Sampai sekarang istilah Syiah melekat kepada umat Islam yang mengakui
kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib setelah wafat Rasulullah saw; yang
juga meyakini khalifah Islam harus berasal dari keturunan Sayidah
Fathimah Az-Zahra.Sampai sekarang, Syiah melekat kepada umat Islam yang
mengambil sumber-sumber agama dari Ahlulbait.Dalam sejarah politik
Islam, orang-orang menyebut para pengikut Ahlulbait sebagai Syiah.
mari kita telusuri periode pertama dari kehidupan Umat Islam pada
zaman Nabi, kita akan menemukan adanya dua garis pemikiran utama yang
sangat bertolak belakang dan juga muncul berbarengan dengan timbulnya
masyarakat Islam awal.
Umat sunni masa kini menganggap semua sahabat adil adalah sebuah
sikap ghuluw karena faktanya tidak semua sahabat adil, antara sahabat yg
satu dengan sahabat yg lain tentulah ada perbedaannya tidaklah sama
dalam hal ilmu dan keadilannya dan ini bisa kita analogikan sebagai
sebuah sikap menentang sunatullah dan didalam sejarah terbukti siapa
yang menentang Sunatullah akan binasa dan celaka….pelajari kitab-kitab
sejarah dengan seksama dan saudara akan terbelalak melihat fakta yang
tak sesuai dengan keinginan saudara !!!!!!.
Perbedaan antara sunni – syi’ah telah mengakibatkan timbulnya
beberapa perbedaan ideologis saat Rasul menemui Kekasihnya. Yang mana
Ideologi itu melahirkan perbedaan garis politik antara dua kubu yang
kemudian cenderung membentuk dua blok atau partai politik dalam tubuh
masyarakat Islam.
Lalu salah satunya berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan yang
mendapat simpati dan dukungan dari mayoritas masyarakat. Sebaliknya,
kubu lain yang tidak berhasil cenderung menjadi kelompok minoritas yang
eksklusif dan tersudutkan di tengah-tengah masyarakat yang tidak
mendukung bahkan memusuhi mereka. -Kelompok minoritas tersebut adalah
Syi’ah.
Dua kubu utama yang sama-sama menyertai masa lahirnya dan terbentuknya masyarakat Muslim pada zaman Nabi itu sebagai berikut:
Kelompok pertama: menerima secara mutlak keputusan dan perintah
agama tanpa pamrih, tanpa mengutamakan ide sendiri atas ketentuan
tersebut dan menghayati serta meyakini hukum dan penyelesaian agama
terhadap segala aspek kehidupan.
Kelompok kedua: beranggapan bahwa loyalitas dan iman kepada agama
tidak menuntut penghayatan dan penerapan dalam bentuk praktek setiap
masalah yang bersumber pada agama kecuali pada masalah yang bersifat
ritual dan dogma. Selanjutnya lebih dari itu mereka mengutamakan ijtihad
sebagai penyelesaian yang dapat menggantikan fungsi hukum agama dengan
mempertimbangkan keadaan dan ukuran kepentingan yang dibutuhkan dalam
segala segi kehidupan.
Mungkin faktor utama dari berkembang dan tersebarnya pengaruh
pemikiran ijtihadi (bil ra’yu) dikalangan Muslimin adalah garis dan pola
pemikiran seperti ini yang sedikit banyak bersatu dengan naluri
kecenderungan setiap orang yang selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan dan kehendak pribadinya daripada bertindak atas dasar
perintah dan dorongan dari luar, yang terkadang belum dimengerti
maksudnya.
Garis pemikiran ini dipelopori dan disponsori oleh beberapa sahabat
senior seperti Umar bin Khattab yang terkenal nekad menegur dan
mengkritik sebagian tindakan Rasul (yang adalah wahyu Allah) dan
mengajukan pendapat pribadinya dalam beberapa masalah yang bertentangan
dengan teks ketetapan agama atas dasar alasan dan anggapan yang
tampaknya rasionil bahwa ia sebagai orang berakal berhak menyelesaikan
sendiri beberapa urusan yang mungkin penyelesaiannya itu tidak sama
dengan penyelesaian yang telah diajarkan agama.
Kenyataan ini terlihat dalam sikapnya yang kontroversial dalam
menanggapi fakta perdamaian Hudaibiyah dan kritiknya yang tegas terhadap
resolusi per damaian yang disepakati dan ditanda tangani deh Rasul dan
langkahnya yang mengundang sensasi dengan menon-fungsikan Hayya ‘ala
kholrll ‘amal dalam panggilan azan yang telah diajarkan deh Rasulullah
SAW. la Juga sempat tenar karena langkahnya mencanangkan hukum modern
dan menanggalkan hukum lama Rasul dengan mengharamkan dan meniadakan
Hajji Mut’ah (Tamattu) dan ratusan pikiran-pikiran pribadinya yang tak
asing lagi bagi kita.
Dua aliran pemiklran yang sangat berbeda itu pernah bertemu dan
tertumpah secara kebetulan di satu tempat dan wadah pada hari terakhir
hidup Nabi). Bukhori telah meriwayatkan dalam sahihnya dari Ibnu Abbas.
la berkata:
.
Sebagian yang lain mendukung Umar menolak memberikan secarik kertas
kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Selang beberpa saat, rumah Rasul
tersebut berubah menjadi ajang perang mulut antar sahabat yang
berkerumun mengelilingi bellau. Akhirnya, Nabi dengan kesal mengusir
mereka: “Ayo enyahlah kalian!”. Begitulah perintah Rasul.
Tragedi bersejarah ini juga dengan jelas membuktikan dan
menggambarkan betapa jauh dan mendasarnya perbedaan antara dua golongan
adalah peristiwa perselisihan dan cekcok yang muncul akibat dari
penunjukkan Rasul kepada Usamah bin Zaid bin Harits sebagai Panglima
devisi perang, padahal penunjukkan itu berdasarkan perintah langsung
dari Nabi yang tak dapat ditolak. Sampai-sampal beliau bangkit dari
ranjang dengan memaksakan tubuhnya yang sudah lemah lunglai untuk keluar
dari rumah dalam keadaan sakit bellau mengetuh kesal di hadapan
pengikutinya:
Dan kedua haluan yang memulai konflik dan perselisihan pada masa
hidup Rasul telah tampak dalam sikapnya terhadap masalah pimpinan Imam
setelah Nabi.
Orang-orang yang mewakili garis nash berpendapat bahwa adanya nash
dan ketetapan Rasul berkenaan dengan hak kekhalifahan merupakan sebab
dan dasar prinsip yang mengharuskan seorang Muslim agar menerima secara
mutlak segala macam keputusan dan hukum agama tanpa menggantinya dengan
gagasan sendiri karena beberapa pertimbangan kepentingan disamping
kondisi dan situasi yang ada (ini menurut logika dan pola pemikiran
mereka tentunya).
Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa golongan Syi’ah
telah hadir dl tengah-tengah masyarakat Islam sejak pada masa hidup
Rasul yang beranggotakan orang-orang Muslim yang secara praktis telah
mematuhi dengan mutlak konsep dan ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai
pemimpin setelah Rasul. Dan haluan yang berfaham Syi’ah kemudlan leblh
menjelma dalam kerangka bentuk yang jelas pada saat pertama dart sikap
protes dan menolak keputusan yang telah diambil pada sidang darurat
Saqifah Bani Saidah yang telah membekukan fungsi pim pinan Ali dan
mengambil alih serta memberikannya kepada orang lain.
Ath-Thabarsi dalam buku Al-lhtijaj membawakan sebuah riwayat dari
Ibban bin Taghib. la bertanya kepada Imam Ja’far bin Muhammad
ash-Shadiq:
.
fungsi kepemimpinan pasca Nabi wafat terdapat pada 12 imam Ahlul
Bait sesuai dengan kondisi yang telah kita pelajari atas dasar nash-nash
Nabi yang telah menekankan hal tersebut berkali-kali. Contoh utamanya
ialah nash-nash Nabi tentang kepemimpinan intelektual seperti hadits
Tsaqalaian Rasulullah yang berbunyi demikian:
Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka penting(as-Tsaqalain); yaitu
Kitab Allah yang merupakan tali yang tak terputus dart langit hingga ke
bumi dan yang keduanya adalah Itrah (keturunanku) dari Ahlul Baitku.
Dan bahwa keduanya tidak akan terpisah dengan kedua fungsi masing-masing
sampai keduanya menjumpaiku di telaga al-Haudh alkaut’sar, oleh karena
itu lihatlah kelak bagaimana sampai kalian mendurhakaiku dengan
melanggarnya. (AI-Hakim dalam Al- Mustadrak, At-Tirmidzi, Annasa’i,
Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain yang diriwayatkan oleh lebih dari dua
puluh sahabat).
Dan contoh utama dari fungsi kepemimpinan sosial adalah hadits
AI-Ghadir yang dibawakan oleh Ath-Thabrani dengan sanad (rantai urutan
perawi) yang shahih dari Zaid bin Al-Arqam. la berkata:
(Hadits ini diriwayatkan lebih delapan puluh tabi’in. Dan dari
penghafal hadiths abad kedua sekitar enam enam puluh orang. Dan juga
tercatat secara rinci dalam kitab AI-Ghadir dalam sebelas jilid).
tipikal penguasa Bani Umayyah yang Khalifahnya yang tidak suka
berbasa-basi, tampil apa adanya dan sanggup berbuat apa saja untuk
melindungi kekuasaannya dari ancaman. Berbeda nanti dengan Bani
Abbasiyah yang tipikal penguasanya penuh dengan hipokrasi dan
kemunafikan. Mereka tampil di depan khalayak dengan tampang khusuk dan
penuh iman, tak jarang bercucuran air mata ketika dinasihati oleh para
ahli ibadah. Namun pada lain waktu, mereka 360 derajat berbeda dengan
melakukan hal-hal yang amat memalukan dan membelalakkan mata. Dalam
kealfaan dan kegilaannya itu, mereka justru tidak risih disapa sebagai
pemimpin kaum beriman (
Amirul Mu’minin) dan Khalifah bagi umat Islam (
Khalifah al-Muslimin).
Contoh kevulgaran dan kejujuran Bani Umayyah dapat dilihat dari sikap Abdul Malik bin Marwan. Dalam
Tarikh al-Khulafa,
al-Suyuti menceritakan kisah dari Ibnu Abi Aisyah mengatakan, Abdul
Malik pernah diminta untuk memutuskan suatu perkara sambil diajukan
kepadanya sebongkah mushaf al-Qur’an. Akan tetapi, ia justru
mencampakkannya seraya berkata: “Ini adalah persentuhanku yang terakhir
denganmu!”. Dan kenyataanya, apa yang ia katakan kemudian ia lakukan.
Setelah menyatakan talak dengan al-Qur’an, sang ahli fiqih ini kemudian
menjalankan roda pemerintahan dengan instingnya.
Bani Umayyah awalnya didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan (satu
kakek buyut dengan Utsman bin Affan R.A.). Ia menjadi Khalifah setelah
wafatnya Ali bin Abu Thalib. Orang-orang Madinah saat itu membaiat Hasan
bin Ali, namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini
kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin
yang pada masa itu yang sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai
sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal
dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi’ah, dan terakhir
terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Namun kemudian Mu’awiyah bin Abu Sufyan mewajibkan seluruh rakyatnya
untuk membai’at anaknya, yaitu Yazid bin Mu’awiyah sebagai Khalifah
pengganti dirinya. Sekaligus memperkenalkan suksesi secara putra
mahkota, seperti layaknya sistem Monarki (Kerajaan). Memang prosesi
pengangkatannya menggunakan bai’at sebagai formalisasi pengangkatan
Khalifah, akan tetapi bai’at tersebut kemudian hanya menjadi kamuflase
saja, karena bai’at dilakukan secara paksa dan ancaman hukuman mati akan
diberikan bagi siapa saja yang menentang keputusan itu atau menolak
bai’at.
Mu’awiyah bin Abu Sufyan bahkan memberikan interprestasi sendiri dari
kata Khalifah, dimana ia menambahkan kata “Allah” dibelakang kata
Khalifah, yang dalam pengertiannya penguasa yang diangkat oleh Allah.
Sedangkan Abu Bakar R.A. telah melarang penggunaan kata “Khalifah
Allah”, ketika ia dipanggil demikian. Ia berkata, “Aku bukan Khalifah
Tuhan, tapi aku adalah Khalifah (pengganti, perwakilan) dari utusan
Tuhan. Lagipula, seseorang hanya dapat bertindak sebagai “Khalifah”
(pengganti, perwakilan) seseorang yang tidak ada, bukan sesuatu yang ada
(karena Tuhan selalu ada).
Tindakan pewarisan tahta ini memicu protes dikalangan umat. Ia di
anggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia
naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan
diserahkan kepada pilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya
Yazid bin Mu’awiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya
gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya
perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Keterangan gambar: Makam Muawiyah bin Abu Sofyan di Syria.
Digembok rapat karena orang-orang suka membuang kotoran di makam ini.
Konon di sekitarnya juga tumbuh pohon berduri yang tidak tumbuh di
tempat lain.
Kubur Muawiyah Laknatullah.
Sejarah kemudian mencatatat munculnya Abdullah bin Zubair yang
menyatakan dirinya secara terbuka sebagai Khalifah menggantikan Husain
bin Ali yang terbunuh dalam perang Karbala. Terjadi dualisme
kepemimpinan dan perpecahan yang hebat di kalangan umat Islam.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa
kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan (Khalifah ke-5 Bani Umayyah yang
juga dikenal ahli fiqih), yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani
Umayyah yang dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil
membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Pola pemerintahan tangan besi yang dipraktekkan Dinasti Umayyah
berlanjut. Ketika Abdul Malik bin Marwan memimpin, ia menjadikan Hajjaj
“si tukang jagal” sebagai tangan kanannya. Kekejaman Hajjaj bin Yusuf
begitu terkenal, hingga ada pameo “jika Hajjaj datang, malaikat
menyingkir dan setanpun berdansa mendekat”.
