berbagai simbol agama dunia.
Saat kuliah di ITB dulu, kami dibebaskan
untuk mengambil mata kuliah agama apapun. Meski Anda muslim, Anda boleh
mengikuti perkuliahan Agama Hindu, atau agama lainnya asalkan tercantum
dalam Kartu Studi Mahasiswa. Dan benarlah, dengan entah karena ingin
dapat nilai A atau hal lain, beberapa teman muslim atau kristiani
mengambil mata kuliah Agama Hindu atau Buddha. Konon, yang paling mudah
mendapatkan nilai bagus adalah Mata Kuliah Agama Hindu. Selain dosennya
baik, juga tak ada jam tambahan berupa mentoring. Perkuliahan yang padat
membuat beberapa teman menjadi pragmatis, toh ikut kuliah Agama berbeda
tak membuat mereka menjadi murtad. Hal lainnya adalah mereka dapat
nilai bagus, mendongkrak IPK dan tentu saja jadi ikut memahami
‘perbedaan’ agama yang dia anut dengan agama yang dia pelajari itu.
==
Saya termasuk tak begitu peduli apa agama yang tercantum di KTP Anda. Sepanjang anda berperilaku baik, maka Anda layak jadi teman saya. Kalau Anda suka tersenyum, membantu orang kesusahan, maka Anda layak menjadi kembang harum di masyarakat. Kalau anda berperilaku buruk, suka bergunjing, merebut paksa hak orang lain, maka saya yakin agama apapun yang anda cantumkan di KTP tak akan menjadikan Anda disanjung-sanjung. Anda akan jadi sampah masyarakat.
Kalau Anda mau menikah, calon pasangan
Anda tentu tak perlu payah-payah memeriksa kolom agama anda di KTP, tapi
cukup mengamati keseharian Anda. Apakah anda rajin ke mesjid, atau ke
tempat ibadah lain. Meskipun di KTP Anda tercantum identitas agama
formal anda, tapi kalau rupanya Anda tak melaksanakan ritual peribadatan
keseharian, lantas apa gunanya? Bukankah itu akan sedikit membelokkan
anggapan orang lain, bahwa kalau Anda menganut agama tertentu sesuai KTP
maka serta merta Anda diharapkan ‘rajin’ beribadah dan dengan demikian
akhlak Anda pun baik.
Juga, kalau Anda bangga dengan Agama yg
tercantum di KTP, tapi lantas gemar mengusik iman atau mazhab saudara
se-agama Anda dengan mencela keyakinan mereka, lantas apa gunanya
persamaan itu? Bukankah agama seharusnya menebarkan kedamaian, bukan
permusuhan. Sesama mahluk Tuhan saja wajib saling menghargai, apalagi
kalau KTP Anda mencantumkan agama yang sama dengan rekan yang Anda
caci-maki itu. (Ingat fitnah massif yang digencarkan ke salah satu
capres tertentu di masa kampanye, meski ia sudah menunjukkan scan copy
KTP dan bahkan Surat Nikahnya? ).
Dahulu ada istilah yang cukup
menggelikan, dikenakan ke sebagian orang; “Islam KTP” atau “Kristen KTP”
atau “Hindu KTP”. Maksudnya, Agama mereka itu hanya pelengkap status
saja di KTP, tapi kenyataannya mereka tak mempraktekkan amalan agama
tersebut. Mudah-mudahan sih memang pada akhirnya, ketika menjelang ajal,
dia tak lagi sekadar ber-agama KTP. Tapi sudah tobat nasuha.
Meski demikian, pencantuman agama di KTP tetap ada gunanya juga. Misalnya untuk keperluan statistik, dan data ini bisa dipakai pemerintah untuk mengajukan kuota haji ke Arab Saudi misalnya. Atau hal lainnya, demi menjadi alat diplomasi (atau dagang) ke negara-negara Arab bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk sekian persen yang seiman dengan mereka.
Di Uni Emirat Arab ini, tak ada kolom
Agama di Kartu Emirat Identity saya. Tapi saat mengisi formulir, jelas
kami wajib menyampaikan informasi pribadi itu. Bahkan kalau Anda
mencantumkan Islam sebagai Agama Anda, akan ada pertanyaan tambahan
yakni mazhab yang dianut, apakah bermazhab Sunni atau Syiah. (Di UAE,
hanya Syiah dan Sunni yang diakui sebagai mazhab dalam Islam). Kalau tak
mengisinya, formulir Anda akan ditolak. Tapi saat Emirate ID saya
dicetak, data yang ditampilkan hanya foto, nama, kebangsaan, tanggal
lahir, jenis kelamin, dan nomor ID. Tak ada kolom Agama.
Apakah saya menolak Agama dicantumkan di Emirat ID? Tentu saja bukan maunya saya. Itu maunya pemerintah.
(source)