendiri”. Tapi bagaimanapun juga, protes-protes ini tidak sampai pada tahap mampu menghalau semangat Sayid Idris untuk menyibak tabir kegelapan dari hakikat-hakikat yang disembunyikan.

Keberadaan mayoritas yang dominan ini sangat mengganggu dalam dirinya, bagi dia ini rintangan yang berat dan sukar baginya untuk melawan, tapi ada satu hal yang membuat dia menang dalam menghadapi problem ini, yaitu keimanan dia bahwa mayoritas dengan sendirinya tidak dapat mencerminkan hakikat kebenaran, dan dalam kajian yang obyektif mayoritas sama sekali tidak bisa menjadi tolok ukur untuk mengetahui kebenaran, itulah yang membuatnya sanggup mendaki lebih tinggi dari gelombang besar manusia yang tidak mempunyai logika selain kuantitas banyak di alam hakikat.

Sayid Idris mengatakan: “Saya selalu menyodorkan fenomena keteraniayaan Imam Husein as. dan Ahli Bayt as. kepada teman-temanku ... saya haus sekali terhadap penafsiran yang memuaskan tentang tragedi-tragedi yang memilukan ini ... bagaimana kaum salaf “yang saleh” bisa membunuh Ahli Bayt as. dengan cara yang durjana! Tapi teman-temanku malah menyudutkanku dan kesal terhadap pemikiranku yang berjalan tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh bahtera jamaah (masyarakat muslim) pada umumnya”.

Sayid Idris melanjutkan: “Mulai dari sinilah kisah perjalananku menjadi menemukan kebenaran, saya melihat diriku sedang berada di hadapan gelombang besar pertanyaan-pertanyaan yang mengharuskanku untuk berdiri di atas pondasi keyakinan yang kokoh. Saya bukan orang yang suka diperdaya atau ditidurkan, saya tidak akan puas dan tenang selama saya belum menyegarkan kembali keyakinanku yang dulu, biar saja perjalananku ini berhenti sejenak di berbagai stasiun asalkan perjalanan itu memang benar dan bertanggungjawab.

Maka itu Sayid Idris membulatkan tekadnya untuk meneruskan pencariannya apapun hasilnya nanti, dia sadar bahwa ini adalah petualangan yang berat, di sanalah arti pengorbanan yang sesungguhnya mengejawantah dan di sana pula keteguhan tampil menawan, karena para pemimpin di jalan ini tidak pernah aman dari gangguan dan rintangan sampai akhirnya mereka dilukai, disembelih, dan diperangi sepanjang masa!.

Akhirnya Sayid Idris mengetahui nilai hakikat di mata para pencari hakikat, dia juga tahu sampai mana dia harus meningkatkan upayanya untuk melepas jubah taklid dari dirinya dan membelah pagar kesesatan, tradisi dan taklid yang kokoh.

Oleh karena itu, dia mempersiapkan seluruh bekal yang diperlukan dalam perjalanan intelektual ini, dan hasil yang dia dapatkan dari usaha keras tersebut adalah tersibaknya hakikat yang dia warisi dari mazhab Syi’ah, akhirnya dia juga tahu bahwa Ahli Bayt as. adalah mazhab pertama di dalam Islam, dan Syi’ah bukanlah orang-orang yang merintis jalur baru di luar jalur yang umumnya diikuti orang, melainkan mereka adalah orang-orang yang konsisten terhadap sikap mereka yang sejati, dan keteguhan itu terjadi di saat bangsa serta kelompok yang lain melarikan diri dari jalur itu dan berpencar mencari hakikat dari selain ahlinya.


Keputusan Final

Sayid Idris berkata: “Di saat-saat kemunculan hakikat yang sebenarnya bagiku, terjadilah kemelut sengit dalam diriku antara akal dan nafsu, nafsuku keberatan sekali untuk meninggalkan akidah yang lama, di sisi lain akalku tidak mau mengabaikan hakikat kebenaran yang jelas dan pasti, aku dihadapkan pada dua pilihan; mengikuti jalan yang aku warisi sebelumnya atau menempuh jalan kebenaran dan cahaya akal”. Dia melanjutkan: “Ini merupakan keputusan paling penting yang pernah kuambil selama masa hidupku untuk kemudian bergelut dengan tantangan-tantangan intelektual dan sosial”.

Dari sejak itu Sayid Idris menemukan posisinya dalam hidayah para imam suci as., dia umumkan kesyi’ahannya sewaktu dia masih di Maroko, kemudian berhijrah ke Siria untuk melanjutkan studi di Hauzah Ilmiah Damaskus, dia duduk di bangku hauzah sebagian guru, syekh dan ulama, dia meneruskan studinya di Hauzah sambil mengajar di sana, selain itu dia juga aktif dalam jurnalisme dan penulisan.

Praktis ada dua kecenderungan intelektual yang mengkristal dalam diri Sayid Idris; yang pertama adalah konsen terhadap kajian-kajian modern yang populer di negeri Maroko, dan yang kedua adalah konsen terhadap kajian-kajian agama dan mazhab yang mulai dia tekuni melalui guru-guru Hauzah Ilmiah, tempat pendidikan dia sekarang.

Ustad Sayid Idris memproduksi berbagai karya di dua bidang tersebut, dia mengarang buku-buku yang berkenaan dengan kajian agama seperti buku yang berjudul “Laqod Syayya’anil Husein” dan buku “Al-Khilafah al-Mughtashobah”, dia juga menulis buku-buku tentang pemikiran-pemikiran modern seperti buku “Mihnatut Turotsil Akhor”.[1]


Karya-karya Idris Huseini

1. Laqod Syayya’anil Husein as.; al-Intiqolus Sho’bu fi Rihabil Mu’taqodi wal Madzhab.
“Sungguh Husein as. telah Mensyi’ahkanku; Proses Perpindahan yang sulit dalam Akidah dan Mazhab”. Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1414 H/1994 M, oleh Darun Nakhil lit-Thiba’ati wan Nasyr, Beirut.
Buku ini memuat penelitian yang obyektif tentang beberapa keyakinan yang menjadi titik tolak penulis untuk berpindah dari mazhab Ahli Sunnah ke mazhab Ahli Bayt as.. Di pengantar buku ini dia menyebutkan tujuan-tujuan dia menulis, kemudian dia lanjutkan dengan sebuah topik tentang telaah terhadap sejarah dan alasan bicara tentang Syi’ah dan Ahli Sunnah.

2. Al-Khilafah al-Mughtashobah; Azmatu Tarikhin Ummu Azmati Mu’arrikhin.
“Kekhalifahan yang Dirampas; Krisis Sejarah adalah Induk Krisis Sejarawan”. Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Darul Kholij, dan terbitkan lagi pada tahun 1416 H oleh Darun Nakhilil Arobi lit-Thiba’ati wan Nasyr, Beirut. Isinya adalah pengantar, tiga pasal, dan penutup. Di pengantar buku ini disinggung pula persoalan tentang “gerakan munafik di tengah masyarakat Islam” dan “Langkah-langkah Nabi saw. dalam memusatkan umat”.

3. Hakdza Aroftus Syi’ah; Taudlihat wa Rudud.
“Demikianlah Aku Mengenal Syi’ah; Penjelasan dan Bantahan”. Diterbitkan oleh Darun Nakhilil Arobi lit-Thiba’ati wan Nasyr, Beirut, tahun 1418 H.

4. Mihnatut Turotsil Akhor; an-Naz’atul Aqlaniyyah fil Maurutsil Imami.
“Cobaan Literatur Lain; Kecenderungan Rasional dalam Literatur Imamiah”. Diterbitkan oleh Darul Ghodir, Beirut, 1419 H. Kajian lengkap tentang literatur Syi’ah yang dalam sejarahnya selalu diasingkan agar tidak berperan aktif di tengah masyarakat. Ustad Sayid Idris membaginya dalam tiga bidang: Penulisan sejarah, ilmu kalam (teologi), hikmah, dan dasar-dasar pensyari’atan.

5. Hiwarul Hadlorot.
“Dialog antar Peradaban”. Diterbitkan oleh al-Markazuts Tsaqofi al-Arobi –Darul Baydlo’–, Maroko, cetakan pertama tahun 2000 M. Penulis menyebutkan dalam pengantar buku ini bahwa: “Karya yang ada di depan pembaca budiman adalah sebuah usaha untuk memperjelas duduk permasalahan tentang dialog antar peradaban”.

6. Al-Mufaroqotu wal Mu’anaqoh; Su’alul Muqoyasati fi Qornin Jadid, Ru’yatun Naqdiyyah fi Masarotil ‘Uwlamah wa Hiwaril Hadlorot.
“Perpisahan dan Pelukan; Soal Perbandingan di Era Modern, Pandangan Kritis tentang Perjalanan Globalisasi dan Dialog antar Peradaban”. Diterbitkan oleh al-Markazuts Tsaqofi al-Arobi –Darul Baydlo’–, Maroko, cetakan pertama tahun 2001 M.