Demikian kenyataan sejarahnya, bahwa Dinasti Umayyah dibangun di atas
genangan darah sesama Muslim. Pendahulu Abdul Malik bin Marwan seperti
Yazid dikenal sebagai monster haus darah dengan tumbal pertamanya Husain
bin Ali bin Abu Thalib. Tidak kalah sadisnya, Abdul Malik sang ahli
fiqih ini juga telah melakukan pembantaian dengan jubah kebesarannya
sekaligus menyatakan talak tiga dengan al-Qur’an, lalu ia memimpin
dengan instingnya.
Namun sayangnya, saat itu Ulama-Ulamanya atau sejenis Ulama plat
merah saat ini, selalu saja mendoakan Abdul Malik seraya berkata bahwa
Abdul Malik sang penjaga amanat umat Islam, dimana saat itu spekulasi
hadits bermunculan, salah satunya berbunyi “orang-orang yang
sekurang-kurangnya pernah tiga hari memimpin umat Islam akan diampuni
dosa-dosanya”. Dan menjelang kematianya, Abdul Malik bin Marwan
berwasiat kepada anaknya Walid “Wahai anakku, bertakwalah kepada Allah
dengan kekuasaan yang telah diamanatkan padamu dan tetaplah hormati
Hajjaj bin Yusuf, serta jangan hiraukan komentar orang tentang Hajaj bin
Yusuf”.
Dan ketika anaknya Walid menangis, Abdul Malik berkata “Mental apaan
ini, jika aku mati singsingkan lengan bajumu, pakailah sabuk kulit macan
dan selipkan pedang, jika ada orang yang berkata lebih berhak atas
kekuasaan dari padamu, tebaslah batang lehernya”.
Sejarah mencatat, bahwa kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dimarakkan
oleh tiga nama orang sebagai sadis, namun merupakan Khalifah yang
dikenal populer yakni Yazid bin Muawiyah sang pembantai, Yazid bin Abdul
Malik dan Walid bin Yazid. Satu orang yang kemudian dikenal sebagai
sangat bijaksana yakni Umar bin Abdul Azis, karena kebijaksanaannya itu
ia dijuluki Umar kedua yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi setelah
Umar bin Khatab. Namun sayang orang baik ini harus mati terminum racun
yang diduga diberikan oleh keluarga dekatnya sendiri karena menginginkan
kekuasaannya.
Kezaliman Yazid bin Muawiyah tidak cukup ditandai dengan pembantaian
atas Husain bin Ali, yakni ketika Yazid bin Muawiyah bersama pasukannya
menaklukan Madinah karena masyarakatnya mencabut bai’at atasnya, Yazid
memaklumatkan pembantaian dan anarkisme selama tiga hari dalam kota.
Ibnu Atsir dalam
al-Kamil fi al-Tarikh-nya
meriwayatkan, akibat pembantaian itu 4.500 jiwa menjadi tumbal dan
sekitar 1.000 perawan muslimah diperkosanya. Dan lebih dahsyatnya Yazid
bin Muawiyah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam
al-Bidayah wa al-Nihayah,
telah secara ekplisit menyatakan kemurtadan dengan menyebutkan, “Klan
Hasyim bermain-main dengan kuasa. Kekuasaan tidak datang wahyupun tidak
menjelang”. Disebutkan dalam
Tarikh al-Khulafa, Yazid juga dikenal gemar mengumbar nafsu dan minum minuman keras.
Sementara itu Yazid yang lain yakni Yazid bin Abdul Malik, ia adalah
Khalifah pengganti Umar bin Abdul Azis. Yazid bin Abdul Malik menjadikan
selama kekuasaannya sebagai lautan kebobrokan moral dan kemesuman,
namun sebagaimana diriwayatkan oleh al-Suyuti dalam
Tarikh al-Khulafa-nya:
Ketika Yazid bin Abdul Malik mendapatkan mandat sebagai Khalifah, ia
datangkan 40 orang Syeikh (maha guru agama), dan meminta agar 40 Syeikh
tersebut berfatwa yang isinya bahwa seorang Khalifah tidak akan dihisab
oleh Tuhan, apalagi disiksa.
Keadaan ini menegaskan juga bahwa ternyata kerusakan itu tidak hanya
datang dari Khalifah, tetapi juga bisa datang dari Ulama dalam
pengertian ahli ilmu agama. Kalau selama kekuasaan Yazid bin Abdul Malik
telah menghabiskan masanya dengan bermesum ria dengan perempuan bernama
Salamah dan roman cintanya dengan Habbabah. Al-Mas’udi dalam
Muruj al-Dzahab-nya
meriwayatkan dari jalur Abu Hamzah al-Khariji menyatakan; Yazid
mendudukan Hababah di paha kanannya, dan Salamah di sebelah kirinya,
lalu secara terbuka dia menyatakan “aku ingin terbang” sambil berkata
aku terbang menuju laknat Tuhan dan azabnya yang pedih. Ibnu Katsir juga
meriwayatkan, bahwa ia (Yazid bin Abdul Malik) menginginkan agar istana
dikosongkan dari manusia, ia menginginkan berdua saja dengan Habbabah
untuk mengumbar libidonya, hingga bersenda gurau, yang akhirnya Habbabah
harus mati tersedak buah anggur, dan bangkainyapun terus diciumi,
dipeluk dengan penuh nafsu, barulah ketika mulai membusuk, mayat
Habbabah dikubur dan Yazid bin Abdul Malik menginap dikuburan
berhari-hari meratapi kematian kekasihnya.
Cerita lebih gila dari tiga tokoh antik dalam Dinasti Bani Umayyah
adalah munculnya anak Yazid bin Abdul Malik, yakni al-Walid bin Yazid,
Ia seorang homoseksual yang “overdosis” dan hobinya menjadikan Mushaf
Al-Quran sebagai sasaran memanah sambil membaca ‘
auzubillahi, laa hawla walaqwata‘.
Ketika beberapa orang ulama menyatakan al-Walid bin Yazid sebagai kafir
dan zindiq, seorang ulama besar pula yang bernama Al-Zhahabi
membelanya, sambil berkata, tidak benar kalau al-Walid kafir dan zindiq,
namun memang ia dikenal sebagai pemabuk dan pelaku homoseksual. Bahkan
ketika al-Walid pergi kerumah seorang Ulama bernama al-Muhtadi tentang
desas desus tuduhan kafir zindik, al-Muhtadi justru membelanya. Layaknya
kebanyakan Ulama sekarang yang membela penguasa sekalipun penguasa
sudah berlaku yang zalim. Ketika membaca perilaku homoseksualitas
Khalifah ini, anda mungkin tersentak sejenak.
Kita mungkin menyangka bahwa gejala LGBT (lesbian, gay, biseksual dan
transeksual) hanya ada di zaman kita dimana kebebasan individu begitu
didewakan. Kenyataannya, gejala seperti ini sudah ada bahkan sejak awal
kekhilafahan. Pelakunya pun tidak tanggung-tanggung, sang Khalifah
sendiri. Kita mungkin juga mengira bahwa kebiasaan perselingkuhan antara
penguasa dan agamawan hanya ada dalam kisah sejarah Eropa.
Mari kita lihat apa yang dilakukan al-Walid ketika membaca ayat
“Mereka melakukan penaklukan dan takluklah setiap tiran yang bebal.
Dibelakang mereka sudah menguntit neraka jahannam. Mereka akan disiram
air yang menggelegak…” Seketika itu pula ia meletakkan mushaf
al-Qur’annya untuk dipanah. Namun, ia berubah pikiran, lalu cukup
melemparkannya sambil berkata:
Aku menantang semua tiran yang bebal,
Ini, akulah sang tiran bebal,
Kalau tuhanku datang di hari kebangkitan,
Katakan, Tuhan, aku telah ditaklukkan al-Walid.
Muhammad Ibnu Yazid al-Mubarrad mengatakan: “Sesungguhnya al-Walid
sudah ateis dalam syairnya yang menyebut-nyebut soal Nabi dan wahyu
Tuhan yang tak datang padanya:”
Seorang Hasyimi bermain-main dengan kuasa,
Tanpa wahyu turun, tanpa Kitab,
Titahkan Tuhan melarangku makan,
Suruh Tuhan menghalangiku minum.
Al-Walid juga pernah berusaha membuat kubah di atas Ka’bah untuk
minum-minum ketika ia melaksanakan haji beserta beberapa kerabatnya.
Namun para pemuka sukunya berhasil meyakinkannya untuk mencabut
keinginannya. Yang jelas, dari kisah hidupnya ia betul-betul
memperturutkan hasratnya. Sampai-sampai kegilaan akan hiburan dan
minuman itu mampu menguasai para elit dan masyarakat pada zamannya,
sebagaimana diceritakan al-Mas’udi. Karena itu tak heran bila
bermunculan bintang-bintang di bidang tarik suara bak American Idol, di
antaranya Ibnu Sarih, Ma’bad, al-Gharidh, Ibnu Aisyah, Ibnu Muhriz,
Thawis, dan Dahman.
Riwayat al-Walid berakhir dengan pembelotan sepupunya, yaitu Yazid
bin al-Walid, yang membunuhnya setelah mencicipi kekuasaan selama satu
tahun tiga bulan. Namun, takdir menentukan masa kepemimpinan Yazid pun
jauh lebih pendek; tak lebih dari lima bulan. Ia meninggal, lalu
digantikan adiknya, Ibrahim, untuk jangka waktu 70 hari saja, karena
dikudeta Marwan bin Muhammad sebagai upaya balas dendam terhadap
al-Walid bin Yazid. Setelah itu, masa Bani Umayyah berakhir dengan
tewasnya Marwan, yang berkuasa sekitar 5 tahun, di tangan orang-orang
Abbasiyah.
Terlalu banyak cerita gelap yang dapat diungkap dari Dinasti Bani Umayyah, beberapa kesimpulan yang dapat dipetik adalah
pertama,
adalah benar bahwa Dinasti ini telah melebarkan wilayah kekuasaan
Islam, namun motivasinya lebih banyak untuk kesenangan nafsu sebagai
layaknya masyarakat Jahiliyah yang baru berkenalan dengan dunia luar.
Kedua, era Umayyah adalah nepostisme ke-Araban yang akut.
Ketiga,
pada era inilah Ulama-Ulama besar banyak bermunculan, namun seringkali
Ulama malah bertindak menjustifikasi kebijakan Khalifah, sekalipun
menyimpang dari Islam.
Selanjutnya akan kita dedah pula bagaimana Dinasti Bani Abbasiyah.
Yang ternyata tidak kalah sadisnya, sekalipun pada Dinasti ini the
Golden Era-nya
peradaban Islam tertoreh dalam sejarah. Dinasti ini sebenarnya tidak
perlu diperkenalkan lagi, sebab ia telah mempekenalkan diri lewat figur
pendirinya yakni Abbul Abbas Al-Saffah (Abbul Abas si tukang jagal). Ada
dua dekrit yang dikeluarkan oleh sang tukang jagal ini yakni pertama
untuk mencari kuburan dan memburu apa saja yang tersisa dari pimpinan
Bani Umayyah, kedua melecut, menyalib, membakar mayatnya dan
menghamburkan ke udara abu jenazah para pemimpin Bani Umayyah.
Dinasti Bani Abbasiyah merebut kekuasaan dengan klaim bahwa hak
kekuasaannya telah ditentukan dan diberi mandat langsung dari Tuhan.
Dalam
Musnad-nya, Ibnu Hanbal misalnya menyebutkan hadits
berikut: “Akan muncul pemimpin dari sanak keluargaku pada masa
terjadinya peralihan zaman dan malapetaka besar. Ia disebut al-Saffah,
kedermawanannya sangat melimpah”. Al-Thabari juga menyebutkan:
“Rasulullah pernah mewartakan kepada pamannya Abbas, bahwa kepemimpinan
Arab kelak akan jatuh ke tangan sanak keluarganya. Sampai-sampai sanak
keluarganya itu tidak sabar menantikan kapan saat itu tiba”. Inilah cara
Abbasiyah merebut simpati massa untuk membai’at dan loyal terhadap
mereka. Bermulalah model kekuasaan berdasarkan klaim palsu agama ini
yang didukung dengan ancaman keras bagi mereka yang tidak loyal dan
mengancam kekuasaan.
Pasukan tentara Bani Abbas kemudian berhasil menaklukkan kota
Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka “memainkan” pedangnya di
kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang.
Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda
mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan
Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Memang benar kemudian mereka
bongkar kuburan Muawiyah dan Yazid bin Muawiyah dan hanya menemukan
sepotong tulang yang sudah mirip dengan arang lalu mereka angkat dan
bakar lalu dilambungkan abunya ke udara. Sementara saat membongkar
kuburan Abdul Malik bin Marwan, mereka menemukan tengkorangnya. Dan
ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu
menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan
pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan
menaburkan abunya. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani
Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka
dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota
itu untuk makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan
terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.
Ibnu Atsir dalam
al-Kamil fi al-Tarikh mengungkapkan bahwa
Al-Saffah juga melakukan pengejaran terhadap seluruh sanak keluarga dan
pendukung Bani Umayyah. Ia menghabisi mereka semua, kecuali anak-anak
yang masih menyusu dan mereka yang telah melarikan diri ke Andalusia.