Di pengantar buku itu penulis mengatakan: “Dalam karya ini, kami berusaha untuk menunjukkan sisi lain dari globalisasi yang berbeda dengan sisi yang populer. Kami memandangnya dengan perasaan gelisah dan bukan dengan nafsu gharizah (insting). Dan akhirnya kami sampai pada kesimpulan yang juga didapatkan oleh para ahli di barat, merekalah baris terdepan penentang aborsi dan pengguguran yang dilakukan oleh globalisasi... ini di bagian pertama. Adapun di bagian kedua, kami memaparkan dialog antar peradaban dan meliputnya dari awal agar tidak mengalami jalan buntu, lalu mempertemukan konsep-konsep pertama. Di sini kami juga membantah pendapat yang menyatakan pluralitas peradaban.

Di antara tema-tema yang dimuat dalam buku ini adalah: Globalisasi dan dunia, benarkah globalisasi atau industri perang?, arab dan globalisasi: tantangan dan jawaban, globalisasi budaya ibarat proyek penetrasi, dialog peradaban atau budaya, dan lain sebagainya.


Sekilas tentang Buku “Laqod Syayya’anil Husein”

Buku ini memuat pengalaman yang dilalui oleh Ustad Idris Huseini di ruang pemikiran untuk memilih sebuah keyakinan yang argumentatif dan berdalil, ternyata hasilnya adalah dia mendapatkan kebenaran di selain apa yang telah dia warisi dari leluhurnya.

Dalam buku ini Ustad Idris menuangkan pengalaman perpindahannya dari mazhab Ahli Sunnah ke mazhab Ahli Bayt as., dia berkata di kata pengantar: “Tidak penting bagi saya dalam pengalaman ini untuk memperkenalkan kepribadianku, melainkan nilai tema yang diusung dalam buku jauh lebih penting, ini adalah pengalamanku di garis keyakinan dan aku bertanggung jawab untuk itu, karena itu aku bermaksud untuk menjaganya tetap bebas, merdeka dan tanpa belenggu apapun”.

Pasal Pertama: Apa Bayanganku Sebelumnya tentang Sejarah Islam?

Penulis berpandangan bahwa lingkungan tempat dia hidup sangat berpengaruh dalam membentuk kerangka pemikiran yang menjadi sudut pandang dia melihat sejarah, dia berkata: “Sejak semula mereka telah menyuntikkan sejarah ini kepadaku ..., kita mesti menahan diri saat menyaksikan darah, kefasikan dan kekafiran, kita tidak punya hak selain menutup mata dari kenyataan itu, kita juga harus tutup mulut –saat membaca sejarah Islam– dan hanya berkata: “Mereka adalah umat yang telah lalu, bagi mereka apa yang telah mereka perbuat ...”.

Penulis menyebut kondisi ini sebagai pengekangan yang terencana dan tali kekang yang diikatkan ke akal manusia sebelum masuk ke mihrab sejarah yang suci, dia berkata: “Mereka mengajarkan kita untuk menolak akal kita sendiri sehingga kita menjadi robot dan komputer yang bodoh, politik mengalahkan sejarah dan mengubahnya menjadi kesengsaraan yang hakiki”.

Tapi kesadaran Ustad Idris menjadikannya sebagai orang yang selalu berpikir kritis dan tidak menerima apapun kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu, itulah kenapa dia berkata: “Alangkah beratnya krisis yang dihadapi oleh pencari hakikat kebenaran”.


Pasal Kedua: Periode Perpindahan

Pada pasal kedua, Ustad Idris menceritakan kesyia’hannya. Kata dia, salah satu rintangan serius yang dipersiapkan oleh orang-orang di sekelilingnya ketika hendak terjun ke dalam pembahasan akidah dan telaah atas fenomena yang terjadi pada awal kemunculan Islam adalah mereka mengatakan kepadanya: “Itu adalah fitnah yang semoga Allah swt. menyucikan kita darinya, dan kita juga tidak berhak untuk menghadirkannya kembali serta menyelam ke dalamnya”. Tapi Ustad Idris berkata berkomentar sebaliknya: “Bagaimana mungkin Allah swt. menyucikan kita dari fitnah itu sementara fitnah itu senantiasa hadir di tengah kita dengan berbagai cela dan pengelabuhannya”.

Ustad Idris selalu melontarkan topik keteraniayaan Imam Husein as. di Hari Asyura kepada teman-temannya, dia terus mencari penjelasan yang memuaskan tentang tragedi yang memilukan ini, dan berangkat dari sinilah kisah kesyi’ahan dia. Sebab, di sela-sela perenungan atas tragedi Karbala dirinya dihadapkan pada gelombang besar pertanyaan-pertanyaan yang mengharuskan dia untuk berdiri di atas pondasi keyakinan yang kuat, maka mulailah dia bertolak untuk memperbaharui dan mengobati keyakinan-keyakinannya.

Ustad Idris mengatakan: “Kala itu saya tidak mempunyai referensi yang cukup untuk mengkaji mazhab Syi’ah ... Allah swt. tahu bahwa keyakinan Syi’ahku menguat di sela-sela referensi dari Ahli Sunnah wal Jama’ah itu sendiri, dan juga diperkuat dengan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam ajaran mazhab Ahli Sunnah”.


Pasal Ketiga: Dan Jatuhlah Daun Mulberry (Bebesaran)

Pada pasal ketiga, penulis mengulang analisa sejarah dan mengulas persoalan Syi’ah dari sudut pandang sejarah dan bukan dari sudut pandang mazhab, kemudian dia membahas asal-asul kemunculan Syi’ah.
Berkenaan dengan klaim penisbatan Syi’ah kepada Abdullah bin Saba’, Ustad Idris mengatakan: “Ini bukan lelucon pertama yang dituduhkan kepada Syi’ah melainkan satu dari sekian lelucon atau supersisi yang dirajut oleh jari-jari kotor yang dibayar atau dipaksa oleh Dinasti Umayyah, dan oleh karena itu produk lelucon mereka harus ditentang!”.

Kemudian dia menyebutkan tuduhan bahwa Syi’ah adalah mazhab Persia dan berkata: “Hanya pelawak sejarah saja yang menyatakan Syi’ah sebagai mazhab buatan orang-orang Persia, orang-orang arab lebih dahulu Syi’ah daripada mereka, bahkan merekalah yang memasukkan mazhab Syi’ah ke Persia, buktinya adalah mayoritas ulama’ besar Ahli Sunnah, baik di bidang ilmu tafsir, hadis, sastra, bahasa maupun yang lainnya adalah dari Persia, dan untuk tempo tertentu Iran tetap menerapkan sunnah Dinasti Umayyah dalam mencaci Ali bin Abi Thalib as. dan mengutuk beliau di masjid-masjid dan mimbar-mimbar”.


Pasal Keempat: Dari Kesengsaraan

Sejarah Menuju Sejarah Kesengsaraan Pada pasal keempat, penulis mengajak pembaca untuk menghakimi secara adil dan bijaksana saat menelaah sejarah, kemudian dia menerangkan sejarah Rasulullah saw. dan lebih terfokus pada bagian-bagian sensitif dari sejarah beliau yang menurut dia merupakan kunci untuk memahami fenomena-fenomena yang disaksikan oleh sejarah Islam setelah beliau wafat.

Penulis menjelaskan bahwa persekongkolan anti Rasulullah saw. telah dimulai dari awal penaklukan dan kemenangan Islam, orang-orang munafik yang sudah menjadi bagian dari masyarakat berencana untuk membunuh beliau pada saat-saat yang berpeluang.

Lalu penulis melontarkan persoalan khilafah dan suksesi seraya mengatakan: “Risalah Nabi saw. menuntut perhatian yang serius terhadap kontinuitas kepemimpinan misi Islam agar tidak muncul anggapan penentang bahwa syari’at Nabi saw. adalah sementara dan sudah berakhir bersamaan dengan kematian beliau.
Jelas di luar logika risalah-risalah sebelumnya jika persoalan yang bersinambung dengan risalah Islam dan nasib masa depannya ini terlewatkan begitu saja”.

Penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa: “Prinsip utama dalam kepemimpinan adalah wasiat atau suksesi, adapun Dewan Syuro tidak lebih hanya upaya pembenaran atas apa yang telah terjadi di Saqifah Bani Sa’idah. Hal itu karena sejarah sendiri menyibah hakikat Dewan Syuro yang mereka jadikan sandaran di Saqifah. Bahkan Dewan Syuro itu sendiri telah menunjukkan kesengsaraannya dalam hal memilih formula hukum dan dalam menciptakan atmosfir keserakahan hawa nafsu atau fanatisme kesukuan yang merajalela pada waktu itu. Tentunya tidaklah mudah bagi kita untuk menutup mata dari perselisihan dan perseteruan yang terjadi di sekitar persoalan khilafah!”.

Selanjutnya penulis membuktikan bahwa Rasulullah saw. telah mengangkat Ali bin Abi Thalib as. sebagai menteri, penerus dan wasiynya. Dia undang sejarah untuk membicarakan hakikat yang sebenaranya terjadi lalu menyebutkan beberapa tempat yang di sana Rasulullah saw. melantik Ali bin Abi Thalib as. sebagai wasiy dan khalifah setelah beliau, di antaranya adalah: Hadis ad-Dar, ikatan persaudaraan antara Rasul dan Ali, hadis Ghodir Khum, dan lain sebagainya.