Al-Mas’udi pula dalam
Muruj al-Dzahab mengungkapkan kisahnya
secara lebih terperinci. Haitsam bin Uday at-Tha’i meriwayatkan kisah
dari Amru bin Hani. “Kami pergi mencari kuburan pemuka Umayyah pada masa
Abu Abbas al-Saffah. Hanya mayat Hisyam yang kami temukan masih utuh,
kecuali bagian hidungnya. Abdullah bin Ali mengeluarkannya, menyambuknya
80 kali, lalu membakarnya. Jenazah Sulaiman kami keluarkan dari
pekuburan Dabiq. Yang tersisa memang hanya tulang belulang, tulang
rusuk, dan tengkoraknya. Tapi kami membakarnya. Kami masih melakukan hal
serupa terhadap setiap keluarga Umayyah, terutama di komplek pekuburan
Qinasrin. Petualangan kami berakhir di Damaskus. Disana kami menemukan
kuburan al-Walid bin Abdul Malik. Tapi kami tak menemukan apa-apa secuil
pun. Kami juga menggali kuburan Abdul Malik, tapi tidak menemukan hal
lain, kecuali sebagian tengkorak kepalanya. Lalu kami lanjutkan dengan
penggalian kuburan Yazid bin Muawiyyah, tapi kami hanya menemukan
sepotong tulang. Dan di sepanjang liang lahatnya kami menemukan garis
hitam seperti di torehkan arang. Kami masih memburu jenazah-jenazah
keluarga Umayyah di seantero negeri dan membakar apa yang terjumpa dari
jenazah mereka”.
Farag Fauda dalam bukunya
Al-Haqiqah al-Ghaybah, yang banyak
menginspirasi dan komentarnya banyak saya kutip dalam tulisan ini
mengatakan, ketika ia merenungkan kejadian-kejadian sadis ini, akal
sehat bertanya, apa alasan dan justifikasi semua tindakan mereka ini.
Pembunuhan terhadap para pembesar dalam konteks perebutan kekuasaan,
membunuh sanak keluarga demi menjamin masa depan kekuasaan baru dan
menghapuskan sisa-sisa kekuasaan masa lalu memang sudah sering terjadi.
Akan tetapi, memburu jenazah, membalas dendam, menggantung dan
membakarnya, benar-benar perkara yang sangat berlebihan.
Disamping berbuat bengis diluar kemanusiaan, pemimpin Abbasiah tetap
saja berpidato dengan gaya layaknya orang yang sangat saleh dan beradab
dengan cara memuji-muji Islam dengan kalimat “Segala puji bagi Allah
yang telah memilih Islam, yang memuliakan dan mengagungkannya, yang
telah memilihkannya untuk kita dan membuatnya tetap kukuh bersama kita,
kita menjadi lurus dan lebur di dalamnya, serta menjadi pemenang
karenanya”. Pidato tersebut sepintas mirip dengan pernyataan para
pejabat saat ini yang menampakan diri seakan sangat suci dan
sedikit-sedikit mengutip kalimat-kalimat suci bertabur ayat, namun
membiarkan korupsi terus berlangsung, sehingga benar kemudian sepanjang
masa Dinasti Bani Abbasiah, umat benar-benar tertipu dengan muslihat
sang Khalifah yang berselingkuh dengan sebahagian besar Ulama dengan
tampilan seakan muslim yang baik dan berlidung dibalik jubah agama,
namun prilakunya sangat tidak beradab.
Dinasti Bani Umayyah kemudian di habisi sampai ke akar-akarnya oleh
Bani Abbasiyah. Mereka yang masih tersisa dari Bani Umayyah menetap di
Andalusia dan memerintah secara otonom, yang akhirnya musnah jua ditelan
zaman sampai tahun 1031 H.
Kembali ke kisah Al-Saffah, Khalifah ini punya kepandaian dalam
bersandiwara, bukan hanya bengis di hadapan lawan politik dan penuh iman
di hadapan pendukungnya, ia juga pandai bersandiwara ketika
mengeksekusi musuh-musuhnya. Ia mengatur skenario pembantaian sisa-sisa
kerabat Bani Umayyah layaknya sebuah drama opera sabun, ada plot,
kisahnya berlangsung secara alamiah, mengalir kemudian ada klimaks dan
ending-nya
yang sudah di set. Kita akan mulai kisah ini dengan babak sebagaimana
dituturkan oleh Ibnu Atsir. Ibnu Atsir menuturkan “Di saat al-Saffah
sedang melakukan perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin
Abdul Malik, Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya:
Jangan silau akan tampilan seseorang,
Jika sumsum simpan penyakit mematikan,
Hunuskan pedang, sediakan lecutan,
Sampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang.
Kontan, Sulaiman tertegun seketika, lalu berkata: “Anda benar-benar
telah membunuhku, wahai Syekh (Sudaif)!” Al-Saffah pun langsung beranjak
masuk ke ruang pribadinya sambil menarik Sulaiman. Ia menghabisi
nyawanya.
Suatu ketika Al-Saffah memberikan jaminan keamanan kepada keluarga
Umayyah lainnya yang berjumlah 90 orang. Setting peristiwa masih tetap
berada di tempat perjamuan makan yang sama. Dan sepanjang pembuat acara
adalah Khalifah, kemurahan hati akan dipastikan tetap terjaga. Rasa
amanpun tak pantas disangka-sangka. Tapi secara mengejutkan, seorang
penyair datang seraya melantunkan syair:
Kekuasaan tidak akan goyah,
Di tangan Badut-Badut Bani Abbas,
Atas Bani Hasyim ia menuntut balas,
Setelah lama terbuang tabah,
Jangan lagi tergelincir oleh Abdus Syam,
Penggallah tiap tunas yang sedang mengembang.
Mendengar syair itu, al-Saffah lalu memerintahkan untuk menghantam
kepala mereka semua dengan pentungan besi. Sebagian pecah kepala, tetapi
jasadnya tetap bernyawa, dalam kondisi yang mengenaskan. Tatkala
al-Saffah menyaksikan sekitar 90 orang yang sedang meregang nyawa, ia
meninggikan suara sambil menuturkan titah: ‘Gelar permadaniku untuk
bersantap secara lesehan di atas mereka!’ Ia dan orang-orangnya memulai
dinner party
(santap malam), sementara permadani menari ke kanan dan ke kiri.
Tatkala permadani tidak lagi bergerak, mereka pun selesai dari kunyahan
mereka sambil mengucap
alhamdulillah dan
tahniah kepada para tentara dan kerabatnya.
Apabila para Khalifah gemar mendeklarasikan dirinya sebagai “tukang
jagal semena-mena” (al-Saffah al-Mubih) untuk menunjukkan kebengisannya,
begitu pula tingkah seorang gubernurnya. Dalam
Tarikh al-Ya’qubi
disebutkan Rayyah bin Utsman selaku gubernur Madinah dimasa al-Mansur
menggelari dirinya sebagai “si ular anak si ular”. Kondisi di masa ini
menunjukkan pada kita bahwa otoritarianisme yang di balut agama tidak
hanya terjadi di barat, dan menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa
kita tidak perlu mengusulkan adanya pembagian kekuasaan, menciptakan
mekanisme kontrol dan Undang-Undang yang menjamin Negara tidak jatuh
pada despotisme.
Abul A’la al-Maududi dalam al-Khilafah wa al-Mulk menceritakan
kembali berdasarkan riwayat dari Ibnu Atsir dan al-Thabari; tidak lama
kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan al-Saffah yang
segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya.
Yahya kemudian mengumumkan dikalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki
masjid Jami’, maka ia dijamin keamananya”. Beribu-ribu orang secara
berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan
pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa
orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas
ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya
mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di
hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan
anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh
darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan
penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap
anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan
seorang wanita.
Seorang ahli fiqih terkenal di Khurasan bernama Ibrahim bin Maimum
percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan
hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu ia
menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan
selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim
al-Khurasani (pendiri Negara Khurasan yang kemudian menyerahkannya ke
al-Saffah). Namun ketika ia (setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin
itu) menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan
melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.
Abu Ja’far al-Mansur, Khalifah kedua Bani Abbasiyah naik tahta. Ia
melakukan intrik politik agar Abu Muslim al-Khurasani bersedia membunuh
Abdullah bin Ali (paman al-Saffah sekaligus panglima pasukan Abbasiyah
di peperangan Zab yang menuntaskan kemenangan mereka terhadap
orang-orang Umayyah). Setelah misi tuntas, ia sendiri yang turun tangan
menghabisi Abu Muslim al-Khurasani. Abu Ja’far tidak peduli ketika Abu
Muslim memohon: “Tidakkah lebih baik engkau biarkan aku hidup untuk
menyingkirkan musuh-musuhmu?” Tetapi Abu Ja’far menampik: “Siapakah
musuh yang lebih mematikan dari dirimu?!”.
Abu Ja’far al-Mansur bersekutu dengan Pepin dan Charlemagne, yang
menguasai sebagian besar daratan Eropa pada abad pertengahan, demi
menaklukkan Abdur Rahman bin Mu’awiyah bin Hisyam, Khalifah Umayyah di
Andalusia. Namun ia gagal menaklukkannya. Kita mungkin berfikir kalau
Khalifah tidak sepantasnya bekerjasama dengan
kafir harbi fi’lan
(Negara kafir yang secara terang-terangan memerangi umat Islam) karena
tindakan seperti ini di haramkan syara’, apalagi bekerjasama untuk
membantai umat Islam sendiri. Kita juga mungkin berfikir bahwa situasi
seperti ini hanya terjadi di zaman kita. Kekuasaan telah menggelapkan
mata mereka. Bagi al-Mansur, prinsip politiknya: “Lakukanlah apapun,
tempuh jalan manapun, bersekutulah dengan musuhnya musuhmu, demi
mencapai tujuanmu dan menang atas musuhmu”. Artinya, ia benar-benar
telah melupakan Islam, masa bodoh dengan hukum-hukum al-Qur’an dan
Sunnah, serta menjauhkan diri sedapat mungkin dari teladan para Khulafa’
al-Rasyidun. Ia hanya mengingat dirinya sebagai “penguasa Tuhan di muka
bumi”, tipikal penguasa Arab-Quraisy. Ia mendasarkan kekuasaannya atas
hak Bani Abbas terhadap Khalifah, bukan berdasarkan hak rakyat untuk
memilih.
Al-Mansur juga terkenal anti kritik. Suatu ketika Ibnu Muqaffa mengirimkan untuk al-Mansur buku yang berjudul
Risalah al-Sahaabah (Risalah
tentang Para Sahabat). Buku itu berisi nasihat untuk Khalifah agar
pandai-pandai memilih para pembantu dan memperbaiki sistem pengelolaan
masyarakatnya. Nasihat itu ia sampaikan dengan sangat santun. Boleh
jadi, ia sedang mengharap penghargaan materi yang pantas untuk karyanya
dengan mengirimkannya kepada Khalifah. Dan mungkin, ia pun tidak mengira
bahwa sekedar memberi nasihat kepada penguasa adalah tindak kriminal.
Kaki dan tangan Ibnu Muqaffa dicincang satu per satu. Potongan dagingnya
di panggang di atas bara api, tepat di hadapannya. Setelah matang, satu
per satu pula daging panggang itu dijejalkan ke mulutnya. Ibnu Muqaffa
menjalani penderitaan tiada tara sampai ajal pun menjemputnya.
Mungkin Ibnu Muqaffa pun bertanya tatkala harus mengunyah jasadnya
sendiri atas perintah “pemimpin kaum beriman”: pemimpin apa dan beriman
seperti apa??? Ia mungkin bertanya, inikah hakikatnya kekuasaan Khilafah
yang disebut “Islamiyah” itu? Islamiyah apanya??? Mungkin saat itu ia
juga menyadari apa yang sekarang mesti pula disadari oleh para pejuang
Khilafah dan sistem syariah, dan mereka yang memandang remeh usulan
pembatasan dan pembagian kekuasaan, yang berfantasi tentang nikmatnya
Negara despotik yang mengatasnamakan agama.
Namun demikian, walaupun al-Mansur masuk sejarah dari aspek yang
paling bejatnya, ia tetaplah tercatat sebagai seorang negarawan besar
yang berhasil mengukuhkan kekuasaannya dan mewariskannya kepada
keturunan-keturunannya, meskipun dibangun di atas genangan darah. Dan
kenyataan bahwa ia semena-mena, sebetulnya juga tidak lepas dari fatwa
para fuqaha, ketakutan sebagian, dan bungkamnya sebagian yang lain. Juga
yang terpenting tidak jalannya fungsi-fungsi pemerintahan, tidak adanya
pembagian kekuasaan dan
check and balance.
Era Abbasiyah adalah era pemerintahan paling bergairah dalam
kebangkitan akal dan peradaban. Dan paling maju dalam soal fiqih. Dan
untuk melengkapi gambarnya, kita dapat pula menyebutnya paling maju
dalam soal kenikmatan hidup dan durjananya, ini ditandai dengan maraknya
dunia hiburan dan kemaksiatan. Farag Fauda mengatakan, kondisi ini
didorong oleh banyak faktor, namun barangkali faktor utamanya adalah apa
yang di masa sekarang disebut sebagai “iklim kondusif” yang membuka
peluang untuk kemaksiatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di masa lalu
minuman keras, musik dan tarik suara menjadi kegemaran para
Khalifah-Arab dalam pesta-fora mereka. Ini karena Ulama juga
membolehkannya. Saat itu para fuqaha Irak yang terdiri dari murid-murid
Abu Hanifah mempunyai fatwa yang membolehkan minuman keras. Sementara
itu ulama Hijaz membolehkan musik dan nyanyian. Itulah iklim atau
suasana umum yang mendorong maraknya musik dan minuman keras serta
konsekuensi-konsekuensi lain seperti maraknya dunia hiburan, perempuan
penghibur, dan penyimpangan perilaku seksual. Dunia hiburan sudah
menjadi bagian dari kenikmatan masyarakat kala itu. Untuk soal menikmati
perempuan penghibur, al-Mahdi dan putranya, Harun al-Rasyid adalah
jagonya. Untuk soal penyimpangan seksual, al-Watsiq adalah bintangnya.