Penulis mengatakan: “Sungguh Rasulullah saw. tidak pernah lalai akan nilai dan pentingknya suksesi atau kekhalifahan setelah beliau, pidato beliau di Haji Wada’ adalah rencana untuk umat Islam yang dapat menjaga mereka dari kesalahan-kesalahan masa datang, di sana beliau menekankan kehormatan Ahli Bayt as. dan mengangkat Ali bin Abi Thalib as. sebagai pemimpin umat Islam setelah beliau, ... beliau juga memperingatkan mereka pada akibat yang akan menimpa mereka apabila menentang nash (ketentuan syari’at Islam tersebut) dan sebaliknya mengikuti kebatilan atau pendapat mereka sendiri, beliau juga memperingatkan mereka pada konsekuensi penyesatan, kemurtadan dan pemfitnahan. Ya’qubi menyebutkan dalam buku sejarahnya: “Setelahku nanti, jangan kalian kembali menjadi kafir dan menyesatkan serta sebagian dari kalian memperbudak sebagian yang lain, sesungguhnya kepada kalian aku telah wariskan dua pusaka besar yang selama kalian berpegang teguh padanya niscaya kalian sama sekali tidak akan sesat, dua pusaka besar itu adalah kitab suci Allah dan keluargaku Ahli Baytku”, lalu beliau memerintahkan umat manusia untuk komitmen terhadap pengumuman dan pusaka yang beliau tinggalkan itu seraya bersabda: “Sungguh kalian harus bertanggungjawab untuk itu, dan hendaknya orang yang menyaksikan kejadian ini menyampaikan kepada yang tidak menyaksikannya”.[2]


Kenyataan di Balik Wafatnya Rasulullah saw 

Ustad Idris Huseini secara khusus menyebutkan sebagian dari kenyataan yang terjadi pada saat Rasulullah saw. sedang sakit, pra dan pasca wafat, khususnya tentang kejadian-kejadian yang memiliki dampak politik dan sosial yang menakutkan setelah itu. Di antaranya adalah: Persiapan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. untuk pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid sebagai orang yang dipilih oleh beliau sebagai panglima perang pada waktu itu dan ternyata sebagian sahabat Nabi saw. enggan untuk menerima keputusan beliau tersebut, sikap durhaka Umar bin Khattab terhadap Rasulullah saw. di saat dia menghalangi beliau yang sedang sakit untuk menulis wasiat dan dia berkata “cukup bagi kami kitab Allah”.

Adapun setelah Rasulullah saw. wafat: “Beliau tidak lebih dari tubuh yang tidak bergerak di pelukan keluarganya (Ahli Bayt as.), hanya mereka yang memandikan jenazah beliau, sedangkan yang lain saling menanduk satu sama lainnya untuk memperebutkan hak yang pada hakikatnya sudah diputuskan secara final oleh teks agama, mereka mengeksplotasi situasi dan menunggangi peluang ketika Imam Ali as. dan Ahli Bayt as. tidak hadir di lokasi perselisihan”.

Sehubungan dengan sikap Umar bin Khattab setelah wafatnya Rasulullah saw. yang berkata: “Sungguh orang-orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah (saw.) telah wafat, padahal sungguh demi Allah (swt.) beliau tidak mati melainkan beliau pergi menuju Tuhannya sebagaimana Musa bin Imran juga pergi ...”, Ustad Idris berkomentar: “Sejak awal Umar tahu bahwa Rasulullah saw. telah wafat, dia juga tahu tentang ayat yang dibaca oleh Abu Bakar ketika datang ke tempat kejadian, yaitu firman Allah swt.:

﴿ وَ مَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُولٌ قَد خَلَت مِن قَبلِهِ الرُّسُلُ أَفَئِن مَاتَ اَو قُتِلَ انقَلَبتُم عَلَی اَعقَابِکُم ﴾ / آل عمران: 144

Artinya: “Dan Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, maka apakah kalau dia wafat atau dibunuh kalian akan mundur ke belakang (murtad)”. (QS. Alu-Imran: 144)., melainkan tujuan dia melontarkan persoalan ini ke depan adalah menyibukkan masyarakat agar jangan sampai berpikir tentang suksesi dan kekhalifahan setelah beliau. Dengan demikian maka dia dapat mengeksploitasi waktu sampai kedatangan Abu Bakar dan apa yang mereka rencanakan sebelumnya berjalan dengan lancar”. Setelah itu, Ustad Idris Huseini menyebutkan kejadian Saqifah Bani Sa’idah dan permainan yang diaktori oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah untuk mencapai target mereka.


Era Pasca Saqifah 

Di bab ini, Ustad Idris Huseini secara khusus menyebutkan stasiun-stasiun penting sejarah pasca Saqifah, kemudian dilanjutkan dengan problem-problem pelik yang disebabkan oleh fenomena Saqifah, di antaranya adalah:
1. Larangan terhadap Fatimah Zahra as. untuk mendapatkan tanah Fadak sebagai warisan dari ayahnya (yakni Rasulullah saw.) dan sikap beliau terhadap larangan tersebut.
2. Serangan militer Abu Bakar terhadap muslimin yang dia tuduh sebagai kelompok murtad karena tidak menyerahkan zakat kepadanya.
3. Kelaliman Abu Bakar dalam hal pelantikan Umar bin Khattab sebagai pemimpin setelahnya yang tentunya merupakan pelecehan terhadap kedudukan muslimin dan penindasan terhadap kebebasan mereka.
Ustad Idris berkata: “Semua orang berusaha untuk menggambarkan Umar bin Khattab dalam bentuknya yang legendaris sebagaimana yang diinginkan oleh musuh-musuh Bani Hasyim, dengan asap tebal itu mereka hendak menutupi keutamaan-keutamaan Bait Alawi (keluarga suci Ali), padahal pada kenyataannya Umar bin Khattab sama sekali tidak mempunyai kelayakan untuk posisi khilafah baik secara psikologis maupun secara sosial.

Dia melanjutkan: “Catatan-catatan negatif tentang Umar bin Khattab dan sikap-sikapnya yang aneh baik dalam politik, sosial maupun hukum tidak akan pernah dilupakan oleh sejarah, di antaranya adalah:
1. Kedangkalan politik.
Dalam hal ini penulis membeberkan bukti yang banyak lalu berkata: “Umar bin Khattab membatasi ruang gerak Ali bin Abi Thalib as. dan Syi’ahnya serta sebaliknya memberikan kebebasan secara luas kepada Dinasti Umayyah”.
2. Kedurhakaan Sosial.
Umar bin Khattab bukanlah lelaki yang disebut-sebut oleh kaum Arab, sebelumnya dia juga tidak punya bobot yang menguatkannya. Di samping itu juga, dia tidak memiliki dokumen nasab yang layak dijadikan sandaran. Oleh karena itu, dia ingin sekali menuntut balas dengan cara merebut posisi kekhalifahan, bukan untuk mencari sesuatu yang hilang darinya melainkan untuk balas dendam terhadap para penguasa dan kalangan elit.
3. Keanehan hukum.
Umar bin Khattab tidak seperti yang diceritakan oleh sejarahwan-sejarahwan kerajaan, dia adalah orang yang tidak memiliki karakter ilmu hukum fikih, bukan hanya itu bahkan dia berani mengeluarkan fatwa-fatwa yang aneh dan keluar dari batas teks agama, Ibnu Abil Hadid mengatakan: “Umar bin Khattab seringkali mengeluarkan fatwa dan kemudian dia sendiri melanggarnya serta mengeluarkan fatwa sebaliknya ...”.[3]
Di samping itu, Umar bin Khattab sendiri berulang kali mengakui kelemahannya dalam hal hukum di depan mayoritas muslimin pada waktu itu sampai akhirnya tersebarlah sebutan bahwa “Semua orang lebih pintar hukum daripada Umar”.


Kekhalifahan Pasca Wafatnya Umar 

Ustad Idris mengatakan: “Kekhalifahan telah memasuki babak permainannya yang ketiga, kekuasaan yang sembrono ini menciptakan kondisi terburuk yang pernah dialami oleh umat Islam”.

Menurut Ustad Idris, ide yang tetapkan oleh Umar bin Khattab untuk menentukan khalifah setelahnya adalah permainan yang matang, kemudian dia mulai mempertanyakan: “Bukankah Umar adalah orang yang sebelumnya berpandangan bahwa urusan kepemimpinan Islam setelah Rasulullah saw. adalah dibiarkan begitu saja dan dipasrahkan kepada muslimin untuk berpendapat di sana? Lalu kenapa dia tidak membiarkannya juga kepada mereka untuk secara bebas mengambil keputusan dalam hal urusan umat Islam? Kenapa dia mengharuskan enam kandidat untuk jalan sesuai dengan idenya dan siapa saja yang menentang harus dibunuh?”.

Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas: “Sebetulnya sejak awal Umar bin Khattab sedang mempersiapkan kekhalifahan Usman bin Affan, sedangkan keinginan dia untuk mengikutsertakan enam orang secara bersamaan adalah taktik dia untuk itu. Dengan taktik itu, dia ingin mengumumkan kepada masyarakat setelahnya bahwa kendatipun Ali bin Abi Thalib as. termasuk di antara enam orang tersebut namun dia tetap tidak memperoleh kekhalifahan karena di samping tidak punya kelayakan dia juga tidak diterima oleh masyarakat, dengan demikian maka secara politis Umar bin Khattab dapat menjatuhkan beliau di depan publik dan menghalangi beliau dari hak kekhalifahan yang sebenarnya. Pada saat yang sama, Umar bin Khattab juga ingin menjatuhkan pesaing-pesaingnya yang lama yaitu Thalhah dan Zubair. Adapun kehadiran Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdur Rahman bin Auf tidak lain hanya untuk keseimbangan yang pada gilirannya akan memenangkan pemilihan Usman bin Affan sebagai khalifah setelah Umar.


Usman atau Fitnah

Akbar Ustad Idris memandang bahwa khalifah ketiga Usman bin Affan adalah produk situasi yang sebenarnya merupakan satu mata rantai dari realitas komplotan bersejarah atas keluarga Bani Hasyim, hanya saja Usman adalah pribadi yang lemah sehingga dia tidak mampu menjaga stabilitas dan keadilan antara masyarakat umum dengan sanak famili.

Politik Usman bin Affan memancing marah muslimin pada waktu itu, karena dari sejak awal berkuasa dia membangun pemerintahannya atas dasar klan, dia mendudukkan Dinasti Umayyah di atas massa sehingga mengundang kebangkitan publik secara meluas yang berujung pada kematiannya.

Ustad Idris menyifati kebangkitan itu: “Kebangkitan demi menegakkan kembali keadilan sosial adalah hak dan benar, kebangkitan itu diikuti oleh seluruh kelompok masyarakat yang menentang politik Usman dengan segenap kepentingan dan tujuan mereka. Oleh karena itu yang membunuh Usman adalah semua orang, baik yang kecil maupun yang besar semuanya telah menuntut balas kepada Usman.

Kemudian dia melontarkan sebuah pertanyaan: “Meskipun begitu, apakah masyarakat pada waktu itu berhasil mengembalikan urusan pemerintah secara maksimal dan menghentikan pengaruh aktif Dinasti Umayyah?

Lalu dia sendiri menjawab pertanyaan itu: “Masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa selain menciptakan titik tolak baru sehingga sejarah Islam memasuki era keguncangan yang besar, otoritas Dinasti Umayyah jauh lebih luas, dalam dan kuat daripada yang dibayangkan dapat disapu oleh kebangkitan orang-orang fakir dan miskin, bertahun-tahun sudah berlalu dari masa kekhalifahan yang memberi peluang penuh kepada Dinasti Umayyah untuk membangun kembali kekuasaan mereka”.

Dia melanjutkan: “Ternyata pembunuhan Usman bin Affan tidak melemahkan Dinasti Umayyah melainkan membuat mereka lebih kuat dari sebelumnya, pembunuhan itu malah mengaburkan sejarah tentang wajah-wajah buruk, kemunafikan semakin menginap lama di sana, dan sesungguhnya pembunuhan Usman adalah pintu masuk ke dalam pengertian tentang sejarah Islam!”.


Bai’at Imam Ali bin Abi Thalib as. 

Penulis memandang bahwa pada akhirnya komplotan anti Imam Ali as. terbentur dengan sejarah, masyarakat tidak lagi menemukan jalan selain kembali kepada beliau, dan mau tidak mau komplotan ini harus berhenti pada satu titik, dan titik itu adalah kesadaran mayoritas umat Islam yang muncul setelah terbunuhnya Usman bin Affan.

Pada saat memerintah, Imam Ali as. menghadapi lingkungan yang didominasi oleh hukum prioritas elit masyarakat, maka langkah pertama beliau adalah menyingkirkan rintangan-rintangan yang berat untuk memberikan hak masing-masing orang tanpa terkecuali, dan langkah beliau ini memancing emosi orang-orang yang sudah terbiasa dengan prioritas atas masyarakat biasa sehingga mereka lebih memilih untuk bergabung ke blok yang lain, yaitu blok Dinasti Umayyah, karena di sana mereka menemukan kepuasan yang mereka dambakan.

Itulah kenapa Imam Ali as. terjun ke pertempuran bersejarah melawan dua kelompok feodal dan kelompok miskin yang oportunis.

Maka terjadilah Perang Jamal, yaitu peperangan yang sifatnya mendadak dan direncanakan oleh akal yang dini serta dipimpin oleh wanita yang berakal lemah. Kemudian dilanjutkan dengan Perang Siffin yang terjadi karena upaya Imam Ali as. untuk menyingkirkan Muawiyah dari pemerintahan berapapun kesulitan yang harus beliau hadapi. Setelah itu terjadi Perang Nahrawan akibat kedangkalan berpikir sekelompok orang dan penentangan mereka terhadap kebijakan Imam Ali as. serta sikap beliau terhadap Muawiyah di situasi yang sangat rumit.

Kemudian penulis menyebutkan secara berurut kejadian-kejadian sejarah yang dimainkan oleh aktor-aktor musuh kebenaran, dia menyebutkan apa yang terjadi pada masa kekhalifahan Imam Hasan as. dan komplotan besar musuh-musuh kebenaran untuk membunuh beliau, setelah itu Muawiyah mulai mengambil langkah-langkah besar untuk mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan, lalu Yazid ikut terlibat dalam huru hara kekuasaan yang menyebabkan munculnya tragedi Karbala.

Pada akhirnya penulis menceritakan kisah dramatis Karbala yang memilukan dengan berdasarkan data-data yang disepakati oleh sejarah, dan di sinilah dia sampai kepada beberapa kesimpulan penting yang mengantarkannya untuk menjadi Syi’ah dan memeluk mazhab Ahli Bayt as.


Pasal Kelima: Konsep-konsep yang Menyibak Hakikat

Pada pasal ini, penulis memilih dua konsep sahabat dan keimaman. Di bagian pertama dia mengungkapkan tindakan politik dan moral generasi yang disebut dengan sahabat Nabi saw., dia menyebutkan beberapa contoh yang di antaranya adalah Abu Bakar dan Aisyah, lalu menilai seberapa benar mereka bertindak.
Hasil yang dia dapatkan adalah: Tidak semua sahabat itu adil. Lalu dia menjelaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda bahwa ada sebagian sahabat yang akan kembali ke tradisi leluhur mereka.
Adapun sehubungan dengan konsep keimaman, penulis membawakan kajian lengkap tentang konsep itu berikut juga tentang urgensitas keimaman, sifat-sifat imam, keutamannya, kesuciannya dan lain sebagainya.


Pasal Keenam: Akidah Imamiyah

Di pasal keenam penulis menerangkan kronologi munculnya Ilmu Kalam (teologi), dia mengatakan: “Ilmu Kalam muncul akibat kejadian-kejadian yang beruntun setelah wafatnya Rasulullah saw., arus kencang tantangan intelektual dan filosofis, yang masuk dari negeri-negeri yang berhasil ditaklukkan ke dunia Islam, menuntut muslimin untuk konsen terhadap Ilmu Kalam demi membuktikan keyakinan mereka secara rasional yang mau tidak mau harus diterima oleh komunitas di luar Islam.

Kemudian penulis memfokuskan pembahasan kepada beberapa persoalan dalam Ilmu Kalam, di antaranya adalah: Tauhid, sifat-sifat Tuhan, keadilan Ilahi, apakah Tuhan bertubuh dan bisa dilihat?, firman Tuhan dan bada’. Dia membahasnya satu persatu secara komparatif antara tiga pandangan kelompok Syi’ah, Muktazilah dan Asyariah, lalu menyebutkan bukti-bukti kuat yang membuatnya bermazhab Ahli Bayt as.
Di penghujung bukunya, Ustad Idris meringkas perjalanannya yang cepat di bidang keyakinan, dia mengatakan: “Kami umumkan pentingnya merujuk kembali dasar keyakinan untuk kemudian membangunnya lagi di atas dasar-dasar yang ilmiah dan teliti serta terhindar dari taklid buta”. Dia menambahkan: “Sungguh saya tidak merasakan manisnya keyakinan kecuali setelah petualangan dan perjalanan ini”.[4]


Referensi:

1. Laqod Syayya’anil Husein; al-Khilafah al-Mughtashobah; majalah al-Minbar, edisi ke3, tahun pertama, bulan Jumadil Ula 1421 h.
2. Tarikh Ya’qubi: jilid 3, halaman 90-93.
3. Syarhu Nahjil Balaghoh, Ibnu Abil Hadid, jilid 3, halaman 181.
4. Riwayat hidup ini dinukil dan diterjemahkan dari situs www.aqaed.com

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Al-Farabi Ilmuwan Muslim Serbabisa


Sosok Al-Farabi banyak menarik perhatian ilmuwan lainnya pada abad pertengahan. Pasalnya, ia dikenal sebagai salah seorang ahli filsafat Muslim yang sangat mumpuni. Dunia pun mendaulatnya sebagai ‘mahaguru kedua’ setelah Aristoteles.

Julukan itu disematkan kepada Abu Nasr Muhammad Ibnu Al-Farakh Al-Farabi, atas kiprah, jasa, dan dedikasinya sebagai seorang filsuf dan ilmuwan terbaik di zamannya. Karenanya, tak heran bila banyak yang mendaulatnya sebagai guru kedua setelah pemikir besar Yunani kuno tersebut. Filsuf Islam yang dikenal di dunia barat dengan nama Alpharabius itu adalah sosok ilmuwan yang serbabisa.

Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis autobiografi, Al-Farabi tidak menulis autobiografi dirinya. Tak ada pula muridnya yang mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu sebagaimana Al-Jurjani yang mencatat jejak perjalanan hidup gurunya, Ibnu Sina.

Karenanya, tak aneh bila muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah Arab pada abad pertengahan, Ibnu Abi Osaybe'a, menyebutkan bahwa ayah Al-Farabi berasal dari Persia. Mohammad Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga menyatakan Al-Farabi berasal dari sebuah keluarga Persia.

Namun, menurut Ibnu Al-Nadim, Al-Farabi berasal dari Faryab di Khurasan. Faryab adalah nama sebuah provinsi di Afghanistan. Keterangan itu diperoleh oleh Al-Nadim dari temannya bernama Yahya ibnu Adi yang dikenal sebagai murid terdekat Al-Farabi.

Sejumlah ahli sejarah dari Barat, salah satunya Peter J King, juga menyatakan bahwa Al-Farabi berasal dari Persia. Berbeda dengan pendapat para ahli di atas, ahli sejarah abad pertengahan, Ibnu Khallikan, mengklaim bahwa Al-Farabi lahir di sebuah desa kecil bernama Wasij di dekat Farab (sekarang Otrar berada di Kazakhstan). Konon, ayahnya berasal dari Turki. Dan menurut Encyclopedia Britannica, Al-Farabi juga berasal dari Turki.

Konon, Al-Farabi lahir sekitar tahun 870 M. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di tanah Farab. Di kota yang didominasi pengikut mazhab Syafii itulah, Al-Farabi menempuh pendidikan dasarnya. Sejak belia, dia sudah dikenal memiliki otak yang cerdas. Ia juga memiliki bakat yang begitu besar untuk menguasai hampir setiap subjek yang dipelajarinya.

Setelah menyelesikan studi dasarnya, Al-Farabi hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih dan ilmu-ilmu lainnya. Ketika itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta keagamaan dari Dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia.

Saat itu, Bukhara dipimpin Nashr ibnu Ahmad (874-892). Pada masa itulah Al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Di kota itu pula Al-Farabi muda mulai mengenal dan mempelajari musik.

Dia sempat menjadi seorang qadhi (hakim). Setelah melepaskan jabatan tersebut, Al-Farabi hijrah ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian serta filsafat. Guru utama filsafatnya adalah Yuhanna ibnu Hailan, seorang Kristen. Dari Ibnu Hailan-lah dia mulai bisa membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya.

Beberapa tahun sebelum kitab-kitab Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Al-Farabi telah menguasai bahasa Suriah dan Yunani. Pada 901 M, bersama sang guru, Al-Farabi memutuskan untuk hijrah ke Baghdad yang saat itu menjadi kota metropolis intelektual pada abad pertengahan.

Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi (902-908 M) dan awal pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir (908-932 M), Al-Farabi sempat pula pergi ke Konstantinopel untuk memperdalam filsafat dan singgah di Harran.

(Republika/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ayatullah Uzma Jawadi Amuli: Setiap Hari Rakyat Yaman Dibantai Tapi Yang Kalian Pikirkan Sakit Demam

Ayatullah Uzma Abdullah Jawadi Amuli.

Marjik Taklid terkemuka Ayatullah Uzma Abdullah Jawadi Amuli dalam pertemuannya dengan Prof. Bruno Latour; filosof, antropolog, dan sosiolog dari Prancis, Kamis (20/4) di Lembaga Internasional Ilmu-Ilmu Wahyuni ISRA menegaskan bahwa sekarang ini, setiap hari rakyat Yaman dibantai tapi yang kalian pikirkan sakit demam.

Problem lingkungan hidup apabila dibandingkan dengan problem-problem ini (pembantaian seperti penyakit demam dibandingkan dengan penyakit kanker! Kita sedang menjauh dari agama! Mereka yang mengaku berperadaban setiap hari melancarkan peperangan, mereka menggerakkan ISIS dan Salafi.

Dalam pertemuan yang dirilis Esra itu, Allamah Jawadi Amuli mengatakan, “Semoga perjalanan Anda ke Iran menjadi perjalanan malakuti. Di samping hal-hal yang biasa dilakukan oleh para wisatawan, mudah-mudahan Anda juga punya safari malakuti di sini.”

Beliau melanjutkan, “Bekal Anda yang paling baik adalah Tauhid. Karena pemimpin-pemimpin Ilahi kita telah mewasiatkan bahwa kemana pun engkau pergi dan kembali, kembalilah dengan tangan penuh. Dan penuhnya bekal perjalanan itu dengan Tauhid.

Guru Besar Hauzah Ilmiah ini menambahkan, “Manusia sebagaimana yang dia temukan pada dirinya dan seperti yang telah difirmankan oleh Penciptanya adalah makhluk abadi. Dan makhluk abadi apabila menyiapkan barang dan bekal yang berpotensi membusuk pasti merugi. Sekiranya dia mengerahkan seluruh daya dan upayanya untuk mengenal bumi, maka nilainnya sebesar bumi dan akan sirna dengan rusaknya bumi. Dan seandainya dia berusaha untuk mengenal langit, maka nilainya juga sebesar matahari dan bulan.

Ulama besar Islam ini mengatakan, “Yang menciptakan semua ini telah mengirimkan dua pesan: pertama bahwa semua itu sirna, dan kedua bahwa semua itu diciptakan dari asap. “Kemudian Dia beristiwa ke langit dan (langit) itu asap” (QS. Fussilat [41]: 11). Kami ciptakan matahari dan bulan dari asap. Sementara mengenai manusia, Allah Swt berfirman, “Dan Ku-tiupkan di dalamnya dari ruh-Ku.” (QS. Al-Hijr [15]: 29). Artinya, Aku sendiri yang menciptakannya, dan aku letakkan sebagian dari manivestasi dan karunia-Ku di dalam dirinya. Karena manivestasi Tuhan tidak mungkin menyimpang dan tidak mungkin pula menutup jalan orang. Sebagaimana manivestasi Tuhan abadi dan tidak akan sirna. Kita yang manusia ini harusnya demikian.”

Beliau menandaskan, “Pengenalan insan kita dan filsafat ilmu kita serta pemikiran-pemikiran lain kita yang berharga mesti diringkas dalam unsur ini: yang pertama bahwa kita adalah abadi dan tidak akan hilang, yang kedua adala kita hidup tidak menyimpang jalan dan tidak pula menutup jalan orang lain.”

Menjawab pertanyaan Prof. Bruno mengenai posisi lingkungan hidup dalam perspektif filsafat Islam, Ayatullah Jawadi Amuli menerangkan, “Penyakit adalah peringatan agar manusia sadar bahwa betapa lemahnya dia ketika sebagian paling kecil dari tubuhnya disfungsi. Karena itu, ketika sehat dia harus hati-hati dalam bertindak.

Persoalannya bukan sekedar bumi, udara dan angkasa. Sekarang, manusia berpikir untuk menaklukkan langit, dan itu bukan hal yang jauh dari kemungkinan. Allah Swt berfirman, “Dan Dia-lah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 84). Tapi, apa pun planet yang ditaklukkan manusia hukumnya tetap sama (Dia-lah Tuhan)! Jangan berpikir bahwa bumi dan udara kita terbatas. Polusi lingkungan hidup seperti penyakit itu tadi; yang menunjukkan adanya kendala dalam sebagian kecil dari tubuh manusia.”

Marjik Taklid terkemuka Syiah ini menambahkan, “Yang patut diutarakan dalam hal ini adalah kita punya tubuh yang jangkauannya adalah sistem galaksi ini, selama kita berpikir membumi dan melangit maka kita masih menjadi bagian dari makhluk tabiat. Tapi ketika kita berpikir abadi, baru kita manusia. Inilah kata-kata Nabi Isa Almasih. Kata-kata Nabi Musa Alkalim.

Bahkan pesan semua Nabi Ilahi. Apa yang merupakan penyempurna, pengoreksi dan pelengkap pesan semua nabi, yaitu Al-Qur’an juga membenarkan hal ini. Ekspektasinya adalah pembahasannya lebih luas dari sekedar bumi dan langit. Kita perlu memikirkan keabadian.”

Beliau menyinggung pertemuannya dengan pemimpin Katolik dunia pada tahun 1368 Hs seraya mengatakan, “Dalam pertemuan singkat dengan Paulus pada tahun 1368 Hs, pesan kita yang paling berharga adalah hadiah Surat Wasiat Ilahi Politik Imam Khumaini kepada dia. Imam di dalam surat wasiatnya, dari atas sampai bawah, dari bawah sampai atas bicara tentang keabadian. Intisari surat wasiat itu adalah umat manusia diatur oleh dua unsur. Di dalam Al-Qur’an dan sabda para insan suci as, dua unsur ini sangat ditekankan. Pertama Ohan (baca: besi) yang mengatur dunia manusia. Dan kedua Oh (baca: “oh” atau “aduh”) yang mengatur dunia dan akhirat manusia. Pesan Al-Qur’an tentang Ohan (besi) adalah, “Dan Kami turunkan (ciptakan) besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia.” (QS. Al-Hadid [57]: 25). Itu artinya, semua gedung pencakar langit, pesawat, kapal dan lain sebagainya terbuat dari besi. Adapun pesan mengenai Oh (oh dan aduh), terdapat di dalam doa bercahaya Imam Ali bin Abi Thalib as di malam-malam Jumat yang dikenal dengan nama Doa Kumail.