Mengenai maraknya minuman keras itu, “iklim kondusif” bukan hanya
datang dari Khalifah, tapi pendapat fuqaha kala itu yang merupakan
murid-murid Abu Hanifah yang merujukkan pendapatnya dari Abdullah bin
Mas’ud yang kemudian mengambil kesimpulan bahwa kata
khamar
dalam al-Qur’an adalah air sari buah anggur berdasarkan makna kebahasaan
dan dari hadits-hadits nabi lainnya. Pemahaman inilah yang membuat Abu
Hanifah berijtihad menyangkut halalnya beberapa jenih
khamar
seperti sari buah kurma dan kismis.
Dengan catatan, bahan-bahan itu
diolah sewajarnya dan diminum dengan kadar tidak memabukkan.
Masa Abbasiyah ini diramaikan pula dengan maraknya perbudakan dan
pergundikan. Perbudakan dan pergundikan bersumber dari sistem
perdagangan budak yang masih ramai di masa itu, dan hasil pampasan
perang. Asal mereka pun bermacam-macam, ada gundik Romawi, Persia dan
Ethiopia. Terjadinya surplus budak ini menimbulkan fenomena saling
menghadiahi selir, yang menjadi kebiasaan umum. Jumlah gundik-gundik
yang dimiliki para petinggi Negara semakin berkembang dalam sejarah
imperium Islam. Dari belasan di masa sahabat, menjadi puluhan pada masa
Umayyah, mencapai ratusan pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menembus
angka ribuan pada masa Abbasiyah. Bilangan ini bahkan mencapai angka
4000 (empat ribu) orang di masa al-Mutawakkil. Dalam
Tarikh al-Khulafa,
al-Suyuti menceritakan Khalifah yang gemar minum-minuman keras ini
konon telah meniduri seluruh empat ribu gundiknya selama seperempat abad
masa kepemimpinannya. Tentu ini merupakan rekor tertinggi kepemilikan
gundik yang pernah tercatatkan dalam sejarah umat manusia yang
seharusnya masuk ke dalam catatan
Book of Record.
Membaca sejarah kehidupaan Khalifah di masa itu, pembaca mungkin
terheran-heran, mengapa masyarakat Islam di masa itu jauh dari kehidupan
Islam, padahal masa itu adalah masa kekhilafahan. Kita mungkin
berimajinasi bahwa masyarakat Islam dan pemimpin-pemimpinnya di masa
kekhilafahan adalah masyarakat yang dekat dengan agama, dan syariat
diterapkan secara total dalam semua aspek kehidupan. Namun anggapan itu
salah, masyarakat Islam kala itu tidak lebih baik dari masyarakat kita
saat ini yang sebagian dari Anda menganggapnya sebagai “masyarakat
jahiliah modern” atau jauh dari agama (ideologi) Islam yang sebenarnya.
Saat itu, syariat memang diterapkan, tapi diterapkan secara “kreatif”
dan tebang pilih.
Pembacaan sejarah akan dilanjutkan pada masa pemerintahan Harun
al-Rasyid yang sangat terkenal itu, terlepas dari kekurangan dan
kelebihan, tentunya orang sudah kenal dengan siapa Harun al-Rasyid, atau
paling tidak dengan al-Ma’mum dan al-Mu’tasim.
Pasca Harun al-Rasyid, putranya al-Amin (Shalih bin Harun) naik
tahta. Al-Amin telah dinobatkan sebagai pengganti Harun semasa ia masih
anak-anak. Harun al-Rasyid mewasiatkan bahwa setelah al-Amin naik tahta,
jabatan Khalifah akan di lanjutkan oleh saudara al-Amin, yakni
al-Ma’mun. Sementara al-Amin menjadi Khalifah, al-Ma’mun menjadi
gubernur Khurasan di Persia Timur. Namun kemudian, Khalifah al-Amin
membatalkan hak Khalifah al-Makmun, dan menggantinya dengan putranya
sendiri, Musa bin Muhammad al-Amin. Perebutan kekuasaan ini
mengakibatkan perang saudara yang berujung pada dipenggalnya kepala
al-Amin oleh panglima Tahir bin Husain yang di utus oleh saudaranya
sendiri al-Ma’mun, setelah bala tentaranya berhasil menaklukkan tentara
al-Amin dan memasuki Baghdad.
Al-Amin sebagai Khalifah ternyata juga dikenal abnormal dalam
perilaku seksualnya. Dia sangat menyukai teman kencan seranjang sejenis
dengan meninggalkan istri-istri dan gundik-gundiknya. Pacar yang sangat
digandrungi oleh al-Amin bernama Kautsar, sementara Kautsar adalah
seorang laki-laki tampan yang dibeli oleh Harun al-Rasyid sebagai hadiah
buat al-Amin, karena dia mengetahui prilaku seksual anaknya. Satu
peristiwa mencolok yang dilakukan oleh al-Amin terhadap kekasihnya
Kautsar, yakni mengangkut dirham sebanyak tiga keledai untuk penyembuhan
Kautsar karena cidera ringan, sementara dana tersebut sudah
dialokasikan untuk biaya perang. Dan akhirnya al-Amin dihancurkan oleh
para menteri dan gubernurnya sendiri karena ia lebih banyak
berhura-hura, menghamburkan kas Negara dan asyik bermesraan dengan
sesama jenis bernama Kautsar.
Satu Khalifah lagi yang kurang dikenal yang sangat piawai membuka
babak baru sejarah dinasti keturunan Abbas bin Abdul Muthalib ini. Dia
adalah al-Watsiq. Al-Watsiq adalah Khalifah terakhir Dinasti Abbasiah
periode awal. Ia memerintah selama 6 tahun, ia seorang Transeks namun
cenderung berperilaku homoseks, selama 6 tahun, nyaris waktunya
digunakan dengan berpindah-pindah pelukan dari satu pria ke pria
lainnya.
Satu pacar yang paling disukai oleh al-Watsiq adalah Muhaj, cowok
keren dan sangat pandai memainkan perasaan al-Watsiq, sebuah pameo
menceritakan, bila al-Watsiq sedang nyaman dalam pelukan Muhaj, maka
stabilitas pemerintahan akan baik, namun jika al-Watsiq sedang cemburu
buta dengan si Muhaj, maka dia akan mencari lawan-lawan politiknya untuk
dibunuh. Prilaku homoseksual dua insan sesama jenis ini teruntai dalam
syair ala dangdut:
Muhaj menguasai jiwa ini,
Lewat kerlingan mata yang sungguh menawan,
Tubuhnya indah mempesona,
Amboi manjanya dan penuh gairah,
Jika mata tertuju padanya,
Ia tak lagi mampu berpindah.
Al-Watsiq selama hidupnya tercatat telah menyusun lebih dari 100
syair lagu. Satu riwayat menceritakan, ketika al-Watsiq sedang
mengadakan rapat bersama para pembesar istana, kemudian Muhaj yang
memang menyadari akan posisinya, tiba-tiba muncul dengan
melenggak-lenggokan badanya kemudian mengerlingkan mata kepada al-Watsiq
dan membawakannya sekuntum bakung, sehingga al-Watsiq tanpa banyak
bicara kemudian dari mulutnya meluncur syair-syair penuh birahi dan
menyebabkan rapat penting tentang posisinya sebagai Khalifah menjadi
runyam.
Al-Watsiq selain memiliki perilaku seks yang menyimpang, dia juga
mempunyai sejarah inkuisisi seperti halnya ayahnya al-Ma’mum, kalau
al-Ma’mum meninkuisisi Imam Ahmad bin Hambal dan beberapa ulama lainnya,
sementara al-Watsiq melakukan hal yang serupa terhadap Ahmad bin Nasr
al-Khaza’i seorang ahli haditst, al-Khaza’i dijemput paksa dan
dihadapkan kepada al-Watsiq bersama Ulama-Ulama pelat merah saat itu,
dan terjadilah dialog tentang kemahlukan al-Qur’an, namun karena
al-Khaza’i tetap teguh dengan pendapatnya, akhirnya al-Watsiq meminta
sebilah pedang sambil berkata, jika aku bergerak jangan ada yang ikut
bergerak, aku akan menghitung langkahku menuju si kafir yang tidak
menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan kita. Lalu ia meminta
dibentangkan permadani tempat al-Khaza’i bersimpuh, lalu dipancungnyalah
sang ahli hadits itu.
Sampai disini dululah pembacaan sejarah Bani Abbasiyah
19 maret 2011
Komisi Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia menggelar diskusi
yang bertema “Merajut Ukhuwah Islamiyah Di Tengah Pluralitas Pemikiran
dan Gerakan Islam di Indonesia. ” Diskusi bertempat di kantor Pusat
Majelis Ulama Indonesia Jl. Proklamasi Jakarta Pusat digelar kemarin
(Senin, 14/3/2011).
Diskusi itu melibatkan tokoh-tokoh agama di tingkat nasional seperti
Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. K. H. Aqiel Siradj, Dr. K.H. Qureisy
Shihab dan Dr. Khalid Walid.
Prof. Azyumardi Azra dalam diskusi itu mengulas perspektifnya yang
berjudul, “Realitas Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia dan
Tantangannya dari Masa ke Masa.” Prof. Azyumardi mengatakan, “Di
Indonesia terdapat upaya aktualisasi Umat Wahdatan yang tidak berada
dalam titik ekstrim. Baru belakangan ini muncul gerakan trans-nasional
yang mudah mengkafirkan dan mengecam pandangan yang berbeda termasuk
menolak maulid. “Menurut Prof Azyumardi, kelompok ini menjadi sumber
konflik dan pemecah belah umat Islam di Indonesia. Prof, Azyumardi juga
menambahkan, “Kelompok ini juga cenderung menyalahkan semua pandangan
dan melakukan tindakan kekerasan seperti yang terjadi terhadap
Ahmadiyah.”.
Lebih lanjut Prof. Azyumardi Azra, “Syiah adalah sahabat kita. Saya
sangat menyesalkan pelarangan Syiah yang terjadi di Malaysia.” Prof.
Azyumardi juga menyatakan dirinya sebagai simpatisan Syiah.
Dalam diskusi yang mengangkat tema Ukhuwah Islamiyah itu, Ketua PBNU,
Prof. Dr. K.H. Aqiel Siradj juga menjadi salah satu pembicara inti.
Dalam diskusi, Prof Aqiel Siradj mengulas pandangannya yang bertema,
‘Menjaga, Memelihara dan Merawat Ukhuwah Islamiyah.”.
Dalam kesempatan itu, Prof Aqiel Siradj mencontohkan masa Nabi.
Dikatakannya, ” Di masa Nabi ada pluralitas keyakinan, dan tetap
dilindungi dan dihormati.” Prof Aqiel Siradj mencontohkan Piagam Madinah
sebagai dasar kebersamaan dan apresiasi.
Lebih Lanjut Aqiel Siradj yang juga pimpinan organisasi Islam
terbesar di Indonesia, menawarkan empat kiat untuk melangkah seperti
yang dilakukan Rasulullah Saw dalam Piagam Madinah. Dikatakannya, “Kiat
pertama, memahami orang lain. Kiat kedua, mengembangkan dan melestarikan
tradisi. Ketiga, menjaga komitmen kemanusiaan dalam berbangsa dan
bernegara. Keempat, memahami ideologi lain.”
Prof Aqiel Siradj dalam pernyataannya di diskusi yang bertema Ukhuwah
Islamiyah itu menyayangkan kekerasan yang seringkali dilakukan. Padahal
menurut Aqiel Siradj, perbedaan adalah hal yang diciptakan Allah,
bahkan bagian dinamika kehidupan. Lebih lanjut Prof Aqiel Siradj mengaku
kagum atas mazhab Syiah yang melahirkan intelektual-intelektual luar
biasa dan tetap berpegang teguh pada keyakinan agama.
Masih dalam diskusi Ukhuwah Islamiyah, Prof. Dr. K.H. Qureisy Shihab
juga ikut menyumbang pandangan yang memilih tema, “Membangun Visi
Bersama Umat Islam Indonesia. ” Dikatakannya, “Perbedaan adalah
keniscayaan. Perbedaan dalam Islam adalah hal yang alami.”
Prof Qureisy Shihab dalam pernyataannya menegaskan, “Perbedaan
antarmazhab hanyalah pada tingkat ushul mazhab dan furu’u-dien semata
(baca: prinsip mazhab bukan agama).” Menurut Prof Qureisy Shihab, hal
tersebut hampir ditemukan pada seluruh mazhab atau aliran dalam Islam,
baik Mu’tazilah, bahkan Wahabiyah.
Dalam penjelasannya, Qureisy Shihab menjelaskan, “Syiah memiliki
ushul mazhab imamah atau kepemimpinan. Karena hal tersebut merupakan
ushul mazhab, maka mereka yang tidak menerima Imamah tidaklah berarti
kafir.” Prof Qureisy Shihab juga menyayangkan kelompok-kelompok yang
sering mengkafirkan kelompok lain. Menurut Prof Qureisy Shihab,
pengkafiran bermula dari kedangkalan pengetahuan.
Di penghujung acara, Dr.Khalid Walid yang juga penggagas acara
tersebut menyatakan bahwa acara seperti ini harus terus digalakkan demi
persatuan umat dan kesatuan bangsa Indonesia di nusantara. Diskusi
ilmiah yang bertema “Merajut Ukhuwah Islamiyah di tengah Pluralitas
Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia, ” dihadiri sekitar 200 peserta
dari kalangan akademisi dan wakil pengurus pusat ormas-ormas Islam
Indonesia termasuk Organisasi Ahlul Bait Indonesia atau ABI.