Yaitu, “Senjatanya adalah tangisan”. Itu artinya, perang melawan musuh eksternal diatur oleh Ohan (besi), tapi perang melawan hawa nafsu, keangkuhan dan kesombongan dijamin oleh Oh (oh dan aduh).”

Beliau melanjutkan, “Dampak Perang Dunia I dan II minimal 70 juta korban nyawa. Tapi sama sekali tidak membawa kemajuan! Pada zaman sekarang, perang-perang proxy muncul dari lengan kezaliman Barat, dan itu juga tidak membawa kemajuan apa-apa! Yang langka di dunia sekarang Oh itu tadi. Semakin Ohan (besi) diperbanyak, semakin berkuranglah Oh. Pesan Nabi Isa Almasih yang sampai kepada kita melalui para pemimpin Ilahi adalah “Orang yang melihat korban luka tapi tidak bergegas untuk menyembuhkannya adalah sekutu dalam kejahatan orang yang melukainya.” Itu artinya, bukan hanya jangan pernah memaksakan perang terhadap orang lain, bahkan ketika ada orang yang memaksakan perang terhadap sebuah bangsa yang tertindas maka engkau harus membalut luka mereka dan membantu menyembuhkannya. Inilah resep yang manjur dan juga obat bagi umat manusia zaman sekarang.”

Setelah itu, Ayatullah Uzma Jawadi Amuli meluruskan kesalahan berpikir Prof. Bruno yang mengira bahwa terlupakannya lingkungan hidup adalah akibat perhatian terhadap akhirat dan keabadian manusia. Beliau menjelaskan, “Manusia kadang tidak melihat karena terlalu dekat. Kalau Anda menempelkan satu benda kecil di mata Anda maka Anda tidak melihatnya! Tapi bukan berarti benda itu tidak ada, melainkan karena benda itu terlalu dekat dengan Anda. Ide keabadian sudah terpatri di dalam diri kita yang paling dalam. Kecenderungan kepada Tuhan telah disemayamkan di dalam diri kita. Manusia yang malang Anda lihat merintih karena dia punya modal di dalam dirinya. Sebagaimana tadi telah disinggung, semua kendala bumi dan langit kita adalah kita sedang salah jalan atau sedang menutup jalan orang lain. Obat manjur kebanyakan penyakit manusia zaman sekarang adalah Oh dan ingat Tuhan! Sekiranya orang sadar bahwa dirinya abadi dan bertanggungjawab atas seluruh pikiran serta idenya, begitu pula akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh niat dan keputusannya, pasti dia tidak akan berbuat buruk bukan hanya terhadap tubuhnya, tidak akan berbuat jahat bukan hanya terhadap bumi, terhadap udara dan angkasa juga tidak akan berbuat buruk dan jahat. Bahkan dia tidak akan berpikiran buruk terhadap apa pun yang punya saham keberadaan. Islam mengajarkan apabila seseorang menyiramkan satu ember air ke sebuah tunas, maka dia seperti halnya menyelamatkan orang yang haus dari kematian. Inilah ajaran Islam.

Sementara itu, di hadapan pemikiran Islam ini, pembuatan bom yang marak di Barat dan yang seperti Barat adalah satu macam kebrutalan dan keliaran.”

Marjik Taklid kontemporer Syiah ini menekankan, “Kalian, yang terhormat, perlu sadar bahwa manusia kadang sakit demam, dan kadang sakit kanker jantung. Kanker itu yang harus dan darurat untuk segera disembuhkan, bukan demam. Lingkungan hidup hanya bagian dari penyakit kita, lingkungan hidup bukan faktor pencetus Perang Dunia I dan II, bukan faktor pencetus perang-perang proxy. Sekarang ini, setiap hari rakyat Yaman dibantai tapi yang kalian pikirkan sakit demam. Problem lingkungan hidup apabila dibandingkan dengan problem-problem ini seperti penyakit demam dibandingkan dengan penyakit kanker! Kita sedang menjauh dari agama! Mereka yang mengaku berperadaban setiap hari melancarkan peperangan, mereka gerakkan ISIS dan Salafi. Mudah-mudahan suatu hari manusia berakal dan sadar apa yang sedang ia lakukan.”

(Wali-Faqih/Islam-Times/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kata KH Sholeh Darat, Guru Kartini dan Sesepuh NU: Khalifah dan Khilafah Sudah Tidak Ada

KH Sholeh Darat

Oleh: M. Rikza Chamami(*)

Dalam kitab Tarjamah Sabilul ‘Abid ‘ala Jauharatit Tauhid karya KH Sholeh Darat halaman 233 menjelaskan tentang syair Syaikh Ibrahim Allaqani:

وخيرهم من ولي الخلافة * وامرهم في الفضل كالخلافة

Kemuliaan para sahabat Nabi itu saat diangkat menjadi khalifah dan perilakunya menjadi utama sesuai aturan kekhalifahan.

KH Sholeh Darat, yang merupakan guru agama RA Kartini dan sesepuh dari pendiri-pendiri NU, menegaskan bahwa keutamaan sahabat Nabi adalah saat benar-benar diangkat menjadi khalifah, seperti:
1. Sayyidina Abu Bakar (2 tahun, 3 bulan, 10 hari)
2. Sayyidina Umar (10 tahun, 6 bulan, 8 hari)
3. Sayyidina Utsman (11 tahun, 11 bulan, 9 hari)
4. Sayyidina Ali (4 tahun, 9 bulan, 7 hari)

Jumlah masa kekhalifahan itu adalah 29 tahun, 6 bulan, 4 hari.

Rasulullah Saw memang pernah menyampaikan bahwa umur khalifah itu 30 tahun dan setelah itu adalah kerajaan, sabda Nabi:

الخلافة بعدي ثلاثون اي سنة ثم تصير ملكا عضوضا

Dengan pesan itu, maka usia khalifah belum genap 30 tahun sudah selesai. Kemudian dilanjutkan hanya 6 bulan 5 hari oleh Sayyidina Hasan bin Ali, kemudian dicopot.

Setelah itu, maka digantikan dengan model kerajaan atau dinasti oleh Muawiyah bin Abi Sofyan menyebut dirinya Amirul Mu’minin. Dan secara tegas Muawiyah menyebut:

انا اول الملوك

Nama muluk sangat berbeda dengan khalifah. Sebab muluk sebagaimana dikatakan oleh KH Sholeh Darat adalah orang yang membuat madlarat bagi rakyat yang dipimpinnya.


Maka setelah empat khalifah itu tidak diperkenankan memakai sebutan khalifah Rasulillah Saw. Termasuk tidak diperkenankan memakai gelar khalifatillah Swt, sebab gelar itu hanya untuk Nabi Adam dan Nabi Dawud sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an. Para Nabi juga diperbolehkan memakai gelar khalifatullah.

Pesan KH Sholeh Darat berikutnya adalah: “Ratu zaman akhir itu tidak tepat memakai julukan Khalifatu Rasulillah dan khalifatullah. Sebab perilakunya tidak mirip dengan sahabat Nabi dan salafus shalih.”

(*)Dosen UIN Walisongo

(NU-Online/Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Siapakah Allan Nairn Yang Menjadi Target TNI?

Allan Nairn

Siapa Allan Nairn ?

Allan Nairn adalah sosok yang menakutkan bagi para Jenderal di Indonesia. Pria kelahiran Morristown, New Jersey, Amerika Serikat, yang lahir pada tahun 1956 yang silam adalah seorang jurnalis kawakan spesialis investigasi yang khusus menulis artikel tentang hasil investigasinya terkait kebijakan luar negeri Amerika Serikat di negara negara seperti Haiti, Guatemala, Indonesia, dan East Timor.


- Pria yang diklaim pernah tujuh kali masuk ke Indonesia secara ilegal itu bagaikan momok yang mengerikan di kalangan militer Indonesia,. Di jaman rezim Soeharto dulu, melalui andil Amerika Serikat, Allan Nairn pernah merasakan dinginnya jeruji besi karena dipenjara oleh pasukan militer Indonesia.

Allan Nairn adalah saksi kunci dalam insiden Santa Cruz di Dili, East Timor, pada tanggal 12 November 1991 yang silam. Militer Indonesia kala itu melakukan pembantaian terhadap 271 warga sipil di Santa Cruz, Dili. Allan mengalami luka retak di kepala akibat dihajar popor senapan M16 tentara Indonesia.


Pada tahun 2010, Allan Nairn kembali menjadi incaran Militer Indonesia karena dianggap telah melakukan fitnah yang keji terhadap militer Indonesia. Allan Nairn menantang dan mengancam balik akan membuka semua borok militer Indonesia jika ia ditangkap.


- Pada masa pilpres 2014 yang lalu, Allan Nairn kembali bikin heboh yang membuat mantan Komandan Jenderal Kopassus Prabowo Subianto berang dan murka karena boroknya Prabowo dibuka Allan Neirn ke publik. Allan Nairn dituding telah melanggar janji untuk tidak mengungkap isi wawancara yang dilakukan pada tahun 2001 yang silam itu ke publik sehingga banyak orang akhirnya jadi tahu sisi gelap pemikiran sang mantan Jenderal.

Akibat nyanyian merdu Allan Nairn, elektabilitas Prabowo Subianto yang saat itu sedang berjuang keras untuk memenangkan pertarungannya melawan Jokowi untuk merebut kursi Presiden RI akhirnya tumbang dan ambruk tanpa ampun.


Lantas apa peran Hary Tanoe, Tommy Soeharto, dan Fadly Zon dibalik otak upaya makar melalui Kasus Al-Maidah? Mari kita simak paparan berikut:

Permufakatan Jahat Untuk Menjungkalkan Presiden Jokowi Lewat Kasus Al-Maidah

Dalam tulisan investigasi Allan Nairn yang berjudul, ” Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President “, disebutkan bahwa pendukung utama gerakan permufakatan jahat dalam aksi makar untuk menggulingkan Presiden Jokowi yaitu didukung penuh dari belakang layar oleh Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI saat ini, dan rekan bisnis Donald Trump di Indonesia, Hary Tanoe.


- Sumber sumber hasil investigasi Allan Neirn tentang gerakan makar untuk menumbangkan Presiden Jokowi diperoleh Allan dari sejumlah wawancaranya dan dokumen dokumen yang diperoleh Allan Nairn dari internal TNI, Kepolisian, Intelijen Indonesia, serta Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat ( NSA ) yang dibocorkan oleh Edward Snowden.

Dalam investigasi Allan Nairn dengan tokoh tokoh kunci yang menggerakan perlawanan terhadap Presiden Jokowi melalui kasus Ahok, kasus penistaan agama yang menimpa Ahok hanyalah jembatan untuk menuju tujuan yang lebih besar, yaitu menumbangkan Presiden Jokowi dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.


- Awal gerakan makar dimulai dari gelombang aksi besar besaran dengan tema aksi bela Islam yang bermunculan bak jamur di musim penghujan dalam masa Pilpres DKI Jakarta 2017. Aksi aksi itu sengaja diciptakan sebagai pintu masuk gerakan makar dengan dalih menuntut Ahok segera ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan penistaan agama dalam kasus Al-Maidah.

Kivlan Zein mengatakan kepada Allan Nairn bahwa Ahok adalah berkah bagi gerakan makar melalui kasus keseleo lidahnya tentang Al-Maidah ayat 51 itu.

Aktor dalam rantai jejaring komando yang berperan sebagai pembuka jalan adalah Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin oleh Rizieq Shihab. Selain Rizieq, juga ada peran Juru Bicara dan Ketua Bidang Keorganisasian FPI, Munarman, serta Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI saat ini.


- Arsip Snowden banyak menyimpan dokumen tentang ormas besutannya Rizieq Shihab yang merupakan cabang dari Jemaah Islamiyah, yaitu jaringan jihad yang terlibat dalam kasus Bom Bali pada tahun 2002 yang silam. Selain itu, Munarman juga pernah terekam hadir dalam pembaiatan massal kepada ISIS dan Abu Bakar al Baghdadi.

Dengan kekuatan pendanaan yang baik dan terorganisir rapih, mereka berhasil mengumpulkan masa umat Islam dari berbagai wilayah di Jakarta dan dari luar Jakarta untuk mengepung Jakarta.

- Allan Nairn mendapat informasi yang detil terkait aksi aksi tersebut dari lima laporan internal Intelijen Indonesia. Salah satu laporan menjelaskan bahwa penyandang dana gerakan aksi bela Islam sebagian didanai oleh Tommy Soeharto.

Peran Tommy dalam aksi upaya makar terhadap Presiden Jokowi juga diakui oleh Jenderal ( Purn ) Kivlan Zein yang punya peran besar membantu FPI dalam memimpin aksi besar besaran bela Islam di Jakarta pada bulan November 2016 yang lalu.


- Selain Tommy Soeharto, laporan lainnya menyatakan bahwa sebagian dana berasal dari Hary Tanoe, rekanan bisnis Donald Trump di Indonesia. Hary Tanoe adalah salah satu sosok yang dianggap penting untuk menjembatani akses Prabowo Subianto ke Donald Trump.

Laporan lainnya yang dipaparkan Allan Nairn dalam tulisan hasil Investigasinya bahwa sebagian dana gerakan FPI berasal dari mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Tujuh staf intelijen/militer aktif dan pensiunan militer mengatakan kepada Allan Nairn bahwa SBY memang menyumbang untuk aksi aksi FPI, tetapi ia menyalurkannya secara tidak langsung.


- Salah satu informan Allan Nairn adalah Laksamana ( Purn ) Soleman Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis ( BAIS ) dan penasehat aktif Badan Intelijen Negara ( BIN ). Soleman Ponto mengatakan bahwa SBY menyalurkan bantuannya melalui masjid dan sekolah.

Soleman Ponto mengetahui hal ini karena selain keterlibatannya di dunia intelijen, ia juga tergabung dalam grup WhatsApp ” The Old Soldier ” yang terdiri dari Jenderal Jenderal tua.

Menurut Soleman Ponto, para pendukung gerakan makar menunggangi kasus Ahok sebagai pintu masuk untuk menggulingkan Presiden Jokowi.


- Caranya bukan dengan melakukan serangan langsung militer ke Istana Negara dengan senjata, melainkan melalui gerakan soft kudeta hukum, seperti yang dilakukan mahasiswa ketika menggulingkan Presiden Soeharto pada tahun 1998 yang silam.

” Makar ini seperti People Power. Tetapi karena semuanya sudah ada yang mengongkosi, militer tinggal tidur. Dan Presiden sudah terjengkang saat mereka bangun “, ujar Soleman Ponto dalam tulisan investigasinya Allan Nairn.


- Skenario lainnya, aksi aksi yang dipimpin FPI diskenariokan untuk membikin Jakarta dan kota kota lain di Indonesia kacau balau. Tentara akan ikut campur jika ada kekacauan. Dalam keadaan damai, mereka tidak dapat berbuat apa apa.

Rencana besar ini diuraikan secara rinci oleh dua pentolan FPI, Muhammad Khattath dan Usamah Hisyam, saat Allan Nairn bertemu mereka pada bulan Februari yang lalu.


- Setelah Khattath ditangkap polisi, Usamah mengirim pesan kepada Allan Nairn bahwa kini ia yang ambil alih kendali perjuangan di lapangan, seperti halnya peran Khattath yang mengambil alih kendali di lapangan setelah Rizieq digembosi dengan kasus skandal seks.

Kivlan Zein memberitahu Allan Nairn bahwa beberapa hari sebelum demonstrasi besar-besaran di Jakarta pada tanggal 4 November 2016, Kivlan menerima pesan teks dari Mayjen ( Purn ) l Budi Sugiana yang memintanya untuk ikut serta dan mengambil alih gerakan 411.


- Misinya yaitu bergabung bersama Rizieq di atas mokom ( mobil komando ) selama demonstrasi berlangsung, karena mereka butuh orang untuk mengambil alih massa di luar Istana Negara seandainya Rizieq tertembak dan mati.

Di depan massa, para pemimpin gerakan diharuskan mengklaim bahwa mereka sangat terluka oleh ucapan Ahok. Tetapi secara strategis pernyataan Ahok itu mereka terima dengan senang hati, karena membuka jalan bagi mereka ke arah makar. Pada bulan Desember 2016, Kivlan Zein akhirnya ditangkap Polisi dan digelandang ke Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.


- Saat Allan Nairn duduk dengan Usamah dan para pimpinan gerakan lain, mereka berdiskusi tentang Hary Tanoe, yang mereka puji sebagai pendukung utama gerakan mereka melalui bantuan dana langsung dan melalui pencitraan di stasiun stasiun televisi milik Hary Tanoe.

Mereka yang berada di ruangan itu satu suara menginginkan duet pemerintahan Prabowo – Hary Tanoe, Hary sebagai Presiden dan Prabowo sebagai Wakil Presiden, atau sebaliknya, tergantung polling nantinya bagaimana.

**

Artikel ini saya tulis berdasarkan referensi tulisan dari versi asli tulisan Allan Nairn yang berjudul, ” Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President “.

Gaya bahasa dalam tulisan ini saya olah dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti oleh semua kalangan. Apa yang dipaparkan oleh Allan Nairn diatas hampir mendekati kebenaran, karena memang Ahok hanyalah tumbal. Saya ingat ucapan Presiden Jokowi di Televisi ketika diwawancarai oleh wartawan, masalah pilkada kok larinya ke saya.


- Untungnya Presiden Jokowi bukan Presiden yang mudah digulingkan. Beliau mampu mengkosolidasikan situasi genting saat itu dengan mengunjungi kekuatan militer dan melakukan pendekatan kepada Ulama Ulama para pemimpin agama, sehingga situasi akhirnya dapat dikendalikan dan menjadi kondusif.

Sekalipun latar belakangnya bukan militer, Presiden Jokowi adalah sosok seorang pemimpin yang mampu menaklukan para pensiunan Jenderal bengis yang siap menerkamnya setiap saat disaat lengah.

Seperti statement Jokowi dalam acara debat pilpres 2014 yang lalu, ” Kalau soal kedaulatan bangsa, jangan dikira saya tidak bisa tegas, kita akan bikin rame “.

(The-Intercept/Tirto/Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Orang-orang Tersohor Yang Tampil di Radio Al-Quran Mesir


Dengan berlalunya 53 tahun dari umur cannel radio al-Quran Mesir, masyarakat Mesir sangat tertarik, yang sejatinya hampir menyerupai seruan-seruan langit; suara-suara merdu seperti milik Abdul Basit, Syaikh Muhammad Rif’at, Syaikh Mahmoud Khalil Al Husary dll, dimana nama-nama mereka sangat berkaitan erat sekali dengan media ini.

Menurut laporan IQNA seperti di kutip dari al-Youm al-Sabi’, bulan Maret tahun 1964 dimulai penyiaran secara resmi radio al-Quran Mesir, dengan tujuan melawan pemikiran ekstrem yang baru muncul serta menghalau kemunculan nasakh penyelewengan al-Quran.

Abdul Qadir Hatim, menteri bimbingan Mesir saat itu dan pengawas kementerian informasi negara ini merekomendasikan kepada Jamal Abdul Nasir, presiden waktu itu agar meluncurkan radio al-Quran guna menyiarkan tilawah-tilawah rekaman al-Quran. Jamal Abdul Nasir menyetujui agenda tersebut dan dengan mengeluarkan perintah pendirian sebuah cannel radio khusus al-Quran, dimulailah penyiaran radio al-Quran Mesir pada tanggal 29 Maret 1964.

Dengan berlalunya 53 tahun dari umur cannel radio al-Quran Mesir, masyarakat Mesir sangat tertarik, yang sejatinya hampir menyerupai seruan-seruan langit. Di sini akan kami isyaratkan para qori terkemuka, yang mana namanya selalu berkaitan dengan radio al-Quran Mesir, dalam sepanjang aktivitas cannel radio ini, dibentuklah banyak komite yang terdiri dari para pengajar qiraat dengan tujuan identifikasi potensi-potensi gemilang dalam qiraat, tartil, tawasih dan lantunan doa guna memperkenalkan suara-suara asli.


1- Syaikh Muhammad Rif’at

Syaikh Muhammad Rif’at lahir pada bulan Mei tahun 1882 Masehi, di Kairo. Di usia 2 tahun ia kehilangan penglihatannya dikarenakan sakit. Ia menghafal al-Quran sejak dari umur 5 tahun dan menimba ilmu qiraat sepuluh, tafsir, dan kemudian ilmu naghom musik pada sejumlah ustad waktu itu.


Syaikh Muhammad kehilangan ayahnya saat umur 9 tahun, dan ia mengemban tanggung jawab keluarga, di seluruh kesukaran kehidupannya, ia berlindung pada al-Quran, meski tanpa ia kehendaki ia mendapatkan mata pencaharian dari qiraat al-Quran; pada tahun 1918 di usia 15 tahun ia menjadi qori al-Quran di masjid Fadhil Basha, yang terletak di kawasan Sayidah Zainab. Sejak saat itu ia mulai tersohor dan suaranya semakin memukau dan dengan fatwa Muhammad al-Ahmadi al-Dhawahiri, syaikh Al-Azhar waktu itu, agar membuka radio al-Quran Mesir pada tahun 1934 secara tidak resmi dan melantunkan tilawah pertama kalinya di tengah-tengah masyarakat Mesir dengan ayat pertama surah Al-Fath, Inna Fatahna Laka Fathan Mubinan.


2- Ustad Abdul Basit Abdus Somad

Syaikh Abdul Basit Abdus Somad lahir pada tahun 1927 di desa Al-Muzaazah, kota Armant yang terletak di propinsi Qana Mesir. Ia tumbuh di keluarga Qurani, kakeknya Abdus Somad termasuk salah seorang hafiz terkemuka Al-Quran yang menguasai hafalan, tajwid dan hukum-hukum Al-Quran dan kakek dari ibunya juga Abu Dawud termasuk salah seorang arif kota Armant. Demikian juga Ayah Abdul Basit Abdus Somad menguasai tajwid Al-Quran.


Di akhir-akhir tahun 1951, Syaikh Dhiba’, salah seorang pengajar al-Quran Mesir waktu itu meminta Abdul Basit untuk bekerjasama sebagai qori radio Mesir, namun ia menolak hal ini sampai pada akhirnya ia pun menerima permintaan tersebut. Syaikh Dhiba’ dengan mendapatkan rekaman tilawah Ustad Abdul Basit pada malam milad Sayidah Zainab (Sa) lantas ia memberikannya kepada komite evaluasi radio yang kebetulan semuanya sangat terkagum-kagum atas tilawah kuat, tingkat tinggi, kokoh, serta mahirnya Abdul Basit. Pada tahun itulah ia memasuki Rasio Mesir sementara saat ia melewati 50 tahun umurnya, ia berhasil meraih medali khusus radio al-Quran Mesir.


3- Syhaik Mahmoud Khalil Al Hussary

Al Hussary memulai karirnya dengan radio al-Quran lewat pengajuan permohonan ke jaringan radio ini pada tahun 1944 dan dengan berpartisipasi dalam ujian masuk, ia berhasil mengalahkan para rivalnya dan dikenal sebagai qori terkemua radio Mesir. Qiraat pertamanya diputar dari jaringan ini pada tanggal 16 November secara langsung.


Ia terkenal dengan suara istimewa; dikarenakan memiliki kemerduan tersendiri. Ustad Al Hussary termasuk para qori tersohor al-Quran di Mesir dan dunia Islam, ia orang pertama yang merekam al-Quran secara tartil dengan bacaan sepuluh. Al Hussary banyak melakukan lawatan ke negara-negara Islam dan barat dan melantunkan tilawah di majelis-majelis al-Quran, dengan suara indah dan merdunya, sejumlah non muslim pun memeluk Islam; demikian juga ia orang pertama yang melantunkan al-Quran dalam kongres Amerika dan mengumandangkan azan salat Zhuhur di PBB, ia juga melakukan lawatan ke sejumlah negara seperti Indonesia, Filipina, India, Cina, dan Inggris.


4- Mahmoud Ali Al Banna


Mahmud Ali Al Bana, tahun 1948 di usia 20 tahun dipekeruakan sebagai seotang qori dari radio al-Quran Mesir. Ia merupakan qori terkecil di jaringan radio ini. Ia menjadi qori masjid Malik, masjid al-Rifa'i, dan kemudian pada tahun 1959 menjadi qori masjid Imam Husein (As); pada tahun itu juga mendapatkan keputusan menjadi qari masjid Ahmadi kota Tanta. Lebih dari 21 tahun ia melantunkan tilawahnya di situ. Tahun 1980, ia kembali lagi ke masjid Imam Husein (As) dan melanjutkan rute Quraninya di situ.


5- Ustad Ahmad Nuaina

Ahmad Ahmad Nuanina termasuk qori tersohor radio al-Quran Mesir yang lahir pada tahun 1954 di kota Metoubes dan belajar SD dan SMP nya di kota tersebut dan menamatkan SMA nya di kota Rashid dan selanjutnya meneruskan ke fakultas kedokteran universitas Inskandariah dan setelah lulus, ia bekerja di rumah sakit universitas tersebut.


Ia menghafal al-Quran sedari umur 8 tahun dan mempelajari tajwid dari Ahmad al-Shawwa, Ustad Nuaina mengakhiri tilawah al-Quran dengan kalimat Shadaqallâh al-‘Aliyyul ‘Adzîm, dimana penutupan indah ini belum marak dikalangan para qori lainnya, menjadi daya Tarik tersendiri bagi para pendengar.


6- Muhammad Siddiq al-Minshawi


Al-Minshawi, termasuk salah seorang perintis qiraat yang mana tilawahnya sangatlah istimewa dibanding dengan yang lainnya, dengan metode istimewa dan berbalut kesedihan. Ia lahir di desa al-Bawarik, kota Minshat. Ia menamatkan hafalan al-Quran di usia 8 tahun dan tumbuh besar dalam sebuah keluarga penghafal al-Quran, ayahnya adalah Siddiq al-Minshawi, yang telah mengajarinya seni qiraat al-quran. Naghom qiraat al-Quran dalam Minshawi ini dapat kita namakan dengan Maktab al-Minshawi; Ustad al-Minshawi menyebarkan naghom Maurutsi dan termasuk salah satu abdi menonjol al-Quran; ia demikian juga digelari dengan Shaut al-Baki (suara yang menangis) dikarenakan tilawah istimewa dan dukanya.


7- Ustad Sayid Muhammad Naghsbandi


Sayid Naqshbandi adalah guru para madah dan sebuah maktab khusus dalam lantunan doa dan termasuk pembaca doa tersohor dan pembaca tawasih dalam sejarah nasyid religi Mesir; ia memiliki suara istimewa dan menurut para musisi, termasuk salah seorang yang memiliki suara terkuat dan terluas dalam sepanjang sejarah tilawah-tilawah yang direkam.

(Al-Youm-Al-Sabi’/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: